Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH TREND ISU KEPERAWATAN

EUTHANASIA

Sebagai pemenuhan tugas dari mata kuliah “ Keperawatan Trend Issu “

Dosen Pengampu : Eva Puspita Istiyana

Disusun Oleh Kelompok 1 :

 Angga Prayoga : 201813056


 Ajeng Sari Mulyaningsih : 201813055
 Ayu Fifin H. LA Djaila :201813062
 Eka Sulis Setiawati : 201813068
 Ipah Apriliyani : 201813077
 Meli Santi ; 201813084
 Rana Nisrina Yahya : 201813092
 Riyan Candra Gunawan : 201813094
 Silvi Herlina ; 201813098
 Ummi Kultum Umairoh : 201813103
 Yulianti Febriani : 201813109

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN TK3B

STIKES WIJAYA HUSADA BOGOR

TAHUN AJARAN 2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha
penyayang, Marilah kita ucapkan puji serta rasa syukur atas kehadirat Allah Swt.
Karena berkat rahmat, karunia, taufik dan hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas pembuatan dan penyusunan tugas “ MAKALAH
EUTHANASIA ” sebagai pemenuhan tugas dari mata kuliah keperawatan trend isu
ini dengan baik dan tepat waktu meskipun banyak kekurangan didalamnya.

Kami berharap makalah ini dapat berguna dan juga bermanfaat untuk
menambah wawasan pembaca mengenai euthanasia yang diambil dari beberapa
sumber yang terkait. Selain itu, kami juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan proses
pembuatan dan penyusunan makalah ini.

Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat dengan
mudah dipahami serta dapat menambah wawasan bagi pembacanya. Kami juga
memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kekurangan dari makalah ini apabila
adanya penjelasan yang kurang jelas, tidak lupa meminta kritik dan saran yang
membangun untuk makalah ini agar kedepannya kami dapat lebih baik lagi.

Bogor, 05 November 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................................................iii
BAB I.................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN..............................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................................2
1.3 Tujuan................................................................................................................................2
1.4 Manfaat..............................................................................................................................2
BAB II................................................................................................................................................3
TINJAUAN TEORI...........................................................................................................................3
2.1 Sejarah Euthanasia.............................................................................................................3
2.2 Pengertian Euthanasia........................................................................................................5
2.3 Prinsip Etik dalam Keperawatan........................................................................................6
2.4 Klasifikasi Euthanasia........................................................................................................7
2.5 Syarat tindakan Euthanasia................................................................................................8
2.6 Aspek dalam Euthanasia....................................................................................................9
2.7 Kasus Eutahanasia...........................................................................................................12
BAB III............................................................................................................................................14
PEMBAHASAN..............................................................................................................................14
3.1 Euthanasia........................................................................................................................14
3.2 Jenis Euthanasia...............................................................................................................14
3.3 Aspek Hukum..................................................................................................................15
3.4 Syarat Euthanasia.............................................................................................................18
3.5 Penerapan prinsip etik dalam kasus euthanasia................................................................18
3.6 Eutahansia di Indonesia...................................................................................................20
BAB IV............................................................................................................................................22
PENUTUP........................................................................................................................................22
4.1 Kesimpulan......................................................................................................................22
4.2 Saran................................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................................iv

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Euthanasia dikenal sebagai tindakan seseorang untuk mengakhiri hidupnya


sendiri lantaran kehilangan peluang dan harapan. Hal ini biasanya dilakukan oleh
penderita penyakit parah dengan peluang hidup yang sangat kecil. Tindakannya
sendiri berupa “suntik mati” demi menepis penderitaan yang berkepanjangan.
Pada banyak kasus, euthanasia dilakukan karena permintaan seseorang yang
sudah sekarat (menjelang ajal). Tapi ada juga kasus euthanasia yang dilakukan oleh
dokter, karena sang pasien sudah tidak sanggup lagi untuk terus memohon dan
mengharap akan datangnya kesembuhan kepadanya. Sehingga lebih memilih
kematian, dalam istilah euthanasia terbagi menjadi beberapa macam yang dibedakan
berdasarkan latar belakang permasalah. Pada jenis pertama tindakan membiarkan
timbul antara pasien dan dokter yang merawatnya. Sedangkan pada jenis yang kedua
tindakan timbul hanya dari satu pihak saja yaitu dokter yang merawatnya, dimana
suatu kondisi dokter membiarkan kematian terjadi kepada pasien tanpa melakukan
tindakan pengobatan dikarenakan tidak akan memberikan dampak apapun kepada
pasien.
Euthanasia terjadi karena tindakan yang aktif dari dokter untuk mempercepat
terjadinya kematian. Euthanasia jenis ini dokter yang bersifat aktif dalam
mempercepat kematian pasien dengan memberikan obat dosis tinggi yang langsung
menimbulkan kematian.
Hak atas pemeliharaan kesehatan dalam arti luas diakui umum sebagai hak
social, satu dan lain karena pemerliharaan kesehatan (termasuk pelayanan kesehatan)
sebagai sistem memberikan ruang dan peluang kepada setiap orang untuk
berpartisipasi dalam kesempatan – kesempatan yang diberikan, disediakan atau
ditawarkan oleh pergaulan hidup. Salah satu tanggung jawab yang dimilikki oleh
setiap individu ialah untuk mempertahankan hak – hak dasarnya yang telah
didapatkan setelah dilahirkan, antara lain hak untuk menentukan nasibnya dan hak
untuk mempertahan kan kehidupanya dengan pengobatan.
Di Indonesia pada umunya para dokter menganut upaya euthanasia pasif,
bahkan para dokter sudah melakukanya walaupun kadang – kadang tidak secara

1
langsung. Misalnya keluarga pasien sering meminta dengan paksa agar si pasien
dikeleurkan dari rumah sakit. Prosdur permohonan semacam ini memang ada dan
pihak rumah sakit tidak dapat menolak atau menahan pasien yang bersangkutan,
sehingga si pasien diizinkan keluar dari rumah sakit dan dengan demikian dokter pun
diperkenankan melepaska tanggung jawabnya. Dikarenakan masalah yang berkaitan
dengan euthanasia belum jelas tentang peratuannya di Indonesia, sehingga masih
belum ada kasus tentang euthanasia secara lengkap dan menyeluruh

1.2 Rumusan Masalah

A. Apa yang dimaksud dengan euthanasia ?


B. Apa saja jenis – jenis euthanasia ?
C. Adakah aspek hukum yang berkaitan dengan euthanasia ?
D. Apa syarat – syarat yang memperbolehkan tindakan euthanasia ?
E. Bagaimana penerapan prinsip etik keperawatan dalam pengambilan keputusan
euthanasia ?
F. Bagaimana euthanasia di Indonesia ?

1.3 Tujuan

A. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan euthanasia dan sejarahnya


B. Dapat mengetahui jenis – jenis euthanasia dan dasar dilakukanya tindakan
euthanasia
C. Dapat mengetahu aspek – aspek hukum yang berkaitan dengan tindakan
euthanasia
D. Mengatahui syarat dapat dilakukan nya euthanasia
E. Mengetahui prisnip – prinsip etik keperawatan
F. Mengetahui tindakan euthanasia yang ada di Indonesia

1.4 Manfaat

Dengan mengetahui apa yang dimaksud dengan euthanasia dan segala aspek
yang berkaitan dengan euthanasia, akan membantu dalam melaksanakan dan
menerapkan peran sebagai perawat serta mengetahui hal apa saja yang seharusnya
dilakukan sebagai tenaga kesehatan dalam pemberian asuhan keperawatan atau
pelayanan kesehatan kepada pasien dan pengambilan keputusan mengenai masalah
euthanasia.

2
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Sejarah Euthanasia


Mengenai masalah euthanasia bila dimelihat kembali kemasa lampau, sudah
ada sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang tidak dapat disembuhkan,
sementara pasien sudah dalam keadaan merana dan sekarat. Dalam situasi demikian,
tidak jarang pasien memohon agar dibebaskandari penderitaan ini dan tidak ingin
diperpanjang hidupnya lagi atau dilain keadaan pada pasien yang sudah tidak sadar,
keluarga orang sakit yang tidak tega melihat pasien yang penuh penderitaan
menjelang ajalnya dan diminta kepada dokter untuk tidak meneruskan pengobatan
atau bila perlu memberikan obat yang mempercepat kematian. Dari sinilah euthanasia
muncul yaitu melepas kehidupan seseorang agar terbebas dari penderitaan, atau mati
secara baik (mati enak). (Prakoso & Nirwanto, 1984)

Istilah eutanasia pertama kali dipopulerkan oleh Hippokrates dalam


manuskripnya yang berjudul sumpah Hippokrates, naskah ini ditulis pada tahun 400-
300 SM. Dalam supahnya tersebut Hippokrates menyatakan; “Saya tidak akan
menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun
telah dimintakan untuk itu”. Dari dokumen tertua tentang eutanasia di atas, dapat kita
lihat bahwa, justru anggapan yang dimunculkan oleh Hippocrates adalah penolakan
terhadap praktek eutanasia. Sejak abad ke-19, eutanasia telah memicu timbulnya
perdebatan dan pergerakan di wilayah Amerika Utara dan di Eropa Pada tahun 1828
undang-undang anti eutanasia mulai diberlakukan di Negara bagian New York, yang
pada beberapa tahun kemudian diberlakukan pula oleh beberapa Negara bagian.
Setelah masa Perang Saudara, beberapa advokat dan beberapa dokter mendukung
dilakukannya eutanasia secara sukarela. Kelompok-kelompok pendukung eutanasia
mulanya terbentuk di Inggris pada tahun 1935 dan di Amerika pada tahun 1938 yang
memberikan dukungannya pada pelaksanaan eutanasia agresif, walaupun demikian
perjuangan untuk melegalkan eutanasia tidak berhasil digolkan di Amerika maupun
Inggris.

3
Pada tahun 1937, eutanasia atas anjuran dokter dilegalkan di Swiss sepanjang
pasien yang bersangkutan tidak memperoleh keuntungan dari padanya. Pada era yang
sama, pengadilan Amerika menolak beberapa permohonan dari pasien yang sakit
parah dan beberapa orang tua yang memiliki anak cacat yang mengajukan
permohonan eutanasia kepada dokter sebagai bentuk “pembunuhan berdasarkan belas
kasihan”.

Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman melakukan suatu tindakan


kontroversial dalam suatu “program” eutanasia terhadap anak-anak di bawah umur 3
tahun yang menderita keterbelakangan mental, cacat tubuh, ataupun gangguan lainnya
yang menjadikan hidup mereka tak berguna. Program ini dikenal dengan nama Aksi
T4 (“Action T4”) yang kelak diberlakukan juga terhadap anak-anak usia di atas 3
tahun dan para jompo / lansia.

Setelah dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam melakukan kejahatan


eutanasia, pada era tahun 1940 dan 1950 maka berkuranglah dukungan terhadap
eutanasia, terlebih-lebih lagi terhadap tindakan eutanasia yang dilakukan secara tidak
sukarela ataupun karena disebabkan oleh cacat genetika. (Wikipedia). Sebagaimana
kita ketahui, nazi yang saat itu dipimpin oleh Adolf Hitler, menganggap bahwa orang
cacat merupakan hambatan terhadap kemajuan suatu bangsa, sehingga secara besar-
besaran nazi melakukan eutanasia secara paksa kepada semua orang cacat di Berlin,
Jerman. Terdapat beberapa catatan yang cukup menarik terkait dengan praktek
eutanasia di beberapa tepat di jaman dahulu kala, berikut sedikit uraiannya:

1. Di India pernah dipraktekkan suatu kebiasaan untuk melemparkan orang-orang


tua ke dalam sungai Gangga.
2. Di Sardinia orang tua dipukul hingga mati oleh anak laki-laki tertuanya di zaman
purba.
3. Di Uruguay mencantumkan kebebasan praktek eutanasia dalam undang-undang
yang telah berlaku sejak tahun 1933.
4. Di beberapa Negara Eropa, praktek eutanasia bukan lagi kejahatan kecuali di
Norwegia yang sejak 1902 memperlakukannya sebagai kejahatan khusus.
5. Di Amerika Serikat, khususnya di semua Negara bagian mencantumkan eutanasia
sebagai kejahatan. Bunuh diri atau membiarkan dirinya dibunuh adalah melanggar
hukum di Amerika Serikat.

4
6. Satu-satunya Negara yang dapat melakukan tindakan eutanasia bagi para
anggotanya adalah Belanda. Anggota yang telah diterima dengan persyaratan
tertentu dapat meminta tindakan eutanasia atas dirinya. Ada beberapa warga
Amerika Serikat yang menjadi anggotanya. Dalam praktek medis, biasanya
tidaklah pernah dilakukan eutanasia aktif, akan tetapi mungkin ada praktek-
praktek medis yang dapat digolongkan eutanasia pasif.
Secara Bahasa, euthanasia berasal dari Bahasa yunani, yaitu “eu” yang berate
bagus, dan terhormat sedangkan “thanatos” yang berarti mati. Secara keseluruhan kata
– kata tersebut dapat diartikan sebagai kematian yang wajar dan senang (Gunawan,
1992). Dalam dunia kedokteran merupakan sebuah usaha medis yang dilakukan untuk
mengantisipasi penyebaran penyakit, setelah usaha – usaha penyembuhan medis gagal
menyelamatkan pasien. Tindakan euthanasia dilakukan kepada pasien yang tidak
memiliki harapan ungtuk sembuh secara medis, sehingga kemungkinan bisa bertahan
hidup sangat kecil, bahkan tidak ada sama sekali.
Selain itu euthanasia juga dilakukan untuk menghilangkan penderitaan
panjang akibat penyakit yang tidak bisa diobati. Dalam prakteknya tindakan
euthanasia dilakukan kepada pasien – pasien penderita penyakit akut dan menular.
Usaha ini dilakukan dengan memberikan suntikan mematikan, seperti halnya yang
dilakukan dalam hukuman mati. Pemberian suntik mati dilkaukan setelah diagnosa
dokter dan pemeriksaan medis yang intensif menunjukan keharusan untuk
menghilangkan nyawa pasien.

2.2 Pengertian Euthanasia


Euthanasia berasal dari kata Yunani Eu yang berati baik, dan Thanatos yaitu
mati. Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan cara yang mudah dan tanpa
merasakan sakit. Oleh karena itu menurut Philo (50-20 SM) Euthanasia sering disebut
juga dengan Mercy Killing atau mati dengan tenang. Sedangkan Suetonis penulis
Romawi dalam bukunya Vita Caesarum mengatakan bahwa euthanasia berarti “mati
cepat tanpa derita”.

Bidang medis membagi proses kematian ke dalam tiga cara yaitu : pertama,
Orthothansia ialah proses kematian yang terjadi karena proses ilmiah atau secara
wajar, seperti proses ketuaan, penyakit dan sebagainya. Kedua, dysthanasia ialah
proses kematian yang terjadi secara tidak wajar, seperti pembunuhan, bunuh diri dan

5
lain-lain. Ketiga, euthanasia ialah proses kematian yang terjadi karena pertolongan
dokter.

Masalah euthanasia biasanya dikaitkan dengan masalah bunuh diri. Dalam


hukum pidana, masalah bunuh diri yang perlu dibahas adalah apakah seseorang yang
mencoba bunuh diri atau membantu orang lain untuk melakukan bunuh diri itu dapat
dipidana, karena dianggap telah melakukan kejahatan.

Hal ini menjadi unsur utama hak asasi manusia dan seiring dengan kesadaran
baru mengenai hak-hak tersebut. Demikian pula dengan berbagai perkembangan ilmu
dan teknologi (khususnya dalam bidang kedokteran), telah mengakibatkan perubahan
yang dramatis atas pemahaman mengenai euthanasia. Namun, uniknya, kemajuan dan
perkembangan yang pesat ini rupanya tidak diikuti oleh perkembangan di bidang
hukum dan etika. Pakar hukum kedokteran Prof. Separovic menyatakan bahwa
konsep kematian dalam dunia kedokteran masa kini dihadapkan pada kontradiksi
antara etika, moral, dan hukum di satu pihak, dengan kemampuan serta teknologi
kedokteran yang sedemikian maju di pihak lain

2.3 Prinsip Etik dalam Keperawatan


Prinsip-prinsip etika ini oleh profesi keperawatan secara formal dituangkan dalam
suatu kode etik yang merupakan komitmen profesi keperawatan akan tanggung jawab dan
kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat (Pangaribuan, 2016). Pelaksanaan prinsip etik
dapat mencegah terjadinya bahaya fisik dan emosional bagi pasien dalam asuhan
keperawatan.

Pelaksanaan prinsip etik merupakan salah satu dari 12 kompetensi dasar yang harus
dimiliki oleh seorang perawat. Tujuan penulisan ini adalah untuk penerapan prinsip etik
keperawatan dalam tahapan pengambilan keputusan. Kinerja perawat menerapkan prinsip etik
penting untuk dilakukan mengingat perawat yang dalam melakukan asuhan keperawatan
berperilaku tidak etik dapat menimbulkan kerugian bagi pasien sebagai penerima asuhan
keperawatan yaitu dapat mengalami injury atau bahaya fisik seperti nyeri, kecacatan atau
kematian, serta bahaya emosional seperti perasaan tidak berdaya atau terisolasi (CNA, 2004).
Oleh karena itu, perawat dalam memberikan asuhan keperawatan wajib berpedoman terhadap
prinsip-prinsip etik keperawatan yaitu autonomy (penentuan diri), non maleficience (tidak
merugikan), beneficience (melakukan hal baik), justice (keadilan), veracity (kejujuran) dan
fidelity (menepati janji). (kozier, 2015, p.94).

6
Prinsip etik keperawatan yang harus diterapkan oleh perawat dalam menjalankan
praktik asuhan keperawatan ada 8 prinsip etik, anatara lain :

1. Prinsip autonomy (kebebasan) yaitu prinsip menghormati otonomi klien,


dimana klien dan keluarga bebas dan berhak untuk memilih dan memutuskan
apa yang akan dilakukan perawat terhadapnya.
2. Prinsip beneficience (berbuat baik) yaitu setiap tindakan yang dilakukan oleh
perawat harus memiliki manfaat kepada klien maupun keluarga klien.
3. Prinsip nonmaleficience (tidak merugikan) yaitu tindakan perawat harus
sesuai prosedur agar tidak terjadi kesalahan maupun kelalaian yang dapat
merugikan klien maupun keluarga.
4. Prinsip justice (keadilan) yaitu tindakan perawat dalam memberikan
pelayanan dilarang membeda-bedakan antara klien satu dengan klien lainnya.
5. Prinsip veracity (kejujuran) yaitu perawat diwajibkan berkata jujur dan jelas
terhadap apa yang akan dilakukannya kepada klien maupun keluarga klien.
6. Prinsip fidelity (menepati janji) yaitu perawat dalam memberikan pelayanan
harus setia kepada klien serta memiliki komitmen dalam memberikan
pelayanan dengan baik.
7. Prinsip accountability (bertanggungjawab) yaitu perawat harus
bertanggungjawab mengenai tindakan yang dilakukan terhadap klien maupun
keluarga.
8. Prinsip confidentiality (kerahasiaan) yaitu perawat harus menjaga rahasia
setiap klien, baik pada saat klien masih hidup maupun sudah meninggal
(Utami, 2016).

2.4 Klasifikasi Euthanasia


A. Dari penggolongan Euthanasia yang di lihat dari cara dilaksanakannya :
1. Euthanasia aktif
Tindakan secara sengaja dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain
untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasien. Merupakan tindakan
yang dilarang, kecuali di negara yang telah membolehkannya lewat
peraturan perundangan.
2. Euthanasia pasif
Dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak lagi memberikan
bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien, misalnya

7
menghentikan pemberian infus, makanan lewat sonde, alat bantu nafas,
atau menunda operasi.
3. Auto euthanasia
Seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima
perawatan medis dan dia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek
atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah
codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto euthanasia pada dasarnya adalah
euthanasia pasif atas permintaan.
B. Dari penggolongan Euthanasia yang ditinjau dari permintaan
1. Euthanasia voluntary
Permohonan diajukan pasien karena, misalnya gangguan atau penyakit
jasmani yang dapat mengakibatkan kematian segera yang keadaannya
diperburuk oleh keadaan fisik dan jiwa yang tidak menunjang.
2. Euthanasia involuntary
Keinginan yang diajukan pasien untuk mati tidak dapat dilakukan karena,
misalnya seseorang yang menderita sindroma Tay Sachs. Keputusan atau
keinginan untuk mati berada pada pihak orang tua atau yang bertanggung
jawab.
3. Assisted suicide
Tindakan ini bersifat individual dalam keadaan dan alasan tertentu untuk
menghilangkan rasa putus asa dengan bunuh diri.
4. Tindakan langsung menginduksi kematian
Alasan tindakan ini adalah untuk meringankan penderitaan tanpa izin
individu yang bersangkutan dan pihak yang berhak mewakili. Hal ini
sebenarnya pembunuhan, tapi dalam pengertian agak berbeda karena
dilakukan atas dasar belas kasihan. (Billy: 2008)

2.5 Syarat tindakan Euthanasia


Sampai saat ini, kaidah non hukum yang manapun, baik agama, moral dan
kesopanan menentukan bahwa membantu orang lain mengakhiri hidupnya, meskipun
atas permintaan yang bersangkutan dengan nyata dan sungguh-sungguh adalah
perbuatan yang tidak baik. Di Amerika Serikat, euthanasia lebih populer dengan
istilah “physician assisted suicide”. Negara yang telah memberlakukan euthanasia
lewat undang-undang adalah Belanda dan di negara bagian Oregon-Amerika Serikat.

8
Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan syarat-syarat tertentu, antara lain:
1. Orang yang ingin diakhiri hidupnya adalah orang yang benar-benar
sedang sakit dan tidak dapat diobati misalnya kanker.
2. Pasien berada dalam keadaan terminal, kemungkinan hidupnya kecil
dan tinggal menunggu kematian.
3. Pasien harus menderita sakit yang amat sangat, sehingga
penderitaannya hanya dapat dikurangi dengan pemberian morfin.
4. Yang boleh melaksanakan bantuan pengakhiran hidup pasien, hanyalah
dokter keluarga yang merawat pasien dan ada dasar penilaian dari dua
orang dokter spesialis yang menentukan dapat tidaknya dilaksanakan
euthanasia. Semua persyaratan itu harus dipenuhi, baru euthanasia
dapat dilaksanakan. Indonesia sebagai negara berasaskan Pancasila,
dengan sila pertamanya „Ketuhanan Yang Maha Esa‟, tidak mungkin
menerima tindakan “euthanasia aktif”
Mengenai “euthanasia pasif” merupakan suatu “daerah kelabu” karena
memiliki nilai bersifat “ambigu” yaitu di satu sisi bisa dianggap sebagai perbuatan
amoral, tetapi di sisi lain dapat dianggap sebagai perbuatan mulia karena
dimaksudkan untuk tidak memperpanjang atau berjalan secara alamiah. (Fadli:
2000)B

2.6 Aspek dalam Euthanasia


A. Aspek Hukum
Undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari sisi
dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan
dianggap sebagai pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan
nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak
yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang
dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut atas
permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan
pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum
diketahui pengobatannya. Di lain pihak, hakim dapat menjatuhkan pidana mati
bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, &
tidak menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita
tersebut, tanpa dijerat pasal-pasal dalam undang-undang dalam KUHP.

9
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebenarnya telah cukup antisipasif
dalam menghadapi perkembangan iptekdok, antara lain dengan menyiapkan
perangkat lunak berupa SK PB IDI no.319/PB/4/88 mengenai “Pernyataan
Dokter Indonesia tentang Informed Consent”. Disebutkan di sana, manusia
dewasa dan sehat rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak
dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis
yang bertentangan dengan kemauan pasien, walau untuk kepentingan pasien
itu sendiri. Kemudian SK PB IDI no.336/PB/4/88 mengenai “Pernyataan
Dokter Indonesia tentang Mati”. Sayangnya SKPB IDI ini tidak atau belum
tersosialisasikan dengan baik di kalangan IDI sendiri maupun di kalangan
pengelola rumah sakit.
Sehingga, tiap dokter dan rumah sakit masih memiliki pandangan serta
kebijakan yang berlainan. Apabila diperhatikan lebih lanjut, pasal 338, 340, &
344 KUHP, ketiganya mengandung makna larangan untuk membunuh. Pasal
340 KUHP sebagai aturan khususnya, dengan dimasukkannya unsur “dengan
rencana lebih dahulu”, karenanya biasa dikatakan sebagai pasal pembunuhan
yang direncanakan atau pembunuhan berencana. Masalah euthanasia dapat
menyangkut dua aturan hukum, yakni pasal 338 & 344 KUHP. Dalam hal ini
terdapat apa yang disebut „concursus idealis‟ yang diatur dalam pasal 63
KUHP, yang menyebutkan bahwa:
 Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka
yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika
berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok
yang paling berat.
 Jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang
umum diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang
khusus itulah yang dikenakan. Pasal 63 (2) KUHP ini mengandung
asas „lex specialis derogat legi generalis‟, yaitu peraturan yang khusus
akan mengalahkan peraturan yang sifatnya umum.
B. Aspek Hak Asasi
Hak asasi manusia (HAM) selalu dikaitkan dengan hak hidup, hak
damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum jelas adanya hak seseorang untuk
mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran HAM, terbukti

10
dari aspek hukum euthanasia yang cenderung menyalahkan tenaga medis
dalam pelaksanaan euthanasia. Sebenarnya, dengan dianutnya hak untuk hidup
layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak
untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala
ketidaknyamanan atau lebih jelas lagi dari segala penderitaan yang hebat.
C. Aspek Ilmu Pengetahuan
Iptekdok dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya
tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan
pasien. Apabila secara iptekdok hampir tidak ada kemungkinan untuk
mendapat kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang
tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya.
Segala upaya yang dilakukan akan sia-sia, bahkan sebaliknya dapat
dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa
kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam habisnya keuangan.
D. Aspek Agama
Kelahiran & kematian merupakan hak prerogatif Tuhan dan bukan hak
manusia sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak
untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Atau dengan kata
lain, meskipun secara lahiriah atau tampak jelas bahwa seseorang menguasai
dirinya sendiri, tapi sebenarnya ia bukan pemilik penuh atas dirinya. Ada
aturan-aturan tertentu yang harus kita patuhi & kita imani sebagai aturan
Tuhan.
Jadi, meskipun seseorang memiliki dirinya sendiri, tetapi tetap saja ia
tidak boleh membunuh dirinya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli agama
secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter dapat
dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan dengan
memperpendek umur seseorang. Orang yang menghendaki euthanasia,
walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang-kadang dalam keadaan
sekarat dapat dikategorikan putus asa dan putus asa tidak berkenan di hadapan
Tuhan.Tetapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar
bugar dan tentunya sangat tidak ingin mati dan tidak sedang dalam
penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama
yang satu ini.

11
Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila
dikaitkan dengan usaha medis dapat menimbulkan masalah lain. Mengapa
orang harus ke dokter untuk berobat mengatasi penyakitnya. Kalau memang
umur berada di tangan Tuhan, bila memang belum waktunya, ia tidak akan
mati. Hal ini dapat diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau
menunda proses kematian. Jadi upaya medis dapat pula dipermasalahkan
sebagai upaya melawan kehendak Tuhan. Pada kasus-kasus tertentu, hukum
agama memang berjalin erat dengan hukum positif. Sebab di dalam hukum
agama juga terdapat dimensi-dimensi etik & moral yang juga bersifat publik.
Misalnya tentang perlindungan terhadap kehidupan, jiwa atau nyawa. Hal itu
jelas merupakan ketentuan yang sangat prinsip dalam agama. Dalam hukum
positif manapun, prinsip itu juga diakomodasi. Oleh sebab itu, ketika kita
melakukan perlindungan terhadap nyawa atau jiwa manusia, sebenarnya kita
juga sedang menegakkan hukum agama, sekalipun wujud materinya sudah
berbentuk hukum positif atau hukum negara. (Ismail: 2005)

2.7 Kasus Eutahanasia


A. Kasus seorang wanita new jersey – amerika serikat
Seorang perempuan berusia 21 tahun dari new jersey, amerika serikat
pada tanggal 21 april 1975 dirawat dirumah sakit dengan menggunakan alat
bantu pernafasan karena kehilangan kesadaran akibat pemakaian alcohol dan
zat psikotropika secara berlebihan. Oleh karena itu tidak tega melihat
penderitaan sang anak, maka orang tuanya meminta agar dokter menghentikan
pemakaian alat bantu penafasan tersebut.
Kasus permohonan ini kemudian dibawa kepengadilan, dan pada
pengadilan tingkat pertama permohonan orang tua pasien ditolak, namun pada
pengadilan banding permohonn dikabulkan sehingga alat bantu pun dilepaskan
pada tanggal 31 maret 1976. Pasca penghentian penggunaan alat bantu
tersebut, pasien dapat bernafas spontan walaupun masih dalam keadaan koma.
Dan baru Sembilan tahun kemudian, tepatnya tanggal 12 juni 1985, pasien
tersebut meninggal akibat infeksi paru – paru (pneumonia)
B. Kasus rumah sakit boremae – korea
Pada tahun 2002, ada seorang pasien wanita berusia 68 tahun yang
terdiagnosa menderita penyakit sirosis hati (liver cirrhosis). 3 bulan setelah

12
dirawat, seorang dokter bermarga park umur 30 tahun telah mencabut alat
bantu pernafasan (respirator) atas permintaan anak perempuan si pasien.
Pada desember 2002, anak lelaki almarhum tersebut meminta polisi
untuk memeriksa kakak perempuannya beserta dua oang dokter atas tuduhan
melakukan pembunuhan. Seorang dokter yang bernama Dr. Park mengatakan
bahwa si pasien sebelumnya telah meminta untuk tidak dipasanggi alat bantu
pernafasan tersebut. 1 minggu sebelum meninggalnya, si pasien amat
menderita oleh penyakit sirosis hati yang telah mencapai stadium akhir, dan
dokter mengatakan bahwa walaupun respiratori tidak dicabut pun,
kemungkinan hanya bertahan hidup selama 24 jam saja
C. Kasus panca satria hasan kusuma – Indonesia
Sebuah permohonan untuk melakukan euthanasia pada tanggal 22
oktober 2004 telah diajukan oleh seorang suami bernama Panca Satria Hasan
Kusuma karena tidak tega menyaksikan istrinya yang bernama Again Isna
Nauli, 33 tahun, tergolek koma selama 3 bulan pasca operasi Caesar dan
disamping itu ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan
merupakan suatu alasan pula.
Permohonan untuk melakukan euthanasia ini diajukan ke Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk
euthanasia yang diluar keinginan pasien. Permohonan ini akhirnya ditolak oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan setelah menjalani perawatan intensif
maka kondisi terakhir pasien (07 januari 2005) telah mengalami kemajuan
dalam pemulihan kesehatan

13
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Euthanasia
Euthanasia adalah kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak
dengan pertolongan dokter. Euthanasia pada dasarnya berasal dari kata Eu yang
artinya baik dan Thanatos yang artinya mati. Secara keseluruhan kata tersebut dapat
diartikan sebagai “kematian yang baik tanpa penderitaan”. Mengenai masalah
Euthanasia bila ditinjau kebelakang bisa dikatakan masalahnya sudah ada sejak
kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang tidak dapat disembuhkan, sementara
pasien sudah dalam keadaan merana dan sekarat. Dalam situasi demikian, tidak jarang
pasien memohon agar dibebaskan dari penderitaan ini dan tidak ingin diperpanjang
lagi hidupnya. Pada pasien yang sudah tidak sadar, keluarga yang tidak tega melihat
orang sakit penuh penderitaan menjelang ajalnya meminta kepada dokter untuk tidak
meneruskan pengobatan, bahkan ada pula yang minta diberikan obat untuk
mempercepat kematian. Dari sinilah istilah Euthanasia muncul, yaitu melepas
kehidupan seseorang agar terbebas dari penderitaan, atau mati secara baik

3.2 Jenis Euthanasia


Euthanasia mempunyai jenisnya antara lain :
1. Euthanasia Aktif, ketika seorang dokter lebih berperan aktif dalam
melakukan suatu tindakan untuk memperpendek atau mengakhiri hidup
seorang pasien, Euthanasia aktif ini juga dibedakan lagi menjadi dua yaitu:

14
• Euthanasia aktif secara langsung, yaitu cara pengakhiran kehidupan
melalui tindakan medis yang diperhitungkan akan langsung
mengakhiri hidup pasien.
• Euthanasia aktif secara tidak langsung, yang menunjukkan bahwa
tindakan medis yang dilakukan tidak akan langsung mengakhiri
hidup pasien, tetapi diketahui bahwa resiko tindakan tersebut dapat
mengakhiri hidup pasien.
2. Euthanasia Pasif, adalah suatu keadaan dimana seorang dokter atau tenaga
medis lainnya secara sengaja tidak memberikan bantuan medis terhadap
pasien yang dapat memperpanjang hidupnya.
3. Euthanasia Volunter, adalah penghentian tindakan pengobatan atau
mempercepat kematian atas permintaan sendiri.
4. Euthanasia Involunter, adalah jenis euthanasia yang dilakukan pada pasien
dalam keadaan tidak sadar yang tidak mungkin untuk menyampaikan
keinginannya

3.3 Aspek Hukum


Sehubungan dengan pembahasan mengenai hak untuk hidup dan hak untuk
mati tersebut, tentu Euthanasia akan terkait dengan permasalahan hukum pidana. Di
dalam Undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari sisi dokter
sebagai pelaku utama Euthanasia, khususnya Euthanasia aktif karena tindakan
tersebut bisa juga dikatakan sebagai pembunuhan dengan sengaja menghilangkan
nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu menjadi pihak yang
dipersalahkan dalam tindakan Euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya
Euthanasia tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu
sendiri ataupun dari pihak keluarga pasiennya. Selain itu sebenarnya IDI pun telah
membuat SK PB IDI No.336/PB/A.4/88 mengenai “Pernyataan Dokter Indonesia
tentang Mati”. Isi dari SK PB IDI No.336/PB/A.4/88 adalah:

1) Mati adalah proses yang berlangsung secara berangsur. Setiap sel yang
terdapat didalam tubuh manusia mempunyai daya tahan yang berbeda- beda
terhadap ada atau tidak nya oksigen oleh karenanya kematian seseorang
disebabkan oleh penyebab yang berbeda-beda;

15
2) Bagi dokter, yang terpenting bukan terletak pada tiap butir sel, tetapi pada
kepentingan manusia itu sebagai kesatuan yang utuh;
3) Dalam tubuh manusia ada 3 organ penting yang selalu dilihat dalam
menentukan kematian seseorang, yaitu jantung, paru-paru dan otak. Diantara
ketiga organ tersebut kerusakan yang paling permanen adalah pada batang
otak yang merupakan tanda bahwa manusia itu secara keseluruhan tidak dapat
dinyatakan hidup lagi;
4) Seseorang dinyatakan mati apabila fungsi pernafasan dan jantung telah
berhenti secara tidak pasti (irreversible) atau terjadi disfungsi batang otak;
5) Untuk tujuan transplantasi organ, penentuan mati didasarkan pada disfungsi
batang otak. Sebelum dilakukan pengambilan organ, semua tindakan medis
diteruskan agar organ tetap berfungsi dengan baik;
6) Pernyataan tentang kematian ini akan mempunyai implikasi hukum dan
implikasi teknik lapangan, maka dengan ini IDI mengajukan usul perubahan
dan penambahan terhadap PP No. 18 Tahun 81, terutama yang berkenaan
dengan definisi yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (9) dari PP tersebut;
7) Pada situasi dan keadaan penderita belum mati, tetapi tindakan terapeutik atau
paliatif tidak ada gunanya lagi, sehingga bertentangan dengan tujuan ilmu
kedokteran. Dengan demikian tindakan terapeutik atau paliatif dapat
dihentikan. Penghentian tindakan tersebut tetapi sebaiknya dikonsultasikan
dengan dokter.

Mengenai teori pertanggungjawaban pidana bagi dokter yang melakukan


perbuatan Euthanasia terhadap pasien baik dengan persetujuan pasien atau tidak. Pada
dasarnya hukum pidana menganut asas “Tiada pidana tanpa kesalahan”. Teori
pertanggung jawaban dalam kamus hukum adalah Liabillity dan Responsibility
merupakan istilah hukum yang luas menunjuk hampir semua karakter risiko atau
tanggung jawab yang pasti, bergantung, atau yang meliputi semua karakter hak dan
kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya
atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang.

Teori Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu


kewajiban, termasuk keterampilan, kemampuan dan kecakapan meliputi juga
kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan. Dalam
pengertian dan penggunaan praktis, istilah Liability menunjuk pada

16
pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan
oleh subyek hukum. Pertanggungjawaban pidana harus memenuhi unsur-unsur seperti
kemampuan bertanggung jawab, kesengajaaan, kealpaan.16

Menentukan bahwa setiap orang yang berada di dalam wilayah hukum


Indonesia, dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atas kesalahan yang di
buatnya. Berdasarkan ketentuan pada ketentuan itu, profesi dokter tidak terlepas dari
ketentuan pasal tersebut. Sekalipun hukum pidana mengenal adanya penghapusan
pidana dalam pelayanan kesehatan, yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf
sebagaimana halnya terdapat di dalam yurisprudensi, namun tidak serta merta alasan
pembenar dan pemaaf tersebut menghapus suatu tindak pidana bagi seorang dokter.17
Berikut adalah pertanggungjawaban pidana berdasarkan pasal-pasal di KUHP yang
sesuai dengan perbuatan Euthanasia baik aktif maupun pasif yang dilakukan oleh
seorang dokter:

1. Pasal 304 KUHP, memidanakan mereka, yang karena dengan sengaja


membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum
berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan,
perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu;
2. Pasal 306 ayat (2) KUHP, memidanakan mereka, yang karena perbuatannya
meninggalkan orang yang perlu di tolong jika mengakibatkan kematian;
3. Pasal 338 KUHP, memidanakan mereka, yang karena perbuatannya dengan
sengaja merampas nyawa orang lain;
4. Pasal 340 KUHP, memidanakan mereka, yang karena perbuatannya dengan
sengaja dan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain;
5. Pasal 344 KUHP, memidanakan mereka, yang karena perbuatannya merampas
nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan
dengan kesungguhan hati;
6. Pasal 345 KUHP, memidanakan mereka, yang karena perbuatannya dengan
sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam
perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu kalau orang itu jadi
bunuh diri.

Kesenjangan pun terjadi di kasus Euthanasia karena tidak selarasnya antara


teori dan praktek, maksudnya sejauh ini ada beberapa kasus mengenai euthanasia

17
yang terjadi di Indonesia khususnya Euthanasia Pasif yang telah di lakukan dokter
terhadap pasien atas kemauan pasien tersebut atau pihak keluarga pasien, tetapi
walaupun demikian aturan hukum nya belum jelas bagi dokter yang melakukan
Euthanasia baik Euthanasia Aktif maupun Euthanasia Pasif. Sejauh ini yang menjadi
landasan hukum yang paling mendekati Euthanasia terdapat di dalam Pasal 344
KUHP dan Kode Etik Kedokteran yang menjadi pedoman dokter dalam menjalankan
profesinya.

Hak hidup merupakan hak yang harus dilindungi oleh negara terutama negara
hukum. Itulah sebabnya negara hukum harus menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Hak asasi manusia dengan negara hukum tidak bisa di pisahkan. Pengakuan dan
pengukuhan negara hukum salah satu tujuannya yaitu untuk melindungi hak asasi
manusia, yang berarti hak dan sekaligus kebebasan terutama hak untuk hidup
perseorangan harus di akui, di lindungi di hormati dan dijunjung tinggi.

3.4 Syarat Euthanasia


Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan syarat-syarat tertentu, antara lain:
1. Orang yang ingin diakhiri hidupnya adalah orang yang benar-benar sedang
sakit dan tidak dapat diobati misalnya kanker.
2. Pasien berada dalam keadaan terminal, kemungkinan hidupnya kecil dan
tinggal menunggu kematian.
3. Pasien harus menderita sakit yang amat sangat, sehingga penderitaannya
hanya dapat dikurangi dengan pemberian morfin.
4. Yang boleh melaksanakan bantuan pengakhiran hidup pasien, hanyalah dokter
keluarga yang merawat pasien dan ada dasar penilaian dari dua orang dokter
spesialis yang menentukan dapat tidaknya dilaksanakan euthanasia. Semua
persyaratan itu harus dipenuhi, baru euthanasia dapat dilaksanakan. Indonesia
sebagai negara berasaskan Pancasila, dengan sila pertamanya „Ketuhanan
Yang Maha Esa‟, tidak mungkin menerima tindakan “euthanasia aktif”

3.5 Penerapan prinsip etik dalam kasus euthanasia


Contoh kasus pengaplikasian pengambiln keputusan dengan prinsip etik dalam
keperawatan:

18
Seorang laki-laki usia 65 tahun menderita kanker kolon terminal dengan
metastase yang telah resisten terhadap tindakan kemoterapi dan radiasi dibawa ke
IGD karena jatuh dari kamar mandi dan menyebabkan robekan di kepala. laki-laki
tersebut mengalami nyeri abdomen dan tulang dan kepala yang hebat dimana sudah
tidak dapat lagi diatasi dengan pemberian dosis morphin intravena.

Hal itu ditunjukkan dengan adanya rintihan ketika istirahat dan nyeri
bertambah hebat saat laki-laki itu mengubah posisinya. Walapun klien tampak bisa
tidur namun ia sering meminta diberikan obat analgesik. Kondisi klien semakin
melemah dan mengalami sesak yang tersengal-sengal sehingga mutlak membutuhkan
bantuan oksigen dan berdasar diagnosa dokter, klien maksimal hanya dapat bertahan
beberapa hari saja.

Melihat penderitaan pasien yang terlihat kesakitan dan mendengar informasi


dari dokter, keluarga memutuskan untuk mempercepat proses kematian pasien melalui
euthanasia pasif dengan pelepasan alat-alat kedokteran yaitu oksigen dan obat obatan
lain dan dengan keinginan agar dosis analgesik ditambah. Dr spesilalist onkologi yang
ditelp pada saat itu memberikan advist dosis morfin yang rendah dan tidak bersedia
menaikan dosis yang ada karena sudah maksimal dan dapat bertentangan dengan UU
yang ada. Apa yang seharusnya dilakukan oleh anda selaku perawat yang berdinas di
IGD saat itu menghadapi desakan keluarga yang terus dilakukan? Pemecahan
dilemma etis menurut kozier (2004)

A. Mengembangkan data dasar


1. Orang yang terlibat: - Keluarga - Pasien - Perawat - Dokter b) Tindakan
yang diusulkan : euthanasia pasif kepada pasien
2. Maksud dari tindakan : keluarga tidak tega melihat pasien yang kesakitan
d) Konsekuensi tindakan : hilangnya nyawa pasien secara perlahan
B. Identifikasi konflik Tidak disetujuinya euthanasia dengan cara menambah
dosis obat karena akan melanggar UU :
1. Pasal 365 (3) KUHP yang juga mengancam terhadap “penganiayaan yang
dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan
kesehatan untuk dimakan dan diminum”. Selain itu patut juga
diperhatikan adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya pasal
304 dan pasal 306 (2).

19
2. Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan “jika mengakibatan kematian, perbuatan
tersebut dikenakan pidana penjara maksimal Sembilan tahun”. - Para
dokter di Indonesia dilarang melakukan euthanasia. Di dalam kode etik
itu tersirat suatu pengertian, bahwa seorang dokter harus mengerahkan
segala kepandaiannya dan kemampuannya untuk meringankan
penderitaan dan memelihara hidup manusia (pasien), tetapi tidak untuk
mengakhirinya.
C. Alternative tindakan :
Tetap dilakukan tindakan pengobatan sebagaimana mestinya tanpa
harus melanggar hukum, karena euthanasia di Indonesia tidak diperbolehkan.
D. Menentukan siapa pengambil keputusan yang tepat :
Pengambil keputusan yang tepat untuk kasus ini adalah keluarga dari
pasien, karena keluarga adalah yang paling berhak atas diri pasien.
E. Kewajiban perawat :
1. Memberikan pengertian kepada keluarga pasien bahwa permintaannya
( euthanasia) adalah perbuatan yang menggelar hukum dan di Negara
Indonesia melarang tindakan tersebut.
2. Perawat harus memberikan semangat kepada pasien agar tetap tabah
menjalani penyakitnya walau hasil akhirnya nanti ia tetap meninggal
dunia.
F. Membuat keputusan:
Keputusan yang akan dilakukan adalah melaksanakan
pengobatan/tetapi sebagaimana mestinya tanpa harus mempercepat kematian
pasien dengan berbagai alasan, karena akan melanggar hukum yang telah
berlaku di Indonesia. Perawat yang memiliki pengetahuan tentang prinsip etik
harus menerapkannya dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien agar
dapat meningkatkan kepuasan dan kepercayaan antar perawat, klien dan
petugas kesehatan lain. Hubungan saling percaya dapat meningkatkan
keyakinan pasien akan pelayanan kesehatan yang aman dan berkualitas yang
didapatkan dari perawat (Malau, 2008 dalam Indrastuti, 2010, p.4)

3.6 Eutahansia di Indonesia

20
Euthanasia di Indonesia dianggap sebagai suatu bentuk tindak pidana, karena
merupakan salah satu bentuk kejahatan terhadap nyawa, hal ini terbukti dengan
adanya pasal di KUHP yang berkaitan dengan Euthanasia yaitu Pasal 344 KUHP.
Indonesia sendiri belum terdapat payung hukum yang mengatur secara khusus
perihal euthanasia. Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan dan kode
etik kedokteran tidak mengatur perihal euthanasia. Bahkan apabila dokter melakukan
Euthanasia tanpa berhati-hati, maka dapat dihubungkan pula secara tidak langsung
dengan pasal 338, 340, 345 maupun 359 KUHP dan melanggar pasal pasal 7 huruf a,
c, dan d Kode etik kedokteran.
Saat ini, kaidah non hukum yang manapun, baik agama, moral serta kesopanan
menentukan bahwa membantu orang lain mengakhiri hidupnya, meskipun atas
permintaan yang bersangkutan dengan nyata dan sungguh-sungguh adalah perbuatan
yang tidak baik. Terbukti dari aspek hukum Euthanasia yang cenderung menyalahkan
tenaga medis dalam pelaksanaan Euthanasia. Sebenarnya, dengan dianutnya hak
untuk hidup layak secara tidak langsung seharusnya terbesit adanya hak untuk mati,
apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan atau lebih
jelas lagi dari segala penderitaan yang hebat. Banyak orang berpendapat bahwa hak
untuk mati adalah merupakan hak asasi manusia, yaitu hak yang mengalir dari hak
untuk menentukan diri sendiri.
Euthanasia bukan merupakan istilah yuridis, namun mempunyai implikasi
hukum yang sangat luas, baik pidana maupun perdata. Pasal-pasal yang terdapat
dalam KUHP menegaskan bahwa Euthanasia baik aktif maupun pasif tanpa
permintaan adalah dilarang.

21
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Euthanasia adalah kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan
pertolongan dokter. Euthanasia pada dasarnya berasal dari kata Eu yang artinya baik
dan Thanatos yang artinya mati. Secara keseluruhan kata tersebut dapat diartikan
sebagai “kematian yang baik tanpa penderitaan”.

Bidang medis membagi proses kematian ke dalam tiga cara yaitu : pertama,
Orthothansia ialah proses kematian yang terjadi karena proses ilmiah atau secara
wajar, seperti proses ketuaan, penyakit dan sebagainya. Kedua, dysthanasia ialah
proses kematian yang terjadi secara tidak wajar, seperti pembunuhan, bunuh diri dan
lain-lain. Ketiga, euthanasia ialah proses kematian yang terjadi karena pertolongan
dokter

4.2 Saran

22
Diharapkan kepada pasien ataupun kelurga tetap berusaha dalam menjalani
pengobatan secara tepat dan akurat, memotovasi diri untuk terus berharap
kesembuhan sehingga bisa melakukan aktivitas seperti sedia kala.

Dengan mempelajari segala aspek yang berhubungan dengan euthanasia, para


tenaga kesehatan dapat terus memberikan pelayanan kesehatan dan membantu metode
pengobatan pasien secara optimal

23
DAFTAR PUSTAKA

Bajang Tukul, 2008, Perdebatan Etis dan Euthanasia (Perspektif Filsafat Moral),
Yogyakarta, Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

www.academia.edu/36417399/Etika_Keperawatan_Euthanasia

https://id.scribd.com/document/401794758/F-BAB-II-TINJAUAN-EUTHANASIA-1-pdf

Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Suntik Mati (Euthanasia) Ditinjau Dari Aspek Hukum Pidana
Dan Hak Asasi Manusia Di Indonesia. Artikel, Hal 56 – 63

Endang Suparta, 2018, Prospektif Pengaturan Eutahansia Diindonesia Ditinjau Dari


Perspektif Hak Asasi Manusia, Jurnal ilmiah penegakan hukum, 5 (2), Hal. 76 – 85

Artikel Euthanasia dan Transplantasi Organ, Hukum kesehatan fakulta hukum universitas
Suryakencana

Fred Ameln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Jakarta: Grafikatama Jaya. 1991. h. 132

Kartono Muhammad. Teknologi Kedokteran dan Tantangannya Terhadap Biotika. Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama. 1992. H. 19

Artikel Penerapan Prinsip Etik Keperawatan dalam Tahapan Pengambilan Keputusan. Kiki
Dwi Febriyanti

iv

Anda mungkin juga menyukai