Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

HUBUNGAN GLOSITIS DENGAN PENYAKIT SISTEMIK

Disusun oleh:
Elga Zuherli G99172066
Mutia Azmi Suswandari G99172119
Maya Angela P. G99181044
Dina Ayu Apriyani G991902015
Dwiana Kartikawati G991902016
Eillien Ramadhani Fauzi G991902017

Periode: 30 September 2019 – 13 Oktober 2019

Pembimbing:
drg. Christianie, Sp.Perio

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Makalah ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik/Program


Studi Profesi Bagian Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret/RSUD Dr. Moewardi dengan judul:

HUBUNGAN GLOSITIS DENGAN PENYAKIT SISTEMIK

Hari, tanggal: , Oktober 2019

Oleh:
Elga Zuherli G99172066
Mutia Azmi Suswandari G99172119
Maya Angela P. G99181044
Dina Ayu Apriyani G991902015
Dwiana Kartikawati G991902016
Eillien Ramadhani Fauzi G991902017

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Presentasi

drg. Christianie, Sp.Perio


BAB I
PENDAHULUAN

Lidah merupakan organ dalam rongga mulut yang memiliki peran penting
dalam proses pengunyahan, persepsi rasa, bicara, respirasi, mengisap, menelan,
dan perkembangan rahang. Lidah sebagai indera pengecap mempunyai taste buds
yang meliputi seluruh permukaannya yang mengandung pori-pori atau dikenal
sebagai taste pore yang mengandung mikrovili pembawa sel gustatori yang akan
distimuli oleh berbagai cairan kimiawi pada saliva. Lidah dapat digunakan untuk
melihat kondisi kesehatan seseorang, sebagai indikator untuk mengetahui
kesehatan oral dan kesehatan umum pasien. Berbagai gangguan sistemik telah
dikaitkan dengan perubahan rongga mulut, baik yang spesifik maupun tidak
spesifik, dalam banyak keadaan rongga mulut menjadi area diagnostik yang
penting.
Glossitis merupakan salah satu kelainan pada lidah berupa perubahan
penampilan pada permukaan lidah akibat suatu peradangan akut ataupun kronis
yang mengakibatkan lidah membengkak, berubah warna dan tekstur permukaan.
Kondisi ini dapat menyebabkan papilla di permukaan lidah menghilang. Papilla
akan berwarna lebih putih dari daerah yang dikelilinginya. Penyebabnya tidak
diketahui, tetapi diperkirakan stress emosional, defisiensi nutrisi dan herediter.
Keadaan ini biasanya terbatas pada dorsal dan tepi lateral dua pertiga anterior
lidah dan hanya mengenai papilla filiformis sedangkan papilla fungiformis tetap
baik. Papilla berisi ribuan sensor kecil yang disebut taste buds. Radang parah
yang mengakibatkan pembengkakan, kemerahan, dan nyeri, dapat mengubah cara
penderita makan ataupun berbicara (Langlais, 2001).
Glossitis atau yang biasa disebut lidah geografik adalah umum dan
mengenai kira – kira 1-2% penduduk. Paling sering mengenai laki-laki dan orang-
orang dewasa usia muda sampai pertengahan. Keadaan tersebut dapat timbul tiba-
tiba dan menetap selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun. Dapat terlihat hilang
spontan dan kambuh kembali. Pada kasus yang berat, glossitis dapat
menyebabkan tersumbatnya jalan nafas ketika lidah yang membengkak cukup
parah sehingga membutuhkan penanganan segera (Langlais, 2001).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. LIDAH
A. Anatomi
Lidah merupakan massa jaringan ikat yang tersusun oleh otot lurik yang
diliputi oleh membran mukosa. Membran mukosa melekat erat pada otot
karena jaringan penyambung lamina propia menembus ke dalam ruang-ruang
antar berkas-berkas otot. Lidah merupakan bagian tubuh penting untuk indra
pengecap yang terdapat kemoreseptor untuk merasakan respon rasa asin, asam,
pahit dan rasa manis. Tiap rasa pada zat yang masuk ke dalam rongga mulut
akan direspon oleh lidah di tempat yang berbeda-beda.
Lidah terletak di dasar mulut dan melekat pada tulang hyoid. Dorsal
lidah mempunyai permukaan konveks dengan suatu sulkus median. Pada
bagian posterior sulkus tersebut terdapat foramen sekum, yang menandai
daerah asal kelenjar tiroid. Di belakang foramen sekum ditemukan kelenjar-
kelenjar penghasil mukus dan sekelompok jaringan limfe yang disebut tonsil
lingual. Lidah mempunyai tekstur kasar yang disebabkan oleh adanya papilla.
Papilla yang terbesar adalah papilla sirkumvalata. Terdapat kira-kira sepuluh
papilla yang berbentuk bundar ini, yang terletak tepat didepan foramen sekum
dan membagi lidah menjadi dua pertiga anterior dan sepertiga posterior.
Papilla filiformis merupakan papilla yang paling banyak, dan ditemukan pada
permukaan bagian anterior lidah. Papilla fungiformis terletak pada bagian
ujung dan sisi lidah. Papilla ini dapat dikenali berdasarkan warnanya yang
merah dan permukaannya yang lebar.
Lidah sebagian besar terdiri dari dua kelompok otot yaitu otot intrinsik
dan ektrinsik. Otot intrinsik lidah melakukan semua gerakan halus, sementara
otot ektrinsik mengaitkan lidah pada bagian-bagian sekitarnya serta
melaksanakan gerakan-gerakan kasar yang sangat penting pada saat
mengunyah dan menelan. Lidah mengaduk makanan, menekannya pada langit-
langit dan gigi dan akhirnya mendorongnya masuk faring. Lidah terletak pada
dasar mulut, sementara pembuluh darah dan urat saraf masuk dan keluar pada
akarnya. Ujung serta pinggiran lidah bersentuhan dengan gigi-gigi bawah,
sementara dorsum merupakan permukaan melengkung pada bagian atas lidah.
Gambar 1. Anatomi Lidah

B. Fungsi Lidah
1. Menunjukkan kondisi tubuh
2. Membasahi makanan di dalam mulut
3. Mengecap atau merasakan makanan
a. Rasa Asin = Lidah Bagian Depan
b. Rasa Manis = Lidah Bagian Tepi
c. Rasa Asam = Lidah Bagian Samping
d. Rasa Pahit = Lidah Bagian Belakang
4. Membolak-balik makanan
5. Menelan makanan
6. Mengontrol suara dan dalam mengucapkan kata-kata

C. Kelainan dan Lesi Lidah


Ada banyak kondisi yang dijumpai pada lidah yang termasuk
kedalam istilah anomali lidah. Beberapa diantaranya tidak menunjukkan
gambaran klinis yang signifikan meskipun cukup sering terjadi. Akibatnya
sering dianggap sebagai suatu variasi yang normal. Beberapa kelainan
yang lain menunjukkan kondisi klinis yang jelas pada lidah, dan pada
beberapa kasus dapat membantu untuk menentukan sejumlah kelainan
akibat faktor genetik.
Anomali lidah yang dijumpai juga bisa membuktikan bahwa
kelainan lidah dapat disebabkan oleh kelainan perkembangan. Lidah bukan
hanya tempat bagi lesi lokal, tetapi juga merupakan cerminan dari
keberadaan beberapa penyakit sistemik. Lesi lokal dapat dikelompokkan
sebagai congenital atau developmental (fissured tongue, lingual thyroid,
lymphangioma, hemangioma), traumatik (traumatic ulser, neuroma),
infeksi (herpes simplex infections, apthous ulcers, candidiasis), neoplastik
(papilloma, lipoma, squamous cell carcinoma) atau idiopatik (hairy
tongue, geographic tongue). Sedangkan lesi mulut yang berasal dari
kondisi sistemik dapat dikelompokkan menjadi lesi yang berkaitan dengan
infeksi sistemik (siphilis, tuberculosis), blood dyscrasias
(anemia,leukemia), penyakit metabolik (diabetes mellitus, defisiensi
vitamin B), dan lain-lain.

II. GLOSITIS
A. Definisi
Glositis merupakan suatu kondisi peradangan pada lidah yang
ditandai dengan terjadinya deskuamasi papila filiformis sehingga
menghasilkan daerah kemerahan yang halus dan mengkilat. Glositis bisa
terjadi akut atau kronis. Penyakit ini dapat mencerminkan kondisi dari
lidah itu sendiri atau merupakan cerminan dari penyakit tubuh yang
gejalanya muncul pada lidah. Keadaan ini dapat menyerang pada semua
tingkatan usia. Kelainan ini sering menyerang pada laki- laki
dibandingkan pada wanita.
Gambar 2. Glositis
B. Etiologi
Penyebab glositis dapat bermacam-macam, baik lokal maupun sistemik.
1. Lokal
a. Infeksi (streptococcal, candidiasis, TB, HSV, EBV)
b. Trauma (luka bakar)
c. Iritan primer (alkohol, tembakau, makanan pedas, permen
berlebihan)
2. Sistemik
a. Malnutrisi (kurang asupan vitamin B12, niasin, riboflavin, asam
folat)
b. Anemia (kekurangan Fe)
c. HIV (candidiasis, HSV, kehilangan papillae)
d. Obat lanzoprazole, amoxicillin, metronidazole.
e. Reaksi alergi
f. Penyakit kulit (lichenplanus, erythema multiforme, syphilis, lesi
apthous)

Glositis juga dapat disebabkan oleh faktor genetik. Pemeriksaan yang


dalam perlu dilakukan untuk mendapatkan penyebab dari glossitis ini secara
pasti. Bila penyebabnya tidak jelas dan tidak ada kemajuan setelah dilakukan
perawatan, maka perlu dilakukan biopsi. Pada beberapa kasus, glositis akan
menyembuh pada pasien dengan rawat jalan. Rawat inap diperlukan bila
pembengkakan pada lidah ini membesar dan menghalangi jalannya udara yang
dihirup.

C. Faktor Risiko
1. Seorang pecandu alcohol
2. Seorang perokok
3. Memiliki riwayat keluarga menderita glossitis
4. Mengunyah tembakau
5. Sebelumnya ada riwayat trauma gigi

D. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala dari glossitis ini bervariasi oleh karena penyebab
yang bervariasi juga.Tanda dasar kelainan ini adalah bahwa lidah menjadi
berubah warnanya dan terasa nyeri.Warna yang dihasilkan bervariasi dari
gelap merah sampai dengan merah terang.Kondisi ini menyebabkan
sulitnya untuk mengunyah, menelan atau untuk berbicara. Lidah yang
mempunyai kelainan ini permukaannya akan terlihat halus. Terdapat
beberapa ulserasi yang terlihat pada lidah.
Kondisi ini biasanya memperlihatkan gejala rasa perih, sakit,
terbakar, atau panas pada permukaan lidah. Glossitis dapat disebabkan
oleh berbagai hal dan terapi yang diberikan sangat tergantung dari
penyebab utamanya atau penyakit yang mendasari.

E. Klasifikasi
1. Idiopathic Glossitis
Inflamasi pada membran mukosa dan otot lidah secara keseluruhan.
2. Atrophic Glossitis (Hunter’s Glossitis)
Ditandai dengan kondisi lidah yang kehilangan rasa karena
degenerasi ujung papil (bagian menonjol pada selaput yang berlendir
di bagian atas lidah).Perasaan lidah terbakar yang menyebar ke
bagian mulut lain yang biasanya dipicu oleh adanya ulserasi. Lidah
terlihat licin dan mengkilat baik seluruh bagian lidah maupun hanya
sebagian kecil. Penyebab yang paling sering biasanya adalah
kekurangan zat besi.Jadi banyak didapatkan pada penderita anemia.

Gambar 3. Atropic glossitis


3. Herpetic Geometric Glossitis
Terdapat retkan pada dorsum lidah yang bercabang- cabang.

Gambar 4. Herpetic Geometric Glossitis

4. Benign Migratory Glossitis


Ditandai dengan eritema yang dikelilingi garis putih serpiginosa dan
hiperkeratotik.

Gambar 5. Benign Migratory Glossitis

5. Median Rhomboid Glossitis


Ditandai dengan kemerahan dan hilangnya papillae di bagian dorsum
lidah di garis tengah di depan papillae sirkumvalata.

Gambar 6. Median Rhomboid Glossitis


F. Diagnosis
Penegakkan diagnosis dimulai dari anamnesis. Dari anamnesis,
dapat ditemukan keluhan nyeri lidah, sulit untuk mengunyah, menelan
atau untuk berbicara. Lidah yang mempunyai kelainan ini permukaannya
akan terlihat halus (pada anemia pernisiosa), dapat ditemukan beberapa
ulserasi yang terlihat pada lidah ini, lidah terlihat bengkak serta adanya
perubahan warna lidah, lidah berwarna pucat pada penderita anemia
pernisiosa dan berwarna merah gelap bila penyebab glossitis adalah
kekurangan vitamin B yang lain. Penyebab glossitis secara pasti dicari
melalui pemeriksaan yang mendalam, seperti biopsy, tes untuk defisiensi
B12, profil kimia darah, kikisan KOH, kultur lesi dan smear bila terdapat
indikasi.

G. Diagnosis Banding
1. Oral candidosis
Penyebabnya adalah jamur yang disebut Candida albicans.
Gejalanya lidah akan tampak tertutup lapisan putih yang dapat
dikerok.

Gambar 7. Oral Candidosis

2. Geographic tongue
Lidah seperti peta, berpulau-pulau, baik banyak maupun
sedikit.Bagian pulau berwarna merah dan lebih licin. Bila parah akan
dikelilingi pita putih tebal.
Gambar 8. Geographic Tongue

3. Fissured tongue
Lidah akan terlihat pecah-pecah. Kadang garis hanya satu ditengah,
kadang juga bercabang-cabang.

Gambar 9. Fissured tongue

H. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah untuk mengurangi peradangan. Pengobatan
glositis tergantung pada penyebabnya. Antibiotik digunakan untuk
pengobatan infeksi bakteri. Bila penyebabnya adalah defisiensi besi,
maka diperlukan supplement yang memadai yaitu harus diberikan zat
besi yang merupakan ciri defisiensi utama dari glossitis ini.
Penatalaksanaan pembengkakan dan rasa tidak nyaman di mulut
dilakukan dengan pemberian obat-obatan secara oral. Obat kumur yaitu
campuran setengah teh baking soda dan dicampur dengan air hangat akan
membantu keadaan ini. Bila pembengkakan dirasakan parah, bisa
diberikan kortikosteroid. Topikal kortikosteroid juga mungkin berguna
untuk penggunaan sesekali, misalnya triamcinolone dalam pasta gigi
yang diterapkan beberapa kali sehari ketika diperlukan. Kebersihan mulut
yang baik sangat penting. Hindari iritasi seperti tembakau, panas, pedas
makanan dan alkohol (Langlais, 2001).

I. Komplikasi
1. Ketidaknyamanan
Karena pasien kesulitan dalam menelan, mengunyah dan berbicara
yang disebabkan karena lidah mengalami pembengkakan.
2. Airway Obstruksi
Udara yang masuk melalui mulut tersumbat karena lidah mengalami
pembengkakan.
3. Disfagia
Disfagia (dysphagia) adalah kesulitan menelan makanan. Kondisi ini
biasanya menjadi tanda adanya masalah pada tenggorokan atau
kerongkongan. Sebagian pasien dengan disfagia mengalami
kesulitan menelan beberapa jenis makanan tertentu dan cairan. Pada
kasus lain, pasien mengalami gangguan mekanisme menelan parah.
Kondisi ini terjadi karena adanya masalah pada otot dan saraf
tenggorokan atau kerongkongan dan karena terjadinya penyumbatan
pada tenggorokan atau kerongkongan.
4. Disfonia
Disfonia adalah gangguan produksi suara. Disfonia adalah istilah
medis untuk gangguan produksi suara. Orang yang menderita
disfonia dapat mengeluarkan suara serak atau tidak ada suara sama
sekali. Ada banyak penyebab disfonia, baik karena keganasan atau
non-keganasan (Pindborg, 2009).

J. Prognosis
Dalam beberapa kasus, glossitis bisa menyebabkan lidah bengkak yang
dapat menghambat jalan nafas. Namun dengan penanganan yang tepat
dan adekuat, gangguan pada lidah ini dapat diatasi dan dicegah
kekambuhannya (Langlais, 2001).

K. Pencegahan
1. Menjaga kebersihan rongga mulut merupakan hal yang harus
dilakukan
2. Menyikat gigi dan menggunakan dental floss atau benang gigi
3. Membersihkan lidah setelah makan
4. Mengunjungi dokter gigi secara teratur
5. Jangan gunakan bahan bahan obat atau makanan yang merangsang
lidah untuk terjadi iritasi atau agent sensitisasi. Bahan bahan ini
termasuk makanan yang panas dan beralkohol
6. Hentikan merokok dan hindari penggunaan tembakau dalam jenis
apapun
7. Sebaiknya segera konsultasi ke dokter bila gangguannya bertambah
parah (Pindborg, 2009).

III. HUBUNGAN GLOSSITIS DENGAN PENYAKIT SISTEMIK


A. Anemia Megaloblastik
Anemia megaloblastik adalah kumpulan penyakit yang disebabkan
oleh gangguan sintesis DNA. Sel yang terkena adalah sel-sel
dengan turn over cepat, seperti sel prekursor hematopoetik dan sel
epitel gastrointestinal. Pada anemia megaloblastik, sintesis RNA
tetap berlangsung sehingga terjadi penimbunan komponen
sitoplasma pada sel yang sedang bermitosis sehingga terbentuk sel
yang lebih besar. Dua kofaktor terpenting dalam proses ini adalah
asam folat dan vitamin B12. Koenzim asam folat dan vitamin B12
diperlukan untuk sintesis timidilat dan purin. Defisiensi vitamin
B12 yang disebabkan oleh defisiensi faktor intrinsik (diproduksi
oleh sel parietal lambung) yang diperlukan untuk absorpsi disebut
juga anemia pernisiosa (Isselbacher, 2015).
Atrofi glositis ditandai dengan lidah yang tampak mulus dan
mengkilat akibat hilangnya papilla filiformis serta dapat disertai
sensasi terbakar di lidah. Atrofi glositis sering berkaitan dengan
kandidiasis oral, malnutrisi, dan beberapa penyakit sistemik lain
seperti sifilis, amyloidosis, Sjorgen syndrome dan Riley-Day
syndrome (Lehman et al., 2006).
Namun, kondisi ini sering kali disebabkan oleh defisiensi beberapa
zat nutrisi seperti riboflavin, niacin, piridoksin, asam folat, vitamin
B12, besi, zink dan vitamin E (Chiang et al., 2019). Salah satu
hipotesis mengenai terjadinya atrofi glositis pada pasien dengan
defisiensi nutrisi adalah sel-sel papilla lidah memiliki tingkat turn
over yang tinggi sehingga defisiensi dari vitamin B12 atau asam
folat yang berguna untuk proliferasi sel dan stabilisasi membrane
sel akan mengakibatkan terjadinya depapilasi atau atrofi papila
lidah filiformis/fungiformis yang menyebabkan lidah tampak halus
dan mengkilat (Lehman et al., 2006).

Gambar 10. Atrofi dan eritema pada lidah


Defisiensi vitamin B12 dapat disebabkan oleh kekurangan asupan
(misalnya pada vegetarian dan geriatri) atau malabsorbsi (misalnya pada
penyakit autoimun). Tanpa memperhatikan etiologinya, terapi dari
defisiensi vitamin B12 adalah pemberian suplementasi oral dosis tinggi,
1000-2000 mcg perhari selama 2 minggu, diikuti dosis maintenance 1000
mcg perhari. Pemberian suplementasi oral memiliki efektivitas yang sama
dengan suplementasi vitamin B12 intramuskular yang sebelumnya
dianjurkan (Lehman et al., 2006).

B. HIV (Human Immunodeficiency Viruses)


Penyakit HIV memiliki efek pada seluruh tubuh. pada dunia kesehatan
saat ini sering sekali tenaga kesehatan harus berurusan dengan
penyakit menakutkan ini dan menifestasinya. Karena itu menjadi
keharusan untuk mewaspadai berbagai bentuk manifestasi HIV.
Manifestasi oral infeksi HIV terjadi pada 30-80% populasi pasien
yang terkena (Bajpai dan Pazare, 2010). Human immunodeficiency
virus (HIV) menargetkan dan menginfeksi sel imun; Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah penyakit pada sistem
kekebalan tubuh manusia yang disebabkan oleh HIV. Karena HIV
mengganggu sistem kekebalan tubuh, Odha jauh lebih mungkin untuk
tertular infeksi yang tidak memengaruhi orang dengan sistem
kekebalan tubuh yang sehat, termasuk infeksi oportunistik dan tumor
(Frimpong, 2017).
Berbagai manifestasi oral dapat dikategorikan ke dalam

1. Infeksi: bakteri, jamur, virus

2. Neoplasma: Sarkoma Kaposi, limfoma non-Hodgkin

3. Mediasi imun: stomatitis aphthous mayor, nekrotikans

4. Lainnya: penyakit parotis, nutrisi, xerostomia

5. Manifestasi oral sebagai efek samping dari terapi antiretroviral. (Bajpai


dan Pazare, 2010).

Karakteristik patogenesis HIV / AIDS yang diketahui adalah


penargetan sel kekebalan manusia yang mengandung penanda
permukaan CD4. Infeksi HIV menyebabkan penurunan bertahap
jumlah sel CD4 +, yang paling penting adalah sel T-helper (sel T
CD4), limfosit B, makrofag, dan sel NK. Sel CD4 mengoordinasikan
sejumlah fungsi imunologis dan, ketika jumlah sel menurun, risiko
dan tingkat keparahan infeksi oportunistik meningkat dan infeksi
oportunistik ini dapat menjadi mengancam jiwa. Penelitian
sebelumnya telah menunjukkan bahwa jumlah absolut limfosit CD4
pada orang yang terinfeksi HIV turun dari tingkat normal 800-900
menjadi 60-100 sel / mL dalam satu tahun (Frimpong, 2017).

Glossitis rhomboid median ditandai oleh lesi halus, berkilau,


eritematosa, berbatas tegas, tanpa gejala, seperti plak pada garis
tengah dorsal lidah. Kehadiran peradangan palatal dapat menjadi
indikasi imunosupresi, dan infeksi human immunodeficiency virus
(HIV) harus dipertimbangkan (Brian V, 2010). Jika median rhomboid
glossitis ditemukan berhubungan dengan peradangan palatal dengan
kontak dengan daerah yang terlibat pada lidah, itu disebut kissing
lession, maka imunosupresi harus dicurigai dan telah dianggap
sebagai penanda AIDS. Median rhomboid glossitis sering muncul
tanpa gejala. Karena adanya kissing lession di langit-langit mulut
mungkin menjadi penyebab kekhawatiran tentang HIV, semua pasien
dengan kissing lession diperiksa untuk HIV (Goregen, 2011).

Glossitis rhomboid median umumnya dikaitkan dengan infeksi


kandida dan merespons antijamur (mis., Nistatin, flukonazol
[Diflucan], clotrimazole) yang diberikan sebagai suspensi atau troche
oral (Brian V, 2010).

Clotrimazole Troches, nystatin pastilles, dan suspensi oral nystatin


efektif untuk kandidiasis eritematosa dan pseudomembranosa ringan
hingga sedang. Namun, penggunaan yang lama dari agen-agen ini
dapat menyebabkan karies gigi yang signifikan karena substrat
karbohidrat yang dapat difermentasi hadir dalam formulasi. Obat
sistemik untuk kandidiasis oral melibatkan penggunaan obat
antijamur imidazol (ketoconazole) dan triazole (flukonazol dan
itrakonazol). Flukonazol diberikan dalam dosis 100-200 mg / hari.
Durasi pengobatan dengan imidazol oral biasanya sekitar 7-10 hari
tetapi dalam kasus kecurigaan keterlibatan kerongkongan, durasi
dapat diperpanjang hingga 21 hari. Sesuai pedoman terbaru, tidak ada
peran profilaksis untuk kandidiasis pada pasien HIV (Bajpai dan
Pazare, 2010).

C. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus adalah suatu penyakit metabolik yang ditandai
dengan adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh gangguan sekresi
insulin atau gangguan kerja insulin atau keduanya. Diabetes mellitus
(DM) merupakan salah satu gangguan yang paling umum dari kelenjar
endokrin yang memiliki distribusi di seluruh dunia dan merupakan
faktor risiko untuk patologi mulut salah satunya yaitu glositis
(Verhulst et al., 2019).
Gambar 11. Manifestasi oral dari diabetes, mekanisme dan hubungannya (Mirza
et al., 2016).

Mukosa oral secara normal dilindungi oleh saliva yang adekuat secara
jumlah dan kualitas. Saliva memiliki fungsi melubrikasi, membersihkan,
mempertahankan pH, sebagai protein antimikrobial dengan mensekresi
IgA, agregasi bakteri dan membersihkan bakteri. Epitel dan kelenjar saliva
minor pada mukosa berkontribusi terhadap innate immunity melalui
defensin α dan β, histatin dan peptida antimikroba lainnya. Pada pasien
diabetes mellitus fungsi dari kelenjar saliva dan fungsi imun menjadi
menurun sehingga meningkatkan risiko terjad lesi mukosa dan kelainan
lainnya. Dari beberapa studi menunjukkan penyakit oral soft-tissue muncul
10 kali lebih tinggi pada pasien dengan diabetes daripada pasien
nondiabetes (Gandara dan Morton, 2011).
Candida albican merupakan spesies yang biasa ditemukan pada kulit dan
permukaan mukosa, namun dapat menjadi infeksi oportunistik pada
pasien dengan diabetes mellitus. Infeksi candida albican (candidiasis)
memiliki beberapa manifestasi klinik termasuk median rhomboid glossitis
(kemerahan dan hilangnya papil pada bagian sisi dorsal lidah), angular
cheilitis (inflamasi pada sudut mulut), denture stomatitis (inflamasi dan
kemerahan di bawah gigi tiruan). Median rhomboid glossitis yaitu suatu
kondisi secara tipikal berlokasi di sekitar midline sisi dorsal lidah yang
muncul kemerahan, dan rhomboid area yaitu memnunjukkan bentuk atrofi
(Najmi et al., 2018).

Gambar 12. Median rhomboid glossitis


Berdasarkan beberapa studi, prevalensi dari median rhomboid glossitis
(MRG) telah ditemukan lebih tinggi pada pasien diabetes, pasien dengan
imunosupresif, dan pasien yang menggunakan antibiotik broad-spectrum.
Berdasarkan Guggenheimer et al MRG merupakan yang tersering pada
pasien dengan candidiasis dan diabetes mellitus insulin-dependent. Pada
penelitian Farman et al Lesi lidah berupa atrofi ditemukan 26,4% pada
pasien diabetes dan 91,7% dari lesi tersebut adalah MRG (Najmi et al.,
2018).
Kondisi lain pada lidah yang sering ditemukan pada pasien diabetes
daripada pasien nondiabetes yaitu lidah geografik atau benign migratory
glossitis. Kondisi ini ditandai dengan fokal atrofi papil lidah yang
irregular atau disebut pola geografik dengan karakteristik tepi yang
meninggi berwarna putih atau kekuningan yang berpindah dari waktu ke
waktu. Kondisi ini tidak disebabkan oleh infeksi candida tapi merupakan
suatu inflamasi dengan menifestasi klinis berupa nyeri, gatal, rasa
terbakar pada mukosa (Gandara dan Morton, 2011).
.
Gambar 13. Benign migratory glossitis
Penanganan diabetes lebih bersifat tindakan pencegahan daripada
tindakan pengobatan. Penanganan infeksi pada pasien dengan DM
memerlukan terapi antibiotika agresif karena terkadang infeksi berasal
dari rongga mulut atau tempat lain menyebabkan peningkatan glukosa
darah. Beragam perawatan secara topikal dan sistemik dapat dilakukan
untuk menanggulangi kondisi kandidiasis pada penderita DM, mencakup
penggunaan antifungal, nistatin, dan amphotericin B. Beberapa derivat
imidazole dapat pula digunakan secara topikal (klotrimazol dan
mikonazol), dan penggunaan sistemik yaitu ketokonazol, bis-triconazol,
flukonazol (Verhulst et al., 2019).
Xerostomia yang disebabkan karena glukosa darah yang tidak terkontrol
di rawat dengan mengembalikan kontrol glikemik terlebih dahulu.
Penggunaan saliva pengganti berbahan dasar karboksimetilsellulosa atau
musin, dapat di peroleh secara bebas dan memberikan sumber saliva yang
baru. Namun, saliva pengganti hanya bertahan beberapa menit saja.
Dokter gigi sebaiknya berusaha untuk menghilangkan atau mengurangi
kelainan yang terdapat dalam mulut penderita supaya tidak menimbulkan
komplikasi lebih serius. Pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut pada
penderita diabetes sangatlah penting terutama kebersihan rongga
mulutnya. Untuk itu penderita dianjurkan datang ke dokter gigi setiap tiga
atau empat bulan sekali secara teratur.

D. GERD
Gastroesophageal Reflux (GERD) didefinisikan sebagai regurgitasi
involunter dari komponen gaster ke esophagus. Hal ini merupakan
proses fisiologis dan hanya dianggap patologis jika mulai
menimbulkan gejala atau konsekuensi yang dianggap sebagai penyakit
(GERD) (Spitz dan McLeod, 2003). Normalnya, lower spinchter
oesophagus (LES), lokasi anatomis dari gastroesophageal junction
dan diafragma menghambat cairan atau makanan bergerak kembali
dari gaster ke esofagus. (Van Roekl, 2003). Pada Gastroesophageal
Reflux (GERD), esophagus menjadi iritatif atau inflamasi karena asam
lambung. Esofagus terletak dibelakang jantung sehingga didapatkan
istilah heartburn untuk menggambarkan sensasi terbakar di daerah
dada saat episode serangan GERD (Shi et al, 1995).
GERD muncul ketika terdapat kondisi dimana asam lambung yang
kembali ke esofagus meningkat. Reflux patologis terjadi ketika sifat
merugikan dari asam lambung, kelenjar empedu, pepsin dan isi
duodenum melebihi batas normal dari penghalang antireflux di
esofagus, seperti penghalang asam esofagus dan resistensi mukosa
(Storr, Meining dan Allescher, 2000). Mekanisme utama yang
menyebabkan reflux patologis adalah fungsi dari lower spinchter
oesophagus (LES) yang rusak, dimana hal ini akan meningkatkan
volume dari isi gaster yang reflux ke esofagus. Selain itu, mekanisme
lain dari GERD adalah Transient lower oesophageal spinchter
relaxations (TLESRs) atau berkurangnya gerakan dari LES sehingga
menurunkan pengosongan asam di esofagus, pengosongan gaster yang
terhambat, penurunan salivasi dan resistensi jaringan yang terganggu
(Ritcher, 1999).
Gejala klinis pada GERD diantaranya adalah muntah berulang, berisi
makanan yang dikonsumsi atau bisa berwarna “coffee-ground” jika
terjadi esophagitis ulseratif. Heartburn, biasanya terasa di atas
abdomen dan dapat menyebar ke leher, memberat setelah makan dan
dapat berlangsung hingga dua jam. Gejala ekstrasofageal terjadi pada
GERD, asam lambung dapat refluks hingga ke paru-paru sehingga
menyebabkan gejala paru seperti batuk kronis, wheezing intermiten,
asma, bronktis, aspirasi atau pneumonia berulang dan fibrosis
interstitial. Non-cardiac chest pain juga dapat terjadi pada GERD. Hal
ini terjadi karena terdapat inervasi visceral dari esofagus (Spitz dan
McLeod, 2003; McQuaid, 2000)
Hal lain yang sering terjadi pada GERD adalah efek oral. Banyak
penderita GERD tidak terdiagnosis dan menjadi ”silent refluxer”,
sehingga dokter gigi adalah lini pertama yang dapat mengobservasi
dari erosi dental. Gastroenterologis dan spesialis yang lain melaporkan
korelasi yang kuat antara GERD dan penyakit oral kaviti. Reflux yang
menyebabkan efek ekstraesofageal dapat terjadi karena dua
kemungkinan:
 Kerusakan langsung yang berasal dari kontak mukosa (teori
refluks)
 Refleks vagal dari pemaparan asam lambung pada esofagus distal
(teori reflex)
Namun, asam lambung yang relux dapat merusak jaringan ekstra
esophageal termasuk jaringan lunak dan jaringan keras dari kavitas
oral. Pada beberapa pasien, kerusakan jaringan tidak terlalu parah
namun reflux asam lambung yang kronis dapat merusak (Petruzzi,
2012).
Erosi dimulai dari demineralisasi superfisila dari enamel, sehingga
dapat menyebabkan pelarutan lapisan subpermukaan dan akhirnya
dapat menghilangkan struktur gigi. Asam dengan pH dibawah pH kritis
dari enamel dental (5,5) dapat melarutkan kristal hidroksiapatit di
dalam enamel. Refluks asam lambung memiliki pH kurang dari 2.0
dan memiliki potensial untuk membuat erosi dental (Barron,
Carmichael, Marcon dan Sandor, 2003).
Gigi yang rusak adalah gigi molar mandibular dan terjadi gangguan
pada pertumbuhan gigi primer dan permanen. Erosi seperti ini berbeda
dengan muntah yang disebabkan oleh bulimia karena melibatkan
permukaan lingual dari gigi incisor mandibular. Hal ini juga berbeda
dari asam yang datang dari sumber ekstrinsik, dimana dapat merusak
permukaan labia dari gigi anterior dengan penurunan keparahan di area
posterior (Petruzzi, 2012).
Di Fede O et al pada 2008 menilai kejadian dari perubahan patologis
dan gejala pada pasien GERD. Penelitian tersebut memilih 200 pasien
dengan GERD dan 100 pasien kontrol. Pemeriksaan fisik dari gigi dan
jaringan mukosa oral dilakukan dan temuan yang didapat
dikumpulkan. Analisis univariate menunjukkan bahwa xerostomia,
halositosis subjektif dan eritem pada palatum mole dan palatum durum
serta uvula sering ditemukan pada pasien GERD dibandingkan dengan
pasien kontrol (Di Fede O et al, 2008). Jarvinen et al menemukan
adanya sensasi mulut terbakar, lesi aphthoid dan suara serak pada
pasien dengan penyakit traktus digestif atas. Eritem dari palatum mole
dan uvula, glossitis, atrofi epitel dan atau xerostomia juga dapat
ditemukan pada pasien GERD (Jarvinen et al, 1988).

Gambar 14. Beningn Migratory Glossitis (Geographic tounge)


(Eusterman, 2018).

Gambar 15. Geographic tounge (Varoni E dan Decani S, 2016).

Penatalaksanaan pada pasien GERD dapat dibagi menjadi tatalaksana


non farmakologis dan farmakologis. Pada tatalaksana non-
farmakologis, pasien difokuskan kepada pemeliharaan berat badan dan
menegakkan kepala sekitar 15-20° saat tidur. Pengendalian faktor lain
seperti merokok, minum minuman beralkohol, mengurangi makanan
dan obat-obatan yang meningkatkan asam lambung sehingga
menyebabkan refluks dan mengurangi makan setidaknya 3 jam
sebelum tidur juga harus diperhatikan.

Untuk penatalaksanaan secara farmakologis, dapat menggunakan


antacid, prokinetik, H2-reseptor antagonis, proton pump inhibitor (PPI)
dan baclofen (Storr, Meining dan Allescher, 2000). Dari beberapa obat
yang sudah disebutkan, PPI adalah obat yang paling efektif dalam
meredakan gejala GERD dan menyembuhkan lesi esophagitis pada
pasien GERD (Jones et al, 2009). Dosis untuk PPI adalah single dose
setiap pagi sebelum makan pagi selama 2-4 minggu. Jika gejala GERD
masih dirasakan, disarankan mengkonsumsi PPI menjadi double dose
selama 4-8 minggu. Jika gejala tidak membaik juga maka pasien
disarankan untuk melakukan endoskopi. Pasien dengan heartburn atau
regurgitasi episodik dapat menggunakan antacid atau H2 Reseptor
antagonis (Fock et al, 2008).

E. Tuberculosis
Tuberculosis (TB) adalah penyakit infeksi kronis menular yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis, organisme berbentuk batang, anaerob,
tidak motil, tidak berkapsul dan non-spora (Ram H, 2012).
TB biasanya menyerang paru, tetapi dengan mekanisme penyebaran
hematogen, M. tuberculosis dapat menginfeksi bagian tubuh lain termasuk
cavitas oral dan lidah. Meskipun jarang terjadi, lesi TB pada mulut dan lidah
sangat penting untuk diagnosis awal dan deteksi TB primer (Jain & Jain,
2014).
Penyakit yang mirip glossitis ini juga dikenal sebagai tuberculosis oral
sekunder yang biasanya bersifat kronis dan mampu mendestruksi jaringan
dengan memproduksi cairan kaseosa, cavitas, dan fibrosis. TB oral sekunder
bisa terjadi pada semua kelompok umur, tetapi paling sering pada usia paruh
baya dan orangtua. Lesi yang paling umum adalah ulserasi dengan
karakteristik tepi yang ireguler dengan indurasi yang minimal. Dasar ulcer
dapat berupa mukosa granular maupun pseudomembran. Lokoasi paling
sering munculnya lesi TB oral sekunder adalah lidah, diikuti palatum,
mukosa dalam pipi, dan bibir. Lokasi lain yang mungin muncul adalah
kelenjar ludah, tonsil, uvula, dan tepi mandibula. Ulcer dapat terlihat sebagi
ulcer superficial, bercak kemerahan, maupun indurasi mukosa (Nanda et al,
2011).
Patogenesis dari TB oral sekunder biasanya malalui self-inoculation dari
sputum yang telah terinfeksi. Batuk yang presisten memungkinkan bakteri
TB berkembang biak pada rongga mulut. Penyebaran bakteri TB secara
hematogenic juga mungkin saja terjadi.
Epitel squamous yang intak pada mukosa mulut seharusnya dapat menjadi
pelindung terhadap penetrasi bakteri TB.
Mekanisme ini didukung dengan keberadaan enzim-enzim pada saliva,
jaringan antibodi, dan ketebalan dari epitel itu sendiri. Namun, robekan kecil
pada mukosa akibat iritasi kronis dan inflamasi sangat mungkin menjadi
lokasi kolonisasi M. tuberculosis. Meskipun M. tuberculosis dapat pula
menyebar secara hematogen, daerah robekan tadi tetap menjadi tempat yang
rawan untuk pertumbuhannya, sebab perlukaan jaringan cenderung
menginduksi lokalisasi bakteri yang menyebar melalui peredaran darah
(Sezer et al., 2014).
Faktor predisposisi local seperti hygiene yang buruk, trauma, ekstraksi gigi,
leukoplakia, fraktur rahang, kista, dan abses juga dapat menjadi awal mula
TB oral sekunder (Nanda et al, 2011).
Dalam tinjauan pustaka, masih sedikit jurnal yang secara terperinci
membahas TB oral sekunder. Kebanyakan adalah laporan kasus mengenai
pasien TB oral sekunder dengan TB paru sebagai infeksi primernya. Pada
tiga laporan kasus yang berbeda dari Inda, Croatia, dan Rumania, pasien
dengan TB oral sekunder mengeluhkan adanya ulcer yang tidak nyeri dan
bertambah luas di lidahnya (Boras et al., 2017)
Gambar 16. Ulcer pada lidah pasien TB oral sekunder

Tidak semua gejala TB paru dikeluhkan oleh pasien. Hanya satu pasien yang
mengeluh batuk berdahak dan tidak ada yang mengeluh demam. Namun,
ketiganya mengeluhkan adanya penurunan berat badan. Salah satu pasien
telah diperiksa sebelumnya dan didiagnosa dengan glossitis, sedangkan
pasien lain dalam observasi dengan kecurigaan keganasan. Pasien-pasien ini
lalu dilakukan pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan darah lengkap,
histopatologi, sputum, dan foto thorax.

F.

Gambar 17. Gambaran histopatologi pasien TB oral sekunder


Gambar 18. Hasil foto thorax pasien TB oral sekunder

Pada pemeriksaan histopatologi tampak didapatkan gambaran


granuloma dengan kaseosa sentral. Lalu, pada interpretasi hasil foto
thorax, terlhat adanya nodul multiple di kedua lapang paru. Pasien-
pasien ini lalu didiagnosis dengan TB paru aktif setelah hasil
pemeriksaan sputumnya terkonfirmasi TB positif (Nanda et al, 2011).
Kemudian, pasien diberikan terapi TB berupa isoniazid (1x 400
mg), rifampicin (2x 300 mg), ethambutol (3x 400 mg) dan
pyrazinamide (3x 500 mg). Hasil evaluasi menunjukkan lesi pada
lidah membaik sejalan dengan perbaikan kondisi TB parunya
(Nanda et al, 2011).
Dengan makin tingginya angka kasus TB, manifestasi TB yang langka
mungkin saja munvul di cavitas oral dan tidak terdiagnosis dengan baik.
Maka dari itu, praktisi kesehatan harus meningkatkan kewaspadaan
dengan memasukkan TB sekunder pada diagnosis banding pasien
dengan lesi berupa ulcer dengan dasar gronulosa atau indurasi di lidah
dan mukosa mulut (Sezer et al. 2014).

G. Psoriasis
Psoriasis adalah penyakit inflamasi kulit yang kronis dengan tingkat
kekambuhan yang tinggi. Penyakit ini ditandai dengan adanya plak,
papul, dan patch bersisik, kemerahan, dan gatal (Bassel et al.,2014).
Berdasarkan data National Institutes of Health (NIH), sekitar 5 juta
penduduk Amerika, 3% dari populasi, didiagnosis dengan peyakit
psoriasis. Penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa psoriasis
meningkatkan munculnya lesi di mukosa termasuk di cavum oris. Lesi
non spesifik di cavum oris seperti geographic tongue ditemukan lebih
sering pada pasien dengan generalized pustular psoriasis (Bassel et
al.,2014).
Geographic tongue adalah penyakit inflamatori yang kebanyakan
asimptomatis tanpa diketahui etiologinya seperti psoriasis (Picciani et
al., 2016; Bassel et al.,2014). Geographic tongue adalah psoriasiform
mucositis di dorsum lidah yang juga dikenal dengan migratory
glossitis karena lokasi, bentuk, ukuran, dan warnanya yang berubah
dengan cepat. Hal tersebut menyebabkan epitelium di lidah
membentuk lesi akibat hilangnya papilla filiformis yang terlokalisasi
yang dibatasi oleh garis putih. Geographic tongue sering muncul
dengan genetic (adanya human leukocyte antigen (HLA) HLA-C*06),
gambaran klinis, dan histopatologi seperti psoriasis, sehingga
dianggap bahwa geographic tongue adalah manifestasi klinis dari
psoriasis yang terdapat di mulut. Namun, karena geographic tongue
tidak selalu dijumpai pada pasien psoriasis sehingga masih sulit
diterima untuk menyatakan bahwa geographic tongue adalah oral
psoriasis (Picciani et al., 2016).
Gambar 19. Patofisiologi Psoriasis
Adanya kesamaan temuan imunogenetik dan histopatologi antara
geographic tongue dan psoriasis, sehingga dimungkinkan adanya
kesamaan dalam proses patofisiologinya. Pada fase awal, terjadi
aktivasi sel-sel sistem imun innate (sel dendritik dan
keratinosit) oleh genotype dan berbagai faktor lingkungan
seperti trauma mekanis, infeksi, obat-obatan maupun stres
emosional. Keratinosit kemudian melepaskan sitokin (IL-1, IL-
6, dan TNF-α). Senyawa ini mengaktivasi sel dendritik pada
epidermis dan dermis. Selanjutnya sel dendritic yang telah
teraktivasi akan memperkenalkan antigen pada T-c1. Tc1 akan
melepaskan sitokin IL-12, IL-23, dan IFN-∂, TNF, dan IL-17 yang
secara spesifik berhubungan dengan inflamasi kronis. Semua
proses inflamasi ini meningkatkan proliferasi dan maturasi
keratinosit di kulit secara abnormal serta mengundang sel imun
lain seperti neutrophil di epitelium. Adanya proliferasi dan
maturasi keratinosit yang abnormal menyebabkan stratum
korneum menjadi tebal, terdapatnya parakeratosis akibat adanya
upaya mempertahankan nucleus, dan keratinosit yang tidak
melekat secara sempurna sehingga menimbulkan adanya fissure di
epidermis dan squama.. Dilatasi pembuluh darah yang akhirnya
menimbulkan adanya infiltrate neutrophil di stratum korneum
akan bermanifestasi dengan munculnya Munro’s microabscesses
dan infiltrate neutrophil di stratum spinosum akan bermanifestasi
dengan munculnya Pustule of Kogoj (Picciani B et al.,2016).

Insidensi terjadinya geographic tongue lebih sering terjadi pada


pasien dengan psoriasis berat seperti generalized pustular
psoriasis. Geographic tongue menyerang pada 0,4%-4,8%
populasi di dunia, dengan tingkat kejadian yang meningkat pada
anak-anak, pada wanita, dan frekuensi yang menurun dengan
pertambahan usia (Picciani B et al.,2016; Bassel et al.,2014).

Herna’nez et al., (2008) melakukan penelitian observasional dan


komparatif pada 207 pasien (132 perempuan dan 75 laki-laki).
Lesi oral ditemukan pada 67,5% pasien psoriasis, dimana 12,5%-
nya merupakan gambaran geographic tongue. Miloglu O et al.,
(2009) melakukan penelitian pada 7619 pasien (3819 perempuan,
3800 laki-laki) rawat jalan di Turki dan geographic tongue
ditemukan 1,5% dari semua pasien yang diperiksa. Penelitian ini
juga memberikan bukti lebih lanjut bahwa geographic tongue
lebih sering terjadi pada remaja, bukan perokok, dan individu
dengan riwayat atopi. Costa SC et al.,(2009) melakukan penelitian
terkontrol terhadap 166 pasien dengan psoriasis dan menemukan
bahwa geographic tongue berkorelasi secara signifikan dengan
psoriasis.

Tomb R et al., (2011) melakukan case control studi yang terdiri


dari 400 pasien psoriasis dan 1000 pasien nonpsoriasis, hasil
penelitiannya menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara
psoriasis dan geographic tongue (7.7% pasien psoriasis dengan
geographic tongue versus 1% dari kontrol).

Picciani B et al., (2012) menunjukkan kasus geographic stomatitis


pada perempuan 37 tahun dengan riwayat psoriasis pada keluarga.
Data ini mengindikasikan bahwa geographic stomatitis telah
menjadi manifestasi oral dari psoriasis. Patil S et al., [12]
melakukan sebuah penelitian di India pada 4926 pasien untuk
mengamati adanya lesi di lidah. Dari 12.07% lesi lidah yang
ditemukan, 16.4%-nya adalah geographic tongue.

L Germi MD et al., pada tahun 2012 melakukan penelitian


observasi dan terkontrol, hasilnya menunjukkan bahwa
geographic tongue adalah manifestasi oral dari psoriasis (plaque
type).

Meskipun lesi ini tidak spesifik pada psoriasis, tetapi karena


tingkat insidensinya yang tinggi, sehingga perlu perhatian lebih
untuk penelitian modern (Bassel et al.,2014).
Definitif diagnosis dari oral psoriasis berdasarkan pengetahuan
yang baik dari klinisi tentang menifestasi klinis dan gambaran
histologis dari penyakit ini. Baik dokter gigi maupun dokter
umum disarankan agar pada pasien dengan pasoriasis juga
dilakukan pemeriksaan mulut secara terperinci. Karena
geographic tongue seringkali muncul bersamaan dengan
cutaneous psoriasis, maka hal ini penting untuk membangun
hubungan yang pasti antara keduanya. Idealnya biopsy perlu
dilakukan untuk bukti histologis definitif dan
immunofluorescence, tapi dalam praktik sehari-hari biopsy pada
lesi mulut asimtomatis tidaklah mudah untuk dilakukan. Selain
itu, bukti histologis tidak spesifik untuk psoriasis dan migratory
glossitis sehingga dianjurkan agar klinisi melakukan evaluasi pada
pasien secara holistic (Bassel et al., 2014).

Gambaran histopatologi geographic tongue cukup mirip dengan


psoriasis yang menunjukkan adanya hyperkeratosis, acantosis,
infiltrate limfosit inflamatori subepithelial, neutrophil dan migrasi
granulosit ke permukaan epithelial yang superfisial sehingga
membentuk mikroabses superfisial, mirip gambaran Munro’s
microabscesses yang sering dijumpai pada pustular psoriasis.
Beberapa penyakit pustular yang lain menyerang mukosa oris
seperti parulis di orifisium fistula yang meluas ke permukaan dari
abses dental atau periodontal, pyostomatitisvegetans dan
stomatitis herpetiformis. Lesi tersebut menunjukkan infiltrasi
neutrofilik di starum basal epitelium atau jaringan pengikat paling
bawah yang berbeda dengan oral psoriasis (Bassel et al.,2014).

Migratory glossitis kebanyakan asimtomatis dan biasanya sembuh


dengan sendirinya, namun jika bersifat simptomatis dapat diterapi
dengan prednisolone topical. Picciani et al., (2016) menyatakan
bahwa obat kumur yang mengandung anestesi, kortikosteroid
topical, vitamin A, suplemen zinc, dan antihistamin dapat
digunakan sebagai terapi geographic tongue. Pasien juga perlu
diedukasi untuk menghindari makanan yang pedas dan asam, serta
menjaga oral hygiene. Terapi antifungal sistemik atau topical
direkomendasikan jika terdapat candidiasis sekunder. Terapi yang
sukses dengan siklosporin dan dengan antihistamin topical atau
sistemik sudah dilaporkan, namun terapi yang terstandarisasi
belum tersedia (Bassel et al.,2014).
DAFTAR PUSTAKA
Langlais RP, Miller C, Nnield-Gehrig JS. 2015. Atlas Berwarna Lesi Mulut Yang
Sering Ditemukan, edisi 4. Jakarta: EGC, hal : 4,104,109
Lehman JS, Bruce AJ, Rogers RS (2006). Atrophic glossitis from vitamin B12
deficiency: A case misdiagnosed as burning mouth disorder. Journal
Periodontal, 77(16).
McQuaid KR. Alimentary tract. In: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA, eds.
Current Medical Diagnosis and Treatment. Danbury, Conn.: Appleton &
Lange; 2000:538–637.
Milolu O1, Göregen M, Akgül HM, Acemolu H. The prevalence and risk factors
associated with benign migratory glossitis lesions in 7619 Turkish dental
outpatients. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod.
2009;107(2):e29-33.

Mirza D, Raza G, Abbasi AZ (2016). Median rhomboid glossitis: a peculiar


tongue pathology, report of a case and review of literature. International
Journal of Pharmacy and Biological Sciences, 6(4): 51-53.
Najmi MA, Sadiq MSK, Khalid A (2018). Median Rhomboid Glossitis Reported
In Diabetic Patient – An Enigmatic Pathological Finding. JBUMDC 8(3):
197-198.
Nanda, Kanwar Deep Singh et al. 2011.“A disguised tuberculosis in oral buccal
mucosa.” Dental research journal vol. 8,3 : 154-9.
Nemes, Roxana & Ianosi, Edith & Pop, Corina & Postolache, Paraschiva &
Streba, Costin & Golli, Andreea & Olteanu, Madalina & NiŢu, Mimi.
(2015). Tuberculosis of the oral cavity. Romanian journal of morphology
and embryology = Revue roumaine de morphologie et embryologie. 56.
521-525.
Patil S, Kaswan S, Rahman F, Doni B. Prevalence of tongue lesions in the Indian
population. J Clin Exp Dent. 2013;5(3):e128-32.
Petruzzi M, Lucchese A, Campus G, Crincoli V, Lauritano D, Baldoni E. Oral
stigmatic lesions of gastroesophageal reflux disease (GERD). Rev Med
Chil. 2012 Jul;140(7):915-8.
Picciani B, Silva-Junior G, Carneiro S, Sampaio AL, Goldemberg DC, Oliveira J,
et al. Geographic stomatitis: an oral manifestation of psoriasis? J Dermatol
Case Rep. 2012;6(4):113-16
Picciani, B. L., Domingos, T. A., Teixeira-Souza, T., Santos, V., Gonzaga, H. F.,
Cardoso-Oliveira, J., Carneiro, S. (2016). Geographic tongue and psoriasis:
clinical, histopathological, immunohistochemical and genetic correlation - a
literature review. Anais brasileiros de dermatologia, 91(4), 410–421.
doi:10.1590/abd1806-4841.20164288
Ram H, Kumar S, Mehrotra S, Mohommad S. 2012. Tubercular ulcer: mimicking
squamous cell carcinoma of buccal mucosa. J Maxillofac Oral Surg.
2012;11(1):105-8.
Ranjitkar S, Smales RJ, Kaidonis JA. Oral manifestations of gastroesophageal
reflux disease. J Gastroenterol Hepatol. 2012 Jan; 27(1):21-7.
Richter J. Do we know the cause of reflux disease? Eur J Gastroenterol Hepatol.
1999 Jun;11 Suppl 1:S3-9.
Sezer B, Zeytinoglu M, Tuncay U, Unal T. 2014. Oral mucosal ulceration: a
manifestation of previously undiagnosed pulmonary tuberculosis. J Am
Dent Assoc Mar;135(3):336-340
Shi G, Bruley des Varannes S, Scarpignato C, Le Rhun M, Galmiche JP. Reflux
related symptoms in patients with normal oesophageal exposure to acid.
Gut. 1995 Oct;37(4):457-64.
Spechler SJ. GERD and its complications. Mt Sinai J Med 2000 Mar; 67 (2):106–
11.
Spitz L, McLeod E. Gastroesophageal Reflux. Semin Pediatr Surg 2003 Nov;
12(4): 237-40.
Storr M, Meining A, Allescher HD. Pathophysiology and pharmacological
treatment of gastroesophageal reflux disease. Dig Dis. 2000; 18(2):93–102.
Tarakji, B., Umair, A., Babaker, Z., Sn, A., Gazal, G., & Sarraj, F. (2014). Relation
between psoriasis and geographic tongue. Journal of clinical and diagnostic
research :JCDR, 8(11), ZE06–ZE7. doi:10.7860/JCDR/2014/9101.5171
Tomb R, Hajj H, Nehme E. Oral lesions in psoriasis. Ann Dermatol Venereol.
2010;137(11):695-702.
Van Roekl NB. Gastroesophageal reflux disease, tooth erosion, and prosthodontic
rehabilitation: a clinical report. J Prosthodont. 2003 Dec;12(4):255-9.
Varoni E dan Decani S. 2016. Geographic Tounge. N Engl J Med. 2016. 374:670
Verhulst M.JL, Loos BG, Gerdes VEA, Teeuw WJ (2019). Evaluating All
Potential Oral Complications of Diabetes Mellitus. Fontiers in
Endocrinology, 56(10): 1-49.

Anda mungkin juga menyukai