Dokumen - Tips Dna Fingerprinting
Dokumen - Tips Dna Fingerprinting
1.
2.
3.
diketahui bahwa pada ujung rambut terdapat DNA mitokondria sedangkan akar
rambut terdapat DNA inti sel.
Pada umunya bahan kimia yang digunakan untuk isolasi adalah
Phenolchloroform dan Chilex. Phenolchloroform berfungsi untuk mengisolasi darah
yang berbentuk cairan sedangkan Chilex digunakan untuk mengisolasi barang bukti
berupa rambut. Lama dari waktu proses tergantung pada kemudahan suatu sampel
di isolasi. Tahap isolasi bisa selesai hanya dalam beberapa hari atau bahkan
berbulan-bulan.
DNA fingerprinting bergantung pada sebagian kecil dari genom. Setiap DNA
tersusun dari ekson yang merupakan daerah yang mengkode protein dan intron
yang berupa daerah non-coding, biasanya disebut junk DNA. Dalam DNA kromosom
terdapat sekuens berukuran 20-100 bp yang berulang. Potongan pengulangan ini
dikenal sebagai VNTRs (Variable Number Tandem Repeats) yang dapat diisolasi dari
DNA seseorang. Setiap individu memiliki VNTRs yang diturunkan oleh ayah dan ibu
sehingga tidak ada individu yang memiliki VNTRs sama persis. Perbedaan VNTRs
dari setiap individu terletak dalam pada berapa kali sequence ini diulang dalam
daerah VNTRs. Perbedaan jumlah pengulangan ini akan menyebabkan setiap
individu memiliki panjang VNTRs yang berbeda sehingga memungkin untuk
mengetahui indentitas seseorang melalui profil DNAnya.
Ada 2 prinsip utama dalam menganalisa data VNTRs, yaitu:
Identity Matching.
Jika dua sample memiliki pola alel VNTRs yang sama, maka dapat
disimpulkan kedua sample tersebut berasal dari individu yang sama.
Inheritance Matching.
Alel VNTR harus mengikuti pola keturunan. Seorang anak harus
memiliki
sebuah alel yang cocok dengan salah satu dari masing-masing orang tuanya.
Berikut ini adalah macam-macam metode untuk melakukan DNA fingerprint,
yaitu:
Analisa menggunakan PCR atau dot blot (slot blot)
DNA fingerprint dengan menggunakan PCR, kelebihannya yaitu kemampuan
untuk membedakannya lebih akurat dan dapat digunakan untuk menganalisa
sampel yang tersedia dalam jumlah kecil maupun yang telah terdegradasi oleh
cahaya matahari. PCR mampu mengamplifikasi sejumlah daerah spesifik yang
terdapat pada DNA menggunakan primer oligonukleotida dan DNA polimerase yang
termostabil. Salah satu contoh DNA profilling menggunakan PCR adalah dengan
HLA-DQ alpha reverse dot blot strips. Pada teknik ini digunakan strips yang
mengandung titik (dot) dimana setiap dot mengandun DNA probe yang berbeda dari
DNA manusia (HLA). Probe DNA berupa dot pada strip nitroselulosa ditempeli
dengan enzim yang dapat merubah substrat yang tidak berwarna menjadi berwarna
ketika probe berikatan dengan DNA. Jika DNA hasil PCR berikatan dengan probe
yang komplemen pada strip, maka titik (dot) pada strip akan berwarna.
Analisa STR (Short Tandem Repeats)
STR merupakan polimorfisme DNA yang terjadi karena adanya 2 atau lebih
nukleotida yang berulang. Pola pengulangannya adalah terdiri dari 2-10 bp dan
terjadi pada daerah intron dari DNA. Dengan menganalisa loci dari STR dan
menghitung berapa banyak perulangan dari sekuens STR yang terjadi di setiap
locus, maka dapat terbaca profil genetik yang unik dari setiap individu. Analisa
dengan STR memerlukan teknik PCR dan elektroforesis gel agarosa. Dengan PCR
daerah polimorfik dari DNA diamplifikasi dan kemudian fragmen STR dipisahkan
dengan elektroforesis agarosa sehingga jumlah perulangan yang terjadi dapat
dihitung dengan membandingkan perbedaan ukuran dengan alelic ladder. Analisa
dengan STR ini tidak dapat dilakukan apabila 2 individu merupakan kembar
monozigot.
AmpFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism)
DNA profilling dengan menggunakan teknik AmpFLP memiliki beberapa
keunggulan, yaitu lebih cepat daripada analisa dengan RFLP dan biaya yang
dibutuhkan lebih murah. Teknik ini berdasarkan pada polimorfisme VNTR untuk
Analisa kromosom Y
DNA profilling dengan teknik analisa kromosom Y menggunakan primer
spesifik yang akan mengamplifikasi daerah polimorfisme pada kromosom Y (Y-STR).
Pada kasus pemerkosaan, teknik ini menghasilkan resolusi yang lebih baik karena
biasanya DNA sampel yang didapat dalam keadaan tercampur dengan DNA korban
(wanita). Kromosom Y diturunkan oleh ayah sehingga analisa kromosom Y juga
dapat digunakan untuk mengidentifikasi hubungan paternal seorang pria.
5.
Analisa DNA mitokondria.
DNA mitokondria terdapat dalam jumlah banyak dalam sel, tidak seperti DNA
kromosom yang hanya terdapat 1 atau 2 dalam setiap sel. Hal ini memungkinkan
apabila sampel yang ada telah rusak DNA kromosomnya, maka dengan DNA
mitokondriapun DNA profilling tetap dapat dibuat. Dalam pembuatan DNA profilling
dengan DNA mitokondria, bagian yang diamplifikasi adalah daerah HV1 dan HV2
dari DNA mitokondria dimana sekuens hasil amplifikasi yang didapat dapat
dibandingkan dengan pola band referensi. DNA mitokondria ini diturunkan oleh ibu.
6.
Analisa RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism)
RFLP adalah ukuran fragmen DNA yang diperoleh oleh pemotongan sequence
VNTRs sampai 30 urutan dengan enzim restriksi di situs spesifik. VNTRs bervariasi
antara spesies tanaman, seperti melakukan nomor dan lokasi antara enzim restriksi
dan situs pengenalan. Prinsip dasar dari analisa RFLP ini adalah enzim restriksi akan
memotong DNA pada sekuens yang spesifik dimana hasil pemotongan tersebut
kemudian dianalisa dengan elektoforesis gel agarosa. Sekuens RFLP ini berbeda
pada setiap individu sehingga enzim restriksi akan memotong pada daerah yang
berbeda untuk setiap individu. Ukuran fragmen yang dihasilkan bergantung pada
alel yang dimiliki individu tersebut dan panjang sekuens VNTR sehingga analisa
menggunakan RFLP ini dapat digunakan untuk analisa genetik. Pada sebuah gel
agarose, RFLPs dapat terlihat menggunakan radiolabel yang komplemen dengan
sequence DNA.
Permasalahan yang umum RFLP pada metode DNA fingerprinting adalah
sebagai berikut:
Proses yang melibatkan banyak uang dan tenaga kerja, banyak laboratorium
yang tidak mampu.
Teknik yang digunakan dalam analisa DNA fingerprinting adalah dengan
menggunakan teknik RFLP. Pembuatan DNA fingerprinting dengan taknik analisa
RFLP meliputi dua tahap, yaitu :
1.
Pemotongan DNA dengan enzim restriksi
Tabung eppendorf yang berisi larutan DNA ditambahkan buffer restriksi dan
BSA (Bovine Serum Albumin). Buffer restriksi (RE buffer) berfungsi untuk membuat
dan mempertahankan suasana pH, ionic strength, dan kation yang sesuai
(optimum) dengan kerja enzim restriksi sehingga enzim restriksi dapat bekerja
secara optimal. Sedangkan BSA berperan sebagai stabilisator bagi enzim restriksi
serta mencegah terjadinya adesi antara enzim dengan dinding tabung reaksi. BSA
tidak akan berpengaruh pada enzim yang tidak membutuhkan stabilisator.
2.
Pemisahan hasil pemotongan dengan elektroforesis gel agarosa.
Setelah DNA dipotong dengan enzim restriksi, DNA dianalisis dengan gel
elektroforesis. Gel elektroforesis merupakan salah satu metode yang digunakan
untuk pemisahan, pendeteksian dan pemurnian molekul-molekul Biologi, seperti
asam nukleat dan protein. Pemisahan dilakukan pada matriks yang berupa gel.
Sampel DNA yang terpotong akan bergerak dalam gel agarosa yang telah dialiri
Kerja dari enzim restriksi dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut :
Komposisi Buffer
Enzim restriksi yang berbeda membutuhkan ionic strength (konsentrsi garam)
dan kation yang berbeda pula. Beberapa enzim tidak dapat bekerja bila komposisi
buffernya tidak sesuai. Penggunaan buffer yang berbeda akan menyebabkan kerja
enzim dalam memotong menjadi tidak optimal.
Adanya DNA yang termetilasi
Sebagian besar enzim restriksi tidak dapat memotong DNA yang termetilasi
karena enzim tersebut tidak mampu mengenali sisi pemotongannya, hal ini
disebabkan oleh adanya modifikasi atau metilasi.
Suhu inkubasi
Suhu inkubasi suatu enzim bergantung pada asal enzim restriksi tersebut
diambil. Suhu inkubasi enzim restriksi umumnya adalah 37oC. Namun apabila enzim
restriksi tersebut diperoleh dari bakteri termofil, suhu inkubasinya adalah sekitar 50
65oC.
Dalam pemotongan DNA dengan enzim restriksi sering terjadi kesalahan positif
yang disebut star activity. Star activity adalah suatu kondisi dimana enzim restriksi
kehilangan spesifisitasnya dalam memotong suatu rantai DNA pada sekuens
tertentu dimana sekuens yang dipotong menjadi berbeda dengan sekuens
canonicalnya sehingga enzim akan memotong DNA pada tempat yang salah dan
abnormal. Adanya star activity ditunjukkan oleh adanya smear ataupun jumlah
band yang terlalu berlebih pada visualisasi hasil elektroforesis. Star activity ini
dapat disebabkan oleh berbagai faktor sebagai berikut:
Inkubasi yang terlalu lama
Bila inkubasinya terlalu lama, maka enzim akan memotong sisi lain selain sisi
spesifiknya, sehinga fragmen yang terbentuk menjadi kecil kecil. Sehingga ketika
divisualisasi menyebabkanband yang terlihat smear.
Konsentrasi enzim yang terlalu tinggi
Konsentrasi enzim yang terlalu tinggi akan menyebabkan enzim memotong
secara berlebihan sehingga fragmen yang terbentuk menjadi sangat kecil dan ketika
divisualisasi akan terlihat bertumpuk dan banyak.
Konsentrasi gliserol yang terlalu tinggi
Konsentrasi gliserol dalam buffer RE terlalu tinggi dapat menghambat kerja
enzim karena larutan menjadi sangat viscous sehingga enzim sulit untuk bekerja.
Kekuatan ionik (ionic strength) pada buffer reaksi
Kekuatan ionik dari buffer dapat berubah ketika diinkubasi. Hal ini disebabkan
oleh adanya sebagian dari air yang menguap sehingga kekuatan ionik dari buffer
menjadi turun.
v pH buffer reaksi yang suboptimal
v Penggantian Mg2+ dengan ion divalen lain seperti Mn2+ atau Co2+.
v Adanya pelarut organik seperti etanol, DMSO, dll yang dapat menghambat kerja dari
enzim. (Kresna,2009).
Isolasi DNA
Isolasi DNA merupakan tahap pertama dari berbagai teknologi analisis DNA
DNA dapat ditemukan baik pada kromosom inti maupun pada organel yaitu pada
mitokondria dan kloroplas. Untuk mengekstrak DNA diperlukan langkah-langkah
laboratorium untuk memecahkan dinding sel dan membran inti, dan dilanjutkan
dengan pemisahan DNA dari berbagai komponen sel yang lain. Pada saat
melakukannya harus dijaga agar DNA tidak rusak dan didapatkan DNA dalam
bentuk rantai yang panjang.
Proses pengeluaran DNA dari tempatnya berada (ekstraksi atau lisis)
biasanya dilakukan dengan homogenasi dan penambahan buffer ekstraksi atau
buffer lisis untuk mencegah DNA rusak. Untuk membantu terjadinya lisis biasanya
dilakukan inkubasi pada suhu sekitar 60 oC. Dalam proses ini biasa digunakan
senyawa senyawa phenol, chloroform dan isoamyl alcohol untuk memaksimalkan
proses lisis.
Proses selanjutnya adalah pemisahan DNA dari komponen sel yang lain atau
kontaminan yang tidak diinginkan. Pemisahan DNA dari komponen sel yang lain,
termasuk debris sel, dilakukan dengan sentrifugasi.
Kontaminan yang umum ditemukan adalah polisakarida yang dapat
mengganggu proses PCR dengan cara menghambat aktivitas Taq polymerase, atau
poliphenol yang dalam bentuk teroksidasi akan mengikat DNA secara kovalen.
Untuk menghindarkan hal ini jaringan yang digunakan dijaga tetap dingin sebelum
dan selama proses ekstraksi. Selain itu dilakukan penambahan antioksidan seperti
PVP.
Setelah dilakukan ekstraksi dilakukan presipitasi DNA dengan menggunakan
ethanol atau isopropanol. Selain DNA semua bahan yang lain kan larut dalam
ethanol dingin. Sehingga saat dilakukan sentrifugasi DNA akan mengendap dan
terpisah dari senyawa-senyawa/bahan lain.
Sebagai bahan untuk RFLP harus digunakan DNA yang bersih dari
kontaminan (mempunyai kemurnian tinggi) dan dengan berat molekul yang tinggi.
Selama proses ekstraksi DNA beberapa hal yang dapat terjadi adalah :
DNA patah-patah selama proses isolasi
DNA terdegradasi oleh enzim nuclease
Terjadi kontaminasi oleh polisakarida
Metabolit sekunder ikut terisolasi
b.
DNA hasil isolasi kemudian dipotong dengan enzim restriksi tertentu yang
dipilih dengan hati-hati. Setiap enzim restriksi pada kondisi yang sesuai akan
mengenali dan memotong DNA sehingga dihasilkan fragmen-fragmen DNA.
Fragmen-fragmen tersebut selanjutnya dielektroforesis pada gel agarosa. Karena
fragmen-fragmen tersebut tidak akan terlihat sebagai smear berkesinambungan bila
diwarnai dengan ethidium bromide, maka pewarnaan saja umumnya tidak dapat
mendeteksi adanya polimorfisme. Dengan demikian perlu dilakukan hibridisasi dan
visualisasi untuk mendeteksi fragmen tertentu. Hibridisasi dan visuali sasi
dilakukan dengan Southern blotting.
c.
Transfer DNA
Proses hibridisasi dan visualisasi diawali dengan transfer DNA dari gel
agarose ke nilon berpori atau membrane nitroselulosa. Transfer DNA disebut
Southern blotting, mengacu kepada nama penemu teknik tersebut yaitu E.M.
Southern (1975). Pada metode ini mula-mula gel didenaturasi dengan larutan dasar
dan diletakkan pada suatu nampan. Selanjutnya di atas gel hasil elektroforesis
diletakkan nilon berpori atau membrane nitroselulosa, kemudian di atasnya diberi
pemberat. Semua fragment hasil pemotongan dengan enzim restriksi yang pada
awalnya berada pada gel akan ditransfer secara kapiler ke membrane tersebut
dalam bentuk untai tunggal. Pola fragmen akan sama dengan yang berada pada
gel.
d.
gel, yang dapat diskor berdasarkan ada atau tidaknya pita tertentu atau sebagai
marker kodominan. Perbedaan antar genotip biasanya divisualisasikan sebagai pola
fragmen restriksi yang berbeda.
Pada diagram di atas, adanya mutasi menghasilkan sisi pengenalan enzim
restriksi yang baru pada lokasi pengenalan probe. Sebagi konsekuensinya probe
akan berhibridisai dengan kedua fragmen baru tersebut, sementara pada segmen B,
dimana tidak terjadi mutasi, hanya satu segmen yang terhibridisasi oleh probe.
Pada saat dilakukan elektroforesis, kedua segmen dari A akan bermigrasi lebih jauh
sepanjang gel dibandingkan dengan segmen B yang berukuran lebih besar
menghasilkan polimorfisme seperti terlihat pada inset disebelah kanan.
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN TEKNIK RFLP
RFLP merupakan metode yang mempunyai akurasi yang tinggi dan mudah
ditransfer antar laboratorium, bersifat kodominan sehingga dapat mendeteksi
adanya heterozigositas, tidak diperlukan informasi sekuen target, dan arena
berdasar pada homologi sekuen maka sering direkomendasikan untuk analisis
filogenetik antar spesies yang berkerabat. RFLP cocok untuk membuat peta linkage,
merupakan marker yang locus specific, dan mempunyai kemampuan memisahkan
yang tinggi baik pada tingkat populasi, spesies atau individual. RFLP merupakan
teknik yang sederhana, bila probe tersedia.
Kekurangan RFLP adalah dibutuhkan DNA dengan kemurnian tinggi dalam
jumlah banyak, tidak mungkin dilakukan outomatisasi, pada beberapa spesies
mempunyai level polimorfisme yang rendah, sedikit lokus yang terdeteksi,
memerlukan perpustakaan probe yang sesuai, membutuhkan waktu yang banyak,
membutuhkan biaya yang banyak (Fachtiyah,2006).
perubahan yang cukup revolusioner di berbagai bidang. Hasil aplikasi dari tehnik
PCR ini disebut dengan DNA fingerprint yang merupakan gambaran pola potongan
DNA dari setiap individu. Karena setiap individu mempunyai DNA fingerprint yang
berbeda maka dalam kasus forensik, informasi ini bisa digunakan sebagai bukti kuat
kejahatan di pengadilan (Putra, 2007).
DNA yang biasa digunakan dalam tes adalah DNA mitokondria dan DNA inti
sel. DNA yang paling akurat untuk tes adalah DNA inti sel karena inti sel tidak bisa
berubah sedangkan DNA dalam mitokondria dapat berubah karena berasal dari
garis keturunan ibu, yang dapat berubah seiring dengan perkawinan keturunannya.
Dalam kasus-kasus kriminal, penggunaan kedua tes DNA diatas, bergantung pada
barang bukti apa yang ditemukan di Tempat Kejadian Perkara (TKP). Seperti jika
ditemukan puntung rokok, maka yang diperiksa adalah DNA inti sel yang terdapat
dalam epitel bibir karena ketika rokok dihisap dalam mulut, epitel dalam bibir ada
yang tertinggal di puntung rokok. Epitel ini masih menggandung unsur DNA yang
dapat dilacak (Putra, 2007).
Untuk kasus pemerkosaan diperiksa spermanya tetapi yang lebih utama
adalah kepala spermatozoanya yang terdapat DNA inti sel didalamnya. Sedangkan
jika di TKP ditemukan satu helai rambut maka sampel ini dapat diperiksa asal ada
akarnya. Namun untuk DNA mitokondria tidak harus ada akar, cukup potongan
rambut karena diketahui bahwa pada ujung rambut terdapat DNA mitokondria
sedangkan akar rambut terdapat DNA inti sel. Bagian-bagian tubuh lainnya yang
dapat diperiksa selain epitel bibir, sperma dan rambut adalah darah, daging, tulang
dan kuku (Putra, 2007).
Sistematika analisis DNA fingerprint sama dengan metode analisis ilmiah
yang biasa dilakukan di laboratorium kimia. Sistematika ini dimulai dari proses
pengambilan sampel sampai ke analisis dengan PCR. Pada pengambilan sampel
dibutuhkan kehati-hatian dan kesterilan peralatan yang digunakan. Setelah didapat
sampel dari bagian tubuh tertentu, maka dilakukan isolasi untuk mendapatkan
sampel DNA. Bahan kimia yang digunakan untuk isolasi adalah Phenolchloroform
dan Chilex. Phenolchloroform biasa digunakan untuk isolasi darah yang berbentuk
cairan sedangkan Chilex digunakan untuk mengisolasi barang bukti berupa rambut.
Lama waktu proses tergantung dari kemudahan suatu sampel di isolasi, bisa saja
hanya beberapa hari atau bahkan bisa berbulan-bulan (Putra, 2007).
Tahapan selanjutnya adalah sampel DNA dimasukkan kedalam mesin PCR.
Langkah dasar penyusunan DNA fingerprint dengan PCR yaitu dengan amplifikasi
(pembesaran) sebuah set potongan DNA yang urutannya belum diketahui. Prosedur
ini dimulai dengan mencampur sebuah primer amplifikasi dengan sampel genomik
DNA. Satu nanogram DNA sudah cukup untuk membuat plate reaksi. Jumlah sebesar
itu dapat diperoleh dari isolasi satu tetes darah kering, dari sel-sel yang melekat
pada pangkal rambut atau dari sampel jaringan apa saja yang ditemukan di TKP.
Kemudian primer amplifikasi tersebut digunakan untuk penjiplakan pada sampel
DNA yang mempunyai urutan basa yang cocok. Hasil akhirnya berupa kopi urutan
DNA lengkap hasil amplifikasi dari DNA Sampel (Putra, 2007).
Selanjutnya kopi urutan DNA akan dikarakterisasi dengan elektroforesis untuk
melihat pola pitanya. Karena urutan DNA setiap orang berbeda maka jumlah dan
lokasi pita DNA (pola elektroforesis) setiap individu juga berbeda. Pola pita inilah
yang dimaksud DNA fingerprint. Adanya kesalahan bahwa kemiripan pola pita bisa
terjadi secara random (kebetulan) sangat kecil kemungkinannya, mungkin satu
diantara satu juta. Finishing dari metode ini adalah mencocokkan tipe-tipe DNA
fingerprint dengan pemilik sampel jaringan (tersangka pelaku kejahatan) (Putra,
2007).
10
11
baru
atau
12
13