Anda di halaman 1dari 9

Jurnal Diakronika FIS UNP

Kamis, 24 Mei 2012


BERPIKIR KRITIS PEMBELAJARAN SEJARAH
Oleh : Zafri

ABSTRAK

Tulisan ini disari dari draf awal buku saku pembelajaran sejarah yang sedang ditulis, sebagai
bahan pengantar untuk meningkatkan kompetensi calon pendidik dalam pembelajaran sejarah.
Ide pokok dari tulisan ini merupakan bagian kedua dari tujuan pembelajaran sejarah pada
Standar Isi setelah berpikir proses yang juga di muat dalam jurnal ilmiah ini. Maka khusus pada
tulisan ini dibahas tentang berpikir kritis dalam pembelajaran sejarah. Banyak orang mengatakan
bahwa salah satu ciri orang pintar adalah mampu berpikir kritis. Berpikir kritis ialah berpikir
dengan konsep yang matang dan mempertanyakan segala sesuatu yang dianggap tidak tepat
dengan cara yang baik. Tulisan ini bertujuan memberikan kajian tentang cara melatih berpikir
kritis dalam pembelajaran materi sejarah, tentunya untuk membantu siswa menjadi seorang
yang mampu berpikir kritis.

Pendahuluan
Pada prakteknya penerapan proses belajar mengajar kurang mendorong pada pencapaian
kemampuan berpikir kritis. Dua faktor penyebab berpikir kritis tidak berkembang selama
pendidikan adalah kurikulum yang umumnya dirancang dengan target materi yang luas sehingga
guru lebih terfokus pada penyelesaian materi dan kurangnya pemahaman guru tentang metode
pengajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis.

Persoalannya, apakah berpikir kritis dapat dilatih? Menurut para ahli, melatih berpikir kritis dapat
dilakukan dengan cara mempertanyakan apa yang dilihat dan didengar. Setelah itu, dilanjutkan
dengan bertanya mengapa dan bagaimana tentang hal tersebut. Intinya, jangan langsung
menerima mentah-mentah informasi yang masuk. Dari mana pun datangnya, informasi yang
diperoleh harus dicerna dengan baik dan cermat sebelum akhirnya disimpulkan. Karena itu,
berlatih berpikir kritis artinya juga berperilaku hati-hati dan tidak grusa-grusu dalam menyikapi
permasalahan.

Ada pandangan lain untuk meningkatkan sikap kritis. Menurut penelitian para ahli
neurolinguistik, cabang ilmu yang mengkaji bahasa dan fungsi saraf, otak manusia bisa dilatih
fungsi-fungsinya, termasuk untuk melahirkan sikap kritis. Menurut mereka, otak manusia dibagi
dua, yakni otak kiri yang memproduksi bahasa verbal, imitatif dan repetitif, dan otak kanan yang
memperoduksi pikiran yang bersifat imajinatif, komprehensif, dan kontemplatif. Muncul dugaan
bahwa orang-orang agung para pembuat sejarah besar adalah orang yang memiliki otak kanan
yang aktif.

Pengertian
Berpikir kritis (critical thinking) adalah proses mental untuk menganalisis atau mengevaluasi
informasi. Informasi tersebut bisa didapatkan dari hasil pengamatan, pengalaman, akal sehat
atau komunikasi. Arthur L. Costa (1985:310) menggambarkan bahwa berpikir kritis adalah:
"using basic thinking processes to analyze arguments and generate insight into particular
meanings and interpretation; also known as directed thinking". R. Matindas (1996:71)
menyatakan bahwa: "Berpikir kritis adalah aktivitas mental yang dilakukan untuk mengevaluasi
kebenaran sebuah pernyataan. Umumnya evaluasi berakhir dengan putusan untuk menerima,
menyangkal, atau meragukan kebenaran pernyataan yang bersangkutan".

Steven (1991) memberikan pengertian berpikir kritis yaitu berpikir dengan benar dalam
memperoleh pengetahuan yang relevan dan reliable. Berpikir kritis adalah berpikir nalar, reflektif,
bertanggung jawab, dan mahir berpikir. Dari pengertian Steven tersebut, seseorang yang berpikir
dengan kritis dapat menentukan informasi yang relevan. Berpikir kritis merupakan kegiatan
memproses informasi yang akurat sehingga dapat dipercaya, logis, dan kesimpulannya
meyakinkan, dan dapat membuat keputusan yang bertanggung jawab. Seseorang yang berpikir
kritis dapat bernalar logis dan membuat kesimpulan yang tepat.

Memang banyak cara kita dalam mendefinisikan berpikir kritis, misalnya Dewey mengartikan
berpikir kritis sebagai "... essentially problem solving"; Ennis (dalam L.Costa,1985): "the process
of reasonably deciding what to believe"; atau juga dapat didefinisikan sebagai :"... a search for
meaning, not the acquisition of knowledge" (Arendt,1977). Ennis (dalam L.Costa,1985) dalam
bentuk working definition menggambarkan bahwa : "critical thinking is reasonable, reflective
thinking that is focused on deciding what to believe". Gega (1977:78) Orang yang berpikir kritis
adalah ".... who base sugesstion and conclusions on evidence ..." yang ditandai dengan:
menggunakan bukti untuk mengukur kebenaran kesimpulan, menunjukkan pendapat yang
kadang kontradiktif dan mau mengubah pendapat jika ternyata ada bukti kuat yang
bertentangan dengan pendapatnya. Senada dengan apa yang dikemukakan Gega, The Statewide
History-social science Assesment Advisory commitee (USA) mendefinisikan berpikir kritis sebagai "
... those behaviors associated with deciding what to believe and do".

Proses berpikir kritis dapat digambarkan seperti metode ilmiah. Steven (1991) mengutarakan
bahwa berpikir kritis adalah metode tentang penyelidikan ilmiah, yaitu: mengidentifikasi masalah,
merumuskan hipotesis, mencari dan mengumpulkan data-data yang relevan, menguji hipotesis
secara logis dan evaluasi serta membuat kesimpulan yang reliable. Krulik dan Rudnick (1993)
mendefinisikan berpikir kritis adalah berpikir yang menguji, menghubungkan, dan mengevaluasi
semua aspek dari situasi masalah. Termasuk di dalam berpikir kritis adalah mengelompokan,
mengorganisasikan, mengingat dan menganalisis informasi. Berpikir kritis memuat kemampuan
membaca dengan pemahaman dan mengidentifikasi materi yang diperlukan dengan yang tidak
ada hubungan. Hal ini juga berarti dapat menggambarkan kesimpulan dengan sempurna dari
data yang diberikan, dapat menentukan ketidakkonsistenan dan kontradiksi di dalam kelompok
data. Berpikir kritis adalah analitis dan reflektif.

Menurut Ennis (1996) berpikir kritis adalah suatu proses berpikir yang bertujuan untuk membuat
keputusan yang rasional yang diarahkan untuk memutuskan apakah meyakini atau melakukan
sesuatu. Dari definisi Ennis tersebut dapat diungkapkan beberapa hal penting. Berpikir kritis
difokuskan ke dalam pengertian sesuatu yang penuh kesadaran dan mengarah pada sebuah
tujuan. Tujuan dari berpikir kritis akhirnya memungkinkan kita untuk membuat keputusan.

R. Matindas Juga mengungkapkan bahwa banyak orang yang tidak terlalu membedakan antara
berpikir kritis dan berpikir logis padahal ada perbedaan besar antara keduanya yakni bahwa
berpikir kritis dilakukan untuk membuat keputusan sedangkan berpikir logis hanya dibutuhkan
untuk membuat kesimpulan. Pada dasarnya pemikiran kritis menyangkut pula pemikiran logis
yang diteruskan dengan pengambilan keputusan.

Dari pendapat-pendapat di atas dapat dikatakan bahwa berpikir kritis itu meliputi dua langkah
besar yakni melakukan proses berpikir nalar (reasoning) dan diikuti dengan pengambilan
keputusan/ pemecahan masalah (deciding/problem solving). Dengan demikian dapat pula
diartikan bahwa tanpa kemampuan yang memadai dalam hal berpikir nalar (deduktif, induktif
dan reflektif), seseorang tidak dapat melakukan proses berpikir kritis secara benar. Berpikir kritis
berfokus pada apakah meyakini atau melakukan sesuatu mengandung pengertian bahwa siswa
yang berpikir kritis tidak hanya percaya begitu saja apa yang dijelaskan oleh guru. Siswa berusaha
mempertimbangkan penalarannya dan mencari informasi lain untuk memperoleh kebenaran.

Keterampilan Intelektual dan Perkembangan Kognitif


Kegiatan berpikir kritis terdiri dari merumuskan, menganalisis, memecahkan
menyimpulkan dan mengevaluasi. Adapun penjelasannya sebagai berikut:

masalah,

1)
Merumuskan: memberikan batasan dari objek yang diamati. Misalnya dalam mata pelajran
sejarah kegiatan merumuskan ini digunakan siswa untuk mengemukakan fakta dari materi yang
dipelajari, karena fakta merupakan kerangka berpikir dalam sejarah. Menurut Mestika Zed
(2003:51) fakta adalah tulang punggung bangunan pengetahuan sejarah. Dapat dicontohkan
dengan; Adipati Unus menyerang Portugis di Malaka pada tahun 1513 M. Pernyataan atau
kalimat tersebut memang telah terjadi penyerangan Adipati Unus ke Malaka yang dikuasai oleh
Portugis pada tahun 1513 M atau adanya usaha Adipati Unus untuk menyerang Portugis pada
tahun 1513 M.
2)
Menganalisis: proses menelaah, mengupas, ulasan, atau menguraikan ke dalam bagianbagian yang lebih terperinci. Oleh sebab itu, pertanyaan mengapa (why) yang dikemukakan
dalam menganalisis suatu peristiwa sejarah. Dalam hal ini yang dianalisis adalah sebab-akibat
suatu peristiwa yang terjadi setelah merumuskan fakta.
3)
Memecahkan Masalah: proses berpikir yang mengaplikasikan konsep kepada beberapa
pengertian baru. Tujuannya adalah agar siswa mampu memahami dan menerapkan konsepkonsep dalam permasalahan atau ruang lingkup baru. Dalam hal ini konsep-konsep digunakan
dalam menjelaskan hubungan sebab-akibat dari suatu peristiwa sejarah.
4)
Menyimpulkan: proses berpikir yang memperdaya pengetahuan sedemikian rupa untuk
menghasilkan sebuah pemikiran atau pengetahuan baru. Menurut Mestika Zed (2003:3)
penarikan kesimpulan tujuannya adalah mencari atau menguji pengeahuan yang bersifat umum
yang disebut generalisasi (pernyataan yang menyatakan hubungan antara konsep-konsep dan
berfungsi sebagai pembantu untuk berpikir dan mengerti) yang tidak harus terikat dengan waktu
dan tempat. Salah satu contohnya adalah: Keruntuhan Kerajaan Majapahit adalah alasan-alasan
yang serupa yang telah menghancurkan kerajaan-kerajaan lainnya, terutama karena lemahnya
kepemimpinan raja dan perpecahan yang terjadi dalam lingkungan kerajaan.
5)
Mengevaluasi: proses penilaian objek yang diamati. Penilaian ini bisa menjadi netral, positif,
dan negatif atau gabungan dari keduanya. Saat sesuatu dievaluasi biasanya orang yang
mengevaluasi mengambil keputusan tentang nilai atau manfaatnya. Dalam taksonomi belajar
Bloom mengevaluasi merupakan tahap berpikir kognitif yang tinggi. Pada tahap siswa dituntut
agar mampu mensinergikan aspek-aspek kognitif lainnya dalam menilai sebuah fakta atau

konsep.

Pendekatan belajar yang diperlukan dalam meningkatkan pemahaman terhadap materi yang
dipelajari dipengaruhi oleh perkembangan proses mental yang digunakan dalam berpikir
(perkembangan kognitif) dan konsep yang digunakan dalam belajar. Perkembangan merupakan
proses perubahan yang terjadi sepanjang waktu ke arah positif. Jadi perkembangan kognitif
dalam pendidikan merupakan proses yang harus difasilitasi dan dievaluasi pada diri siswa
sepanjang waktu mereka menempuh pendidikan termasuk kemampuan berpikir kritis.

Salah satu komponen berpikir kritis yang perlu dikembangkan adalah keterampilan intelektual.
Keterampilan intelektual merupakan seperangkat keterampilan yang mengatur proses yang
terjadi dalam benak seseorang. Berbagai jenis keterampilan dapat dimasukkan sebagai
keterampilan intelektual yang menjadi kompetensi yang akan dicapai pada pogram pengajaran.
Keterampilan tersebut perlu diidentifikasi untuk dimasukkan baik sebagai kompetensi yang ingin
dicapai maupun menjadi pertimbangan dalam menentukan proses pengajaran.

Bloom mengelompokkan keterampilan intelektual dari ketrampilan yang sederhana sampai yang
kompleks antara lain pengetahuan/pengenalan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan
evaluasi. Keterampilan menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi pada taksonomi Bloom
merupakan keterampilan pada tingkat yang lebih tinggi (Higher Order Thinking) (Cotton
K.,1991). Kesepakatan yang diperoleh dari hasil lokakarya American Philosophical Association
(APA, 1990) tentang komponen keterampilan intelektual yang diperlukan pada berpikir kritis
antara lain interpretation, analysis, evaluation, inference, explanation, dan self regulation (DuldtBattey BW, 1997).

Masing-masing komponen tersebut merupakan kompetensi yang perlu disusun dan disepakati
oleh para pendidik tentang perilaku apa saja yang seharusnya dapat ditunjukkan oleh siswa pada
tiap-tiap komponen di tiap-tiap tingkat sepanjang program pendidikan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi berpikir kritis
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi berpikir kritis siswa, diantaranya:
1)
Kondisi fisik: menurut Maslow dalam Siti Mariyam (2006:4) kondisi fisik adalah kebutuhan
fisiologi yang paling dasar bagi manusia untuk menjalani kehidupan. Ketika kondisi fisik siswa
terganggu, sementara ia dihadapkan pada situasi yag menuntut pemikiran yang matang untuk
memecahkan suatu masalah maka kondisi seperti ini sangat mempengaruhi pikirannya. Ia tidak
dapat berkonsentrasi dan berpikir cepat karena tubuhnya tidak memungkinkan untuk bereaksi
terhadap respon yanga ada.
2)
Motivasi: Kort (1987) mengatakan motivasi merupakan hasil faktor internal dan eksternal.
Motivasi adalah upaya untuk menimbulkan rangsangan, dorongan ataupun pembangkit tenaga
seseorang agar mau berbuat sesuatu atau memperlihatkan perilaku tertentu yang telah
direncanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Menciptakan minat adalah cara
yang sangat baik untuk memberi motivasi pada diri demi mencapai tujuan. Motivasi yang tinggi
terlihat dari kemampuan atau kapasitas atau daya serap dalam belajar, mengambil resiko,
menjawab pertanyaan, menentang kondisi yang tidak mau berubah kearah yang lebih baik,
mempergunakan kesalahan sebagai kesimpulan belajar, semakin cepat memperoleh tujuan dan
kepuasan, mempeerlihatkan tekad diri, sikap kontruktif, memperlihatkan hasrat dan
keingintahuan, serta kesediaan untuk menyetujui hasil perilaku.

3)
Kecemasan: keadaan emosional yang ditandai dengan kegelisahan dan ketakutan terhadap
kemungkinan bahaya. Menurut Frued dalam Riasmini (2000) kecemasan timbul secara otomatis
jika individu menerima stimulus berlebih yang melampaui untuk menanganinya (internal,
eksternal). Reaksi terhadap kecemasan dapat bersifat; a) konstruktif, memotivasi individu untuk
belajar dan mengadakan perubahan terutama perubahan perasaan tidak nyaman, serta terfokus
pada kelangsungan hidup; b) destruktif, menimbulkan tingkah laku maladaptif dan disfungsi
yang menyangkut kecemasan berat atau panik serta dapat membatasi seseorang dalam berpikir.
4)
Perkembangan intelektual: intelektual atau kecerdasan merupakan kemampuan mental
seseorang untuk merespon dan menyelesaikan suatu persoalan, menghubungkan satu hal
dengan yang lain dan dapat merespon dengan baik setiap stimulus. Perkembangan intelektual
tiap orang berbeda-beda disesuaikan dengan usia dan tingkah perkembanganya. Menurut Piaget
dalam Purwanto (1999) semakin bertambah umur anak, semakin tampak jelas kecenderungan
dalam kematangan proses.

Rath et al (1966) menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
perkembangan kemampuan berpikir kritis adalah interaksi antara pengajar dan siswa. Siswa
memerlukan suasana akademik yang memberikan kebebasan dan rasa aman bagi siswa untuk
mengekspresikan pendapat dan keputusannya selama berpartisipasi dalam kegiatan
pembelajaran.

Strategi pembelajaran berpikir kritis


Kember (1997) menyatakan bahwa kurangnya pemahaman pengajar tentang berpikir kritis
menyebabkan adanya kecenderungan untuk tidak mengajarkan atau melakukan penilaian
keterampilan berpikir pada siswa. Seringkali pengajaran berpikir kritis diartikan sebagai problem
solving, meskipun kemampuan memecahkan masalah merupakan sebagian dari kemampuan
berpikir kritis (Pithers RT, Soden R., 2000).

Faktor yang menentukan keberhasilan program pengajaran keterampilan berpikir adalah


pelatihan untuk para pengajar. Pelatihan saja tidak akan berpengaruh terhadap peningkatan
keterampilan berpikir jika penerapannya tidak sesuai dengan harapan yang diinginkan, tidak
disertai dukungan administrasi yang memadai, serta program yang dijalankan tidak sesuai
dengan populasi siswa (Cotton K., 1991).

Secara umum pembelajaran IPS harus mengikuti aturan yang ada dalam Standar Isi, salah satunya
berpikir kritis. Namun, dalam materi sejarah strategi pembelajaran berpikir kritis ini dapat
dilakukan melalui sajian sejumlah fakta yang didapat dari bacaan atau sumber lainnya. Anak didik
dilatih menginterpretasikan untuk membangun suatu struktur proses perubahaan peristiwa.
Dalam hal ini secara langsung telah dilatih anak didik memahami bahwa suatu peristiwa memiliki
proses perubahan. Ini salah satu ciri khas yang tidak diperoleh anak didik melalui pembelajaran
lainnya.

Setelah terbentuk pola perubahan, anak dilatih berpikir kritis pada setiap perubahan. Latihan
pertama, adalah anak disuruh mencari fakta, membuat konsep dan menemukan sebab-akibat
dari setiap proses perubahan dalam peristiwa sejarah. Latihan pertama, anak didik ditantang
untuk membuktikan terjadi perubahan melalui fakta (kejadian) masing-masing proses perubahan
(how), kapan terjadinya perubahan (when), dimana terjadinya (where) dan siapa pelakunya
(Who). Latihan kedua, peserta didik dilatih menginterpretasi untuk menentukan konsep setiap

fakta (kejadian) dengan memunculkan pertanyaan apa namanya itu (What)? Terakhir, peserta
didik dilatih mencari penyebab dari masing-masing perubahan, dengan menggunakan
pertanyaan-pertanyaan, mengapa terjadi perubahan (Why)? Demikian selanjutnya untuk
perkembangan setiap perubahan dalam peristiwa sejarah latihan berulang ini akan membentuk
keterampilan berpikir kritis seperti yang dimuat dalam kurikulum 2006. Salah satu contohnya
yaitu, Kerajaan Samudera Pasai mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1297 1326 M? apa
penyebabnya? Siapa rajanya? bagaimana pemerintahannya? mengapa ia mencapai puncak
kejayaan? kapan terjadinya?

Strategi tersebut membuktikan dua hal dalam pengajaran yang dapat meningkatkan kemampuan
berpikir kritis, yaitu:
Dengan menggunakan konteks yang relevan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis
sekaligus meningkatkan prestasi akademisnya.
Cara penilaian yang memerlukan telaah yang lebih dalam, mendorong siswa untuk belajar secara
lebih bermakna daripada sekedar belajar untuk menghapal.
Pertanyaan diberikan setelah memperoleh fakta-fakta dari setiap peristiwa sejarah yang akan
dipelajari. Hal ini menunjukkan bahwa informasi yang diberikan telah disusun oleh pendidik
dengan konsep yang jelas sehingga tidak memberikan pengalaman bagi siswa untuk
menentukan informasi yang diperlukan untuk membangun konsep sendiri. Salah satu karakter
seorang yang berpikir kritis adalah self regulatory, sehingga pengajaran tersebut dapat
dikombinasikan dengan strategi lain agar siswa dapat menentukan informasi secara mandiri.
Sehingga setiap siswa memperoleh kesempatan untuk menyampaikan argumentasi dari jawaban
pertanyaan yang diberikan. Penulis beranggapan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang dapat
mendorong siswa untuk berpikir kritis dapat dimasukkan ke dalam study guide sebagai salah satu
sumber belajar.

Pembelajaran kolaboratif melalui diskusi kelompok kecil juga direkomendasikan sebagai strategi
yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis (Resnick L., 1990; Rimiene V., 2002;
Gokhale A.A., 2005). Dengan berdiskusi siswa mendapat kesempatan untuk mengklarifikasi
pemahamannya dan mengevaluasi pemahaman siswa lain, mengobservasi strategi berpikir dari
orang lain untuk dijadikan panutan, membantu siswa lain yang kurang untuk membangun
pemahaman, meningkatkan motivasi, serta membentuk sikap yang diperlukan seperti menerima
kritik dan menyampaikan kritik dengan cara yang santun.

Evaluasi kemampuan berpikir kritis


Evaluasi merupakan proses pengukuran pencapaian tujuan yang diinginkan dengan
menggunakan metode yang teruji validitas dan reliabilitasnya. Beberapa penelitian mengevaluasi
kemampuan berpikir kritis dari aspek keterampilan intelektual seperti keterampilan menganalisis,
mensintesis, dan mengevaluasi dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang berbasis
taxonomi Bloom. Sedangkan tujuan pengajaran berpikir kritis meliputi ketrampilan dan strategi
kognitif, serta sikap.

Colucciello menggabungkan berbagai elemen yang digunakan dalam penelitian dan komponen
pemecahan masalah serta kriteria yang digunakan dengan komponen ketrampilan dan sikap
berpikir kritis. Elemen tersebut antara lain menentukan tujuan, menyusun pertanyaan atau
membuat kerangka masalah, menunjukkan bukti, menganalisis konsep, interpretasi, asumsi,
perspektif yang digunakan, keterlibatan, dan kesesuaian. Dengan kriteria antara lain: kejelasan,

ketepatan, ketelitian, keterkaitan, keluasan, kedalaman, dan logika. Dia juga membandingkan
dengan inventory yang sudah ada seperti California Critical Thinking Test (CCTT) untuk
mengevaluasi ketrampilan berpikir kritis dan Critical Thinking Disposition Inventory (CTDI) untuk
mengevaluasi sikap berpikir kritis.

Kesimpulan
Strategi pengajaran yang mendorong siswa berpikir kritis terhadap pokok bahasan materi
pelajaran sejarah dapat menggunakan berbagai strategi pengajaran yang menggunakan
pendekatan di bawah ini:
Pembelajaran Aktif
Pembelajaran Kolaboratif
Pembelajaran Kontekstual
Menggunakan pendekatan higher order thinking
Self directed learning
Kombinasi dari berbagai strategi di lebih dianjurkan oleh karena dapat mencapai berbagai aspek
dari komponen berpikir kritis. Teknologi pengajaran yang menerapkan kombinasi dari berbagai
strategi yang ada saat ini misalnya Problem Based Learning (PBL). Para pendidik perlu
mengembangkan strategi pengajaran tersebut dalam pengajaran agar siswa dapat belajar materi
pembelajaran sejarah melalui proses berpikir kritis. Dengan demikian siswa dapat memberi
makna yang lebih dalam (bukan sekedar mendapat materi yang dalam) dari materi yang
dipelajari.

Berpikir kritis dalam proses pembelajaran sejarah ini dapat terlaksana jika seluruh fakta-fakta
mengenai peristiwa sejarah tersebut dapat ditemukan, dengan cara guru dan siswa memiliki
sumber dan bahan materi yang lengkap.

Daftar Bacaan
Belth, Marc.(1977) The Process Of Thinking.New York: David Mc Kay Company
Costa, Arthur L.,(ed.) (1985) Developing Minds, A Resource Book for Teaching Thinking. Virginia:
ASCD
De Bono, Edward. (1990). Berpikir Lateral, alih Bahasa oleh Budi. Jakarta: Binarupa Aksara.
Didin Wahidin. Makalah disajikan dalam seminar mahasiswa FKIP Uninus 18 Juni 1998.
Dirmawa,Dikti.(1996).Buku Peserta Pelatihan Pembimbing Kelompok Diskusi Mahasiswa (OPPEKTIPE B). Dikti Jakarta.
Gega, Peter C., (1977) Science in elementary education. New York : John Wiley And Sons Inc.
Mestika Zed. 2003. Metodologi Sejarah. Padang: Fakultas Ilmu-ilmu Sosial UNP
Nickerson, Raymond S., (1985) The Teaching Of Thinking. New Jersey: Lawrence Erlbaum
Raths, Louis E., et.al. (1986) Teaching for thinking (2'nd ed.). New York: Teacher College
Columbia University.
Sudaryanto, Kajian Kritis tentang Permasalahan Sekitar Pembelajaran Kemampuan Berpikir Kritis

Selasa, 26 Agustus 2008 12:50.


sya anindya di 21.08
Berbagi

4 komentar:

uii profile28 November 2012 23.53


saya mahasiswa dari Universitas Islam Indonesia
Artikel yang menarik, bisa buat referensi ini ..
terimakasih ya infonya :)

Balas

Hono rius8 Desember 2013 18.47


apa yang menjadi dasar anda menyebutkan kecemasan sebagai salah satu faktor berpikir kritis?
mohon disertai sumbernya.
terima kasih

Balas

Neta dreams29 April 2015 20.22


faktor-faktor yang mempengaruhi berpikir kritis apa ada sumbernya mohon dishare...terima kasih

Balas

Mika Meitriana Manurung18 November 2015 20.29


Terima kasih atas sharing infonya... btw saya boleh minta file pdf-nya untuk dijadikan referensi..
terima kasih

Balas
Tambahkan komentar
Muat yang lain...
Beranda
Lihat versi web

Mengenai Saya

sya anindya
Lihat profil lengkapku
Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai