Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan jiwa merupakan bagian integral dari kesehatan, kesehatan jiwa
merupakan suatu hal yang dibutuhkan semua orang. Kesehatan jiwa adalah
perasaan sehat dan bahagia serta mampu mengatasi tantangan hidup dapat
menerima orang lain sebagaimana adanya, serta mempunyai sikap positif terhadap
diri sendiri dan orang lain.1
Menurut World Health Organitation (WHO), masalah gangguan kesehatan
jiwa di seluruh dunia sudah menjadi masalah yang sangat serius, ada satu dari
empat orang didunia mengalami masalah mental, dengan perkiraan sekitar 450
juta orang didunia yang mengalami gangguan kesehatan jiwa. Sementara itu
menurut WHO wilayah Asia Tenggara Dr. Uton Muctar Rafei mengatakan
bahwasanya hampir satu pertiga dari penduduk wilayah ini pernah mengalami
gangguan Neuropsikiatri. Di Indonesia sendiri diperkirakan sebesar 264 dari 1000
anggota rumah tangga menderita gangguan kesehatan jiwa. Jumlah penduduk
yang mengalami gangguan jiwa di Indonesia diperkirakan terus meningkat.
Jumlah populasi penduduk Indonesia yang terkena gangguan jiwa berat mencapai
1-3 persen di antara total penduduk, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013.2
Supaya dapat mewujudkan jiwa yang sehat, maka perlu adanya
peningkatan jiwa melalui pendekatan secara promotif, preventif dan rehabilitatif
agar individu dapat senantiasa mempertahankan kelangsungan hidup terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya maupun pada lingkungannya,
yang mana hal tersebut dapat menyebabkan beberapa masalah gangguan jiwa
yang diantaranya skizofrenia.1
Skizofrenia adalah suatu gangguan jiwa atau sekelompok gangguan yang
ditandai dengan gangguan pada bentuk dan isi pikiran, mood, kesadaran akan diri

sendiri dan hubungan akan dunia luar dan perilaku. Dikatakan skizofrenia kalau
gangguan tersebut menyebabkan penurunan fungsi secara bermakna dan menetap
sekurang-kurangnya enam bulan.3 Berdasarkan manifestasi klinisnya skizofrenia
dibagi menjadi beberapa subtipe bergantung pada acuan, berdasarkan Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorders IV, Text Revision (DSM-IV-TR)
skizofrenia dibagi menjadi skizofrenia paranoid, disorganized, katatonik,
undifferentiated dan residual,

sementara berdasarkan International Statistical

Classification of Disease and Related Helath Problem ke-10 (ICD-10), membagi


skizofrenia menjadi sembilan subtipe yaitu skizofrenia paranoid, hebefrenik,
katatonik, undiiferentiated, depresi postskizofrenik, residual, simpleks, skizofrenia
lainnya, dan unspecified.4 Di Indonesia sendiri pembagian subtipe skizofrenia
berdasarkan pada PPDGJ III juga dibagi menjadi sembilan subtipe yaitu
skizofrenia paranoid, hebefrenik, katatonik, tak terinci (undifferentiated), residual,
simpleks, lainnya, depresi pasca-skizofrenia dan skizofrenia YTT.5
Skizofrenia residual merupakan keadaan yang dialami oleh seseorang
dengan gejala skizofrenia yang telah mengalami episode skizofrenik psikotik
tunggal dan tidak lagi mengalami gejala psikotik. 3 Pada skizofrenia residual,
gejala negatif skizofrenia sangat menonjol. Yang mana gejala negative tersebut
menjadi salah satu acuan untuk menentukan prognosis pada pasien skizofrenia.4
Melihat tingginya angka kejadian, pentingnya kecepatan dan ketepatan
dalam diagnosa, serta tatalaksana yang tepat, demi prognosis yang lebih baik.
Penulis merasa perlu menulis karya ilmiah yang berjudu Skizofrenia Residual.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Skizofrenia adalah gangguan mental atau kelompok gangguan yang
ditandai oleh kekacauan dalam bentuk dan isi pikiran (contohnya delusi atau
halusinasi), dalam mood (contohnya afek yang tidak sesuai), dalam perasaan
dirinya dan hubungannya dengan dunia luar serta dalam hal tingkah laku.
Sedangkan skizofrenia residual adalah keadaan yang muncul pada individu
dengan gejala skizofrenia yang, setelah episode skizofrenia psikotik, tidak lagi
psikotik.3
Menurut DSM-IV, adapun klasifikasi untuk skizofenia ada 5 yakni subtipe
paranoid, terdisorganisasi (hebefrenik), katatonik, tidak tergolongkan dan residual.
Untuk istilah skizofrenia simpleks dalam DSM-IV adalah gangguan deterioratif
sederhana.4 Sedangkan menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa (PPDGJ) di Indonesia yang ke-III skizofrenia dibagi ke dalam 6 subtipe yaitu
katatonik, paranoid, hebefrenik, tak terinci (undifferentiated), simpleks, residual
dan depresi pasca skizofrenia. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai
skizofrenia residual.5

2.2 Epidemiologi
Penelitian insiden pada gangguan yang relatif jarang terjadi, seperti
skizofrenia, sulit dilakukan. Survei telah dilakukan di berbagai negara, namun
dan hampir semua hasil menunjukkan tingkat insiden per tahun skizofrenia pada
orang dewasa dalam rentang yang sempit berkisar antara 0,1 dan 0,4 per 1000
penduduk. Ini merupakan temuan utama dari penelitian di 10 negara yang
dilakukan oleh WHO. Untuk prevalensi atau insiden skizofrenia di Indonesia
belum ditentukan sampai sekarang, begitu juga untuk tiap-tiap subtipe
skizofrenia.2

Prevalensinya antara laki-laki dan perempuan sama, namun menunjukkan


perbedaan dalam onset dan perjalanan penyakit. Laki-laki mempunyai onset yang
lebih awal daripada perempuan. Usia puncak onset untuk laki-laki adalah 15
sampai 25 tahun, sedangkan perempuan 25 sampai 35 tahun. Beberapa penelitian
telah menyatakan bahwa laki-laki adalah lebih mungkin daripada wanita untuk
terganggu oleh gejala negatif dan wanita lebih mungkin memiliki fungsi sosial
yang lebih baik daripada laki-laki. Pada umumnya, hasil akhir untuk pasien
skizofrenik wanita adalah lebih baik daripada hasil akhir untuk pasien skizofrenia
laki-laki.4
Skizofrenia tidak terdistribusi rata secara geografis di seluruh dunia.
Secara historis, prevalensi skizofrenia di Timur Laut dan Barat Amerika Serikat
adalah lebih tinggi dari daerah lainnya.4

2.3 Etiologi
Penyebab skizofrenia sampai sekarang belum diketahui secara pasti.
Namun berbagai teori telah berkembang seperti model diastesis-stres dan hipotesis
dopamin. Model diastesis stres merupakan satu model yang mengintegrasikan
faktor biologis, psikososial dan lingkungan. Model ini mendalilkan bahwa
seseorang yang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik (diastesis) yang jika
dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang menimbulkan stres, memungkinkan
perkembangan gejala skizofrenia. Komponen lingkungan dapat biologis (seperti
infeksi) atau psikologis (seperti situasi keluarga yang penuh ketegangan).6
Hipotesis dopamin menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh terlalu
banyaknya aktivitas dopaminergik. Teori tersebut muncul dari dua pengamatan.
Pertama, kecuali untuk klozapin, khasiat dan potensi antipsikotik berhubungan
dengan kemampuannya untuk bertindak sebagai antagonis reseptor dopaminergik
tipe 2. Kedua, obat-obatan yang meningkatkan aktivitas dopaminergik (seperti
amfetamin) merupakan salah satu psikotomimetik. Namun belum jelas apakah
hiperaktivitas dopamin ini karena terlalu banyaknya pelepasan dopamin atau
4

terlalu banyaknya reseptor dopamin atau kombinasi kedua mekanisme tersebut.


Namun ada dua masalah mengenai hipotesa ini, dimana hiperaktivitas dopamin
adalah tidak khas untuk skizofrenia karena antagonis dopamin efektif dalam
mengobati hampir semua pasien psikotik dan pasien teragitasi berat. Kedua,
beberapa data elektrofisiologis menyatakan bahwa neuron dopaminergik mungkin
meningkatkan kecepatan pembakarannya sebagai respon dari pemaparan jangka
panjang dengan obat antipsikotik. Data tersebut menyatakan bahwa abnormalitas
awal pada pasien skizofrenia mungkin melibatkan keadaan hipodopaminergik.6
Selain dopamin, neurotransmiter lainnya juga tidak ketinggalan diteliti
mengenai hubungannya dengan skizofrenia. Serotonin contohnya, karena obat
antipsikotik atipikal mempunyai aktivitas dengan serotonin. Selain itu, beberapa
peneliti melaporkan pemberian antipsikotik jangka panjang menurunkan aktivitas
noradrenergik.6

2.4 Gejala Klinis dan Diagnosa


Gejala dari skizofrenia residual berupa gejala negatif dari skizofrenia
yang menonjol, misalnya perlambatan psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang
menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi
pembicaraan, komunikasi non-verbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka,
kontak mata, modulasi suara, dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial
yang buruk.5 Gejala waham dan halusinasi dapat muncul tapi tidak menonjol.4
Terlebih dahulu akan dibahas mengenai penegakan diagnosa skizofrenia.
Adapun menurut DSM-IV sebagai berikut:4
A. Gejala Karakteristik: dua (atau lebih) berikut, masing-masing ditemukan
untuk bagian waktu yang bermakna selama periode 1 bulan (atau kurang jika
diobati dengan berhasil):
1. Waham
2. Halusinasi
3. Bicara terdisorganisasi

(misalnya

sering

inkoherensi)
4. Perilaku terdisorganisasi atau katatonik yang jelas

menyimpang

atau

5. Gejala negatif yaitu pendataran afektif, alogia, atau tidak ada kemauan
(avolition)
Catatan: Hanya satu gejala kriteria A yang diperlukan jika waham adalah
kacau atau halusinasi terdiri dari suara yang terus-menerus mengomentari
perilaku atau pikiran pasien atau dua lebih suara yang saling bercakap-cakap
satu sama lainnya.
B. Disfungsi sosial/pekerjaan: untuk bagian waktu yang bermakna sejak onset
gangguan, satu atau lebih fungsi utama seperti pekerjaan, hubungan
interpersonal, atau perawatan diri, adalah jelas di bawah tingkat yang dicapai
sebelum onset (atau jika onset pada masa anak-anak atau remaja, kegagalan
untuk mencapai tingkat pencapaian interpersonal, akademik, atau pekerjaan
yang diharapkan).
C. Durasi: tanda gangguan terus-menerus menetap selama sekurangnya 6 bulan.
Pada 6 bulan tersebut, harus termasuk 1 bulan fase aktif (yang
memperlihatkan gejala kriteria A) dan mungkin termasuk gejala prodormal
atau residual.
D. Penyingkiran gangguan skizoafektif atau gangguan mood: gangguan
skizoafektif atau gangguan mood dengan ciri psikotik telah disingkirkan
karena: (1) tidak ada episode depresif berat, manik atau campuran yang telah
terjadi bersama-sama gejala fase aktif atau (2) jika episode mood telah terjadi
selama gejala fase aktif, durasi totalnya relatif singkat dibandingkan durasi
periode aktif dan residual.
E. Penyingkiran zat/kondisi medis umum
F. Hubungan dengan gangguan perkembangan pervasif
Sedangkan menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa (PPDGJ) di Indonesia yang ke-III sebagai berikut:5

Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua

gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang jelas):


a) thought eco = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya (tidak keras) dan isi pikiran ulangan walaupun isinya sama
tapi kualitasnya berbeda.
6

thought insertion or withdrawal = isi pikiran yang asing dari luar masuk
ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh
sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan
thought broadcasting = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain
atau umum mengetahuinya;
b) delusion of control = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar, atau
delusion of influence = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar
delusion of passivity = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah
terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang dirinya secara jelas merujuk ke
pergerakan tubuh/anggota gerak atau pikiran, tindakan atau penginderaan
khusus);
delusion perception = pengalaman inderawi yang tak wajar, yang
bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat;
c) Halusinasi auditorik:
Suara halusinasi yang berkomentar secara terus-menerus terhadap perilkau
pasien, atau
Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai
suara yang berbicara) atau
Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh pasien
d) Waham-waham menetap lainnya yang menurut budaya setempat dianggap
tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama
atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa
Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
e) Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas ataupun disertai oleh ide-ide yang berlebihan
yang menetap atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau
berbulan-bulan terus menerus.
f) Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan yang berakibat
inkoherensi atau pembicaraannya tidak relevan atau neologisme.

g) Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah, posisi tubuh tertentu


(porturing), fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme dan stupor;
h) Gejala-gejala negatif seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang dan
respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya mengakibatkan
penarikan diri dari pergaulan sosialdan menurunnya kinerja sosial; tetapi
harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau

medikasi neuroleptika;
Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik

prodormal)
Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan dari beberapa aspek perilaku pribadi, bermanifestasi sebagai
hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam
diri sendiri, dan penarikan diri secara sosial.
Diagnosa skizofrenia residual digunakan pada pasien yang telah sembuh dari

gejala yang menonjol seperti delusi, halusinasi atau perilaku yang terdisorganisasi
tapi masih memperlihatkan bukti yang ringan akan adanya proses berjalannya
penyakit seperti afek datar atau kurangnya komunikasi. Adapun cara penegakan
diagnosa menurut DSM-IV sebagai berikut:4
a. Tidak adanya waham, halusinasi, bicara terdisorganisasi, dan perilaku
katatonik terdisorganisasi atau katatonik yang menonjol.
b. Terdapat terus bukti-bukti gangguan seperti yang ditunjukkan oleh adanya
gejala negatif atau dua atau lebih gejala yang tertulis dalam kriteria A untuk
skizofrenia, ditemukan dalam bentuk yang lebih lemah (misalnya keyakinan
yang aneh, pengalaman persepsi yang tidak lazim).
Selain itu, PPDGJ-III memberikan pedoman diagnostik untuk skizofrenia
residual yakni harus memenuhi semua kriteria dibawah ini untuk suatu diagnosis
yang meyakinkan:5
a. Gejala negatif dari skizofrenia yang menonjol, misalnya perlambatan
psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan
ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan,

komunikasi non-verbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata,
modulasi suara, dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang
buruk.
b. Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas dimasa lampau yang
memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia.
c. Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan
frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat
berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom negatif dari skizofrenia.
d. Tidak terdapat demensia atau penyakit gangguan otak organik lain, depresi
kronis, atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negatif
tersebut.5

2.5 Diagnosa Banding


Depresi pasca skizofrenia merupakan salah satu diagnosa banding dari
skizofrenia residual. Keduanya mempunyai kesamaan yakni gejala skizofrenia
yang masih ada tapi tidak lagi mendominasi atau menonjol. Namun terdapat
perbedaan yang jelas diantara keduanya. Penegakan diagnosa depresi pasca
skizofrenia tentu saja pasien harus memenuhi gejala depresi selama 2 minggu.
Adapun gejala utama depresi yakni mood yang depresif, kehilangan minat dan
kegembiraan, atau berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan
mudah lelah dan penurunan aktivitas. Selain itu gejala lainnya dari depresi adalah
konsentrasi dan perhatian berkurang, harga diri dan kepercayaan diri berkurang,
adanya ide bunuh diri, pandangan masa depan yang suram dan pesimis, tidur
terganggu, nafsu makan berkurang, gagasan tentang rasa bersalah atau tidak
berguna. Selain itu, pasien telah menderita skizofrenia selama 12 bulan terakhir
sedangkan pada skizofrenia residual, gejala negatif timbul dan penurunan yang
nyata dari gejala waham dan halusinasi sedikitnya sudah melampaui kurun waktu
1 tahun.5

2.6 Pengobatan
9

Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk masing-masing subtipe


skizofrenia. Pengobatan hanya dibedakan berdasarkan gejala apa yang menonjol
pada pasien. Pada skizofrenia residual, gejala negatif lebih menonjol, maka
adapun pengobatan yang disarankan kepada pasien obat-obat antipsikotik
golongan atipikal yang dapat meningkatkan dopamin di mesokortikal. 4 Memang
obat tertentu (terutama obat antipsikotik baru) telah dinyatakan efektif secara
spesifik terhadap gejala negatif pada gangguan psikotik, tetapi bukti yang
mendukung pendapat ini masih tidak konsisten.7
Risperidon adalah suatu obat antipsikotik dengan aktivitas antagonis yang
bermakna pada reseptor serotonin tipe 2 (5-HT2) dan pada reseptor dopamin tipe 2
serta antihistamin (H1). Menurut data penelitian, obat ini efektif mengobati gejala
positif maupun negatif.3 Risperidon senyawa antidopaminergik yang jauh lebih
kuat,

berbeda

dengan

klozapin,

sehingga

dapat

menginduksi

gejala

ekstrapiramidal juga hiperprolaktinemia yang menonjol. Meskipun demikian,


risperidon dianggap senyawa antipsikotik atipikal secara kuantitatif karena efek
samping neurologis ekstrapiramidalnya kecil pada dosis harian yang rendah.7
Klozapin termasuk obat antipsikotik atipikal yang juga mempunyai
aktivitas antagonis yang bermakna pada reseptor serotonin tipe 2 (5-HT 2) dan
antagonis lemah pada reseptor dopamin tipe 2 juga bersifat antihistamin (H 1).
Efek samping berupa gejala ekstrapiramidal sangat minimal, namun mempunyai
sifat antagonis -1 adrenergik yang bisa menimbulkan hipotensi ortostatik dan
sedatif.6 Selain itu, dilaporkan terjadinya agranulositosis dengan insiden 1-2%
ditambah harganya yang mahal. Klozapin adalah obat lini kedua yang jelas bagi
pasien yang tidak berespon terhadap obat lain yang sekarang ini tersedia.7
Selain terapi obat-obatan, juga bisa diterapkan terapi psikososial yang
terdiri dari terapi perilaku, terapi berorientasi keluarga, terapi kelompok,
psikoterapi individual. Terapi perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan
keterampilan sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan
memenuhi diri sendiri, latihan praktis, dan komunikasi interpersonal. Perilaku
adaptif didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat ditebus untuk hal-hal yang
diharapkan sehingga frekuensi maladaptif atau menyimpang dapat diturunkan.4

10

Terapi berorientasi keluarga cukup berguna dalam pengobatan skizofrenia.


Pusat dari terapi harus pada situasi segera dan harus termasuk mengidentifikasi
dan menghindari situasi yang kemungkinan menimbulkan kesulitan. Setelah
pemulangan, topik penting yang dibahas di dalam terapi keluarga adalah proses
pemulihan khususnya lama dan kecepatannya. Selanjutnya diarahkan kepada
berbagai macam penerapan strategi menurunkan stres dan mengatasi masalah dan
pelibatan kembali pasien ke dalam aktivitas.4

2.7 Prognosis
Prognosis tidak berhubungan dengan tipe apa yang dialami seseorang.
Perbedaan prognosis paling baik dilakukan dengan melihat pada prediktor
prognosis spesifik di Tabel 2.1.4
Tabel 2.1 Prognosis
Prognosis Baik
Onset lambat

Prognosis Buruk
Onset muda

Faktor pencetus yang jelas

Tidak ada faktor pencetus

Onset akut

Onset tidak jelas

Riwayat seksual, sosial dan pekerjaan Riwayat seksual, sosial dan pekerjaan
pramorbid yang baik
Gejala

gangguan

pramorbid yang buruk


mood

(terutama Perilaku menarik diri, autistik.

gangguan depresif)
Gejala positif

Gejala negatif

Riwayat keluarga gangguan mood

Riwayat keluarga skizofrenia

Sistem pendukung yang baik

Sistem pendukung yang buruk


Tanda dan gejala neurologis
Riwayat trauma prenatal
11

Tidak ada remisi dalam 3 tahun


Banyak relaps
Riwayat penyerangan

Walaupun skizofrenia bukanlah penyakit yang fatal, namun rata-rata


kematian orang yang menderita skizofrenia dua kali lebih tinggi dibandingkan
dengan populasi umum. Tingginya angka kematian berkaitan dengan kondisi
buruk di institusi perawatan yang berkepanjangan yang menyebabkan tingginya
angka Tuberkulosis dan penyakit menular lainnya. Namun, penelitian baru-baru
ini pada orang-orang skizofrenia yang hidup dalam masyarakat, menunjukkan
bunuh diri dan kecelakaan lain sebagai penyebab utama kematian di negara
berkembang maupun negara-negara maju. Bunuh diri, khususnya, telah
muncul sebagai masalah yang mekhawatirkan, karena risiko bunuh diri pada
orang dengan gangguan skizofrenia selama hidupnya telah diperkirakan di atas
10%, sekitar 12 kali lebih tinggi dari populasi umum. Sepertinya ada sebuah
peningkatan mortalitas untuk gangguan kardiovaskular juga, mungkin terkait
dengan gaya hidup yang tidak sehat, pembatasan akses perawatan kesehatan atau
efek samping obat antipsikotik.2

12

BAB III
KESIMPULAN

Skizofrenia residual adalah salah satu tipe skizofrenia dimana masih


ditemuinya bukti adanya gangguan skizofrenia, tanpa adanya kumpulan lengkap
gejala aktif atau gejala yang cukup untuk memenuhi tipe lain skizofrenia. Gejala
dari skizofrenia residual berupa gejala negatif dari skizofrenia yang menonjol,
misalnya perlambatan psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang menumpul,
sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi
pembicaraan, komunikasi non-verbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka,
kontak mata, modulasi suara, dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial
yang buruk. Jika waham atau halusinasi ditemukan, maka hal itu tidak lagi
menonjol.
Skizofrenia bisa merupakan bagian dari skizofrenia kronis atau tahapan
remisi komplit dari skizofrenia. Adapun diagnosa banding dari skizofrenia
residual adalah depresi pasca skizofrenia, namun pada depresi pasca skizofrenia
mesti ditemui gejala depresi selama lebih kurang 2 minggu.
Pengobatan untuk skizofrenia residual bisa secara farmakologi maupun
terapi psikososial. Obat yang dapat diberikan adalah obat golongan atipikal yang
bekerja untuk meningkatkan dopamin di jalur mesokotikal. Hal ini sehubungan

13

dengan hipotesa penyebab gejala negatif muncul dikarenakan penurunan aktivitas


dopamin di jalur mesokortikal. Namun klozapin tidak bisa dijadikan obat pilihan
pertama karena efek sampingnya berupa agranulositosis. Selain itu, terapi
psikososial bisa berupa terapi perilaku, terapi berorientasi keluarga, terapi
kelompok, dan psikoterapi individu.
Prognosis tidak berhubungan dengan tipe apa yang dialami seseorang.
Prognosis ditentukan dari Tabel 2.1. Selain itu, didapati angka kematian pada
orang dengan skizofrenia dua kali lebih tinggi dari populasi umum. Angka
kematian yang tinggi ini disebabkan oleh kondisi buruk akan tempat rawatan yang
berkepanjangan sehingga meningkatkan risiko terinfeksi Tuberkulosis dan
penyakit menular lainnya. Angka bunuh diri pada orang skizofrenia adalah sekitar
10%.

14

Anda mungkin juga menyukai