Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lidah merupakan salah satu organ penting pada tubuh manusia yang
memiliki banyak fungsi. Lidah memiliki peran dalam proses pencernaan,
mengisap, menelan, persepsi rasa, bicara, respirasi dan perkembangan rahang.
Lidah dapat mencerminkan kondisi kesehatan seseorang sehingga digunakan
sebagai indikator untuk mengetahui kesehatan oral dan kesehatan umum pasien.
Lidah dapat mengalami anomali berupa kelainan perkembangan, genetik,
dan enviromental. Penyakit-penyakit lokal dan sistemik juga mempengaruhi
kondisi lidah dan menimbulkan kesulitan pada lidah yang biasanya menyertai
keterbatasan fungsi organ ini. Lesi pada lidah memiliki diagnosa banding yang
sangat luas yang berkisar dari proses benigna yang idiopatik sampai infeksi,
kanker dan kelainan infiltratif. Bagaimanapun, lesi lidah yang terlokalisasi dan
non-sistemik lebih sering dijumpai.
Lidah juga bisa menderita kelainan atau penyakit. Kelainan pada lidah
antara lain terdiri dari kelainan perkembangan, perubahan selaput dan warna
lidah, indentation markings, gangguan gerakan lidah, gangguan persarafan lidah,
pembesaran lidah dan peradangan.
Penyakit lidah paling sering ditemui akibat kondisi sistemik glossitis
median rhomboid, glositis atrofi, lidah pecah-pecah dan lidah geografis,
sementara di antara kondisi lokal, ada papiloma, lidah berbulu dan leukoplakia
dengan evolusi ganas mereka mungkin . Glositis atrofi (AG) adalah penyakit
inflamasi dari mukosa lidah yang menunjukkan penampilan yang halus,
mengkilap dengan latar belakang merah atau pink.
Glositis merupakan suatu kondisi yang terjadi pada lidah yang ditandai
dengan
terjadinya deskuamasi papilla filiformis sehingga menghasilkan daerah
1
kemerahan yang mengkilat. Glositis dapat menyerang semua umur tapi biasanya
lebih banyak menyerang laki-laki dari pada perempuan. Dalam beberapa kasus,

glositis dapat mengakibatkan pembengkakan lidah parah yang menghalangi jalan


nafas.
Penyebab glositis antara lain Infeksi bakteri atau virus (termasuk mulut
herpes simpleks), mekanik iritasi atau cedera dari luka bakar, tepi kasar gigi atau
gigi peralatan, atau trauma lainnya. Paparan iritasi seperti tembakau, alkohol,
makanan panas atau rempah-rempah. Reaksi alergi terhadap obat kumur, pasta
gigi, penyegar napas, pewarna dalam permen, plastik gigi palsu atau pengikut,
atau obat tekanan darah tertentu (ACE inhibitor). Gangguan seperti anemia
defisiensi besi, anemia pernisiosa dan kekurangan vitamin B, lichen planus,
eritema multiformis, stomatitis, pemphigus vulgaris, sifilis, dan lain-lain.
1.2 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui dan memahami tentang Glositis
2. Mengetahui lebih lanjut tentang laporan kasus yang sudah dijabarkan
diatas
3. Agar dapat mengikuti ujian stase gigi dan mulut di FK UWKS

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Lidah
Pancaindra adalah organ-organ akhir yang dikhususkan untuk menerima
jenis rangsangan tertentu pada manusia. Serabut syaraf yang melayaninya
merupakan alat perantara yang membawa kesan rasa (sensory impression) dari
organ indra menuju otak, dimana perasaan itu ditafsirkan. Beberapa kesan rasa
timbul dari luar, seperti sentuhan, pengecapan, penglihatan, penciuman dan suara.
Dalam segala hal, serabut saraf-saraf sensorik dilengkapi dengan ujung
akhir khusus guna mengumpulkan rangsangan perasaan yang khas itu, dimana
setiap organ berhubungan.
Lidah adalah kumpulan otot rangka pada bagian lantai mulut yang dapat
membantu pencernaan makanan dengan mengunyah dan menelan. Lidah dikenal
sebagai indera pengecap yang banyak memiliki struktur tunas pengecap. Lidah
juga turut membantu dalam tindakan bicara.Struktur lainnya yang berhubungan
dengan lidah sering disebut lingual, dari bahasa Latin lingua atau glossal dari
bahasa Yunani.
Lidah merupakan bagian tubuh penting untuk indra pengecap yang terdapat
kemoreseptor untuk merasakan respon rasa asin, asam, pahit dan rasa manis. Tiap
rasa pada zat yang masuk ke dalam rongga mulut akan direspon oleh lidah di
tempat yang berbeda-beda.
Pada hakikatnya, lidah mempunyai hubungan yang sangat erat dengan indra
khusus pengecap, lidah tersusun atas otot rangka yang terlekat pada tulang
hyoideus, tulang rahang bawah dan processus styloideus di tulang pelipis.Lidah
sebagian besar terdiri dari dua kelompok otot yaitu otot intrinsik dan ektrinsik.
Otot intrinsik lidah melakukan semua gerakan halus, sementara otot ektrinsik
mengaitkan lidah pada bagian-bagian sekitarnya serta melaksanakan gerakangerakan kasar yang sangat penting pada saat mengunyah dan menelan. Lidah
mengaduk-aduk
makanan, menekannya pada langit-langit dan gigi dan akhirnya
3
mendorongnya masuk faring.

Lidah terletak pada dasar mulut, sementara pembuluh darah dan urat saraf
masuk dan keluar pada akarnya. Ujung serta pinggiran lidah bersentuhan dengan
gigi-gigi bawah, sementara dorsum merupakan permukaan melengkung pada
bagian atas lidah. Bila lidah digulung kebelakang maka tampaklah permukaan
bawahnya yang disebut frenulum linguae, sebuah struktur ligament halus yang
mengaitkan bagian posterior lidah pada bagian dasar mulut. Bagian anterior lidah
bebas tidak terkait. Bila dijulurkan, maka ujung lidah meruncing, dan bila terletak
tenang didasar mulut maka ujung lidah berbentuk bulat.
Lidah ini, juga dibangun oleh suatu struktur yang disebut kuncup pengecap
(taste buds). Pada lidah lebih kurang 10.000 kuncup pengecap yang tersebar
dipermukaan atas dan di sepanjang pinggir lidah. Kuncup pengecap tertanam
dibagian epitel lidah dan bergabung dengan tonjolan-tonjolan lidah yang disebut
papilla.

Gambar 2.1. Anatomi Lidah

Bagian-Bagian Lidah
Sebagian besar, lidah tersusun atas otot rangka yang terlekat pada tulang
hyoideus, tulang rahang bawah dan processus styloideus di tulang pelipis.
Terdapat dua jenis otot pada lidah yaitu otot ekstrinsik dan intrinsik. Lidah
4
memiliki
permukaan yang kasar karena adanya tonjolan yang disebut papila.
Terdapat tiga jenis papila yaitu:
a. Papila filiformis (fili=benang); berbentuk seperti benang halus;

b. Papila sirkumvalata (sirkum=bulat); berbentuk bulat, tersusun seperti huruf


V di belakang lidah;
c. Papila fungiformis (fungi=jamur); berbentuk seperti jamur.
Terdapat satu jenis papila yang tidak terdapat pada manusia, yakni papila
folliata pada hewan pengerat. Tunas pengecap adalah bagian pengecap yang ada
di pinggir papila, terdiri dari dua sel yaitu sel penyokong dan sel pengecap. Sel
pengecap berfungsi sebagai reseptor, sedangkan sel penyokong berfungsi untuk
menopang.
Pada mamalia dan vertebrata yang lain, pada lidahnya terdapat reseptor untuk
rasa. Reseptor ini peka terhadap stimulus dari zat-zat kimia, sehingga disebut
kemoreseptor. Reseptor tersebut adalah kuncup-kuncup pengecap. Kuncup
tersebut berbentuk seperti bawang kecil atau piala dan terletak dipermukaan
epitelium pada permukaan atas lidah. Kadang juga dijumpai pada langit-langit
rongga mulut, faring dan laring, walaupun sedikit sekali. Kuncup-kuncup
pengecap ini ada yang tersebar dan ada pula yang berkelompok dalam tonjolantonjolan epitel yang disebut papilla.3
Terdapat empat jenis papilla:2
a.

Filiformis

b.

Fungiformis

c.

Foliatel

d.

Circumfalate

Setiap kuncup pengecap terdiri dari dua macam sel, yaitu sel pengecap dan sel
penunjang, pada sel pengecap terdapat silia (rambut gustatori) yang memanjang
ke lubang pengecap. Zat-zat kimia dari makanan yang kita makan, mencapai
kuncup pengecap2
Melalui lubang-lubang pengecap (taste pores). Kuncup-kuncup pengecap
dapat merespon empat rasa dasar, yaitu manis, masam, asin dan pahit. Letak
masing-masing rasa berbeda-beda yaitu :2

a.

Rasa Asin = Lidah Bagian Depan

b.

Rasa Manis = Lidah Bagian Tepi

c.

Rasa Asam / Asem = Lidah Bagian Samping

d.

Rasa Pahit / Pait = Lidah Bagian Belakang

Gbr.2.2 Bagian-baigian lidah


Fungsi Lidah 2
a.

Menunjukkan kondisi tubuh


Selaput lidah manusia dapat digunakan sebagai indikator metabolism
tubuh, terutama kesehatan tubuh manusia.

1.

Warna Lidah
Kuning menandakan adanya infeksi bakteri, jika warna kuning menuju
kehijauan adanya infeksi bakteri akut. Merah menandakan aktivitas panas tubuh,
jika hanya terdapat pada ujung lidah berarti adanya panas pada jantung, jika
terdapat pada sisi kanan kiri menandakan adanya ganguan ginjal dan kandung
empedu. Ungu berarti adanya aktivitas statis darah, darah tidak lancar dan ada
gangguan. Biru menandakan adanya aktivitas dingin yang menyebabkan statis
darah.2

2.

Bentuk Lidah
Tipis ,jika bentuk lidah tipis dan berwarna pucat menandakan defisiensi
(kekurangan ) darah yang berhubungan dengan hati semakin pucat semakin parah
gangguan hati, sirkulasi darah tidak normal menandakan gangguan ginjal dan
limpa.2

b.

Membasahi makanan di dalam mulut


Kelenjar sublingualis, terletak di bawah lidah dapat membantu dalam

melumasi dan membasahi makanan

c. Mengecap atau merasakan makanan


d. Membolak-balik makanan
e. Menelan makanan
f. Mengontrol suara dan dalam mengucapkan kata-kata
2.2 Glositis
2.2.1 Definisi Glositis
Glositis merupakan suatu kondisi peradangan yang terjadi pada lidah yang
ditandai dengan terjadinya deskuamasi papila filiformis sehingga menghasilkan
daerah kemerahan yang mengkilat. Glositis adalah suatu keradangan pada lidah.
Glositis bisa bisa terjadi akut atau kronis. Penyakit ini juga merupakan kondisi
murni dari lidah itu sendiri atau merupakan cerminan dari penyakit tubuh yang
penampakannya ada pada lidah. Biasanya kondisi ini bisa menyerang pada semua
tingkatan usia.3

Gambar 2.3 Glossitis


2.2.2 Insidensi
Prevalensi glossitis pada populasi umum ialah antara 1-2,5% dengan
kategori umur yang bervariasi. Rasio perbandingan penderita glositis jinak
bermigrasi pada wanita lebih tinggi dibanding dengan pria yaitu 5:3. Sedangkan
7
tingkat
prevalensi glositis jinak untuk kategori anak-anak hanya sebesar 1%
dengan tingkat perbandingan yang sama antara pria dengan wanita.3

2.2.3 Etiologi Glositis


Penyebab glositis bermacam-macam, bisa lokal dan sistemik. Penyebab
glositis bisa diuraikan sebagai berikut:3
a. Sistemik:
1. Malnutrisi (kurang asupan vitamin B12, niacin, riboflavin, asam folic)
2. Anemia (kekurangan Fe)
3. Penyakit kulit (lichenplanus, erythema multiforme, syphilis, lesi
apthous)
4. HIV (candiasis, HSV, kehilangan papillae)
5. Obat lanzoprazole, amoxicillin, metronidazole.
b. Lokal:
1. Infeksi (streptococcal, candiasis, Tb, HSV, EBV)
2. Trauma (luka bakar)
3. Irritant primer (alcohol, tembakau, makanan

pedas,

permen

berlebihan)
4. Kepekaan (irritant kimiawi, pasta gigi, obat sistemik)
5. Penyakit yang berbahaya
Faktor resiko:
1.
2.
3.
4.
5.

Nutrisi yang kurang bagus


Merokok
Mengkomsumsi alcohol
Usia meningkat
Stress, gelisah, depresi

2.2.4 Gejala dan Tanda


Tanda dan gejala dari glossitis bervariasi oleh karena penyebab yang
bervariasi pula dari kelainan ini, tanda dasar kelainan ini adalah bahwa lidah
menjadi berubah warnanya dan terasa nyeri. Warna yang dihasilkan bervariasi dari
gelap merah sampai dengan merah terang. Lidah yang terkena mungkin akan
terasa nyeri dan menyebabkan sulitnya untuk mengunyah, menelan atau untuk
berbicara. Lidah yang mempunyai kelainan ini permukaannya akan terlihat halus.
Terdapat beberapa ulserasi atau borok yang terlihat pada lidah ini. Perawatan dari
glosotis ini tergantung dari kasusnya. Selain itu, warna lidah menjadi pucat jika
8
oleh anemia pernisiosa dan merah berapi-api jika kekurangan vitamin B.
2.2.5 Diagnosis

Penegakan diagnosis dimulai dari anamnesis. Dari anamnesis, dapat


ditemukan keluhan nyeri lidah, ada massa atau pembengkakan/ difus (massa
fokal, fibroma, lipoma, massa difus, sengatan tawon, kista mukosa, erythema).
Pada pemeriksaan fisik, dilihat nodul pada permukaan atas lidah papilla tidak
kelihatan. Selain itu juga dapat dilakukan pemeriksaan tambahan seperti biopsy,
kikisan KOH, CBC, tes serologic untuk shyphillis, tes untuk defisiensi vitamin
B12, tes glukosa postprandial, profil kimiawi, lesi kultur dan smear bila
diindikasi.
2.2.6 Kelainan dan Penyakit Lidah
2.2.6.1 Atrofi Glositis
Glositis atrofi juga dikenal sebagai hunter glossitis adalah suatu kondisi
yang ditandai oleh lidah mengkilap halus yang sering menyakitkan yang
disebabkan oleh atrofi lengkap papila lingual (depapillation). Permukaan
lidah dorsal mungkin akan terasa panas, nyeri dan / atau eritema. Atrophic
glossitis adalah temuan non-spesifik dan memiliki banyak penyebab yang
besar, biasanya terkait dengan berbagai kekurangan nutrisi atau faktor lain
seperti xerostomia (mulut kering) atau anemia. Meskipun istilah Mller dan
Hunter glositis pada awalnya digunakan untuk merujuk secara khusus
glossitis yang terjadi pada defisiensi vitamin B12 sekunder terhadap anemia
pernisiosa.

Gambar 2.4 Atropic glossitis


2.2.6.2 Benign Migratory Glossitis ( Geografis Lidah)
Lidah Geografis juga dikenal sebagai Benign Migratory Glossitis
adalah

kondisi

peradangan

dari selaput

lendir dari lidah ,

biasanya

pada permukaan lidah. Kondisi ini mempengaruhi sekitar 2-3% dari populasi
umum. Hal ini ditandai dengan daerah halus, depapillation merah
(hilangnya papila lingual ) yang bermigrasi dari waktu ke waktu. Nama
berasal dari penampilan peta seperti lidah, dengan patch menyerupai pulaupulau. Penyebabnya tidak diketahui, tetapi kondisi ini sepenuhnya jinak
(penting, tidak mewakili kanker mulut) dan tidak ada pengobatan kuratif.
Jarang, lidah geografis dapat menyebabkan sensasi terbakar pada lidah, yang
berbagai perawatan telah dijelaskan dengan bukti formal yang sedikit
keberhasilan.
Lidah geografis dapat dianggap sebagai jenis glossitis. Biasanya pada
2/3 dorsal dan permukaan lateral lidah, tetapi kondisi ini kurang identik dan
dapat terjadi pada situs lain di mukosa mulut, seperti permukaan ventral
(undersurface) dari lidah, mukosa bukal, mukosa labial, langit-langit lunak
atau dasar mulut biasanya selain keterlibatan lidah. Dalam kasus tersebut,
istilah-istilah

seperti

migrans

erythema

stomatitis, lidah

geografis

ektopik, stomatitis geografis, atau stomatitis migrasi digunakan sebagai


pengganti lidah geografis. Selain perbedaan lokasi presentasi di dalam rongga
mulut dan prevalensi di kalangan populasi umum, dalam semua aspek lain
dari signifikansi klinis, gejala, pengobatan dan gambaran histopatologis,
kedua bentuk ini adalah identik. Kondisi ini kadang-kadang disebut (oral)
migrans erythema, tapi ini tidak ada hubungannya dengan penggunaan lebih
umum

istilah migrans

eritema (Migrans

Eritema

Chronicum),

untuk

menggambarkan munculnya lesi kulit pada penyakit Lyme .


10

Munculnya lidah geografis adalah variabel dari satu orang ke orang


lain dan perubahan dari waktu ke waktu. Pada kedaan ini menunjukkan lidah
pecah-pecah dikombinasikan dengan lidah geografis. Adalah umum bagi

kedua kondisi ini untuk hidup berdampingan. Di bidang kesehatan,


permukaan dorsal lidah ditutupi seberkas seperti proyeksi yang disebut papila
lingual (beberapa

di

antaranya

berhubungan

dengan selera),

yang

memberikan lidah tekstur permukaan yang tidak teratur dan warna putihmerah muda. Lidah geografis ditandai dengan daerah atrofi dan depapillation
(hilangnya papila), meninggalkan eritematosa (merah gelap) dan permukaan
halus dari daerah tidak terpengaruh.
Daerah yang depapillated biasanya juga ditandai, dan berbatasan
dengan sedikit terangkat, putih, kuning atau abu-abu, serpiginous (mengular)
zona perifer. Sebuah lesi lidah geografis mungkin mulai sebagai patch putih
sebelum terjadi depapillation. Kadang-kadang mungkin ada hanya satu lesi,
tapi ini jarang terjadi dan biasanya lesi dapat berada di beberapa lokasi yang
berbeda di lidah, dan kemudian seiring waktu daerah menyatu untuk
membentuk khas peta-seperti penampilan. Lesi biasanya berubah bentuk,
ukuran dan bermigrasi ke daerah lain, kadang-kadang dalam hitungan jam.
Kondisi ini dapat mempengaruhi hanya sebagian dari lidah, dengan
kecenderungan pada ujung dan sisi lidah, atau seluruh punggung permukaan
pada satu waktu. Kondisi ini berjalan melalui periode remisi dan kambuh.
Kehilangan zona perifer putih diduga menandakan periode penyembuhan
mukosa. Biasanya tidak ada gejala, tetapi dalam beberapa kasus orang
mungkin mengalami rasa sakit atau terbakar misalnya ketika makan panas,
asam, pedas atau lainnya jenis makanan (misalnya keju, tomat, buah).
Dimana ada gejala terbakar penyebab lain dari rasa terbakar di lidah dianggap
seperti kandidiasis oral.
Penyebabnya tidak diketahui, lidah geographic biasanya tidak
menimbulkan gejala apapun, dan dalam kasus-kasus di mana ada gejala,
oral kebiasaan parafunctional mungkin menjadi sebuah faktor penunjang.
Orang dengan kebiasaan parafunctional terkait lidah mungkin menunjukkan
11

scalloping di sisi lidah ( crenated lidah ). Beberapa penyebab lain adalah


faktor hormonal mungkin terlibat, karena salah satu kasus yang dilaporkan
pada wanita muncul bervariasi dalam tingkat keparahan dalam korelasi

dengan penggunaan kontrasepsi oral. Orang-orang dengan lidah geografis


sering mengklaim bahwa kondisi mereka memburuk selama periode stres
psikologis. Lidah Geografis berbanding terbalik dikaitkan dengan merokok
dan penggunaan tembakau.
Beberapa telah melaporkan hubungan dengan berbagai antigen
leukosit

manusia,

seperti

peningkatan

insiden HLA-DR5,

HLA-

DRW6 dan HLA-Cw6 dan penurunan kejadian di HLA-B51. Kekurangan


vitamin B2 (ariboflavinosis) dapat menyebabkan beberapa tanda-tanda di
mulut, mungkin termasuk lidah geografis, meskipun sumber-sumber lain
menyatakan bahwa lidah geografis tidak berhubungan dengan kekurangan
gizi. Lidah pecah-pecah sering terjadi bersamaan dengan lidah geografis dan
beberapa menganggap lidah pecah-pecah menjadi tahap akhir geografis lidah.
Di masa lalu, beberapa penelitian menunjukkan bahwa lidah geografis
dikaitkan dengan diabetes, dermatitis seboroik danatopi, penelitian namun
lebih modern tidak menguatkan temuan ini. Beberapa penelitian telah
melaporkan hubungan antara lidah geografis dan psoriasis, meskipun 90 %
anak

yang

didiagnosis

dengan

lidah

geografis

tidak

kontrak

psoriasis. Namun, studi penelitian modern tidak mendukung adanya


hubungan antara psoriasis dan lidah geografis. Lesi yang secara histologis
dapat dibedakan dari lidah geografis juga dapat didiagnosis pada sindrom
reiter ( atritis, uveitis, konjungtivitis, urethritis).
Atrophic glossitis biasanya dibedakan dari Benign Migratory
Glossitis pada dasar pola migrasi dari lesi dan adanya perbatasan keputihan,
fitur yang tidak ada dalam glositis atrofi, yang justru menunjukkan lesi yang
memperbesar dari pada bermigrasi. Jarang, tes darah mungkin diperlukan
untuk

membedakan

dari

glossitis

berhubungan

dengan anemia atau

kekurangan nutrisi lainnya.3 Karena sebagian besar kasus tidak menimbulkan


gejala, meyakinkan orang yang terkena bahwa kondisi ini sepenuhnya jinak
12

biasanya

merupakan

hadir, anestesi
sementara.

satu-satunya

topikal dapat

pengobatan.

digunakan

untuk

Ketika

gejala

memberikan

yang

bantuan

Obat

lain

yang

telah

digunakan

untuk

mengelola

gejala

termasuk antihistamin, kortikosteroid atau anxiolytics, tetapi obat ini belum


secara resmi dinilai untuk keberhasilan dalam lidah geografis.

Gambar 2.5 Benign Migratory Glossitis


2.2.6.3 Median Rhomboid Glossitis
Median rhomboid glossitis (MRG) juga dikenal sebagai atrofi
papila sentral, atau yang berhubung dengan bahasa atrofi papiler pusat
adalah suatu kondisi yang ditandai oleh daerah kemerahan dan kehilangan
lingual papila, terletak didorsum lidah dalam garis tengah segera di
depan papila sirkumvalata. Median rhomboid glossitis diduga disebabkan
oleh infeksi jamur kronis dan biasanya adalah jenis kandidiasis oral.
Median rhomboid glositis pada anak, perhatikan penampilan atipikal lesi,
yang lebih umum suatu eritematosa, area atrofi dari depapillation.
Rasa sakit jarang terdapat pada kondisi tersebut. Terlepas dari
penampilan

lesi,

biasanya

tidak

ada

tanda-tanda

atau

gejala

lainnya. Penampilan khas lesi adalah daerah berbentuk oval atau belah
ketupat yang terletak di garis tengah permukaan dorsal lidah, hanya
anterior (depan) dari terminalis sulkus . Lesi biasanya simetris, baik batasbatasnya, eritematosa dan depapillated, yang memiliki permukaan halus
dan

mengkilap. Biasanya,

lesinya

hiperplastik atau

lobulated

dan

exophytic. Mungkin ada lesi kandida di tempat lain di mulut, yang dapat
menyebabkan diagnosis kandidiasis oral multifocal kronis. Kadang13

kadang lesi eritematosa aproksimasi terdapat pada langit-langit.


Faktor predisposisi mencakup merokok, penggunakan gigi tiruan,
penggunaan kortikosteroid inhalasi
Virus (HIV). Spesies kandida bahkan

dan
pada

Human
orang

Immunodeficiency
sehat

terutama

berkolonisasi lidah bagian dorsal posterior. Median rhombiod glossitis


dianggap sebuah jenis atrofi (eritematosa atau) kandidiasis kronis. Kultur
mikrobiologi dari lesi biasanya menunjukkan kandida dicampur dengan
bakteri.
Diagnosis

biasanya

jaringan biopsi biasanya

dibuat

tidak

pada

diperlukan.

penampilan
Pengobatan

klinis

dan

mungkin

melibatkan berhenti merokok dan resep topikal atau sistemik obat


antijamur . Biasanya perubahan mukosa ke normal dapat terjadi dengan
terapi antijamur, tapi kadang-kadang lesi tahan untuk menyelesaikan
resolusi.

Gambar 2.6 Median Rhomboid Glositis


2.2.6.4 Geometric Glossitis
Glossitis geometris, juga disebut herpetic glossitis geometris
adalah istilah yang digunakan oleh beberapa orang untuk merujuk pada
lesi kronis yang berhubungan dengan virus herpes simpleks (HSV) tipe I
infeksi, dimana ada celah dalam di garis tengah lidah dan mengeluarkan
beberapa cabang. Lesi biasanya sangat menyakitkan, dan mungkin ada
erosi hadir di kedalaman celah. Lesi pecah-pecah sama yang tidak terkait
dengan HSV, yang mungkin terjadi pada lidah pecah-pecah, jangan
cenderung menyakitkan. Nama ini berasal dari pola geometris dari celah
yang membujur atau bercabang. Hal ini digambarkan sebagai terjadi pada
14

orang immunocompromized, misalnya yang memiliki leukemia . Namun,


hubungan antara herpes simpleks dan glossitis geometris ini dibantah oleh
beberapa karena kurangnya teknik standar emas untuk diagnosis lesi

herpes intraoral dan tingginya prevalensi pelepasan virus asimtomatik


pada

individu

immunocompromized. Pengobatan

dengan

sistemik asiklovir .

Gambar 2.7 Geometric Glossitis


2.2.6.5 Hairy Tongue
Hairy tongue adalah pemanjangan secara abnormal dari papilapapila filiformis yang membuat dorsum lidah tampak seperti berambut.
Perubahan pada papila ini terutama berdampak pada middorsum lidah
yang seringkali menjadi berubah warna. Pemanjangan papila ini dapat
berwarna putih, kuning, coklat atau hitam. Perubahan warna tersebut
merupakan akibat dari faktor-faktor instrinsik (organisme-organisme
kromogenik) dikombinasikan dengan faktor-faktor ekstrinsik (warna
makanan dan tembakau). Penyebab terjadinya hairy tongue tidak diketahui
secara pasti. Perokok berat, terapi antibiotik, oral hygiene yang buruk,
terapi radiasi dan perubahan pH mulut meningkatkan kemungkinan
terjadinya hairy tongue. Hairy tongue lebih sering terjadi pada pria
terutama yang berusia di atas 30 tahun dan prevalensinya meningkat
seiring dengan bertambahnya usia.

15

Gambar 2.8 Hairy Tongue


2.2.6.6 Coated Tongue
Coated tongue atau lidah berselaput merupakan penampilan klinis
pada dorsum lidah yang tampak seperti tertutup oleh suatu lapisan
biasanya berwarna putih atau warna lain sesuai dengan jenis makanan dan
minuman yang dikonsumsi. Selaput ini terdiri dari papila filiformis yang
memanjang sehingga memberikan gambaran seperti selaput tebal pada
lidah dan akan menahan debris serta pigmen yang berasal dari makanan,
minuman, rokok dan permen.

Gambar 2.9 Coated Tongue


162.2.6.7 Fissured Tongue

Fissured tongue disebut juga lingua fissurata, lingua plicata, scrotal


tongue dan grooved tongue. Fissured tongue merupakan malformasi klinis
berupa alur-alur atau lekukan-lekukan pada permukaan dorsal lidah.
Bagian lidah yang berfisur tidak memperlihatkan adanya papila-papila
yang normal. Penyebabnya tidak diketahui dengan jelas, diduga kuat
merupakan kelainan yang diturunkan. Kondisi ini biasanya asimtomatis,
kecuali bila sisa-sisa makanan terkumpul di dalam fisur, dapat
menyebabkan iritasi fokal, sensitif terhadap makanan pedas, dan
menimbulkan halitosis yang terkadang diikuti dengan rasa agak perih atau
tidak nyaman seperti agak nyeri. Kekerapan terjadinya fissured tongue
adalah sama untuk laki-laki dan perempuan. Fissured tongue bertambah
parah seiring pertambahan usia, begitu juga jumlah, lebar, dan kedalaman
fisur.

17
2.2.6.8 Bald Tongue

Gambar 2.10 Fissured Tongue

Bald tongue merupakan kelainan lidah yang mempunyai gambaran


klinis

berupa

tidak

adanya

papila

filiformis

pada

lidah

yang

mengakibatkan permukaan lidah menjadi licin dan berwarna merah yang


disertai rasa sakit. Kondisi ini menyebabkan terganggunya fungsi
pengecapan dan dapat juga menimbulkan sensasi terbakar pada lidah.
Atropi papila lidah dapat disebabkan oleh trauma kronis, defisiensi nutrisi
dan abnormalitas hematologi dan obat-obatan. Namun dapat juga dijumpai
atropi papila lidah pada pasien tanpa adanya penyebab tertentu. Pada
pasien lanjut usia, atropi papila lidah dianggap sebagai perubahan akibat
pertambahan usia

Gambar 2.11 Bald Tongue


2.2.6.9 Scalloped Tongue
Scalloped tongue adalah suatu keadaan yang ditandai oleh lekukanlekukan pada tepi lateral lidah. Tekanan abnormal dari gigi-gigi pada lidah
mencetak pola tertentu yang tampak sebagai oval-oval cekung yang
dibatasi tepi seperti kerang yang putih dan timbul. Keadaan tersebut
biasanya lateral, tetapi dapat unilateral atau terisolasi pada daerah dimana
lidah berkontak erat dengan gigi-gigi. Penyebabnya meliputi keadaankeadaan yang dapat menyebabkan tekanan abnornal pada lidah seperti
gesekan dari lidah terhadap gigi dan diastema, kebiasaan menjulurkan
lidah, mengisap lidah, clenching atau lidah yang membesar.
18

Gambar 2.12 Scalloped Tongue


2.2.6.10 Macroglossia
Macroglossia adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan
lidah yang membesar secara abnormal. Macroglossia merupakan kelainan
kongenital atau acquired. Indikator macroglossia adalah kesulitan bicara,
gigi-gigi yang bergeser, maloklusi atau scalloped tongue. Seringkali daerah
lidah yang bersangkutan menunjukkan papila-papila fungiformis yang
membesar.

Gambar 2.13 Macroglosia


19
2.2.6.11 Ankyloglossia

Ankyloglossia adalah suatu kondisi yang mengacu pada pendeknya


frenulum lingual secara kongenital atau perlekatan frenulum yang meluas
hingga mencapai ujung lidah, mengikat lidah ke dasar mulut dan
membatasi pemanjangan lidah tersebut. Ankyloglossia yang sudah parah
sering menyebabkan diastema midline mandibular, kerusakan periodontal
lingual mandibular, dan kesulitan bicara. Lidah tidak dapat protrusi
melewati insisivus dan tidak dapat menyentuh palatum. Perlekatan dapat
terjadi sebagian atau seluruhnya. Perlekatan sebagian lebih sering terjadi.

Gambar 2.14 Ankyloglossia

2.2.7 Penatalaksanaan
Tujuan

pengobatan

adalah

untuk

mengurangi

peradangan.

Perawatan biasanya tidak memerlukan rawat inap kecuali lidah bengkak


sangat parah. Kebersihan mulut sangat perlu, termasuk menyikat gigi
menyeluruh setidaknya dua kali sehari dan flossing sedikitnya setiap hari.
Kortikosteroid seperti prednisone dapat diberikan untuk mengurangi
peradangan glositis. Untuk kasus ringan, aplikasi topical (seperti berkumur
prednisone yang tidak ditelan) mungkin disarankan untuk menghindari
efek samping dari kortikosteroid ditelan atau disuntik. Antibiotik, obat anti
20

jamur atau anti mikroba lainnya mungkin diberikan jika penyebab glositis
adalah infeksi. Bila penyebabnya adalah defisiensi besi, maka diperlukan
supplement yang memadai yaitu harus diberikan zat besi yang merupakan

ciri defisiensi utama dari glossitis ini. Hindari iritasi (seperti makan panas
atau

pedas,

alkohol

dan

tembakau)

untuk

meminimalkan

ketidaknyamanan.
2.2.8 Komplikasi
Komplikasi pada glositis antara lain bisa terjadi kegelisahan pada
penderita, penyumbatan jalan nafas, kesulitan berbicara, kesulitan
mengunyah atau menelan, bahkan pada kondisi yang berat bisa terjadi
peradangan lidah yang kronis.
2.2.9 Pencegahan
Pencegahan pada glossitis bisa dilakukan dengan cara;

Menjaga kesehatan mulut dengan baik (sikat gigi yang baik dan benar)
Flossing dan pembersihan professional regular dan pemeriksaan yang

rutin
Minimalkan iritasi atau cedera mulut bila memungkinkan
Hindari penggunaan berlebihan makanan atau zat yang mengganggu
mulut atau lidah

2.2.10 Prognosis
Dalam beberapa kasus, glositis bisa menyebabkan lidah bengkak
yang dapat menghambat jalan nafas. Dan umumnya jika penyebab yang
mendasari bisa teratasi prognosis pada glossitis cukup baik.

21

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Kasus Pertama


The Prevalence of Median Rhomboid Glossitis in Diabetic Patiens
(J Ghabanchi, A Andisheh Tadbir, R Darafshi, M Sadegholvad, Department
of Oral Medicine, Departement of Oral Pathology, Departement of Oral
Prosthodontics, Dental School, Shiraz University of Medical Sciences,
22
Dentist,
Iran).

Subyek pada studi ini adalah 202 pasien berkebangsaan Iran dengan DM
(tipe 2 dan tipe 2) berusia 10 86 tahun. Mereka semua dirujuk dari Departemen
Valfajr Clinic dan Oral Medicine di Shiraz Medical School (Shiraz, Iran).
Kontrol adalah 261 subyek sehat berusia 10 82 tahun tanpa tanda dan gejala
penyakit tertentu yang dipasangkan/disesuaikan menurut jenis kelamin dan usia.
data mengenai usia, jenis kelamin, lamanya DM, obat yang digunakan, dan data
paraklinis mencakup GDP, HbA1C dan G2PP, 4 sore, 11 pagi dicatat pada
pasien dengan DM.
Semua subyek diinformasikan mengenai sifat penelitian dan persetujuan
untuk berpartisipasi dengan menandatangani formulir bebas dan informed
consent. Subyek diperiksa secara klinis oleh dua pemeriksa terlatih menggunakan
cahaya buatan, cermin mulut, kasa, dll.; diagnosis dibuat berdasarkan ciri klinis,
menurut panduan WHO. Hasil dianalisis dengan perangkat lunak SPSS (Versi
11.5, Chicago, IL, USA), dan uji T, Chi-Square dan Fisher Exact digunakan
untuk membandingkan hasil.
Hasil
Total 463 individu, mencakup 202 pasien dengan DM (51 laki-laki dan 151
perempuan) dan 261 kontrol (76 laki-laki dan 185 perempuan) direkrut dalam
studi ini. Rerata usia kelompok DM adalah 56,111,2 tahun dan kelompok kontrol
sebesar 54,5 13,4 tahun. Pada studi ini, pemeriksaan mengindikasikan bahwa 13
(6,43%) dari pasien diabetes dan 4 (1,53%) dari kelompok kontrol memiliki
MRG (gambar 1). Empat (7,84%) subyek diabetes laki-laki dan 5,9% (n=9)
subyek diabetes perempuan memiliki MRG. Gambaran ini adalah masing-masing
1,13% (n=1) dan 1,62% (n=3) pada kelompok kontrol.

23

Terdapat sebuah perbedaan signifikan dalam prevalensi MRG, antara


pasien dan kontrol (p=0,005). MRG tidak menunjukkan hubungan dengan
variabel-variabel lain (usia, jenis kelami, lamanya DM, obat-obatan, GDP, A1c)
(tabel 1). Salah satu subyek pada kelompok kontrol menunjukkan lesi kissing pada
langit langit mulut.
Tabel 1. Data yang dicatat pada pasien diabetes dengan dan tanpa MRG
Parametes
Usia
Lamanya DM
Glibenclamid
Metformin
Glutazone
Acarbose
Kadar insulin
GDP
HbA1c

MRG (+)
47,3811,2
10,548,2
8
5
0
0
4
235118
9,250,44

MRG (-)
50,9613,9
9,27,9
88
93
25
18
56
18178
8,61,6

Nilai p
0,3
0,5
0,3
0,4
0,1
0,2
0,9
0,1
0,4

Diskusi
Diabetes melitus adalah salah satu gangguan kelenjar endokrin yang
paling umum dengan distribusi global, terjadi pada 1 2% populasi dunia, dan
lebih prevalen di negara dengan tingkat kesejahteraan yang baik karena mereka
memiliki akses yang lebih baik akan makanan yang berkalori tinggi. Diabetes
24
adalah sebuah faktor risiko untuk patologi oral meliputi ginggivitis, periodontitis,
kandidiasis, liken planus oral, lesi premaligna seperti leukoplakia dan malignansi

oral. Pada studi ini prevalensi MRG pada pasien diabetes adalah sebesar 6,43%
dibandingkan 1,53% pada kelompok kontrol. Hal ini terjadi secara signifikan
lebih sering pada subyek kami yang memiliki DM dibandingkan dengan subyek
kontrol dan prevalensinya serupa dengan studi lain di Iran yang melaporkan
prevalensi MRG sebesar 7% pada pasien diabetes.
Guggenheimer dkk. melaporkan bahwa subyek dengan diabetes melitus
tergantung insulin (IDDM) dibandingkan subyek kontrol tanpa IDDM (15,1%
berbanding 3,0%) ditemukan memiliki manifestasi klinis kandidiasis, meliputi
MRG, stomatitis gigi palsu dan angular chelitis. Prevalensi MRG adalah sebesar
7% pada studi mereka yang mana serupa dengan studi ini. Farman menemukan
bahwa lesi atrofik pada lidah ditemukan pada 26,4% pasien diabetes dan 91,7%
lesi ini adalah MRG. Mereka melaporkan bahwa prevalensi MRG pada pasien
diabetes jauh lebih tinggi dibandingkan MRG yang ditemukan pada penelitian
penelitian sebelumnya diantara populasi populasi lain. Mereka menyarankan
bahwa pasien dengan MRG sebaiknya diskrining untuk menghilangkan
kemungkinan diabetes melitus sebagai penyebab yang mendasari.
Ponte dkk. melaporkan bahwa diantara manifestasi inflamasi dari mukosa
oral yang ditemukan pada diabetes, glositis berhak mendapat perhatian khusus.
Kemungkinana sebagai akibat dari frekuensi infeksi Candida albicans yang lebih
tinggi dan perubahan mikrovaskuler, diabetes memiliki frekuensi lesi atrofik lidah
yang lebih tinggi (atrofi papilar sentral) dan lidah geografika (geographic
tongue). MRG diketahui sebagai manifestasi kandidiasi kronis.
Telah diketahui dengan baik bahwa diabetes yang tidak terkontrol
menimbulkan kecenderungan untuk terkena bebagai infeksi superfisial dan
sistemik. Dan kandidiasi oral khususnya dianggap lebih sering ditemukan pada
individu- individu ini. Perjalanan infeksi juga lebih rumit pada kelompok pasien
ini.
Mekanisme

tentang

bagaimana

diabetes

membuat

kecenderungan

terjadinya infeksi kandidiasis menjadi tinggi masih belum diketahui dengan pasti.
Akan tetapi, telah diketahui secara luas bahwa kadar glukosa yang tinggi pada
25
saliva pada pasien diabetes mendukung pertumbuhan jamur, tetapi Quirino dkk.
menghubungkan

tingginya

frekuensi

infeksi

Candida

albicans

dengan

hiposalivasi. Pada studi ini, 7,84% pasien diabetes laki-laki dan 5,9% pasien
diabetes perempuan memiliki MRG dan MRG tidak menunjukkan hubungan
dengan variabel variabel lain (usia, jenis kelamin, lamanya DM, obat, GDP, dan
A1C).
Hoseinpoor menunjukkan bahwa tidak ada laki-laki dan 8,6% perempuan
memiliki MRG. Guggenheimer dkk. melaporkan subyek diabetes dengan MRG
lebih cenderung memiliki durasi IDDM yang lebih lama dan MRG juga secara
signifikan berhubungan denga usia yang lebih muda, jenis kelamin laki-laki dan
komplikasi nefropati dan retinopati. Pada studi ini, prevalensi MRG pada pasien
MRG ditemukan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol.
Diabetes adalah penyakit yang umum dan menyebabkan komorbiditas
multipel. Patologi oral adalah komplikasi diabetes yang akan membawa pasien ini
kepada perhatian dari praktisi kesehatan oral. Banyak dari individu ini akan
memiliki diabetes yang tidak terdiagnosis atau diabetes yang tidak terkontrol, dan
dokter kedokteran oral (dokter gigi mulut) dapat sangat penting dalam membuat
konseling diagnosis pasien terkait pentingnya kontrol diabetes dan merujuk pasien
ke ahli endokrinologi untuk tatalaksana lebih lanjut.
Untuk alasan inilah, dokter kedokteran oral dapat memiliki dampak mayor
baik pada diagnosis maupun kontrol dari penyakit yang cukup umum ini, dan
karenanya dapat meningkatkan kehidupan individu dengan diabetes.

3.2 Kasus Kedua


Treatment of Geographic Tongue Superimposing Fissured Tongue: A
literature review with case report
(Jaleleddin H Hamissi, Mahsa EsFehani, Zahra Hamissi).
26
Seorang perempuan berusia 38 tahun datang ke klinik swasta di Qazniv,
Iran. Dia memiliki riwayat enam tahun dengan nyeri alami kontinyus ringan

hingga sedang dan rasa terbakar pada lidah yang menjadi parah bila memakan
makanan yang asam atau pedas dan membaik dengan obat obatan. Dia juga
mengeluh rasa tidak nyaman saat mengunyah. Tidak ada riwayat alergi,
penggunaan antibiotik dan tidak ada riwayat keluarga dengan lidah geografik dan
psoriasis. Pasien memberikan riwayat negatif terhadap gejala apapun di lidah atau
lesi lain yang serupa pada anggota keluarga dekat. Berdasarkan riwayat pasien
dan pemeriksaan klinis, diagnosis sementara fisura lidah ditemukan. Aspek dorsal
dari lidah pasien menunjukkan tampilan lekukan lekukan berbatas tegas yang
memiliki sebuah tampilan bercabang berkaitan dengan adanya zona eritematosa
gundul lokal dikelilingi oleh tepi serpeertin yang sedikit meninggi, berwarna putih
kekuningan.
Riwayat penyakit terdahulu tidak memihak pada berbagai macam obatobatan, seperti vitamin B12, intrakonazol dan anti inflamasi non-steroid (AINS).
Pemeriksaan klinis umum menunjukkan pasien dalam keadaan normal.
Pemeriksaan darah rutin menunjukkan anemia ringan. Pemeriksaan ekstra-oral
menunjukkan morfologi fasial normal, tidak ada lesi kulit yang terlihat.
Pemeriksaan intra-oral menunjukkan higienitas oral baik, halitosis oral ringan dan
lesi yang melekuk dalam pada permukaan dorsal lidah dengan sisa makanan yang
terperangkap.

Gambar 1. Menunjukkan lidah dengan fisura

27

Gambar 2. Lidah geografik yang menumpuk lidah dengan fisura.


Pemeriksaan Klinis
Pada pemeriksaan lidah, sekelompok lempeng halus, merah muda kemerahan,
atropik, atau terdepapilasi pada dorsum atau tepi lateral lidah ditemukan.
Lempeng-lempeng ini sering kali memiliki tepi kuning yang sedikit meningkat,
tipis (gambar 1 dan 2). Hanya untuk membedakannya dari lesi oral yang serupa
seperti psoriasis, sindrom Reiter, glositis, liken planus dan lupus eritematosa pada
kulit kepala, rambut, telapak tangan, kuku, telapak kaki dan mata diperiksa tetapi
tidak ada kelainan yang ditemukan.
Kasus
Etiologi dan penyebab lidah geografik tidak diketahui dengan pasti hingga saat ini
dan kepustakaan melaporkan faktor presdisposis yang bermacam macam. Lidah
geografik biasanya tidak menimbulkan gejala, dan pada kasus dengan gejala,
sebuah kebiasaan oral Parafungsional mungkin merupakan faktor yang terkait.
Orang yang memiliki lidah geografik mungkin menunjukkan erosi pada sisi-sisi
lidah (crenated tongue). Beberapa studi mengajukan bahwa faktor hormonal
mungkin terlibat, karena satu laporan kasus pada seorang perempuan tampaknya
bervariasi dalam tingkat keparahan dalam kaitannya dengan penggunaan
kontrasepsi oral. Orang dengan lidah geografik sering kali mengaku bahwa
kondisi mereka memburuk selama periode stress psikologis. Ini mungkin secara
28
berlawanan terkait dengan merokok dan penggunaan tembakau. Kadang kala
kondisi ini diturunkan dalam keluarga; dilaporkan dikaitkan dengan beberapa gen

yang berbeda, meskipun studi menunjukkan hubungan familial mungkin juga


disebabkan oleh diet yang serupa. Beberapa melaporkan hubungan dengan human
leukocyte antigens, seperti peningkatan insiden HLA-DR5, HLA-DRW6 dan
HLA-Cw6 dan penurunan insiden HLA-B51.
Defisiensi vitamin B2 (aribloflavinosis) dapat menyebabkan beberapa
tanda pada mulut, kemungkinan meliputi lidah geografik, meskipun sumber lain
menyatakan bahwa ini tidak berkaitan dengan defisiensi nutrisional. Fisura lidah
sering terjadi bersamaan dengan lidah geografik, dan beberapa studi
mempertimbangkan fisura lidah sebagai stadium akhir dari lidah geografik.
Dahulu beberapa peneliti menyarankan bahwa lidah geografik dikaitkan dengan
diabetes, dermatitis seboroik dan atrofi, akan tetapi penelitian lebih baru tidak
menguatkan temuan ini. Beberapa studi melaporkan sebuah hubungan antara lidah
geografik dan psoriasis, meskipun 90% anak anak yang didiagnosis dengan
lidah geografik tidak mengalami psoriasis. Namun sekali lagi, penelitian modern
tidak mendukung adanya suatu hubungan antara psoriasis dan lidah geografik.
Lesi yang secara histologi tidak dapat dibedakan dari lidah geografik
mungkin juga didiagnosis pada artritis reaktif (artritis, uveitis/kongjungtivitis dan
uretritis). Dilaporkan terdapat sebuah hubungan antara stres dan lidah geografik.
Terlebih lagi, terjadinya kondisi yang sama pada kedua kembar monozigotik
mengindikasikan kemungkinan peran faktor genetik dan ini membutuhkan
penelitian lebih lanjut. Terdapat banyak faktor risiko yang telah dilaporkan untuk
lidah geografik seperti: gangguan hormonal, penggunaan kontrasepsi oral,
diabetes melitus juvenile, proriasis pustular; kondisi alergi seperti atopy hay fever
dan rhinitis; lidah dengan fisura; sindroma Robinow; sindroma Reiter; Sidroma
Dowm; faktor faktor psikologis; defisiensi nutrisi, terapi litium; predisposisi
familial; sindroma hidrantoin fetal, sindroma Aarskog.
Diskusi
Lidah geografik dinyatakan sebagai sebuah kondisi inflamasi benigna. Ini
dicirikan sebagai sebuah lesi eritematosa dengan atrofi papilla filiformis dan
29
penipisan epitelium, tepi putih disekitar lesi ini merujuk pada papilla filiformis
yang beregenerasi. Secara umum, fisura lidah berkaitan dengan sindroma Down,

akromegali, psoriasis, dan sindrom Sjgren. Lidah terbakar juga memiliki etiogi
yang tidak diketahui dan tampaknya mengenai perempuan 7 kali lebih sering
dibandingkan laki-laki.
Sinonim lidah geografik meliputi glositis migratori benigna, annulus
migran atau ruam mengembara pada lidah. Kejadian lidah geografik pada populasi
umum berentang antara 1,0 hingga 2,5% dan lebih sering pada dewasa dibanding
anak-anak. Tidak ada bukti konklusif mengenai predileksi jenis kelamin yang
dilaporkan. Penyebab spesifik lidah geografik masih belum diketahui. Berbagai
macam faktor etiologi yang telah direkomendasikan dalam kepustakaan meliputi
alergi, stres emosional, dan kondisi sistemik seperti diabetes dan psoriasis. Tidak
ada faktor etiologis yang diajukan memberikan sebuah bukti definitif mengenai
suatu hubungan kausal.
Situasi lain yang berkaitan dengan patologi ini adalah defisiensi vitamin B,
pemicu oleh makanan tertentu seperti keju, anomali kongenital, asma, rinitis,
penyakit sistemik seperti psoriasis, anemia, gangguan gastrointestinal, kandidiasi,
liken planus, ketidakseimbangan hormonal, kondisi psikologis, dll. Banyak
literatur mengenai lidah geografik telah tersedia. Satu kasus didiskusikan disini.
Prevalensi tampilan penyakit ini penting diketahui dan bervariasi dari satu
wilayah ke wilayah lain dan studi yang dilakukan di wilayah-wilayah tersebut.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Go swami, prevalensi lidah geografik
berkisar antara

1,0 2,5% pada populasi studi. Pada studi studi lainnya

melaporkan pevalensi sebesar 4,8% pada populasi Jordanian.


Investigasi membuktikan bahwa tidak ada predileksi ras spesifik atau
perbedaan yang ditemukan pada studi mereka. Lokasi yang paling banyak terkena
adalah lidah, namun, jaringan lunak mukosa oral lainnya dapat terkena. Mayoritas
pasien yang terkena adalah asimtomatis. Akan tetapi, rasa tidak nyaman
mencakup sensasi tubuh yang asing hingga gatal sampai sensasi terbakar yang
hebat, yang mungkin kadang kala mengganggu saat makan atau tidur. Selain itu,
beberapa pasien mengaitkan merokok dan makanan berbumbu atau pedas sebagai
faktor pemicu. Lidah geografik telah dilaporkan dengan insiden yang meningkat
30
pada pasien dengan psoriasis dan pada pasien dengan fisura lidah. Pada kasus
yang jarang, dimana terjadi nyeri yang signifikan dan/atau persisten, penggunaan

Cyclosporine sistemik atau aplikasi topikal salep takrolimus 0,1% untuk


meredakan gejala, telah dilaporkan. Pengobatan anti jamur diberikan jika
kandidiasis sekunder dicurigai. Pada kasus ini, terapi simtomatis dengan lignokain
topikal dan mengurangi asupan makanan asam atau pedas disarankan.
Terapi
Pasien biasanya tidak membutuhkan terapi selain untuk memberikan kenyamanan.
Berbagai terapi simtomatis telah dicoba dan meliputi cairan, asetaminofen,
pembilasan mulut dengan agen anestesi lokal, antihistamin, anxiolytics dan
steroid. Edukasi nutrisi dan modifikasi diet disarankan. Pasien diberikan terapi
oral besi zink. Pasien disarankan untuk menjaga higienitas lingual dengan
menggosokan lidah 10 kali baik dengan sikat gigi yang lembut atau pengerok
lidah setelah makan, kerokan untuk mencegah makanan terakumulasi pada lidah.
Saat sebelum tidur tambahkan dengan pencuci mulut (larutan Chlorhexidine
gluconate 0,2%) yang diresepkan dengan ditambah 10 mL cairan, 2 kali sehari
selama 1 menit dan secara ketat patuh pada instruksi higienitas oral. Pasien
memiliki perbaikan simtomatik dengan terapi. Terapi vitamin A menghasilkan
perbaikan parsial pada beberapa pasien. Faktor topikal yang memicu gejala pasien
seperti makanan yang sangat panas, pedas atau asam, dan kacang asin yang
dikeringkan sebaiknya dihindari.
Pasien diresepkan dnegan pencuci mulut benzydamine hydrocholride
untuk mengurangi gejala. Pada kunjungan kedua terjadi perbaikan pada gejala
pasien
Kesimpulan
Lidah geografik biasanya asimtomatis dan kondisi ini menghasilkan
karakteristik pola migratori pada dorsum dari lidah. Ini adalah kondisi yang jinak
yang tidak akan berkembang menjadi malignansi. Meskipun etiologu lidah
geografik masih belum jelas hingga sekarang, kondisi ini tidak dapat dicegah,
faktor psikosomatik dan genetik tampak memerankan peranan signifikan pada
31
etiologinya. Satu satunya komplikasi adalah karena rasa tidak nyaman akibat
tampilan klinis yang menetap dan kekambuhan yang sering setelah penyembuhan.

Akan tetapi, disarankan untuk meningkatkan kebersihan oral optimal dan


mencegah kontak dengan faktor lokal yang dapat mempresipitasi gejala seperti
makanan pedas dan asam, alkohol, iritan dalam pasta gigi dan pencuci mulut.
Pemeriksaan yang hati-hati dan investigasi direkomendasikan untuk
menyingkirkan faktor etiologi yang mungkin. Menenangkan pasien dan follow-up
baik pada pasien muda maupun dewasa harus dilakukan, sehingga protokol terapi
yang tidak perlu dapat dihindari. Dan juga studi follow-up jangka panjang
sebaiknya diinisiasi untuk mengetahui perjalanan penyakit, durasi penyakit dan
luaran yang mungkin dari berbagai modalitas terapi yang tersedia di masa yang
akan datang.
3.3 Kasus Ketiga
Benign Migratory Glossitis : A Rare Presentation of a Common Disorder
(Tarun Kumar, Gagan Puri, Konidena Aravinda, Neha Arora, Departement
of Oral Medicine and Radiology, Swarni Devi Dyal Hospital and Dental).
Seorang pasien perempuan berusia 2,5 tahun [Gambar 1] dibawa ke
Departemen Kedokteran Mulut dan Radiologi Rumah Sakit Swami Devi Dyal dan
Dental College, dengan keluhan utamanya berupa adanya patch berwarna putih
pada lidah sejak 6 bulan yang lalu. Ibunya menyebutkan adanya riwayat
perubahan ukuran, bentuk, dan lokasi dari patch-patch ini pada bagian dorsum
lidah semenjak perkembangannya. Ibunya menyatakan patch ada selama 5-7 hari
dan mengalami regresi spontan dengan periode remisi dalam 10-15 hari. Riwayat
medis dan dental tidak bersifat kontributif, Pada pemeriksaan fisik umum, anak
ini tidak menunjukkan adanya keterlibatan organ secara sistemik.

32

Gambar 1: Tampilan depan


Pada pemeriksaan intraoral, anak tersebut menunjukkan adanya dua lesi
eritematosa, berbentuk oval, masing-masing berukuran sekitar 2,5 x 1,5 cm dan 2
x 1 cm, pada dimensi maksimumnya, yang melapisi hampir seluruh dorsum lidah
dan batas lateral kanan dari lidah [Gambar 2]. Lesi tersebut memiliki tepi circinate
keputihan yang meninggi dengan batas irregular yang dikelilingi dengan
gambaran halo eritematosa disekitarnya. Lesi menunjukkan adanya area
depapilisasi dengan hilangnya papila filiformis. Lesinya tidak menunjukkan
adanya pengeluaran cairan. Pada saat dilakukan palpasi, sluruh temuan inspectory
dapat dikonfirmasi. Lesi tersebut ridak lembut dan tidak dapat dikepingkan/nonscrapable. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis kerja dari
glositis jinak yang berpindah / benign migratory glossitis (BMG) dapat
dipertimbangkan.

Gambar 2: Manifestasi klinis dari lesi


33

Sitologi eksfoliatif dilakukan untuk mengetahui sifat dari lesi. Hapusan

sitologi dipersiapkan dan pengecatan Papanicolau (PAP) menunjukkan adanya

Candida pada hapusan. Tidak terdapat tanda dysplasia selular pada pemeriksaan
sitologi. Pemeriksaan darah menunjukkan tidak adanya tanda neutropenia. Ibu
dari pasien meyakinkan tentang perjalanan kondisi anak dan disarankan untuk
melakukan kontrol rutin setiap 6 bulan [Gambar 3].

Gambar 3: Lesi menunjukkan adanya regresi


Diskusi
Benign Migratory Glossitis atau lidah geografis merupakan kelainan jinak yag
umum dengan etiologi yag masih belum diketahui. Epitel dari lidah kehilangan
papila fliformis yang memicu terjadinya lesi seperti ulkus halus yang dengan
cepat berubah dari segi warna dan ukuran. Lesi pada umumnya terjadi pada batas
ujung, lateral, dan dorsum dari lidah. Prevalensinya berkisar antara 1,0% sampai
2,5%. Berdasarkan publikasi Jainkttivong dan Langlais, insiden tertinggi dari
lidah geografis pada kelompok usia 20-29 tahun. Dilaporkan angka kejadian lebih
tunggu pada wanita. Jainkttivong dan Langlais menmukan angka yang lebih tinggi
pada perempuan (1,5:1) pada usia antara 9 sampai 79 tahun dalam sebuah
populasi di Thailand. Pada kasus ini, pasien perempuan berusia 2,5 tahun. Kondisi
ini sangat jarang terjadi pada kelompok usia ini, meskipun memang lebih umum
terjadi perempuan. Penyakit ini dicirikan dengan adanya periode eksaserbasi dan
remisi selama lesi tersebut sembuh tanpa adanya pembentukan jaringan parut
residual.
Periode remisi ini dapat terjadi dalam hitungan hari, bulan, atau tahun.
34
Manifestasi klinis

Sebagian besar pasien asimptomatik, namun beberapa pasien mengeluhkan


sensasi nyeri dan terbakar dan juga berkurangnya kemampuan dalam mengecap.
Nyeri tekan datau sensasi terbakar mengganggu fungsi dari lidah. Selama masa
eksaserbasi, lesi-lesi tersebut dapat disertai dengan rasa tidak nyaman dalam
mulut, rasa terbakar, sensasi adanya benda asing atau nyeri paroksismal pada
telinga atau pada kelenjar getah bening submandibular ipsilateral. Karakteristik
lesi dari lidah geografis terlihat pada dua pertiga anterior dari batas dirsal dan
lateral dan lebih jarang pada permukaan ventral. Lesi klasik dari lidah geografis
ialah adanya tepi putih yang meninggi dimana papila filiformis terlihat
membengkak dan terlihat hampir tergabung, Tepi keputihan ini biasaya berukuran
1-2 mm, yang mengelilingi area atropi yang eritematosa dengan hilangnya
gambaran papila filiformis. Ukuran dari tiap lesi bervariasi dari 0,5 cm sampai
diameter yang lebih besar.
Proses yang serupa dengan lidah geografis terjadi pada area lain dari
mukosa mulut yang disebut sebagai lidah geografis ektopik. Hal ini
dideskripsikan pertama kali oleh Cooke (1955) dengan keadaan yang lebih
dikenal sebagai eritema migrans. Di dalam literatur, beberapa nama lainnya juga
digunakan untuk menyebut kondisi ini, seperti stomatitis geografis, dan stomatitis
yang bermigrasi. Perlu ditekankan bahwa lidah geografis ektopik merupakan
proses yang sama dengan lidah geografis yang melibatkan area lain dari mukosa
mulut.
Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan
laboratorium rutin pada lesis basanya tidak diperlukan, karena sifat alami penyakit
yang bersifat jinak, namun pemeriksaan ini dapat berguna untuk meyakinkan
pasien, utamanya yang memiliki ketakutan besar pada kanker. Sitologi eksfoliatif
dilakukan pada kasus ini yang menunjukkan asosiasi candida pada lesi. Hal ini
mungkin dikarenakan karena Candida albicans merupakan penghuni rongga
mulut yang normal/flora normal.
35
Diagnosis Banding

Diagnosis bandingnya meliputi candidiasis, psoriasis, sindrom Reiter, leukoplakia,


liken planus, systemic lupus erythematosis, herpes simpleks, dan reaksi obat. Pada
anak-anak, keadaan seperti trauma lokal, reaksi kimia, dan neutropenia berat harus
dieksklusi.
Pengobatan
Pasien biasanya tidak memerlukan terap selain terapi reassurance. Faktor topical
yang memicu eksaserbasi gejala pasien seperti makanan sangat panas, pedas, atau
bersifat asidik, dan kacang kering asin, merupakan makanan yang harus dihindari.
Berbagai terapi simptomatis telah dicoba yang meliputi terapi cariran,
acetaminophen, berkumur dengan agen anestesi topical, antihistamin, anxiolytic,
dan steroid. Helfman melaporkan hasil kepuasan pasien pasca mengobati tiga
pasien dengan tetinoin topical. Terapi vitamin A menghasilan perbaikan parsial
pada beberapa pasien. Abe dkk melaporkan perbaikan yang jelas pada wanita
berusia 54 tahun yang mengalami BMG nyeri dan persisten selama 5 tahun yang
menggunakan terapi cyclosporine sistemik. Terapi pre-konsentrat mikroemulsi
cyclosporine sistemik sebanyak 3 mg/kg/hari menunjukkan perbaikan yang
memuaskan. Dua bulan kemudian, pasien mulai menerima terapi pemeliharaan
menggunakan pre-konsentrat mikroemulsi cyclospori dengan dosis sebanyak 1,5
mg/kg/hari.
Kesimpulan
Benign Migratory Glossitis atau lidah geografis merupakan penyakit jinak yang
umum dengan etiologi yang belum diketahui. Manifestasi klinisnya dapat
bervariasi dari asimptomatik sampai adanya ulkus dengan sensasi nyeri dan
terbakar. Kondisi ini harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding penyakit
dengan gambaran lesi merah dan putih bahkan pada kelompok usia muda.
Manajemen dari lidah geografis bergantung pada manifestasi klinisya dan
diperlukan pemberian pengertian pada pasien/meyakinkan pasien, utamanya yang
takut akan kemungkinan kanker, mengenai sifat jinak dari penyakit ini
36
3.4 Kasus Keempat

Recurrent Trichosporan asahii Glossitis


( Ban Tawfeek Shareef, BDS, MSc; Azian Harun, MBBS, M. Path; Yusof
Roziawati, DMLT ; Ismail Shaiful Bahari, MBBS, M. Med; Zakuan Zainy
Deris; MBBS, M.Path; Manickam Ravichandram, PhD).
Seorang pasien berjenis kelamin laki-laki berusia 36 tahun datang pada
Klinik Kedokteran Mulut, Universitas Sains Malaysia dengan keluhan utama
sensasi terbakar dan terdapat dua daerah kemerahan pada dorsal lidah selama
durasi tiga bulan. Pada peninjauan sejarah medisnya, pasien diketahui memiliki
asma bronkal dan sedang menggunakan inhalasi steroid regular, budesonide, suatu
kortikosteroid sintetis, dua kali sehari selama delapan tahun terakhir. Pemeriksaan
mulut mengungkapkan bahwa terdapat dua daerah eritema depapilasi atrofi pada
dorsal lidah; batasan-batasan lesi tidak menunjukkan berbagai indurasi (Gambar
1).
Suatu infeksi jamur diduga, dan pasien diresepkean suatu suspensi
Nystatin oral (500.000 IU) empat kali sehari selama 14 hari. Pada pemeriksaan
berkala lesi tersebut menunjukkan regresi parsial dan gejala-gejala pasien agak
membaik. Investigasi laboratorium dilakukan untuk mengidentifikasi jamur serta
untuk mencari penyakit medis utama lainnya.

Gambar 1. Lesi Depapilasi Atrofi pada mid-dorsal Lidah


Kerokan pada lesi lidah diajukan untuk penyelidikan secara mikrobiologi.
Berbagai
investigasi hematologi dan imunologi diminta untuk menyingkirkan
37
penyakit sistemik utama lainnya seperti anemia, diabetes mellitus, dan sindrom
imunodefisiensi yang diperoleh (AIDS). Setelah konsultasi dengan dokter pasien

berkaitan dengan kondisi medisnya, perngobatan diubah menjadi kombinasi


budesonide dan formoterol (Symbicort), suatu agonis beta-2, dosis sekali sehari.
Budesonide dalam kombinasi dengan formoterol dipergunakan untuk mengurangi
dosis steroid (budesonide) dari dua kali menjadi sekali sehari.
Baik pemeriksaan hematologi maupun imunologi mengungkapkan tidak
terdapat kelainan. Pemeriksaan mikroskopis pada lesi-lesi dengan menggunakan
pengecatan Giemasa menunjukkan kehadiran hifa bersepta menyerupai bata dan
sel-sel epitel deskuamasi. Koloni ragi ditemukan dari specimen setelah 48 jam
inkubasi pada suhu 30OC dalam agar dekstorsa Sabouraud (SDA) (BBL Sistem
Mikrobiologi, Cokeysville, MD, USA) yang mengungkapkan pertumbuhan cepat,
lembut, koloni berwarna putih dimana menjadi berkerut dengan waktu dan
menunjukkan penumpukan yang khas pada pusatnya. Koloni-koloni dari kultur
SDA 48 jam dievaluasi terhadap hal-hal berikut:
-

Sensitivitas

terhadap

cycloheximide,

yang

ditentukan

oleh

pertumbuhannya pada agar Mycosel (BBL Sistem Mikrobiologi)


-

Pertumbuhannya pada suhu 37o, 42o, dan 45oC pada agar dekstrosa
Sabouraud

Aktivitas urease pada media urea Christensen

Pola-pola asimilasi karbohidrat dan nitrogen dengan rata-rata pada sistem


asimilasi ragi API 20C AUX (bioMrieux, France)

Pengujian kerentanan antifungi secara In vitro oleh Etest (AB Biodisk,


Solna, Sweden)

Sebuah kultur kaca preparat pada agar cornmeal-Tween (Laboratorium Difco,


Detroit, M|, USA) menunjukkan suatu morfologi khas pada artrokonidia dan
blastokonidia (Gambar 2). Isolasi jamur diidentifikasi sebagai Trichosporon
asahii berdasarkan pada morfologi khas, produksi urease, dan profil yang sesuai
pada API 20C AUX dengan nilai kepercayaan 99%.
Pengobatan Definitif
Pengobatan untuk lesi mulut dimodifikasi berdasarkan pada temuan mikrobiologi
38
dan fluconazole oral 100 mg sekali sehari selama dua mingu diresepkan. Resolusi
penuh pada lesi lidah diperoleh. Akan tetapi, berbagai lesi kambuh kembali tiga

bulan kemudian. Pengujian kerentanan antifungi menunjukkan resistensi


Trichosporon asahii terhadap fluconazole dan suatu penurunan aktivitas
fluconazole namun kerentanan terhadap voriconazole. Oleh karena itu, sebuah
pengujian menggunakan voriconazole dengan dosis awal 400 mg diikuti dengan
200 mg dua kali sehari selama dua minggu diresepkan pada pasien yang secara
berhasil mengeradikasi infeksi jamur. Pasien telah terbebas dari gejala glositis
hampir dua tahun sejak waktu laporan ini dimuat.

Gambar 2. Sebuah gambar menunjukkan artrokonidia dan blastokonidia


Trichosporon asahii pada kultur kaca preparat menggunakan agar tepung jagung.
Diskusi
Trichosporon asahii telah muncul sebagai suatu patogen jamur oportunistik dan
telah berdampak dalam sejumlah kondisi klinis, mulai dari infeksi kulit superfisial
hingga keterlibatan sistemik yang sangat mematikan. Sebuah tinjauan pustaka
mengungkapkan ketiadaan berbagai laporan pada Trichosporon asahii yang
ditemukan kembali dari pasien dengan glositis. Laporan saat ini tampak menjadi
yang pertama dalam literatur. Diagnosis berdasarkan pada identifikasi profil yang
diperoleh menggunakan sistem API 20C AUX, berbagai isolasi koloni, dan
morfologi mikroskopis jamur ditemukan kembali dari spesimen pasien
teridentifikasi sebagai Trichosporon asahii.
Karena pasien dalam keadaan pengobatan steroid inhalasi (budesonide),
resiko
kolonisasi jamur dan infeksi berikutnya secara relatif tinggi. Brightman dan
39
Sapp menetapkan suatu peningkatan frekuensi infeksi orofaring oleh spesies
Candida karena terapi steroid topikal dan sistemik sebagai salah satu faktor resiko

yang meningkatkan kemungkinan infeksi. Epstein mengusulkan mukosa lidah


mungkin menunjukkan suatu penampung berbagai organisme yang meningkatkan
kolonisasi residual dan baik steroid sistemik dan lokal meningkatkan resiko
kandidiasis dengan mempermudah perubahan glikogen menjadi glukosa yang
meningkatkan substrat esensial untuk pertumbuhan candida. Oleh karena itu,
penulis akan mengharapkan kemungkinan hubungan yang serupa dengan
Trichosporon asahii.
Sebuah

hubungan

Trichosporon

asahii

dengan

pneumonitis

hipersensitivitas tipe musim panas ditentukan, terutama pada Jepang. Namun,


tidak terdapat laporan-laporan saat ini pada hubungan antara infeksi Trichosporon
asahii dan asma bronkial terutama pada pasien-pasien dengan terapi steroid.
Hirakata melaporkan suatu kejadian asma pada pasien dengan riwayat keluarga
yang memiliki pneumonitis hipersensitivitas tipe musim panas. Namun sayang
sekali, mekanisme patogenesis pada asma beonkial dihubungkan dengan
Trichosporon asahii masih belum jelas. Pasien saat ini menderita asma dan sedang
dalam pengobatan inhalasi steroid regular yang merupakan suatu faktor
predisposisi untuk kolonisasi jamur dan infeksi pada orofaing. Asma bronkial
merupakan jenis penyakit pernapasan yang disebabkan oleh respon berlebihan
dari jalur pernapasan. Trichosporon asahii yang membuat koloni pada orofaring
dapat menjadi salah satu allergen yang dihubungkan dengan eksaserbasinya. Oleh
karena itu, sebuah studi formal terhadap prevalensi kolonisasi Trichosporon
asahii maupun infeksi pada pasien asma bronkial kronis dibenarkan. Asosiasinya
dengan infeksi mulut maupun eksaserbasi asma yang merupakan hasil dari
ketergantungan steroid juga perlu ditentukan.
Trichosporon asahii telah dilaporkan menjadi resisten terhadap beberapa
agen antifungi azole. Wolf dkk melaporkan pemulihan terhadap isolasi
Trichosporon asahii yang telan menunjukkan penurunan dalam kerentanan secara
in vitro terhadap amphotericin B, flucytosine, dan azole dari enam pasien nongranulosit yang dirawat pada unit perawatan intensif. Dengan demikian,
demonstrasi dari pengurangan efektivitas fluconazole pada pasien saat ini
40
seharusnya diantisipasi. Hal ini mungkin menjelaskan alasan dari kejadian
berulang glositis Trichosporon asahii sementara pasien sedang mengonsumsi

fluconazole. Pasien akhirnya memberikan respon terhadap voriconazole, dimana


hasil akhir yang diharapkan berdasarkan pada demonstrasi kerentanan secara in
vitro. Sebuah tulisan baru-baru ini yang ditulis oleh Paphitou dkk melaporkan
triazoles baru termasuk voriconazole sangat poten melawah 24 isolat Trichoposon
asahii (konsentrasi inhibitor minimum (MIC) dan konsentrasi fungisidal
minimum (MFC) pada 0,25 dan 0,5 mg/liter, secara berturut-turut). Pengamatan
ini serupa dengan studi sebelumnya oleh McGinnis dkk menunjukkan bahwa
voriconazole memiliki MIC lebih rendah terhadap T.asahii daripada azole lainnya.
Voriconazole merupakan suatu turunan triazole sintetis spektrum yang
diperluas dari fluconazole dimana menginhibisi enzim lanosterol 14-demethylase
pada Candida albicans maupun Aspergillus fumigatus dengan potensi 1,6 dan 160
kali lebih besar, secara berturut-turut, daripada fluconazole tersebut. Aktivitas
fungisidal potennya mungkin dikarenakan afinitas yang tinggi voriconazole
terhadap 14-demethylase jamur, sebuah konsep yang didukung oleh analisis
ultrasturuktural dan biokimia. Namun, tidak seperti fluconazole, voriconazole
juga menginhibisi demetilasi 24-methylene dihydrolanosterol pada ragi tertentu
dan jamur berfilamen. Dua alasan ini mungkin menjelaskan mengapa
voriconazole menunjukkan keefektivitasan dalam pengobatan pada mikosis
seperti trichosporonosis yang tidak memberikan respon pada azole lainnya.
3.5 Kasus Kelima
Atrophic Glossitis; An Indicator of Iron Deficiency Anemia: Report of Three
Cases
(Vena Raju, Anjana Arora, Shweta Saddu)
Laporan Kasus 1
Seorang wanita berusia 20 tahun dilaporkan ke departemen Kedokteran
dan Radiologi Oral dan Maksilofasial dengan keluhan utama nyeri di area lidah
bagian kanan belakang selama dua minggu terakhir yang disertai dengan kesulitan
41
menelan akibat adanya sensasi terbakar saat menelan. Dari evaluasi klinis
ditemukan chelitis angularis, sklera berwarna kuning pucat, dan kuku yang

menyerupai sendok pada tangan dan kaki. Pasien juga menunjukkan intoleransi
pada makanan pedas dan kelelahan setelah melakukan kegiatan sehari-hari yang
bersifat sederhana/ringan. Pemeriksaan oral menunjukkan mukosa mulut yang
pucat dan glositis dengan area depapilasi dorsum lidah yang terlihat jelas di sisi
kiri (Gambar 1). Tes hematologi juga sudah dilakukan. Serum besi 27,1 mg/dl,
serum feritin 2,44 ng/ml dan TIBC 453 g/dl telah mengkonfirmasi diagnosis
yaitu anemia defisiensi besi. Pasien diberikan suplemen zat besi dan dirujuk ke
rumah sakit untuk penatalaksanaan sistemik. Pada follow up kedua, gejala sudah
mulai berkurang dan terjadi peningkatan pada kondisi pasien secara keseluruhan.
Laporan Kasus 2
Seorang wanita berusia 20 tahun dilaporkan ke departemen kedokteran
oral dengan keluhan utama sensitif terhadap dingin dan jus jeruk di area gigi
depan atas, yang sudah dirasakan selama dua bulan terakhir. Dari riwayat
didapatkan bahwa pasien memiliki kebiasaan sering memakan pastiles lemon
(mirip dengan strepsil dihisap untuk melegakan tenggorokan). Pasien juga
melaporkan sensasi terbakar pada dorsum lidah saat memakan makanan pedas.
Riwayat medis pasien bersifat non-kontributif.
Pada pemeriksaan intra-oral, erosi gigi ditemukan pada area permukaan
labial yang terlibat yaitu 11, 21 dan 22. Sebuah area depapilasi bediameter sekitar
1 cm dengan margin ireguler terdapat pada 1/3 anterior dan margin lateral kanan
dari dorsum lidah (Gambar 2). Papila filiformis tidak terlihat, dengan papila
fungiformis yang menonjol dan tersebar disekitarnya. Berdasarkan temuan ini,
diagnosis sementara pun dibuat yaitu hipersensitivitas dentin pada 11, 21, 22 yang
timbul akibat erosi dan glositis atrofi. Adanya keterlibatan penyakit lambung
dikesampingkan karena tidak terdapat riwayat regurgitasi makanan atau erosi gigi
pada permukaan palatal dari gigi anterior atas. Diagnosis banding seperti anemia
akibat defisiensi nutrisi, glositis romboidal media, lidah geografis juga
dipertimbangkan. Kemudian, pasien juga ditanyakan mengenai adanya riwayat
lesu, penurunan atau kenaikan berat badan, polidipsia, polifagi, poliuri dan asupan
42
obat-obatan seperti antibiotik untuk menyingkirkan penyebab sistemik lainnya
dari glositis atrofi. Pasien disarankan untuk menjalani pemeriksaan hematologi

meliputi hemogram lengkap dengan apusan darah tepi. Kadar hemoglobin pada
pasien ini ditemukan sebesar 6,4 gm%. Apusan darah tepi menunjukkan adanya
eritrosit hipokromik mikrositer. Diagnosis akhir berupa glositis anemia akibat
anemia hipokromik mikrositer (kekurangan zat besi) pun ditegakkan. Pasien
diberikan kombinasi ferric ammonium citrate, asam folat dan sianokobalamin.
Pada follow-up setelah satu bulan terapi, pasien mengatakan sensasi terbakar yang
dirasakan sebelumnya telah benar-benar hilang. Pada pemeriksaan lidah, area
yang sebelumnya terjadi depapilasi telah terisi dengan papila filiformis (Gambar
3) dan hemoglobin pasien naik menjadi 6,8 gm%. Pasien disarankan untuk
melakukan kontrol secara rutin.
Laporan Kasus 3
Seorang wanita berusia 30 tahun dilaporkan ke departemen kedokteran
oral dengan keluhan utama nyeri di area gigi belakang kanan bawah yang
dirasakan sejak empat hari terakhir. Pada pemeriksaan ekstra oral ditemukan
warna pucat pada kuku dan konjungtiva palpebra. Fisura juga terlihat menjalar
dari kedua sudut bibir. Pada pemeriksaan intra oral ditemukan warna pucat pada
mukosa labia, mukosa bukal dan palatum lunak. Dorsum lidah memperlihatkan
area depapilasi dengan beberapa fisura yang dalam (Gambar 4). Diagnosis
sementara yang diberikan untuk pasien ini adalah anemia defisiensi besi.
Pemeriksaan hematologi menunjukkan kadar hemoglobin sebesar 6,2 gm% dan
eritrosit yang hipokromik mikrositer. Suplemen zat besi diberikan selama dua
bulan. Follow-up dilakukan setelah 1 bulan, hasilnya adalah terjadi kenaikan
kadar hemoglobin menjadi 7,8 gm% dengan adanya repapilasi sepenuhnya pada
lidah (Gambar 5).
Diskusi
Penyakit pada lidah bisa saja merupakan tanda dari dari kondisi sistemik
tubuh yang berubah, atau, bisa juga merupakan bentuk awal dari patologi lokal
yang seringnya bersifat parah. Kekurangan zat besi adalah salah satu gangguan
43
yang paling umum terjadi pada manusia, dan anemia defisiensi besi terus menjadi
masalah kesehatan utama pada masyarakat di seluruh dunia. Penyakit ini terutama

umum di kalangan wanita usia subur yang diakibatkan karena kehamilan dan
kehilangan darah saat haid.

Faktor predisposisi dari glositis atrofi utamanya

dibagi menjadi faktor lokal dan faktor sistemik.

Etiologi lokal meliputi trauma pada mukosa mulut akibat penggunaan


tembakau yang berlebihan, lidah geografis, glositis romboidal media, kandidiasis
atrofi kronis, lidah berfisur, lichen planus erosiva, dan lain-lain. Etiologi sistemik
meliputi defisiensi vitamin B12 atau defisiensi besi atau defisiensi folat yang
kemudian menyebabkan anemia, obat-obatan seperti inhibitor ACE, inhibitor
protease, antibiotik, aspirin, obat imunosupresif, inhaler kortikosteroid, kondisi
pasca menopause pada wanita, diabetes, penyakit iritasi usus, gangguan lambung
yang menyebabkan hiperasiditas/keasaman lambung yang tinggi, hipotiroidisme,
hilangnya papila akibat epidermolisis bulosa, diskeratosis kongenita, kandidosis
endokrin, sindrom hyalinosis cutis et mucosae, mukositis yang diinduksi oleh
radiasi, dan lain-lain.
Dokter gigi dapat menyingkirkan berbagai penyakit sistemik yang
berhubungan dengan glositis atrofi dengan cara melihat tanda dan gejala klinis
klasik dan kemudian merujuk pasien yang bersangkutan untuk penatalaksanaan
lanjut. Pada kasus yang dilaporkan dalam tulisan ini, glositis atrofi adalah
manifestasi klinis utama yang membantu mengarahkan kami kepada anemia
defisiensi besi dan diagnosis ini didukung oleh hasil hemogram dan apusan darah
44
tepi. Konfirmasi diagnosis dari anemia defisiensi besi dilakukan dengan melihat
estimasi penurunan serum besi dan kadar feritin, serta peningkatan kadar TIBC

dan kadar transferrin. Namun, untuk kasus 2 dan kasus 3 tes konfirmasi tidak
dilakukan karena alasan ekonomi.
Kesimpulan
Kesimpulannya, dokter gigi memiliki peran penting dalam mendiagnosis anemia
defisiensi besi yang bersifat asimtomatik, yaitu dengan cara mengidentifikasi
tanda dan gejala yang muncul pada mulut seperti mukosa mulut yang pucat dan
glositis atrofi, kemudian mengkonfirmasinya dengan melakukan pemeriksaan
hematologi.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Lidah merupakan salah satu organ penting pada tubuh manusia yang
memiliki banyak fungsi. Lidah memiliki peran dalam proses pencernaan,
menghisap, menelan, persepsi rasa, bicara, respirasi dan perkembangan rahang.
Glositis merupakan suatu peradangan yang terjadi pada lidah yang
ditandai dengan terjadinya deskuamasi papilla filiformis sehingga menghasilkan
daerah kemerahan yang mengkilat. Glositis biasanya dapat disebabkan oleh
defisiensi
zat besi (Fe), vitamin B kompleks, infeksi, trauma, serta bisa karena
45
hal-hal lain.

Glositis dapat dibedakan menjadi empat antara lain Atrofi Glositis, Median
Rhomboid Glositis, Benign Migratory Glossitis dan Geometric Glositis.
Perawatan pada glositis ini tergantung dari kasusnya. Antibiotik dipergunakan bila
kelainan ini melibatkan bakteri. Bila penyebabnya adalah defisiensi gizi, maka
diperlukan supplement yang memadai yaitu harus diberikan zat besi yang
merupakan ciri defisiensi utama dari glositis.
3.2. Saran
Menjaga kebersihan rongga mulut yaitu dengan sikat gigi dan penggunaan
dental foss atau benang gigi. Dan jangan lupa untuk membersihkan lidah setelah
makan. Kemudian kunjungi dokter gigi secara teratur. Jangan gunakan bahanbahan obat atau makanan yang merangsang lidah untuk terjadi iritasi atau agen
sensitisasi. Selain itu juga hentikan merokok dan hentikan penggunaan tembakau
dalam jenis apapun serta hindari alkohol.

DAFTAR PUSTAKA

1. http://www.buzzle.com/articles/glossitis.html. Diakses pada tanggal 27


Maret 2016.
2. Rahmadhan Ardyan Gilang. 2009. Glossitis. Available at http//www. Gigi
sehat badan sehat.com
3. Tim penyusun. 2008. Blog periodentistdrgDondy. Glossitis: keradangan
pada lidah.http//www. Blog periodentist drgDondy. Glossitis.
4. http://ic.steadyhealth.com/glossitis_symptoms. Diakses pada tanggal 27
Maret 2016.
5. http://www.thedoctor.com/disease/median_rhomboid_glossitis.html.
46

Diakses pada tanggal 27 Maret 2016.

47

Anda mungkin juga menyukai