disusun oleh:
Restu Annisa R (10612077)
Khanita Aulya (10613002)
Maulana Ahsan Busyairi (10613003)
Ahmad Ardiansyah (10613007)
Sherly Arista Pratiwi (10613028)
Cynthia Agustene I (10613035)
Andini Nurfatimah K (10613048)
Yukiko Prameswari H (10613064)
Kelompok 1
Asisten:
Satya Reza Faturakhmat (10610033)
1
DAFTAR ISI
BAB I ................................................................................................................................ 4
PENDAHULUAN ................................................................................................................ 4
1.1 Latar Belakang .................................................................................................................. 4
1.2 Tujuan .............................................................................................................................. 5
BAB II ............................................................................................................................... 6
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................................... 6
2.1 Karakteristik ekosistem Taman Nasional Baluran ................................................................ 6
2.2 Biota Khas Taman Nasional Baluran ................................................................................... 8
2.3 Pengelolaan Kawasan Konservasi dan Isu Konservasi ........................................................ 10
BAB IV ............................................................................................................................ 25
HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................................................. 25
4.1 Analisis Vegetasi di Savana Terbuka dan Savana Terinvasi Acacia nilotica .......................... 25
4.2 Analisis Mikroklimat & Edafik di Savana Terbuka dan Savana Terinvasi Acacia nilotica . Error!
Bookmark not defined.
4.3 Analisis Vegetasi di Mangrove .......................................................................................... 40
4.4 Analisis Mikroklimat & Edafik di Mangrove ...................................................................... 44
4.5 Analisis Struktur Komunitas Padang Lamun di Pantai Bama .............................................. 46
4.6 Analisis Komunitas Burung di Hutan Pantai dan Hutan Evergreen...................................... 49
4.7 Analisis Struktur Floristik dan Fisiognomi Hutan Musim .................................................... 55
4.8 Analisis Mikroklimat Edafik di Hutan Musim ..................................................................... 56
4.9 Analisis Keberadaan Mamalia Malam ............................................................................... 59
4.10 Analisis Komunitas Ikan di Padang lamun Pantai Bama .................................................... 60
4.11 Analisis Terumbu Karang di Area Transplantasi dan Non-Transplantasi ............................ 61
BAB V KESIMPULAN........................................................................................................ 65
2
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 67
LAMPIRAN...................................................................................................................... 72
3
BAB I
PENDAHULUAN
Pengelolaan sumber daya alam hayati yang terdapat pada Taman Nasional Baluran
menjadi sangat penting dilakukan untuk memelihara dan meningkatkan kualitas
keanekaragaman yang terdapat didalamnya. Kelestarian suatu ekosistem tergantung
kepada pengelolanya, karena keberadaan manusia tidak dapat dipisahkan dari sistem
alam. Kebijakan pengelola Taman Nasional Baluran akan mempengaruhi ekosistem
alami dari Taman Nasional tersebut (Sabarno, 2002).
Taman Nasional Baluran yang memiliki karakteristik khusus dengan bentangan savana,
telah banyak mengalami tekanan dan gangguan yang dapat mempengaruhi fungsi Taman
Nasional Baluran sebagai wilayah konservasi sumber daya alam. Salah satu isu yang ada
di Taman Nasional Baluran adalah invasi Acacia nilotica. Invasi A.nilotica telah
berlangsung sejak tahun 1969, dimana tujuan awal penanamannya adalah sebagai sekat
bakar, karena tumbuhan ini tahan terhadap api (baluran national park, 2014). Namun
secara tidak terduga A.nilotica sangat mudah teradaptasi di wilayah tersebut. Tumbuhan
tersebut sampai sekarang menjadi ancaman yang cukup besar, karena pertumbuhan dari
A.nilotica yang sangat cepat, yang dikhawatirkan seluruh daerah savana akan tertutup
dengan keberadaanya. Gangguan yang lain adalah, melimpahnya sumber daya hayati
yang ada di Taman Nasional Baluran, mengundang masyarakat untuk mengambil
kekayaan sumber daya alam untuk dimanfaatkan potensinya dalam mencukupi
kebutuhan mereka. Sehingga lama kelamaan, kekayaan sumber daya alam di Taman
Nasioanl Baluran akan berkurang. Maka dari itu kajian ekologi di Taman Nasional
4
Baluran sangat penting dilakukan untuk dapat digunakan sebagai informasi pengelolaan
Taman Nasional Baluran selanjutnya agar lebih lestari.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian kali ini adalah:
1. Membandingkan karakteristika lingkungan (mikroklimat dan edafik), struktur dan
komposisi komunitas tumbuhan pada 4 ekosistem berbeda, yaitu Savana, Savana
Terinvasi Acacia nilotica, Hutan musim dan Mangrove di Taman Nasioanal
Baluran.
2. Mendeskripsikan komunitas padang lamun di pantai Bama.
3. Mengestimasi keanekaragaman dan kelimpahan burung di hutan evergreen dan
hutan pantai.
4. Mendeskripsikan struktur dan komposisi hutan musim secara floristik dan
fisiognomi (profil).
5. Mengamati kehadiran satwa malam di savana Bekol.
6. Membandingkan karakteristika lingkungan perairan (faktor fisika & kimia perairan)
dan kualitas tutupan terumbu karang pada dua ekosistem berbeda (area transplantasi
dan non-transplantasi).
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Selain terdapat savana terdapat pula hutan musim, hutan musim adalah hutan tropis
dataran rendah yang dapat ditemukan di India, Asia Tenggara, dan Afrika Barat. Hutan
ini mempunyai suhu tahunan ≥ 20°C dan curah hujan rata-rata 1600 mm/tahun. Hutan ini
mempunyai cuaca kering dan basah yang sangat berbeda, pada musim kering pohon-
pohon menggugurkan daunnya dan beberapa pohon dapat hidup karena akarnya dapat
mencapai sumber. Vegetasi yang dapat tumbuh baik di hutan ini adalah vegetasi dengan
jenis yang dapat hidup di daerah kering maupun basah (Leigh Jr, 1975).
Hutan evergreen merupakan hutan yang mempunyai curah hujan ≥ 2000 mm per tahun
dengan suhu 15°C-30°C dan dapat ditemukan paling banyak di kawasan industri ekuator.
6
Ciri khas dari hutan ini adalah pohon dan vegetasi lainnya tidak mempunyai periode
kekeringan serta banyaknya pohon yang tinggi dan batang yang kokoh. Daun dari
vegetasi di hutan ini biasanya lebar untuk menghindari evapotranspirasi (Matthew,
2000).
Hutan mangrove adalah hutan yang biasanya ditemukan pada kawasan tropis dan
subtropis. Salah satu ciri dari hutan ini adalah salinitas yang tinggi dari tumbuhan
tersebut sehingga biasanya vegetasi yang hidup disana toleran terhadap kadar garam
yang tinggi serta kepadatan yang tinggi dari hutan mangrove memungkinkan tumbuhan
lain tidak berkembang (Molles, 2014).
Kawasan perairan Taman Nasional Baluran memiliki sekitar 145 jenis karang, antara lain
suku Acroporidae, suku Fungidae, suku Poritidae, suku Millepoiediae, dan suku
Helioporidae (Universitas Petra, 2012). Selain membawa keuntungan ekonomi di sektor
pariwisata, ekosistem terumbu karang berperan melindungi pantai dari abrasi dan
kerusakan dengan memecah ombak yang mengarah ke pantai. Terumbu karang juga
berkontribusi kepada sektor penangkapan ikan dengan menyediakan daerah pemijahan
dan asuhan, penyediaan makanan dan perlindungan biota laut (Juniarsa et al., 2013).
Selain ekosistem terumbu karang terdapat pula ekosistem padang lamun. Lamun
(seagrass) adalah tumbuhan air berbunga (anthophyta) yang hidup dan tumbuh terbenam
7
di lingkungan laut, berpembuluh, berimpang (rhizome), berakar, dan berkembang biak
secara generatif dan vegetatif (Den Hartog, 1977). Lamun dapat membentuk hamparan
vegetasi lamun oleh satu jenis lamun (monospecific) atau lebih (mixed vegetation)
dengan kerapatan tanaman yang padat atau jarang (Tomascik et al, 1997). Ada berbagai
macam fungsi ekologis lamun antara lain sebagai tempat pemijahan ikan dan biota laut,
memperbaiki kualitas air, sebagai pengikat sedimen dan peredam gelombang laut (Den
Hartog, 1977). Berbagai jenis lamun yang dapat ditemukan di Taman Nasional Baluran
adalah Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Halodule uninervis,
Halophila minor, Cymodocea rotundata, Cymodocea serullata dan Syringodium
isoetifolium (Maliki et.al, 2007).
8
Ketapang Terminalia catappa Linn.
Manting Syzygium polyanthum
Fauna
Nama Lokal Nama Spesies
Banteng Bos javanicus
Kerbau Bubalus bubalis
Rusa Cervus timorensis
Kijang Mutiacus muntjak
Babi hutan Sus scrova
Macan tutul Panthera pardus
Kucing batu Felis bengalensis
Kucing bakau Felis viverrina
Ajag Cuon alpinus
Kera ekor panjang Macaca fascicularis
Lutung/budeng Trachypithecus auratus cristatus
Merak hijau Pavo muticus
Ayam hutan merah Gallus gallus
Ayam hutan hijau Gallus varius
Kangkareng Anthracoceros convexus
Rangkong Bucheros rhinoceros
Objek wisata air yang dikelola salah satunya adalah Pantai Bama. Pantai ini dikelilingi
oleh hutan mangrove yang terdiri dari beberapa jenis flora seperti Rhizophora
muncronata (bakau bandul), Rhizophora apiculata (bakau kacang), dan Sonneratia alba.
Selain hutan mangrove, Pantai Bama juga dikelilingi oleh hutan pantai yang jenis
9
floranya didominasi oleh waru laut, gebang, nyamplung, ketapang, dan manting. Fauna
yang dapat ditemui adalah berupa rusa, kera ekor panjang, lutung, tupai, kalong, biawak,
cekakak sungai, pergam, julang emas, kangkareng, elang ular, cinenen jawa, perenjak,
merbah cerukcuk, dan trinil karang. Objek wisata tidak hanya dikelola di tepi laut,
namun hingga ke dalam laut. Tidak jauh dari tepi pantai, terdapat padang lamun.
Beberapa jenis lamun yang ada yaitu Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Halodule
uninervis, Thalasia hemprichii, Syringodium isoetifolium, dan Halophila minor. Di
padan lamun biasanya ditemukan fauna berupa Holothuria atra, Tridacna crocea,
Diadema setosum dna Lambis millipede. Di laut dengan jarak sekitar 500 m dari tepi
pantai terdapat zona transplantasi terumbu karang dan zona non transplantasi terumbu
karang yang juga banyak terdapat ikan karang seperti Dascyllus aruanus, Pomacentrus
moluccenis, Amphiripon ocellaris.
Wilayah Taman Nasional Baluran juga berbatasan langsung dengan pemukiman warga.
Hal inilah yang menyebabkan masyarakat yang ada disekitarnya menggunakan sumber
daya alam dari kawasan Taman Nasional Baluran. Masyarakat desa sekitar Taman
Nasional Baluran memanfaatkan kayu bakar, gadung, ules, buas asam, buah kemiri, biji
akasia, rutan, bambu, rumput, madu, dan pengembalaan ternak. Beberapa sumber daya
hutan dapat dimanfaatkan oleh masyarakatnya secara musiman atau dimanfaatkan
sepanjang tahun. Selain digunakan sebagai sumber daya alam dan ekowisata, Taman
Nasional Baluran juga menentukan kawasan yang dilindungi (Nirmala, 2009).
10
Kawasan Taman Nasional yang dilindungi dibagi menjadi 6 kawasan. Kawasan I adalah
kawasan perlindungan atau hutan rimba yang tidak boleh dimanfaatkan kecuali
perindungan hewan liar dan penelitian. Kawasan I dibagi enjadi dua yaitu Ia dan Ib. Ia
adalah kawasan yang hanya boleh dimanfaatkan untuk penelitian saja, sedangkan Ib
adalah kawasan hutan rimba atau alam liar yang hanya untuk perlindungan satwa liar.
Kawasan II adalah Taman Nasional yang dikelola terutama untuk keseimbangan
ekosistem dan rekreasi. Kawasan III adalah kawasan yang diperuntukkan bagi konservasi
spesies tertentu. Kawasan IV adalah kawasan yang mengijinkan campur tangan manusia
dalam pengelolaan konservasi. Selanjutnya adalah kawasan V yang dilindungi dan
dikelola untuk konservasi dan rekreasi. Kawasan VI adalah kawasan yang dikeloa
terutama untuk menyokong keberlanjutan suatu ekosistem alami (Emma et al., 2011).
Namun, dalam pengelolaan kawasan di Taman Nasional Baluran ini terjadi Isu
Konservasi yaitu invasi Acacia nilotica. Tanaman Acacia nilotica ini diintroduksi dari
Aftika sebagai tanaman pagar. Acacia nilotica ditanam sebagai sekat bakar karena
tumbuhan ini tahan api namun pertumbuhan dan penyebaran tanaman ini sangat cepat.
Acacia nilotica sudah menginvasi 50% savanna. Tanaman ini dapat mengurangi populasi
banteng karena menggangu pertumbuhan rumput lokal sebagai pakan utama banteng.
Savana yang awalnya tertutupi oleh rumput, akan ditutupi oleh akasia. Perubahan
tutupan ini akan mengubah pola dan bentuk kebakaran yang menjadi salah satu tahap
dalam proses suksesi di ekosistem savanna. Pemberantasan Acacia nillotica sangat sulit
dilakukan karena banyak hewan-hewan yang secara tidak sengaja menjadi polinator.
Penanggulangan ini dilakukan secara mekanis dan kimia. Penanggulangan dengan kimia
dilakukan dengan pemberian racun yang disuntikkan kedalam batang pohon. Sedangkan
mekanis dilakukan dengan cara penebangan pohon (Djufri, 2006).
11
BAB III
METODE KERJA
Ekosistem yang ada di kawasan Taman Nasional Baluran sangat beragam. Mulai dari
ekosistem ekosistem hutan pantai, hutan payau, hutan hujan pegunungan, hutan musim,
hutan evergreen, savana, mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. Berdasarkan
informasi dari Balai Taman Nasional Baluran (2014), pantai di Baluran memiliki jenis
pasir hitam dan putih. Terdapat formasi Baringtonia yang tumbuh dengan baik di daerah
ini. Di hutan mangrove, mangrove yang berukuran kecil hingga besar yang dapat tumbuh
di atas lumpur di daerah intertidal. Mangrove merupakan vegetasi yang toleran dengan
kondisi lingkugan yang terendam air dan dengan tingkat salinitas yang tinggi (Molles,
2008). Hutan payau terdapat di Sungai Kepuh dengan vegetasi berupa Malengan,
12
Manting, dan poh-pohan. Hutan ini terletak pada ketinggian 1200 m dpl dan merupakan
wilayah yang sangat penting sebagai daerah tangkapan air. Hutan musim di Baluran
dipisahkan menjadi 2 kelompok yaitu hutan musim dataran rendah dan dataran tinggi.
Hutan evergreen merupakan hutan yang selalu hijau walaupun dalam keadaan musim
kering. Savana di Baluran merupakan klimaks kebakaran yang sangat dipengaruhi
aktivitas manusia. Sebagian besar wilayah savana telah terinvasi oleh Acacia nilotica
yang tidak dapat dikontrol lagi persebarannya (Sabarno, 2002). Formasi padang lamun di
kawasan ini tersebar di pantai yang landai dengan gelombang air yang tidak terlalu besar.
Jenis terumbu karang di Baluran adalah jenis karang tepi dan berada pada kedalaman 0,5
– 40 meter (Balai Taman Nasional Baluran, 2014).
Gambar 3.1 Lokasi Taman Nasional Baluran yang dilihat dari citra satelit. Terletak di Indonesia
(Gambar 3.1a), Pulau Jawa (Gambar 3.1b), Jawa Timur, Kabupaten Situbondo (Gambar 3.1c). Gambar
3.1d menunjukkan peta tematik dari jenis ekosistem di Taman Nasional Baluran. (Sumber: Google Earth,
2015)
Pengamatan dilakukan selama tiga hari sejak tanggal 3 November 2015 hingga 5
November 2015 di beberapa jenis ekosistem yaitu, ekosistem savana dan savana yang
terinvasi Acacia nilotica di Savana Bekol, hutan mangrove, padang lamun, hutan pantai,
dan terumbu karang di kawasan Pantai Bama, hutan evergreen, dan hutan musim. Lokasi
masing-masing tipe ekosistem dapat dilihat pada peta tematik Taman Nasional Baluran
(Gambar 3.1d).
13
kuadrat untuk analisis vegetasi di savana, savana terinvasi Acacia nilotica dan hutan
mangrove; pengukuran mikroklimat dan edafik di savana, savana terinvasi Acacia
nilotica, hutan mangrove, dan hutan musim; transek plot, pengamatan visual komunitas
lamun dan pengukuran fisika kimia perairan di padang lamun pantai Bama; point count
dan time species count untuk pengamatan burung di hutan pantai dan hutan evergreen;
diagram profil untuk analisis struktur floristik dan fisiognomi di hutan musim;
pengamatan visual mamalia malam di savana bekol; visual sensus ikan di padang lamun
pantai Bama; dan terakhir point intercept transek untuk pengamatan terumbu karang di
area transplantasi dan non-transplantasi.
2m
5m
2m
10 m
5m
10 m
Gambar 3.2 Plot kuadrat untuk analisis vegetasi
Klasifikasi tahapan hidup tumbuhan yang diamati dalam metode ini yaitu: pohon
dan tiang (diameter ≥ 10 cm) pada plot 10 x 10 m, pancang (2 cm ≤ diameter < 10
cm) pada plot 5 x 5 m, dan semai serta herba (diameter < 2 cm) pada plot 2 x 2 m.
14
Gambar 3.2 a lokasi analisis vegetasi metode kuadrat savana terinvasi A.nilotica
Parameter yang diukur yaitu kerapatan, frekuensi dan kerimbunan relatif dari tiap
jenis vegetasi. Rumus penghitungannya yaitu sebagai berikut:
a. Kerapatan relatif (Krr)
𝐾𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
𝑥 100 %
𝐾𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
b. Frekuensi relatif (Frr)
𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
𝑥 100 %
𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
c. Kerimbunan relatif (Kbr)
𝐾𝑒𝑟𝑖𝑚𝑏𝑢𝑛𝑎𝑛 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
𝑥 100 %
𝐾𝑒𝑟𝑖𝑚𝑏𝑢𝑛𝑎𝑛 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
15
Tabel 3.1 Skala kerimbunan Daubenmire
Kelas penutupan Kisaran penutupan (%) Nilai tengah kelas (%)
6 95-100 97.5
5 75-95 85
4 50-75 62.5
3 25-50 37.5
2 5-25 15
1 0-5 2.5
Indeks nilai penting didapat dengan menjumlahkan ketiga nilai pamater diatas.
Selain itu, dilakukan pengukuran tinggi pohon dengan menggunakan haga meter.
Nilai tinggi didapat dengan mengalikan nilai yang tertera di skala hagameter
dengan jarak antara pengamat dan pohon (State Forest of New South Wales, 1995).
Dari data DBH (Diameter at Breast High) yang didapat, dilakukan pengukuran
LAB (luas area basal) dengan rumus sebagai berikut:
a. LAB
1
𝑥 3.14 𝑥 (𝐷𝐵𝐻)2
4
b. LAB relatif
𝐿𝐴𝐵 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠
𝑥 100%
𝐿𝐴𝐵 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
16
3.2.2 Pengukuran Mikroklimat & Edafik
Parameter yang diukur dalam mikroklimat yaitu temperatur udara, kelembaban
udara dan intensitas cahaya. Pengukuran kelembaban dan suhu udara dilakukan
dengan menggunakan sling psychrometer. Sementara, pengukuran intensitas
cahaya dilakukan dengan menggunakan lux meter.
Parameter yang diukur dalam edafik yaitu profil tanah, kandungan organik dan
mineral tanah, kelembaban dan pH tanah, suhu tanah, bulk density serta porositas
tanah. Pengukuran profil tanah dilakukan dengan pengamatan visual pencuplikan
tanah menggunakan Auger (Deckers & Dondeyne, 2004). Kemudian, dari hasil
pencuplikan diukur pula kandungan organik dan mineral tanah dengan rumus
sebagai berikut:
a. Kandungan organik tanah (%)
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔 𝑡𝑎𝑛𝑎ℎ − 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢 𝑡𝑎𝑛𝑎ℎ
𝑥 100 %
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔 𝑡𝑎𝑛𝑎ℎ
b. Kandungan mineral tanah (%)
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢 𝑡𝑎𝑛𝑎ℎ
𝑥 100 %
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔 𝑡𝑎𝑛𝑎ℎ
Gambar 3.2 c lokasi pengukuran parameter mikroklimat edafik savana terinvasi A.nilotica
17
Gambar 3.2 d lokasi pengukuran parameter mikroklimat edafik mangrove
Kelembaban dan pH tanah diukur dengan menggunakan soil tester. Suhu tanah
diukur dengan menggunakan termometer weksler. Bulk density serta porositas
tanah diukur dengan mencuplik tanah menggunakan core sampler untuk kemudian
diolah menggunakan rumus berikut (Den Bigelaar, 2006):
a. Bulk density (g/cm3) =
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔 𝑡𝑎𝑛𝑎ℎ
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑐𝑜𝑟𝑒 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑙𝑒𝑟
b. Total porositas (%) =
𝑏𝑢𝑙𝑘 𝑑𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑦
1−( ) 𝑥 100 %
𝑝𝑎𝑟𝑡𝑖𝑐𝑙𝑒 𝑑𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑦
18
3.2.3 Analisis Komunitas Padang Lamun Menggunakan Metode Transek Plot
Dibuat transek garis sejauh 100 m yang terbagi menjadi 5 titik, yaitu titik 0 m, 25
m, 50 m, 75 m, dan 100 m dengan arah tegak lurus garis pantai. Kemudian pada
setiap titik ditaruh plot kuadrat dengan ukuran 1 x 1 m yang terbagi menjadi 25
subplot berukuran 20 x 20 cm seperti pada gambar 3.3 berikut:
Air lalu dicuplik di tempat yang sama dengan tempat plot lamun diletakkan. Air
cuplikan kemudian diukur suhu, konduktivitas salinitas, PH, dan DO dengan
menggunakan SCT meter dan PH meter. Pada setiap subplot diamati keberadaan
lamun, tutupan lamun, pengidentifikasian lamun, dan penghitungan jumlah biota
yang ada selain lamun. Penutupan lamun dihitung dengan rumus :
Σ(𝑀𝑖 x 𝑓𝑖)
C=
Σ𝑓
Keterangan:
C : Pesentase penutupan jenis lamun l (persentase terhadap 100x100 cm)
Mi : Persentase titik tengah kelas penutupan lamun
Fi : Banyaknya subplot yang terdapat lamun di dalamnya
19
Tabel 3.2 Titik Tengah Penutupan Lamun
Kondisi % Penutupan
Baik Kaya/sehat ≥ 60
Rusak Kurang kaya/kurang sehat 30-59,9
Miskin ≤ 29,9
20
Biota yang telah didata jumlah dan jenisnya kemudian dihitung kepadatan
relatifnya dengan rumus : Kepadatan relatif = Jumlah spesies i/luas area (m2).
3.2.4 Pengamatan Burung Menggunakan Metode Point Counting dan Time Spesies
Count
Pada metode point-counting, rentang pengamatan berjarak sekitar 50 meter dari
pusat titik pengamatan dan metode pencatatan dilakukan selang interval masing-
masing interval 10 menit dan dihitung jumlah individu yang ditemukan. Metode ini
dapat digunakan untuk membandingkan keanekaragaman burung antar tempat dan
dapat digunakan memperkirakan jumlah populasi burung di suatu tempat
(Hostetler dan Main, 2015). Keunggulan metode ini adalah identifikasi jenis
burung dapat dilakukan lebih maksimal tanpa memperhatikan arah berjalan seperti
metode transect line, lebih banyak kemungkinan untuk mendeteksi burung yang
bersembunyi dan menghubungkan ciri-ciri habitat dengan keberadaan burung
tersebut (Bibby et.al, 2000).
21
Gambar 3.2 h lokasi pengamatan burung di birdwatching trail
(Sumber: Google Earth, 2015)
22
3.2.6 Pengamatan Visual Mamalia Malam
Pengamatan mamalia malam dilakukan di savana bekol. Pengamat berada di posisi
tepi jalan. Pengamatan dilakukan menggunakan alat bantu yaitu senter bercahaya
merah dan senter tembak. Pengerjaan dilakukan selama satu jam. Pertama-tama
dilakukan pengamatan menggunakan senter berwarna merah. Bila terlihat pantulan
cahaya berwarna putih atau merah, dapat diketahui cahaya tersebut adalah
mamalia. Bila pantulan dari mata mamalia sudah terlihat, sumber pantulan disorot
menggunakan senter tembak sehingga spesies mamalia yang ditemukan dapat jelas
teramati. Lokasi pengamatan visual mamalia malam di savana bekol akan
ditunjukkan pada gambar gambar 3.2 j.
23
Gambar 3.2 k lokasi pengamatan visualisasi sensus ikan
(Sumber: Google Earth, 2015)
24
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Vegetasi di Savana Terbuka dan Savana Terinvasi Acacia nilotica
Berikut ini adalah hasil penelitian analisis vegetasi komunitas pohon pada savana
terbuka dan savana terinvasi Acacia nilotica
Tabel 4.1 Indeks nilai penting, indeks dominansi dan indeks keanekaragaman pohon di savana terbuka
Jumlah
NO NAMA SPESIES Kr rf Fr Rf LAB Rf INP Pi Pi2 ln Pi Pi ln Pi
Individu
350
300
250
INDEKS NILAI PENTING
200
LAB Rf
150 Fr Rf
Kr rf
100
50
0
Azadirachta indica
NAMA SPESIES
Tabel 4.2 Indeks nilai penting, indeks dominansi dan indeks keanekaragaman pohon di savana terinvasi Acacia nilotica
25
Jumlah
NO NAMA SPESIES Kr rf Fr Rf LAB Rf INP Pi Pi2 ln Pi Pi ln Pi
Individu
300
250
INDEKS NILAI PENTING
200
150 LAB Rf
Fr Rf
100
Kr rf
50
0
Acacia nilotica Azadirachta indica Acacia leucophloea
NAMA SPESIES
Gambar 4.2 Grafik indeks nilai penting pohon di savana terinvasi Acacia nilotica
Berdasarkan data penelitian pada tabel 4.1, didapat bahwa komunitas pohon pada savana
terbuka jenis spesies yang terambil hanya Azadirachta indica dengan jumlah individu 1,
sehingga indeks nilai penting nya 300 dengan indeks dominansi (pi2) 1 dan indeks
keanekaragaman (H’) 0. Indeks nilai penting menggambarkan struktur komunitas
vegetasi dalam suatu ekosistem (Dombois & Ellenberg, 1974). Dalam literatur lain,
disebutkan bahwa indeks nilai penting juga merepresentasikan peranan vegetasi dalam
suatu komunitas (Prasetyo, 2007). Nama komunitas diambil dari nama genus vegetasi
yang memiliki INP terbesar pada ekosistem tersebut. Maka, dapat disimpulkan bahwa
nama komunitas pada savana terbuka berdasarkan vegetasi pohonnya yaitu Azadirachta.
Grafik indeks nilai penting dengan komposisi nilai kerapatan, frekuensi dan kerimbunan
basal (LAB = Luas Area Basal) vegetasi dapat dilihat pada gambar 4.2. Kemudian,
26
untuk mengetahui ada tidaknya dominansi dari suatu spesies dapat digunakan indeks
dominansi Simpson (Brower, J. E. dan J. H. Zar, 1997). Dari data penelitian, diperoleh
indeks dominansi (pi2) pada Azadirachta indica sebesar 1. Menurut Yuliana et al. (2012),
suatu spesies tergolong dominan bila indeks Simpson nya berkisar antara 0.5 – 1, dan
suatu spesies tergolong tidak dominan bila indeks Simpsonnya berkisar antara 0.5 – 0.
Maka, dapat disimpulkan bahwa Azadirachta indica sangat dominan pada komunitas
vegetasi pohon di savana terbuka. Indeks dominansi ini berbanding terbalik dengan
indeks keanekaragaman komunitas, dimana semakin besar pengaruh dominansi spesies,
maka tingkat keanekaragaman vegetasi dalam suatu komunitas akan semakin kecil.
Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner (H’) yang didapat yakni senilai 0. Menurut
Fitriana (2006), indeks keanekaragaman menunjukkan tingkat keragaman hayati dalam
suatu komunitas, dimana nilai ini turut mengindikasikan kestabilan ekosistem. Kategori
tingkat keragaman dan kondisi ekosistem berdasarkan indeks Shannon-Wiener
dikelompokkan oleh Krebs (1978) dalam tabel berikut:
Tabel 4.3 Tingkat keragaman dan kondisi ekosistem berdasarkan indeks Shannon-Wiener (H’)
Nilai H’ Keterangan
Kearagaman rendah, miskin, produktivitas rendah, tekanan
0 - 1.5
ekologi tinggi
Keragaman sedang, produktivitas cukup, kondisi
1,5 - 3,32
ekosistem cukup seimbang, tekanan ekologis sedang
Maka, dapat disimpulkan bahwa tingkat keragaman komunitas pohon di savana terbuka
rendah, dan kondisi ekosistem berproduktivitas rendah dengan tekanan ekologi yang
tinggi.
Kemudian, dari data tabel 4.2, diperoleh spesies Acacia nilotica dengan jumlah individu
38, Azadirachta indica dengan jumlah individu 1 dan Acacia leucophloea dengan jumlah
individu 1. Indeks nilai penting tertinggi dimiliki oleh Acacia nilotica yaitu sebesar
277.860 dan Acacia leucophloea sebesar 11.200. Maka, nama komunitas untuk vegetasi
pohon di savana terinvasi Acacia nilotica yaitu Acacia acacia. Berdasarkan indeks
dominansi Simpson, terlihat bahwa nilai pi2 yang dimiliki Acacia nilotica sangat besar
27
yaitu 0.903. Nilai ini menunjukan bahwa Acacia nilotica sangat mendominasi ekosistem
tersebut, mengalahkan dua spesies lainnya. Adanya dominansi yang besar dari suatu
spesies biasanya akan menurunkan tingkat keragaman hayati di ekosistem tersebut. Nilai
indeks keanekaragaman Shannon-Wiener yang diperoleh yaitu sebesar 0.233, dimana
menurut Krebs (1978) nilai ini menunjukkan tingkat keragaman yang rendah,
produktivitas rendah dan tekanan ekologi yang tinggi.
Selanjutnya, untuk mengetahui derajat kesamaan antara struktur dan komposisi dari dua
komunitas vegetasi, digunakan indeks kesamaan Sorensen dengan variabel kehadiran
vegetasi tumbuhan di kedua ekosistem yang akan dibandingkan (Michael, 1984). Indeks
Sorensen untuk komunitas vegetasi pohon antara savana terbuka dan savana terinvasi
yaitu:
2𝐶 2𝑥1
𝐼𝑠 = 𝑥 100% = 𝑥 100% = 50%
𝐴+𝐵 1+3
Dengan A = jumlah spesies yang ditemukan pada komunitas savana terbuka (1 spesies) ,
B = jumlah spesies yang ditemukan pada komunitas savana terinvasi Acacia nilotica (3
spesies), dan C = jumlah spesies yang ditemukan pada kedua komunitas (1 spesies).
Semakin tinggi persentase indeks Sorensen, maka semakin tinggi tingkat kemiripan
antara dua komunitas yang dibandingkan sedangkan semakin rendah persentase indeks
Sorensen, maka semakin rendah tingkat kesamaan yang berarti semakin tinggi tingkat
perbedaan antara dua komunitas yang dibandingkan (Odum, 1996). Nilai 50% ini
menunjukkan bahwa antara komunitas savana terbuka dan savana terinvasi Acacia
nilotica tingkat kemiripannya rata-rata.
Untuk komunitas vegetasi tiang, hanya ditemukan pada savana terinvasi Acacia nilotica
dengan data penelitian sebagai berikut:
Tabel 4.4 Indeks nilai penting, indeks dominansi dan indeks keanekaragaman tiang di savana terinvasi Acacia nilotica
Jumlah
NO NAMA SPESIES Kr Rf Fr Rf LAB Rf INP Pi Pi2 ln Pi Pi ln Pi
Individu
28
350
300
200
LAB Rf
150 Fr Rf
Kr Rf
100
50
0
Acacia nilotica
NAMA SPESIES
Gambar 4.3 Grafik indeks nilai penting tiang di savana terinvasi Acacia nilotica
Berdasarkan data penelitian diatas, diperoleh satu jenis spesies dengan bentuk hidup
tiang yaitu Acacia nilotica sejumlah 34 individu. Indeks nilai pentingnya yaitu 300
dengan komposisi masing-masing parameter -kerapatan, frekuensi dan kerimbunan
basal- 100, seperti terlihat pada gambar 4.3. Maka, nama komunitas vegetasi tiang pada
savana terinvasi Acaica nilotica yaitu Acacia. Kemudian, indeks dominani (pi2) nya yaitu
1, yang menandakan bahwa spesies Acacia nilotica sangat mendominasi komunitas ini.
Indeks dominansi ini umumnya berbanding terbalik dengan indeks keanekaragaman
Shannon-Wiener. Nilai H’ yang diperoleh yaitu 0, dimana berdasarkan kategori yang di
kelompokkan oleh Krebs (1978), nilai ini menunjukkan tingkat keragaman hayati yang
rendah, dengan produktivitas rendah dan tekanan ekologi yang tinggi.
Selanjutnya, untuk vegetasi dengan bentuk hidup semai di savana terbuka dan savana
terinvasi Acacia nilotica hasil penelitiannya adalah sebagai berikut:
29
Tabel 4.5 Indeks nilai penting, indeks dominansi dan indeks keanekaragaman semai di savana terbuka
Jumlah
NO NAMA SPESIES Kb Rf Kr Rf Fr Rf INP Pi Pi2 ln Pi Pi ln Pi
Individu
350
300
INDEKS NILAI PENTING
250
200
Fr Rf
150
Kr Rf
100 Kb Rf
50
0
Azzadiractha indica
NAMA SPESIES
Tabel 4.6 Indeks nilai penting, indeks dominansi dan indeks keanekaragaman semai di savana terinvasi Acacia nilotica
Jumlah
NO NAMA SPESIES Kb Rf Kr Rf Fr Rf INP Pi Pi2 ln Pi Pi ln Pi
Individu
1 Azadiractha indica 85.484 64.706 71.429 221.618 22 0.629 0.395 -0.464 -0.292
2 Capparis micracantha 12.903 14.706 21.429 49.038 5 0.143 0.020 -1.946 -0.278
3 Vernonia cinerea 1.613 20.588 7.143 29.344 7 0.200 0.040 -1.609 -0.322
TOTAL 100 100 100 300 34 H' 0.892
30
250
150
Fr Rf
100
Kr Rf
50 Kb Rf
0
Azadiractha indica Capparis Vernonia cinerea
micracantha
NAMA SPESIES
Gambar 4.5 Grafik indeks nilai penting semai di savana terinvasi Acacia nilotica
Berdasarkan tabel 4.5, hanya terdapat satu spesies semai yang ditemukan pada savana
terbuka yaitu Azzadiractha indica dengan jumlah individu 3. Indeks nilai pentingnya 300
dengan porsi nilai 100 untuk masing-masing parameter; kerapatan, frekuensi dan
kerimbunan relatif. Maka, nama komunitas berdasarkan INP nya yaitu Azzadiractha.
Kemudian, indeks dominansi juga dikuasai oleh vegetasi tumbuhan ini dengan nilai pi2
1. Nilai ini menandakan adanya dominansi yang sangat kuat pada daerah tersebut.
Dominansi yang kuat dari spesies tertentu akan menurunkan indeks keanekaragaman
hayati pada struktur komunitasnya, dimana nilai H’ yang diperoleh hanya sebesar 0.
Maka, dapat disimpulkan berdasarkan literatur dari Krebs (1978), nilai ini menunjukkan
tingkat keragaman hayati yang rendah, dengan produktivitas rendah dan tekanan ekologi
yang tinggi.
Lalu untuk kawasan savana terinvasi Acacia nilotica berdasarkan tabel 4.6, didapat
tiga jenis spesies dengan bentuk hidup semai yaitu Azadiractha indica sejumlah 22
individu, Capparis micracantha sejumlah 5 individu dan Vernonia cinerea sejumlah 7
individu. Indeks nilai penting ketiga spesies dengan porsi nilai masing-masing
parameternya dapat dilihat pada gambar 4.5. Dari data penelitian diatas, dapat
disimpulkan bahwa INP tertinggi dimiliki oleh spesies Azadiractha indica dengan nilai
221.618 dan Capparis micracantha dengan nilai 49.038. Maka, nama komunitas untuk
vegetasi semai pada savana terinvasi Acacia nilotica yaitu Azadirachta Capparis.
31
Kemudian, indeks dominansi (pi2) yang dimiliki ketiga spesies ini terbilang rendah
karena kurang dari ambang batas 0,5 (Yuliana et. al., 2012). Sehingga, dapat dikatakan
tidak ada spesies dominan pada struktur komunitasnya. Berdasarkan literatur, indeks
dominansi umumnya berbanding terbalik dengan tingkat keanekaragaman vegetasi pada
suatu komunitas. Hal ini sesuai karena nilai H’ yang diperoleh yaitu sebesar 0.892,
dimana menurut kategori Krebs (1978) nilai ini menunjukkan tingkat keanekaragaman
hayati yang tinggi, produktivitas tinggi, kondisi ekosistem yang stabil dan tahan terhadap
tekanan ekologis.
Selanjutnya, indeks kesamaan sorensen yang didapat untuk komunitas vegetasi
dengan bentuk hidup semai di savana terbuka dan savana terinvasi Acacia nilotica adalah
sebagai berikut:
2𝐶 2𝑥1
𝐼𝑠 = 𝑥 100% = 𝑥 100% = 50%
𝐴+𝐵 1+3
Dengan A = jumlah spesies yang ditemukan pada komunitas savana terbuka (1 spesies) ,
B = jumlah spesies yang ditemukan pada komunitas savana terinvasi Acacia nilotica (3
spesies), dan C = jumlah spesies yang ditemukan pada kedua komunitas (1 spesies). Dari
derajat kesamaan yang didapat yaitu sebesar 50%, dapat dikatakan bahwa vegetasi di
kedua komunitas cukup mirip (Odum, 1996).
Selanjutnya, untuk vegetasi perdu pada struktur komunitas savana terbuka dan savana
terinvasi Acacia nilotica hasil penelitiannya adalah sebagai berikut:
Tabel 4.7 Indeks nilai penting, indeks dominansi dan indeks keanekaragaman perdu di savana terbuka
Jumlah
NO NAMA SPESIES Kb Rf Kr Rf Fr Rf INP Pi Pi2 ln Pi Pi ln Pi
Individu
32
120
80
60 Fr Rf
Kr Rf
40
Kb Rf
20
0
Crotalaria sp. Rhamnaceae Acacia nilotica
NAMA SPESIES
Tabel 4.8 Indeks nilai penting, indeks dominansi, dan indeks keanekaragaman perdu di savana terinvasi Acacia nilotica
Jumlah
NO NAMA SPESIES Kb Rf Kr Rf Fr Rf INP Pi Pi2 ln Pi Pi ln Pi
Individu
1 Acacia nilotica 45.349 13.333 35.714 94.396 10 0.133 0.018 -2.015 -0.269
2 Jatropha indica 22.093 29.333 35.714 87.141 22 0.293 0.086 -1.226 -0.360
3 Flacourtia indica 1.163 29.333 7.143 37.639 22 0.293 0.086 -1.226 -0.360
4 Rhamnaceae 31.395 28.000 21.429 80.824 21 0.280 0.078 -1.273 -0.356
TOTAL 100 100 100 300 75 H' 1.345
100
90
INDEKS NILAI PENTING
80
70
60
50 Fr Rf
40 Kr Rf
30
Kb Rf
20
10
0
Acacia nilotica Jatropha indica Flacourtia indica Rhamnaceae
NAMA SPESIES
Gambar 4.7 Grafik indeks nilai penting perdu di savana terinvasi Acacia nilotica
33
Berdasarkan tabel 4.7, diperoleh tiga jenis spesies perdu di savana terbuka yaitu
Crotalaria sp. sejumlah 3 individu, Rhamnaceae sejumlah 2 individu dan Acacia nilotica
sejumlah 2 individu. Kemudian dari gambar 4.6 terlihat bahwa spesies yang memilik
INP tertinggi adalah Acacia nilotica dan Rhamnaceae. Maka, nama komunitas
berdasarkan INP nya yaitu Acacia Rhamnaceae. Indeks dominansi yang dimiliki ketiga
spesies terbilang rendah dimana menurut Yuliana et. al. (2012), suatu spesies baru
dikatakan dominan apabila indeks dominansinya diatas 0.5. Sehingga dapat dikatakan
tidak ada spesies dominan pada struktur komunitasnya. Ketidakberadaan spesies yang
dominan biasanya akan meningkatkan tingkat keragaman hayati komunitas. Namun, hal
ini tidak sesuai dimana nilai H’ yang diperoleh sebesar 1.079. Nilai ini menunjukkan
tingkat keanekaragaman hayati nya tergolong rendah dengan produktivitas rendah dan
tekanan ekologi yang tinggi. Hal ini memungkinkan mengingat banyak faktor yang dapat
mempengaruhi tingkat keragaman hayati seperti waktu, heterogenitas ruang, kompetisi,
pemangsaan, kestabilan iklim dan produktifias (Krebs, 1978).
Kemudian untuk vegetasi perdu di komunitas savana terinvasi Acacia nilotica pada
tabel 4.8, diperoleh Acacia nilotica sejumlah 10 individu, Jatropha indica sejumlah 22
individu, Flacourtia indica sejumlah 22 individu dan Rhamnaceae sejumlah 21 individu.
Perbandingan indeks nilai pentingnya dapat dilihat pada gambar 4.7. Spesies dengan
INP tertinggi yaitu Acacia nilotica dan Jatropha indica, sehingga dapat disimpulkan
bahwa nama komunitasnya yaitu Acacia Jatropha. Indeks dominansi (pi2) yang dimiliki
seluruh spesies tergolong rendah sehingga dapat dikatakan tidak ada spesies dominan
pada struktur komunitasnya. Nilai keanekaragaman hayati (H’) yang diperoleh juga
terbilang rendah yaitu sebesar 1.345. Menurut Krebs (1978), nilai ini menunjukkan
tingkat keragaman hayati yang rendah, dengan produktivitas rendah dan tekanan ekologi
yang tinggi.
Dengan A = jumlah spesies yang ditemukan pada komunitas savana terbuka (3 spesies) ,
B = jumlah spesies yang ditemukan pada komunitas savana terinvasi Acacia nilotica (4
34
spesies), dan C = jumlah spesies yang ditemukan pada kedua komunitas (2 spesies). Dari
derajat kesamaan yang didapat yaitu sebesar 57,143% maka dapat dikatakan bahwa
vegetasi di kedua komunitas tersebut cukup mirip (Odum, 1996).
Selanjutnya, untuk vegetasi herba pada komunitas savana terbuka dan savana
terinvasi Acacia nilotica data penelitiannya adalah sebagai berikut:
Tabel 4.9 Indeks nilai penting, indeks dominansi dan indeks keanekaragaman herba di savana terbuka
Jumlah
NO NAMA SPESIES Kb Rf Fr Rf INP Pi Pi2 ln Pi Pi ln Pi
Individu
100
90
INDEKS NILAI PENTING
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Fr Rf
Dichanthium caricosum
Panicum distichum
Abutilon crypsum
Crotalaria sp.
Thespesia lampas
Themeda arguens
Sida sp.
Sclerachne punctata
Heteropogon contortus
Vernonia cinerea
Kb Rf
NAMA SPESIES
35
Tabel 4.10 Indeks nilai penting, indeks dominansi dan indeks keanekaragaman herba di savana terinvasi Acacia nilotica
Jumlah
NO NAMA SPESIES Kb Rf Fr Rf INP Pi Pi2 ln Pi Pi ln Pi
Individu
45
INDEKS NILAI PENTING
40
35
30
25
20
15
10 Fr Rf
5
0 Kb Rf
NAMA SPESIES
Gambar 4.9 Grafik indeks nilai penting herba di savana terinvasi Acacia nilotica
Dapat dilihat pada tabel 4.9, ditemukan 10 spesies herba pada komunitas savana
terbuka yaitu: Thespesia lampas sejumlah 7 individu, Abutilon crypsum sejumlah 5
individu, Heteropogon contortus sejumlah 2 individu, Vernonia cinerea sejumlah 12
36
individu, Crotalaria sp. sejumlah 2 individu, Themeda arguens sejumlah 2 individu,
Dichanthium caricosum sejumlah 1 individu, Panicum distichum sejumlah 4 individu,
Sclerachne punctata sejumlah 2 individu dan Sida sp. sejumlah 1 individu. Berdasarkan
gambar 4.8, terlihat bahwa spesies yang memiliki INP tertinggi yaitu Abutilon crypsum
dan Vernonia cinerea. Maka, nama komunitas berdasarkan INP tertingginya yaitu
Abutilon Vernonia. Indeks dominansi (pi2) yang dimiliki keseluruhan spesies tidak ada
yang melebihi angka 0.5 sehingga dapat disimpulkan tidak ada spesies dominan dalam
struktur komunitasnya (Yuliana et. al., 2012). Ketidakberadaan spesies dominan
biasanya akan meningkatkan keragaman hayati suatu komunitas. Hal ini sesuai dimana
nilai H’ yang diperoleh yaitu sebesar 1,991. Menurut Krebs (1978), nilai ini
menunjukkan tingkat keragaman hayati sedang, produktivitas cukup, kondisi ekosistem
cukup seimbang, dan tekanan ekologis sedang.
Lalu untuk vegetasi herba di savana terinvasi Acacia nilotica data penelitiannya dapat
dilihat pada tabel 4.10. Diperoleh 9 spesies herba yaitu Abutilon crypsum dengan jumlah
individu 1, Azzadirachta indica dengan jumlah individu 2, Thespesia lampas dengan
jumlah individu 2, Stachytarpeta indica dengan jumlah individu 2, Brachira raphtan
dengan jumlah individu 3, Firnunia sineria dengan jumlah individu 1, Bidens spilosa
dengan jumlah individu 2, Sida sp.dengan jumlah individu 1, dan Eragrostis tenella
dengan jumlah individu 1. Berdasarkan gambar 4.9, INP tertingginya dimiliki oleh
spesies Stachytarpeta indica dan Brachira raphtan. Maka nama komunitas berdasarkan
INP tertingginya ini yaitu Stachytarpeta Brachira. Indeks dominansi (pi2) yang dimiliki
keseluruhan spesies terbilang sangat rendah dan tidak ada yang melebihi 0.5, sehingga
dapat dikatakan tidak ada spesies dominan dalam struktur komunitasnya (Yuliana et. al.,
2012). Ketidakberadaan spesies dominan biasanya akan meningkatkan tingkat
keanekaragaman hayati komunitas. Nilai H’ yang diperoleh yaitu sebesar 2.119. Menurut
Krebs (1978), nilai ini menunjukkan tingkat keragaman hayati sedang, produktivitas
cukup, kondisi ekosistem cukup seimbang, dan tekanan ekologis sedang.
Derajat kesamaan vegetasi herba antara komunitas savana terbuka dan savana terinvasi
Acacia nilotica dapat dirumuskan menggunakan indeks kesamaan Sorensen sebagai
berikut:
2𝐶 2𝑥3
𝐼𝑠 = 𝑥 100% = 𝑥 100% = 31,579 %
𝐴+𝐵 10 + 9
37
Dengan A = jumlah spesies yang ditemukan pada komunitas savana terbuka (10 spesies)
, B = jumlah spesies yang ditemukan pada komunitas savana terinvasi Acacia nilotica (9
spesies), dan C = jumlah spesies yang ditemukan pada kedua komunitas (3 spesies). Dari
derajat kesamaan yang didapat yaitu sebesar 31,579 % maka dapat dikatakan bahwa
vegetasi di kedua komunitas tersebut cukup berbeda (Odum, 1996).
4.2 Analisis Mikroklimat & Edafik di Savana Terbuka dan Savana Terinvasi Acacia
nilotica
Berikut adalah hasil penelitian kondisi mikroklimat di savana terbuka dan savana
terinvasi Acacia nilotica :
Tabel 4.11 Kondisi mikroklimat di savana terbuka dan savana terinvasi Acacia nilotica
Lokasi Savana terbuka Savana terinvasi Acacia nilotica
Suhu 27.190 30.513
Kelembaban Rf udara (%) 74.893 76.155
Intensitas cahaya (Lux) 608.1 3980.667
5000,000
4500,000
4000,000
3500,000
3000,000 Savana terinvasi Acacia
2500,000 nilotica
2000,000
1500,000 Savana terbuka
1000,000
500,000
0,000
Suhu (oC) Kelembaban Intensitas
Rf udara (%) cahaya (Lux)
Gambar 4.10 Grafik perbandingan kondisi mikroklimat di savana terbuka dan terinvasi Acacia nilotica
Berdasarkan data penelitian tersebut, didapat nilai suhu udara, kelembaban udara
dan intensitas cahaya nya lebih tinggi pada savana terinvasi Acacia nilotica. Hal ini diduga
karena faktor waktu pengukuran mikroiklimat dan kondisi rona lingkungan. Savana terbuka
diukur pada waktu petang dengan kondisi sedikit tanaman hidup (kebanyakan mati) dan
tidak ada naungan/kanopi. Sementara savana terinvasi Acacia nilotica diukur pada waktu
sore hari dengan cuaca cerah berawan, dan kondisi lingkungan kanopi terbuka. Menurut
website resmi Taman Nasional Baluran (2014), berdasarkan klasifikasi Schmidt dan
Ferguson iklim di kawasan ini termasuk dalam kategori kering tipe F dengan temperatur
38
antara 27,2 – 30,9 °C dan kelembaban udara 77 %. Umumnya, vegetasi tumbuhan yang
terdapat pada kawasan savana ini adalah spesies yang mampu beradaptasi dengan kondisi
cuaca yang sangat kering seperti widoro bukol (Ziziphus rotundifolia), mimba (Azadirachta
indica), dan pilang (Acacia leucophloea). Terdapat pula spesies tumbuhan lain seperti asam
(Tamarindus indica), gadung (Dioscorea hispida), kemiri (Aleurites moluccana), gebang
(Corypha utan), api-api (Avicennia sp.), kendal (Cordia obliqua), manting (Syzygium
polyanthum), dan kepuh (Sterculia foetida) (Departemen Kehutanan, 2015).
Kemudian, untuk kondisi edafik di kawasan savana terbuka dan savana terinvasi Acacia
nilotica data penelitiannya adalah sebagai berikut:
Tabel 4.12 Kondisi edafik di savanna terbuka dan savanna terinvasi Acacia nilotica
Savana
Lokasi Savana terinvasi Acacia nilotica
terbuka
Suhu tanah 36.562 36.724
Kelembaban tanah 0.66 1.302
pH tanah 7.05 7.053
Kandungan air (%) 32.906 37.518
Materi organik (%) 33.547 31.241
Mineral (%) 66.453 68.7
Bulk density (g/cm3) 0.565016035 0.549038488
Kondisi suhu tanah dan pH tanah di kedua lokasi tidak begitu berbeda jauh dimana
suhu cukup tinggi, diduga karena pengaruh musim kemarau dimana kondisi tanah sangat
kering hingga retak-retak, dan pH tanahnya terhitung netral. Perbedaan yang cukup
signifikan terlihat pada kondisi kelembaban tanah, dimana pada savana terinvasi Acacia
nilotica kelembaban tanahnya lebih tinggi. Jika dihubungkan dengan isu kebakaran yang
sering terjadi dan pengamatan visual pada waktu penelitian dimana terlihat banyak
daerah yang recover sesudah kebakaran, maka wajar bila kelembaban di savana terbuka
lebih rendah karena tanahnya akan jauh lebih kering dibanding dengan savana yang
terinvasi Acacia nilotica, karena spesies ini tergolong tahan api.
Berdasarkan website resmi Taman Nasional Baluran (2014), kondisi edafik di
kawasan ini kaya akan mineral namun miskin terhadap bahan-bahan organik. Secara
kimiawi, tingkat kesuburannya cukup tinggi tapi secara fisik terlihat kurang baik,
39
sebagian besar berpori dan tidak dapat menyimpan air dengan maksimal. Kondisi edafik
savana umumnya mendukung pertumbuhan vegetasi berjenis Poaceae (rumput-
rumputan). Kemudian, bulk density kedua lokasi juga hampir sama dimana nilai ini
merupakan indikator penetrasi akar dan aerasi tanah. Bulk density atau bobot isi yang
mirip ini bisa menandakan bahwa invasi Acacia nilotica tidak begitu berpengaruh pada
tingkat kepadatan tanah. Jika dibandingkan dengan materi padat seperti batu, nilai bulk
density nya sebesar 2.65 g/cm3 (Michigan State University, 1998).. Maka, dapat
disimpulkan bahwa tingkat kepadatan edafik di kawasan ini terbilang sangat rendah. Hal
ini dapat terjadi karena pengaruh musim kemarau menyebabkan tanah kering dan rapuh,
sehingga jauh dari padat.
Tabel 4.13 Indeks nilai penting, indeks dominansi dan indeks keanekaragaman pohon di mangrove
Kb Rf ∑
NO Nama Spesies Kr Rf (%) Fr Rf (%) NP Pi PI2 ln Pi Pi (ln Pi)
(%) individu
1. Rhizophora mucronata 100 100 100 300 51 1 1 0 0
Jumlah 100 100 100 51 H' 0
350
300
Indeks Nilai Penting
250
200
Kb Rf (%)
150
Fr Rf (%)
100 Kr Rf (%)
50
0
Rhizopora mucronata
Nama Spesies
Berdasarkan data penelitian pada tabel 4.13, didapat bahwa komunitas pohon pada
mangrove jenis spesies yang terambil hanya Rhizophora mucronata dengan jumlah
individu 51, sehingga indeks nilai penting nya 300 dengan indeks dominansi (pi2) 1 dan
indeks keanekaragaman (H’) 0. Maka, dapat disimpulkan bahwa nama komunitas pada
40
mangrove berdasarkan vegetasi pohonnya yaitu Rhizophora. Dari data penelitian,
diperoleh indeks dominansi (pi2) pada Rhizophora mucronata sebesar 1 dan dapat
disimpulkan bahwa Rhizophora mucronata sangat dominan pada komunitas vegetasi
pohon di mangrove. Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner (H’) yang didapat yakni
senilai 0. Menurut Fitriana (2006), indeks keanekaragaman menunjukkan tingkat
keragaman hayati dalam suatu komunitas, dimana nilai ini turut mengindikasikan
kestabilan ekosistem. Kategori tingkat keragaman dan kondisi ekosistem berdasarkan
indeks Shannon-Wiener dikelompokkan oleh Krebs (1978) dalam tabel berikut:
Tabel 4.14 Tingkat keragaman dan kondisi ekosistem berdasarkan indeks Shannon-Wiener (H’)
Nilai H’ Keterangan
Kearagaman rendah, miskin, produktivitas rendah, tekanan
0 - 1.5
ekologi tinggi
Keragaman sedang, produktivitas cukup, kondisi
1,5 - 3,32
ekosistem cukup seimbang, tekanan ekologis sedang
Keragaman tinggi, produktivitas tinggi, kondisi
> 3,32
ekosistem stabil, tahan terhadap tekanan ekologis
∑
Kb Rf individu
NO Nama Spesies Kr Rf (%) Fr Rf (%) NP Pi Pi2 ln Pi Pi (ln Pi)
(%)
Rhizophora
1.
mucronata 100 100 100 300 17 1 1 0 0
Jumlah 100 100 100 300 17 H' 0
41
350
300
200
Kb Rf (%)
150
Fr Rf (%)
100
Kr Rf (%)
50
0
Rhizopora mucronata
Nama Spesies
Berdasarkan data penelitian pada tabel 4.15, didapat bahwa komunitas tiang pada
mangrove jenis spesies yang terambil hanya Rhizophora mucronata dengan jumlah
individu 17, sehingga indeks nilai penting nya 300 dengan indeks dominansi (pi2) 1 dan
indeks keanekaragaman (H’) 0. Maka, dapat disimpulkan bahwa nama komunitas pada
mangrove berdasarkan vegetasi tiangnya yaitu Rhizophora. Dari data penelitian,
diperoleh indeks dominansi (pi2) pada Rhizophora mucronata sebesar 1 dan dapat
disimpulkan bahwa Rhizophora mucronata sangat dominan pada komunitas vegetasi
tiang di mangrove. Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner (H’) yang didapat yakni
senilai 0. Berdasarkan tingkat keragaman dan kondisi ekosistem berdasarkan indeks
Shannon-Wiener (H’) yang dapat dilihat pada tabel 4.14 menyimpulkan bahwa tingkat
keragaman komunitas pohon di mangrove rendah, dan kondisi ekosistem
berproduktivitas rendah dengan tekanan ekologi yang tinggi.
Untuk hasil penelitian analisis vegetasi komunitas tiang di mangrove,berikut indeks
nilai penting,indeks dominansi dan indeks keanekaragaman semai di mangrove pada
tabel 4.16 :
Tabel 4.16 Indeks nilai penting, indeks dominansi dan indeks keanekaragaman semai di mangrove
Kb Rf ∑
NO Nama Spesies Kr Rf (%) Fr Rf (%) NP Pi Pi2 ln Pi Pi (ln Pi)
(%) individu
Rhizophora
1
mucronata 100 100 100 300 6 1 1 0 0
Jumlah 100 100 100 300 6 H' 0
42
350
300
Berdasarkan data penelitian pada tabel 4.16, didapat bahwa komunitas semai pada
mangrove jenis spesies yang terambil hanya Rhizophora mucronata dengan jumlah
individu 6, sehingga indeks nilai penting nya 300 dengan indeks dominansi (pi2) 1 dan
indeks keanekaragaman (H’) 0. Maka, dapat disimpulkan bahwa nama komunitas pada
mangrove berdasarkan vegetasi semainya yaitu Rhizopora. Dari data penelitian,
diperoleh indeks dominansi (pi2) pada Rhizophora mucronata sebesar 1 dan dapat
disimpulkan bahwa Rhizophora mucronata sangat dominan pada komunitas vegetasi
semai di mangrove. Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner (H’) yang didapat yakni
senilai 0. Berdasarkan tingkat keragaman dan kondisi ekosistem berdasarkan indeks
Shannon-Wiener (H’) yang dapat dilihat pada tabel 4.14 menyimpulkan bahwa tingkat
keragaman komunitas pohon di mangrove rendah, dan kondisi ekosistem
berproduktivitas rendah dengan tekanan ekologi yang tinggi.
Setelah dilakukan beberapa analisis terkait dengan kerapatan dan tutupan yang
terdapat pada mangrove Pantai Bama, dapat diambil kesimpulan bahwa status mangrove
dapat ditentukan dari presentase luas tutupan dan kerapatan mangrove yang hidup.
Kriteria baku kerusakan mangrove terbagi atas 3 parameter yaitu baik, sedang dan rusak.
Berikut merupakan tabel dari parameter tersebut:
Tabel 4.17 Kriteria baku kerusakan mangrove (KLH,2004)
Berdasarkan tabel 4.17 dan apabila dikaitkan dengan analisis rata-rata dari penutupan
dan kerapatan yang terdapat pada mangrove pantai Bama dapat diambil kesimpulan
bahwa kriteria hutan mangrove Pantai Bama adalah Baik. Hal ini dapat terjadi karena
43
persentase penutupan pada seluruh komunitas yang ada pada hutan mangrove Pantai
Bama bernilai 100% dan berkriteria baik (sangat padat). Selanjutanya, kerapatan yang
diambil dari hasil rata-rata kerapatan total pada setiap komunitas sebesar 1316,66
pohon/ha yang berkriteria baik (sedang). Maka dari itu kriteria hutan mangrove Pantai
Bama dikatakan baik.
Komunitas vegetasi yang terdapat pada hutan mangrove Pantai Bama baik pohon,
tiang ataupun semai adalah Rhizophora mucronata. Rhizophora mucronata ini dapat
tumbuh dan hidup sesuai dengan lingkungan yang mendukungnya. Menurut hasil
analisis, suhu yang didapat pada mikroklimat sebesar 29,99 oC hal ini sesuai karena
menurut Hutchings dan Saenger (1987) Rhizophora mucronata dapat hidup dan tumbuh
pada suhu sekitar 26-29 oC. Selanjutnya, pH tanah yang sesuai untuk Rhizophora
mucronata berkembang hidup berkisar 4,6-6,5 (Arief, 2003) serta hasil analisis yang
didapat pH tanah yang didapat adalah 5,73 maka dari itu Rhizophora mucronata dapat
berkembang dengan baik. Kemudian, faktor penting lainnya agar Rhizophora mucronata
dapat tumbuh dengan baik adalah dengan intesitas cahaya yang cukup tinggi (Arief,
2003) dan hasil analisis yang didapat intensitas cahaya sebesar 3730,333 lux.Dari faktor-
faktor diatas, terlihat bahwa pertumbuhan dan perkembangan Rhizophora mucronata
baik karena parameter dan hasil analisis data sesuai dengan literatur yang ada.
Dari pengukuran mikroklimat yang sudah dilakukan, didapatkan suhu rata-rata sebesar
29,99oC. Pengukuran suhu dilakukan pada sore hari menjelang malam maka dari itu suhu
rata-rata yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan dengan pengambilan data pada siang
hari. Kemudian, kelembaban udara rata-rata sebesar 82,3%. Kelembaban ini cukup tinggi
yang disebabkan karena terjadinya penguapan air pada permukaan tanah dan
44
menyebabkan kondisi lingkungan sekitar yang kering karena didukung pula dengan data
intensitas cahaya yang tinggi sebesar 3730,333 lux.
Berikut merupakan hasil rata-rata dari parameter edafik pH, suhu, Kelembapan di
vegetasi hutan mangrove:
Tabel 4.19 Parameter edafik pH, suhu, kelembapan rata-rata hutan mangrove
Dari pengukuran parameter edafik yang sudah dilakukan, didapatkan suhu rata-rata
tanah sebesar 29,004oC. Tingkat kekeringan suatu daerah dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti suhu tanah. Suhu permukaan tanah sangat berpengaruh terhadap pasokan
air di dalam tanah. Apabila suhu tanah tinggi, pasokan air pun menipis dan organisme-
organisme sekitar sulit mendapatkan nutrisi. Suhu permukaan tanah merupakan
parameter kunci keseimbangan energi pada permukaan (Prasasti, 2004). Suhu tanah
yang terdapat pada vegetasi mangrove relatif rendah dibanding vegetasi lainnya karena
terdapat tutupun yang lebih banyak dibanding vegetasi lainnya di Taman Nasional
Baluran menyebabkan suhu tanah pun rendah. Pengukuran suhu dilakukan pada saat sore
hari. Kemudian, kelembaban tanah rata-rata sebesar 76.83%. Kelembaban tanah
merupakan jumlah air yang tersimpan di antara pori-pori tanah dan kelembapan tanah
yang sangat dinamis, hal ini disebabkan oleh penguapan melalui permukaan tnah,
transpirasi dan perkolasi (Suyono dan Sudarmadi, 1997). Selanjutnya pH, pH rata-rata
tanah di vegetasi mangrove adalah 5,73 pH ini cukup asam. Pengaruh terbesar yang
umum dari pH terhadap pertumbuhan tanaman adalah pengaruh terhadap ketersediaan
unsur hara. Keasaman pH tanah menentukan keberadaan unsur hara dalam tanah tersebut
(Sunarko, 2009). pH yang asam dapat menyebabkan perkembangan yang baik untuk
pertumbuhan generatif dan vegetatif dari tumbuhan.
45
Tabel 4.20 Parameter edafik dari rata-rata kandungan organik, kandungan anorganik, bulk density, dan
kandungan air
Berdasarkan tabel 4.20 terlihat bahwa hasil pengukuran bulk density sebesar 0.481
g/cm3 dimana menurut Michigan State University (1998), bulk density batu sebesar 2.65
g/cm3 dan hal ini menunjukan bahwa bulk density di vegetasi hutan mangrove kurang
padat karena selisih nilai bulk density pada literatur cukup jauh dibandingkan dengan
analisis yang didapat. cukup padat. Kemudian mineral yang terdapat pada vegetasi
mangrove sebesar 92.008%. Kandungan mineral ini mendekati 100% karena
berhubungan dengan salinitas air laut yang kaya akan mineral. Selanjutnya, kandungan
organik yang dianalisis sebesar 7.991%. Kandungan organik ini lebih kecil dibanding
kandungan anorganik, salinitas air laut yang terdapat pada hutan mangrove
menyebabkan sulitnya tumbuhan lain untuk tumbuh selain tumbuhan yang dapat
beradapatasi dengan air laut. Terakhir, terdapat kandungan air sebesar 73,783%. Nilai
kandungan air cukup tinggi karena letak hutan mangrove berada pada pesisir pantai dan
menyebabkan kandungan air tinggi.
46
1,2
0,8
0,6
0,4
Kerimbunan Relatif
0,2 Frekuensi Relatif
Cymodocea…
Syringodium…
Halomeda sp.
Halodule uninervis
Halimeda discoidea
Cymodocea serrulata
Cymodocea serrulata
Enhalus acoroides
Thalassia hemprichii
Halophila ovalis
Halophila decipiens
Gambar 4.14 Indeks nilai penting spesies lamun di Pantai Bama
Untuk komunitas padang lamun, spesies yang memiliki INP tertinggi adalah Enhalus
acoroides yaitu 0,356 % dan Thalassia hemprichii yaitu 1,149 %. Jadi dapat
disimpulkan bahwa komunitas spesies lamun di Pantai Bama adalah Thalassia –
Enhalus. Thalassia hemprichii merupakan spesies lamun yang dapat ditemukan di
perairan yang memiliki kedalaman kurang dari 10 m dan termasuk famili
Hydrocharitaceae. Spesies ini hidup dan mendominasi spesies padang lamun di bagian
barat timur Samudra Hindia dan bagian barat Samudra Pasifik (Lin dan Shao,1998) dan
Pantai Bama di Taman Nasional Baluran adalah perairan yang termasuk dari kawasan
Samudra Hindia (Juniarsa et.al, 2013). Menurut Larkum dan Den Hartog (1989) lamun
jenis Thalassia hemprichii memiliki morfologi rimpang yang tebal dan dan kokoh
sehingga memungkinkan untuk tumbuh pada substrat yang bervariasi.
Enhalus acoroides merupakan spesies lamun yang berukuran besar namun
pertumbuhannya cenderung lambat dan berasal dari famili Hydrocharitaceae dapat
ditemukan hampir di seluruh perairan di Indonesia. Spesies ini dapat membentuk padang
lamun tunggal maupun berasosiasi dengan jenis spesies lainnya (Tomascik et al, 1997).
Lamun Enhalus acoroides memiliki perakaran yang kuat sehingga berfungsi sebagai
pengikat sedimen dan menyerap nutrien dalam substrat (Susetiono, 2004).
Indeks keanekaragaman dari padang lamun adalah 1,175 yang mengindikasikan
bahwa tingkat keanekaragaman spesies lamun di Pantai Bama adalah menengah
(Shannon-Wienner,1963) sedangkan indeks dominansi Simpson dari padang lamun ini
adalah 0,45 yang mengindikasikan bahwa tidak ada spesies lamun yang mendominasi di
47
Pantai Bama (Simpson,1949). Persentase penutupan lamun tertinggi dimiliki oleh spesies
Thalassia hemprichii. Berikut gambar 4.15 yang menunjukkan persentase penutupan
lamun per spesies di Pantai Bama, Taman Nasional Baluran:
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0 Persentase tutupan lamun
Enhalus acoroides
Cymodocea serrulata
Thalassia hemprichii
Halophila ovalis
Halomeda sp.
Cymodocea rotundata
Syringodium…
Cymodocea serrulata
Halodule uninervis
Halophila decipiens
Halimeda discoidea
Gambar 4.15 Persentase penutupan per spesies lamun di Pantai Bama
Sedangkan jumlah total persentase penutupan lamun adalah 45,321 % sehingga dapat
disimpulkan bahwa status padang lamun di Pantai Bama adalah kurang kaya (KLH,
2004). Berdasarkan parameter fisika-kimia di lampiran rata-rata suhu air adalah 28,567
°C dan menurut Frediksen et,al (2000) lamun dapat tumbuh optimal pada suhu 28°C-
30°C sedangkan rata-rata nilai salinitasnya adalah 35 ppt (Dahuri, 2001) dan hasil
pengukuran fisika-kimia dari penelitian ini adalah 34,6 ppt. Penurunan salinitas pada
habitat lamun akan mengurangi kemampuan lamun untuk berfotosintesis dan arus air laut
sangat memengaruhi fluktuasi konsentrasi salinitas dan suhu air (Dahuri, 2001). Nilai pH
juga merupakan salah satu faktor penting yang memengaruhi produktivitas perairan
(Gacia dan Duarte, 2001). Rata-rata nilai pH pada penelitian ini adalah 8,071 sedangkan
nilai derajat keasaman (pH) optimum untuk pertumbuhan lamun berkisar 7,3-9,0 (Burrell
& Schubell 1977). Keberadaan biota lamun sangat dipengaruhi juga oleh parameter
fisika-kimia.Berikut grafik kerapatan dan kelimpahan relatif biota padang lamun :
48
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5 Kr Relatif
0
Kl relatif
Vasum turbinelus
Diadema setosum
Holothuria leucospilota
Liomera venosa
Holothuria arta
Gambar 4.16 Kelimpahan dan kerapatan relatif biota lamun di Pantai Bama
Gambar 4.16 menunjukkan bahwa kelimpahan dan kerapatan relatif tertinggi dari
biota lamun adalah Holothuria arta. Spesies ini termasuk dari famili Holothuridae dan
kelimpahan dan keanekaragamannya sangat tinggi di kawasannya Indo-Pasifik
(Conand,1993). Habitat spesies ini adalah pada perairan dangkal yaitu kurang dari 10 m
dan pada substrat yang berpasir serta terdapat pecahan karang (Purton,2012). Holothuria
atra merupakan komunitas spesies bentik penting pada ekosistem pantai yang dapat
menyebabkan perubahan komposisi sedimen dari dasar laut (Michio et al,2003) selain itu
spesies ini juga berperan sebagai pendaur materi anorganik dalam sehingga stabilitasi
konsentrasi oksigen terlarut tetap terjaga (Uthicke dan Karez ,1999). Konsentrasi materi
organik,karbon organik dan nitrogen terlarut yang tinggi adalah habitat yang optimum
bagi Holothuria arta (Conand,1993). Hal ini sesuai dengan data fisika-kimia yang
terlampir pada plot 3,4,7 dan 8, bahwa konduktivitas airnya cenderung lebih tinggi
daripada plot lainnya dimana konduktivitas air dipengaruhi oleh kandungan materi
organik dan anorganik terlarut (EPA,2012)
49
ekosistem, akan menciptakan relung yang lebih bervariasi sehingga menciptakan
kesempatan yang lebih besar agar berbagai jenis burung hidup bersama (Hadinoto et al.,
2012). Keanekaragaman dan kelimpahan burung di Taman Nasional Baluran diamati di
dua ekosistem hutan yang berbeda, yaitu hutan pantai dan hutan evergreen. Pengamatan
burung di lokasi hutan pantai Bama (tepatnya di Birdwatching Trail) dilakukan pada
tanggal 4 November 2015 pukul 16.30-17.30. Pengamatan burung di lokasi hutan
evergreen dilakukan pada tanggal 5 November 2015 pukul 05.15-06.30. Menurut Bibby,
et al. (1998), pemilihan waktu pengamatan harus didasarkan pada waktu aktif burung
agar kemungkinan perjumpaan dengan burung semakin tinggi. Pagi hari merupakan
puncak aktifitas burung-burung hutan dalam mencari makan dan berkicau, yaitu sekitar
pukul 05.00-06.00. Sore hari sekitar pukul 17.00 merupakan puncak aktifitas burung
kedua karena banyak burung yang kembali pulang ke sarang masing-masing (Bibby et
al., 1998).
Metode Point Counting dengan interval waktu per 10 menit selama 6 periode
dilakukan untuk menghitung komunitas burung yang ditemukan di titik-titik pengamatan
di dua ekosistem hutan, ditemukan 25 spesies burung di lokasi Birdwatching Trail di
hutan pantai Bama dan 51 spesies burung di hutan evergreen. Kelimpahan burung di
kedua ekosistem dalam enam periode pengamatan dapat dilihat di grafik pada Gambar
4.17 (a) dan (b) di bawah ini dan juga spesies-spesies yang muncul di setiap interval
waktu pengamatan.
80
Collocalia linchi
Anthracoceros albirostris
60 Ducula aerea
Hemipus hirundinaceus
Strereoranus
Merops leschenaulti
Corvus enca
Artamus leucorynchus
40
Treron bicincta
Padda orizyvora
Sturnus melanopterus
Merops philippinus
Pavo muticus
20 Hirundo rustica
Streptopelia chinensis
Halycon chloris
Lanius schach
Hydrochous gigas
Gallus varius
0 Alcedo coerulenscens
0-10' 10-20' 20-30' 30-40' 40-50' 50-60'
50
Hemipus hirundinaceus
140 Collocalia linchi
Zosterops palpebrosus
Lonchura leucogastroides
Pericrocotus cinnamomeus
120 Dicaeum trochileum
Pericrocotus flammeus
Rhipidura javanica
Anthracoceros albirostris
Pycnonotus goiavier
100 Macronous flavicollis
Pericrocotus sp.
Picus puniceus
Lalage sueurii
80 Columba argentina
Dicrurus macrocercus
Hirundo tahitica
Streptopelia bitorquata
Pycnonotus aurigaster
60 Pellorneum capistratum
Ducula aenea
Sitta frontalis
Pycnonotus simplex
40 Coracina javensis
Gallus gallus
Cuculus saturatus
Corvus enca
Gallus varius
20 Streptopelia chinensis
Dicrurus leucophaeus
Orthotomus sutorius
Merops leschenaulti
0 Hemiprocne longipennis
0-10' 10-20' 20-30' 30-40' 40-50' 50-60' Lalage nigra
Falco sp.
(b)
Gambar 4.17 Kelimpahan burung per interval waktu di (a) hutan pantai Bama Birdwatching Trail dan (b)
hutan evergreen
Dari Gambar 4.17 (a) dan (b), dapat dilihat kelimpahan jumlah burung dikedua
lokasi pengamatan mencapai titik tertinggi pada periode ketiga, yaitu pada menit ke 20-
30 dan menurun pada periode berikutnya. Terdapat 61 individu burung yang muncul
pada periode ketiga di lokasi pengamatan hutan pantai dan sebanyak 132 individu
burung yang muncul di periode ketiga. Secara sekilas, dapat dilihat bahwa jumlah
burung yang muncul di hutan evergreen selama pengamatan jauh lebih banyak dibanding
di hutan pantai dengan total 426 individu burung di hutan evergreen dan 234 individu
burung di hutan pantai.
Kelimpahan relatif spesies per interval waktu pengamatan di hutan pantai dan hutan
evergreen dapat digunakan untuk mengetahui spesies burung manakah yang paling
tinggi kelimpahannya. Kelimpahan relatif sangat dipengaruhi oleh jumlah individu dari
masing-masing jenis burung yang dijumpai selama pengamatan (Rusmendro, 2009).
Grafik kelimpahan relatif spesies dapat dilihat pada Gambar 4.18 (a) dan (b) di bawah
ini.
51
0,000
1,000
2,000
3,000
4,000
5,000
6,000
7,000
8,000
9,000
10,000
Hemipus hirundinaceus
Collocalia linchi
Zosterops palpebrosus
Lonchura leucogastroides
Pericrocotus cinnamomeus
0,000
5,000
10,000
15,000
20,000
25,000
30,000
35,000
Dicaeum trochileum
Pericrocotus flammeus
Rhipidura javanica Collocalia linchi
Anthracoceros albirostris
Anthracoceros albirostris
Pycnonotus goiavier
Macronous flavicollis Ducula aerea
Pericrocotus sp. Hemipus hirundinaceus
Picus puniceus
Lalage sueurii Strereoranus
Columba argentina Merops leschenaulti
Dicrurus macrocercus
Hirundo tahitica Corvus enca
Streptopelia bitorquata Artamus leucorynchus
Pycnonotus aurigaster
Pellorneum capistratum
Treron bicincta
Ducula aenea Padda orizyvora
Sitta frontalis
Sturnus melanopterus
Pycnonotus simplex
Coracina javensis (a) Merops philippinus
(b)
Gallus gallus Pavo muticus
Cuculus saturatus
Corvus enca Hirundo rustica
Gambar 4.18 Kelimpahan relatif spesies burung per 10 menit di (a) hutan pantai Bama Birdwatching Trail dan
hirundinaceus dengan nilai kelimpahan relatif sebesar 8,92% dan diikuti oleh spesies
dipengaruhi oleh ketersediaan pakan, kondisi habitatnya, serta faktor abiotik lainnya
(Bibby et al., 1998). Dapat disimpulkan bahwa hutan pantai memiliki kondisi habitat
Dapat dilihat dari Gambar 4.18 (a) dan (b) di atas bahwa spesies burung yang paling
Collocalia linchi dengan nilai kelimpahan relatif sebesar 8,451%. Kelimpahan burung
spesies yang memiliki kelimpahan yang tertinggi per interval 10 menit adalah Hemipus
dengan nilai kelimpahan relatif sebesar 15,385%. Sedangkan di lokasi hutan evergreen,
kelimpahan relatif sebesar 32,479% dan diikuti oleh spesies Anthracoceros albirostris
melimbah per interval 10 menit di hutan pantai adalah Collocalia linchi dengan nilai
52
Larius schach
Orthotomus ruficeps
Parus major
yang bagus untuk burung sehingga kelimpahan burung di hutan evergreen lebih tinggi
dibanding hutan pantai.
2,5 2,328
1,5
0,5
0,158
0,045
0
Indeks Keanekaragaman (H') Indeks Dominansi (D)
Gambar 4.19 Perbandingan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) dan indeks dominansi Simpson
(D) antara hutan pantai dan hutan evergreen
53
Hutan evergreen memiliki keanekaragaman spesies burung yang tinggi dibanding
hutan pantai. Hal ini kemungkinan karena hutan evergreen memiliki komposisi vegetasi
yang lebih beragam dibanding hutan pantai. Semakin beragamnya komposisi vegetasi di
ekosistem, semakin banyak pula sumber makanan dan relung yang dapat dimanfaatkan
oleh hewan (Molles, 2008). Menurut Setiawan et al. (2006), keanekaragaman jenis
burung berkorelasi secara positif atau searah dengan keanekaragaman jenis vegetasi.
Spesies yang mendominansi di hutan pantai merupakan walet linchi (Collocalia linchi)
karena memiliki kelimpahan relatif paling tinggi diantara spesies lainnya. Spesies burung
yang mendominansi kedua di hutan pantai adalah kangkareng perut putih (Anthracoceros
albirostris). Kedua spesies ini mendominasi di ekosistem hutan pantai karena kondisi
lingkungannya sangat cocok bagi tempat tumbuh dan berkembangnya (Bibby et al.,
1998). Selain itu, kedua jenis burung ini sangatlah mudah dijumpai, sehingga nilai
kelimpahannya tinggi sehingga memengaruhi nilai indeks dominansi. Spesies yang
paling mendominansi di hutan evergreen adalah spesies Hemipus hirundinaceus
kemudian diikuti oleh spesies Collocalia linchi karena memiliki nilai kelimpahan relatif
kedua tertinggi. Kedua spesies ini mendominansi karena memiliki kondisi habitat yang
sangat cocok unutk kedua spesies ini (Bibby et al., 1998).
Menurut Winnasis et al. (2009), Collocalia linchi atau walet linchi merupakan burung
yang sangat aktif sepanjang hari sehingga sangat umum serta sangat mudah dijumpai di
seluruh kawasan Taman Nasional Baluran. Memiliki ukuran tubuh kecil yaitu sekitar 10
cm dan memiliki tubuh bagian atas berwarna hitam kehijauan buram, tubuh bagian
bawah berwarna abu-abu jelaga dengan perut keputih-keputihan dan ekor sedikit
bertakik. Habitat walet linchi tersebar di daerah hutan, tempat terbuka, tebing-tebing,
serta bangunan (Mackinnon et al., 2010). Kondisi lingkungan di hutan pantai Bama
merupakan lokasi terbaik untuk menemukan berbagai macam burung karena memiliki
banyak tipe habitat yaitu dekat dengan hutan mangrove, pesisir pantai, dan dekat dengan
hutan musim. Daerah seperti ini sangat cocok bagi Walet Linchi karena merupakan
daerah terbuka dan terdapat hutan juga sebagai tempat mencari makan sehingga walet
linchi sangat mudah dijumpai dan sangat melimpah di daerah ini. Di hutan evergreen
juga sangat mudah dijumpai walet linchi yang bertebangan kian kemari untuk mencari
makan karena kawasan hutan ini memang sangat sering disinggahi burung karena
vegetasinya masih hijau dibanding hutan lain (Winnasis et al., 2009).
54
Kangkareng perut putih juga merupakan burung yang sangat umum dijumpai di
kawasan Tamna Nasional Baluran dan tersebar di sekitar hutan pantai, hutan musim,
dataran tinggi serta dataran rendah. Burung ini menyukai tempat terbuka sebagai
habitatnya seperti di pinggir hutan, hutan bekas tebangan, serta hutan sekunder. Ukuran
burung yang termasuk besar (sekitar 45 cm) membuatnya mudah terlihat oleh pengamat.
Kebiasaan kangkareng perut putih yang suka berkelompok dalam mencari makan dan
suka bertengger di atas pohon juga membuat perjumpaan dengan burung ini semakin
tinggi dan mudah diamati. (Mackinnon et al., 2010). Lingkungan hutan pantai
merupakan kondisi yang sangat cocok bagi kangkareng perut putih karena banyak
vegetasi yang merupakan sumber pakannya dan banyak pohon untuk tempat bertengger
dan tidur (Hadinoto et al., 2012).
Menurut Winnasis et al. (2009), burung jingjing batu (Hemipus hirundinaceus)
merupakan burung yang umum sehingga mudah dijumpai di kawasan Taman Nasional
Baluran. Habitat burung jingjing batu tersebar di hutan musim dan hutan pantai Bama,
yaitu daerah hutan dataran rendah dserta perbukitan. Memiliki morfologi yang berukuran
kecil (sekitar 15 cm) dan berwarna hitam dan putih. Iris jingjing batu berwarna coklat
dengan paruh hitam dan kaki hitam pula. Pada pagi hari, sering bersuara “ciit-wiit-wiit-
wiit” sambil melompat-lompat dari dahan ke dahan. Kondisi hutan evergreen yang
memiliki banyak vegetasi dan termasuk lebat merupakan tempat yang cocok bagi
Hemipus hirundinaceus sehingga memungkinkan burung ini dapat hidup dengan baik
dan memiliki kelimpahan yang tinggi dibanding burung lainnya di hutan evergreen
(Winnasis et al., 2009). Ketiga burung ini (walet lichi, kangkareng perut putih, dan
jingjing batu) sama-sama memiliki puncak waktu aktif yang sama, yaitu pada pagi hari
dan sore hari (Bibby et al., 1998).
Dari kedua ekosistem ini (hutan pantai Bama dan hutan evergreen), memiliki indeks
kesamaan Sorensen sebesar 31,579%. Nilai ini menunjukkan adanya tingkat kesamaan
antara komposisi komunitas di kedua ekosistem (Spellerberg, 2005). Hal ini
menunjukkan adanya kesamaan komunitas burung sebesar 31,579% antara dua
ekosistem hutan tersebut. Indeks kesamaan ini dipengaruhi oleh kelimpahan spesies di
kedua ekosistem (Spellerberg, 2005).
4.7 Analisis Struktur Floristik dan Fisiognomi Hutan Musim
Dari pembuatan plot di hutan musim dengan koordinat 7o 50’ 53,7’ dan 114o 25’ 44’ ,
dapat digambarkan diagram profilnya dengan mengambil skala sebesar 1 : 100. Pada
pengamatan di hutan musim, didapatkan 12 individu pohon, dengan 6 jenis spesies yang
55
berbeda. Nama-nama pohon yang ditemukan di hutan musim dapat dilihat pada halaman
lampiran. Gambar diagram profil tampak vertikal dan tampak horizontal terlampir
Dari pengukuran mikroklimat yang sudah dilakukan, didapatkan suhu rata-rata sebesar
31.41oC. Pengukuran suhu dilakukan pada saat pagi hari sekitar pukul 08.00 pagi. Suhu
akan terus meningkat sampai siang hari. Kemudian, kelembaban udara rata-rata sebesar
71.43%. Kelembaban yang cukup tinggi ini disebabkan karena terjadi penguapan semua air
yang ada di permukaan tanah dan menyebabkan lingkungan menjadi sangat kering (Utah
State University,2008). Hal ini didukung dengan intensitas cahaya rata-rata yang tinggi
yaitu sebesar 38669.6 lux,sehingga rona lingkungan di hutan musim dapat dideskripsikan
adalah banyak tanaman yang meranggas akibat kekeringan, banyak serasah, kanopi sedikit
dan hampir tak ada, serta tanah gersang.Kondisi cuaca yang teramati adalah panas, terik,
kering, dan tidak ada angin.
Selain pengukuran mikroklimat, dilakukan juga pengukuran edafik di hutan musim.
Berikut adalah tabel 4.22 dan gambar 4.20 yang menampilkan hasil pengukuran edafik :
Suhu 32.19oC
Kelembaban Tanah 0.7%
PH Tanah 7.01
Bulk density 0.65 g/cm3
56
70
60
50
Persentase
40
30
20
10
0
Kandungan Air Materi Organik Mineral
Series1 16,47795711 41,76102145 58,23897855
Suhu tanah yang diukur sebesar 32.19 oC tidak berbeda jauh dengan suhu udara
sebelumnya. Hal ini menunjukkan suhu udara memengaruhi suhu tanah. Suhu udara
juga akan memengaruhi kelembaban tanah. Dapat dilihat bahwa di hutan musim,
kelembaban tanahnya hanya sebesar 0.7%. Pengukuran dilakukan pada saat musim
kemarau yang panjang sehingga kandungan air di dalam tanah menurun. Menurut Abbas
et al (1995) benih pohon dapat tumbuh dan berkecambah dengan suhu maksimal 30oC.
Jika dilihat dari kondisi suhu tanah di hutan musim saat kemarau yang lebih dari 30oC,
maka dapat dipastikan, akan jarang sekali benih-benih baru yang tumbuh di hutan
musim. Tanah yang terlalu panas akan menghambat pertumbuhan dari pohon itu sendiri.
Selain itu, kelembaban tanah di hutan musim hamper nol yaitu hanya sebesar 0.7%.
Sehingga pohon-pohon yang ada di hutan musim melakukan penyesuaian diri dengan
cara meranggas. Akibatnya, terdapat banyak tumbuhan serasah di tanah.
Namun, pH yang dimiliki tanah di hutan musim sebesar 7.01. Hutan musim memiliki
pH yang normal, sehingga tanah ini cocok ditanami pepohonan. Vegetasi yang dimiliki
oleh hutan musim diantaranya adalah terdapat 98 individu dari 16 spesies berbeda yang
diukur pada 10 plot. Pohon tertinggi dimiliki spesies Cordia sp yang memiliki tinggi
hingga 26.05 meter. Pengukuran selanjutnya adalah bulk density. Bulk density adalah
berat massa tanah per satuan volume tertentu, sehingga menunjukkan kepadatan tanah.
Semakin padat suatu tanah, semakin tinggi bulk density-nya sehingga semakin sulit
57
meneruskan air atau ditembus oleh akar tanaman (USDA,2005). Bulk density di hutan
musim sebesar 0.65 g/cm3 sedangkan bulk density pada batu adalah sebesar 2.65 g/cm3
(Michigan State University, 1998).Hal ini menunjukkan perbedaan yang sangat besar
antara kepadatan batu dengan tanah yang dimiliki hutan musim sehingga dikatakan
bahwa massa tanah pada keadaan kering sangat kecil dibandingkan dengan volumenya.
Kecilnya nilai bulk density dapat disebabkan oleh tingginya kandungan organik yang
dibuktikan pada grafik. Selain itu, dari morfologi tanah yang di cuplik, tanah di hutan
musim memiliki pori-pori yang terlihat jelas sehingga kepadatan tanahnya menjadi
sangat kecil.
Selanjutnya adalah kandungan materi organik, anorganik, dan kandungan air pada
tanah. Kandungan materi organik sebesar 41.76% sedangkan menurut Boundless (2015)
kandungan organik yang ideal adalah sebesar 5% sehingga dapat dipastikan terdapat
banyak sekali kandungan organik yang dihasilkan dari serasah yang jatuh ke tanah.
Namun, karena suhu yang terlalu panas, mikroorganisme pengurai mati sehingga
kandungan organik yang didapatkan sangat tinggi selanjutnya adalah materi anorganik di
hutan musim didapatkan sebesar 58.23%. Persentase ini termasuk tinggi, hal ini dapat
disebabkan banyaknya bahan organik yang telah dikomposisi selama sebelum musim
kemarau dan tersimpan di dalam tanah. Sedangkan untuk kandungan air sebesar 16%.
Kondisi ini menunjukkan bahwa kandungan air di tanah hutan musim lebih rendah dari
yang seharusnya yaitu sebesar 25%. Namun, dengan rendahnya kandungan air di hutan
musim, pohon di hutan musim masih dapat menyesuaikan diri dengan cara meranggas.
58
4.9 Analisis Keberadaan Mamalia Malam
Untuk analisis keberadaan mamalia malam.Berikut gambar 4.21 adalah hasil
pengamatan mamalia malam di savana Bekol:
Jumlah Individu 20
15
10
5
0
1 2 3 4
Titik Pengamatan
Pada gambar 4.21 terlihat jumlah spesies yang ditemukan selama pengamatan pada 4
titik. Dari keempat titik yang berada di savana bekol, terlihat bahwa spesies Cervus
timorensis paling banyak ditemukan. Pada titik 1 ditemukan 12 individu, titik ke 2
dengan 14 individu, titik ke 3 dengan 12 individu, dan titik ke 4 dengan 1 individu.
Cervus timorensis merupakan mamalia yang lebih aktif pada siang hari, daripada malam
hari. Namun hewan tersebut dapat teradaptasi menjadi hewan yang aktif pada malam hari
bila kondisinya sedang terganggu (Thohari et al., 1991). Selain itu menurut Garsetiasih
(1996) habitat yang disukai oleh C.timorensis adalah hutan yang terbuka, padang
rumput, semak, dan savana, maka dari itu di savana bekol masih dapat dijumpai sekitar
39 individu, spesies C.timorensis. Dari 4 titik pengamatan, 3 diantara dijumpai spesies
C.timorensis yang hidupnya berkoloni sekitar 12-14 individu. Menurut Jacoeb dan
Wiryosuhanto (1994), spesies C.timorensis hidupnya sering kali berkelompok dan
mempunyai daerah teritorial sendiri – sendiri antara kelompok yang satu dengan
kelompok yang lainnya.
Selain C.timorensis, ditemukan juga spesies Paradoxorus hermaphroditus.
P.hermaphroditus ditemukan pada titik pertama sebanyak 4 individu. Spesies
P.hermaphroditus dapat hidup di beberapa habitat, diantaranya di daerah temperata dan
hutan tropis. Namun tidak jarang spesies ini ditemukan di taman dan kebun, selain itu
spesies P.hermaphroditus termasuk spesies yang aktif pada malam hari (nokturnal), dan
hidupnya sering kali menyendiri (soliter) (Duckworth et al., 2011). Dalam pengamatan
ini, spesies P.hermaphroditus ditemukan sedang aktif berlari di padang savana.Spesies
59
Bubalus bubalis juga ditemukan pada pengamatan mamalia kali ini. Spesies tersebut
ditemukan pada titik pertama yang berjumlah 1 individu. Kerbau yang ditemukan di
Taman Nasional Baluran adalah jenis Kerbau Lumpur. Ciri dari kerbau lumpur adalah
memiliki warna kulit abu-abu keputihan, dan menjadi kehitaman setelah mereka dewasa,
tanduk kerbau yang berbentuk lengkungan setengah lingkarang dan memiliki ciri lain
suka berkubang di lumpur untuk menstabilkan suhu tubuhnya di musim kemarau. Selain
itu, dalam aktivitas kesehariannya, Bubalus bubalis membentuk kelompok bila dalam
kondisi ada gangguan. Namun tidak jarang kerbau juga ditemukan tidak dalam kelompok
(soliter)(Kampas, 2008). Sehingga masih relevan bila dalam pengamatan mamalia
malam hanya ditemukan 1 individu Bubalus bubalis.
61
Terumbu karang dapat tumbuh dengan optimum pada perairan dengan suhu rata-rata
tahunan sekitar 23-250C. Namun terumbu karang masih dapat hidup dengan toleransi
suhu hingga 36-400C (Wells dalam Nybakken, 1992). Selain suhu, hidupnya terumbu
karang juga dipengaruhi olrh salinitas perairan. Menurut Nybakken (1992) terumbu
karang masih dapat dijumpai di teluk Persia yang salinitas air lautnya mencapai 42 ppt.
Suhu yang terukur pada zona non translplantasi lebih tinggi (31,30C) dibandingkan
dengan zona transplantasi (29,40C) namun suhu air di kedua zona tersebut masih dalam
kisaran toleransi bagi terumbu karang untuk hidup. Kadar salinitas air terukur sebesar 33
ppm yang artinya masih tergolong sesuai untuk menunjang keberadaan terumbu karang.
Terumbu karang yang merupakan interaksi antarbiota laut tentu membutuhkan oksigen
untuk menghasilkan energi. Oksigen terlarut yang terukur pada zona transplantasi (10,75
ppm) lebih besar jika dibandingkan dengan yang terukur di zona non transplantasi (10,28
ppm). Kadar oksigen terlarut dipengaruhi oleh arus laut sehingga dapat dikatakan jika
kuatnya arus di kedua zona seragam karena hanya terdapat sedikit perbedaan pada
besarnya kadar oksigen terlarut. Arus juga berperan dalam pendistribusian nutrien bagi
terumbu karang dan dapat mencegah pengendapan. Selain memproduksi energi dari
nutrient yang terbawa arus, hewan karang dapat memanfaatkan energi yang dihasilkan
oleh zooxanthel yang berfotosintesis. Karena itu, secara tidak langsung keberadaan
hewan karang juga bergantung pada turbiditas air laut. Turbiditas air yang tinggi akan
menyebabkan penetrasi cahaya matahari berkurang dan hasil fotosintesis zooxanthel
tidak optimal. Semakin tinggi intensitas cahaya yang diterima oleh terumbu karang akan
membuat luas permukaan terumbu karang bertambah dan membentuk formasi plate atau
tabulate. Selain intensitas cahaya, arus, gelombang dan sedimen juga berpengaruh
terhadap bentuk terumbu karang. Dengan arus dan gelombang yang cukup besar,
terumbu karang yang tumbuh umumnya bulat dengan lebih sedikit percabangan dan
permukaan horizontalnya besar. Dan pada daerah laut yang sedimentasinya rendah,
terumbu karang yang tumbuh berupa plate atau tabulate. Berdasarkan pengamatan,
terumbu karang dengan bentuk plate lebih banyak terdapat pada zona transplantasi yang
menandakan jika zona transplantasi memiliki turbiditas yang lebih rendah dari zona non
transplantasi yang mengakibatkan cahaya matahari dapat masuk ke dalam perairan.
Terdapatnya terumbu karang plate juga mengindikasikan jika sedimentasi di zona
62
transplantasi dan non transplantasi tergolong rendah, namun tingkat seimentasi lebih
rendah di zona transplantasi.
Selain ditemukan terumbu karang plate dan tabulate, terumbu karang Acropora juga
lebih banyak ditemukan di zona transplantasi. Acropora merupakan jenis terumbu karang
yang dapat tumbuh dengan cepat, hal tersebut menjadi alasan untuk menjadikan
acropora sebagai terumbu karang transplan. Acropora akan tumbuh dengan baik dan
melimpah pada perairan yang berarus sedang, penetrasi cahaya tinggi, dan substrat
berupa pasir dan kontur landai (Sale, 1991). Pantai Bama memiliki keadaan laut yang
sesuai dengan kondisi optimum tumbuhnya acropora, sehingga jumlahnya melimpah.
Persentase tutupan karang hidup di zona transplantasi (95%) lebih besar dengan tutupan
karang hidup di zona non transplantasi (60%). Hal ini berlawanan dengan persentase
tutupan karang mati. Zona non transplantasi memiliki persentase tutupan karang mati
(10%) yang lebih besar dibandingkan dengan di zona transplantasi (5%). Kriteria tutupan
karang hidup yang ditetapkan oleh Kepmen LH no.47, Tahun 2001 ditunjukkan pada
tabel berikut:
Berdasarkan persentase tutupan karang hidup, zona transplantasi merupakan daerah yang
tutupan karang hidupnya yang sangat tinggi dengan nilai 95%, sedangkan zona non
transplantasi merupakan daerah dengan tutupan karang hidup tinggi, yaitu sebesar 60%.
Jumlah karang hidup di zona transplantasi lebih banyak karena kondisinya lebih
disesuaikan agar terumbu karang dapat hidup. Salah satu caranya adalah pemasangan
besi untuk tempat tumbuhnya terumbu karang. Menurut Nyabakken (1992), karang dapat
berkembang biak dengan dua cara, yaitu aseksual dan seksual. Perkembangbiakkan
63
secara aseksual dilakukan dengan cara menghasilkan tunas, sedangkan secara seksual
melalui penghasilan ovum dan sperma. Perkembangbiakkan secara seksual dapat
membagi karang menjadi dua tipe, yaitu gonokoris dan hemaprodit. Gonokoris adalah
karang yang hanya dapat menghasilkan sperma atau telur. Sperma yang dihasilkan
kemudian akan terbawa oleh air laut dan kemudian akan masuk ke gastrovaskuler betina.
Hemaprodit adalah karang yang dapat menghasilkan sperma dan ovum sekaligus,
sehingga akan terjadi pembuahan sendiri. Setelah pembuahan terjadi, akan terbentuk
larva planula yang selanjutnya dapat berenang dan tersebar hingga terbentuk koloni baru.
Larva planula akan menempel pada substrat yang keras lalu akan tumbuh menjadi polip.
Polip kemudian akan ditempeli zooxanthel kemudian terbentuklah terumbu karang.
Dengan metode transplantasi menggunakan kerangka yang terbentuk dari besi yang
merupakan substrat keras membuat larva planula dapat dengan mudah menemukan
tempat untuk menempel, sehingga pada zona transplantasi akan tumbuh lebih banyak
terumbu karang hidup.
Indeks mortalitas terumbu karang di kedua zona pengamatan tergolong rendah, yaitu
0,14 untuk zona non transplantasi dan 0,05 untuk zona transplantasi. Menurut Gomez &
Yap (1988), jika indeks mortalitas mendekati nol maka semakin sedikit terumbu karang
yang mati. Dengan nilai indeks mortalitas yang diperoleh, dapat dikatakan jika tingkat
kematian terumbu karang yang ada di zona pengamatan sangat rendah. Terumbu karang
secara alami memiliki mekanisme untuk memperbaiki kerusakan pada tubuhnya dengan
waktu yang relatif cepat dengan syarat penetrasi cahaya tinggi dan kadar polutan serta
sedimen yang berasal dari daratan rendah. Karang mati yang teramati sedikit
menandakan jika keadaan perairan minim perusakan terumbu karang dan keadaan
lingkungan perairan baik dengan penetrasi cahaya yang cukup dan sedimen yang minim,
serta pH yang sesuai. Berdasarkan data pengamatan, pH di zona non transplantasi
sebesar 8,3 dan di zona transplantasi 8,2. Nilai pH sesuai bagi karang untuk hidup,
menurut Sale (1991), jika PH rendah, atau bernilai lebih kecil dari 7 (perairan asam)
maka asam karbonat pada karang akan meluruh dan terumbu karang akan mati.
64
BAB V
KESIMPULAN
1. Karakteristik vegetasi komunitas dan kondisi mikroklimat edafik dari empat ekosistem
di Taman Nasional Baluran yaitu:
Savana Terbuka
- Struktur vegetasi komunitas: pohon: Azadirachta (H’=0), semai:
Azzadiractha (H=0), perdu: Acacia Rhamnaceae (H’=1.079), herba:
Abutilon Vernonia (H’=1.991)
- Mikroklimat edafik: suhu udara: 27.190 °C, kelembaban udara: 74.893 %,
intensitas cahaya: 608.1 lux, dan materi organik tanah: 33.547 %, mineral
66.453 % dengan bulk density 0.565 g/cm3
Savana Terinvasi Acacia nilotica
- Struktur vegetasi komunitas: pohon: Acacia acacia (H=0.233), tiang:
Acacia (H’=0), semai: Azadirachta Capparis (H’=0.892), perdu: Acacia
Jatropha (H’=1.345), herba: Stachytarpeta Brachira (H’=2.119)
- Mikroklimat edafik: suhu udara: 30.513°C, kelembaban udara: 76.155 %,
intensitas cahaya: 3980.667 lux dan materi organic tanah: 31.241 %,
mineral 68.7 % dengan bulk density 0.549 g/cm3
Hutan Mangrove
- Struktur vegetasi komunitas: pohon: Rhizophora (H’=0), tiang:
Rhizophora (H’=0), semai: Rhizophora (H’=0)
- Mikroklimat edafik: suhu udara: 29.99°C, kelembaban udara: 82.3 %,
intensitas cahaya: 3730.333 lux, dan materi organik tanah: 7.991 %,
mineral 99.008 % dengan bulk density 0.481 g/cm3
Hutan Musim
- Struktur vegetasi komunitas: 6 spesies pohon: Ximenia americana, Grewia
elaiocarpa, Erythriena dadap, Streknos lusida, Walikukun, Sambucus
nigra
- Mikroklimat edafik: suhu udara: 31.41°C, kelembaban udara: 71.43 %,
intensitas cahaya: 38669.6 lux, dan materi organik tanah: 41.761%,
mineral 58.239 % dengan bulk density 0.65 g/cm3
65
2. Keanekaragaman spesies lamun di pantai Bama adalah 1,175 yang berarti termasuk
keanekaragaman menengah ,total persentase penutupan lamun adalah 45,321 % yang
dapat disimpulkan bahwa status padang lamun di Pantai Bama adalah kurang
kaya.Kelimpahan dan kerapatan tertinggi biota lamun adalah Holothuria atra
3. Keanekaragaman spesies burung di hutan pantai Bama sebesar 2,328 dan hutan evergreen
sebesar 3,412. Sementara itu kelimpahan spesies burung terbesar di hutan pantai Bama
adalah spesies Collocalia linchi dan Anthracoceros albirostris dengan nilai kelimpahan
relatif secara berurutan adalah 32,479% dan 15,385%. Kelimpahan spesies burung
tersebsar di hutan evergreen adalah spesies Hemipus hirudinaceus dan Collocalia linchi,
dengan nilai kelimpahan relatif secara berurutan adalah 8,92% dan 8,45%.
4. Pembuatan plot sebesar 15 x 30 m yang sudah dilakukan di hutan musim, dapat dibuat
diagram profil secara horizontal dan vertikal. Sehingga diketahui terdapat 12 individu
pohon dengan 6 spesies berbeda, serta stratum yang dimiliki vegetasi ini adalah stratum C
dengan ketinggian pohon di bawah 12m.
5. Setelah dilakukan pengamatan secara visual pada malam hari, mamalia yang teramati di
savana bekol di dominasi oleh spesies Cervus timorensis dengan 39 individu yang
ditemukan pada 4 titik, kemudian diikuti spesies Paradoxurus hermaphroditus dan
Macaca fascicularis masing – masing sebanyak 4 individu (1 titik pengamatan), dan
terakhir ditemukan pula spesies Bubalus bubalis sebanyak 1 individu (1 titik pengamatan).
6. Tutupan terumbu karang hidup di area transplantasi sangat tinggi dengan nilai persentase
tutupan 95% dan di area non transplantasi tutupan terumbu karag hidup tinggi dengan
nilai 60%
Suhu di area transplantasi adalah 29,40C, lebih rendah dari suhu di area non transplantasi
yaitu 31,30C. Kadar oksigen terlarut di area transplantasi adalah 10,75 ppm, lebih besar
dari area non transplantasi yang kadar oksigennya 10,28 ppm. Nilai PH yang terukur
hampir sama yaitu 8,2 di area transplantasi dan 8,3 di area non transplantasi, sedangkan
salinitas yang terukur pada kedua area bernilai sama yaitu 33 ppt.
66
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, M., and James H. (1995). Effect of High Temperature on Plant Growth and
Carbohydrate Metabolism in Potato. Plant physiol. 109 : 637 – 643.
Achituv, Y. and Dubinsky, Z. (1990). Evolution and Zoogeography of Coral Reefs
Ecosystems of the World. Vol. 25:1–8.
Alikodra, H.S. (2002). Pengolahan Satwa Liar. Bogor: IPB
Arief, A. (2003). Hutan Mangrove. Penerbit kanisius: Jakarta
Balai Taman Nasional Baluran, Banyuwangi. (2007). Taman Nasional Baluran : Secuil
Afrika di Jawa. http://www.academia.edu/. Diakses tanggal 21 November 2015.
Baluran National Park. (2014). Profil Taman Nasional Baluran.
http://balurannationalpark.web.id. Diakses 22 November 2015.
Baluran National Park. 2014. Profil Taman Nasional Baluran. balurannationalpark.web.id.
Diakses pada Rabu, 18 November 2015
Bibby, C., Jones, M., Marsden, S. (2000). Teknik-Teknik Ekspedisi Lapangan Survei
Burung. Birdlife International-Indonesia Programme: Bogor
Boundless. (2015). Soil Composition. Boundless Biology. https://www.boundless.com.
Diakses tanggal 21 November 2015.
Brower, J.E. and J.H.Zar. (1977). Field and Laboratory Methods for General Ecology. W.M.
Brown Company Publ. Dubuqe. Lowa. 194 p
Burrell,D.C. dan J.R.Schubel. (1977). Seagrass ecosystems oceanography.In C.P. McRoy and
C.Helfferich,eds.Seagrass ecosystems.Mar.Sci.4 : 196-232
Conand, C. and M. Byrne. (1993). A review of recent developments in the world sea
cucumber fishers.Marine Fisheries Review 55 (4): 1 – 13
Dahuri, R., (2001). Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu.
Jakarta : PT . Pradnya Paramita.
Deckers, J., Spaargaren, O., & Dondeyne, S. (2004). “Soil survey as a basis for land
evaluation”. Land cover and land use of the encyclopedia of life support systems.
Den Bigelaar, Christof. (2007). Soil Properties Analysis. Agroecology Practrices
Den Hartog, C. (1977). Structure, Function and Classification in Seagrass Ecosystem: A
Scientific Perspective (eds. Mc. Roy and Helfferich). Marcel Dekker Inc. p. 53-87.
67
Djufri. (2006). Studi Autoekolig dan Pengaruh Invasi Akasia (Acacia Nilotica) (L.) Willd. Ex
Del. Terhadap Eksistensi Savana dan Strategi Penanganannya di Tamna Nasional
Baluran Banyuwangi. IPB (Bogor Agricultural University).
Dombois, Dieter-Muelller. Ellenberg, Heisz. (1974). “Aims and Method of Vegetation
Ecology”. Blackburn Press: London.
Duckworth, J., P. Widmann., C. Custodio., J. Gonzalez., A. Jeniings., G. Veron. (2011).
Paradoxorus hermaphroditus. The IUCN Red List of Threatened Spesies.
Emily, Purton. (2012). Holothuria atra.Australia : University Of Queensland
Emma, Nur Suriani & Nurdin, M. Raza. (2011). Pemetaan Potensi Ekowisata di Taman
Nasional Baluran. FISIP Universitas Airlangga. Vol. 24, No. 3, Hal : 251-260
EPA. (2012). Water Monitoring and Assesment : Conductivity. [Online] http://water.epa.gov.
Diakses Minggu, 22 November 2015
Fitriana, Yulia R. (2005). “Keanekaragaman dan Kemelimpahan Makrozoobentos di Hutan
Mangrove Hasil Rehabilitasi Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali”. Biodiversitas
7(1):67-72
Fredriksen, S., A. de Backer , C. Bostrom, & H. Christie. (2010). Infauna from Zostera
marina L. meadows in Norway. Differences in Vegetated and Unvegetated Areas.
Mar.Biol.Res.6: 189- 200.
Freeman, Stephen., Pomeroy, Derek E., Tushabe, Herbert. (2006). On the use of Timed
Species Counts to estimate abundance in species-rich communities. African Journal Of
Ecology 41(4):337-348. DOI: 10.1111/j.1365-2028.2003.00481.
Gacia, E. & Duarte, C.M. (2001). Sediment Retention by a Mediterranean Posidonia oceanica
Meadow: the Balance between Deposition and Resuspension. Est. Coast. Shelf Sci. 52:
505-514
Garsetiasih, R. (1996). Studi Habitat dan Pemanfaatan bagi Rusa ( Cervus timorensis) di
taman Wisata Alam Pulau Manipo Nusa Tenggara Timur [tesis]. Program Pasca Sarjana
Universitas Gadjah Mada. Yogyakrta
Gomez, E.D dan Yap, H.T. (1988). Coral Reef Management Handbook. Jakarta : Unesco
Regional Office for Science and Technology South East Asia.
Halford, A.R dan Thompson, A.A. (1994). Visual Census Surveys of Reef Fish. Townsville :
Australian Institute Of Marine Science
Hostetler, Mark E. dan Main, Martin B. (2015). [Online] Florida Monitoring Program:
PoinTCount Method to Survey Birds. https://edis.ifas.ufl.edu. Diakses pada Rabu,18
November 2015
68
Hutchings, P. dan Saenger, P. (1987). Ecology of Mangrove Aust, Eco. Series. University of
Queensland Press St Lucia, Quesland.
Jacoeb, T.N. dan Wiryosuhanto, S.D. (1994). Prospek Budidaya Ternak Rusa. Kanisius,
Yogyakarta.
Juniarsa,Eka F.,Winnasis,Swiss.,Yusuf,Agus dan Pratiwi,Arif. (2013). Ikan Karang Taman
Nasional Baluran.Situbondo : Taman Nasional Baluran
Juniarsa,Eka F.,Winnasis,Swiss.,Yusuf,Agus dan Pratiwi,Arif. (2013). Ikan Karang Taman
Nasional Baluran.Situbondo : Taman Nasional Baluran
Kampas, R. (2008). Keragaman Fenotipik Morfometri Tubuh dan Pendugaan Jarak Genetik
Kerbau di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Skripsi. Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor. Bogor
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2015. Taman Nasional Baluran.
http://dephut.go.id. Diakses 22 November 2015.
Kementerian Lingkungan Hidup. (2004). Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan
Status Padang Lamun. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 200
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004 Tentang Kriteria Baku dan
Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup:
Jakarta
Krebs, C.J. (1978). Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and Abudance. New
York: Harper and Row Publishers.
Larkum, A.W.D, & Den Hartog, C. (1989). Evolution and Biogeography of Seagrasses. Di
dalam: Larkum AWD, McComb AJ, Shepherd SA, editor. Biology of Seagrasses: a
Treatise on the Biology of Seagrasses with Special Refrence to the Australian Regon.
Aquatic Plan Studies 2. Amsterdam: Elsevier.
Leigh Jr, E.G. (1975). Tropical Seasonal Forests. Pennyslavania : Elsevier
Lin ,Hsing-Juh dan Shao, Kwang-Tsao. (1998). Temporal changes in the abundance and
growth of intertidal Thalassia hemprichii seagrass beds in southern Taiwan. Journal
Bot.Bull.Acad.Sin 39 :191-198
Maestripieri, D. (2004). Maternal Behavior, Infant Handling and Socialitation In Macaca
Societis: A Model for the Study of Social Organization. Cambridge University Press. Pp:
230-234
Maliki, Forsep., Fitriyah, Nurul., Patriah, Ibi. (2011). Tinjauan Keberadaan Lamun Terhadap
Komunitas Alga Periphyton Dan Moluska Di Perairan Pantai Bama Taman Nasional
Baluran. Malang: Fakultas Perikanan, Universitas Brawijaya
69
Mannuputty et.al,Djuwariah. (2009). Point intercept transect for community. Jakarta : LIPI
Matthew, Roy.(n.d.). [Online] Tropical Evergreen Forests. http://www.expert-eyes.org.
Diakses Rabu, 18 November 2015
Michael, P. (1984). Metoda Ekologi Untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium. Jakarta:
UI-Press
Michigan State University. (1998). Michigan Field Crop Ecology. Extension Bulletin. E-
2646.
Michio K., Kengo K., Yasunori K., Hitoshi M.,Takayuki Y., Hideaki Y. and Hiroshi S.
(2003). Effects of deposit feeder Stichopus japanicuson algal bloom and organic matter
contents of bottom sediments of the enclosed sea. Marine Pollution Bulletin 47:118–125.
Molles, Manuel. (2014). Ecology Concepts and Aplication 7th ed. New York : McGrawHill
Nagelkerken, I., C. M. Roberts, G. van der Velde, M. Dorenbosch, M. C. van Riel, E.
Cocheret de la Morinière, P. H. Nienhuis. (2002). “How important are mangroves and
seagrass beds for coral-reef fish? The nursery hypothesis tested on an island scale”.
Marine Ecology Progress Series Vol. 244: 299–305.
Nirmala. (2009). Hutan Alami Taman Nasional Baluran (Aset Kabupaten Situbondo).
http://bisnisukm.com. Diakses tanggal 16 November 2015.
Nybakken, J.P. (1992). Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis (terjemahan). Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Odum, E.P. (1996). Dasar – Dasar Ekologi. Alih Bahasa. Cahyono, S. FMIPA IPB. Gadjah
Mada University Press. 625p.
Prasasti, I. (2004). Pengkajian Nilai Indeks Vegetasi Data MODIS dengan
MenerapkanBeberapa Algoritma Pengolahan Data Indeks Vegetasi. Jakarta
Prasetyo, Budi. (2007). “Keanekaragaman Tanaman Buah di Pekarangan Desa Jabon Mekar,
Kecamatan Parung, Bogor”. Biodiversitas 8(1): 43-47
Primack, Richard B. dkk. (1998). Biologi Konservasi. Jakarta: Yayasan obor Indonesia.
Sabarno, M. Y. (2002). Savana Taman Nasional Baluran. Biodiversitas 3(1): 207-212
Sale, P.F. (1991). The Ecology of Fishes on Coral Reefs. California : Academic Press.
Shannon, C.E. and Wiener, W. (1963). The Mathematical Theory of Communication.
University of Illinois press, Urbana. 117 pp.
Simpson, E. H. (1949). The Measurement of Diversity. Nature. 163:688
State Forest of New South Wales. (1995). “Field Methods Manual”. Technical Paper 59
Suharsono. (1996). Jenis-jenis Karang yang Umum Dijumpai di Perairan Indonesia. Jakarta :
Puslitbang Oseanologi-LIPI.
70
Sunarko. (2009). Budi Daya Dan Pengelolaan Kebun Kelapa sawit dengan system
Kemitraan. Cetakan Pertama. Jakarta: Agromedia Pustaka
Susetiono. (2004). Fauna Padang Lamun. 3-12h. LIPI : Jakarta
Suyono dan Sudarmadil. (1997). Hidrologi Dasar. Yogyakarta: Diktat Kuliah, Fakultas
Geografi, UGM
Thohari M., Haryanto., B. Msy’ud., D. Rinaldi., H. Arief., W.A. Djatmiko., S.N. Mardiah., N
Koesmaryandi dan Sudjatnika. (1991). Studi Kelayakan dan Perancangan Tapak
Penangkaran Rusa di BKPH Jonggol, KPH Bogor, Perum perhutani Unit III Jawa Barat.
Direksi Perum Perhutani dan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Tomascik, T., Mah, A.J., Nontji, A. and Moosa, M.K. (1997). The Ecology of the Indonesian
Seas Part Two. Periplus edition. Singapore
Tomascik, T., Mah, A.J., Nontji, A. and Moosa, M.K. (1997). The Ecology of the Indonesian
Seas Part Two. Periplus edition. Singapore
Universitas Petra. (2012). [Online] Terumbu Karang Taman Nasional Baluran.
http://www3.petra.ac.id. Diakses pada Rabu,18 November 2015
USDA.2005. [Online] Soil Bulk Density / Moisture-Aeration
http://www.nrcs.usda.gov/Internet/FSE_DOCUMENTS/nrcs142p2_053260.pdf .Diakses
pada Rabu,18 November 2015
Utah State University.(2008). [Online] Temperature-Moisture Relationship
.http://ocw.usu.edu/Forest__Range__and_Wildlife_Sciences/Wildland_Fire_Managemen
t_and_Planning/Unit_4__Temperature-Moisture_Relationship_4.html.Diakses pada
Senin,23 November 2015
Uthicke, S. and Karez, R. (1999). Sediment patch selectivity in tropical sea cucumbers
(Holothurioidea: Aspidochirotida) analysed with multiple choice experiments. J.
Exp.Mar.Biol. Ecol., 236: 69–87.
Yuliana, Adiwilaga, E. M., Harris E., dan Pratiwi N. T. (2012). “Hubungan Antara
Kelimpahan Fitoplankton dengan Parameter Fisik-Kimiawi Perairan di Teluk Jakarta”.
Jurnal Akuatika. 3(2): 169-179
71
LAMPIRAN A
PENGAMATAN KOMUNITAS IKAN
TOTAL
pi ln pi pi2
No Spesies Jumlah Individu INDIVIDU pi ln pi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Chromis viridis 1 1 2 0,019047619 -3,9608131696 0,0003628118 -0,0754440604
Amblygobios 3
2
sp. 7 7 44 0,419047619 -0,8697707162 0,175600907 -0,3644753478
Amblygobios
3 stethophtalam 1
us 1 3 14 0,1333333333 -2,0149030205 0,0177777778 -0,2686537361
Arothon 1
4
manilensis 0 10 0,0952380952 -2,3513752572 0,0090702948 -0,2239405007
5 Gobiidae sp. 4 4 0,0380952381 -3,267665989 0,0014512472 -0,1244825139
Dischistodus
6 sp. 1 8 8 0,0761904762 -2,5745188085 0,0058049887 -0,196153814
Dischistodus
7 sp. 2 11 11 0,1047619048 -2,2560650774 0,0109750567 -0,2363496748
Apogon
8 fraenatus 1 1 0,0095238095 -4,6539603502 9,0702947845805E-005 -0,0443234319
Apogon
9 hoeveni 7 1 8 0,0761904762 -2,5745188085 0,0058049887 -0,196153814
Istigobius
10 spence 2 2 0,019047619 -3,9608131696 0,0003628118 -0,0754440604
Dacyllus
11 melanorus 1 1 0,0095238095 -4,6539603502 9,0702947845805E-005 -0,0443234319
TOTAL 105 1 -33,1383647168 0,2273922902 -1,8497443857
d = 0,227392 H' = -1,84974439
72
LAMPIRAN B
PENGAMATAN LAMUN DAN BIOTA LAUT
73
LAMPIRAN C
PENGAMATAN MAMALIA MALAM
Jumlah
No Nama Spesies Total
Titik 1 Titik 2 Titik 3 Titik 4
1 Cervus timorensis 12 14 12 1 39
Paradoxurus
4
2 hermaphroditus 4
3 Bubalus bubalis 1 1
4 Macaca fascicularis 4 4
74
LAMPIRAN D
PENGAMATAN TERUMBU KARANG
75
LAMPIRAN E
PENGAMATAN BURUNG
Hutan Pantai
76
0.427
20 Alcedo coerulenscens 0 0 1 0 0 0 1 0.167
Chrysocolaptes 0.427
21 lucidus 1 0 0 0 0 0 1 0.167
0.427
22 Chalcophaps indica 0 0 0 0 0 1 1 0.167
Malacocinda 0.427
23 sepiarium 0 1 0 0 0 0 1 0.167
Pericrocotus 0.427
24 flammeus 0 1 0 0 0 0 1 0.167
0.427
25 Collocalia maxima 0 1 0 0 0 0 1 0.167
To
tal 21 41 61 45 37 29 234 39 100
Hutan Evergreen
77
13 Picus puniceus 0 10 0 0 0 0 10 1.667 0.023 2.347
14 Lalage sueurii 0 2 3 2 3 0 10 1.667 0.023 2.347
Columba
15 0 0 0 9 0 1 10 1.667 0.023
argentina 2.347
Dicrurus
16 3 3 2 0 1 0 9 1.5 0.021
macrocercus 2.113
17 Hirundo tahitica 4 0 0 2 2 0 8 1.333 0.019 1.878
Streptopelia
18 0 0 3 0 0 5 8 1.333 0.019
bitorquata 1.878
Pycnonotus
19 0 0 3 0 3 2 8 1.333 0.019
aurigaster 1.878
Pellorneum
20 0 0 0 4 3 1 8 1.333 0.019
capistratum 1.878
21 Ducula aenea 6 1 0 0 0 0 7 1.167 0.016 1.643
22 Sitta frontalis 0 5 0 0 1 0 6 1 0.014 1.408
Pycnonotus
23 1 0 0 0 0 6 1 0.014
simplex 5 1.408
Coracina
24 0 2 3 1 0 0 6 1 0.014
javensis 1.408
25 Gallus gallus 2 3 0 0 0 0 5 0.833 0.012 1.174
Cuculus
26 2 2 0 0 1 0 5 0.833 0.012
saturatus 1.174
27 Corvus enca 1 1 0 1 1 0 4 0.667 0.009 0.939
28 Gallus varius 1 0 0 1 0 2 4 0.667 0.009 0.939
Streptopelia
29 1 0 0 1 0 2 4 0.667 0.009
chinensis 0.939
Dicrurus
30 2 1 0 0 0 3 0.5 0.007
leucophaeus 0 0.704
Orthotomus
31 0 0 1 0 0 2 3 0.5 0.007
sutorius 0.704
Merops
32 3 0 0 0 0 0 3 0.5 0.007
leschenaulti 0.704
Hemiprocne
33 0 0 0 1 1 1 3 0.5 0.007
longipennis 0.704
34 Lalage nigra 0 0 0 0 0 3 3 0.5 0.007 0.704
35 Falco sp. 0 0 0 0 0 2 2 0.333 0.005 0.469
36 Treron vernans 0 0 2 0 0 0 2 0.333 0.005 0.469
Atthamus
37 0 0 0 1` 2 0 2 0.333 0.005
leucorincus 0.469
Pycnonotus
38 0 0 2 0 0 0 2 0.333 0.005
atriceps 0.469
Aethopyga
39 0 0 0 0 1 1 2 0.333 0.005
mystacalis 0.469
40 Pavo muticus 1 0 0 0 0 0 1 0.167 0.002 0.235
78
41 Halycon sp. 1 0 0 0 0 0 1 0.167 0.002 0.235
Centropus
42 0 0 1 0 0 0 1 0.167 0.002
nigrorufus 0.235
43 Cisticola exilis 0 0 1 0 0 0 1 0.167 0.002 0.235
Phylloscopus
44 0 0 0 0 1 0 1 0.167 0.002
borealis 0.235
45 Alophoixus bres 0 1 0 0 0 0 1 0.167 0.002 0.235
Corvus
46 0 0 0 1 0 0 1 0.167 0.002
macrorhynchos 0.235
Merops
47 0 1 0 0 0 0 1 0.167 0.002
philipinus 0.235
Pycnonotus
48 0 0 0 0 0 1 1 0.167 0.002
aurigaster 0.235
49 Larius schach 0 0 1 0 0 0 1 0.167 0.002 0.235
Orthotomus
50 0 0 1 0 0 0 1 0.167 0.002
ruficeps 0.235
51 Parus major 0 1 0 0 0 0 1 0.167 0.002 0.235
To 3
52 62 132 105 40 426 71 1 100
tal 5
79
80
81
82