Anda di halaman 1dari 15

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Deskripsi Teori
1. Kemampuan Berpikir Kritis
a. Pengertian Kemampuan Berpikir Kritis

Berpikir kritis adalah sebuah proses sistematis yang memungkinkan


siswa untuk merumuskan dan mengevaluasi keyakinan dan pendapat mereka
sendiri. Berpikir kritis adalah sebuah proses terorganisasi yang memungkinkan
siswa mengevaluasi bukti, asumsi, logika dan bahasa yang mendasari
pernyataan orang lain. Berpikir kritis juga merupakan berpikir dengan baik,
dan merenungkan tentang proses berpikir merupakan bagian dari berpikir
dengan baik.

Menurut R. H. Ennis (2011), “berpikir kritis adalah berpikir secara


beralasan dan reflektif dengan menekankan pembuatan keputusan tentang apa
yang harus dipercayai atau dilakukan”. Berpikir kritis dapat dicapai dengan
lebih mudah apabila seseorang itu mempunyai disposisi dan kemampuan yang
dapat dianggap sebagai sifat dan karakteristik pemikir yang kritis. Berpikir
kritis dapat dengan mudah diperoleh apabila seseorang memiliki motivasi atau
kecenderungan dan kemampuan yang dianggap sebagai sifat dan karakteristik
pemikir kritis.

Seseorang yang berpikir kritis memiliki karakter khusus yang dapat


diidentifikasi dengan melihat bagaimana seseorang menyikapi suatu masalah.
Informasi atau argumen karakter - karakter tersebut tampak pada kebiasaan
bertindak, beragumen dan memanfaatkan intelektualnya dan pengetahuannya.
Berikut beberapa pendapat tentang karakter atau ciri orang yang berpikir
kritis. Menurut Facione, ada enam kecakapan berpikir kritis utama yang
terlibat di dalam proses berpikir kritis.

Menurut R. Swartz dan D.N Perkins dalam Hassoubah (2008)


menyatakan bahwa berpikir kritis berarti :
1) Bertujuan untuk mencapai penilaian yang kritis terhadap apa yang
akan diterima atau apa yang akan dilakukan dengan alasan yang logis.
2) Memakai standar penilaian sebagai hasil dari berpikir kritis dalam
membuat keputusan .
3) Menerapkan berbagai strategi yang tersusun dan memberikan alasan
untuk menentukan serta menerapkan standar tersebut.
4) Mencari dan menghimpun informasi yang dapat dipercaya untuk
dipakai sebagai bukti yang mendukung suatu penilaian.

Berpikir kritis tidak sama dengan mengakumulasi informasi. Seorang


dengan daya ingat baik dan memiliki banyak fakta tidak berarti seorang
pemikir kritis. Seorang pemikir kritis mampu menyimpulkan dari apa yang
diketahuinya, dan mengetahui cara memanfaatkan informasi untuk
memecahkan masalah dan mencari sumber-sumber informasi yang relevan
untuk dirinya. Berpikir kritis tidak sama dengan sikap argumentatif atau
mengecam orang lain.

Berpikir kritis bersifat netral, objektif dan tidak bias. Meskipun


berpikir kritis dapat digunakan untuk menunjukkan kekeliruan atau alasan-
alasan yang buruk, berpikir kritis dapat memainkan peran penting dalam kerja
sama menemukan alasan yang benar maupun melakukan tugas konstruktif.
Pemikir kritis mampu melakukan introspeksi tentang kemungkinan bias dalam
alasan yang dikemukakannya.

b. Langkah – langkah Berpikir Kritis

Adapun langkah-langkah berpikir kritis yang baik dapat dilihat dari


pendapat yang dikutip oleh kneeder dari The Statewide History - Social
Science Assesment Advisory Committee, yang dikelompokkan menjaditiga,
yaitu :

1) Pengenalan masalah - masalah (defining/clarifying problem)


2) Menilai informasi (judging informations)
3) Memecahkan masalah atau menarik kesimpulan (solving
problem/drawing conclusion)
Kemudian, The Statewide History-Social Science Assesment Advisory
Committee mengungkapkan untuk melakukan tiga langkah tersebut,
diperlukan keterampilan yang disebut twelveessensial critical thinking skills
(keterampilan esensial dalam berpikir kritis), sebagai berikut :

1) Mengenali masalah (defining/clarifying problem)


a) Mengidentifikasikan isu-isu atau permasalahan pokok
b) Membandingkan kesamaan dan perbedaan-perbedaan
c) Memilih informasi yang relevand)Merumuskan/memformulasi
masalah
2) Menilai informasi yang relevan
a) Menyeleksi fakta, opini, hasil nalar/judgment
b) Mengecek konsistensi
c) Mengidentifikasi asumsi
d) Mengenali kemungkinan faktor stereotip
e) Mengenali kemungkinan bias, emosi, propaganda, salah penafsiran
kalimat (semantic slanting)
f) Mengenali kemungkinan perbedaan orientasi nilai dan ideology
3) Pemecahan masalah/penarikan kesimpulan
a) Mengenali data - data yang diperlukan dan cukup tidaknya data
b) Meramalkan konsekuensi yang mungkin terjadi dari
keputusan/pemecahan masalah/kesimpulan yang diambil.

c. Indikator Kemampuan Berpikir Kritis

Menurut Ennis (2011) indikator kemampuan berpikir kritis dapat


diturunkan dari aktivitas kritis siswa meliputi: a) mencari pernyataan yang
jelas dari pertanyaan; b) mencari alasan; c) berusaha mengetahui informasi
dengan baik; d) memakai sumber yang memiliki kredibilitas dan
menyebutkannya; e) memerhatikan situasi dan kondisi secara keseluruhan; f)
berusaha tetap relevan dengan ide utama; g) mengingat kepentingan yang asli
dan mendasar; h) mencari alternatif; i) bersikap dan berpikir terbuka; j)
mengambil posisi ketika ada bukti yang cukup untuk melakukan sesuatu; k)
mencari penjelasan sebanyak mungkin; l) bersikap secara sistematis dan
teratur dengan bagian dari keseluruhan masalah.

2. Model Pembelajaran Realistik


a. Pengertian Model Pembelajaran Realistic Mathematic Education (RME)

Secara harfiah realistic mathematics education diterjemahkan sebagai


pendidikan matematika realistik yaitu pendekatan belajar matematika yang
dikembangkan atas dasar gagasan Frudenthal. Gagasan ini menunjukkan
bahwa RME tidak menempatkan matematika sebagai produk jadi, melainkan
suatu proses yang sering disebut dengan guided reinvention. RME menjadi
suatu alternatif dalam pembelajaran matematika dalam penelitian ini.

Realistic Mathematic Education (RME) adalah suatu teori tentang


pembelajaran matematika yang salah satu model pembelajarannya
menggunakan “dunia nyata” menurut I Gusti Putra Suharta (2011). Penjelasan
lebih lanjut bahwa pembelajaran matematika realistik ini berangkat dari
kehidupan siswa, yang dapat dengan mudah dipahami oleh siswa, nyata, dan
terjangkau oleh imajinasinya, dan dapat dibayangkan sehingga mudah
baginyauntuk mencari kemungkinan penyelesaiannya dengan menggunakan
kemampuan matematis yang telah dimiliki.

Pembelajaran matematika realistik menekankan akan pentingnya


konteks nyata yang dikenal siswa dan proses konstruksi pengetahuan
matematika oleh siswa sendiri. Rahayu (2010:15) mengemukakan bahwa
pendidikan matematika realistik merupakan suatu pendekatan pembelajaran
matematika yang lebih menekankan realitas dan lingkungan sebagai titik awal
dari pembelajaran.

Berdasarkan beberapa pengertian tentang RME yang telah


dikemukakan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa pembelajaran RME
merupakan suatu pembelajaran yang menekankan pada hal-hal yang
kontekstual dan nyata yang berkaitan dengan masalah dalam kehidupan
sehari-hari, sehingga dapat mempermudah siswa menerima materi dan
memberikan pengalaman langsung yang bermakna bagi siswa.

Wijaya (2012:1) dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Matematika


Realistik menyatakan suatu pembelajaran yang abstrak akan sulit memiliki
makna dan kesan yang dalam bagi peserta didik. Kebermaknaan ilmu
pengetahuan juga menjadi aspek utama dalam proses belajar. Salah satu
pendekatan pembelajaran yang menekankan pada kebermaknaan ilmu
pengetahuan adalah Pendidikan Matematika Realistik (Realistic Mathematics
Education).

Pendidikan Matematika Realistik dikembangkan di Belanda sejak


tahun 1970an dengan berlandaskan pada filosofi matematika sebagai aktivitas
manusia (mathematics as human activity) yang dicetuskanoleh Hans
Freudenthal. RME mulai diperkenalkan kali pertama di Indonesia oleh Prof.
Dr. Jan De Lange melalui acara seminar dan lokakrya jurusan matematika ITB
pada April 1998. Menurut De Lange dan Van Den Heuvel Fanhuizen, RME
ini adalah pembelajaran yang mengacu pada konstruktivis sosial dan
dikhususkan hanya pada pendidikan matematika.

b. Prinsip – prinsip Realistic Mathematic Education (RME)

RME atau disebut pendidikan matematika realistik, mempunyai tiga


prinsip menurut Fathurrohman (2015:191), yaitu:

1. Guided Reinventation (menemukan kembali), dalam prinsip ini peserta


didik harus diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama
sebagaimana konsep – konsep matematika ditemukan.
2. Dedicatical Phenomenology (fenomena didaktik). Situasi – situasi yang
diberikan dalam suatu topik materi jika disajikan atas dua pertimbangan,
yaitu melihat kemungkinan aplikasi dalam pengajaran dan sebagai titik
tolak dalam proses pembelajaran matematika.
3. Self Depelopment Model ( pengembangan model sendiri). Kegiatan ini
berperan sebagai jembatan antara pengetahuan matematika informal dan
matematika formal. Model dibuat siswa sendiri dalam memecahkan
masalah dan model awalnya adalah suatu model dari situasi yang dikenal
(akrab) dengan siswa.
c. Karakteristik Realistic Mathematic Education (RME)

Salah satu karakteristik mendasar dalam RME yang diperkenalkan oleh


Frudenthal (Wijaya, 2012:20) adalah guided reinvention sebagai suatu proses
yang dilakukan siswa secara aktif untuk menemukan kembali suatu konsep
matematika dengan bimbingan guru. Realistic Mathematica Education (RME)
memiliki lima karakteristik, menurut Fathurrohman (2015:192), yaitu:

1. Menggunakan masalah kontekstual, konteks adalah lingkungan keseharian


siswa yang nyata. Maksudnya, adalah menggunakan lingkungan
keseharian siswa sebagai awal pembelajaran.
2. Menggunakan model atau jembatan dengan instrument vertical, dalam
pembelajaran matematika ini perlu dikembangkan suatu model yang harus
dikembangkan oleh siswa sendiri dalam pemecahan masalah.
3. Menggunakan konstribusi siswa, konstribusi yang besar dalam proses
belajar mengajar diharapkan dari konstruksi peserta didik sendiri yang
mengarahkan mereka dari metode informal mereka kea rah yang lebih
formal atau baku.
4. Interaktivitas, interaksi antar siswa dan guru merupakan hal yang
mendasar dalam RME. Dalam pembelajaran konstruktif diperhatikan
interaksi, negosiasi secara eksplisit, intervensi, koperasi, dan evaluasi
sesama peserta didik, peserta didik dengan guru serta guru dan
lingkungannya. Maksudnya untuk mendapatkan hal yang formal
diperlukan interaktivitas baik antara guru dengan murid, maupun murid
dengan orang lain atau ahli yang sengaja didatangkan ke sekoalh untuk
memberikan penjelsan langsung ataupun dengan model.
5. Terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya, bahwa topic – topic
belajara dapat dikaitkan dan diintegrasikan sehungga muncul pemahaman
suatu konsep atau operasi secara terpadu.
d. Tahapan - tahapan Penerapan RME

Adapun tahapan - tahapan secara umum dalam penerapan pembelajaran RME


mengacu pada pendapat Sumantri adalah sebagai berikut[ CITATION Sum15 \l 1057 ]:
Tabel 2.1
Tahapan RME
No TAHAP KEGIATAN PEMBELAJARAN
1 Kegiatan Awal  Membuka pelajaran, memberikan motivasi serta
menyampaikan tujuan pembelajaran.
 Peserta didik diperkenalkan dengan permasalahan yang
Tahap 1: telah dialami oleh peserta didik dalam kehidupan sehari
2 Memahami masalah hari. Sebelum pembelajaran dimulai dengan sistem
Kontekstual yang formal, pembelajaran pertama – tama dilakukan
dengan cara peserta didik dibawa ke dalam kondisi
informal terlebih dahulu.
 Peserta didik dibimbing agar dapat
mengidentifikasi permasalahan yang telah mereka
alami. Peserta didik mengidentifikasi masalah dapat
Tahap 2: secara individu maupun kelompok.
3 Menyelesaikan  Peserta didik membuat model permasalahan
Masalah Berdasarkan pengalaman yang telah diidentifikasi
serta didiskusikan.
 Peserta didik membuat cara – cara untuk
menyelesaikan permasalahan berdasarkan
pengetahuan ataupun informasi yang peserta didik
miliki. Peserta didik miliki. Peserta didik mulai
mengaitkan permasalahan dunia nyata dengan
matematika.
4 Tahap 3:  Guru mengarahkan siswa untuk mempersiapkan
Membandingkan jawaban kelompok mereka untuk diskusi kelas.
dan Mendiskusikan
Jawaban
5 Tahap 4:  Guru membimbing dan mengarahkan siswa dalam
Menyimpulkan Membuat kesimpulan yang tepat mengenai materi yang
telah dipelajari.

e. Kelebihan dan Kelemahan Penerapan RME


Realistic Mathematics Education (RME) dimaksudkan untuk memulai
pembelajaran matematika dengan cara mengaitkannya dengan situasi dunia nyata
disekitar siswa. Hal ini menandakan bahwa RME memiliki semangat yang sama
dengan pembelajaran bermakna dimana matematika dapat disesuaikan dengan
berbagai situasi yang beragam. Pada sisi lain terdapat Kelebihan dan kelemahan
dalam setiap model, strategi, atau metode pembelajaran. Namun, kelebihan dan
kelemahan tersebut hendaknya menjadi referensi untuk penekanan - penekanan
terhadap hal yang positif dan meminimalisir kelemahan - kelemahannya dalam
pelaksanaan pembelajaran. Berikut ini Asmin (Tandililing, 2012) menjelaskan
secara rinci kelebihan dan kelemahan RME dalam tabel di bawah ini:
Tabel 2.2
Kelebihan dan Kelemahan RME
Kelebihan Kelemahan
a. Siswa membangun sendiri pengetahuan, a. Karena sudah terbiasa
sehingga siswa tidak mudah lupa diberi informasi terlebih
dengan pengetahuannya. dahulu maka siswa masih
b. Suasaan proses pembelajaran kesulitan dalam
menyenangkan karena menggunakana menemukan sendiri
realitas kehidupan, sehungga siswa jawaban dari permasalahan.
tidak cepat bosan belajara matematika. b. Membutuhkan waktu yang
c. Siswa merasa dihargai dan semakin lama terutama bagi ssiwa
terbuka, karena setiap jawaban siswa yang lemah.
ada nilainya. c. Siswa yang pandai kadang
d. Memupuk kerjasama dengan kelompok. – kadang tidak sabar
e. Melatih keberanian ssiwa dalam menanti temannya yang
menjelaskan jawabannya. belum selesai.
f. Melatih siswa untuk terbiasa berpikir d. Membutuhkan alat peraga
dan mengemukakan pendapat. yang sesuai denagn situasi
g. Pendidikan budi pekerti. pada saat itu.
Tandililing memaparkan kelebihan dan kelemahan RME, Warli (2010)
memberikan solusi dalam upaya meminimalisir kelemahan dalam penerapan
RME antara lain:

a) Peranan guru dalam membimbing siswa dan memberikan motivasi


harus lebih ditingkatkan.
b) Pemilihan alat peraga harus lebih cermat dan disesuaikan dengan
materi yang sedang dipelajari.
c) Siswa yang lebihcepat dalam menyelesaikan soal atau masalah
kontekstual dapat diminta untuk menyelesaikan soal - soal lain dengan
tingkat kesulitan yang sama bahkan lebih sulit.
d) Guru harus lebih cermatdan kreatif dalam membuat soal atau masalah
realistik.

Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan para ahli, dapat


diketahui bahwa RME memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan. Kelebihan
tersebut hendaknya menjadi hal yang harus dipertahankan dan dikembangkan,
sedangkan kelemahannya harus diminimalisir. Terdapat beberapa cara untuk dapat
meminimalisir kelemahan RME, yang terpenting adalah guru hendaknya
mempersiapkan rencana pembelajaran secara matang.

f. Peran Guru dalam Penerapan Realistic Mathematics Education (RME)


Guru adalah perencana sekaligus pelaksana proses pembelajaran. Kualitas
pembelajaran bergantung padabesarnya upaya guru untuk memberikan pembelajaran
yang bermakna bagi siswa. Peran guru dalam RME lebih dominan pada pemberian
motivasi, fasilitator,dan pemberi stimulus agar siswa aktif dalam kegiatan
pembelajaran. Oleh sebab itu, guru hendaknya dapat memutakhirkan materi dengan
masalah-masalah baru yang menantang bagi siswa.

Jadi, peran guru dalam penerapan RME adalah sebagai pembimbing dan
fasilitator bagi siswa dalam merekonstruksi ide dan konsep matematikabukan sebagai
hakim atas pekerjaan siswa. Hal inidapat mendorong siswa untuk memiliki aktivitas
baik dengan dirinya sendiri maupun bersama siswa lain (interaktivitas). Berdasarkan
teori - teori yang dikemukakan para pakar tersebut, maka yang dimaksud dengan
RME pada penelitian ini adalah suatu pendekatan pembelajaran matematika yang
berawal dari masalah realistik sebagai sarana untuk mengonkretkan materi dan
menghimpun konsep matematika.

Pengongkretan materi ini diwujudkan melalui penggunaan model dan proses


matematisasi, sehingga merujuk pada kebermaknaan matematikadalam kehidupan.
Adapun indikator pencapaian penerapan RME adalah adanya penekanan penggunaan
situasi yang dapat dibayangkan melalui masalah realistik, penggunaan model, variasi
strategi penyelesaian masalah, interaksi individu, dan keterkaitan antar konsep
matematika.

B. Penelitian Relevan

Berikut merupakan penelitan yang berkaitan dengan kajian dalam proposal


yang berjudul “Upaya Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Melalui
Model Pembelajaran Realistik”.

a. Penelitian dari Hanny Fitriana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayattullah


Jakarta (2010) tentang “Pengaruh Pendekatan Pendidkan Matematika
Realistik Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa”
telah menunjukkan adanya perkembanagan dan hasil belajar siswa kelas VII –
A dan VII – B SMP Negeri 160 Jakarta dengan menggunakan model RME.
Persamaan penelitian oleh Hanny Fitriana dan peneliti adalah pembelajaran
menggunakan model RME. Sedangkan perbedaannya adalah pada penelitian
Hanny Fitriana ditujukan untuk membuktikan kemampuan pemecahan masalah
siswa pada kelompok eksperimen lebih tinggi dari kemampuan peemcahan
masalah matematika siswa pada kelompok kontrol sedangkan penelitian ini
ditujukan untuk meningkatkan kemmapuan siwa dalam berpikir kritis.
b. Penelitian ini juga relevan dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Nurul
Fadhilah, mahasiswa Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
dengan judul “Penerapan Strategi Pembelajaran Aktif tipe Question Students
Have terhadap kemampuan Berpikir kritis Siswa dalam Pembelajaran
matematika siswa SMA IT Mutiara Duri Kabupaten Bengkalis” pada tahun
2013. Dari hasil analisis data dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan
kemampuan berpikir kritis matematika antara siswa yang mendapat
pembelajaran aktif tipe Question Students Havedengan siswa yang
menggunakan pembelajaran konvensional. Dari analisis data dapat dilihat
dengan adanya perbedaan mean pada masing-masing kelas, pada kelas
eksperimen nilai rata-ratanya adalah 76,14 dan pada kelas kontrol nilai rata-
ratanya adalah 67,5. Adapun persamaan dari penelitian yang di lakukan oleh
Nurul Fadhilah dan peneliti adalah mengupayakan peningkatan kemampuan
berpikir kritis siswa. Sedangkan perbedaannya adalah pada penelitian Nurul
Fadhilah berfokus pada penerapan Question Students Have terhadap
kemampuan Berpikir kritis Siswa dalam Pembelajaran matematika, sedangkan
penelitian ini ditujukan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berpikir
kritis melalui model pembelajran realistik atau Realistic Mathematics
Education (RME).
c. Imania (2014) meneliti pada siswa kelas 8 SMP Negeri 48 Bandung tentang
peningkatan hasil belajar siswa dengan menggunakan Pendekatan Realistic
Mathematic Education (RME) memeperoleh hasil penelitian yaitu hasil belajar
siswa yang memperoleh pendekatan Realistic Mathematic Education (RME)
lebih baik daripada yang memperoleh pembelajaran biasa. Persamaan
penelitian oleh Imania dan peneliti adalah pembelajaran menggunakan model
RME. Sedangkan perbedaannya adalah pada penelitian Imania ditujukan untuk
membuktikan hasil belajar siswa pada pembelajaran Realistic Mathematic
Education (RME) lebih baik daripada yang memperoleh pembelajaran biasa.
d. Penelitian yang dilakukan oleh Lilik Waziratul Muflihah yang berjudul
“Efektivitas Pembelajaran dengan Pendekatan Realistic Mathematics
Education (RME) ditinjau dari Motivasi Belajar dan Prestasi Belajar Siswa
Kelas VII SMP Negeri 1 Ngemplak” pada tahun 2017. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa pembelajaran dengan pendekatan Realistic Mathematics
Education (RME) efektif ditinjau dari pencapaian dan peningkatan motivasi
dan prestasi belajar, dibuktikan dengan hasil nilai rata-rata pretest dan posttest
prestasi belajar masing-masing sebesar 41,8759 dan 79,1672. Persamaan
penelitian oleh Lilik Waziratul Muflihah dan peneliti adalah pembelajaran
menggunakan model RME. Sedangkan perbedaannya adalah pada penelitian
Lilik Waziratul Muflihah ditujukan untuk membuktikan pencapaian dan
peningkatan motivasi dan prestasi belajar siswa sedangkan penelitian ini
ditujukan untuk meningkatkan kemampuan siwa dalam berpikir kritis.
e. Penelitian dengan judul penerapan pendekatan RME (Realistic Mathematics
Education) dan rumah bilangan untuk meningkatkan hasil belajar matematika
siswa kelas II SDN Pasrepan III Malang. Penelitianini dilakukan oleh Shinta
Dwi Kurniawati (2012). Penelitian ini memiliki kesamaan yaitu sama-sama
menggunakan Realistic Mathematics Education. Perbedaanya adalah
instrumen dan materi yang digunakan adalah rumah bilangan sedangkan
penelitian ini lebih mendasar pada kemampuan berpikir kritis siswa.

C. Kerangka Berpikir

Aspek kognitif

Perlunya Kemampuan Berpikir Kritis

Materi Pembelajaran Matematika Materi Pembelajaran Matematika

Penerapan model pembelajaran Treatment pada kelas kontrol


realistik

Tes

Analisis Data

Penarikan Kesimpulan

Tabel 2.3
Bagan Kerangka Berpikir
Pada penelitian ini, peneliti bertujuan untuk meningkatkan kemapuan berpikir
kritis siswa melalui model pembelajaran matematika realistik. Pada pembelajaran
menggunakan model pembelajaran realistik atau Realistic Mathematics Education
(RME), diharapkan siswa mampu menekankan pembelajaran pada hal – hal
kontekstual dan nyata yang berkaitan dnegan masalah dalam kehidupan sehari – hari.
Terlebih agar siswa mampu membangun sendiri pengetahuan tentang pembelajaran
matematika dan dapat menciptakan suasana proses pembelajaran menyenangkna
karena menggunakan realitas kehidupan yang terjadi di lingkungan hidup sehari – hari
sehungga siswa tidak cepat merasa bosan untuk belajar matematika.

Tujuan dari pembelajaran realistik yaitu untuk enjadikan matematika lebih


menarik,relevan dan bermakna,tidak terlalu formal dan tidak terlalu abstrak,
mempertimbangkan tingkat kemampuan siswa, menekankan belajar matematika
“learning by doing”, memfasilitasi penyelesaian masalah matematika tanpa
menggunakan penyelesaian yang baku serta menggunakan konteks sebagai titik awal
pembelajaran matematika.
Peneliti menerapkan pembelajaran RME untuk mengupayakan kemampuan
berpikir kritis siswa dikarenakan model pembelajaran matematika realistik atau
Realistic Mathematics Education (RME) merupakan pembelajaran yang mampu
menekankan siswa pada hal hal yang kontekstual dan nyata dalam kehidupan sehari–
hari, karena kehidupan nyata adalah titik awal untuk mengembangkan ide dan konsep
matematika sehingga siswa mampu menjangkau imajinasinya denagn menggunakan
kemapuan matematis yang telah dikuasai.
Alasan lain peneliti memilih pembelajaran dengan upaya mengkatkan
kemapuan berpikir kritis siswa melalui model pembelajaran mateamtika realistik atau
Realistic Mathematics Education (RME) terdapat lima tahapan yang harus dilalui
siswa yaitu penyelesaian masalah, penalaran, komunikasi, kepercayaan diri, dan
representasi.

Tahap pertama (penyelesaian masalah), siswa diajak menyelesaikan masalah


sesuai dengan caranya sendiri. menemukan pendapat atau ide yang ditemukan sendiri.
Tahap kedua (penalaran), siswa dilatih untuk bernalar dalam setiap
mengerjakan setiap soal yang dikerjakan. Artinya pada tahap ini diberi kebebasan
untuk mempertanggungjawabkan metode atau cara yang ditemukan sendiri dengan
mengerjakan setiap soal.

Tahap ketiga (komunikasi), siswa diharapkan dapat mengkomunikasikan


jawaban yang dipilih pada temannya. Siswa berhak juga menyanggah (menolak)
jawaban milik temannya yang dianggap tidak sesuai dengan pendapatnya sendiri.

Pada tahap keempat (kepercayaan diri), siswa diharapkan mampu melatih


kepercayaan diri dengan mau menyampaikan jawaban soal yang diperoleh kepada
temannya dan berani maju ke depan kelas. Seandainya jawaban yang dilihatnya
berbeda dengan jawaban teman, siswa diharapkan maumenyampaikan dengan penuh
tanggungjawab, berani mengemukakan pendapat baik secara lisan maupun tulisan.

Tahap kelima (representasi), siswa memperoleh kebebasan untuk memilih


entuk representasi yang diinginkan (benda konkrit, gambar, atau lambing - lambang
matematika untuk menyajikan atau menyelesaikan masalah yang dia hadapi. Dia
membangun penalarannya, kepercayaan dirinya melalui bentuk representasi yang
dipilihnya.

D. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan permasalahan dan kajian teori yang telah diuraikan, peneliti
bertujuan untuk meneliti adakah kemampuan berpikir kritis siswa dengan
menggunakan model pembelajaran matematika realistik atau Realistic Mathematics
Education (RME) dibandingkan dengan model pembelajaran biasa. Maka hipotesis
yang disusun dalam penelitian ini adalah :
1. Ho : Tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa
yang diberi pembelajaran matematika realistik dibandingkan pembelajaran
biasa yang dilakukan di sekolah.
H1 : Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa yang
diberi pembelajaran matematika realistik dibandingkan pembelajaran biasa
yang dilakukan di sekolah.
2. Ho : Tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa
berdasarkan gender melalui pendekatan matematika realistik.
H1 : Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa
berdasarkan gender melalui pendekatan matematika realistik.
3. Ho : Tidak terdapat interaksi yang signifikan antara pendekatan pembelajaran
realistik dengan pembelajaran biasa terhadap peningkatan kemampuan
berpikir kritis.
H1 : Terdapat interaksi yang signifikan antara pendekatan pembelajaran
realistik dengan pembelajaran biasa terhadap peningkatan kemampuan
berpikir kritis.

Anda mungkin juga menyukai