Anda di halaman 1dari 10

Filosofi Museum Tsunami Aceh

Oleh: Nela Vitriani

Desain dan pembangunan Museum Aceh dengan konsep Rumoh Aceh as Escape Building
mempunyai beragam filosofi. Pada lantai dasar museum ini menceritakan bagaimana tsunami
terjadi melalui arsitektur yang didesain secara unik. Pada masing-masing ruangan memiliki
filosofi tersendiri yang mendeskripsikan gambaran tentang tsunami sebagai memorial dari
bencana besar yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 silam yang menelan korban jiwa
dalam jumlah yang cukup besar mencapai kurang lebih 240.000 jiwa. Berikut filosofi dari design
lantai dasar Museum Tsunami Aceh.
1.

Space of Fear (Lorong Tsunami)


Lorong Tsunami merupakan akses awal pengunjung untuk memasuki Museum Tsunami.
Memiliki panjang 30 m dan tinggi mencapai 19-23 m melambangkan tingginya gelombang
tsunami yang terjadi pada tahun 2004 silam. Air mengalir di kedua sisi dinding museum, suara
gemuruh air, cahaya yang remang dan gelap, lorong yang sempit dan lembab, mendeskripsikan
ketakutan masyarakat Aceh pada saat tsunami terjadi, atau disebut space of fear.

2.

Space of Memory (Ruang Kenangan)


Setelah berjalan melewati Lorong Tsunami, pengunjung akan memasuki Ruang Kenangan
(Memorial Hall). Ruangan ini memiliki 26 monitor sebagai lambang dari kejadian tsunami yang
melanda Aceh ada 26 Desember 2004. Setiap monitor menampilkan gambar dan foto para
korban dan lokasi bencana yang melanda Aceh pada saat tsunami sebanyak 40 gambar yang
ditampilkan dalam bentuk slide. Gambar dan foto ini seakan mengingatkan kembali kenangan
tsunami yang melanda Aceh atau disebut space of memory yang tidak mudah untuk dilupakan
dan dapat dipetik hikmah dari kejadian tersebut.
Ruang dengan dinding kaca ini memiliki filosofi keberadaan di dalam laut (gelombang tsunami).
Ketika memasuki ruangan ini, pengunjung seolah-olah tengah berada di dalam laut,
dilambangkan dengan dinding-dinding kaca yang menggambarkan luasnya dasar laut, monitormonitor yang ada di dalam ruangan dilambangkan sebagai bebatuan yang ada di dalam air, dan
lampu-lampu remang yang ada di atap ruangan dilambangkan sebagai cahaya dari atas
permukaan air yang masuk ke dasar laut.

3.

Space of Sorrow (Ruang Sumur Doa)

Melalui Ruang Kenangan (Memorial Hall), pengunjung akan memasuki Ruang Sumur Doa
(Chamber of Blessing). Ruangan berbentuk silinder dengan cahaya remang dan ketinggian 30
meter ini memiliki kurang lebih 2.000 nama-nama koban tsunami yang tertera disetiap
dindingnya. Ruangan ini difilosofikan sebagai kuburan massal tsunami dan pengunjung yang
memasuki ruanga ini dianjurkan untuk mendoakan para korban menurut agama dan kepercayaan
masing-masing.
Ruangan ini juga menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhannya (hablumminallah) yang
dilambangkan dengan tulisan kaligrafi Allah yang tertera di atas cerobong dengan cahaya yang
mengarah ke atas dan lantunan ayat-ayat Al-Quran. Ini melambangkan bahwa setiap manusia
pasti akan kembali kepada Allah (penciptanya).
4.

Space of Confuse (Lorong Cerobong)


Setelah Sumur Doa, pengunjung akan melewati Lorong Cerobong (Romp Cerobong) menuju
Jembatan Harapan. Lorong ini sengaja didesain dengan lantai yang bekelok dan tidak rata
sebagai bentuk filosofi dari kebingungan dan keputusasaan masyarakat Aceh saat didera tsunami
pada tahun 2004 silam, kebingungan akan arah tujuan, kebingungan mencari sanak saudara yang
hilang, dan kebingungan karena kehilangan harta dan benda, maka filosofi lorong ini disebut
Space of Confuse. Lorong gelap yang membawa pengunjung menuju cahaya alami
melambangkan sebuah harapan bahwa masyarakat Aceh pada saat itu masih memiki harapan dari
adanya bantuan dunia untuk Aceh guna membantu memulihkan kondisi fisik dan psikologis
masyarakat Aceh yang pada saat usai bencana mengalami trauma dan kehilangan yang besar.

5.

Space of Hope (Jembatan Harapan)


Lorong cerobong membawa pengunjung ke arah Jembatan Harapan (space of hope). Disebut
jembatan harapan karena melalui jembatan ini pengunjung dapat melihat 54 bendera dari 54
negara yang ikut membantu Aceh pasca tsunami, jumlah bendera sama denga jumlah batu yang
tersusun di pinggiran kolam. Di setiap bendera dan batu bertuliskan kata Damai dengan bahasa
dari masing-masing negara sebagai refleksi perdamaian Aceh dari peperangan dan konflik
sebelum tsunami terjadi. Dengan adanya bencana gempa dan tsunami, dunia melihat secara
langsung kondisi Aceh, mendukung dan membantu perdamaian Aceh, serta turut andil dalam
membangun (merekontruksi) Aceh setelah bencana terjadi.

Museum Tsunami sebagai Media Evakuasi


Oleh: Rahmadhani, M.Bus

Selama berlangsung Proses Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh pasca gempa


dan Tsunami yang menimpa Aceh pada akhir Desember 2004 yang
melibatkan hampir seluruh masyarakat dan lembaga nasional/internasional
telah menghasilkan berbagai peluang dalam bentuk kemajuan pembangunan
pada berbagai sektor yang telah dicapai dan dibangun, salah satunya adalah
Museum Tsunami Aceh.
Tulisan ini terilhami saat kejadian dua gempa besar "megaquakes" yang
mengguncang wilayah daratan Sumatera dan kepulauan Simeulue tanggal
11 April 2012. Kedua gempa tersebut yang diperkirakan akan
mengakibatkan Tsunami telah menimbulkan kekhawatiran, kemacetan dan
kepanikan massa di wilayah pantai barat Sumatera, khususnya Aceh.
Bagaimanapun, pasca gempa besar tersebut, Museum Tsunami Aceh yang
terletak strategis di pusat Kota Banda Aceh telah menjadi pilihan bagi
masyarakat, khususnya para pelajar/siswa sebagai pusat evakuasi untuk
menyelamatkan diri mengantisipasi perkiraan akan terjadi Tsunami.
Keberadaan Museum Tsunami Aceh sebagai museum kebanggaan
masyarakat Aceh dan dunia atas kebangkitan masyarakat Aceh, selain
menjadi simbol kekuatan dan kesabaran masyarakat Aceh dalam
menghadapi bencana Tsunami, juga menjadi Icon Pariwisata Tsunami Aceh ke
depan. Museum yang dibangun melalui pendekatan arsitektur yang
bernuansa Islami dan budaya Aceh dengan konsep dan design "Rumoh Aceh
as escape hill" memiliki berbagai koleksi peninggalan Tsunami, media
berbagi pengalaman bencana dan pengetahuan kebencanaan (geologi) telah
menjadi pusat edukasi, rekreasi dan evakuasi yang bersifat efektif dan
produktif bagi masyarakat untuk selalu mengingat tragedi yang pernah
terjadi dalam rangka menggugah respon kritis pada isu-isu kebencanaan dan
membangun kesadaran serta motivasi masyarakat menuju budaya kesiapsiagaan bencana "Disaster Risk Reduction" masa akan datang.

Museum Tsunami Aceh yang diresmikan oleh Bapak Presiden RI dan dibuka
secara resmi kepada umum pada tanggal 8 Mai 2011 adalah satu-satunya
museum Tsunami di Asia yang dianggap sangat strategis dan representatif,
selain Museum Gempa Kobe di Jepang "Disaster Reduction and Human
Renovation Institution". Dengan demikian, museum ini perlu terus dijaga dan
dikembangkan sebagai media utama pembelajaran dan pendidikan "disaster
mitigation center" bagi generasi muda tentang keselamatan dan
membangun kesiap-siagaan kebencanaan, pusat evakuasi bagi masyarakat
"evacuation center" bila terjadi bencana lainnya masa akan datang serta
warisan penting bagi generasi muda Aceh mendatang untuk selalu
mengingat bencana gempa dan Tsunami yang pernah menimpa Aceh.
Keberadaan Museum Tsunami Aceh telah mendapatkan perhatian serius dari
berbagai kalangan masyarakat, khususnya para pelajar/siswa dan
masyarakat luar Aceh umumnya, termasuk para wisatawan manca negara
dan peneliti kebencanaan. Setiap hari Museum Tsunami Aceh dikunjungi ratarata 600 pengunjung. Namun, khusus pada hari Sabtu dan Minggu jumlah
tersebut dapat mencapai 2000 sampai 2500 pengunjung (data 2011).
Sementara, khusus pada hari liburan anak-anak sekolah, jumlah pengunjung
Museum Tsunami Aceh dapat meningkat sekitar 3500 pengunjung atau
meningkat sekitar 60%.
Museum Tsunami sebagai Pusat Evakuasi
Perlu disadari bahwa secara geografis, Indonesia berada pada lempengan
bumi yang sangat rentan akan terjadinya berbagai bencana alam "Ring of
Fire", sehingga menjadi perhatian kita semua untuk terus membangun
kesadaran dan motivasi masyarakat kita terhadap upaya kesiap-siagaan
dalam mengurangi resiko bencana "Disaster Risk Reduction" di masa akan
datang.
Membangun
upaya
kesiap-siagaan
bencana
berarti
kita
sudah
mempersiapkan diri dan mentalitas kita terhadap pengambilan langkahlangkah efektif apa saja dalam melakukan upaya penyelamatan diri sebelum,
sedang dan pasca bencana terjadi. Langkah-langkah ini penting untuk
mempersiapkan diri tentang bagaimana, kapan dan kemana untuk bergerak
untuk menyelamatkan diri, sekaligus menghindari kepanikan dan ketakutan
yang dapat berdampak pada jatuhnya korban.
Baru-baru ini, dua gempa besar berkekuatan 8,5 dan 8,2 skala Richter juga
telah mengguncang wilayah daratan Sumatera dan kepulauan Simeulue
tanggal 11 April 2012. Kedua gempa besar tersebut yang diprediksikan akan
mengakibatkan Tsunami telah menimbulkan kekhawatiran, kemacetan dan
kepanikan massa di wilayah pantai barat Sumatera, khususnya di Aceh.

Mengamati pengalaman saat gempa tersebut terjadi, Museum Tsunami Aceh


telah menjadi pilihan bagi masyarakat, khususnya para pelajar/siswa sebagai
pusat evakuasi untuk menyelamatkan diri dalam upaya mengantisipasi
perkiraan akan terjadinya Tsunami. Diperkirakan 1000 masyarakat,
khususnya para pelajar/siswa melakukan upaya penyelamatan diri secara
spontanitas ke Museum Tsunami. Para petugas Museum Tsunami dengan
berbagai keprihatinan dan kekhawatiran terhadap keselamatan diri dan
anggota keluarga mereka tetap melakukan berbagai upaya mitigasi bencana
kepada masyarakat, khususnya dalam menenangkan massa yang ingin
memaksa masuk ke dalam museum padahal getaran gempa masih terjadi,
walaupun massa akhirnya diperbolehkan masuk, namun tetap waspada dan
siaga terjadinya berbagai kondisi yang paling buruk "worst scenario".
Hasil survey di lapangan, petugas selain mencoba menenangkan dan
menertibkan massa, juga menyempatkan diri menanyakan alasan dan motif
utama para pelajar/siswa menyelamatkan diri ke Museum Tsunami. Yang
paling menakjubkan adalah umumnya para pelajar/siswa memberi jawaban
yang hampir sama bahwa selain mereka telah sering mengunjungi Museum
Tsunami dan mempelajari berbagai aktifitas museum, juga Museum Tsunami
berfungsi sebagai pusat evakuasi bencana, khususnya bila terjadi gempa
besar.
Dapat disimpulkan bahwa Museum Tsunami dengan berbagai koleksi
peninggalan Tsunami, media berbagi pengalaman bencana dan pengetahuan
kebencanaan telah menjadi pusat edukasi, rekreasi dan evakuasi sangat
efektif bagi masyarakat dalam menggugah respon kritis pada isu-isu
kebencanaan dan membangun kesadaran serta motivasi masyarakat menuju
budaya kesiap-siagaan bencana, seperti yang telah dilakukan oleh para
pelajar/siswa pasca gempa kembar pada tanggal 11 April 2012.
Langkah-langkah efektif yang dilakukan oleh para pelajar/siswa telah
mengingatkan kita pada sebuah kearifan lokal yang telah berhasil diadopsi
oleh masyarakat Simeulue melalui pengalaman "Smong"nya atau "Tsunami"
dalam bahasa setempat, dimana sikap penyelamatan diri masyarakat saat
akan terjadinya Tsunami bukanlah dilakukan secara spon tanitas, melainkan
berdasarkan pengalaman bencana Tsunami yang pernah menimpa mereka
pada tahun 1907 dengan jumlah korban jiwa yang relatif besar.
Museum Tsunami Aceh sebagai museum global diharapkan akan terus
berfungsi dan berperan sebagai pusat pendidikan dan pembelajaran dalam
rangka memperkenalkan dan membangun kesadaran masyarakat terhadap
budaya kesiap-siagaan bencana dengan menampilkan beragam objek
"artefact" atau peninggalan bencana serta kegiatan berbagi pengalaman
bencana masa lalu antara saksi hidup yang selamat dari bencana dengan
para pengunjung museum "telling live stories/lessons from past disasters".

Dukungan semua pihak, khususnya Kementerian ESDM, BPBA (Badan


Penanggulangan Bencana Aceh), TDMRC (Tsunami and Disaster Mitigation
Research Center) dan masyarakat sangat diharapkan dalam memperkuat
dan memajukan Museum Tsunami Aceh sebagai pusat edukasi, rekreasi dan
evakuasi yang didukung dengan berbagai media simulasi, tenaga ahli dan
pengelolaan yang baik serta menjadi warisan penting bagi generasi muda
Aceh untuk tidak pernah melupakan tragedi kemanusiaan yang pernah
menimpa Aceh yang menghilangkan harta benda dan orang-orang yang
sangat kita cintai. ***
**Penulis adalah Manager Museum Tsunami Aceh/Pembicara pada Intl Forum on
Telling Live Stories/Lessons Learnt from Disasters, Kobe - Jepang (2010/2012).
**Tulisan ini dimuat di media Harian Analisa Online.

Menjelajahi Museum Tsunami Aceh


Oleh: Nela Vitriani

Museum Tsunami merupakan museum tempat mengenang kembali peristiwa


dahsyat yang pernah melanda Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 silam,
yang kurang lebih menelan korban sebanyak 240.000 jiwa. Museum ini
terletak di Jalan Sultan Iskandar Muda dekat Simpang Jam dan
berseberangan dengan Lapangan Blang Padang kota Banda Aceh. Bangunan
museum ini konon didesain oleh seorang dosen arsitektur ITB Bandung, M.
Ridwan Kamil. Desain yang berjudul Rumoh Aceh as Escape Hill ini
mengambil ide dasar rumoh Aceh yaitu rumah tradisional masyarakat Aceh
berupa bangunan rumah panggung. Adapun tujuan pembangunan museum
ini tidak hanya menjadi sebuah bangunan monumen, tetapi juga sebagai
objek sejarah, dimana bangunan ini menjadi tempat pusat penelitian dan
pembelajaran tentang bencana tsunami sebagai simbol kekuatan

masyarakat Aceh dalam menghadapi bencana tsunami. Selain itu bangunan


ini diharapkan menjadi warisan untuk generasi Aceh di masa mendatang
sebagai pesan dan pelajaran bahwa tsunami pernah melanda Aceh yang
telah menelan banyak korban. Pembangunan museum ini telah
menghabiskan anggaran mencapai 140 miliyar rupiah.
Bangunan museum ini terdiri dari 4 tingkat dengan hiasan dekorasi
bernuansa islam. Dari arah luar dapat terlihat bangunan ini berbentuk
seperti kapal, dengan sebuah mencu suar berdiri tegak di atasnya. Tampilan
eksterior yang luar biasa yang mengekspresikan keberagaman budaya Aceh
terlihat dari ornamen dekoratif unsur transparansi elemen kulit luar
bangunan. Ornamen ini melambangkan tarian saman sebagai cerminan
Hablumminannas, yaitu konsep hubungan antar manusia dalam Islam.
Pada lantai dasar museum terdapat ruang terbuka yang dapat dimanfaatkan
sebagai ruang publik. Lantai ini dibuat meninggi yang betujuan sebagai
escape hill, sebuah taman berbentuk bukit dapat dijadikan sebagai salah
satu antisipasi lokasi penyelamatan jika terjadi banjir dan bencana tsunami
di masa mendatang. Setiap lantai (berukuran 25 meter x 20 meter) dapat
menampung ribuan warga dalam kondisi darurat.
Ketika memasuki gedung ini, ruang pertama yang akan disinggahi
pengunjung adalah ruang renungan. Dalam ruangan ini terdapat sebuah
lorong sempit dan remang sekaligus dapat mendengarkan suara air yang
mengalir beserta suara azan. Pada kiri dan kanan dinding lorong tersebut
terdapat air yang mengalir yang diibaratkan gemuruh tsunami yang pernah
terjadi di masa silam.
Setelah melewati ruang renungan, pengunjung museum akan memasuki
ruang berkaca memorial hill yang dilengkapi dengan monitor yang dapat
digunakan untuk mengakses informasi mengenai peristiwa tsunami yang
melanda Aceh pada 26 Desember 2004 silam.

Setelah ruang memorial hill, pengunjung akan memasuki ruang The Light of
God, yaitu sebuah ruang berbentuk sumur silinder yang menyorotkan cahaya
remang kekuningan. Pada puncak ruangan terlihat kaligrafi arab berbentuk
tulisan ALLAH dalam sebuah lingkaran. Pada dinding-dinding ruangan ini
dipenuhi tulisan nama-nama korban tsunami yang tewas dalam peristiwa
besar tersebut. Bangunan yang menyerupai tower ini mengandung nilai-nilai

religi yang merupakan cerminan dari Hablumminallah (yaitu konsep


hubungan manusia dengan Allah). Ruangan ini juga menjadi akses menuju
tingkat kedua bangunan museum tsunami.
Sedangkan pada lantai dua merupakan akses ke ruang-ruang multimedia
seperti ruang audio dan ruang 4 dimensi, ruang pamer tsunami (tsunami
exhibition room), ruang pre-tsunami, while stunami, dan post-tsunami.
Pada lantai 3 Museum Tsunami Aceh, terdapat beberapa fasilitas seperti
ruang geologi, perpustakaan, musalla, dan souvenir. Pada ruang geologi,
pengunjung dapat memperoleh informasi mengenai kebencanaan,
bagaimana gempa dan tsunami terjadi, melalui penjelasan dari beberapa
display dan alat simulasi yang terdapat dalam ruangan tersebut.
Di tingkat akhir gedung Museum Tsunami Aceh, difungsikan sebagai escape
building atau penyelamatan diri ketika tsunami terjadi lagi di masa yang
akan datang. Tingkat atap ini tidak dibuka untuk umum karena mengingat
konsep keselamatan dan keamanan. Dari tingkat atap ini, hampir
keseluruhan daerah kota Banda Aceh dapat terlihat dari atas gedung.

Museum Tsunami Aceh: "Rumoh Aceh Escape Hill" Karya Ridwan Kamil

Banda Aceh - Lorong sempit itu gelap gulita. Di sisi kiri dan kanannya ada air
terjun yang mengeluarkan suara gemuruh air, kadang memercik pelan,
kadang bergemuruh kencang. Sesaat suara-suara itu mengingatkan kembali
pada kejadian tsunami 26 Januari 2004 yang melanda Banda Aceh dan
sekitarnya.
Itulah suasana yang menyambut kita saat memasuki "Rumoh Aceh Escape
Hill", bangunan monumental berbentuk epicenter gelombang laut, Museum
Tsunami Aceh, yang baru saja dibuka oleh Gubernur Nanggroe Aceh
Darussalam, Irwandi Yusuf di Banda Aceh, Senin (10/05/2011) lalu.
M Ridwan Kamil, sang arsitek museum merancang ruang tersebut untuk
mengingatkan kita pada suasana tsunami, sebelum kita memasuki ruangruang selanjutnya yang juga sarat dengan makna. Kita pun dibawa pada
sebuah perenungan lebih dalam melalui ruang The light of God. Ini adalah
sebuah ruang berbentuk sumur silinder yang menyorotkan cahaya ke atas
sebuah lubang dengan tulisan arab Allah dengan dinding sumur dipenuhi
nama para korban. Ruangan yang mengandung nilai-nilai religi cerminan dari
Hablumminallah (konsep hubungan manusia dan Allah).
Tampilan interior Museum Tsunami Aceh ini merupakan tunnel of sorrow yang
menggiring ke suatu perenungan atas musibah dahsyat yang diderita warga
Aceh sekaligus kepasrahan dan pengakuan atas kekuatan dan kekuasaan
Allah dalam mengatasi sesuatu.
"Rumoh Aceh Escape Building" yang dibangun di atas areal 10.000 meter
persegi ini mengambil ide dasar Rumoh Aceh, rumah tradisional orang Aceh
yang merupakan rumah panggung. Lantai pertama museum merupakan
ruang terbuka sebagaimana rumah tradisional Aceh, disebut sebagai escape
hill, sebuah taman berbentuk bukit yang dapat dijadikan sebagai salah satu
antisipasi lokasi penyelamatan seandainya terjadi banjir atau tsunami di
masa yang akan datang. Tempat ini disebut juga the hill of light, karena di
tempat yang dipenuhi tiang tersebut pengunjung juga dapat meletakkan
karangan bunga mengenang korban tsunami 7 tahun silam.
Tak hanya itu, unsur tradisional lainnya diterjemahkan dalam eksterior
bangunan museum. Tarian Saman sebagai cerminan Hablumminannas
(konsep hubungan antar manusia dalam Islam) didistilasi ke dalam pola
fasade bangunan.
Desain "Rumoh Aceh Escape Hill" karya M Ridwan Kamil ini memenangkan
sayembara lomba desain museum tsunami Aceh tahun 2007 lalu,
menyisihkan 68 desain lainnya. M Ridwan Kamil adalah dosen Arsitektur ITB
dan ketua Bandung Creative City Forum. Bersama Urbane (Urban Evolution)
sebagai jasa konsultan perencanaan, arsitektur dan desain yang dia dirikan
pada tahun 2004, Ridwan Kamil yang akrab disapa Emil banyak
menghasilkan karya arsitektur di berbagai negara seperti di Singapura,

Thailand, Bahrain, Cina, Vietnam, Uni Emirat Arab dan tentu saja di
Indonesia.
Beberapa contoh proyek yang ditangani Emil diantaranya seperti Marina Bay
Waterfront Master di Singapura, Sukhotai Urban Resort Master Plan di
Bangkok, Ras Al Kaimah Waterfront Master di Qatar, juga District 1 Saigon
South Residential Master Plan di Saigon. Sementara di Cina ada Shao Xing
Waterfront Masterplan, Beijing CBD Master Plan, dan Guangzhou Science City
Master Plan.
*sumber: www.esdm.go.id

http://museumtsunami.blogspot.com/

Arsitektur Indonesia dipengaruhi oleh keanekaragaman budaya, sejarah dan


geografi di Indonesia. Para penyerang, penjajah, dan pedagang membawa
perubahan kebudayaan yang sangat memperuhi gaya dan teknik konstruksi
bangunan. Pengaruh asing yang paling kental pada zaman arsitektur klasik adalah
India, meskipun pengaruh Cina dan Arab juga termasuk penting. Kemudian
pengaruh Eropa pada seni arsitektur mulai masuk sejak abad ke-18 dan ke-19.

Anda mungkin juga menyukai