TEORI PEMBANGUNAN
5. Bert F. Hoselitz
Membahas faktor-faktor non ekonomi yg ditinggalkan Rostow yang disebut faktor
kondisi lingkungan. Kondisi lingkungan maksudnya adalah perubahan-perubahan
pengaturan kelembagaan yg terjadi dalam bidang hukum, pendidikan, keluarga, dan
motivasi.
1. Alex Inkeles & David H. Smith
Ciri-ciri manusia modern:
a. Keterbukaan terhadap pengalaman dan ide baru
b. Berorientasi ke masa sekarang dan masa depan
c. Punya kesanggupan merencanakan
d. Percaya bahwa manusia bisa menguasai alam
1.1.
Teori Modernisasi Klasik
Teori ini merupakan warisan pola pikir yang berparadigma pada teori evolusi dan teori
fungsionalisme. 1alam teori ini, nilai tradisional dianggap sebagai faktor penghambat
pembangunan. Teori ini bersandar teguh pada analisa yang abstrak dan tipologi. Subjek yang
diperhatikan yaitu Negara Dunia Ketiga, tingkat analisa berada dalam lingkup nasional,
variabel pokok penyebab keterbelakangan berasal dari internal yaitu berupa nilai-nilai
budaya dan pranata sosial, konsep pokok teori ini yaitu tradisional dan modern, implikasi
kebijakannya yaitu bahwa modernisasi memberikan manfaat positif. Dalam teori ini, tradisi
dinilai sebagai penghalang pembangunan. Metode kajiannya abstrak dan berkonstruksi
tipologi, arah pembangunannya berupa garis lurus dan hanya menggunakan USA sebagai
model. Teori modernisasi klasik ini tidak memperhatikan faktor ekstern dan konflik dan
dengan jelas mencoba menunjukan peran negative nilai tradisional.Namun, para pengkritik
teori ini beranggapan bahwa peneliti yang menggunakan teori modernisasi klasik akan
cenderung memiliki analisa yang abstrak, dan tidak jelas periode sejarah dan wilayah negra
mana yang dimaksud. Maksudnya, teori modernisasi klasik tidak memiliki batas ruang dan
waktu dalam analisanya.
1.2.
Teori Evolusi
Teori ini memiliki dua anggapan yaitu: Teori evolusi menganggap bahwa perubahan sosial
merupakan gerakan searah seperti garis lurus. Masyarakat berkembang dari masyarakat
primitive menuju masyarakat maju. Masa depan masyarakat dunia sudah jelas dan dapat
diramalkan, bahwa kelak dalam masa pemerintahan yang panjang dunia akan menjadi
masyarakat maju. Dan Teori ini membaurkan antara pandangan subjektifnya mengenai nilai
dan tujuan akhir perubahan sosial. Perubahan menuju bentuk masyarakat modern merupakan
sesuatu yang tidak dapat dihindari. Perubahan ini berjalan secara perlahan dan bertahap.
Perubahan dari masyarakat sederhana (primitive) ke masyarakat modern (complex)
memerlukan waktu panjang dan bahkan berabad-abad untuk sampai pada tahapan terakhir.
Pada dasarnya, menurut teori evolusi, perubahan sosial pada dasarnya merupakan gerakan
searah, linier, progresif, dan perlahan-lahan, yang membawa masyarakat berubah dari
tahapan primitive ke tahapan yang lebih maju, dan membuat berbagai masyarakat memiliki
bentuk dan struktur serupa. Dibangun dengan premis yang seperti disebut diatas, para
teoritisi perspektif modernisasi secara implicit membangun kerangka teori dan tesisnya
dengan ciri-ciri pokok sebagai berikut:
Modernisasi sama dengan barat. Karena, terkadang mewujud dalam bentuk lahirnya
sebagai proses Eropanisasi atau Amerikanisasi.
Proses modernisasi tidak bisa dihentikan, dan juga dilihat sebagai proses yang tidak
bergerak mundur.
Modernisasi memerlukan waktu yang panjang. Proses modernisasi dilihat sebagai proses
evolusioner dan bukanlah sebagai perubahan revolusioner.
1.3.
Teori Fungsionalisme
Talcott Parsons menyatakan bahwa masyarakat manusia tidak ubahnya seperti organ tubuh
manusia sehingga, masyarakat manusia dapat juga dipelajari seperti mempelajari tubuh
manusia. Dalam melakukan pengamatan teori fungsionalisme, Parsons memiliki beberapa
konsep yaitu:
kekhususan.
Namun, Teori Fungsionalisme Parsons sering disebut konservatif karena, menganggap
bahwa masyarakat akan selalu berada pada situasi harmoni, stabil, simbang, dan mapan.
Teori fungsionalisme juga merupakan salah satu pola pikir dari teori modernisasi. Teori
fungsionalisme memberikan tekann pada keterkaitan dan ketergantungan lembaga social,
pentingnya varabel kebakuan dan pengukur dalam system budaya, dan adanya kepastian
keseimangan dinamis-stasioner dari perubahan social. Ciri modernisasi dalam teori
fungsional yaitu sebagai berikut:
modernisasi merupakan proses sistematik
modernisasi diartikan sebagai proses transformasi
modernisasi melibatkan proses yang terus-menerus (immanent).
1.4.
B. TEORI DEPENDENSI
a. Sejarah dan Asumsi Dasar Teori Dependensi
Secara historis, teori Dependensi lahir atas ketidakmampuan teori Modernisasi
membangkitkan ekonomi negara-negara terbelakang, terutama negara di bagian Amerika
Latin. Secara teoritik, teori Modernisasi melihat bahwa kemiskinan dan keterbelakangan yang
terjadi di negara Dunia Ketiga terjadi karena faktor internal di negara tersebut. Karena faktor
internal itulah kemudian negara Dunia Ketiga tidak mampu mencapai kemajuan dan tetap
berada dalam keterbelakangan.
Paradigma inilah yang kemudian dibantah oleh teori Dependensi. Teori ini berpendapat bahwa
kemiskinan dan keterbelakangan yang terjadi di negara-negara Dunia Ketiga bukan
disebabkan oleh faktor internal di negara tersebut, namun lebih banyak ditentukan oleh faktor
eksternal dari luar negara Dunia Ketiga itu. Faktor luar yang paling menentukan
keterbelakangan negara Dunia Ketiga adalah adanya campur tangan dan dominasi negara
maju pada laju pembangunan di negara Dunia Ketiga. Dengan campur tangan tersebut, maka
pembangunan di negara Dunia Ketiga tidak berjalan dan berguna untuk menghilangkan
keterbelakangan yang sedang terjadi, namun semakin membawa kesengsaraan dan
keterbelakangan. Keterbelakangan jilid dua di negara Dunia Ketiga ini disebabkan oleh
ketergantungan yang diciptakan oleh campur tangan negara maju kepada negara Dunia
Ketiga. Jika pembangunan ingin berhasil, maka ketergantungan ini harus diputus dan biarkan
negara Dunia Ketiga melakukan roda pembangunannya secara mandiri.
Ada dua hal utama dalam masalah pembangunan yang menjadi karakter kaum Marxis Klasik.
Pertama, negara pinggiran yang pra-kapitalis adalah kelompok negara yang tidak dinamis
dengan cara produksi Asia, tidak feodal dan dinamis seperti tempat lahirnya kapitalisme, yaitu
Eropa. Kedua, negara pinggiran akan maju ketika telah disentuh oleh negara pusat yang
membawa kapitalisme ke negara pinggiran tersebut. Ibaratnya, negara pinggiran adalah
seorang putri cantik yang sedang tertidur, ia akan bangun dan mengembangkan potensi
kecantikannya setelah disentuh oleh pangeran tampan. Pangeran itulah yang disebut dengan
negara pusat dengan ketampanan yang dimilikinya, yaitu kapitalisme. Pendapat inilah yang
kemudian dibantah oleh teori Dependensi.
Bantahan teori Dependensi atas pendapat kaum Marxis Klasik ini juga ada dua hal. Pertama,
negara pinggiran yang pra-kapitalis memiliki dinamika tersendiri yang berbeda dengan
dinamika negara kapitalis. Bila tidak mendapat sentuhan dari negara kapitalis yang telah
maju, mereka akan bergerak dengan sendirinya mencapai kemajuan yang diinginkannya.
Kedua, justru karena dominasi, sentuhan dan campur tangan negara maju terhadap negara
Dunia Ketiga, maka negara pra-kapitalis menjadi tidak pernah maju karena tergantung kepada
negara maju tersebut. Ketergantungan tersebut ada dalam format neo-kolonialisme yang
diterapkan oleh negara maju kepada negara Dunia Ketiga tanpa harus menghapuskan
kedaulatan negara Dunia Ketiga.Teori Dependensi kali pertama muncul di Amerika Latin.
Pada awal kelahirannya, teori ini lebih merupakan jawaban atas kegagalan program yang
dijalankan oleh ECLA (United Nation Economic Commission for Latin Amerika) pada masa
awal tahun 1960-an. Lembaga tersebut dibentuk dengan tujuan untuk mampu menggerakkan
perekonomian di negara-negara Amerika Latin dengan membawa percontohan teori
Modernisasi yang telah terbukti berhasil di Eropa.
Teori Dependensi juga lahir atas respon ilmiah terhadap pendapat kaum Marxis Klasik tentang
pembangunan yang dijalankan di negara maju dan berkembang. Aliran neo-marxisme yang
kemudian menopang keberadaan teori Dependensi ini. Tentang imperialisme, kaum Marxis
Klasik melihatnya dari sudut pandang negara maju yang melakukannya sebagai bagian dari
upaya manifestasi Kapitalisme Dewasa, sedangkan kalangan Neo-Marxis melihatnya dari
sudut pandang negara pinggiran yang terkena akibat penjajahan. Dalam dua tahapan revolusi,
Marxis Klasik berpendapat bahwa revolusi borjuis harus lebih dahulu dilakukan baru
kemudian revolusi proletar. Sedangkan Neo-Marxis berpendapat bahwa kalangan borjuis di
negara terbelakang pada dasarnya adalah alat atau kepanjangan tangan dari imperialis di
negara maju. Maka revolusi yang mereka lakukan tidak akan membawa perubahan di negara
pinggiran, terlebih lagi, revolusi tersebut tidak akan mampu membebaskan kalangan proletar
di negara berkembang dari eksploitasi kekuatan alat-alat produksi kelompok borjuis di negara
tersebut dan kaum borjuis di negara maju.
Tokoh utama dari teori Dependensi adalah Theotonio Dos Santos dan Andre Gunder Frank.
Theotonio Dos Santos sendiri mendefinisikan bahwa ketergantungan adalah hubungan
relasional yang tidak imbang antara negara maju dan negara miskin dalam pembangunan di
kedua kelompok negara tersebut. Dia menjelaskan bahwa kemajuan negara Dunia Ketiga
hanyalah akibat dari ekspansi ekonomi negara maju dengan kapitalismenya. Jika terjadi
sesuatu negatif di negara maju, maka negara berkembang akan mendapat dampak negatifnya
pula. Sedangkan jika hal negatif terjadi di negara berkembang, maka belum tentu negara maju
akan menerima dampak tersebut. Sebuah hubungan yang tidak imbang. Artinya, positifnegatif dampak berkembang pembangunan di negara maju akan dapat membawa dampak
pada Negara. Dalam perkembangannya, teori Dependensi terbagi dua, yaitu Dependensi
Klasik yang diwakili oleh Andre Gunder Frank dan Theotonio Dos Santos, dan Dependensi
Baru yang diwakili oleh F.H. Cardoso.Teori Ketergantungan yang dikembangkan pada akhir
1950an di bawah bimbingan Direktur Komisi Ekonomi PBB untuk Amerika Latin, Raul
Prebisch. Prebisch dan rekan-rekannya di picu oleh kenyataan bahwa pertumbuhan ekonomi
di negara-negara industri maju tidak harus menyebabkan pertumbuhan di negara-negara
miskin. Memang, studi mereka menyarankan bahwa kegiatan ekonomi di negara-negara kaya
sering menyebabkan masalah ekonomi yang serius di negara-negara miskin. Kemungkinan
seperti itu tidak diprediksi oleh teori neoklasik, yang diasumsikan bahwa pertumbuhan
ekonomi bermanfaat bagi semua, bahkan jika tidak bermanfaat tidak selalu ditanggung
bersama. Penjelasan awal Prebisch untuk fenomena ini sangat jelas: negara-negara miskin
mengekspor komoditas primer ke negara-negara kaya yang kemudian diproduksi produk dari
komoditas tersebut dan mereka jual kembali ke negara-negara miskin.
Tiga masalah membuat kebijakan ini sulit untuk diikuti :
Yang pertama adalah bahwa pasar internal negara-negara miskin tidak cukup besar untuk
mendukung skala ekonomi yang digunakan oleh negara-negara kaya untuk menjaga
harga rendah.
Isu kedua menyangkut akan politik negara-negara miskin untuk apakah transformasi
menjadi produsen utama produk itu mungkin atau diinginkan.
Isu terakhir berkisar sejauh mana negara-negara miskin sebenarnya memiliki kendali
produk utama mereka, khususnya di bidang penjualan produk-produk luar negeri.
Hambatan-hambatan dengan kebijakan substitusi impor menyebabkan orang lain berpikir
sedikit lebih kreatif dan historis pada hubungan antara negara-negara kaya dan miskin.
Pada titik ini teori ketergantungan itu dipandang sebagai sebuah cara yang mungkin
untuk menjelaskan kemiskinan terus-menerus dari negara-negara miskin. Pendekatan
neoklasik tradisional mengatakan hampir tidak ada pada pertanyaan ini kecuali untuk
menegaskan bahwa negara-negara miskin terlambat datang ke praktik-praktik ekonomi yang
padat dan begitu mereka mempelajari teknik-teknik ekonomi modern, maka kemiskinan akan
mulai mereda. Ketergantungan dapat didefinisikan sebagai suatu penjelasan tentang
pembangunan ekonomi suatu negara dalam hal pengaruh eksternal - politik, ekonomi, dan
budaya - pada kebijakan pembangunan nasional.
Raul Prebisch : industri substitusi import. Menurutnya negara-negara terbelakang harus
melakukan industrialisasi yang dimulai dari industri substitusi impor.
Perdebatan tentang imperialisme dan kolonialisme. Hal ini muncul untuk menjawab
pertanyaan tentang apa alasan bangsa-bangsa Eropa melakukan ekspansi dan menguasai
negara-negara lain secara politisi dan ekonomis. Ada tiga teori:
Teori God: Adanya misi menyebarkan agama.
Teori Glory: Kehausan akan kekuasaan dan kebesaran.
Teori Gospel: Motivasi demi keuntungan ekonomi.
Paul Baran: Sentuhan Yang Mematikan Dan Kretinisme. Baginya perkembangan
kapitalisme di negara-negara pinggiran beda dengan kapitalisme di negara-negara pusat.
Di negara pinggiran, system kapitalisme seperti terkena penyakit kretinisme yang
membuat orang tetap kerdil.
Ada 2 tokoh yang membahas dan menjabarkan pemikirannya sebagai kelanjutan dari tokohtokoh di atas, yakni:
Andre Guner Frank : Pembangunan keterbelakangan. Bagi Frank keterbelakangan hanya
dapat diatasi dengan revolusi, yakni revolusi yang melahirkan sistem sosialis.
Theotonia De Santos : Membantah Frank. Menurutnya ada 3 bentuk ketergantungan,
yakni :
Ketergantungan Kolonial: hubungan antar penjajah dan penduduk setempat
bersifat eksploitatif.
Ketergantungan Finansial- Industri: pengendalian dilakukan melalui kekuasaan
ekonomi dalam bentuk kekuasaan financial-industri.
Teori sistem dunia adalah adanya bentuk hubungan negara dalam sistem dunia yang
terbagi dalam tiga bentuk negara yaitu negara sentral, negara semi pinggiran dan negara
pinggiran. Ketiga bentuk negara tersebut terlibat dalam hubungan yang harmonis secara
ekonomis dan kesemuanya akan bertujuan untuk menuju pada bentuk negara sentral yang mapan
secara ekonomi. Perubahan status negara pinggiran menuju negara semi pinggiran ditentukan
oleh keberhasilan negara pinggiran melaksanakan salah satu atau kombinasi dari strategi
pembangunan, yaitu strategi menangkap dan memanfaatkan peluang, strategi promosi dengan
undangan dan strategi berdiri diatas kaki sendiri. Sedangkan upaya negara semi pinggiran
menuju negara sentral bergantung pada kemampuan negara semi pinggiran melakukan perluasan
pasar serta introduksi teknologi modern. Kemampuan bersaing di pasar internasional melalui
perang harga dan kualitas.
Negara semi pinggiran yang disampaikan oleh Wallerstein merupakan sebuah pelengkap dari
konsep sentral dan pinggiran yang disampaikan oleh teori dependensi. Alasan sederhana yang
disampaikannya adalah, banyak negara yang tidak termasuk dalam dua kategori tersebut
sehingga Wallerstein mencoba menawarkan konsep pembagian dunia menjadi tiga kutub yaitu
sentral, semi pinggiran dan pinggiran.
Terdapat dua alasan yang menyebabkan sistem ekonomi kapitalis dunia saat ini
memerlukan kategori semi pinggiran, yaitu dibutuhkannya sebuah perangkat politik dalam
mengatasi disintegrasi sistem dunia dan sarana pengembangan modal untuk industri dari negara
sentral. Disintegrasi sistem dunia sangat mungkin terjadi sebagai akibat kecemburuan negara
pinggiran dengan kemajuan yang dialami oleh negara sentral. Kekhawatiran akan timbulnya
gejala disintegrasi ini dikarenakan jumlah negara miskin yang sangat banyak harus berhadapan
dengan sedikit negara maju. Solusi yang ditawarkan adalah membentuk kelompok penengah
antara keduanya atau dengan kata lain adanya usaha mengurangi disparitas antara negara maju
dan negara miskin. Secara ekonomi, negara maju akan mengalami kejenuhan investasi sehingga
diperlukan perluasan atau ekspansi pada negara lain. Upaya perluasan investasi ini membutuhkan
lokasi baru pada negara miskin. Negara ini kemudian dikenal dengan istilah negara semi
pinggiran, Wallerstein mengajukan tesis tentang perlunya gerakan populis berskala nasional
digantikan oleh perjuangan kelas berskala dunia. Lebih jauh Wallerstein menyatakan bahwa
pembangunan nasional merupakan kebijakan yang merusak tata sistem ekonomi dunia. Alasan
yang disampaikan olehnya, antara lain :
1. Impian tentang keadilan ekonomi dan politik merupakan suatu keniscayaan bagi banyak
negara.
2. Keberhasilan pembangunan pada beberapa negara menyebabkan perubahan radikal dan
global terhadap sistem ekonomi dunia.
3. Strategi pertahanan surplus ekonomi yang dilakukan oleh produsen berbeda dengan
perjuangan kelas yang berskala nasional.
Pengaruh Teori Sistem Dunia
2. PARADIGMA PEMBANGUNAN
Paradigma pembangunan adalah cara pandang terhadap suatu persoalan pembangunan
yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pembangunan dalam arti pembangunan baik sebagai
proses maupun sebagai metode untuk mencapai peningkatan kualitas hidup manusia dan
kesejahteraan rakyat. Selama ini paradigma pembangunan mengalami proses perkembangan
diantaranya meliputi: pertama diawali dengan paradigma pertumbuhan (growth paradigm), kedua
pergeseran dari paradigma pertumbuhan menjadi paradigma kesejahteraan (welfare paradigm),
ketiga adalah paradigma pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered
development paradigm). Paradigma pembangunan pada suatu waktu tertentu dipergunakan
sebagai acuan pada proses pembangunan bangsa di suatu negara, sebagai upaya meningkatkan
kualitas pembangunannya. Peningkatan kualitas pembangunan yang benar-benar berorientasi
untuk peningkatan kualitas hidup manusia dan kepentingan kesejahteraan rakyat adalah
merupakan salah satu perwujudan good governance.
Berikut akan diuraikan secara berturut-turut beberapa paradigma pembangunan mulai
dari strategi pertumbuhan, pertumbuhan dengan pemerataan teknologi tapat guna, kebutuhan
dasar pembangunan, pembangunan berkelanjutan, konsep pemberdayaan, dan paradigma
pembangunan berpusat pada manusia (Agus Suryono 2001).
1. Strategi Pertumbuhan (Growth Strategy)
Melalui pendekatan ini, memang pada akhirnya banyak negara berkembang telah terbukti
berhasil menngkatkan akumulasi kapital dan pendapatan perkapitalnya. Namun keberhasilan
paradigma pertumbuhan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi telah membawa
berbagai akibat yang negatif, terutama dampak sosial dan lngkungan hidup. Momentum
pertumbuhan yang dicapai dengan pengorbanan besar ini misalnya, pengrusakan ekologis
lingkungan, penyusutan sumber daya alam, timbulnya kesenjangan sosial, dan munculnya
tingkat ketergantunagan negara berkembang kepada neagara maju, akhirnya memetik kritik
tajam dari beberapa kelompok pemikir yang ditujukan pada paradigma ini misalnya dari
Massachu setts Institute of Technology and Club of Rome yang memperingatkan bahwa jika
laju pembangunan dunia dan pertumbuhan penduduk tetap dbiarkan seperti ini, maka lambat
atau cepat akan terjad kehancuran total sistem planet bumi.
Dorongan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang setingginya seringkal mengakibatkan
terabaikannya upaya pembinaan kelembagaan dan pembinaan kemampuan masyarakat.
Pembangunan nasional yang dlaksanakan melalui central imposed blueprint plan yang
dirumuskan oleh para teknorat terhadap alokasi sumber-sumber pembangunan cenderung
sentralistik dan mengintervensi potensi masyarakat dan menumbuhkanhubungan
ketergantungan antara rakyat dan birokrat. Karenanya sifat menjad dis-empowering dan
kurang menekankan pada kemampuan masyarakat itu sendri untuk mengaktualisasikan segala
potensinya.
Untuk mengatasi masalah ini, dapat ditanggulangi melalui suatu kombinasi kebijaksanaan,
yang meliputi peningkatan laju pertumbuhan ekonomi, usaha pemerataan yang lebih besar
dalam pembagian pendapatan dan penurunan laju pertumbuhan penduduk.
2. Pertumbuhan Dengan Pemerataan (Growth With Distribution)
Strateg ini untuk pertama kali dikemukakan oleh Singer (1972) dalam sebuah kertas kerja
untuk misi lapangan kerja ILO ke Kenya. Growth With Distribution menggambatkan empat
pendekatan pokok yang diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
golongan miskn, antara lain :
a. Meningkatkan laju pertumbuhan GNP sampai tingkat maksimal dengan jalan
meningkatkan tabungan dan mengalokasikan sumber-sumber daya secara lebih efisien,
yang memanfaatnya dapat dinkmati oleh semua golongan masyarakat.
b. Mengalihkan investasi ke golongan miskin dalam bentuk pendidikan, menyediakan
kredit, fasilitas-fasilitas umum dan sebagainya.
c. Mendistribusikan pendapatan atau konsumsi kepada golonagan miskin melalui sistem
fiskal atau melalui alokasi barang-barang konsumsi secara langsung.
d. Pengalihan harta atau tanah yang sudah ada kepada golongan-golongan miskin
misalnya melalui land reform.
3. Teknologi Tepat Guna (Appropriate Technology)
Pendekatan ini diyakini lebih sesuai untuk negara-negara berkembang karena melalui
teknologi tepat guna ini maka sumber-sumber daya lokal yang tersedia dapat dimanfaatkan
sebagai sumber penghasilan penduduk. Misi teknologi tepat guna ini adalah mengurangi
pengangguran melalui perluasan kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan melalui
peningkatan produktivitas kerja, meningkatkan dinamika dan kreatifitas masyarakat dalam
berfikir dan bekerja, mempersiapkan masyarakat untuk mampu menerima perubahan dan
pembaharuan teknologi, dan melatih sikap mandiri.
Namun demikian, pendekatan ini pun pada akhirnya juga dianggap tdak dapat memuaskan
usaha-usaha penciptaan pemerataan pendapatan dan pertumbuhan nasional dalam rangka
mengurangi jurang kesenjangan ekonomi dan sosial. Hal ini disebabkan antara lain,
keterbatasan pengembangan teknologi tepat guna di negara sedang berkembang yatu :
a. Tidak adanya institusi yang secara khusus bertugas untuk mengembangkan teknologi
tepat guna.
b. Selisih harga yangcukup besar antara teknologi impor dengan menciptakan sendiri
teknologi baru di dalam negeri, dimana teknologi impor lebih murah dibanding
dengan membuat sendiri di dalam negeri.
c. Sistem nilai yang tidak mendukung, dimana para peneliti dan praktisi lebih suka
bekerja dengan teknologi tinggi dari pada menggunakan teknologi madya, walaupun
teknolog sederhana sudah diketahui secara luas akan dapat menampung tenaga kerja
yang lebih banya dan ramah linkungan.
4. Kebutuhan Dasar Pembangunan (Basic needs Development)
Konsep dasar pendekatan ini adalah penyediaan kebutuhan minimum bagi penduduk yang
tergolong miskn. Kebutuhan minimum yang dimaksud tidak hanya terbatas pada hanya
pangan, pakaian, dan papan saja melainkan juga kemudahan akses pada pelayanan air bersih,
sanitasi, transport, kesehatan, dan pendidikan. Selama penduduk miskin sebagian besar
terdapat di daerah pedesaan, maka pendekatan basic needs ini kemudian menjadi tekanan dan
unggulan dari pembangunan desa.
Pada pertengahan 1970-an, pendekatan ini sangat populer dan telah mengesankan citra lain
dari pembangunan yang dilakukan pada tahun1960-an yang lebih digerakkan oleh mitosmitos pertumbuhan. Pada akhir 1970-an, basic needs strategy telah dianggap kenangan
masa lampau dengan catatan-catatan besar yang menekankan pentingnya pembangunan di
pedesaan, namun tak satupun yang dapat dihasilkan.
5. Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development)
Ide dasar dari konsep ini bermula dari The Club of Rome pada tahun 1972, yakni
sekelompok orang yang terdiri dari para manajer, para ahli ilmu teknik, dan ilmuwan se-eropa
yang berhasil menyusun suatu dokumen penting mengenai keprihatinan terhadap lingkungan.
Pesan penting dari dokumen tersebut diantaranya, bahwa sumber daya alam telah berada pada
Kevin P. Clement, 1997, Teori Pembangunan dari Kiri ke Kanan (From Right to Left in
Development Theory).
1. Teori Pembangunan yang berciri Kapitalisme
2. Teori Pembangunan yang berciri Sosialisme
3. Teori Pembangunan Pertumbuhan Klasik
4. Model Strukturalis
5. Teori Keterbelakangan dan Ketergantungan Marxis dan Neo Marxis
1. Teori Modernisasi
2. Teori Dependensi (ketergantungan)
3. Teori Post-Dependensi (Pasca Ketergantungan)
4. Teori Pembangunan Yang lain ( Another Development Theory)