Anda di halaman 1dari 26

5

BAB II
DASAR TEORI

2.1 Perpindahan Panas


Perpindahan panas (heat transfer) adalah proses berpindahnya energi kalor atau
panas (heat) karena adanya perbedaan temperatur. Dimana, energi kalor akan
berpindah dari temperatur media yang lebih tinggi ke temperatur media yang lebih
rendah. Proses perpindahan panas akan terus berlangsung sampai ada kesetimbangan
temperatur yang terjadi pada kedua media tersebut. Proses terjadinya perpindahan
panas dapat terjadi secara konduksi, konveksi, dan radiasi.

2.1.1 Perpindahan panas secara konduksi


Perpindahan panas secara konduksi adalah perpindahan panas yang terjadi pada
suatu media padat, atau pada media fluida yang diam. Konduksi terjadi akibat adanya
perbedaan temperatur antara permukaan yang satu dengan permukaan yang lain pada
media tersebut. Ilustrasi perpindahan panas secara konduksi seperti digambarkan
pada Gambar 2.1

Gambar 2.1 Proses perpindahan panas secara konduksi


Sumber : (maslatip.com)

Konsep yang ada pada konduksi merupakan suatu aktivitas atomik dan
molekuler. Sehingga peristiwa yang terjadi pada konduksi adalah perpindahan energi
dari partikel yang lebih energetik (molekul yang lebih berenergi atau bertemperatur
tinggi) menuju partikel yang kurang energetik (molekul yang kurang berenergi atau
bertemperatur lebih rendah), akibat adanya interaksi antara partikel-partikel tersebut.

Proses perpindahan panas secara konduksi pada steady state melalui dinding datar
suatu dimensi seperti ditunjukkan pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Perpindahan panas konduksi pada bidang datar


Sumber: (Incropera dan DeWitt, 3rd ed.)

Persamaan laju konduksi dikenal dengan Hukum Fourier (Fourier Law of Heat
Conduction) tentang konduksi, yang persamaan matematikanya dituliskan sebagai
berikut ( Kreith, Frank, 1997):
=

.....................................................................

(2.1)

Dimana:
= Laju perpindahan panas konduksi (W)
k

= Konduktivitas thermal bahan (W/m.K)

= Luas penampang tegak lurus terhadap arah aliran panas (m)


= Gradien temperatur pada penampang tersebut (K/m)

Tanda (-) diselipkan agar memenuhi hukum Thermodinamika II, yang


menyebutkan bahwa, panas dari media bertemperatur lebih tinggi akan bergerak
menuju media yang bertemperatur lebih rendah.

2.1.2 Perpindahan Panas Konveksi


Perpindahan panas secara konveksi adalah perpindahan panas yang terjadi dari
suatu permukaan media padat atau fluida yang diam menuju fluida yang mengalir
atau bergerak, begitu pula sebaliknya, yang terjadi akibat adanya perbedaan
temperatur. Ilustrasi perpindahan panas secara konveksi digambarkan seperti Gambar
2.3

Gambar 2.3 Proses perpindahan panas secara konveksi


Sumber: (nasrulbintang.files.wordpress.com)

Suatu fluida memiliki temperatur (T) yang bergerak dengan kecepatan (V),
diatas permukaan benda padat (Gambar 2.4). Temperatur media padat lebih tinggi
dari temperatur fluida, maka akan terjadi perpindahan panas secara konveksi dari
benda padat ke fluida yang mengalir.

Gambar 2.4 Perpindahan panas konveksi dari permukaan media padat ke fluida yang mengalir
Sumber: (Incropera dan DeWitt, 3rd ed.)

Laju perpindahan panas konveksi mengacu pada Hukum Newton tentang


pendinginan (Newtons Law of Cooling) (Incopera and De Witt), dimana:
= .

.(

).........................................................

Dimana:
= Laju perpindahan panas konveksi (W)

= Koefisien perpindahan panas konveksi ( /


= Luas permukaan perpindahan panas (

. )

(2.2)

= Temperatur permukaan (K)


= Temperatur fluida (K)
Menurut perpindahan panas konveksi, aliran fluida dapat diklasifikasikan
menjadi:
a. Konveksi paksa (forced convection). Terjadi bila aliran fluida disebabkan
oleh gaya luar. Seperti: blower, pompa, dan kipas angin.
b. Konveksi alamiah (natural convection). Terjadi bila aliran fluida
disebabkan oleh efek gaya apungnya (bouyancy forced effect). Pada fluida,
temperatur berbanding terbalik dengan massa jenis (density). Dimana,
semakin tinggi temperatur suatu fluida maka massa jenisnya akan semakin
rendah, begitu pula sebaliknya.

2.1.3 Perpindahan Panas Radiasi


Perpindahan panas radiasi dapat dikatakan sebagai proses perpindahan panas
dari satu media ke media lain akibat perbedaan temperatur tanpa memerlukan media
perantara. Peristiwa radiasi akan lebih efektif terjadi pada ruang hampa, berbeda dari
perpindahan panas konduksi dan konveksi yang mengharuskan adanya media
perpindahan panas. Ilustrasi perpindahan panas secara radiasi digambarkan seperti
gambar 2.5.

Gambar 2.5 Proses perpindahan panas secara radiasi


Sumber : (maslatip.com)

Besarnya radiasi yang dipancarkan oleh permukaan suatu benda nyata


(real)(

), adalah:

.
.

= . .

. ...............................................................

(2.3)

Sedangkan, untuk benda hitam sempurna (black body), dengan nilai emisivitas
( = 1) memancarkan radiasi (
.

), sebesar:

. .................................................................

(2.4)

Untuk laju pertukaran panas radiasi keseluruhan, antara permukaan dengan


sekelilingnya (surrounding) dengan temperatur sekeliling (
= . .

), adalah:

. ...............................................

(2.5)

Dimana:
= laju pertukaran panas radiasi (W)
= Nilai emisivitas suatu benda (0 1)
= Konstanta proporsionalitas, disebut juga konstanta Stefan Boltzmann.
Dengan nilai 5,67

10

( /

= Luas bidang permukaan (

)
)

= Temperatur benda (K)


Dalam hal ini semua analisis tentang temperatur dalam pertukaran panas
radiasi adalah dalam temperatur mutlak (absolut) yaitu Kelvin (K).

2.2 Konstanta Matahari


Lapisan fotosfer memancarkan suatu spectrum radiasi yang terus menerus
(continous), yang sekiranya cukup dapat dikatakan sebagai sebuah radiator sempurna
pada temperatur 5762 K. Skema letak bumi terhadap matahari ditunjukkan pada
gambar 2.6 berikut.

Gambar 2.6 Bola matahari


Sumber : (Arismunandar, Wiranto., 1995)

10

Radiasi yang dipancarkan oleh permukaan matahari ( ), adalah sama dengan


hasil perkalian konstanta Stefan Boltzmann (), pangkat empat temperatur absolut
(

), dan luas .
=

(Arismunandar. Wiranto., 1995):

. .

.................................................................

(2.6)

Dimana:
= Radiasi yang dipancarkan oleh permukaan matahari (W)
= Temperatur permukaan matahari (K)
= diameter matahari (m)
Pada Gambar 2.6 dijelaskan radiasi kesemua arah dimana energi yang
diradiasikan mencapai luas permukaan bola dengan matahari sebagai titik tengahnya.
Jari-jari (R) adalah sama dengan jarak antara matahari dan bumi. Luas permukaan
bumi dapat dihitung dengan persamaan 4. .

, dan fluks radiasi (G) ( /

). Pada

satu satuan luas dari permukaan bumi tersebut dinamakan iradiasi. Dari penjelasan
tersebut diperoleh persamaan (Arismunandar. Wiranto., 1995):

........................................................................

Dengan garis tengah matahari ( ) 1,39 10

(2.7)

m, temperatur permukaan

matahari ( ) 5762 K, dan jarak rata-rata antara matahari dan bumi sebesar (R)
1,5

10

m, maka fluks radiasi persatuan luas dalam arah yang tegak lurus pada

radiasi tepat atmosfer bumi adalah (Arismunandar. Wiranto., 1995):

.( , .

= 1353
Faktor
1,940

). ,

konveksi

; 429

satuan

untuk
) ; 4,871

fluks
(

radiasi

yaitu

).

2.3 Radiasi Matahari


Energi radiasi yang menimpa permukaan suatu benda, maka sebagian energi
radiasi tersebut akan dipantulkan (reflection), sebagian akan diserap (absorbtion),
dan sebagian lagi akan diteruskan (transmisition), seperti tergambar pada Gambar
2.7

11

Refleksivitas ()

Radiasi datang

Absorbsivitas ()

Transmisivitas ()
Gambar 2.7 Bagan pengaruh radiasi datang
Sumber: (Aditya Kresnawan, I Dewa Gede, 2013)

Bagian

yang

dipantulkan

(refleksivitas()),

bagian

yang

diserap

(absorbsivitas()), dan bagian yang diteruskan (transmisivitas()). Pada benda bening


seperti kaca atau benda transparan lainnya (Holman J.P., 1985), maka:
+

= 1......................................................................

(2.8)

Sedangkan untuk benda padat lainnya yang tidak meneruskan radiasi thermal,
nilai transmisivitas dianggap nol (Holman J.P., 1988), sehingga:
+

= 1..............................................................................

(2.9)

Ada dua fenomena yang dapat diamati bila radiasi menimpa permukaan suatu
benda. Jika sudut jatuh sama dengan sudut refleksi, maka dikatakan refleksi tersebut
spektakular (spectaculer). Jika berkas jatuh radiasi tersebar merata ke segala arah
sesudah refleksi, maka dikatakan refleksi tersebut sebagai refleksi baur (difuse).
Kedua jenis refleksi tersebut tergambar seperti Gambar 2.8

Gambar 2.8 Fenomena refleksi spektakular (a) dan refleksi baur (b)
Sumber : (Holman J.P., 1985)

12

Intensitas radiasi matahari akan berkurang penyerapan dan pemantulan yang


dilakukan oleh atmosfer, sebelum intensitas matahari mencapai permukaan bumi.
Ozon pada lapisan atmosfer menyerap radiasi dengan panjang gelombang pendek
(ultraviolet). Sedangkan, karbon dioksida dan uap air menyerap sebagian radiasi
dengan panjang gelombang yang lebih panjang (infrared). Selain pengurangan
radiasi bumi langsung (radiasi sorotan) oleh penyerapan tersebut, masih ada radiasi
yang dipancarkan oleh molekul-molekul gas, debu, dan uap air di atmosfer. Dimana
radiasi yang dipancarkan tersebut mencapai bumi sebagai radiasi sebaran, seperti
yang ditunjukkan Gambar 2.9

awan
Radiasi sorotan
Radiasi sebaran

Gambar 2.9 Radiasi sorotan dan radiasi sebaran


Sumber: (Aditya Kresnawan, I Dewa Gede, 2013)

Penjumlahan radiasi sorotan (beam) ( ), dan radiasi sebaran (difuse) ( ),


merupakan radiasi total (I) pada permukaan horizontal per jam. Hal ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
=

............................................................................

(2.10)

Nilai radiasi total (I) dapat juga dihitung dengan menggunakan bantuan alat
solarymeter.

2.3.1 Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Radiasi Matahari di Bumi


Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan radiasi matahari pada suatu
permukaan di bumi antara lain:

13

a.

a.

Posisi matahari

b.

Lokasi dan kemiringan permukaan

c.

Waktu matahari

d.

Keadaan cuaca

Posisi Matahari
Sepanjang bumi mengelilingi matahari pada suatu lintasan yang berbentuk

elips, yang disebut sebagai bidang ekliptika. Bidang ini membentuk sudut 23,5
terhadap

bidang

equator.

Akibat

peredaran

bumi

mengelilingi

matahari,

menimbulkan dampak perubahan musim pada permukaan bumi. Di Indonesia


sendiri, ada dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan terjadi
pada saat posisi matahari berada paling jauh diselatan bagi belahan bumi bagian
utara (pada umumnya terjadi pada bulan Desember). Sedangkan musim kemarau
terjadi pada saat posisi matahari berada pada titik paling utara bagian bumi (pada
umumnya terjadi pada bulan Juni).

Gambar.2.10 Posisi Peredaran Matahari


Sumber: (elizarachma.blogspot.com)

Terdapat 4 kedudukan bumi pada orbitnya, yaitu sebagai berikut.


a.

Tanggal 21 Maret Dilihat dari Bumi, Matahari tepat berada pada garis
khatulistiwa (0). Karenanya, Matahari seolah-olah terbit tepat di sebelah timur.
Demikian pula, Matahari seolah-olah tenggelam tepat di sebelah barat.

14

b.

Tanggal 21 Juni, dilihat dari Bumi, Matahari tampak berada pada 23 lintang
utara (LU). Karenanya, Matahari seolah-olah terbit agak sedikit bergeser ke
utara.

c.

Tanggal 23 September, diamati dari Bumi, Matahari tampak kembali berada


pada garis khatulistiwa. Akibatnya, Matahari seolah-olah terbit tepat di sebelah
timur.

d.

Tanggal 22 Desember, Matahari tampak berada pada 23 lintang selatan (LS)


jika dilihat dari Bumi. Hal ini menyebabkan Matahari seolah-olah terbit agak
sedikit bergeser ke selatan.

b.

Lokasi dan kemiringan permukaan


Lokasi dan kemiringan permukaan benda ditentukan oleh besarnya sudut

datang radiasi pada permukaan benda tersebut. Hubungan geometrik antara


permukaan benda terhadap radiasi matahari yang datang, dapat dinyatakan dalam
beberapa sudut seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.11

Gambar 2.11 Sudut zenith, sudut kemiringan, sudut azimuth permukaan, sudut azimuth
surya
Sumber: (Duffie dan Beckman, 1980)

Dalam gambar 2.11 sudut zenith z diperlihatkan sebagai sudut antara sudut
zenith z, atau garis lurus diatas kepala, dan garis pandang ke matahari. Sudut azimuth
A, yaitu sudut antara garis yang mengarah ke utara dan proyeksi garis pandang ke

15

matahari pada bidang horizontal, kea rah timur dianggap positif. Sudut zenith dapat
ditenukn dengan rumus sebagai berikut:
Cos z = sin sin + cos cos cos

(2.11)

Deklinasi , yaiu sudut yang dibentuk oleh matahari dengan bidang equator,
ternyata berubah sebagai akibat kemiringan bumi, + 23.45o musim panas (21 juni) ke
23.45o musim dingin (21 desember), yang dapat dilihat pada gambar. Harga
deklinasi pada tiap saat dapat diperkirakan dari persamaan berikut:
= 23,45 sin (360

(2.12

Dimana:
n = hari dari tahun yang bersangkutan
Sudut jam , dri definisi diatas adalah sama dengan nol pada tengah hari surya
(solr noon), positif untuk pagi hari.
Sebagai pengganti sudut zenith z , kadang-kadang digunakan sudut ketinggian
surya (solar altitude angle) h = 90o - z. sudut azimuth A dapat diturunkan dengn
metode yang sama dan dinyatakan sebagai berikut:
Cos A =

(2.13)

S
Gambar 2.12 Deklinasi matahari, posisi dalam panas

Beberapa pengertian sudut-sudut dalam hubungannya dengan posisi bumimatahari:


= Sudut lintang, sudut lokasi suatu tempat di permukaan bumi terhadap
equator, dimana arah utara-selatan, -90 90, dengan utara positif.

16

= Sudut datang berkas sinar (angel of incident), sudut yang dibentuk


antar radiasi langsung pada suatu permukaan dengan garis normal
permukaan tersebut.
= Sudut zenith, sudut antara radiasi langsung dari matahari dengan garis
normal bidang horizontal.
= Sudut kemiringan, sudut antara permukaan bidang yang dimaksud
terhadap horizontal: 0 180
= Sudut ketinggian matahari, sudut antara radiasi langsung dari
matahari dengan bidang horizontal.
= Sudut jam (hour of angel), sudut antara bidang yang dimaksud dengan
horizontal, berharga nol pada pukul 12.00 waktu surya. Setiap jam
setara 15, kearah pagi negatif, dan ke arah sore positif.
= Sudut azimuth permukaan, antara proyeksi permukaan pada bidang
horizontal dengan meridian, titik nol di selatan, negatif timur, positif
barat.
= Sudut azimuth surya, adalah pergeseran anguler proyeksi radiasi
langsung pada bidang datar terhadap arah selatan.
= Deklinasi, posisi anguler matahari dibidang equator pada saat jam 12.00
waktu matahari. Sudut deklinasi dapat juga ditentukan dengan
rumus: = 23,45 sin(360

), rumus tersebut menurut Cooper

(1969), dimana nilai n adalah nomor urutan hari dalam satu tahun yang
dimulai dari 1 januari.
Untuk sudut pada permukaan yang dimiringkan ke selatan maupun utara,
mempunyai hubungan anguler seperti permukaan datar pada lintang ( ). Untuk
belahan bumi pada bagian utara, hubungan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.13

17

Gambar 2.13 Bagian bumi yang menunjukkan , , dan (-) untuk belahan utara
Sumber: (Duffie dan Beckman, 2006)

c.

Waktu matahari
Perhitungan intensitas matahari pada saat tertentu umumnya didasarkan pada

waktu matahari, yaitu waktu tertentu dalam hubungannya dengan matahari yang
didasarkan pada garis bujur lokasi tersebut. Waktu matahari dihitung dengan
persamaan berikut:
=

+4(

)......................

(2.14)

Dimana:
E= 9,87 sin 2 7 cos

1,5 sin

= garis bujur waktu standar


= garis bujur lokasi

d.

Keadaan cuaca
Faktor

transmisi kandungan atmosfer dapat mempengaruhi jumlah radiasi

matahari yang mencapai permukaan bumi. Di atmosfer, radiasi matahari diserap oleh
unsur-unsur ozon, uap air, dan karbon dioksida. Disamping diserap, radiasi matahari
juga dihamburkan oleh partikel-partikel seperti udara, uap air, dan debu.
Pada dasarnya, radiasi matahari sering dihalangi oleh bermacam-macam tipe
awan. Jadi untuk meramalkan radiasi matahari di bumi perlu diketahui tipe awan dan
ketebalannya. Masing-masing tipe awan memiliki koefisien transmisi sendiri-sendiri.

18

2.4 Kolektor Surya


2.4.1 Bagian-Bagian Kolektor Surya
Kolektor surya merupakan alat yang berfungsi menyerap efek radiasi sinar
matahari dan merubahnya menjadi energi panas (kalor) yang berguna. Adapun
bagian-bagian dari kolektor surya adalah:
a.

Penutup transparan (kaca bening)


Penutup transparan merupakan lapisan teratas dari kolektor surya. Penutup

transparan pada umumnya menggunakan kaca bening sebagai bahannya. Pemilihan


kaca bening sebagai penutup transparan pada kolektor diharapkan memiliki sifat
transmisivitas yang tinggi, serta sifat absorbsivitas dan refleksivitas serendah
mungkin. Refleksivitas (daya pantul suatu benda) tergantung pada indek bias dan
sudut datang yang dibentuk oleh sinar datang terhadap garis normal suatu
permukaan. Sedangkan transmisivitas suatu permukaan dapat mempengaruhi
intensitas energi matahari yang diserap oleh pelat penyerap. Transmisivitas kaca
akan menurun bila sudut datangnya melebihi 45 terhadap vertical. Sedangkan
absorbsivitas akan bertambah sebanding dengan panjang lintasan pada penutup
transparan, sehingga bagian yang diteruskan menjadi berkurang.
b.

Pelat penyerap
Pelat penyerap yang ideal memiliki permukaan dengan tingkat absorbsivitas

yang tinggi, guna menyerap radiasi matahari sebanyak mungkin dan memiliki tingkat
emisivitas serendah mungkin. Disamping itu, pelat penyerap diharapkan memiliki
nilai konduktivitas thermal yang tinggi. Pemilihan bahan dengan tingkat emisivitas
serendah mungkin dimaksudkan agar kerugian panas karena radiasi balik sekecil
mungkin.
c.

Isolasi
Untuk menghindari terjadinya kehilangan panas ke lingkungan, bagian luar

suatu kolektor surya diberi isolasi (perdam panas), yang dimana bahan yang
digunakan sebagai isolator merupakan bahan dengan sifat konduktivitas thermal yang
rendah.

19

2.4.2 Radiasi yang Diserap Kolektor Surya


Pada kolektor surya yang digunakan sebagai pemanas udara, radiasi matahari
tidak akan sepenuhnya diserap oleh pelat penyerap. Sebagian radiasi akan
dipantulkan (direfleksikan) menuju bagian dalam penutup transparan. Pantulan sinar
yang menuju penutup transparan akan dipantulkan kembali dan sebagian lainnya
terbuang ke lingkungan. Proses penyerapan radiasi ini diperlihatkan pada Gambar
2.14

Gambar 2.14 Penyerapan radiasi matahari oleh kolektor


Sumber: (Aditya Kresnawan, I Dewa Gede, 2013)

Gambar 2.14 menjelaskan proses pemantulan berulang, dimana berkas radiasi


yang menimpa kolektor, pertama akan menembus penutup transparan yang kemudian
menimpa pelat penyerap. Sebagian radiasi akan dipantulkan kembali ke penutup
transparan, dan sebagian lagi akan diserap pelat penyerap. Hasil pantulan radiasi dari
pelat penyerap yang menuju katup transparan akan dipantulkan kembali ke pelat
penyerap, sehingga terjadi proses pemantulan berulang seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 2.14. simbol menyatakan nilai transmisivitas penutup transparan.
Simbol menyatakan nilai absorbsivitas anguler pelat penyerap, dan

menyatakan

nilai refleksivitas radiasi hambur dari penutup transparan.


Dari energi masuk yang menimpa kolektor, maka ( ) adalah energi yang
diserap oleh pelat penyerap, dan energi sebesar (1-) adalah jumlah energi yang

20

dipantulkan menuju penutup. Pantulan yang mengenai penutup tersebut merupakan


radiasi hambur. Sehingga energi sebesar (1 )

kemudian dipantulkan kembali

oleh penutup menuju pelat penyerap, dan terjadi proses pemantulan berulang.
Besarnya energi maksimum yang diperoleh kolektor adalah:
(

)=

[ (1 )

] =

).

.....................

(2.15)

Untuk mendekatkan perhitungan kolektor dapat digunakan persamaan:


(

1,01

...............................................................

(2.16)

Perkalian antara transmittance-absorbtance product rata-rata atau (

adalah, perbandingan antara radiasi matahari yang diserap (S) terhadap radiasi
matahri yang menimpa kolektor ( ). Sehingga radiasi matahari yang diserap oleh
permukaan pelat penyerap adalah:
= (

....................................................................

(2.17)

2.5 Kolektor Surya Pelat Bergelombang Sebagai Pelat Penyerap dan Pembuat
Arah Alur Aliran Fluida
Rancangan kolektor surya pada penelitian ini akan menggunakan pelat seng
sebagai pelat penyerap dan pembuat arah alur aliran fluida (udara) yang disusun
pararel sehingga menciptakan beberapa saluran fluida kerja guna mengetahui
performansi dari variasi jumlah saluran fluida kerja.

2.5.1 Penggunaan Pelat Bergelombang


(Hollands,

1965)

melakukan

penelitian

dengan

menggunakan

pelat

bergelombang sebagai pelat penyerap pada kolektor surya. Yang arah fluida kerjanya
menyeberangi pelat bergelombang (arah alirannya tidak mengikuti kontur pelat).
Dimana pada penelitiannya, diperoleh kesimpulan bahwa dengan menggunakan pelat
bergelombang sebagai absorber, dapat meningkatkan tingkat absorbsivitas pelat
penyerap terhadap radiasi sinar matahari. Hollands juga mendapatkan hasil penelitian
hubungan antara sudut timpa dengan refleksivitas yang dibuat dalam bentuk grafik
seperti yang ditunjukkan Gambar 2.15.

21

Gambar 2.15 Grafik hubungan antara sudut timpa dengan refleksivitas


Sumber: (Hollands, 1965)

Dengan adanya bentuk gelombang, radiasi yang mengenai pelat penyerap,


dimana sebagian akan dipantulkan ke penutup transparant, dan sebagian akan
dipantulkan ke bagian gelombang disebelahnya seperti pada Gambar 2.16. Dimana
pemantulan berulang akan lebih banyak terjadi daripada jika hanya menggunakan
pelat datar sebagai pelat penyerap, yang hanya mengandalkan pemantulan berulang
yang terjadi antara penutup transparan dan pelat penyerap.

Gambar 2.16 Proses pemantulan berulang pada pelat bergelombang


Sumber: (Hollands, 1965)

Pelat bergelombang yang memiliki beda ketinggian atara gelombangnya juga


berfungsi memantulkan panas ke sisi gelombang yang lainnya, yang diharapkan
meningkatkan penyerapan panas.

22

2.5.2 Aliran Fluida pada Pelat Bergelombang


Selain menambah luasan pelat penyerap, pelat bergelombang juga membuat
fluida kerja (udara) dipaksa mengikuti kontur pelat yang bergelombang dengan
tujuan sebagai pengganggu aliran fluida. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.17

Gambar 2.17 Aliran fluida pada pelat bergelombang


Sumber: (Aditya Kresnawan, I Dewa Gede, 2013)

Fluida yang mengalir diantara pelat menerima hantaran panas dari hasil
penyerapan radiasi sinar matahari. Dimana aliran gelombang pada fluida dihasilkan
dari pemantulan aliran fluida yang disebabkan karena kontur pelat yang tidak rata.
Pemantulan fluida kerja yang berulang menyebabkan distribusi panas dari pelat
penyerap ke fluida kerja lebih baik.

2.5.3 Kolektor Surya Pelat Bergelombang


Kolektor surya

ini memiliki rancangan dengan menggunakan pelat

bergelombang sebagai pelat penyerap dan variasi jumlah pelat bergelombang yang
disusun dibawah pelat penyerap. Aliran fluida kerja mengalir dibawah pelat
penyerap, dan pada bagian atas pelat penyerap udara dikondisikan diam.
a.

Skema Kolektor
Skema kolektor surya pelat bergelombang sebagai absorber ditunjukan
pada Gambar 2.18

23

Gambar 2.18 Skema kolektor surya pelat bergelombang


Sumber: (Aditya Kresnawan, I Dewa Gede, 2013)

b.

Tahanan Thermal
Untuk tahanan thermal yang terjadi pada kolektor surya pelat bergelombang

dapat dijelaskan seperti pada gambar 2.19

24

Keterangan:

= temperatur fluida diam

= temperatur cover (kaca bening)

= temperatur pelat penyerap

= temperatur pelat samping


= temperatur fluida mengalir
1

= temperatur pelat bawah

= perpindahan panas secara radiasi

= perpindahan panas secara konveksi

= perpindahan panas secara konduksi


= temperatur lingkungan
= temperatur isolator

Gambar 2.19 Rangkaian thermal kolektor

c.

Kesetimbangan energi
- Kesetimbangan energi pada cover:
1.

Radiasi dari lingkungan ke cover (1

2.

Konduksi dari cover ke fluida (

3.

Radiasi dari cover ke pelat penyerap (1

4.

Konduksi dari fluida ke pelat penyerap (

)
)
)
)

- Kesetimbangan energi pada pelat penyerap


1.

Konveksi dari pelat penyerap ke fluida mengalir (1

25

2.

Konduksi dari pelat penyerap ke pelat samping (

- Kesetimbangan energi pada pelat bawah:

2.6

1.

Konveksi dari fluida mengalir ke pelat bawah (1

2.

Konduksi dari pelat samping ke pelat bawah (

3.

Konduksi dari pelat bawah ke isolator (

Energi berguna dan Efisiensi Kolektor Surya


Energi yang berguna digunakan untuk menghitung seberapa besar panas yang

berguna yang dihasilkan oleh kolektor surya. Sedangkan efisiensi digunakan untuk
menghitung performansi atau unjuk kerja dari kolektor surya tersebut.

2.6.1 Laju Aliran Massa Fluida


Pengujian yang akan dilakukan bertujuan untuk mengetahui performansi
kolektor surya dengan menggunakan pelat bergelombang sebagai pelat penyerap dan
pelat bawah yang terbuat dari bahan dan bentuk yang sama dengan pelat penyerap
untuk membuat laju aliran fluida mengikuti kontur pelat yang bergelombang. Untuk
mengetahui besarnya laju aliran massa dapat diketahui dari perbedaan tinggi
rendahnya ketinggian manometer saat proses pengujian.

Gambar 2.20 Inclined manometer

Menghitung laju aliran massa:


1. Menghitung perbedaan ketinggian pada manometer:
= sin

. ...............................................................

2. Menghitung kecepatan udara:

(2.18)

26

2. . ..............................................................

(2.19)

3. Menghitung luas saluran masuk fluida kerja:


=

..........................................................

(2.20)

Setelah mendapatkan luas saluran masuk dan kecepatan udara maka laju
aliran massa dapat dihitung:
= .

. ..................................................................

(2.21)

Dimana:
= laju aliran massa (kg/s)
= kecepatan udara (m/s)
A = luas saluran masuk udara (

u = massa jenis udara (kg/m3)

2.6.2 Energi Berguna Kolektor Surya


Untuk perhitungan energi yang diserap atau energi berguna pada kolektor
digunakan persamaan:
=

.(

)......................................................

(2.22)

Dimana:
= panas yang berguna (W)
= laju aliran massa fluida (kg/s)
= kapasitas panas jenis fluida (

. ))

= temperatur fluida keluar ( )


= temperatur fluida masuk ( )

2.6.3 Efisiensi Kolektor Surya


Efisiensi kolektor adalah perbandingan panas yang diserap oleh fluida atau
energi berguna dengan intensitas matahari yang mengenai kolektor. Performansi
kolektor dapat dinyatakan dengan efisiensi thermal. Akan tetapi, intensitas matahari
berubah terhadap waktu, oleh karena itu efisiensi thermal kolektor dikelompokkan
menjadi dua, yaitu:

27

Instantaneous efficiency (efisiensi sesaat), adalah efisiensi pada

1.

keadaan steady untuk selang waktu tertentu.


Long term atau all-day efficiency adalah efisiensi yang dihitung dalam

2.

jangka waktu yang relatif lama (bisa per-hari atau per-bulan).

Performansi secara keseluruhan sangat dipengaruhi oleh performansi dari


kolektor. Pengujian sistem kolektor surya dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1.

Pengujian untuk menentukan performansi kolektor.

2.

Pengujian untuk menentukan performansi sistem secara keseluruhan.

Pengujian ini dilakukan untuk menentukan performansi kolektor yang


menggunakan pelat bergelombang saja sebagai absorber. Pengujian menggunakan
metode Instantaneous efficiency (menggunakan metode dengan menghitung efisiensi
dalam jangka waktu sesaat atau setiap 10 menit sekali)
Efisiensi kolektor surya dihitung menggunakan persamaan:
=

.(

.................................................

(2.23)

Dimana:
= efisiensi kolektor
= panas berguna (W)
= laju aliran massa fluida (kg/s)
= kapasitas panas jenis fluida (

. )

= temperatur fluida keluar ( )


= temperatur fluida masuk ( )
= luas bidang penyerapan kolektor (

= radiasi surya yang jatuh pada bidang kolektor (

2.7 Pengering Surya


Pengering surya memanfaatkan energi matahari sebagai energi utama dalam
proses pengeringan dengan bantuan kolektor surya. Ada tiga klasifikasi utama
pengering surya (Mujumdar, 2006) yaitu :

28

1. Solar Natural Dryer, adalah pengering surya dengan alami tanpa


menggunakan bantuan peralatan luar untuk mengalirkan fluida kerja, yang
termasuk dalam kelompok ini adalah tipe kabinet, tipe tenda, tipe rumah
kaca, dan tipe pengering cerobong.
2. Semiartifical Solar Dryer, adalah pengering surya dengan konveksi paksa,
memanfaatkan bantuan peralatan luar untuk mengalirkan fluida kerja, salah
satu yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah Room Dryer.
3. Solar-Assisted Artificial Dryer, adalah pengering surya yang memanfaatkan
lebih dari satu sumber energi matahari. Sumber energi lain hanya bersifat
sebagai energi pembantu.

2.7.1 Energi Dalam Proses Pengeringan Surya


Dalam Solar dryer, perpindahan massa air dari dalam bunga kamboja menuju
udara pengering terjadi setelah penguapan air pada permukaan bunga dan adanya
perbedaan konsentrasi uap air, penguapan ini terjadi karena bunga kamboja
menerima energi kalor dari udara yang terjadi secara konveksi. Besarnya energi yang
dibutuhkan untuk menguapkan air dalam bahan, adalah sebagai berikut:

Q=

.................................................................

(2.24)

Dimana :
Q = jumlah panas yang dibutuhkan untuk penguapan, (kJ)
= jumlah massa air yang ingin dikeluarkan dari bahan, (kg)

= panas laten penguapan air, (kJ/kg)

Dan untuk jumlah massa air yang ingin dikeluarkan dari bahan, dapat
dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
=

.............................................................

Dimana :
= massa bahan sebelum dikeringkan, (kg)
,

= kandungan air bahan sebelum dikeringkan, (%)

= kandungan air bahan setelah dikeringkan, (%)

(2.25)

29

Udara yang telah melewati kolektor, akan masuk keruang pengering dan
kontak dengan bahan yang dikeringkan. Dalam proses ini, bahan menerima energi
dari udara. Energi ini akan menguapkan air pada bahan yang dikeringkan. Energi ini
dapat dihitung setelah unit pengering bekerja dan dilakukan pengukuran terhadap
temperature pada ruang pengering, dimana bahan yang dikeringkan berada. Besarnya
energy yang diberikan pada bahan untuk proses penguapan, adalah sebagai berikut:
=

) .....................................................

(2.26)

Dimana :
= energi panas yang diterima bahan dari udara untuk penguapan, (kJ)
= massa bahan sebelum dikeringkan, (kg)
= massa bahan setelah dikeringkan, (kg)

= panas laten penguapan air, (kJ/kg)

Penentuan dimensi kolektor berdasarkan pada perencanaan kebutuhan energi


penguapan dan effisiensi dari alat pengering yang dirancang. Kebutuhan energi yang
diterima oleh kolektor selalu lebih besar daripada energi yang diterima bahan, ini
dikarenakan effisiensi pengeringan yang dirancang belum ada yang mencapai 100%.
Adanya losses energi sangat mempengaruhi besarnya effisiensi alat pengering yang
dibuat. Besarnya energi radiasi matahari yang diterima, adalah sebagai berikut:
=

.................................................................

(2.27)

Dimana :
= panas radiasi yang diterima, ( W )
= luas permukaan kolektor, (

= intensitas radiasi matahari, ( W /

Lamanya waktu pengeringan, bergantung pada kondisi internal bahan yang


dikeringkan dan kondisi lingkungan diluar bahan (udara pengering ). Kontrol
kelembaban udara menjadi sangat penting, karena akan menentukan seberapa cepat
dan besarnya massa air yang dapat diserap dari bahan yang dikeringkan. Besarnya
laju pengeringan ditentukan oleh besarnya air yang dipindahkan dari bahan dan

30

waktu yang dibutuhkan untuk pemindahan tersebut, menggunakan persamaan


sebagai berikut:

.................................................................

(2.28)

Dimana :
= laju pengeringan (kg/s)
= waktu pengerigan (s)
mw =Jumlah massa air yang ingin dikeluarkan (kg)

2.7.2 Effisiensi Pengeringan Surya


Besarnya energi yang dapat dimanfaatkan dari energi total yang dapat
diterima oleh kolektor untuk menguapkan air dalam bunga kamboja, menunjukkan
efisiensi rancangan alat pengering surya yang telah dibuat. Semakin besar energi
yang dapat dimanfaatkan, semakin besar pula effisiensi alat pengering tersebut.
Besarnya effisiensi dapat ditentukan sebagai berikut:
=

x 100% .............................................................

(2.29)

Dimana :
= effisiensi pengeringan ( %)
= energi panas yang diterima bahan dari udara untuk penguapan (kJ)
= panas radiasi yang diterima (W)

Anda mungkin juga menyukai