Disusun oleh:
Elga Zuherli G99172066
Mutia Azmi Suswandari G99172119
Maya Angela P. G99181044
Dina Ayu Apriyani G991902015
Dwiana Kartikawati G991902016
Eillien Ramadhani Fauzi G991902017
Pembimbing:
drg. Christianie, Sp.Perio
Oleh:
Elga Zuherli G99172066
Mutia Azmi Suswandari G99172119
Maya Angela P. G99181044
Dina Ayu Apriyani G991902015
Dwiana Kartikawati G991902016
Eillien Ramadhani Fauzi G991902017
Lidah merupakan organ dalam rongga mulut yang memiliki peran penting
dalam proses pengunyahan, persepsi rasa, bicara, respirasi, mengisap, menelan,
dan perkembangan rahang. Lidah sebagai indera pengecap mempunyai taste buds
yang meliputi seluruh permukaannya yang mengandung pori-pori atau dikenal
sebagai taste pore yang mengandung mikrovili pembawa sel gustatori yang akan
distimuli oleh berbagai cairan kimiawi pada saliva. Lidah dapat digunakan untuk
melihat kondisi kesehatan seseorang, sebagai indikator untuk mengetahui
kesehatan oral dan kesehatan umum pasien. Berbagai gangguan sistemik telah
dikaitkan dengan perubahan rongga mulut, baik yang spesifik maupun tidak
spesifik, dalam banyak keadaan rongga mulut menjadi area diagnostik yang
penting.
Glossitis merupakan salah satu kelainan pada lidah berupa perubahan
penampilan pada permukaan lidah akibat suatu peradangan akut ataupun kronis
yang mengakibatkan lidah membengkak, berubah warna dan tekstur permukaan.
Kondisi ini dapat menyebabkan papilla di permukaan lidah menghilang. Papilla
akan berwarna lebih putih dari daerah yang dikelilinginya. Penyebabnya tidak
diketahui, tetapi diperkirakan stress emosional, defisiensi nutrisi dan herediter.
Keadaan ini biasanya terbatas pada dorsal dan tepi lateral dua pertiga anterior
lidah dan hanya mengenai papilla filiformis sedangkan papilla fungiformis tetap
baik. Papilla berisi ribuan sensor kecil yang disebut taste buds. Radang parah
yang mengakibatkan pembengkakan, kemerahan, dan nyeri, dapat mengubah cara
penderita makan ataupun berbicara (Langlais, 2001).
Glossitis atau yang biasa disebut lidah geografik adalah umum dan
mengenai kira – kira 1-2% penduduk. Paling sering mengenai laki-laki dan orang-
orang dewasa usia muda sampai pertengahan. Keadaan tersebut dapat timbul tiba-
tiba dan menetap selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun. Dapat terlihat hilang
spontan dan kambuh kembali. Pada kasus yang berat, glossitis dapat
menyebabkan tersumbatnya jalan nafas ketika lidah yang membengkak cukup
parah sehingga membutuhkan penanganan segera (Langlais, 2001).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. LIDAH
A. Anatomi
Lidah merupakan massa jaringan ikat yang tersusun oleh otot lurik yang
diliputi oleh membran mukosa. Membran mukosa melekat erat pada otot
karena jaringan penyambung lamina propia menembus ke dalam ruang-ruang
antar berkas-berkas otot. Lidah merupakan bagian tubuh penting untuk indra
pengecap yang terdapat kemoreseptor untuk merasakan respon rasa asin, asam,
pahit dan rasa manis. Tiap rasa pada zat yang masuk ke dalam rongga mulut
akan direspon oleh lidah di tempat yang berbeda-beda.
Lidah terletak di dasar mulut dan melekat pada tulang hyoid. Dorsal
lidah mempunyai permukaan konveks dengan suatu sulkus median. Pada
bagian posterior sulkus tersebut terdapat foramen sekum, yang menandai
daerah asal kelenjar tiroid. Di belakang foramen sekum ditemukan kelenjar-
kelenjar penghasil mukus dan sekelompok jaringan limfe yang disebut tonsil
lingual. Lidah mempunyai tekstur kasar yang disebabkan oleh adanya papilla.
Papilla yang terbesar adalah papilla sirkumvalata. Terdapat kira-kira sepuluh
papilla yang berbentuk bundar ini, yang terletak tepat didepan foramen sekum
dan membagi lidah menjadi dua pertiga anterior dan sepertiga posterior.
Papilla filiformis merupakan papilla yang paling banyak, dan ditemukan pada
permukaan bagian anterior lidah. Papilla fungiformis terletak pada bagian
ujung dan sisi lidah. Papilla ini dapat dikenali berdasarkan warnanya yang
merah dan permukaannya yang lebar.
Lidah sebagian besar terdiri dari dua kelompok otot yaitu otot intrinsik
dan ektrinsik. Otot intrinsik lidah melakukan semua gerakan halus, sementara
otot ektrinsik mengaitkan lidah pada bagian-bagian sekitarnya serta
melaksanakan gerakan-gerakan kasar yang sangat penting pada saat
mengunyah dan menelan. Lidah mengaduk makanan, menekannya pada langit-
langit dan gigi dan akhirnya mendorongnya masuk faring. Lidah terletak pada
dasar mulut, sementara pembuluh darah dan urat saraf masuk dan keluar pada
akarnya. Ujung serta pinggiran lidah bersentuhan dengan gigi-gigi bawah,
sementara dorsum merupakan permukaan melengkung pada bagian atas lidah.
Gambar 1. Anatomi Lidah
B. Fungsi Lidah
1. Menunjukkan kondisi tubuh
2. Membasahi makanan di dalam mulut
3. Mengecap atau merasakan makanan
a. Rasa Asin = Lidah Bagian Depan
b. Rasa Manis = Lidah Bagian Tepi
c. Rasa Asam = Lidah Bagian Samping
d. Rasa Pahit = Lidah Bagian Belakang
4. Membolak-balik makanan
5. Menelan makanan
6. Mengontrol suara dan dalam mengucapkan kata-kata
II. GLOSITIS
A. Definisi
Glositis merupakan suatu kondisi peradangan pada lidah yang
ditandai dengan terjadinya deskuamasi papila filiformis sehingga
menghasilkan daerah kemerahan yang halus dan mengkilat. Glositis bisa
terjadi akut atau kronis. Penyakit ini dapat mencerminkan kondisi dari
lidah itu sendiri atau merupakan cerminan dari penyakit tubuh yang
gejalanya muncul pada lidah. Keadaan ini dapat menyerang pada semua
tingkatan usia. Kelainan ini sering menyerang pada laki- laki
dibandingkan pada wanita.
Gambar 2. Glositis
B. Etiologi
Penyebab glositis dapat bermacam-macam, baik lokal maupun sistemik.
1. Lokal
a. Infeksi (streptococcal, candidiasis, TB, HSV, EBV)
b. Trauma (luka bakar)
c. Iritan primer (alkohol, tembakau, makanan pedas, permen
berlebihan)
2. Sistemik
a. Malnutrisi (kurang asupan vitamin B12, niasin, riboflavin, asam
folat)
b. Anemia (kekurangan Fe)
c. HIV (candidiasis, HSV, kehilangan papillae)
d. Obat lanzoprazole, amoxicillin, metronidazole.
e. Reaksi alergi
f. Penyakit kulit (lichenplanus, erythema multiforme, syphilis, lesi
apthous)
C. Faktor Risiko
1. Seorang pecandu alcohol
2. Seorang perokok
3. Memiliki riwayat keluarga menderita glossitis
4. Mengunyah tembakau
5. Sebelumnya ada riwayat trauma gigi
E. Klasifikasi
1. Idiopathic Glossitis
Inflamasi pada membran mukosa dan otot lidah secara keseluruhan.
2. Atrophic Glossitis (Hunter’s Glossitis)
Ditandai dengan kondisi lidah yang kehilangan rasa karena
degenerasi ujung papil (bagian menonjol pada selaput yang berlendir
di bagian atas lidah).Perasaan lidah terbakar yang menyebar ke
bagian mulut lain yang biasanya dipicu oleh adanya ulserasi. Lidah
terlihat licin dan mengkilat baik seluruh bagian lidah maupun hanya
sebagian kecil. Penyebab yang paling sering biasanya adalah
kekurangan zat besi.Jadi banyak didapatkan pada penderita anemia.
G. Diagnosis Banding
1. Oral candidosis
Penyebabnya adalah jamur yang disebut Candida albicans.
Gejalanya lidah akan tampak tertutup lapisan putih yang dapat
dikerok.
2. Geographic tongue
Lidah seperti peta, berpulau-pulau, baik banyak maupun
sedikit.Bagian pulau berwarna merah dan lebih licin. Bila parah akan
dikelilingi pita putih tebal.
Gambar 8. Geographic Tongue
3. Fissured tongue
Lidah akan terlihat pecah-pecah. Kadang garis hanya satu ditengah,
kadang juga bercabang-cabang.
H. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah untuk mengurangi peradangan. Pengobatan
glositis tergantung pada penyebabnya. Antibiotik digunakan untuk
pengobatan infeksi bakteri. Bila penyebabnya adalah defisiensi besi,
maka diperlukan supplement yang memadai yaitu harus diberikan zat
besi yang merupakan ciri defisiensi utama dari glossitis ini.
Penatalaksanaan pembengkakan dan rasa tidak nyaman di mulut
dilakukan dengan pemberian obat-obatan secara oral. Obat kumur yaitu
campuran setengah teh baking soda dan dicampur dengan air hangat akan
membantu keadaan ini. Bila pembengkakan dirasakan parah, bisa
diberikan kortikosteroid. Topikal kortikosteroid juga mungkin berguna
untuk penggunaan sesekali, misalnya triamcinolone dalam pasta gigi
yang diterapkan beberapa kali sehari ketika diperlukan. Kebersihan mulut
yang baik sangat penting. Hindari iritasi seperti tembakau, panas, pedas
makanan dan alkohol (Langlais, 2001).
I. Komplikasi
1. Ketidaknyamanan
Karena pasien kesulitan dalam menelan, mengunyah dan berbicara
yang disebabkan karena lidah mengalami pembengkakan.
2. Airway Obstruksi
Udara yang masuk melalui mulut tersumbat karena lidah mengalami
pembengkakan.
3. Disfagia
Disfagia (dysphagia) adalah kesulitan menelan makanan. Kondisi ini
biasanya menjadi tanda adanya masalah pada tenggorokan atau
kerongkongan. Sebagian pasien dengan disfagia mengalami
kesulitan menelan beberapa jenis makanan tertentu dan cairan. Pada
kasus lain, pasien mengalami gangguan mekanisme menelan parah.
Kondisi ini terjadi karena adanya masalah pada otot dan saraf
tenggorokan atau kerongkongan dan karena terjadinya penyumbatan
pada tenggorokan atau kerongkongan.
4. Disfonia
Disfonia adalah gangguan produksi suara. Disfonia adalah istilah
medis untuk gangguan produksi suara. Orang yang menderita
disfonia dapat mengeluarkan suara serak atau tidak ada suara sama
sekali. Ada banyak penyebab disfonia, baik karena keganasan atau
non-keganasan (Pindborg, 2009).
J. Prognosis
Dalam beberapa kasus, glossitis bisa menyebabkan lidah bengkak yang
dapat menghambat jalan nafas. Namun dengan penanganan yang tepat
dan adekuat, gangguan pada lidah ini dapat diatasi dan dicegah
kekambuhannya (Langlais, 2001).
K. Pencegahan
1. Menjaga kebersihan rongga mulut merupakan hal yang harus
dilakukan
2. Menyikat gigi dan menggunakan dental floss atau benang gigi
3. Membersihkan lidah setelah makan
4. Mengunjungi dokter gigi secara teratur
5. Jangan gunakan bahan bahan obat atau makanan yang merangsang
lidah untuk terjadi iritasi atau agent sensitisasi. Bahan bahan ini
termasuk makanan yang panas dan beralkohol
6. Hentikan merokok dan hindari penggunaan tembakau dalam jenis
apapun
7. Sebaiknya segera konsultasi ke dokter bila gangguannya bertambah
parah (Pindborg, 2009).
C. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus adalah suatu penyakit metabolik yang ditandai
dengan adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh gangguan sekresi
insulin atau gangguan kerja insulin atau keduanya. Diabetes mellitus
(DM) merupakan salah satu gangguan yang paling umum dari kelenjar
endokrin yang memiliki distribusi di seluruh dunia dan merupakan
faktor risiko untuk patologi mulut salah satunya yaitu glositis
(Verhulst et al., 2019).
Gambar 11. Manifestasi oral dari diabetes, mekanisme dan hubungannya (Mirza
et al., 2016).
Mukosa oral secara normal dilindungi oleh saliva yang adekuat secara
jumlah dan kualitas. Saliva memiliki fungsi melubrikasi, membersihkan,
mempertahankan pH, sebagai protein antimikrobial dengan mensekresi
IgA, agregasi bakteri dan membersihkan bakteri. Epitel dan kelenjar saliva
minor pada mukosa berkontribusi terhadap innate immunity melalui
defensin α dan β, histatin dan peptida antimikroba lainnya. Pada pasien
diabetes mellitus fungsi dari kelenjar saliva dan fungsi imun menjadi
menurun sehingga meningkatkan risiko terjad lesi mukosa dan kelainan
lainnya. Dari beberapa studi menunjukkan penyakit oral soft-tissue muncul
10 kali lebih tinggi pada pasien dengan diabetes daripada pasien
nondiabetes (Gandara dan Morton, 2011).
Candida albican merupakan spesies yang biasa ditemukan pada kulit dan
permukaan mukosa, namun dapat menjadi infeksi oportunistik pada
pasien dengan diabetes mellitus. Infeksi candida albican (candidiasis)
memiliki beberapa manifestasi klinik termasuk median rhomboid glossitis
(kemerahan dan hilangnya papil pada bagian sisi dorsal lidah), angular
cheilitis (inflamasi pada sudut mulut), denture stomatitis (inflamasi dan
kemerahan di bawah gigi tiruan). Median rhomboid glossitis yaitu suatu
kondisi secara tipikal berlokasi di sekitar midline sisi dorsal lidah yang
muncul kemerahan, dan rhomboid area yaitu memnunjukkan bentuk atrofi
(Najmi et al., 2018).
D. GERD
Gastroesophageal Reflux (GERD) didefinisikan sebagai regurgitasi
involunter dari komponen gaster ke esophagus. Hal ini merupakan
proses fisiologis dan hanya dianggap patologis jika mulai
menimbulkan gejala atau konsekuensi yang dianggap sebagai penyakit
(GERD) (Spitz dan McLeod, 2003). Normalnya, lower spinchter
oesophagus (LES), lokasi anatomis dari gastroesophageal junction
dan diafragma menghambat cairan atau makanan bergerak kembali
dari gaster ke esofagus. (Van Roekl, 2003). Pada Gastroesophageal
Reflux (GERD), esophagus menjadi iritatif atau inflamasi karena asam
lambung. Esofagus terletak dibelakang jantung sehingga didapatkan
istilah heartburn untuk menggambarkan sensasi terbakar di daerah
dada saat episode serangan GERD (Shi et al, 1995).
GERD muncul ketika terdapat kondisi dimana asam lambung yang
kembali ke esofagus meningkat. Reflux patologis terjadi ketika sifat
merugikan dari asam lambung, kelenjar empedu, pepsin dan isi
duodenum melebihi batas normal dari penghalang antireflux di
esofagus, seperti penghalang asam esofagus dan resistensi mukosa
(Storr, Meining dan Allescher, 2000). Mekanisme utama yang
menyebabkan reflux patologis adalah fungsi dari lower spinchter
oesophagus (LES) yang rusak, dimana hal ini akan meningkatkan
volume dari isi gaster yang reflux ke esofagus. Selain itu, mekanisme
lain dari GERD adalah Transient lower oesophageal spinchter
relaxations (TLESRs) atau berkurangnya gerakan dari LES sehingga
menurunkan pengosongan asam di esofagus, pengosongan gaster yang
terhambat, penurunan salivasi dan resistensi jaringan yang terganggu
(Ritcher, 1999).
Gejala klinis pada GERD diantaranya adalah muntah berulang, berisi
makanan yang dikonsumsi atau bisa berwarna “coffee-ground” jika
terjadi esophagitis ulseratif. Heartburn, biasanya terasa di atas
abdomen dan dapat menyebar ke leher, memberat setelah makan dan
dapat berlangsung hingga dua jam. Gejala ekstrasofageal terjadi pada
GERD, asam lambung dapat refluks hingga ke paru-paru sehingga
menyebabkan gejala paru seperti batuk kronis, wheezing intermiten,
asma, bronktis, aspirasi atau pneumonia berulang dan fibrosis
interstitial. Non-cardiac chest pain juga dapat terjadi pada GERD. Hal
ini terjadi karena terdapat inervasi visceral dari esofagus (Spitz dan
McLeod, 2003; McQuaid, 2000)
Hal lain yang sering terjadi pada GERD adalah efek oral. Banyak
penderita GERD tidak terdiagnosis dan menjadi ”silent refluxer”,
sehingga dokter gigi adalah lini pertama yang dapat mengobservasi
dari erosi dental. Gastroenterologis dan spesialis yang lain melaporkan
korelasi yang kuat antara GERD dan penyakit oral kaviti. Reflux yang
menyebabkan efek ekstraesofageal dapat terjadi karena dua
kemungkinan:
Kerusakan langsung yang berasal dari kontak mukosa (teori
refluks)
Refleks vagal dari pemaparan asam lambung pada esofagus distal
(teori reflex)
Namun, asam lambung yang relux dapat merusak jaringan ekstra
esophageal termasuk jaringan lunak dan jaringan keras dari kavitas
oral. Pada beberapa pasien, kerusakan jaringan tidak terlalu parah
namun reflux asam lambung yang kronis dapat merusak (Petruzzi,
2012).
Erosi dimulai dari demineralisasi superfisila dari enamel, sehingga
dapat menyebabkan pelarutan lapisan subpermukaan dan akhirnya
dapat menghilangkan struktur gigi. Asam dengan pH dibawah pH kritis
dari enamel dental (5,5) dapat melarutkan kristal hidroksiapatit di
dalam enamel. Refluks asam lambung memiliki pH kurang dari 2.0
dan memiliki potensial untuk membuat erosi dental (Barron,
Carmichael, Marcon dan Sandor, 2003).
Gigi yang rusak adalah gigi molar mandibular dan terjadi gangguan
pada pertumbuhan gigi primer dan permanen. Erosi seperti ini berbeda
dengan muntah yang disebabkan oleh bulimia karena melibatkan
permukaan lingual dari gigi incisor mandibular. Hal ini juga berbeda
dari asam yang datang dari sumber ekstrinsik, dimana dapat merusak
permukaan labia dari gigi anterior dengan penurunan keparahan di area
posterior (Petruzzi, 2012).
Di Fede O et al pada 2008 menilai kejadian dari perubahan patologis
dan gejala pada pasien GERD. Penelitian tersebut memilih 200 pasien
dengan GERD dan 100 pasien kontrol. Pemeriksaan fisik dari gigi dan
jaringan mukosa oral dilakukan dan temuan yang didapat
dikumpulkan. Analisis univariate menunjukkan bahwa xerostomia,
halositosis subjektif dan eritem pada palatum mole dan palatum durum
serta uvula sering ditemukan pada pasien GERD dibandingkan dengan
pasien kontrol (Di Fede O et al, 2008). Jarvinen et al menemukan
adanya sensasi mulut terbakar, lesi aphthoid dan suara serak pada
pasien dengan penyakit traktus digestif atas. Eritem dari palatum mole
dan uvula, glossitis, atrofi epitel dan atau xerostomia juga dapat
ditemukan pada pasien GERD (Jarvinen et al, 1988).
E. Tuberculosis
Tuberculosis (TB) adalah penyakit infeksi kronis menular yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis, organisme berbentuk batang, anaerob,
tidak motil, tidak berkapsul dan non-spora (Ram H, 2012).
TB biasanya menyerang paru, tetapi dengan mekanisme penyebaran
hematogen, M. tuberculosis dapat menginfeksi bagian tubuh lain termasuk
cavitas oral dan lidah. Meskipun jarang terjadi, lesi TB pada mulut dan lidah
sangat penting untuk diagnosis awal dan deteksi TB primer (Jain & Jain,
2014).
Penyakit yang mirip glossitis ini juga dikenal sebagai tuberculosis oral
sekunder yang biasanya bersifat kronis dan mampu mendestruksi jaringan
dengan memproduksi cairan kaseosa, cavitas, dan fibrosis. TB oral sekunder
bisa terjadi pada semua kelompok umur, tetapi paling sering pada usia paruh
baya dan orangtua. Lesi yang paling umum adalah ulserasi dengan
karakteristik tepi yang ireguler dengan indurasi yang minimal. Dasar ulcer
dapat berupa mukosa granular maupun pseudomembran. Lokoasi paling
sering munculnya lesi TB oral sekunder adalah lidah, diikuti palatum,
mukosa dalam pipi, dan bibir. Lokasi lain yang mungin muncul adalah
kelenjar ludah, tonsil, uvula, dan tepi mandibula. Ulcer dapat terlihat sebagi
ulcer superficial, bercak kemerahan, maupun indurasi mukosa (Nanda et al,
2011).
Patogenesis dari TB oral sekunder biasanya malalui self-inoculation dari
sputum yang telah terinfeksi. Batuk yang presisten memungkinkan bakteri
TB berkembang biak pada rongga mulut. Penyebaran bakteri TB secara
hematogenic juga mungkin saja terjadi.
Epitel squamous yang intak pada mukosa mulut seharusnya dapat menjadi
pelindung terhadap penetrasi bakteri TB.
Mekanisme ini didukung dengan keberadaan enzim-enzim pada saliva,
jaringan antibodi, dan ketebalan dari epitel itu sendiri. Namun, robekan kecil
pada mukosa akibat iritasi kronis dan inflamasi sangat mungkin menjadi
lokasi kolonisasi M. tuberculosis. Meskipun M. tuberculosis dapat pula
menyebar secara hematogen, daerah robekan tadi tetap menjadi tempat yang
rawan untuk pertumbuhannya, sebab perlukaan jaringan cenderung
menginduksi lokalisasi bakteri yang menyebar melalui peredaran darah
(Sezer et al., 2014).
Faktor predisposisi local seperti hygiene yang buruk, trauma, ekstraksi gigi,
leukoplakia, fraktur rahang, kista, dan abses juga dapat menjadi awal mula
TB oral sekunder (Nanda et al, 2011).
Dalam tinjauan pustaka, masih sedikit jurnal yang secara terperinci
membahas TB oral sekunder. Kebanyakan adalah laporan kasus mengenai
pasien TB oral sekunder dengan TB paru sebagai infeksi primernya. Pada
tiga laporan kasus yang berbeda dari Inda, Croatia, dan Rumania, pasien
dengan TB oral sekunder mengeluhkan adanya ulcer yang tidak nyeri dan
bertambah luas di lidahnya (Boras et al., 2017)
Gambar 16. Ulcer pada lidah pasien TB oral sekunder
Tidak semua gejala TB paru dikeluhkan oleh pasien. Hanya satu pasien yang
mengeluh batuk berdahak dan tidak ada yang mengeluh demam. Namun,
ketiganya mengeluhkan adanya penurunan berat badan. Salah satu pasien
telah diperiksa sebelumnya dan didiagnosa dengan glossitis, sedangkan
pasien lain dalam observasi dengan kecurigaan keganasan. Pasien-pasien ini
lalu dilakukan pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan darah lengkap,
histopatologi, sputum, dan foto thorax.
F.
G. Psoriasis
Psoriasis adalah penyakit inflamasi kulit yang kronis dengan tingkat
kekambuhan yang tinggi. Penyakit ini ditandai dengan adanya plak,
papul, dan patch bersisik, kemerahan, dan gatal (Bassel et al.,2014).
Berdasarkan data National Institutes of Health (NIH), sekitar 5 juta
penduduk Amerika, 3% dari populasi, didiagnosis dengan peyakit
psoriasis. Penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa psoriasis
meningkatkan munculnya lesi di mukosa termasuk di cavum oris. Lesi
non spesifik di cavum oris seperti geographic tongue ditemukan lebih
sering pada pasien dengan generalized pustular psoriasis (Bassel et
al.,2014).
Geographic tongue adalah penyakit inflamatori yang kebanyakan
asimptomatis tanpa diketahui etiologinya seperti psoriasis (Picciani et
al., 2016; Bassel et al.,2014). Geographic tongue adalah psoriasiform
mucositis di dorsum lidah yang juga dikenal dengan migratory
glossitis karena lokasi, bentuk, ukuran, dan warnanya yang berubah
dengan cepat. Hal tersebut menyebabkan epitelium di lidah
membentuk lesi akibat hilangnya papilla filiformis yang terlokalisasi
yang dibatasi oleh garis putih. Geographic tongue sering muncul
dengan genetic (adanya human leukocyte antigen (HLA) HLA-C*06),
gambaran klinis, dan histopatologi seperti psoriasis, sehingga
dianggap bahwa geographic tongue adalah manifestasi klinis dari
psoriasis yang terdapat di mulut. Namun, karena geographic tongue
tidak selalu dijumpai pada pasien psoriasis sehingga masih sulit
diterima untuk menyatakan bahwa geographic tongue adalah oral
psoriasis (Picciani et al., 2016).
Gambar 19. Patofisiologi Psoriasis
Adanya kesamaan temuan imunogenetik dan histopatologi antara
geographic tongue dan psoriasis, sehingga dimungkinkan adanya
kesamaan dalam proses patofisiologinya. Pada fase awal, terjadi
aktivasi sel-sel sistem imun innate (sel dendritik dan
keratinosit) oleh genotype dan berbagai faktor lingkungan
seperti trauma mekanis, infeksi, obat-obatan maupun stres
emosional. Keratinosit kemudian melepaskan sitokin (IL-1, IL-
6, dan TNF-α). Senyawa ini mengaktivasi sel dendritik pada
epidermis dan dermis. Selanjutnya sel dendritic yang telah
teraktivasi akan memperkenalkan antigen pada T-c1. Tc1 akan
melepaskan sitokin IL-12, IL-23, dan IFN-∂, TNF, dan IL-17 yang
secara spesifik berhubungan dengan inflamasi kronis. Semua
proses inflamasi ini meningkatkan proliferasi dan maturasi
keratinosit di kulit secara abnormal serta mengundang sel imun
lain seperti neutrophil di epitelium. Adanya proliferasi dan
maturasi keratinosit yang abnormal menyebabkan stratum
korneum menjadi tebal, terdapatnya parakeratosis akibat adanya
upaya mempertahankan nucleus, dan keratinosit yang tidak
melekat secara sempurna sehingga menimbulkan adanya fissure di
epidermis dan squama.. Dilatasi pembuluh darah yang akhirnya
menimbulkan adanya infiltrate neutrophil di stratum korneum
akan bermanifestasi dengan munculnya Munro’s microabscesses
dan infiltrate neutrophil di stratum spinosum akan bermanifestasi
dengan munculnya Pustule of Kogoj (Picciani B et al.,2016).