PERIKANAN
DISUSUN OLEH KELOMPOK 25:
SRI CEMPAKA PRIMA
(145080600111046)
(145080601111002)
(145080601111008)
(145080601111013)
(145080601111016)
RIZKA AMALIA
(145080601111017)
ROBIAH FITRIANI
(145080601111023)
(145080601111024)
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PRAKTIKUM
KONSERVASI SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Koordinastor Asisten
Ahmad Didin.K
NIM.135080060111054
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan praktikum mata
kuliah Konservasi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan dengan sebaik-baiknya.
Laporan ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas praktikum yang
diberikan dalam mata kuliah Konservasi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Dalam penyusunannya penulis
menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang
membantu dan menyelesaikan laporan ini.
Dalam penulisan laporan praktikum ini, penulis merasa masih terdapat
kekurangan baik pada teknik penulisan maupun isi materi. Kritik dan saran dari
semua pihak sangat penulis harapkan demi menyempurnakan pembuatan laporan
ini. Akhir kata penulis berharap agar laporan praktikum ini dapat bermanfaat bagi
kita.
Kelompok 25
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN......................................................................................i
KATA PENGANTAR..............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
DAFTAR TABEL....................................................................................................v
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................vi
MATERI 1: SPESIES VULNURABLE....................................................................1
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1. 1 Latar Belakang..............................................................................................1
1.2 Maksud dan Tujuan........................................................................................2
1. 3 Waktu dan Tempat.........................................................................................2
BAB II METODOLOGI..........................................................................................3
2.1. Alat dan Bahan..............................................................................................3
2.2. Skema Kerja..................................................................................................4
2.2.1. Materi I (Spesies Vulnerable).................................................................4
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................................5
3.1Analisa Prosedur.............................................................................................5
3.1.1 Spesies Vulnurable...................................................................................5
3.2 Analisa Hasil..................................................................................................5
3.2.1 Spesies Vulnerable...................................................................................5
BAB IV PENUTUP...............................................................................................13
4.1 Kesimpulan...................................................................................................13
4.2 Saran.............................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................14
MATERI 2: Dampak Alat Tangkap Bagi Eosistem...............................................15
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................15
1.1 Latar Belakang.............................................................................................15
1.2 Maksud dan Tujuan......................................................................................16
1.3 Waku dan Tempat.........................................................................................16
BAB II METODOLOGI........................................................................................17
3
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Alat dan Bahan............................................................................................3
Tabel 2 Daftar Nama Spesies dan Atribut................................................................5
Tabel 3 SPESIES TERANCAM MENGALAMI KEPUNAHAN KARENA
ANCAMAN DARI PENANGKAPAN BERLEBIH...............................................7
Tabel 4 Alat dan Bahan..........................................................................................17
Tabel 5 Daftar Alat Tangkap..................................................................................20
Tabel 6. Form Alat Tangkap dan dampak..............................................................20
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar
1
2
3
4
5
6
Penyu Hijau........................................................................... 8
Pari Manta........................................................................... 10
Lumba-lumba......................................................................11
Trawl.................................................................................... 24
Pukat Pantai.........................................................................26
Dogol................................................................................... 27
samudera,
serta
hayati
dan
budaya, dan estetika perlu memperoleh perhatian serius agar strategi pengelolaan
keanekaragaman hayati
Hilangnya satu spesies dari muka bumi berarti berkurangnya kekayaan alam,
hilangnya potensi fungsi dari biota, sekaligus berdampak pada peningkatan atau
penurunan jumlah populasi spesies lain. Mengingat pentingnya organisme laut
dan ekosistemnya serta degradasi dari waktu ke waktu yang terus berlanjut, maka
upaya perlindungan (proteksi) seperti konservasi, preservasi dan penggunaan yang
berkelanjutan harus dilakukan dan berkesinambungan oleh bangsa kita. Kategori
status spesies menjadi alat penting dalam kebijakan dan perencanaan konservasi.
Kategori ini merupakan standar yang dapat digunakan untuk menentukan status
konservasi spesies berdasarkan resiko kepunahannya. Tujuan klasifikasi tidak
hanya untuk memperhatikan kebanyakan spesies yang membutuhkan konservasi,
tetapi juga memberikan indeks status degenarasi biodiversitas.
1.2 Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dari praktikum Konservasi Sumberdaya Perikanan dan
Kelautan materi 1 antara lain:
1. Mahasiswa mampu mengembangkan atribut atau factor penyebab spesies
terncam punah
2. Mahasiswa mampu menentukan urutan spesies secara sekuensial dari
ancaman (vurnerability) dari penangkapan berlebih.
1. 3 Waktu dan Tempat
Praktikum Konservasi Sumberdaya Perikanan dan Kelautan materi 1 dan 2
dilaksanakan pada Hari Sabtu, 19 November 2016 mulai pukul 07.00 sampai
pukul 10.00 WIB. Tempat pelaksanaan praktikum yaitu di Ruang D.3.5 Gedung D
FPIK Universitas Brawijaya.
BAB II METODOLOGI
2.1. Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan pada praktikum Konservasi
Sumberdaya Kelautan dan Perikanan materi 1 tentang spesies vulnerableyaitu,
sebagai berikut :
Tabel 1 Alat dan Bahan
No
1.
Gambar
Fungsi
Menampilkan
materi
saat praktikum
Source : Google
image(2016)
2.
Projector
Menampilkan
materi
saat praktikum
Laptop
Media
penyampaian
materi
Form atribut
Menganalisa
dan
menentukan
atribut
spesies
5.
Alat tulis
Beri nilai pada setiap atribut yang dapat memicu terjadinya kepunahan
pada kolom spesies
Beri nilai 1 untuk atribut yang dirasa mempengaruhi kepunahan
Beri nilai 0 untuk atribut yang dirasa kurang/tidak mempengaruhi
kepunahan
Ditotal secara vertikal dan horizontal pada form atribut
Dipilih dan ditentukan 3 spesies yang memiliki jumlah nilai atribut
paling tinggi
Hasil
Namaspesies
No.
Atribut
1.
Pari Manta
1.
Telur sedikit
2.
Lumba-lumba
2.
3.
Penyu hijau
3.
Reproduksi lama
4.
Kuda laut
4.
Penyebarannya terbatas
5.
Kerapu kertang
5.
Mudah ditangkap
6.
Ikan lemuru
6.
Prestai/gengsi/tradisi
7.
Ikan tuna
7.
8.
Lobster
8.
9.
Rajungan
9.
Pertumbuhannya lambat
10.
Kepiting
10.
Sulit dibudidayakan
serta
analisa
dilakukan
bersama
kelompok
masing-masing
dengan
Tabel 3 SPESIES TERANCAM MENGALAMI KEPUNAHAN KARENA ANCAMAN DARI PENANGKAPAN BERLEBIH
ATRIBUT /
SPESIES
Telur sedikit
Komersil dengan
harga mahal
Reproduksi lama
Penyebarannya
terbatas
Mudah ditangkap
Prestasi / gengsi /
tradisi
Memerlukan
habitat spesifik
Ditangkap di
semua ukuran
Pertumbuhannya
lambat
Sulit
Pari
Lumba-
Penyu
Kuda
Kerapu
Ikan
Ikan
Manta
1
lumba
1
Hijau
0
Laut
0
Kertang
1
Lemuru
0
Tuna
0
Lobster
Kepiting
Rajungan
TOTAL
10
1
1
1
0
1
1
1
1
0
0
7
dibudidayakan
TOTAL
8
7
9
3
7
6
6
4
4
3
57/57
Berdasarkan hasil tabel analisis atribut yang telah ditentukan, setiap spesies akan terpengaruh oleh poin poin atribut yang telah
diketahui. Setelah berdiskusi dan menganalisa setiap spesies serta kaitannya dengan atribut yang ada, diketahui terdapat 3 spesies terbesar yang
memungkinkan menjadi spesies yang tergolong Vulnurable atau terancam punah dan habis. Melalui jumlah point setiap spesies pada atribut
atribut yang ada, akan diketahui tingkatan kerawanan suatu spesies akan punah sehingga perlu adanya usaha maanjemen konservasi di suatu
7
habitat laut. hasil 3 spesies vulnerable terbesar dari kelompok 25, yaitu Penyu Hijau dengan skor 9, Pari Manta dengan skor 8, dan Lumba-lumba
dengan skor 7. Berikut penjelasan spesies vulnarable berdasarkan poin-poin tertinggi hingga ke rendah:
1. Penyu Hijau
Ancaman alami berupa abrasi pantai, vegetasi pantai penghalang, dan predator alami seperti biawak, sedangkan ancaman dari manusia meliputi
pencurian, illegal fishing, jual beli telur dan sisik penyu, pemboman, potassium, pencemaran habitat, dan kehilangan area peneluran (Spotila,
2004; Lam, 2006 dalam Wicaksono dkk 2013). Di Indonesia, perburuan penyu hijau terjadi karena nilai ekonomis yang tinggi. Konsumsi telur
dan daging semakin meningkat. Hasil kerajinan karapas yang indah dan mahal harganya banyak dijajakan di lokasilokasi wisata seperti di
kepulauan Bali dan tempat wisata lainnya di Indonesia (Priyono, 1989 dalam Wicaksono dkk, 2013). Penyu hijau (Chelonia mydas) termasuk
spesies long-lived organisme yang dapat hidup dengan umur panjang namun memiliki masa reproduksi lambat sehingga laju generasinya tidak
sebanding dengan ancaman kepunahan (Mangunjaya, 2008 dalam Wicaksono dkk, 2013).
Penyu hijau merupakan salah satu jenis penyu yang sangat mudah ditemukan, terutama di Indonesia. Hal ini menyebabkan pemburuan
dari telur dan penyu itu sendiri sangat marak terjadi, sehingga populasi penyu hijau semakin menurun. Saat ini keberadaan penyu hijau berada
dalam kondisi kritis dan terancam punah. Padahal penyu hijau mampu hidup dalam usia yang cukup panjang, tetapi reproduksinya cenderung
lambat, jadi laju regenerasinya tidak sebanding dengan ancaman kepunahannya. Faktor ancaman bagi penyu hijau yaitu ancaman alami dan
ancaman manusia. Faktor alami terancam nya populasi penyu hijau ialah badai yang memnyebabkan hilangnya tempat bertelur, abrasi pantai,
dan predator. Sedangkan faktor dari manusia ialah pemburuan gelap, nilai ekonomis yang tinggi yang menyebabkan bagian-bagia penyu hijau
diperjualbelikan, illegal fishing, dan pengeboman. Selain itu, pencurian telur penyu juga marak terjadi, padahal, penyu hijau memiliki
kemampuan untuk menghasilkan telur dalam jumlah yang banyak.
2. Pari Manta
Secara ekonomis, pari manta adalah salah satu obyek perikanan dan pari wisata, namun dalam beberapa dekade terakhir, jumlahnya
menurun drastis karena tangkapan berlebih dan termasuk hewan yang dilindungi . Pemanfaatan ekonomis yang ramah lingkungan dan
berkelanjutan adalah pariwisata bahari seperti diving dan snorklingntuk melihat pari manta. Kegiatan ini jauh lebih bernilai ekonomis daripada
menangkap pari manta untuk perikanan (Clark dan Anderson 2010).
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terletak di wilayah beriklim tropis dan memiliki keanekaragaman hayati laut
yang sangat tinggi. Salah satu diantaranya adalah kelompok pari dari Famili Mobulidae. Mobulidae terdiri dari dua genus yaitu Mobula dan
Manta . Manta terdiri dari dua spesies yaitu Manta alfredi dan Manta birostris . Wilayah yang diketahui menjadi habitat pari manta di Indonesia
salah satunya adalah perairan Taman Nasional Komodo, Provinsi Nusa Tenggara Timur . Pari manta memiliki berbagai macam manfaat, secara
ekologis, budaya dan ekonomis. Secara ekologis, pari manta berperan sebagai filte-feeder, serta sebagai indikator kesehatan lingkungan (Manta
Trust 2013).
Manta berasal dari bahasa Spanyol yang berarti selimut disebabkan hewan ini berbentuk sangat lebar, sedangkan pari merupakan
anggota dari kelas Chondrichthyes (ikan bertulang rawan), pada kelas ini terdapat dua sub-kelas, Elasmobranchii yaitu hiu dan pari, dan
Holocephali atau chimera (hiu hantu).
Pari manta hanya memiliki warna hitam dan putih, namun memiliki corak yang unik, di sisi ventral
(perut) , tiap individu memiliki yang berbeda, sehingga corak ini dapat berfungsi layaknya sidik jari pada manusia, dan dapat membantu dalam
penghitungan populasi pari manta dengan metode photo tagging
3. Lumba-Lumba
11
Gambar 3 Lumba-lumba
Pesut atau lumba-lumba (Orcaella brevirostris) adalah spesies mamalia air (bernafas dengan paru-paru dan menyusui anaknya) yang
menghuni wilayah perairan tropis dan sub-tropis di Asia Selatan dan Asia Tenggara, seperti India, Indocina, Filipina, hingga bagian utara
Australia., Ada dua species lumba-lumba --atau yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai Irrawaddy dolphin di dunia yaitu Orcaella
brevirostris dan Orcaella heinsohni (Snubfin dolphin) Untuk perairan- perairan di Indonesia umumnya dihuni oleh Populasi Orcaella
brevirostris Diperkirakan populasi tertinggi lumba-lumba terdapat di perairan hutan bakau Sunderbarn, Bangladesh dan India dengan populasi
sekitar 6000 ekor. Adapun populasi lainnya terdapat di Sungai Mekong Kambodia yaitu sekitar +/- 70 ekor, kemudian di Sungai Ayeyawardi di
Myanmar dan Sungai Mahakam Kalimantan Timur. Ketiga lokasi ini dikategorikan memiliki populasi paling kritis (Critically Endangered)
sedangkan pada lainnya dikategorikan sebagai rentan (Vulnerable) Di perairan Pulau Kalimantan, spesies ini dapat ditemukan di perairan air
tawar (sungai Mahakam), muara, hingga pesisir pantai di Sabah, Sarawak, Kalimantan Timur, dan sejak 2011 ditemukan di perairan Kalimantan
Barat. Pada tahun 2000, pesut diklasifikasikan ke dalam Daftar Merah IUCN, sebagai salah satu spesies yang sangat terancam punah. Spesies ini
juga dilindungi oleh perundang-undangan di Indonesia. Belum ada referensi yang jelas mengenai jumlah populasi pesut di Indonesia. Menurut
Danielle Kreb, dari organisasi RASI jumlah spesies ini di Sungai Mahakam Kalimantan Timur yaitu sekitar 50-70 ekor dan dikategorikan
sebagai species yang sangat kritis (Critically Endangered).Hasil kajian terbaru yang dilakukan oleh WWF-Indonesia menemukan bahwa pesut
juga dijumpai di sistem perairan kawasan bakau dan nipah Batu Ampar, selat-selat sempit, dan sepanjang dekat pantai Pulau Padang Tikar.
Habitat tersebut berada di Kabupaten Kubu Raya dan Kayong Utara, Kalimantan Barat. Pesut jarang mengalami konflik dengan para nelayan
yang tinggal dan mencari nafkah di area habitat mereka. Akan tetapi, perusakan habitat seperti pembangunan bendungan (di Sungai Mekong,
Cambodia dan Ayeyarwadi, Myanmar river), pertambangan, perusakan hutan untuk pendirian industri kayu arang dan bahan baku pulp oleh
perusahaan komersial beserta aktivitas lalu lintas yang tinggi di perairan tersebut diduga merupakan ancaman utama menurunnya populasi pesut
di habitat alam. Selain itu, di beberapa negara Asia, pesut sengaja ditangkap dan dilatih untuk melakukan pertunjukkan di akuarium publik.
Penampilan kharismatik dan tingkah laku yang unik membuat spesies ini sangat popular untuk pertunjukkan dolphinariums. Tingginya motivasi
12
komersial untuk menggunakan pesut di akuarium publik dikarenakan spesies ini dapat hidup di kolam air tawar, sehingga para pengusaha bisnis
ini dapat menghindari tingginya biaya perawatan sistem akuarium laut (WWF,2016).
Perairan Indonesia dihuni oleh 31 jenis Cetacea (whale, porpoise, dolphin) dua belas diantaranya binatang paus dan sisanya pesut serta
lumba-lumba. Perairan timur Indonesia, khususnya di beberapa terusan dalam antarpulau, diduga berfungsi sebagai pintu masuk jalur migrasi
mamalia laut (cetacean),seperti paus, lumba-lumba dan ikan duyung. Dewasa ini perhatian masyarakat dunia sebagian besar tertuju pada
penyebaran, pola migrasi, dan kelestarian mamalia lautpada umumnya, dan cetacean pada khususnya. Hal ini disebabkan oleh makin
menurunnya populasi mamalia laut tersebut yang diakibatkan oleh pengaruh aktivitas manusia, seperti adanya pencemaran dan perusakan
lingkungan, sehingga menyebabkan cetacean menjadi hewan yang harus dilindungi keberadaannya. Ancaman global terhadap populasi Cetacean
adalah penangkapan oleh nelayan, yang dapat menimbulkan tingkat kematian yang tinggi di dunia ini, selain itu ancaman lain berupa terdampar,
perburuan, dan rusaknya habitat laut mereka. Spesies-spesies mamalia laut juga terancam punah akibat terjerat jarring nelayan, atau tertabrak
baling-baling kapal.Beberapa jenis lumba-lumba menyusut populasinya karena ditangkap untuk dipertontonkan di aquarium-aquarium besar
dunia.Penyebab kematian lain, menurut para ahli, adalah penangkapan ikan besar-besaran yang menyebabkan mamalia laut tersebut kehilangan
sumber pangan. Polusi antropogenik (PCBs dan DDT) dan sonar militer juga menjadi ancaman bagi mamalia laut. Namun, dampak yang paling
besar menimbulkan amblasnya habitat mamalia laut di Laut Sawu adalah limbah plastic yang terbawa ke laut, penyebaran jarring raksasa untuk
menangkap mamalia laut, limbah industri yang ada di wilayah pesisir serta pengeboran minyak lepas pantai seperti yang terjadi di Laut Timor
saat ini. Hal ini sangat berbahaya, karena mamalia laut sangat rentan terhadap limbah industri dan desingan mesin. Selain itu Laut Sawu juga
merupakan jalur utama pelayaran International antara berbagai Negara dari sebelah barat dan selatan samudra India ke Asia, termasuk kapal
tanker minyak dan gas dan pengangkut besar. Sejauh ini diketahui bahwa jalur kapal ini saling tumpang tindih dengan jalur migrasi yang utama
bagi cetacean besar di Peraitan Indonesia. (Salim, 2011).
13
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Langkah yang dilakukan ketika melakukan praktikum konservasi pada materi yang pertama, yang kita siapkan adalah form tabel yang dimana
form tabel tersebut berisikan atribut. Langkah yang kita lakukan adalah dengan member nilai 1 (satu) untuk atribut yang dirasa mempengaruhi
kepunahan. Pemberian nilai 0 (nol) untuk atribut yang dirasa kurang/tidak mempengaruhi kepunahan. Seletah mengisi seluruh form kita total
seluruhnya dan akan diperoleh jumlah spesies yang memiliki atribut terbanyak dan juga jenis atribut mana yang paling dominan. Atribut adalah
segala bentuk factor dan segala aspek yang mempengaruhi proses serta keberlangsungan konservasi suatu spesies.
Terdapat 3 spesies terbesar yang memungkinkan menjadi spesies yang tergolong Vulnurable atau terancam punah dan habis. Melalui jumlah
point setiap spesies pada atribut atribut yang ada, akan diketahui tingkatan kerawanan suatu spesies akan punah sehingga perlu adanya usaha
maanjemen konservasi di suatu habitat laut. hasil 3 spesies vulnerable terbesar dari kelompok 25, yaitu Penyu Hijau dengan skor 9, Pari Manta
dengan skor 8, dan Lumba-lumba dengan skor 7
14
4.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan yang didapat bahwa dominasi spesies yang sangat perlu dikonservasikan rata-rata identik dengan atribut mudah
ditangkap, harga mahal. Jadi, untuk menangani hal tersebut perlu dilakukan penyuluhan secara langsung ke masyarakat tentang peraturan dalam
menangkap ikan serta melakukan kegiatan konservasi dan zona MPA untuk spesies yang dapat dibudidayakan sehingga dapat mengatasi
keutuhan spesies di masa yang akan datang. Saran untuk Praktikum Konservasi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan yaitu saat menerangkan
jenis alat tangkap diharapkan lebih spesifik lagi dan untuk acuan konservasi dalam hal spesies yang rawan atau hampir punah sebaiknya
mengacu pada sumber yang jelas. Bukan secara subjektif saja melainkan objektif.
DAFTAR PUSTAKA
Clark, T.B. 2010. Abundance, home range, and movement patterns of
University
of Hawaii, Manoa. 149 hlm.
IUCN, 2016. Species Status in Red List. Diakses dalam
manta rays
Karnan. 2008. Penyu Hijau: Status dan Konservasinya. Program Studi Pendidikan Biologi, PMIPA FKIP Universitas Mataram. Vol. III No. 1,
Maret 2008 : 39 46
Karwur, Denny B.A. 2016. Kebijakan Konservasi Perairan dalam Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan Pulau Pulau Kecil Terluar. Artikel
Manta Trust. 2013. About mantas-Feeding frenzy. mantatrust.org. diakses 12 maret 2013.
Salim, Dafiuddin. 2011. Konservasi Mamalia Laut (Cetacea) Di Perairan Laut SawuNusa Tenggara Timur. Institut Pertanian Bogor.Jurnal
Kelautan, Volume 4, No.1 April 2011 Issn : 1907-9931
15
Wicaksono, Mukti Ageng., Dewi Elfidasari., Ahmad Kurniawan. 2013. Aktivitas Pelestarian Penyu Hijau (Chelonia Mydas) Di Taman Pesisir
Pantai Penyu Pangumbahan Sukabumi Jawa Barat. Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Al Azhar
Indonesia. Volume 4, Tahun 2013, B.116-B.123
WWF. 2016. www.wwf.or.id diakses pada tanggal 21 november 2016 pukul 06.44 WIB
16
Dalam kegiatan panangkapan yang dilakukan nelayan untuk menangkap sebanyak-banyaknya ikan-ikan karang yang banyak digolongkan
kedalam kegiatan illegal fishing karena kegiatan penangkapan yang dilakukan semata-mata memberikan keuntungan hanya untuk nelayan
tersebut dampak berdampak kerusakan untuk ekosistem karang. Berbagai kegiatan manusia yang berakibat pada kerusakan ekosistem terumbu
karang, baik langsung maupun tidak langsung yaitu : Penambangan atau pengambilan karang, penangkapan ikan dengan penggunaan (bahan
peledak, racun, bubu, jaring, pancing, dan eksploitasi berlebihan),
17
BAB II METODOLOGI
2.1 Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan pada praktikum Konservasi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan materi 1 tentang alat tangkap
dan dampaknya bagi ekosistem laut, sebagai berikut :
Tabel 4 Alat dan Bahan
No
1.
Gambar
Fungsi
Menampilkan
materi
saat praktikum
(2016)
2.
Projector
Menampilkan
materi
saat praktikum
Laptop
Media
penyampaian
materi
Form prakiraan
Menganalisa
dan
dampak
menentukan
alat
tangkap
Source : Buku panduan
KSDKP
berpengaruh
yang
terhadap
ekosistem
19
5.
Ruang Kelas
20
Hasil
Alat Tangkap
Bubu dan perangkap
Rawai dasar
Gillnet dasar
Pukat pantai / tarik (seine
5
6
7
8
9
10
net)
Bom dan komp. sianida
Pancing (hook and line)
Pukat hela (trawls)
Dogol
Rawai permukaan
Pukat Cincin
Berikut adalah form alat tangkap dan dampaknya bagi ekosistem laut:
22
Alat
o.
Tangkap
karang
dasar
terumbu karang
Kerusakan kolateral
By-catch / hasil samping
Rakitan spesies
Alat non-selektif
Prakiraan DA alat terhadap
dasar
terumbu karang
Kerusakan kolateral
By-catch / hasil samping
Rakitan spesies
Alat non-selektif
Prakiraan DA alat terhadap
Pukat
terumbu karang
Kerusakan kolateral
By-catch / hasil samping
Gillnet
act
Rati
ng
Besaran dampak
23
Sco
Sever
Irreversi
pe
1
1
1
1
ity
1
1
1
1
bility
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
4
1
4
1
4
1
4
1
Rakitan spesies
Alat non-selektif
pantai /
tarik
Bom
(seinedan
terumbu karang
komp.
sianida
Pancing
(hook
and line)
Pukat
hela
(trawls)
2
3
Dogol
Kerusakan kolateral
By-catch / hasil samping
Rakitan spesies
Alat non-selektif
Prakiraan DA alat terhadap
2
3
1
4
1,67
3,33
3,33
3
3
2
3
3
3
2
4
4
3
2
4
3,3
3
2
3,6
2,97
terumbu karang
Kerusakan kolateral
By-catch / hasil samping
Rakitan spesies
Alat non-selektif
Prakiraan DA alat terhadap
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
terumbu karang
Kerusakan kolateral
By-catch / hasil samping
Rakitan spesies
Alat non-selektif
Prakiraan DA alat terhadap
4
3
4
4
4
3
3
4
3
2
3
3
3,67
2,67
3,3
3,67
terumbu karang
Kerusakan kolateral
By-catch / hasil samping
Rakitan spesies
Alat non-selektif
Prakiraan DA alat terhadap
4
4
1
4
terumbu karang
24
3,35
4
4
1
4
4
4
1
4
4
4
1
4
3,25
Rawai
permuka
an
10 Pukat
cincin
Kerusakan kolateral
By-catch / hasil samping
Rakitan spesies
Alat non-selektif
Prakiraan DA alat terhadap
terumbu karang
Kerusakan kolateral
By-catch / hasil samping
Rakitan spesies
Alat non-selektif
Prakiraan DA alat terhadap
1
3
2
2
1
1
2
2
1
2
2
2
1
2
2
2
1,75
2
4
1
2
3
4
1
2
1
4
1
2
2
4
1
2
2,25
terumbu karang
Dalam praktikum Konservasi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan,kita mengetahui bahwa alat tangkap merupakan salah satu sarana
pokok dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan secara optimal dan berkelanjutan. Dalam penggunaannya alat tangkap
memiliki dampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap ekosistem perairan. Indikator mekanisme kerusakan alat yaitu kerusakan
kolateral, by catch/ hasilsamping, rakitan spesies dan alat non selektif. Sedangkan, besaraan dari dampak penggunaan alat tangkap yaitu scope,
severity dan irreversibility. Kategori dari prakiraan Dampak Akumulasi (DA) pada suatu alat tangkap terhadap terumbu karang yaitu :
1.
2.
3.
4.
yaitu: Pukat Hela (Trawl) dengan nilai DA=3,35 yang termasuk kedalam kategori sangat tinggi, Pukat Pantai dengan nilai DA=3,3 yang
termasuk kedalam kategori sangat tinggi, dan Dogol dengan nilai DA=3,25 yang termasuk kedalam kategori tinggi. Berikut adalah penjelasan 3
alat tangkap dengan nilai DA tertinggi berdasarkan hasil diskusi kelompok 25:
25
Gambar 4 Trawl
Trawl adalahat tangkap yang berbentuk jaring besar dan terdapat roda di bawahnya. Pengoperasiannya dapat mengeruk dasar perairan
dalam dan pesisir tanpa terkecuali terumbu karang dan merusak lokasi pemijahan biota laut. Hasil tangkapan trawl tidak selektif dengan
komposisi hasil tangkapan yang menangkap semua ukuran ikan, udang, kepiting, serta biota lainnya. Biota-biota yang belum matang gonad dan
memijah yang ikut tertangkap tidak dapat berkembang biak menghasilkan individu baru. Kondisi ini menyebabkan deplesi stok atau
pengurangan stok sumber daya ikan, hasil tangkapan akan semakin berkuran (WWF, 2016).
Alat penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Saine Nets) merupakan alat tangkap ikan yang tidak selektif serta tidak
dibenarkan beroperasi di seluruh Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPPNRI) berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan RI Nomor. 02 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Saine Nets) di
WPPNRI. Pukat Hela merupakan kelompok alat penangkapan ikan terbuat dari jaring berkantong yang dilengkapi dengan atau tanpa alat
pembuka mulut jaring dan pengoperasiannya dengan cara dihela di sisi atau di belakang kapal yang sedang melaju (SNI 7277.5:2008). Alat
pembuka mulut jaring dapat terbuat dari bahan besi, kayu atau lainnya. Pengoperasian alat penangkapan ikan pukat hela (trawls)
dilakukan dengan cara menghela pukat di sisi atau di belakang kapal yang sedang melaju. Pengoperasiannya dilakukan pada kolom maupun
dasar perairan, umumnya untuk menangkap ikan pelagis maupun ikan demersal termasuk udang dan crustacea lainnya tergantung jenis pukat
26
hela yang digunakan. Pukat hela dasar dioperasikan di dasar perairan, umumnya untuk menangkap ikan demersal, udang dan crustacea lainnya.
Pukat hela pertengahandioperasikan di kolom perairan, umumnya menangkap ikan pelagis (Sembiring, 2015).
Trawl atau pukat hela merupakan alat tangkap non-selektif yang sudah dilarang oleh pemerintah. Bentuk trawl yang besar dan memiliki
besi dibagian bawahnya dan cara pengoperasiannya adalah di dasar laut. Bagian besi di bawahnya akan menyapu habis apa yang di lewati di
dasar laut. Penggunaan trawl sangatlah berbahaya bagi organisme laut. Seperti, terumbu karang, ikan-ikan non target dan organisme lainnya.
2. Pukat Pantai
dengan tali ris atas dan tali ris bawah serta dilengkapi dengan pelampung (float) dan pemberat (sinker). Pukat pantai adalah semua pukat kantong
yang dalam cara operasi penangkapannya dilakukan dengan menarik pukat kantong ini ke pinggir pantai. Biasanya penarikan ini dilakukan oleh
beberapa orang pada masing-masing sayapnya, tetapi dapat pula dilakukan oleh seorang saja apabila ukuran alat ini kecil. Pengetahuan tentang
alat tangkap, khususnya dari segi desain dan konstruksi sangat penting dalam pengembangan dan usaha perikanan, karena salah satu faktor yang
mempengaruhi usaha penangkapan ikan adalah konstruksi alat penangkapan ikan yang cocok didukung oleh keterampilan orang-orang yang
menggunakan alat tangkap tersebut serta bahan yang digunakan ( Najamuddin et all.,2012).
Namun semua jenis cantrang dilarang menurut PERMEN-KP No. 2 tahun 2015 sebagaimana tercakup dalam Pasal 4 dijelaskan jenis alat
tangkapnya yang dilarang adalah: (1) Alat penangkapan ikan pukat tarik (seine nets) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri dari: (a). pukat
tarik pantai (beach seines); dan (b). pukat tarik berkapal (boat or vessel seines). (2) Pukat tarik berkapal (boat or vessel seines) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri dari: dogol (danish seines); scottish seines; pair seines; payang;. cantrang; lampara dasar. Dengan
demikian cantrang yang digunakan oleh nelayan desa Palang untuk menangkap ikan tergolong alat yang dilarang menurut peraturan tersebut.
Implikasi atau dampak penerapan peraturan tersebut tidak hanya berdampak di sektor ekonomi namun juga metimbulkan dampak sosial yang
luas sebagaimana telah diuraikan dalam analisis dampak penerapan PERMEN-KP No. 2 Tahun 2015 tersebut di atas. Pelarangan cantrang
berimplikasi terhadap perekonomian nelayan Palang yaitu: pengangguran, kesejahteraan nelayan menurun, penghasilan nelayan menurun dan
produktifitas tangkapan ikan menurun (Mugiyat, 2015).
Pukat pantai (beach seine) adalah jenis alat tangkap yang tergolong kedalam jenis alat tangkap pukat tepi. Pukat pantai adalah alat
tangkap yang bentuknya seperti payang. Pukat pantai juga sering disebut dengan krakat. untuk menangkap ikan, baik pelagis maupun ikan
demersal yang berada di tepi pantai. Biasa juga disebut pukat tepi. Pukat pantai termasuk dalam klasifikasi pukat kantong berdasarkan kontruksi,
cara pengoprasian dan jenis sasaran tangkapnya
28
3. Dogol
Gambar 6 Dogol
Alat penangkap udang di Indonesia cukup beragam, mulai dari yang tradisional hingga yang modern, diantaranya garuk udang, trammel
net, dogol, jaring klitik, trawl atau pukat harimau yang kini di Indonesia disebut sebagai pukat udang. Dari sekian jenis alat penangkap udang,
yang paling efektif digunakan hingga saat ini adalah trawl. Sejak tahun 1969, trawl telah banyak digunakan untuk menangkap udang di
Indonesia secara komersial. Usaha penangkap udang menggunakan trawl di Indonesia telah berkembang pesat sejak tahun 1970-an. Hal ini
menimbulkan dampak yang negatif bagi dunia perikanan Indonesia, diantaranya terjadi benturan-benturan dengan nelayan tradisional yang tidak
mampu memiliki trawl. Dengan dihapuskannya pengoperasian pukat harimau (otter trawl) di seluruh Perairan Indonesia melalui Keppres No. 39
Th. 1980, beberapa alat tangkap udang konvesional dicoba untuk dikembangkan. Beberapa alat tangkap udang konvensional tersebut antara
lain : Jaring Kantong (Trammel Net), Jaring Klitik (Monofilament Gill Net), Jaring Arad, Garuk dan Jaring Dogol (Bogi Budi et all.,2013).
Dogol merupakan alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan dimersal. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode deskriptif yang bersifat studi kasus, studi ini untuk menganalisis tingkat kelayakan usaha dan pendapatan nelayan dogol. Dogol
merupakan alat tangkap yang dominan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Ujung Batu jumlah 15 dengan trip One Day Fishing. Hal ini
membuktikan tidak ada perubahan jumlah yang terjadi pada alat tangkap tersebut. Alat tangkap dogol dengan trip yang hanya sehari/one day
fishing membutuhkan modal yang nilainya cukup besar dan pendapatan yang diperoleh belum pasti jumlahnya besar, sehingga perlu
menganalisa dari tingkat pendapatan yang di peroleh hingga usahanya. Dogol merupakan alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan
29
demersal yang dilengkapi dua tali penarik yang cukup panjang yang dikaitkan pada ujung sayap jaring. Bagian utama dari alat tangkap ini terdiri
dari kantong, badan, sayap atau kaki, mulut jaring, tali penarik (warp), pelampung dam pemberat (Melina Antika et all.,2014).
Dogol merupakan alat tangkap yang menyerupai trawl sehingga disebut juga sebagai jaring trawl semu. Dogol merupakan alat tangkap
yang digunakan untuk menangkap ikan demersal. Dogol memiliki konstruksi utama berupa sayap, badan, dan kantong dengan masing-masing
bagian memiliki ukuran yang berbeda. Badan jaring merupakan bagian terbesar berada diantara sayap dan kantong.
30
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Terdapat 10 jenis alat tangkap dengan berbagai variasi dan juga terdapat mekanisme kerusakan, seperti kerusakan kolateral, hasil samping/bycatch, rakitan spesies, dan alat non selektif. Selain itu juga terdapat beberapa besaran dampak yang di dalamnya meliputi scope, severity, dan
irreversibelity
Berdasarkan hasil perhitungan dampak kumulatif, 3 alat tangkap yang menimbulkan dampak kerusakan tertinggi menurut kelompok 25, yaitu:
Pukat Hela (Trawl)dengan nilai DA=3,35 yang termasuk kedalam kategori sangat tinggi, Pukat Pantai dengan nilai DA=3,3 yang termasuk
kedalam kategori sangat tinggi, dan Dogol dengan nilai DA=3,25 yang termasuk kedalam kategori tinggi.
31
4.2 Saran
Dalam menjaga agar tidak terjadinya overfishing yang dikarenakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dan dapat membahayakan
banyak organisme baik itu biota laut maupun manusia sendiri maka dibutuhkannya aturan yang dapat memperjelas larangan tersebut, serta
pengontrolan dan pengawasan alat tangkap yag digunakan oleh para nelayan agar tidak hanya menjadi peraturan laluh yang tanpa terlaksana.
Agar tidak terjadi habisnya populasi ikan di laut. Juga perlu diadakannya hukuman bagi para nelayan yang melanggar aturan yang ada. Saran
untuk Praktikum Konservasi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan yaitu saat menerangkan jenis alat tangkap diharapkan lebih spesifik lagi dan
untuk acuan konservasi dalam hal spesies yang rawan atau hampir punah sebaiknya mengacu pada sumber yang jelas. Bukan secara subjektif
saja melainkan objektif.
DAFTAR PUSTAKA
A. Haruddin, Edi Purwanto,MTh, Sri Budiastuti, M.Si. 2011. Dampak Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang Terhadap Hasil Penangkapan
Ikan Oleh Nelayan Secara Tradisional Di Pulau Siompu Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi Tenggara. Jurnal EKOSAINS | Vol. III |
No. 3 | November 2011
32
Antika Melinda. Abdul Kohar. Herry Boesono. 2014. ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL USAHA PERIKANAN TANGKAP DOGOL DI
PANGKALAN PENDARATAN IKAN (PPI) UJUNG BATU JEPARA. Journal of Fisheries Resources Utilization Management and
Technology. Volume 3, Nomor 3, Tahun 2014, Hlm 200-207
Budi Jayanto, Bogi. Azis Nur Bambang. Herry Boesono. 2013. ANALISIS PRODUKSI DAN KERAGAAN USAHA GARUK UDANG DI
PERAIRAN KOTA SEMARANG.Jurnal Saintek Perikanan Vol. 8, No. 2, 2013 : 57-65
KKP, 2016. Perizinan Alat Tangkap. Diakses dalam http://www.perizinan.kkp.go.id/ pada 22 November 2016 pukul 17.09 WIB
Mugiyati.2015.PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR 2 TAHUN 2015 PERSPEKTIF HUKUM EKONOMI
ISLAM.AL-DAULAH: JURNAL HUKUM DAN PERUNDANGAN ISLAM VOLUME 6, NOMOR 1, APRIL 2016; ISSN 2089-0109.
Najamuddin. Yahya. 2012. RANCANGBANGUN PUKAT PANTAI DI PERAIRAN BAROMBONG KOTA MAKASSAR. Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin
Sembiring.2015.http://pusluh.kkp.go.id/arsip/c/2184/?category_id=1. Diakses pada 22 November pukul 10.00 WIB
WWF. 2016. http://www.wwf.or.id/?38542/Trawl-dan-Cantrang-Keuntungan-yang-Buntung. Diakses pada 22 November pukul 10.00 WIB
33
14