Anda di halaman 1dari 164

ISBN : 978-602-1681-03-9

Bio-Ekologi dan Konservasi

KARNIVORA
Spesies Kunci yang Terancam Punah

Hendra Gunawan
dan
Hadi S. Alikodra

Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi


Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
KEMENTERIAN KEHUTANAN
ISBN : 978-602-1681-03-9

Bio-Ekologi dan Konservasi

KARNIVORA
Spesies Kunci yang Terancam Punah

Hendra Gunawan
Peneliti Utama Bidang Konservasi Sumberdaya Alam
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi
Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kehutanan

Hadi S. Alikodra
Guru Besar Ekologi Satwaliar
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor

Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi


Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
KEMENTERIAN KEHUTANAN
Bio-Ekologi dan Konservasi

KARNIVORA
Spesies Kunci yang Terancam Punah

ISBN : 978-602-1681-03-9

Penulis : Hendra Gunawan


Hadi S. Alikodra

Disain dan Tata Letak : Hendra Gunawan


Tatang Rohana

Sampul :
Foto Latar Belakang : Taman Nasional Halimun-Salak
(Dok. Hendra Gunawan)

Foto Inset :
Atas : Harimau Bali Panthera tigris balica
(Sumber: IUCN Cat Specialist Group).
Tengah : Macan tutul Panthera pardus
(Foto oleh David Behrens; Sumber: http://www.north-india.on/fauna/leopard.htm)

Bawah : Helarctos malayanus


(Sumber : http_www.quantum-conservation.org).

Diterbitkan oleh :
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan
Rehabilitasi -Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Kementerian Kehutanan
Jl. Gunung Batu No.5, Bogor 16610

Dibiayai oleh :
Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati,
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
(DIPA 029.05.1.500652 tahun 2013)

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang


©Hendra Gunawan dan Hadi S. Alikodra (2013)

Saran tentang buku mohon disampaikan ke :


hendragunawan1964@yahoo.com

ii Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
KATA PENGANTAR

Isu kepunahan keanekaragaman hayati tropika menjadi isu krusial


yang menjadi perhatian internasional pada dua dekade terakhir. Fragmentasi
hutan merupakan salah satu penyebab utama punahnya keanekaragaman
hayati di beberapa lokasi. Fragmentasi hutan merupakan proses dan hasil dari
perilaku manusia dalam memanfaatkan sumbedaya hutan, seperti konversi,
penebangan liar, pembakaran hutan, perladangan dan perambahan kawasan
hutan.

Keberhasilan pengelolaan keanekaragaman hayati di kantong-


kantong hutan yang telah terfragmentasi memerlukan pemahaman konsep-
konsep yang lahir dari teori biogeografi pulau, seperti fragmentasi, koridor dan
single large or several small (SLOSS). Buku ini membantu para mahasiswa,
praktisi konservasi, manajer satwaliar serta pengambil kebijakan penataan
ruang pembangunan dalam memahami fragmentasi hutan dan kaitannya
dengan pengelolaan dan konservasi keanekaragaman hayati.

Buku ini merupakan kompilasi dari hasil terjemahan, penelaahan dan


analisis dari berbagai buku teks dan website yang relevan. Untuk memahami
dan mengetahui lebih detail, para pembaca dipesilakan membaca buku-buku
teks yang menjadi sumber penulisan buku ini.

Penulis menyadari, buku ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh


karena itu saran-saran dari peminat akan dipertimbangkan untuk perbaikan.
Akhirnya, semoga buku ini bermanfaat bagi para peminat dan pemerhati
masalah konservasi keanekaragaman hayati.

Bogor, Februari 2013

Penulis

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah iii
KATA PENGANTAR
DIREKTUR KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI
DIREKTORAT JENDERAL PERLIINDUNGAN
HUTAN DAN KONSERVASI ALAM
KEMENTERIAN KEHUTANAN

Konservasi satwaliar merupakan bagian penting dari konservasi


sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Indonesia memiliki 236 spesies
satwa dilindungi, 70 spesies diantaranya adalah mamalia. Dari berbagai jenis
mamalia yang ada di Indonesia, 39 jenis diantaranya termasuk dalam ordo
Karnivora.
Jenis-jenis karnivora umumnya merupakan pemangsa puncak pada
rantai makanan dalam ekosistem hutan. Oleh karena itu jenis-jenis karnivora
sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem hutan, namun di sisi
lain paling rentan mendapat dampak perubahan lingkungan. Dalam rangka
konservasi jenis-jenis karnivora, saat ini pemerintah Indonesia menetapkan
17 spesies karnivora dilindungi dan 27 spesies dalam Appendix CITES.
Upaya konservasi satwaliar memerlukan dukungan ilmu pengetahuan
dan teknologi, baik dalam bentuk buku referensi maupun panduan. Saat ini
buku referensi satwaliar masih sangat kurang, apalagi buku yang khusus
membahas karnivora. Oleh karena itu, terbitnya buku Bio-Ekologi dan
Konservasi Karnivora, Spesies Kunci yang Terancam Punah, sangat penting
dan bermanfaat untuk mendukung upaya konservasi satwaliar, terutama
karnivora.
Kami selaku otoritas manajemen satwaliar, menyampaikan
pernghargaan dan mengucapkan terima kasih kepada penulis atas segala
upayanya sehingga dapat tersusun buku ini. Akhirnya, semoga buku ini
bermanfaat, khususnya untuk pihak yang bekecimpung dalam kegiatan
konservasi satwaliar.

Jakarta, November 2013


Direktur

Dr. Novianto Bambang Wawandono


NIP. 19561118 198203 1 006

iv Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
DAFTAR ISI

hal.
KATA PENGANTAR ........................................................................... iii
KATA PENGANTAR
DIREKTUR KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI
DIREKTORAT JENDERAL PERLIINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM
KEMENTERIAN KEHUTANAN ................................................................... iv
DAFTAR ISI ................................................................................... v
DAFTAR TABEL ................................................................................. vii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................ ix
I. PENDAHULUAN .................................................................. 1
A. Pengertian ......................................................................... 1
1. Karnivora ..................................................................... 1
2. Predator ........................................................................ 2
B. Peranan Karnivora bagi Ekosistem Alam dan Manusia ....` 3
C. Pentingnya Mempelajari Pemangsaan (Predasi) ............ 4
D. Apa yang Dipelajari Dalam Studi Karnivora? ................. 5
II. EVOLUSI DAN SISTEMATIKA ........................................ 9
A. Evolusi dan Asal-Usul Karnivora .................................... 9
B. Phylogeny ......................................................................... 12
C. Klasifikasi ......................................................................... 14
III. DESKRIPSI FISIK DAN BIOLOGI KARNIVORA ............ 17
A. Deskripsi Fisik ................................................................. 17
B Biologi Reproduksi ......................................................... 19
C. Masa Hidup ....................................................................... 21
D. Indera khusus ................................................................... 22
1. Indera penglihatan ........................................................ 22
2. Indera Pendengaran ...................................................... 24
3. Indera Penciuman ......................................................... 27
4. Indera Perasa.................................................................. 30
5. Indera Peraba (tactile sense) ....................................... 30
IV. EKOLOGI .............................................................................. 35
A. Habitat ................................................................................ 35
B. Sebaran geografis ............................................................... 35

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah v
DAFTAR ISI

hal.

C. Mangsa dan Ekologi Pemangsaan


(Diet and Feeding Ecology) ............................................... 41
D. Tingkah Laku ..................................................................... 45
V. PEMANGSAAN ................................................................... 51
A. Adaptasi ............................................................................. 53
B. Hirarki ................................................................................ 55
C. Spesialisasi ........................................................................ 55
D. Motivasi ............................................................................. 56
E. Hubungan Pemangsa-Mangsa ........................................... 56
F. Dinamika Mangsa-Pemangsa : Lotka-Volterra .................. 60
G. Pengaruh Pemangsaan ....................................................... 63
VI. NILAI EKONOMI ................................................................ 68
A. Peranan dalam Ekosistem .................................................. 68
B. Peranan Bagi Manusia ...................................................... 69
C. Nilai Ekonomi .................................................................... 71
1. Merugikan ...................................................................... 71
2. Menguntungkan ............................................................. 73
VII. MANAJEMEN KONSERVASI ............................................ 81
A. Sejarah Konservasi Alam Di Indonesia ............................ 81
B. Permasalahan Konservasi Jenis Di Indonesia ................... 82
C. Pengelolaan Karnivora ..................................................... 87
VIII. STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA
(Panthera pardus melas CUVIER 1809) DAN
IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA ............... 96
A. Pendahuluan ..................................................................... 96
B. Biologi Macan Tutul ......................................................... 97
1. Taksonomi .................................................................... 97
2. Deskripsi Fisik .............................................................. 98
3. Perkembang biakan dan perilaku berkembang biak .... 101
4. Masa Hidup ................................................................... 102
C. EKOLOGI MACAN TUTUL .......................................... 103
1. Penyebaran Geografis ................................................... 103
2. Habitat ........................................................................... 109
3. Home range dan Teritori ............................................... 111
4. Makanan dan Kebiasaan Makan ................................... 112
5. Kebiasaan dan Perilaku ................................................. 116
D. Permasalahan Macan Tutul Di Jawa Dan
Implikasinya Pengelolaannya ........................................... 125
1. Rumusan Masalah ....................................................... 125
2. Implikasi Pengelolaan .................................................. 126
E. Rekomendasi ..................................................................... 135
LAMPIRAN ................................................................................... 140

vi Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
DAFTAR TABEL

hal.
Tabel 1. Umur potensial beberapa jenis karnivora .................. 22

Tabel 2. Batas atas pendengaran beberapa jenis karnivora ... 25

Tabel 3. Tipe-tipe pemangsaan ........................................................... 51

Tabel 4. Ukuran rata-rata tubuh macan tutul yang hidup


di Pulau Jawa ............................................................................ 100

Tabel 5. Judul-judul penelitian tentang macan tutul Jawa


(Panthera pardus melas) ....................................................... 128

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah vii
DAFTAR GAMBAR

hal.
Gambar 1. Siklus populasi kelinci salju dan lynx ............................. 57
Gambar 2. Respon fungsional tipe I .................................................. 58
Gambar 3. Respon fungsional tipe II ................................................ 58
Gambar 4. Respon fungsional tipe III ............................................... 59
Gambar 5. Hubungan siklikal model hipotetik populasi pemangsa
dan mangsa ...................................................................... 62
Gambar 6. Hubungan siklikal kepadatan pemangsa dan mangsa dua
spesies tungau di laboratorium (Huffaker, 1958) ............ 62
Gambar 7. Jaring-jaring pangan dalam ekosistem savana
(MacKinnon, 1992) ........................................................ 70
Gambar 8. Berbagai macan contoh nilai guna langsung dari karnivora,
searah jarum jam, karnivora sebagai trofi berburu,
perburuan beruang berlisensi, kulit macan tutul yang
sudah menjadi jaket dan perburuan ilegal terhadap
macan tutul untuk kulitnya .............................................. 74
Gambar 9. Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) ....................... 89
Gambar 10. Harimau Bali (Panthera tigris balica) ............................ 89
Gambar 11. Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) ............... 89
Gambar 12. Harimau Sumatera yang dibunuh masyarakat ................ 91
Gambar 13. Perbedaan pola tutul pada macan tutul, jaguar,
macan dahan dan cheetah ................................................ 98
Gambar 14. Macan tutul yang mengalami melanisme (kiri) dan
Macan tutul pola warna normal (kanan) .......................... 99
Gambar 15. Bentuk dan ukuran jejak kaki macan tutul ...................... 101
Gambar 16. Sejarah penyebaran macan tutul di dunia ........................ 106
Gambar 17. Penyebaran macan tutul di Afrika ................................... 106
Gambar 18. Penyebaran macan tutul di Timur Tengah dan sekitarnya 107
Gambar 19. Penyebaran macan tutul di Asia ...................................... 108
Gambar 20. Rumusan permasalahan berkaitan dengan ancaman
terhadap kelestarian Macan Tutul .................................... 125
(Panthera pardus melas) di Pulau Jawa
Gambar 21. Pendekatan dalam penelitian ekologi dan konservasi
macan tutul ..................................................................... 127

viii Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
DAFTAR LAMPIRAN

hal.
lAMPIRAN 1. Jenis-jenis karnivora di Indonesia dan
penyebarannya ..................................................................... 141

LAMPIRAN 2. Status konservasi jenis-jenis Karnivora ..................... 143

LAMPIRAN 3. Gambar beberapa jenis karnivora yang hidup


di Indonesia ............................................................................ 144

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah ix
Bab
PENDAHULUAN
1
A. Pengertian
1. Karnivora
Carnivore (di-Indonesiakan menjadi Karnivora) adalah hewan yang
makanannya kebanyakan berupa daging, baik yang dimakan hidup-hidup atau
berasal dari daging hewan yang sudah mati. Kata karnivora berasal dari
bahasa Latin “carne” yang berarti daging dan “vorare” yang berarti memakan.
Kata ini juga dapat digunakan untuk menyebut mamalia dalam ordo Carnivora,
dimana banyak hewannya (tetapi tidak semua) memakan daging. Istilah
karnivora umum diartikan sebagai hewan pemakan daging (Medway, 1969;
Abdillah, 2007). Dalam kamus kehutanan Amerika, carnivore didefinisikan
sebagai organisme yang memakan hewan-hewan hidup atau bagian-bagiannya
(Helms, 1998). Satwa karnivora adalah satwa yang mendapatkan makanan
dengan cara membunuh dan memakan satwa lain.
Dalam ilmu perburungan (ornithology), burung karnivora meliputi
burung pemakan ikan atau piskivora (piscivore), pemakan vertebrata lain
(raptor) dan pemakan serangga atau insektivora (insectivore) serta
invertebrata (Pomeroy, 1992). Istilah karnivora biasanya digunakan
bersamaan istilah herbivora atau pemakan tumbuhan (herbivore), pemakan
segala atau omnivora (omnivore), pemakan bangkai (scavanger) dan detrivora
atau pengurai (detrivore) serta dekomposer (decomposer) dalam
membicarakan rantai makanan atau jaring-jaring pangan.
Dalam taksonomi hewan, karnivora (Carnivora) merupakan nama
suatu ordo yang anggotanya merupakan hewan pemakan daging (Medway,
1969; Ewer, 1985). Karnivora (Carnivora) adalah salah satu nama ordo dari
20 ordo mamalia. Karnivora terdiri dari beragam kelompok satwa, hidup
hampir di banyak habitat meliputi lautan dan, daratan memiliki lebih dari 260
spesies. Sebagian besar karnivora adalah satwa daratan, beberapa jenis lebih
banyak mengabiskan waktu di air seperti berang-berang dan sekitar 30 jenis
lainnya. Anjing laut dan kerabatnya sepenuhnya merupakan satwa laut, hanya
meninggalkan laut sekali setahun untuk berkembang biak.

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 1
PENDAHULUAN

Walaupun namanya karnivora atau pemakan daging, tidak semua


karnivora secara ekslusif hidup hanya memakan daging. Beruang, jackal dan
rubah adalah omnivora, hidup dari memakan daging dan buah, aardwolf
hampir tak pernah makan selain rayap, dan panda raksasa hidup dengan
memakan tunas bambu. Kesamaan dari seluruh karnivora adalah sepasang
gigi seperti gunting yang digunakan untuk memotong daging yang disebut
carnassials. Walaupun demikian, aardwolf dan panda raksasa tidak memiliki
carnassials. Anggota karnivora memiliki ciri yang khas yaitu bentuk
tengkorak, susunan gigi geligi terutama taring dan carnassials.
Mammalia anggota ordo karnivora merupakan keturunan dari nenek
moyang mereka yang memiliki kebiasaan memakan daging yang berhasil
menyebar pada akhir masa paleocene. Nama karnivora sering diasosiasikan
bahwa satwa dari ordo ini semuanya memakan daging atau semua satwa
pemakan daging adalah anggota ordo karnivora. Padahal tidak demikian,
anggota karnivora memiliki beragam kebiasaan makan, walaupun
kebanyakan merpakan pemakan daging utama. Mamalia pemakan daging
juga banyak ditemukan pada ordo lain termasuk kelelawar, mamalia
marsupial, primata serta lumba-lumba dan paus (Myers and Poor, 2007).

2. Predator
Predator (sering diterjemahkan pemangsa) didefinisikan sebagai
organisme yang memakan organisme lainnya. Istilah predator biasanya
mengacu pada hewan yang hidup dengan memburu, membunuh dan
memakan hewan lain yang biasanya lebih kecil dan lebih lemah. Predator
juga bisa digunakan dalam hubungan antara herbivora dan tumbuhan (Helms,
1998). Hewan-hewan pemangsa dari ordo Karnivora dapat kita sebut
predator, tetapi tidak semua predator berasal dari ordo Karnivora, seperti ular,
buaya dan biawak yang merupakan ordo Reptilia.
Pemangsaan atau predasi (predation) sendiri merupakan salah satu
bentuk interaksi negatif antar spesies, bersamaan dengan amensalisme dan
persaingan atau kompetisi (competion). Bila dalam interaksi yang bersifat
amensalisme salah satu organisme memproduksi dan mengeluarkan sejenis
bahan yang merugikan spesies lain, sementara dalam interaksi kompetisi,
kedua spesies yang berinteraksi menderita kerugian maka interaksi
pemangsaan didefinisikan sebagai suatu spesies yang makan spesies yang
lainnya sehingga spesies yang satu memperoleh keuntungan dan yang lain
dirugikan. Dengan demikian, parasitisme tercakup dalam kategori
pemangsaan (Tarumingkeng, 1994).

2 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
PENDAHULUAN

B. Peranan Karnivora bagi Ekosistem Alam dan Manusia


Sebagai pemakan daging, karnivora berada pada puncak rantai
makanan dan membentuk trophic level teratas dalam ekosistem. Dengan
demikian, pada dasarnya karnivora berperan menjaga keseimbangan alam
dalam ekosistem. Di wilayah dekat pemukiman, keseimbangan ini seringkali
terganggu akibat pembasmian banyak karnivora yang dianggap menggangu
karena memiliki kebiasaaan memangsa ternak. Sekarang karnivora telah
dipahami sebagai elemen penting dalam sistem alam karena meningkatkan
stabilitas populasi mangsa sehingga terjaga dalam kapasitas daya dukung
makanannya. Dengan demikian akan menghasilkan individu-individu yang
kuat dan tahan penyakit.
Banyak satwa pemangsa menggali lubang yang dapat digunakan oleh
satwa lain untuk persembunyian. Galian-galian ini menghasilkan
pencampuran atau pengadukan tanah dan dapat mereduksi aliran air
permukaan (run of ) selama hujan. Karnivora yang terkenal sebagai penggali
lubang adalah badger (sejenis luwak) dan sigung, sementara beruang, bangsa
anjing dan bangsa kucing kadang juga menunjukkan perilaku menggali.
Jumlah karnivora dibatasi oleh makanan, pemangsa yang lebih besar
atau penyakit. Ketika pengaruh manusia menyebabkan hilangnya karnivora
yang lebih besar akan mengakibatkan populasi karnivora kecil meledak,
menciptakan lingkungan yang baik untuk penyebaran infeksi penyakit seperti
rabies yang ditularkan lewat air liur melalui gigitan. Rabies sangat umum pada
rubah merah, sigung garis dan raccoon, juga ada pada anjing-anjing pemburu
Afrika dan praktis dapat menginfeksi semua karnivora. Milyaran dolar
dibelanjakan setiap tahun di seluruh dunia untuk mengendalikan dan
mengatasi bencana penyakit ini. Di beberapa negara, melimpahnya jenis-jenis
vektor, khususnya rubah merah, dikendalikan dengan cara ”culling” atau
dengan vaksin yang dimasukkan dalam umpan yang dijatuhkan dari udara. Di
negara-negara lainnya dilakukan program penangkapan-vaksinasi-lepas untuk
menurunkan kerentanan individu satwa. Penyakit infeksi lainnya yang dibawa
oleh karnivora dan dapat menulari manusia, meliputi penyakit yang dibawa
bangsa anjing, parvovirus, toxoplasmosis dan leptospirosis.
Dua karnivora yang mungkin paling akrab dengan manusia adalah
anjing dan kucing domestik, dimana keduanya dulunya juga berasal dari ordo
karnivora di alam liar. Di sisi lain, berbagai jenis beruang, kucing besar dan
hyena merupakan sedikit diantara satwa yang kadang-kadang menyerang
manusia. Satwa-satwa karnivora besar berbahaya tersebut seringkali menjadi
sasaran perburuan untuk dijadikan trofi. Banyak kulit satwa mewah (seperti :
cerpelai, mink, musang dan berang-berang) berasal dari anggota ordo
karnivora, sebagaimana juga satwa yang banyak menarik pengunjung sirkus

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 3
PENDAHULUAN

dan kebun binatang. Peternak di seluruh dunia mempertimbangkan


kemungkinan melakukan depredasi terhadap ternak mereka dengan mamalia
karnivora.

C. Pentingnya Mempelajari Pemangsaan (Predasi)

Sistem pemangsaan yang dilakukan oleh satwa pemangsa yang


kebanyakan merupakan anggota ordo karnivora penting untuk dipelajari
karena karnivora dan sistem pemangsaan di ekosistem alam merupakan
elemen penting yang menjaga ekosistem dalam keseimbangan dinamis.
Karnivora dan mekanisme pemangsaan penting dipelajari untuk alasan
sebagai berikut:
1. Pemangsaan merupakan cara primer dimana energi (seperti Karbon)
ditransfer ke seluruh ekosistem.
2. Sistem pemangsaan merupakan suatu cara yang tidak diragukan lagi
untuk pengendalian populasi satwa mangsa (pengaturan populasi)
3. Memungkinkan menengahi kompetisi.
Bila bukan karena predator, satwa mangsa tidak akan mengembangkan
adaptasi secara khusus untuk menghindari pemangsaan. Bahkan, karena
pentingnya, mereka memiliki beberapa strategi menghindari pemangsa. Oleh
karena itu, pemangsaan secara evolusi merupakan sumber yang penting dari
mortalitas, sehingga satwa mangsa mengembangkan strategi untuk
menghindarinya (Ganter, 2007).
Mungkin lebih baik melihat adaptasi anti predator daripada adaptasi
predator karena prinsip ”life-dinner principle” (tekanan selektif lebih besar
pada satwa mangsa yang akan kehilangan nyawanya jika tidak berhasil,
daripada predator yang hanya kehilangan makan malamnya jika gagal).
Tetapi, evolusi mungkin merespon pada perbedaan yang kecil dalam
mortalitas, sehingga secara ekologis sangat tidak signifikan. Untuk melihat
apakah pemangsaan secara ekologis signifikan atau tidak, diperlukan
pengalaman lapangan (Ganter, 2007).
Dalam konteks ilmu lingkungan, mempelajari karnivora menjadi
sangat penting ketika melakukan analisis resiko ekologis atau dampak
lingkungan. Hal ini karena karnivora sebagai puncak trophic level akan
mengakumulasi logam berat yang mengalir di lingkungan bersama dengan
limbah atau polutan. Karnivora juga menjadi spesies yang paling menderita
dari proses bioakumulasi atau biomagnification dari bahan pencemar yang
tidak terdegradasi secara biologis (non biodegradable) sehingga akan
diakumulasi dalam tubuh. Untuk melacak resiko ekologis perlu mengkaji
rantai makanan atau jaring-jaring pangan dan perilaku makan dari setiap
komponen rantai makanan.

4 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
PENDAHULUAN

D. Apa yang Dipelajari Dalam Studi Karnivora?

Dalam studi karnivora kita akan mempelajari aspek-aspek sebagai


berikut yang akan diuraikan pada bab-bab selanjutnya.
Bab 2. Evolusi dan Sistematika
A. Asal-usul
B. Phylogeny
C. Klasifikasi
Bab 3. Deskripsi Fisik dan Biologi Karnivora
A. Deskripsi Fisik
B. Reproduksi
C. Masa hidup
D. Indera khusus
Bab 4. Ekologi Karnivora
A. Habitat
B. Sebaran Geografis,
C. Mangsa dan Cara Mendapatkan Mangsa
D. Organisasi Sosial
Bab 5. Pemangsaan
A. Adaptasi
B. Hirarki
C. Spesielisasi
D. Motivasi
E. Hubungan Pemangsa-Mangsa
F. Dampak Pemangsaan
Bab 6. Nilai Ekonomi Karnivora Bagi Manusia
A. Peran dalam Ekosistem
B. Nilai Ekonomi Menguntungkan
C. Nilai Ekonomi Merugikan
Bab 7. Manajemen Konservasi Karnivora
A. Permasalahan Karnivora di Indonesia
B. Upaya Perlindungan Yang Sudah Dilaksanakan
C. Pengelolaan Karnivora

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 5
PENDAHULUAN

IKHTISAR
Istilah karnivora atau karnivora sering diartikan sebagai hewan
pemakan daging. Karnivora merupakan nama sebuah ordo dari kelas
mamalia yang sebagian besar anggotanya pemakan daging tetapi tidak
semuanya pemakan daging. Demikian juga sebaliknya tidak semua hewan
pemakan daging adalah anggota dari ordo karnivora. Karnivora juga sering
disama-artikan dengan predator yang berarti pemangsa, yaitu hewan yang
memakan hewan lain. Karnivora sebagai pemakan daging memiliki peranan
yang penting dalam ekosistem karena kedudukannya sebagai puncak trophic
level berfungsi menjaga keseimbangan ekosistem. Karnivora juga memiliki
peranan penting melalui mekanisme pemangsaan, dimana karnivora di
ekosistem alam berperan sebagai pengendali populasi hewan mangsanya
yang banyak diantaranya merupakan vektor penyakit yang dapat menginfeksi
manusia. Mempelajari karnivora menjadi sangat penting dalam rangka
pengelolaan ekosistem secara keseluruhan maupun dalam pengelolaan satwa
pada khususnya.

GLOSARIUM
Amensalisme : Interaksi antar organisme dimana salah satu organisme
memproduksi dan mengeluarkan sejenis bahan yang
merugikan spesies lain
Biodegradable : Dapat diuraikan oleh organisme hidup, lawan katanya
adalah non biodegradable.
Biodegradasi : Proses dimana bahan organik diuraikan oleh organisme
hidup lainnya.
Biomagnification juga dikenal dengan bioamplification atau biological
magnification adalah peningkatan konsentrasi suatu
unsur dari suatu senyawa, seperti pestisida DDT yang
terjadi dalam suatu rantai makanan sebagai akibat dari
energetik rantai makanan dan ketiadaan atau kelambatan
ekskresi atau penguraian (degradasi) suatu substansi.
Culling : Pemanenan atau pembunuhan individu-individu dari
suatu kelompok hewan yang surplus secara terkontrol
untuk mengurangi jumlah atau kepadatannya dengan
cara memilih individu-individu yang berkualitas rendah
(lemah, kecil, sakit-sakitan) sehingga secara keseluruhan
terjadi peningkatan kualitas populasinya.
Dekomposer : Organisme (biasanya jamur dan bakteri) yang memakan
bahan yang sudah busuk atau hancur; organisme yang
melakukan aktivitas dekomposisi.
Dekomposisi : Proses penguraian bahan organik menjadi anorganik,

6 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
PENDAHULUAN
beberapa diantaranya dilakukan pada level sel oleh
semua organisme, beberapa yang lain dikerjakan oleh
detrivora yang khusus hidup pada jasad mati atau
membusukkan/ menghancrkan sumber energi.
Detrivora : Organisme pengurai yang menguraikan bangkai menjadi
unsur hara
Food chain : atau rantai makanan adalah perpindahan energi makanan
dari sumber daya tumbuhan melalui seri organisme atau
melalui jenjang makan (tumbuhan-herbivora-karnivora).
Pada setiap tahap pemindahan energi, 80%–90% energi
potensial hilang sebagai panas, karena itu langkah-
langkah dalam rantai makanan terbatas 4-5 langkah saja.
Dengan perkataan lain, semakin pendek rantai makanan
semakin besar pula energi yang tersedia.
Food web : atau jaring-jaring pangan adalah interkoneksi rantai
makanan. Kebanyakan organisme merupakan bagian
dari lebih dari satu rantai makanan dan memakan lebih
dari satu jenis makanan untuk memenuhi kebutuhan
makanan dan energinya.
Herbivora : Hewan pemakan tumbuh-tumbuhan atau bagian-
bagiannya
Insektivora : Pemakan serangga
Karnivora : Hewan pemakan daging; nama ordo mamalia yang
anggotanya sebagian besar pemakan daging
Kompetisi : Interaksi antar organisme dimana kedua spesies yang
berinteraksi menderita kerugian
Omnivora : Hewan pemakan segala
Piskivora : Pemakan ikan
Predasi : Suatu kejadian dimana suatu spesies yang satu makan
spesies yang lainnya sehingga spesies yang satu
memperoleh keuntungan dan yang lain dirugikan
Predator : Hewan pemangsa; hewan yang hidup dengan cara
memangsa hewan lain yang biasanya lebih kecil dan
lebih lemah
Prey : Mangsa; satwa yang dimangsa oleh pemangsa (predator)
Scavanger : Hewan pemakan bangkai
Trophic level : (Bahasa Yunani trophç, makanan) adalah posisi dimana
suatu organisme bertempat pada suatu rantai makanan –
apa yang ia makan dan ia dimakan oles siapa.

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 7
PENDAHULUAN

DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, P.P. 2006. Kamus Ilmiah Populer Lengkap. Penerbit Arkola.
Surabaya.
Ewer, R.F. 1985. The Carnivores. Cornell University Press. Ithaca, New
York.
Ganter, P. 2007. Principles of Ecology, Chapter 10 : Predation.
http://www. tnstate. edu/ganter/
B412%20Ch2010%20Predation.html.
Helms, J.A. (ed). 1998. The Dictionary of Forestry. The Society of
America Foresters and CABI Publishing. Bethesda, USA and Oxon,
UK.
http://wikipedia.org. Carnivore. http://wikipedia.org/wiki/Carnivore.
Diakses 7/3/1007.
http://www.qrg.northwestern.edu. What is ACarnivore? http://www.
qrg.northwestern.edu/projects/marssim/simhtml/info/whats-a
carnivore. html. Diakses 6/3/2007.
http://www.answer.com. Carnivora.
http://www.answer.com/topic/carnivora-1. Diakses tanggal 6/3/2007
http://wikipedia.org/wiki/Carnivore. Carnivore. http://wikipedia.org/wiki/
Carnivore. Diakses 7/3/2007.
http://en.wikipedia.org. Carnivora. http://en.wikipedia.org/wiki/Carnivora.
Diakses 6/3/2007.
http://www.britanica.com. Importance of Carnivora.
http://www.britanica.com/ ebi/article-51537. Diakses 6/7/2007.
http://ecology.botany.ufl.edu. Predation.
http://ecology.botany.ufl.edu/ecoogyf02/ PredationF01.html.
Diakses 7/3/2007
http://en.wikipedia.org. Biomagnification. http://en.wikipedia.org/wiki/
Biomagnification. Diakses 8/3/2007.
http://en.wikipedia.org. Biodegradation http://en.wikipedia.org/wiki/
Biodegradation. Diakses 8/3/2007.
http://en.wikipedia.org. Trophic Level. http://en.wikipedia.org/wiki/
Trophic_level. Diakses 8/3/2007
http://id.wikipedia.org. Rantai_makanan. http://id.wikipedia.org/wiki/
Rantai_makanan. Diakses 8/3/2007.
http://www.vtaide.com. Food Chains. http://www.vtaide.com/png/
foodchains.htm. Diakses 8/3/2007.
Medway, L. 1969. The Wild Mammals of Malaya and offshore islands
including Singapore. Oxford University Press. London.
Myers, P. and A. Poor. 2007. "Carnivora" (On-line), Animal Diversity Web.
Accessed March 04, 2007 at
http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/Ca
rnivora.html.
Pomeroy, D. 1992. Counting Birds, A Guide to Assessing Number,
Biomass and Diversity of Afrotropical Birds. African Wildlife
Foundation. Nairoby, Kenya.
Tarumingkeng, R.C. 1994. Dinamika Populasi, Kajian Ekologi
Kuantitatif. Pustaka Sinar Harapan dan Universitas Kristen Krida
Wacana. Jakarta.

8 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
EVOLUSI Bab
DAN
SISTEMATIKA 2
A. Evolusi dan Asal-Usul Karnivora
Sejarah evolusi dan sistematika karnivora penuh dengan selubung dan
kontroversi akibat catatan fosil yang tidak lengkap dan terpisah-pisah. Dalam
keterbatasan tersebut, para ahli kepurbakalaan, biologi evolusi dan ahli
genetika telah mencapai sukses besar membuka tabir sejarah awal mamalia.
Terobosan besar yang telah dikembangkan adalah metode menandai umur
fosil dengan akurat.
Sekitar 65 juta tahun yang lalu, dinosaurus yang merupakan hewan
dominan di muka bumi, mengalami kepunahan masal yang sangat cepat.
Pada waktu itu, mamalia hanyalah makhluk kecil seperti tikus. Dengan
punahnya dinosaurus banyak relung ekologis menjadi kosong yang kemudian
dengan cepat diisi oleh predator dan mamalia. Mamalia predator yang
pertama adalah marsupial, mamalia yang memelihara anaknya dalam
kantung, yang sebenarnya memiiki nenek moyang yang kecil berupa makhluk
seperti opossum dengan moncong runcing dan telinga besar. Marsupial
karnivora awal ini segera berkembang menjadi berbagai bentuk dan ukuran
yang kemudian mendominasi benua selatan selama 30 juta tahun.
Sementara itu, mamalia berplasenta berkembang di benua-benua
bagian utara, tidak memelihara anaknya dalam kantong setelah dilahirkan
tetapi menumbuhkannya di dalam rahim. Salah satu dari mamalia berplasenta
ini adalah makhluk seukuran tupai yang disebut Cimolestes yang hidup
memakan serangga. Bentuk penting yang dimiliki oleh Cimolestes adalah
gigi geraham yang merata yang memberikan perkembangan awal untuk dapat
memotong seperti gunting. Setelah beberapa juta tahun gigi ini menjadi lebih
baik untuk mengiris daging yang kemudian menjadi gigi semacam gunting
yang disebut carnassial. Bentuk ini diwarisi oleh dua kelompok hewan
secara terpisah, yang satu adalah karnivora modern, yang lainnya dikenal
dengan Creodont. Pada mulanya, Creodont merupakan pemakan daging
dominan di bumi. Dalam catatan fosil dari 55 sampai 35 juta tahun lalu,
sejumlah hewan seperti kucing, anjing, beruang dan hyena ditemukan,
beberapa diantaranya dengan taring pedang, tetapi tidak satupun yang benar-

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 9
EVOLUSI DAN SISTEMATIKA

benar karnivora. Kemudian, catatan fosil menunjukkan suatu perubahan;


spesies karnivora lebih banyak ditemukan dari pada Creodont.
Tidak diketahui dengan pasti mengapa kedudukan Creodont
digantikan oleh karnivora. Gigi carnassial pada karnivora terletak di bagian
depan mulut tidak seperti Creodont. Hal ini menunjukkan bahwa gigi di
bagian belakang masih digunakan untuk mengunyah makanan, seperti bahan
makanan dari tumbuhan. Barangkali karnivora dapat lebih fleksibel dalam
makanan sehingga mengunakan lebih banyak relung, baik sebagai pemakan
daging maupun tumbuhan, tidak seperti Creodont yang tidak memiliki gigi di
bagian belakang gigi carnassialnya sehingga hanya bisa memakan daging.
Dukungan pendapat ini datang dari bukti perubahan iklim yang terjadi selama
kematian Creodont. Bumi menjadi lebih dingin dan lebih bermusim. Hal ini
mungkin membawa ke situasi dimana mangsa menjadi kurang tersedia, tetapi
tumbuhan berbuah dan serangga lebih melimpah sebagai akibat pergantian
musim.
Karnivora yang pertama dikenal sebagai miacid, berukuran kecil dan
agak tidak spektakuler serta banyak menyerupai genet (Genetta genetta, Fam :
Viverridae, beratnya 1 – 3 kg) pada masa kini. Divisi besar karnivora menjadi
karnivora serupa anjing (dog-like) dan serupa kucing (cat-like) terjadi sekitar
55 juta tahun lalu dan semua famili karnivora modern telah berkembang tujuh
juta tahun lalu. Diantara kelompok karnivora serupa kucing adalah kucing
bertaring pedang yang mendominasi karnivora dari 26 - 2 juta tahun lalu.
Bersamaan dengan karnivora bergerak ke selatan, mereka berkompetisi
dengan marsupial predator. Sekarang hanya sedikit keturunannya yang
bertahan seperti Tasmanian devil dan quoll di Australia. Barangkali yang
paling dikenal adalah thylacine atau serigala Tasmania yang telah punah sejak
70 tahun lalu oleh para pemburu.
Secara tradisional, karnivora dibagi menjadi sub divisi berdasarkan
anatomi dan tingkah lakunya, karnivora daratan (Fissipedia) dan karnivora
lautan (Pinnipedia). Pembagian ini tidak benar, berdasarkan analisis serum
darah menunjukkan bahwa Pinnipedia berkerabat dekat dengan beruang dan
berkembang dari satu jenis nenek moyang beruang yang sama. Saat ini,
banyak ilmuwan yang terlibat dalam bidang klasifikasi mengenali 10 famili
dalam dua divisi utama yaitu karnivora serupa kucing dan karnivora serupa
anjing.
Selama akhir masa Eocene dan awal Oligocene, 54 sampai 26 juta
tahun lalu sebagian besar kelompok karnivora modern rupanya berkembang
pesat menjadi golongan-golongan yang sangat banyak. Pembentukan
kelompok yang cepat ini tampaknya merupakan respon pada
perkembangbiakan tumbuhan pakannya yang lebih beragam yang
menyebabkan penyebaran mangsa karnivora. Dua kelompok miacid yang ada

10 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
EVOLUSI DAN SISTEMATIKA

pada masa Eocene diyakini mewakili awal pembedaan dua kelompok besar
karnivora yaitu Arctoidea dan Aeluroidea. Arctoidea (Canidae,
Amphicyonidae, Ursidae, Otariidae, Obodenidae, Procyonidea, Mustelidae
dan Phocidae) merupakan kelompok karnivora yang serupa beruang, termasuk
beruang, racoon, anjing laut, walrus, panda, musang, luwak, sigung dan
kerabatnya.
Aeluridea (Felidae, Hyaenidae, Viverridae, Nimravidae), merupakan
kelompok karnivora serupa kucing termasuk kucing, hyena, genet, musang
dan garangan). Selama pembentukan kelompok setiap divisi, beberapa
kemiripan dalam morfologi dan cara hidup berkembang menunjukkan
kesamaan dalam rentang adaptasi di setiap kelompok. Dua kelompok
karnivora yang telah punah diidentifikasi melalui catatan fosil adalah
Nimravidae, yang banyak anggotanya memiliki taring pedang; dan
Amphicyonidae, kerabat “anjing beruang” (bear-dog) yang menjadi punah
dalam masa pliocene.
Posisi anjing dalam silsilah tidaklah jelas, walaupun mereka umumnya
merupakan kerabat dari Arctoidea, dengan penampilannya yang menunjukkan
hubungan semua keturunan primitifnya yang ada pada nenek moyang
karnivora awal. Bentuk tersebut masih tersisa pada ordo canidae setelah
pemisahan awal dari karnivora lainnya. Ketahanan bentuk ini tersebar pada
semua kelompok Arctoidea, sehingga kekerabatan yang sangat dekat antara
bangsa anjing (canid) dan famili-famili tertentu dalam Arctoidea tidak
terbukti. Bahkan mungkin anjing, srigala, rubah dan kerabatnya berkembang
sebagai garis keturunan yang bebas dari nenek moyang miacid mereka dan
mungkin pantas menjadi kelompok sub divisi yang ketiga dari karnivora
modern.
Bangsa kucing pertama dalam famili Felidae muncul selama masa
Miocene (26 sampai 7 juta tahun yang lalu) dan kia-kira 10 juta tahun yang lalu
bangsa kucing modern berkembang. Bukti-bukti fosil menunjukkan kebenaran
bangsa kucing bertaring pedang mulai muncul selama masa Pliocene (7 sampai
2 juta tahun yang lalu) dimana mereka berkembang dengan baik dalam masa
Pleistocene (2 juta sampai 10.000 tahun lalu). Bangsa kucing bertaring pedang
yang terakhir dan paling dikenal adalah Smilodon fatalis. Besarnya seukuran
singa, Smiloodon merupakan kucing jaman es di Amerika Utara dan Selatan.
Smilodon punah sekitar 10.000 tahun yang lalu, pada saat yang bersamaan
dengan mamalia jaman es lainnya termasuk mammoth, dire wolf serta banyak
spesies badak dan kuda. Manusia pertama yang mendiami Amerika Utara
berburu satwa yang sama dengan kucing bertaring pedang dan banyak
memakan sisa buruan ini (http://www.peninsulavaldes.org/patagonia/
animals/mammals/carnivoro.htm).
Karnivora mendominasi mamalia pemakan daging (Urocyon

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 11
EVOLUSI DAN SISTEMATIKA

cinereoargenteus), walaupun berburu merupakan cara hidupnya, berbagi


dengan lainnya seperti anjing laut dan paus. Pada kenyataannya, kata
karnivora berarti pemakan daging. Tetapi ciri dari kelompok ini dapat
menyesatkan, karena sedikit spesies (seperti beberapa beruang) tidak makan
daging. Kelompok ini tersebar ke seluruh dunia, terpisah dari beberapa pulau
dan benua Antartika. Kebanyakan karnivora merupakan hewan darat
(Procyon lotor) atau arboreal, dua genera, Potos dan Arctictics memiliki ekor
pemegang. Semuanya dapat berenang, dengan beruang kutub (Ursus
maritimus) dan berang-berang sungai (Lutra, Aonyx, Pteronura) menjadi semi
akuatik dan berang-berang laut (Enhydra) paraktis menghabiskan seluruh
hidupnya di air. Pola sosial sangat bervariasi tergantung pada spesies,
walaupun kebanyakan sangat teritorial (Nasua narica). Dua kelompok paling
terkenal, bangsa kucing dan kerabatnya serta bangsa anjing dan kerabatnya
telah mengembangkan teknik berburu yang berbeda. Anjing, yang umumnya
hidup berkelompok berburu juga dalam kelompok dan cenderung menubruk
mangsanya, sementara kebanyakan bangsa kucing yang soliter menggunakan
cara dengan sembunyi-sembunyi untuk menyergap mangsanya, dengan
perkecualian pada singa.

B. Phylogeny
Klasifikasi terdahulu membagi ordo menjadi dua sub ordo yaitu
Fissipedia (terutama mencakup famili-famili karnivora daratan) dan
Pinnipedia (antara lain termasuk anjing laut, anjing laut berkuping dan
walrus). Tetapi pada waktu itu juga sudah diketahui bahwa Fissipedia
merupakan kelompok paraphyletic : pinnipedia bukanlah bagian dari
Fissipedia tetapi sudah lebih berkembang darinya.
Klasifikasi yang lebih baru telah bisa memadukan temuan teknik
molekuler untuk menemukan hubungan genetik. Berdasarkan itu, karnivora
dibagi menjadi sub ordo Feliformia (yang serupa kucing) dan Caniformia
(yang serupa anjing) yang kemudian juga mencakup pinnipedia. Pinnipedia
merupakan bagian dari suatu clade yang dikenal Arctoidea yang juga
mencakup beruang dan super famili Musteloidea. Musteloidea kemudian
meliputi mustelid, procyonid, sigung dan Ailurus. Anjing adalah kelompok
yang berkerabat dengan semua angota arctoid; mereka adalah kelompok
caniform (serupa anjing) besar pertama yang kemudian memisah dari yang
lainnya.
Studi yang sama akhirnya mendapatkan kedudukan Ailurus : Panda
merah bukan procyonid maupun ursid, tetapi membentuk famili tersendiri
bersama dengan musteloid lainnya yang memiliki kekerabatan lebih dekat.
Studi yang sama juga menunjukkan bahwa mustelid bukan famili primitif
seperti yang diduga sebelumnya. Ukuran tubuhnya yang kecil adalah sebuah

12 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
EVOLUSI DAN SISTEMATIKA

ciri bawaan sekunder bentuk tubuh arctoid primitif adalah besar


(http://en.wikipedia.org/ wiki/ Carnivora).
Studi molekuler terbaru mengusulkan bahwa karnivora endemik
Madagaskar, termasuk tiga genera yang biasanya dikelompokkan dalam kelas
musang (civet) dan empat genera garangan (mongoose) yang dikelompokkan
dalam kelas Herpestidae, semua diturunkan dari satu nenek moyang. Mereka
membentuk satu kerabat tunggal takson Herpestidae. Hyena juga berkerabat
dengan kelas ini.
Kedudukan pasti dari kucing dalam hubungannya dengan famili-famili
lainnya agak dipertentangkan. Nandinia, musang palm Afrika, tampaknya
merupakan yang paling primitif diantara semua Felimormia dan yang paling
pertama memisahkan diri dari lainnya. Linsang Asia dari genus Prionodon
(secara tradisional ditempatkan pada Viverridae) mungkin membentuk sebuah
famili sendiri, sebagaimana studi terakhir yang menunjukkan bahwa
Prionodon sesungguhnya lebih dekat berkerabat dengan kucing.
Kedudukan famili-famili karnivora yang telah punah tidak jelas.
Hasil studi terbaru menyatakan bahwa famili purba dari Miacidae dan
Viveravidae bukanlah anggota utama dari Caniformia dan Felimormia,
sehingga mereka bukanlah nenek moyang langsung dari famili karnivora
manapun yang hidup sekarang. Miacidae bahkan bukan monophyletic, tetapi
lebih mewakili suatu kesatuan paraphyletic dari pokok taksa. Secara
tradisional, Miacidae dan Viverravidae telah diklasifikasikan dalam tiga,
super famili paraphyletic yang telah punah, Miacoidae dari mana nenek
moyang langsung dari dua super famili berasal.
Nimravidae kadang-kadang dipandang sebagai yang paling utama dari
feliform dan yang pertama memishkan diri dari lainnya. Namun studi lain
menunjukkan bahwa nimravid (atau setidaknya sub famili Barbourofelinae)
berkerabat dekat dengan felid. Kedudukan dari banyak felid yang telah punah
tidaklah jelas – bagaimanapun, mereka bisa ya dan bisa tidak benarbenar-
benar kucing. Amphicyonid merupakan caniform pertama yang memisahkan
diri – mereka tidak berkerabat dengan ursid (sebagaimana pernah dianggap
demikian oleh para ahli) tetapi lebih merupakan kelompok di luar semua
caniformia lainnya.
Hasil dari studi yang sama lebih jauh menyatakan banyak umur
minimum yang lebih muda untuk karnivora crown-clade (perbedaan umur sub
clade Caniformia dan Feliformia) dari pada yang telah disimpulkan pada
banyak studi terdahulu; pertengahan Eocene (43 juta tahun lalu), agak lebih
awal Paleocene (60 juta tahun lalu). Masih tidak diketahui jika Creodont
merupakan kerabat terdekat karnivora, tetapi tampaknya benar. Mereka
tergabung dengan Pholidota dan beberapa ordo yang telah punah dalam clade
Ferae.

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 13
EVOLUSI DAN SISTEMATIKA

C. Klasifikasi
Kingdom : ANIMALIA
Phylum : CHORDATA
Kelas : MAMALIA
Ordo : KARNIVORA
Sub ordo FELIFORMIA (serupa kucing)
Famili Eupleridae : karnivora Malagasy; 8 spesies dalam 7 genera
Famili Felidae : kucing; 47 spesies dalam 18 genera
Famili Herpestidae : garangan dan kerabatnya; 30 spesies dalam
13 genera.
Famili Hyaenidae : hyena dan aard wolf; 4 spesies dalam 4 genera
Famili Nandiniidae : musang palem Afrika; 1 spesies dalam 1 genus.
Famili Nimravidae : taring pedang palsu (punah).
Famili Prionodontidae : linsang Asia; 2 spesies dalam 1 genus.
Famili Viverridae : musang dan kerabatnya; 30 spesies dalam
16 genera.
Sub ordo CANIFORMIA (serupa anjing)
Famili Amphicyonidae : beardog (punah, hidup 9 -37 juta tahun lalu)
Famili Canidae : anjing dan kerabatnya; 37 spesies dalam 10 genera.
Super famili : Musteloidae :
Famili Ailuridae : panda merah; 1 spesies dalam 1 genus
Famili Mephitidae : sigung dan luwak berbau busuk (stink badger);
10 spesies dalam 3 genera.
Famili Mustelidae : musang (weasel), marten (misalnya Martes
Americana), luwak (badger) dan berang-berang
(otter); 55 spesies dalam 24 genera.
Famili Procyonidae : raccoon dan kerabatnya; 19 spesies dalam 6 genera.
Super famili : Pinnipedia :
Famili Odobenidae : walrus; 1 spesies dalam 1 genus.
Famili Otariidae : singa laut, anjing laut berkuping, anjing laut
berbulu; 14 spesies dalam 7 genera.
Famili Phocidae : anjing laut sejati; 19 spesies dalam 9 genera.
Famili Ursidae : beruang; 8 spesies dalam 4 genera.

IKHTISAR
Sebagian besar ahli sistimatika setuju bahwa karnivora dapat dibagi
menjadi dua grup yaitu famili-famili Caniformia (serupa anjing) dan famili-
famili Feliformia (serupa kucing). Tetapi banyak ketidak sepahaman tentang
bagaimana famili-famili karnivora tersebut berkerabat satu dengan lainnya,
khususnya pinniped (anjing laut, singa laut dan walrus). Berdasarkan

14 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
EVOLUSI DAN SISTEMATIKA

sejarah evolusinya mamalia diperkirakan muncul sekitar 65 juta tahun yang


lalu setelah dinosurus punah. Mamalia predator yang pertama adalah
marsupial yang segera berkembang menjadi berbagai bentuk dan ukuran
yang kemudian mendominasi benua selatan selama 30 juta tahun. Dalam
catatan fosil dari 55 sampai 35 juta tahun lalu, sejumlah hewan seperti kucing,
anjing, beruang dan hyena ditemukan, beberapa diantaranya dengan taring
pedang, tetapi tidak satupun yang benar-benar karnivora. Selama akhir masa
Eocene dan awal Oligocene, 54 sampai 26 juta tahun lalu sebagian besar
kelompok karnivora modern berkembang pesat menjadi golongan-golongan
yang sangat banyak sebagai respon pada perkembangbiakan tumbuhan
pakannya yang lebih beragam. Bangsa kucing pertama dalam famili Felidae
muncul selama masa Miocene (26 sampai 7 juta tahun yang lalu) dan kia-kira
10 juta tahun yang lalu bangsa kucing modern berkembang.

GLOSARIUM
Clade : disebut juga monophyletic; suatu grup organisme, seperti
suatu spesies, yang anggotanya memiliki penampilan
homologous yang diturunkan dari satu nenek moyang
bersama; Suatu grup taksa biologi atau spesies yang
memiliki penampilan warisan dari satu nenek moyang
bersama dan dapat dibuat cladogram-nya.
Cladogram : sebuah diagram yang dibentuk menyerupai serangkaian
seri huruf “Y” atau garpu pada sebuah jalan. Pada setiap
cabang atau sambungan “Y”, ciri baru hasil evolusi
digunakan untuk memisahkan suatu grup dari induknya.
Cladistics : Suatu falsafat klasifikasi yang menyusun organisme hanya
dengan mengurutkan cabang dalam pohon evolusi dan
tidak berdasarkan kesamaan morfologi (Luria et al.,
1981).
Evolusi : perubahan frekuensi gen dalam populasi alami dari suatu
spesies. Penyebab perubahan antara lain : mutasi,
hanyutan genetik, migrasi dan seleksi alam
(The Dictionary of Forestry).
Monophyletic : disebut juga clade, dalam sistem cladistic, menunjuk pada
grup-grup oganisme yang mencakup nenek moyang
bersama yang terbaru dari semua organisme dan semua
keturunannya dari nenek moyang tersebut tersebut.
Contohnya : insekta, vertebrata, mamalia, angiospermae
dll.
Paraphyletic : suatu grup organisme dimana nenek moyang terkini
mereka dari semua organisme tersebut dan beberapa,
tetapi tidak semua, keturunannya tercakup dalam grup

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 15
EVOLUSI DAN SISTEMATIKA

tersebut. Sebagai gambaran, kelas reptilia berkembang


menghasilkan mamalia dan burung, tetapi saat ini baik
mamalia maupun burung tidak berada dalam kelas reptilia.
Taksa paraphyletic dikenal dalam sistematika Linnean
dan evolusi, tetapi tidak dalam cladistic. Contohnya :
Invertebrata, Amphibia, Reptilia, Dinosauria jika diluar
burung dan Gymnosperma, dll.
Phylogeny : sejarah evolusi suatu organisme atau kelompok taksonomi
misalnya suatu spesies (The Dictionary of Forestry).
Polyphyletic : suatu grup yang tersusun dari sejumlah organisme yang
mungkin memiliki beberapa kemiripan, tetapi tidak
mencakup nenek moyang terbaru dari semua organisme
anggotanya (biasanya disebabkan nenek moyangnya
kekurangan beberapa atau semua sifat dari grup tersebut).
Takson berbagi sifat-sifat yang diturunkan yang didapat
beberapa waktu dengan penggabungan. Taksa
polyphyletic dianggap tdak sah dan bukan penggolongan
yang umum serta tidak diterima, baik pada taksonomi
Linnean/evolusi maupun cladistic. Contoh : Pachyderma,
Haemothermia, Algae, Vermes (cacing).
Teritori : wilayah yang dipertahankan oleh suatu individu hewan,
biasanya merupakan wilayah jelajahnya untuk mencari
makan atau berkembang biak.
Teritorial : sifat pada hewan yang mempertahankan wilayah
jelajahnya dari pengganggu dari spesies yang sama.

DAFTAR PUSTAKA
http://www.peninsulavaldes.org. Carnivora. http://www.peninsula
valdes.org/patagonia/ animals/mammals/carnivoro.htm. Diakses
8/3/2007.
http://www.answer.com. Carnivora. http://www.answer.com/
topic/carnivora-1. Diakses 6/3/2007.
http://en.wikipedia.org. Carnivora. http://en.wikipedia.org/wiki/ Carnivora.
Diakses 6/3/2007.
http://www.answers.com/topic/clade. Diakses 6/3/2007.
http://www.palaeos.com/Systematics/Cladistics/polyphyletic.htm. Diakses
6/3/2007.
http://www.palaeos.com/Systematics/Cladistics/monophyletic.htm. Diakses
6/3/2007.
http://www.kheper.net/evolution/systematics/paraphyletic.htm. Diakses
6/3/2007.
http://www.brooklyn.cuny.edu/bc/ahp/CLAS/CLAS.Clad.html. Diakses
6/3/2007.
http://en.wikipedia.org/wiki/Cladogram). Diakses 6/3/2007.

16 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
DESKRIPSI FISIK Bab
DAN
BIOLOGI KARNIVORA 3
A. Deskripsi Fisik
Karnivora memiliki berbagai bentuk dan ukuran mulai dari musang
kecil (Mustela nivalis) yang hanya 50 gram sampai yang 48.000 kali lebih
berat atau sekitar 2.400 kg yaitu anjing laut gajah (Mirounga leonina).
Kebanyakan karnivora sangat khas bahkan orang awam pun dengan mudah
mengenali berbagai famili. Beruang, anjing, hyena, garangan, marten,
musang, kucing dan bahkan viverid sudah sangat dikenal, walaupun famili
lautan dan procyonid tidak banyak dikenal.
Kebanyakan anggota ordo karnivora dapat dikenali dari pembesaran
premolar keempat bagian atas dan molar pertama bagian bawah, yang
bersama-sama membentuk suatu robekan dan pemotongan daging dan urat
daging (tendon). Gigi-gigi ini dikenal sebagai sepasang carnassial. Ada
sedikit bentuk perkecualian seperti pada beruang, racoon dan anjing laut
dimana gigi-gigi tersebut mengalami modifikasi sekunder.
Satwa karnivora kebanyakan berukuran sedang; jika terlalu kecil tidak
memiliki kemampuan untuk membunuh; jika terlalu besar mereka tidak
mampu memenuhi kebutuhan makannya. Kebanyakan memiliki indera yang
sangat tajam. Pengelihatan dan pendengarannya sangat mengagumkan pada
kebanyakan karnivora, dan indera penciumannya seringkali menakjubkan.
Kebanyakan memiliki otak yang besar. Banyak diantaranya merupakan pelari
yang handal. Sebagian kecil merupkan pelari jarak jauh yang tangguh, tetapi
lebih umum karnivora merupakan pelari jarak pendek yang cepat dengan
mendendap-endap mendekati mangsanya kemudian menangkapnya dengan
sergapan kilat yang sengit. Sebagian kecil, seperti beruang dan racoon,
tampaknya relatif lamban atau kaku, walaupun demikian spesies ini dapat
dengan cepat melakukan sergapan yang hebat. Seperti halnya pelari jarak jauh,
tidak memiliki kerangka yang relatif kaku dan sangat termodifikasi dengan
pola pergerakan herbivora sasarannya seperti artiodactyl; ini mungkin
berhubungan dengan kebutuhan yang sering tidak diduga bahwa menangkap
dan membunuh mangsa besar bertumpu pada kerangka mereka.

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 17
DESKRIPSI FISIK DAN BIOLOGI KARNIVORA

Bentuk tengkorak karnivora sangat beragam. Sebagian besar memiliki


bentuk yang mudah didefinisikan, transverse glenoid fossa, dan gerakan
dominan rahang dalam arah punggung-perut (dorsal-ventral). Otot utama
penguat rahang bersifat temporal, dan sagittal crest berhubungan dengan
temporal merupakan bagian yang umum menyolok dari permukaan
tengkorak. Karnivora juga memiliki sebuah lengkungan zygomatic (tulang
pipi) yang kuat dan rongga otak yang relatif besar. Auditory bullae (gendang
pendengaran) dan turbinals (semacam gulungan tulang lunak pada saluran
hidung) juga cenderung besar dan rumit.
Disamping biasanya mempunyai carnassial, hampir semua karnivora
masih memiliki sejumlah gigi seri (3/3); sebuah pengecualian untuk berang-
berang laut yang mempunyai 2/3. Gigi seri terluar ketiga sering relatif besar
dan menyerupai taring. Gigi-gigi taring besar dan berbentuk kerucut. Jumlah
gigi di belakang carnassial sangat bervariasi, dari 1/1 pada beberapa kucing
sampai 4/4 pada beruang (akan lebih banyak pada pinniped, tetapi mereka
tidak memiliki carnassial. Semua gigi berakar dan diphyodont. Semua
karnivora memiliki perut yang sederhana.
Karnivora lautan merupakan kelompok khusus, sehubungan sebagai
pinniped (karnivora daratan disebut fissiped). Semua pinniped bertubuh
besar, mungkin karena air menghantarkan panas dengan baik dan satwa besar
memiliki rasio luas permukaan tubuh terhadap bobot yang rendah, yang
meminimalkan kehilangan panas sehubungan dengan konduksi panas
tersebut. Tubuh mereka dilapisi oleh lapisan lemak yang tebal yang disebut
blubber. Pada semua spesies, telinga eksternalnya kecil atau tidak ada, alat
kelamin eksternal dan puting susunya tersembunyi dalam celah atau masuk
dalam tubuh, dan ekornya sangat kecil. Tungkai depan dan belakang berubah
menjadi pendayung. Baik elemen tungkai yang dekat dengan tubuh (tulang
bagian atas tungkai dan tulang paha) yang masih menempel dalam tubuh,
maupun aspek lain dari tungkai, tungkai penopang dan tulang belakang
memiliki spesialisasi yang tinggi untuk berenang. Kebanyakan spesies
memiliki moncong (rostrum) yang relatif pendek dan orbitnya besar. Gigi
geraham biasanya homodont (tidak ada pembedaan sepanjang barisan gigi),
dan gigi-gigi biasanya berbentuk seperti kerucut sederhana. Satwa ini dapat
menyelam sampai kedalaman ekstrim (600 m untuk anjing laut Weddell) dan
berada dalam air untuk periode yang menakjubkan (lebih dari satu jam,
walaupun kebanyakan menyelam jauh lebih singkat). Karena lebih mudah
memelihara pinniped kecil dalam lab dari pada anggota ordo Cetacea (paus
dan lumba-lumba), maka adaptasi fisiologi mereka untuk menyelam telah
dipelajari secara luas.
Banyak karnivora memiliki kulit yang tebal dan indah, walaupun
beberapa seperti walrus memiliki kulit yang cukup tipis. Warna rambut

18 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
DESKRIPSI FISIK DAN BIOLOGI KARNIVORA

karnivora sangat beraneka, termasuk hitam, putih, orange, kuning, merah dan
hampir kebanyakan bercorak abu-abu dan cokelat. Sebagai tambahan, banyak
karnivora bergaris-garis, tutul, berbintil, bergaris atau berpola tegas.
Beberapa spesies, seperti serigala abu-abu, memiliki warna kulit polymorphic.
Kucing dan anjing peliharaan menunjukkan ribuan kombinasi warna kulit dan
bentuk tubuh sebagai hasil seleksi perkembangbiakan oleh manusia.

B. Biologi Reproduksi
Karnivora memiliki sistem perkawinan polygynous, polygyndrous dan
monogami. Anjing laut gajah di selatan (Mirounga leonina) menunjukkan
polygyny yang ekstrim, dimana para jantan berkelahi untuk dapat
berhubungan secara ekslusif dengan para betina harem. Sementara, serigala
abu-abu (Canis lupus) adalah pasangan monogami yang bekerjasama dalam
memelihara anak-anaknya; jantan dan betina dominan dalam kelompok
perkembangbiakan dan semua anggota kelompok membantu membesarkan
anak-anak mereka. Karnivora soliter, seperti beruang, bangsa mustelid dan
bangsa kucing sering polygynandrous, dengan masing-masing jantan dan
betina memiliki banyak pasangan selama musim kawin.
Karnivora berkembangbiak baik secara musiman maupun tidak; di
daerah dingin biasanya kawin pada musim dingin dan semi serta melahirkan
selama musim semi dan musim panas. Betina mungkin polyestrus atau
monoestrus; pada beberapa spesies ovulasi disebabkan oleh perkawinan.
Karnivora dapat memiliki dua atau tiga anak per tahun (seperti pada musang
kecil), tetapi kebanyakan karnivora betina hanya memiliki satu anak setiap
satu sampai dua tahun. Kelambatan implantation, dimana blastocyst diam
terbaring selama beberapa bulan sebelum implantation dalam saluran
kandungan (uterine) adalah umum pada beberapa famili karnivora (seperti
mustelid). Setelah implantation, masa kebuntingan berkisar dari lima minggu
pada musang kecil sampai 15 bulan pada walrus. Masa kebuntingan khusus
sesungguhnya berakhir dua sampai empat bulan. Jumlah kelahiran bervariasi
dari 1 sampai 16 dan umumnya 3 – 5. Betina mengasuh anak mereka sampai
dua tahun dan anak mencapai dewasa kelamin sampai tujuh tahun.Karnivora
betina mengandung anak mereka sampai 15 bulan dan menyusuinya setelah
lahir. Lamanya pengasuhan sangat bervariasi di anatara karnivora. Beberapa
phocid (anjing laut sejati) hanya mengasuh anak mereka selama dua minggu,
tetapi walrus mengasuh anak mereka sampai dua tahun. Masa menyusui pada
karnivora daratan juga berkisar dalam rentang waktu ekstrim tersebut. Anak
karnivora sangat beragam dari yang sangat precocial, seperti anak anjing laut
pelabuhan (Phoca vitulina) yang dapat berenang beberapa menit setelah
dilahirkan, sampai altrical seperti pada beruang. Karnivora betina biasanya
memikul tanggung jawab sendiri untuk mengasuh dan melindungi anak

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 19
DESKRIPSI FISIK DAN BIOLOGI KARNIVORA

mereka, pengasuhan oleh jantan tidak umum, khususnya di antara bangsa


anjing (canid). Karnivora yang hidup berkelompok dan berkembangbiak
secara komunal, semua dapat berbagi dalam menjalankan tugas membesarkan
setiap anak-anak lainnya. Pada beberapa jenis yang sosial, seperti hyena tutul
(Crocuta crocuta), posisi induk dalam hirarki dominan menunjukkan posisi
anak-anaknya. Anak-anak hyena tutul, anjing hutan, berang-berang laut,
beruang dan bangsa kucing besar tinggal bersama induk sampai dua tahun
walaupun mereka telah disapih; mereka bergantung pada induk mereka untuk
makan sampai mereka mampu berburu sendiri. Pada karnivora yang
membentuk kelompok sosial sangat dekat, ikatan antara induk dan anak dapat
berlangsung lebih lama melewati masa ketergantungan anak.
Sistem perkawinan merupakan aspek paling rumit dan beragam dari
perilaku sosial. Karnivora melahirkan anak atricial yang bergantung pada
dewasa untuk bertahan hidup dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu,
banyak tingkah laku mereka bukan hanya terpusat sekitar melahirkan anak
tetapi juga membesarkannya. Ada dua tipe dasar dari sistem perkawinan pada
karnivora yaitu monogami dimana seekor jantan dengan seekor betina, dan
poligyny dimana jantan-jantan kawin dengan beberapa betina dan atau
sebaliknya. Monogami paling tidak umum dan dilakukan oleh semua bangsa
anjing (canid), dan juga pada aardwolf serta beberapa bangsa garangan
(mongoose), walaupun pada hampir kebanyakan spesies aturan itu
dipatahkan. Selain seekor jantan menarik lebih dari satu betina ke teritorinya,
perselingkuhan juga terjadi. Sistem monogami ditandai baik oleh kedua jenis
kelamin dan sering anak yang lebih tua membantu membesarkan anak-anak
dengan memberi makan dan menjaganya, juga ditandai oleh ketiadaan
perbedaan morfologi menurut jenis kelamin (sexual dimorphisme). Kasus
ekstrim ditemukan pada satwa yang hidup dalam kawanan (pack) seperti
anjing liar Afrika dan garangan kerdil dimana normalnya hanya sepasang
yang berkembang biak, sementara dewasa lainnya abstain dan membantu
membesarkan anak-anaknya. Pada spesies polygyny, jantan biasanya lebih
besar dari pada betina dan seringkali dilengkapi dengan penampilan
spektakuler untuk menarik betina, seperti singa dan anjing laut gajah.
Kerjasama dalam membesarkan anak-anak kurang umum tetapi terjadi pada
beberapa spesies polygyny yang sosial, sebagai contoh singa-singa betina
menyusui setiap anak singa lainnya.
Banyak karnivora mengembara jauh dan menghabiskan waktu sendiri,
oleh karena itu penting bagi betina untuk menarik perhatian jantan jika sudah
siap untuk kawin. Penandaan bau melalui urinasi dan sekresi anal sangat
umum pada karnivora untuk memberi tanda kepada lawan jenisnya.
Walaupun mungkin jantan terbaik mendapat kesulitan untuk berada pada
waktu dan tempat yang tepat. Mengapa seekor betina dapat menjamin bahwa

20 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
DESKRIPSI FISIK DAN BIOLOGI KARNIVORA

dia kawin dengan jantan terbaik yang ada adalah untuk melakukan strategi
reproduksi yang dikenal dengan ovulasi terinduksi (induced ovulation).
Betina mulai estrus, tetapi tidak melepaskan telur sampai terangsang oleh
kopulasi. Strategi lainnya disebut ovulasi spontan (spontaneous ovulation),
dimana telur dilepas dalam suatu siklus yang tidak dipengaruhi oleh
perkawinan. Walaupun ada pengecualian, pembuah spontan (spontaneous
ovulator) tampaknya terjadi pada spesies yang lebih sosial daripada pembuah
terinduksi (induced ovulator).
Satwa yang lebih kecil memiliki laju metabolik yang lebih cepat dan
berkembangbiak lebih cepat dari pada satwa besar. Betina karnivora terkecil,
seperti musang kecil, matang seksual pada umur tiga bulan. Jumlah anak per
kelahiran biasanya enam, sehingga jika ia hidup cukup lama – usia harapan
hidup rata-rata kurang dari satu tahun – seekor betina berpotensi memproduksi
30 keturunan setahun. Jumlah ini didapat dari enam ekor pada kelahiran
pertama dan kedua serta masing-masing enam anak dari tiga anak betinanya
dari kelahiran pertamanya. Jantan belum matang seksual pada tahun pertama.
Di lain pihak, singa dapat hanya sekali melahirkan dengan tiga atau empat
anak dalam tiga setengah tahun sampai anak-anaknya tidak tergantung lagi
pada umur tiga tahun. Tetapi, jika betina kehilangan semua anak-anaknya,
maka ia akan cepat estrus lagi. Anjing liar Afrika memiliki laju metabolik
yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan dugaan dari ukuran tubuhnya dan
turn over populasinya cepat. Hal ini menunjukkan potensi reproduksi mereka
yang tinggi. Mereka berkembang biak secara musiman dan melahirkan
jumlah kelahiran yang besar, yang tertinggi tercatat 21 ekor untuk satu betina.
Pinniped beradaptasi dengan baik untuk hidup di lautan tetapi harus
pergi ke areal perkembangbiakan di daratan pada musim panas untuk
bereproduksi. Jantan datang sedikit lebih awal daripada betina dan membuat
teritori. Betina datang sesaat sebelum melahirkan anak tunggal yang
dikandung pada musim sebelumnya. Masa menyusui sangat pendek dan
intensif, tidak lebih dari enam minggu pada anjing laut. Anak dibesarkan dan
ditinggalkan begitu saja oleh induknya untuk kawin, sebelum kembali ke laut
untuk tahun berikutnya. Pada anjing laut berkuping, betina datang ke musim
kawin sekitar satu minggu setelah melahirkan. Menyusui berlangsung 4 – 6
minggu dimana pada masa itu induknya melakukan periode perampasan
makanan ke dalam laut.

C. Masa hidup
Karnivora merupakan mamalia yang berumur panjang, dengan hampir
kebanyakan spesies dapat hidup sedikitnya satu dasa warsa. Perkecualian
terutama pada musang kecil (Mustela), yang hidup sampai enam tahun dalam
kandang tetapi biasanya di alam tidak lewat dari satu tahun. Pada umumnya,

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 21
DESKRIPSI FISIK DAN BIOLOGI KARNIVORA

karnivora pinniped hidup lebih lama daripada karnivora fissiped, dengan


beberapa spesies (walrus, anjing laut abu-abu, anjing laut cincin, anjing laut
Caspia dan anjing laut Baikal) dilaporkan dapat hidup 40 tahun atau lebih di
alam. Di bawah ini disajikan umur potensial beberapa jenis karnivora.

Tabel 1. Umur potensial beberapa jenis karnivora.


Umur
No. Nama u mum Nama Ilmiah
(tahun)
1 Singa Panthera leo 24
2 Bobcat Lynx rufus 34
3 Harimau Panthera tigris 20
4 Macan tutul Panthera pardus 20
5 Jaguar Panthera onca 20
6 Puma Felis concolor 16
7 Fossa Cryptoprocta ferox 17
8 Coyote Canis latrans 18
9 Serigala abu-ab u Canis lupus 20
10 Jackal Emas Canis aureus 20
11 R ubah abu -abu Vulpes cin ereoargenteus 15
12 Serigala Maned Chrysocyon brachyurus 15
13 Dhole ( anjing liar A sia) Cuon alpinus 16
14 Beruang Grizzly Ursus arctos 47
15 Beruang kutub Ursus m aritimu s 21
Sumber : http://www.earthfile.net/mammals/age.html

D. Indera khusus
Organ panca indera yang sangat efisien amat penting bagi predator.
Mangsa harus dapat dibidik dari jarak jauh dan sergapan akhir sering
membutuhkan orientasi yang sangat akurat. Pendengaran, penglihatan dan
penciuman sama pentingnya. Beberapa predator dalam berburu banyak
menggunakan indera penciumannya; yang lain mengandalkan indera
penglihatannya, sementara pemangsa hewan kecil atau berburu di vegetasi
lebat, mungkin indera pendengarannya memainkan peran yang dominan.

1. Indera penglihatan
Kebutuhan daya penglihatan untuk malam hari dan siang hari tidaklah
sama. Kebutuhan sensitivitas penglihatan pada cahaya yang remang-remang
memerlukan pupil mata dan bukaan kelopak yang besar sehingga cahaya
sebanyak mungkin dapat masuk ke mata. Pupil mata besar berarti lensa dan
kornea juga besar tetapi tidak selalu diikuti dengan peningkatan sensitivitas
(Ewer, 1985).
Mata spesies nokturnal biasanya memiliki ruangan bagian depan yang
besar dengan kurva lensa yang banyak dan besar serta kornea yang sangat
cembung. Kebutuhan kedua adalah retina yang sangat sensitif yang

22 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
DESKRIPSI FISIK DAN BIOLOGI KARNIVORA

berimplikasi mengandung banyak receptor berbentuk batang (rods). Lebih


jauh sensitivitas meningkat pada mamalia nokturnal, termasuk karnivora,
dengan adanya lapisan pemantul tapetum lucidum, di luar lapisan penerima
pada retina. Cahaya yang melewati lapisan penerima (receptor) tanpa diserap
dipantulkan kembali sehingga mempunyai kesempatan kedua untuk
menstimulasi receptor. Ketika cahaya terang menyorot pada mata akan
menghasilkan sinar mata (eyeshine) yang dihasilkan oleh pantulan cahaya
yang meleset diserap pada perjalanan kembali sehingga ditransimisikan
kembali untuk menstimulasi mata pengamat. Sel-sel pembentuk tapetum
berisi cytoplasma yang sangat kecil tetapi dalam kemasan yang berisi penuh
refractile rodlets yang tersusun teratur. Tapetum hampir selalu ada pada
karnivora, hanya bangsa garangan (Cynictis dan Suricata) yang dilaporkan
tidak memilikinya (Walls, 1942 dalam Ewer, 1985).
Penglihatan pada cahaya terang memiliki kebutuhan yang berlawanan.
Sel-sel receptor harus berbentuk kerucut (cones), diadaptasikan untuk fungsi
pada intensitas tinggi dan harus memungkinkan untuk menutup pupil mata
sampai sempit. Banyak karnivora, mungkin sebagian besar, memiliki mata
yang beradaptasi dengan kedua fungsi, baik malam maupun siang. Untuk
penglihatan semacam ini retina harus mengandung, baik rods maupun cones
dengan proporsi tergantung pada kebutuhan relatif penglihatan malam dan
siang. Biasanya ada area untuk ketajaman tertinggi, dimana proporsi cones
lebih tinggi. Jika sensitifitasnya tinggi (proporsi rods tinggi), maka pupil
harus dapat menutup sampai rapat pada cahaya terik (Ewer, 1985).
Karena retina bangsa kucing sangat sensitif, maka jelas dibutuhkan
buka tutup pupil mata yang efisien. Ini tentu saja merupakan fungsi dari celah
pupil (pupil slit). Sphincter bundar tidak akan bisa menutup sempurna, tetapi
susunan otot serat dalam slit pupil memungkinkan hal ini. Felidae memiliki
pupil oval yang lebar, hanya sedikit memanjang secara vertikal, yang akan
tampak bundar ketika terbuka lebar. Di anatara Felidae yang benar-benar
memiliki slit pupil terbatas pada genus Felis. Slit pupil juga ditemukan pada
beberapa viverrid seperti Nandinia, Paguma dan Arctogalidia. Paradoxurus
merupakan pengecualian diantara karnivora yang memiliki slit pupil
horisontal. Slit pupil pada kucing dan viverrid kenyataannya menutup dengan
sempurna pada pertengahan tetapi menyisakan sedikit bukaan sebesar lubang
jarum baik pada kedua sudut/ujungnya dan pada Paradoxurus di tengah iris
ada takik, sehingga masih menyisakan satu bukaan selebar lubang jarum di
tengah ketika menutup (Ewer, 1985).
Pupil oval memanjang horisontal ditemukan pada Cynictis (Walls,
1942 dalam Ewer, 1985), Helogale (Zannier, 1965 dalam Ewer, 1985) dan juga
pada Suricata dan Crossarchus. Ini memberikan keuntungan sudut pandang
yang lebar di lapangan yang datar yang mungkin berguna bagi hewan daratan

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 23
DESKRIPSI FISIK DAN BIOLOGI KARNIVORA

berkaki pendek seperti garangan. Pupil horisontal mungkin juga terjadi pada
spesies selain yang telah disebutkan di atas : ini mungkin merupakan ciri
penting dari Herpestinae secara kesuluruhan (Ewer, 1985).
Selain hewan non primata tingkat tinggi tidak memiliki kemampuan
daya akomodasi mata, tetapi karnivora memiliki daya akomodasi yang
berkembang luar biasa. Berang-berang yang harus melihat di air dan daratan
memiliki iris sphincter yang luar biasa dan berfungsi sebagai alat bantu
mengubah bentuk lensa dengan mengkonstruksi porsi bagian depan.
Keanehan lain mata Lutra adalah retinanya yang dapat menggulung ke atas ke
dalam seri ridges. Retina semacam ini juga ditemukan pada mamalia air yaitu
paus dan kuda nil. Retina semacam ini diperkirakan sebagai adaptasi untuk
melihat di bawah air, tetapi bagaimana mekanisme berfungsinya masih belum
diketahui (Ewer, 1985).
Pada manusia yang memiliki bagian putih lebih besar mempunyai
gerakan mata yang lebih luas, dan posisi mata yang menghadap lurus ke depan
memberikan luas area pandang binokular lebih besar sehingga mengetahui
jarak dengan lebih tepat, tetapi area pandang total berkurang. Namun hal ini
diimbangi dengan kemampuan gerak mata yang lebih luas. Pada karnivora,
keakuratan jarak juga diperlukan dan overlap binokular walaupun lebih
sempit dari manusia tetapi masih cukup bagus. Overlap maksimal terjadi pada
Felidae, dimana sudut antara sumbu optik dan sumbu badan berkisar 4o – 9o.
Pada kucing, total area pandangan 287o dengan overlap binokular 130o. Pada
anjing perbedaan sudut mata dari badan sedikit lebih besar yaitu 15o - 25o dan
maksimum untuk karnivora mendekati 50o (Ewer, 1985).
Kemampuan lain yang berkembang dengan baik pada karnivora adalah
sejenis selaput mata yang disebut nictitating membrane, yang pada banyak
spesies dapat ditarik menutupi mata dan berfungsi sebagai alat pelindung atau
pembersih permukaan bola mata (cunjunctive). Spesies yang suka menggali
dan berlindung dalam lubang seperti garangan, memiliki kemampuan ini.
Demikian juga beruang kutub dan panda raksasa juga memiliki selaput
tersebut yang menurut Walls (1942) dalam Ewer (1985) mungkin digunakan
untuk melindungi mata dari cahaya yang menyilaukan, seperti halnya kita
menggunakan kacamata untuk menghindari kebutaan akibat silau salju.
Karnivora tidak buta warna tetapi kemampuan pembedaan warnya bervarasi
menurut jenis (Ewer, 1985).

2. Indera Pendengaran
Sudah lama diketahui bahwa sensitifitas pendengaran kucing dan
anjing jauh di atas manusia. Kucing memiliki sensitifitas pendengaran yang
tinggi untuk frekuensi sampai 50 kHz tetapi menurun drastis untuk frekuensi

24 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
DESKRIPSI FISIK DAN BIOLOGI KARNIVORA

di atasnya. Sensitifitas pendengaran kucing pada nada tinggi menurun dengan


meningkatnya umur seperti halnya pada manusia (Ewer, 1985).
Pada Tabel 2 di bawah ini ditampilkan hasil penelitian batas atas
sensitifitas pendengaran beberapa karnivora. Musang, jaguarondi, ringtail,
coati dan kucing yang memangsa hewan kecil, kemampuan mendengar
frekuensi tinggi menjadi penting seperti suara cicitan dan desauan. Bagi
beruang dan hyena kemampuan seperti ini tidak begitu penting dan batas atas
mereka lebih rendah. Sementara racoon, tayra, coyote dan anjing memiliki
sensitifitas menengah, oleh karena itu ada anggapan bahwa kebanyakan
karnivora daratan tidak memiliki kemampuan pendengaran yang istimewa.
Menurut Evans (1969) dalam Ewer (1985) pendengaran berang-berang sungai
(Lutra canadensis) berada di bawah kelompok terakhir tersebut.
Batas bawah tidak begitu berarti karena getaran dapat dirasakan
sebagai bunyi nada di bawah level dimana nada yang masih dapat didengar.
Tetapi, ada suatu titik dimana sensitifitas menjadi sangat berkurang seiring
menurunnya frekuensi dan agaknya memberikan beberapa dugaan frekuensi
terendah yang umumnya penting bagi kehidupan satwa. Ternyata sangat
mengejutkan, untuk rubah, coyote dan hyena sekitar 100 Hz, sedangkan
lainnya antara 200 – 300 Hz (Ewer, 1985).
Karena sensitifitas bervariasi menurut frekuensi maka tidak dapat
dibuat perbandingan ketajaman pendengaran antara dua spesies. Sensitifitas
kucing dan anjing tidak banyak berbeda dengan manusia sampai frekuensi
mendekati 500 Hz tetapi pada frekuensi yang lebih tinggi kedua bangsa satwa
tersebut jauh lebih tajam dari manusia (Spector, 1956 dalam Ewer, 1985).

Tabel 2. Batas atas pendengaran beberapa jenis karnivora.


Batas Batas atas yang digunakan
Jenis atas Relatif Absolut
kHz kHz kHz
Paradoxurus hermaphroditus (musang palem) 100 70 70
Herpailurus yagouaroundi (jaguarondi) 100 55 70
Bassariscus astutus (ringtail) 100 45 70
Felis catus (kucing rumah) 100 35 65
Nasua nasua (coati) 95 45 60
Procyon lotor (racoon) 85 35 50
Tayra barbara (tayra) 85 40 40
Canis latrans (coyote) 80 30 30
Canis familiaris (anjing greyhound) 60 15 35
Selenarctos thibetanus (beruang hitam Asia) - 30 30
Crocuta crocuta (hyena tutul) - 15 30
Vulpes vulpes (rubah merah) 65 6 20

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 25
DESKRIPSI FISIK DAN BIOLOGI KARNIVORA

Menurut hasil percobaan Pavlov (1928) dalam Ewer (1985), anjing


dapat membedakan dua nada dengan perbedaan 1/8 tone. Menurut Neff dan
Diamond (1958) dalam Ewer (1985), kucing juga dapat membedakan 1/5 atau
bahkan 1/10 tone dalam jangkauan sensitifnya tetapi di bawah frekuensi ini
kemampuannya menurun sampai setengah tone.
Kemampuan untuk melokalisir suara juga sangat penting bagi
karnivora. Neff dan Diamond (1958) dalam Ewer (1985) menemukan bahwa
bangsa kucing dapat membedakan dua sumber suara yang terpisah dengan
sudut 5º dengan ketepatan 75%, sama dengan kemampuan manusia. Tidak
mengejutkan kalau kucing tidak lebih tajam dari manusia, karena mobile
pinna sering dipercaya membantu dalam menentukan lokasi. Padahal tidak
demikian, pinna membantu mengumpulkan gelombang suara dan tidak
diragukan memberikan bantuan yang tidak sedikit pada ketajaman
pendengaran sewaktu bergerak sambil menyimak lingkungannya atau
langsung memberi perhatian pada beberapa sumber suara. Pergerakannya itu
sendiri tidak membantu melokalisir suara, bahkan mungkin menambah rumit
karena adanya tambahan variabel lain, karena beberapa asimetri posisi dua
pinnae harus masuk dalam sistem syaraf pusat dan harus diolah untuk
menentukan satu sumber suara (Ewer, 1985).
Bagaimanapun juga, keberadaan pinna memberikan kemampuan
untuk menentukan lokasi suara pada beberapa titik di luar tubuh (Whitfield,
1971 dalam Ewer, 1985). Perbedaan waktu kedatangan suara dan intensitas
yang diterima oleh dua telinga dapat memberikan informasi arah sumber tetapi
tidak dengan sendirinya dapat menunjukkan lokasinya. Dengan banyaknya
suara di alam, keberadaan pinna mengenali variasi kualitas suara yang
diterima dalam hubungannya dengan posisi sumbernya dan inilah yang
sebenarnya membuatnya dapat mengenali lokasi (Ewer, 1985).
Bentuk pinna, sangat berkembang bukan hanya alat pengumpul
sederhana seperti sebuah cuping (daun) telinga, ia diperkirakan berhubungan
dengan hasil variasi tersebut. Kemampuan untuk mengunakan perbedaan-
perbedan yang halus dalam menggapai suara, dua telinga dapat bergantung
pada proses belajar, seperti halnya kita belajar mengunakan alat bantu
sekunder penglihatan untuk menajamkan kemampuan menentukan jarak.
Dengan keberadaan pinna yang memberikan informasi dasar, membuat proses
belajar ini dimungkinkan (Ewer, 1985).
Spesies yang dalam hidupnya menggunakan suara sebagai alat
berkomunikasi yang penting, harus mampu membedakan suara-suara yang
berbeda dan oleh karena itu tidak mengherankan bahwa banyak di antara
mereka dapat belajar untuk merespon berbagai signal suara dari manusia.
Kebanyakan kucing dan anjing, tanpa latihan khusus, belajar untuk merespon
pada namanya sendiri dan pada suara panggilan yang menandakan bahwa
makan telah siap dan kebanyakan anjing belajar perbendaharaan kata yang

26 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
DESKRIPSI FISIK DAN BIOLOGI KARNIVORA

jauh lebih banyak. Kemampuan ini tentu saja merupakan hal yang sangat
penting sebagai dasar untuk melatih anjing penjaga domba. Burns (1969)
dalam Ewer (1985) membuat daftar delapan perintah suara yang harus
dikenali oleh anjing penjaga domba sebagai kemampuan dasar, tetapi biasanya
perbendaharaannya jauh lebih banyak dari itu. Lebih jauh, banyak perintah
dapat diberikan, baik secara verbal, ketika anjing dekat atau menggunakan
kode siulan ketika jauh dari gembala (Ewer, 1985).

3. Indera Penciuman
Dari aspek tingkah laku dan fisiologi, penciuman merupakan salah satu
indera yang paling sulit diteliti, sebagian karena sulitnya mengendalikan dan
mengukur rangsangan (stimuli) dan sebagian lain karena komunikasi dengan
indera penciuman memainkan peran yang sangat kecil dalam kehidupan kita.
Meskipun demikian, kita dapat membedakan banyak macam bau dan sedikit
latihan dapat meningkatkan banyak kemampuan kita, walaupun pada
umumnya bau jarang merupakan hal penting bagi kita (Ewer, 1985).
Dalam dunia karnivora, bau bukan hanya penting dalam melacak
mangsa tetapi juga dalam berbagai perilaku. Sudah sejak 1897 E.T. Seton
menyadari bahwa anjing menggunakan urin sebagai sarana pertukaran
informasi dan mempunyai tempat-tempat kencing khusus sebagai “telepon-
telepon bau”. Bau memainkan peran penting untuk pengenalan individu,
mengetahui status seksual dan dalam interaksi antara induk dan anak.
Keanekaragaman kelenjar penghasil bau ditemukan pada karnivora terbukti
sangat penting, bahkan bagi karnivora yang tidak berburu dengan penciuman.
Kebanyakan penyelidikan menggunakan penciuman dilakukan menggunakan
anjing karena kemampuan pelacakannya, baik dalam olah raga maupun kerja
kepolisian (Ewer, 1985).
Kalmus (1955) dalam Ewer (1985) sangat tertarik dengan kemampuan
anjing dalam membedakan bau manusia secara individual. Ia menunjukkan
bahwa anjing dapat membedakan bau setiap anggota dalam satu keluarga
bahkan dapat membedakan kembar identik dengan bau secara bersamaan.
Kekhasan bau individu tidak banyak dipengaruhi oleh dari daerah mana bau itu
dikeluarkan (telapak tangan, ketiak, telapak kaki). Perbedaan bau daerah-
daerah tertentu dikenali dengan baik oleh manusia tetapi tidak
membingungkan bagi anjing untuk mengidentifikasi individu (Ewer, 1985).
King et al., (1964) dalam Ewer (1985) menemukan bahwa anjing masih
dapat mendeteksi jejak bau yang ditinggalkan oleh sidik jari manusia pada
slide kaca sampai enam minggu sesudahnya jika disimpan di dalam ruangan,
tetapi jika slide tersebut di luar ruangan sehingga terpengaruh cuaca, baunya
masih dapat dideteksi setelah satu sampai dua minggu. Percobaan Moulton
et al. (1960) dalam Ewer (1985) pada batas penciuman anjing terhadap

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 27
DESKRIPSI FISIK DAN BIOLOGI KARNIVORA

senyawa murni (formic, acetic, propionic dan asam aliphatic rantai panjang
lainnya) kurang menarik. Sensitifitas hidung anjing terhadap substansi
tersebut tidak lebih mencolok dibandingkan hidung manusia dan tidak
ditemukan penyebab khusus mengapa demikian. Keunggulan anjing
dibandingkan manusia bukan pada sensitifitas penerima penciuman
individual tetapi dalam keanekaragaman bau yang dapat dideteksi.
Kemampuannya membedakan bau disebabkan oleh banyak variasi kuantitatif
gabungan antara jumlah konstituen dan kemampuan mengingat, seperti
halnya kita mengingat wajah atau suara (Ewer, 1985).
Penyelidikan Kalmus meliputi beberapa uji pelacakan tetapi
penyelidikan paling banyak pada kemampuan pelacakan anjing yang terlatih,
dilakukan oleh Budgett (1983) dalam Ewer (1985). Ia tidak hanya
menunjukkan bahwa anjing dapat mengikuti jejak individu manusia tetapi
juga jika buruannya mengenakan sepatu boot karet atau bahkan menaiki
sepeda, setelah memeriksa dan mencari, anjing masih dapat mengikuti
jejaknya. Budget menyimpulkan bahwa kondisi optimal untuk pelacakan
adalah ketika temperatur tanah sedikit lebih tinggi dibandingkan temperatur
udara. Kondisi ini biasanya terpenuhi pada awal menjelang malam, ketika
temperatur udara turun lebih cepat dari pada temperatur tanah dan Budgett
memastikan bahwa waktu ini merupakan waktu favorit untuk berburu oleh
banyak karnivora yang memiliki penciuman tajam (Ewer, 1985).
Orang mungkin mengira spektrum bau bagi hidung spesies tertentu
merupakan respon yang berkaitan dengan cara hidup, khususnya perilaku
mencari makan. Misalnya, spesies pemakan tumbuhan mungkin lebih
responsif pada bau tanaman dan bau bunga dibandingkan pemakan daging.
Sensitifitas kucing terhadap catnip (tanaman yang disukai kucing) merupakan
pengecualian dan merupakan kasus khusus. Respon mereka terhadap bau
tanaman tertentu pasti menyerupai tingkah laku yang ditunjukkan oleh betina
sewaktu oestrus (Palen dan Goddard, 1966 dalam Ewer 1985). Oleh karena
itu, tampaknya hampir pasti bahwa bau mengandung beberapa komponen
yang identik dengan atau sangat menyerupai bau yang dihasilkan satwa itu
sendiri. Konstituen minyak esensial tanaman adalah cis, trans-nepetalactone
(Waller et al., 1969) tetapi tidak ada upaya untuk menemukan senyawa apa
yang dihasilkan oleh kucing. Sayangnya, studi komparatif terhadap
sensitifitas bau dari spesies berbeda belum dibuat tetapi banyak bukti tingkah
laku bahwa beberapa mamalia mengeluarkan dan merespon untuk menandai
sesuatu dengan bau yang tidak dapat dideteksi oleh hidung manusia (Ewer,
1985).
Vomero nasal atau organ Jacobson merupakan struktur yang fungsinya
pada mamalia sangat sedikit diketahui. Ia berisi barisan kantong dengan sel-
sel penerima yang sangat mirip organ penciuman dan teretak di bagian depan

28 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
DESKRIPSI FISIK DAN BIOLOGI KARNIVORA

dari langit-langit mulut. Ia terbuka terhadap mulut melalui pembuluh dan


pada banyak spesies terdapat juga bukaan ke saluran hidung. Dipandang dari
lokasinya, tampaknya organ Jacobson mungkin dapat mengecap makanan di
dalam mulut seperti yang dikatakan Negus (1956) dalam Ewer (1985). Negus
percaya bahwa Jacobson mungkin memainkan beberapa bagian dalam
menstimulir refleks sekresi perut, tetapi dipandang dari kecepatan menelan
makanan hal ini tampaknya agak mustahil, setidaknya pada karnivora.
Sayangnya, pada banyak primata yang lebih tinggi, termasuk manusia, fungsi
organ Jacobson tidak berkembang dan oleh karena itu tidak dapat memberi
kita kunci bagaimana kerjanya. Tetapi ada indikasi bahwa mungkin penting
dalam hubungannya dengan aktivitas lainnya daripada hubungannya dengan
makanan. Banyak mamalia, termasuk sejumlah karnivora melakukan seringai
aneh yang dikenal dengan flehmen (mengendus) dimana bibir ditarik ke atas,
hidung berkerut dan ditarik ke belakang, kepala mendongak dan pada
beberapa spesies berhenti bernafas untuk sesaat. Flehmen mungkin
disebabkan oleh sejumlah substansi berbau kuat tetapi biasanya terlihat untuk
merespon bau urin yang spesifik.
Knappe (1964) dalam Ewer (1985) mengatakan bahwa flehmen
membantu mengantar bau ke dalam kontak dengan organ Jacobson.
Pandangan ini didukung oleh Verbene (1970) dalam Ewer (1985) yang telah
melakukan penelitian yang luas pada flehmen pada Felidae dan memberikan
gambaran detail prosesnya pada berbagai spesies. Flehmen tersebar luas
mungkin hal yang umum pada felid yang semuanya memiliki fungsi organ
Jacobson, tetapi hanya pada kucing rumah tampak agak lemah, dimana organ
Jacobsonnya agak kecil. Di antara mustelid, flehmen ada pada tayra (Brosset,
1968 dalam Ewer, 1985) dan pada viverird, Suricata dan Civettictics. Sudah
umum dipercaya bahwa Canidae tidak mengendus (flehm) tetapi coyote,
jackal garis samping dan anjing semak melakukannya untuk membaui urin.
Sejauh yang diketahui, organ Jacobson pada canid telah menyusut dan
sesungguhnya pada anjing tidak memiliki receptor penciuman (Barone dan
Lombard, 1966 dalam Ewer, 1985).
Karena flehmen umumnya terjadi dalam hubungannya dengan
aktivitas perkawinan dan umumnya dilakukan oleh jantan, mungkin organ
Jacobson memiliki beberapa sensitifitas khusus terhadap bau yang
dikeluarkan oleh betina yang sedang oestrus. Winans dan Scalia (1970) dalam
Ewer (1985) yang meneliti kelinci, berhasil melacak urat syaraf dari organ
Jacobson ke tujuannya di dalam hypothalamus dan temuan mereka
mendukung pendapat bahwa organ bekerja baik pada tingkah laku makan
maupun tingkah laku seksual. Hypothalamus berisi apa yang digambarkan
sebagai pusat motivasi utama, dimana informasi diterima dari dunia luar dan
dari mana satwa itu sendiri berasal dan saling berhubungan (Ewer, 1985).

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 29
DESKRIPSI FISIK DAN BIOLOGI KARNIVORA

4. Indera Perasa
Dalam makan, indera perasa selalu bekerjasama dengan penciuman.
Oleh karena itu tidak mungkin memisahkan keduanya dalam uji tingkah laku
sehingga tidak bisa mempelajari lebih mendalam tentang indera perasa.
Pengamatan umum menemukan bahwa ”sweet tooth” lebih banyak menjadi
ciri khas anjing dari pada kucing. Karena manis merupakan salah satu dari
empat rasa utama manusia, tampaknya beralasan untuk mengasumsikan
bahwa anjing, seperti halnya kita, memiliki receptor untuk merespon
substansi yang berasa manis, sedangkan kucing tidak. Secara biologis hal ini
beralasan, gula penting bagi spesies yang makanannya terdiri dari buah, tetapi
tidak relevan bagi spesies yang lebih banyak memakan daging. Sehingga
tidak mengherankan jika dalam kandang lebih banyak karnivora pemakan
segala yang membawa kecenderungan menyukai rasa manis (Ewer, 1985).
Penelitian fisiologi menunjukkan bahwa receptor perasa pada anjing
lebih sensitif terhadap substansi berasa manis dari pada kucing. Appelberg
(1958) dalam Ewer (1985) mempelajari respon urat dalam syaraf
glossopharingeal dan meringkas hasilnya; kerja awalnya, yang tercatat dari
chorda tympani. Pada anjing urat syaraf merespon pada substansi asin, pahit,
asam dan manis ditemukan pada kedua syaraf tetapi pada kucing, urat syaraf
manis yang jelas tidak ditemukan. Tetapi, kucing sebenarnya memiliki
beberapa sensitifitas pada gula. Beidler et al., (1955) dalam Ewer (1985)
mencatat dari syaraf chorda tympani secara keseluruhan, menemukan
beberapa respon terhadap sukrosa walaupun ambangnya tinggi dan Pfafman
(1955) dalam Ewer (1985) mencatat dari unit-unit tunggal, menemukan
beberapa yang walaupun sangat sensitif terhadap asin atau asam, juga
merespon pada sukrosa.

5. Indera Peraba (tactile sense)


Pada sebagian besar karnivora, bagian tubuh paling repsonsif terhadap
rangsang (stimuli) rabaan adalah moncong dan vibrissae, yaitu rambut yang
khusus dimodifikasi untuk meningkatkan sensitifitas rabaan ini. Sejumlah
spesies menunjukkan kemampuan sensitifitas perabaan yang dapat diatur dan
kemungkinan jenis-jenis tersebut memiliki telapak cakarnya dengan
sensitifitas perabaan yang luar biasa. Diantaranya racoon, Procyon lotor
merupakan spesies yang paling banyak diteliti. Uji kecerdasan terhadap
hewan terlatih dilakukan oleh Cole (1907) dan Davis (1907) dalam Ewer
(1985) dapat menguasai banyak kecakapan manual yang dibutuhkan tetapi
tidak dirancang untuk menguji kemampuan perabaan ini. Tetapi Rensch dan
Ducker (1963) dalam Ewer (1985) melakukan percobaan dengan obyek
pengujian pembedaan perabaan. Racoon mereka telah dilatih untuk

30 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
DESKRIPSI FISIK DAN BIOLOGI KARNIVORA

membedakan antara dua obyek yang tidak dapat dilihatnya dengan


meresakannya menggunakan telapak cakarnya, jika pilihannya benar maka ia
mendapat hadiah makanan. Kemampuan pembedaan dengan perabaan
terbukti sama dengan kita. Bola halus dapat dibedakan dengan bola kasar
ketika yang kasar ditutupi dengan tuberles setebal 0,3 – 0,4 mm tetapi pada
0,10 – 0,15 mm hal ini tidak memungkinkan lagi. Ambang yang sama juga
ditemukan pada siswa yang disuruh melakukan pembedaan yang sama.
Racoon dan siswa tersebut juga dapat mengenali perbedaan antara bola
berdiameter 2,5 dan 2,64 mm, perbedaan yang hanya 1,4 mm atau 0,53%.
Setelah sebelas bulan, racoon masih mengingat obyek mana yang harus dipilih
untuk mendapatkan hadiah (Ewer, 1985).
Dasar fisiologis kemampuan pembedaan ini telah diteliti pada berbagai
tingkatan. Zollman dan Winkleman (1962) dalam Ewer (1965) menyatakan
bahwa telapak cakar racoon memiliki receptor sentuh dengan kerapatan yang
sangat tinggi, sementara Welker dan Seidenstein (1959) dalam Ewer (1965)
menemukan bahwa dalam area sensor somatik pada cerebral cortex
representasi telapak cakarnya sangat besar dibandingkan dengan bagian tubuh
lainnya dan jauh lebih besar dibandingkan kucing atau anjing. Welker et al.,
(1964) dalam Ewer (1965) memberikan laporan umum bahwa sistem sensor
somatik pada racoon dan meliputi beberapa perbandingan dengan procyonid
lainnya, yaitu coati. Coati kurang mahir dengan telapak cakarnya dari pada
racoon tetapi menggunakan moncongnya untuk menentukan lokasi dan
mengeluarkan serangga dari tanah. Reprsentasi sensor cortic satu sama lain
telah diatur sedemikian rupa, telapak cakar menempati jauh lebih sedikit dan
rhinarium jauh lebih besar.
Baik Mustelidae maupun Viverridae meliputi spesies seperti racoon,
menggunakan cakar mereka dengan kemampuan menangkap mangsa
perairan. Diantaranya adalah berang-berang, Aonyx, Amblonyx dan
Lutrogale, dan berang-berang laut, Enhydra dan diantara viverrid, garangan
rawa dan pemakan kepiting, Herpestes urva dan Atilax paludinosus, walaupun
jari jemari mereka pendek. Panda raksasa ahli dalam menangani rebung
bambu, merupakan kasus lain dari manipulasi ketrampilan dan semua
kemampuan spesies tersebut masih perlu dtiteliti (Ewer, 1965).

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 31
DESKRIPSI FISIK DAN BIOLOGI KARNIVORA

IKHTISAR
Karnivora memiliki fisik yang memang teradapatasi untuk menjadi
pemangsa seperti memiliki kemampuan lari dan menangkap mangsa yang
hebat, struktur tubuhnya memang memungkinkan untuk itu. Karnivora juga
dibekali indera yang sangat istimewa sebagai alat bantu berburunya. Indera
penglihatan yang khas, bisa memantulkan sinar yang ditangkap mangsanya
sampai pada selaput yang dapat melindungi mata dari debu dan silau. Indera
pendengarannya yang tajam mampu mendengar suara dengan frekuensi
tinggi di atas kemampuan manusia. Demikian juga indera penciumannya
yang dilengkapi dengan vomero nasal atau Jacobson dapat mengendus
mangsanya dari jarak jauh dan mampu mengenali buruannya dengan
membaui jejaknya. Beberapa spesies karnivora juga memiliki indera
perabaan yang peka sehingga mampu mengenali suatu benda tanpa
melihatnya. Karnivora memiliki sistem perkawinan polygynous,
polygyndrous dan monogami. Karnivora merupakan mamalia yang berumur
panjang, dengan hampir kebanyakan spesies dapat hidup sedikitnya satu dasa
warsa bahkan ada yang sampai berumur 40 tahun.

GLOSARIUM
Blastocyst : struktur yang terbentuk pada awal pembentukan embrio
pada mamalia, setelah pembentukan blastocele, tetapi
sebelum implantation. Ia memiliki sebuah masa sel dari
dalam, atau embrioblast, dan sebuah masa sel luar atau
trophoblast. Blastocyst manusia berisi 70-100 sel.
Cerebral cortex : suatu struktur dalam otak vertebrata yang memiliki
sifat-sifat berbeda secara struktural and fungsional.
Diphyodont : memiliki dua set gigi berturut-turut, yang dapat tanggal
(deciduous) dan permanen.
Iris sphincter muscle (pupillary sphincter, circular muscle of iris, circular
fibers) : otot di bagian mata yang disebut iris biasanya
ada pada vertebrata dan beberapa cephalopods.
Molar : gigi dengan mahkota yang lebar digunakan untuk
menggiling makanan, terletak di belakang premolar.
Nictitating membrane : kelopak ketiga yang bening tembus pandang
biasanya ada pada beberapa hewan, dapat disapukan
pada mata untuk perlindungan atau membasahi mata
sambil tetap dapat melihat. Tidak seperti kelopak mata
manusia, nictitating membrane bergerak secara
horisontal menyapu bola mata.
Pinnae : pengeras suara bagian luar telinga. Bagian luar telinga
yang tersusun dari tulang rawan yang dapat dilihat.
Polygynandry : terjadi jika dua atau lebih jantan memiliki hubungan

32 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
DESKRIPSI FISIK DAN BIOLOGI KARNIVORA

ekslusif dengan dua atau lebih betina. Jumlah jantan dan


betina tidak perlu sama dan dalam studi spesies
vertebrata sejauh ini jumlah jantan biasanya lebih
sedikit.
Polygynous : sama dengan polygamus = memiliki lebih dari satu istri
atau pasangan dalam suatu waktu; suatu pola
perkawinan dimana seekor jantan mengawini lebih dari
satu betina dalam satu musim kawin.
Polymorphism : variasi genetik yang diskontinu yang menghasilan
beberapa bentuk atau tipe individual di antara anggota
suatu spesies. Contoh paling jelas adalah perbedaan
yang terjadi kebanyakan organisme tingkat tinggi
menurut jenis kelamin.
Precocial : spesies yang relatif matang dan mampu bergerak sesat
setelah dilahirkan atau ditetaskan. Lawan precocial
adalah altricial. Spesies precocial biasanya nidifugous
yang berarti mereka meninggalkan sarang sesaat setelah
dilahirkan.
Premolar : satu dari delapan gigi seri terletak dalam pasangan untuk
setiap rahang atas dan bawah di belakang taring (canine)
dan di depan molar. Merupakan gigi peralihan di antara
canine dan molar.
Rostrum : perpanjangan menyerupai paruh, khususnya pada kepala
hewan; moncong.
Sagittal Crest : suatu puncak tulang belakang bagian pantat di garis
tengah tengkorak pada kebanyakan mamalia.
Merupakan tempat bertautnya banyak otot yang
bertanggungjawab untuk menutup rahang.
Transvers glenoid fossa : rongga sendi tulang belikat dengan bahu yang halus
dan dangkal dan melintang.
Vibrissae : atau whiskers adalah rambut tumbuh di sekitar hidung
atau bagian lain wajah dari mamalia, juga ditemukan di
pergelangan kaki depan kucing. Rambut ini biasanya
lebih tebal dan kuat.
Vomero-Nasal Organ or VMO : juga dikenal dengan sebagai Jacobsen's organ
terletak di langit-langut mulut dengan sedikit bukaan di
belakang gigi depan. Organ kecil ini (panjang sekitar ½
inchi) diduga untuk merasakan udara dan memberi
sensor informasi tambahan pada kucing.
Rhinarium : permukaan basah di sekitar cuping moncong pada
kebanyakan mamamlia. Sering disebut moncong basah.
Keberadaan rhinarium berhubungan dengan bentuk
umum tengkorak, khususnya letak mata yang lateral dan
tidak ada pada yang matanya menghadap ke depan.
Mamalia dengan rhinarium memiliki indera penciuman
yang lebih tajam.

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 33
DESKRIPSI FISIK DAN BIOLOGI KARNIVORA

DAFTAR PUSTAKA
Ewer, R.F. 1985. The Carnivores. Cornell University Press. Ithaca, New
York.
http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/Carnivora
.html. Diakses tanggal 6/3/2007.
http://en.wikipedia. org/wiki/Sphincter. Diakses tanggal 21/3/2007.
http://en.wikipedia.org/ wiki/Blastocyst. Diakses tanggal 21/3/2007.
http://en.wikipedia.org/wiki/Cerebral_cortex. Diakses tanggal 21/3/ 2007.
http://en.wikipedia.org/wiki/Nictitating_membrane. Diakses tanggal
21/3/2007.
http://en.wikipedia.org/wiki/Polymorphism_(biology). Diakses tanggal
14/3/2007.
http://en.wikipedia.org/wiki/Precocial. Diakses tanggal 21/3/2007.
http://en.wikipedia.org/wiki/Rhinarium. Diakses tanggal 21/3/2007.
http://en.wikipedia.org/wiki/Vibrissae. Diakses tanggal 21/3/2007.
http://encyclopedia.thefreedictionary.com/Polygynandrous. Diakses
tanggal 15/3/2007.
http://www.answer.com/topic/carnivora-1. Diakses tanggal 6/3/2007.
http://www.answers.com. Diakses tanggal 18/3/2007.
http://www.answers.com/topic/molar. Diakses tanggal 21/3/2007.
http://www.answers.com/topic/pinna. Diakses tanggal 21/3/2007.
http://www.answers.com/topic/polygynous-1. Diakses tanggal 6/3/2007.
http://www.answers.com/topic/polygyny?method=8. Diakses tanggal
15/3/2007.
http://www.answers.com/topic/premolar. Diakses tanggal 21/3/2007.
http://www.asms.net/facultymanaged/bmcph/courses/biochg/
skullglossary/defzygomatic.html. Diakses tanggal 6/3/2007.
http://www.earthfile.net/mammals/age.html. How Long do Mammals
Live? http://www.earthfile.net/mammals/age.html. Diakses tanggal
21/3/2007.
http://www.metpet.com/Reference/Cats/Behavior/vmo_flehmen_cats.htm.
Diakses tanggal 6/3/2007.
http://www.peninsulavaldes.org/patagonia/animals/mammals/carnivoro.htm
. Diakses tanggal 14/3/2007.
http://www.quotes-zone.com/quotes/24/rostrum.php. Diakses tanggal
16/3/2007.
http://www.yourdictionary.com/ahd/d/d0238800.html. Diakses tanggal
15/3/2007.
http://www.yourdictionary.com/ahd/d/d0238800.html. Diakses tanggal
6/3/2007.

34 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
Bab
EKOLOGI
4
A. Habitat
Karnivora memiliki toleransi habitat yang sangat luas dan ditemukan di
semua habitat, baik di darat maupun di laut. Hanya puncak gunung gunung
tertinggi, gurun pasir paling ekstrim, dan laut dalam yang sama sekali tidak ada
karnivora. Walaupun karnivora daratan menghabiskan seluruh waktunya di
daratan, macan tutul (Panthera pardus) dan marten (Martes spp.) adalah ahli
memanjat pohon, berang-berang berumah di sungai dan danau, beruang kutub
(Ursus maritimus) meghabiskan banyak waktu hidupnya di lautan es, dan
musang kecil dapat berburu di bawah tanah atau di bawah salju. Karnivora
laut berkembang biak di darat dan mencari makan di laut. Anjing laut gajah
dapat tinggal di bawah permukaan air sampai dua jam dan menyelam sampai
kedalaman 5.000 ft (1.500 m).
Karnivora menempati hampir semua tipe habitat daratan dan perairan,
dari daerah tropis sampai ke kutub. Mereka hidup di hutan, gurun pasir,
pegunungan, padang rumput, padang semak, danau dan rawa, pesisir laut dan
laut terbuka.

B. Sebaran Geografis
Karnivora dijumpai di seluruh dunia, walaupun banyak pulau tidak
memiliki populasi asli. Antartika dan Australasia tidak memiliki karnivora
daratan asli, walaupun dingo (Canis familiaris dingo) sudah hidup di
Australasia sedikitnya 3.500 tahun, dibawa ke sana oleh para pelaut.
Karnivora yang diintroduksi, khususnya kucing peliharaan terdapat di banyak
pulau dan sering menjadi masalah bagi manajemen konservasi karena mereka
memangsa jenis-jenis asli.
Berikut ini disajikan sebaran geografis beberapa jenis karnivora dari
tujuh famili yang sebarannya meliputi semenanjung Malaya dan Indonesia
yang dipertelakan oleh (Medway, 1969).

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 35
EKOLOGI

Famili : Canidae
Spesies : Cuon alpinus (Pallas); Sub Spesies : C.a. sumatrensis
(Hardwicke)
Nama Inggris : Red dog; Dhole
Nama Lokal : Serigala, Ajak, Anjing hutan
Sebaran : dari Asia Tengah melalui China ke Korea, selatan ke India di
barat, Sumatera dan Jawa di timur. Di Semenanjung Malaya
tersisa di daratan utama dimana masih tersisa hutan-hutan
lebat, walaupun tidak ada yang melimpah.

Famili : Ursidae
Spesies : Helarctos malayanus (Raffles); Sub Spesies : H.m.
malayanus (Raffles)
Nama Inggris : Malayan sun bear
Nama Lokal : Beruang
Sebaran : timur laut India, Burma (mungkin China Selatan), selatan ke
Sumatera, Malaya dan Borneo. Di Malaya tersebar luas ke
seluruh daratan utama yang berhutan pada semua ketinggian
tetapi tidak ada yang melimpah.

Famili : Mustelidae
Spesies : Martes flavigula (Boddaert); Sub Spesies : M.f. peninsularis
Bonhote
Nama Inggris : Yellow throat marten
Nama Lokal : Mengkira
Sebaran : dari Himalaya ke timur Siberia, selatan ke Sumatera, Jawa
dan Borneo. Di Malaya tidak umum tetapi tersebar luas di
seluruh daratan utama di semua tipe hutan sampai ketinggian
6.000 ft.

Spesies : Mustela nudipes Desmarest; Sub Spesies : M.n. nudipes


Desmarest
Nama Inggris : Malay weasel
Nama Lokal : Jelu masak pisang; musang pisang
Sebaran : Sumatera, Malaya dan Borneo. Di Malaya tersebar luas di
daratan utama walaupun tidak umum.

Spesies : Amblonyx cinerea (Illiger)


Nama Inggris : Oriental small clawed; Otter
Nama Lokal : Berang-berang kecil
Sebaran : India ke Burma dan arah selatan China, menyebar ke
Sumatera, Jawa, Borneo dan Palawan, Kepulauan Philipina.
Di Malaya tersebar luas di perairan darat dan pantai, dari
pesisir ke sungai-sungai di pegunungan; juga dilaporkan ada
di Pulau Singapura.

36 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
EKOLOGI

Spesies : Lutra sumatrana (Gray); Sub Spesies : A.c. cinerea (Illiger)


Nama Inggris : Hairy nosed Otter
Nama Lokal : Berang-berang hidung berbulu
Sebaran : Borneo, Bangka, Sumatera, Malaya dan wilayah Indochina.
Di Malaya tersebar luas dekat perairan di seluruh daratan
utama; juga tercatat di Pulau Singapura dan laut Penang.

Spesies : Lutra lutra (Linnaeus); Sub Spesies : L.l. barang Cuvier


Nama Inggris : Common Otter
Nama Lokal : Berang-berang utara
Sebaran : Eropa dan Afrika Utara, seluruh Asia Temperate, selatan ke
Srilangka, Burma, Thailand dan Sumatera. Di Malaya, satu
spesimen tercatat dari Pulau Langkawi.

Spesies : Lutra perspicillata Geoffroy; Sub Spesies : L.p. perspicillata


Geoffroy
Nama Inggris : Smooth Otter
Nama Lokal : Berang-berang bulu licin
Sebaran : India, Burma dan barat daya China, selatan ke Malaya dan
Sumatera. Di Malaya tercatat di muara dan sungai besar di
daratan utama sampai Selangor; juga di Pulau Salanga dan
Malaka.

Famili : Viverridae
Spesies : Viverra tangalunga Gray; Sub spesies : V.t. lancavensis
Robinson&Kloss (di Langkawi); V.t. tangalunga Gray (di
wilayah lainnya)
Nama Inggris : Malay civet
Nama Lokal : Tenggalong
Sebaran : Sumatera, Malaya, Kepulauan Riau, Bangka dan Borneo. Di
Malaya umum di daratan utama pada semua tipe hutan; juga
tercatat di Pulau Langkawi dan Singapura.

\Spesies : Viverra zibetha Linnaeus; Sub Spesies : V.z. pruinosa


Wroughton
Nama Inggris : Large Indian civet
Nama Lokal : Musang jebat
Sebaran : Himalaya bagian timur, Burma dan China bagian selatan,
selatan ke Malaya. Di Malaya tidak umum tetapi ada si
seluruh daerah berhutan di daratan utama; juga dilaporkan di
Pulau Singapura.

Spesies : Viverra megaspila Blyth; Sub Spesies : V.m. megaspila Blyth


Nama Inggris : Large spotted civet
Nama Lokal : Musang titik besar
Sebaran : India bagian barat, Burma dan wilayah Indochina, selatan ke

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 37
EKOLOGI

daratan utama Malaya dimana tersebar luas tetapi jarang;


juga tercatat di Pulau Penang dan Singapura.

Spesies : Viverricula malaccensis (Gmelin); Sub Spesies : V.m.


malaccensis (Gmelin)
Nama Inggris : Little civet
Nama Lokal : Musang bulan
Sebaran : Srilangka, India dan Pakistan, Burma dan China bagian
selatan, selatan ke Sumatera, Jawa dan Bali. Di Malaya
tersebar luas tetapi tidak umum di daratan utama; juga
tercatat di Pulau Penang.

Spesies : Prionodon linsang (Hardwicke); Sub Spesies : P.l. linsang


(Hardwicke)
Nama Inggris : Banded linsang
Nama Lokal : Linsang, Musang coreng
Sebaran : Burma bagian selatan dan Thailand, Malaya, Sumatera, Jawa
dan Borneo. Di Malaya tersebar luas di daratan utama ada
semua ketinggian tetapi tidak umum.

Spesies : Paradoxurus hermaphroditus (Pallas); Sub Spesies : P.h.


milleri Kloss & Tioman; P.h. cantori Pocock (di Penang); P.h.
minor Bonhote (di Langkawi dan daratan utama selatan ke
utara Perak); P.h. musanga (Raffles) (di wilayah lainnya).
Nama Inggris : Common palm civet; Toddy cat
Nama Lokal : Musang pulut
Sebaran : Srilangka, India dan Pakistan, Burma dan China bagian
Selatan, selatan ke Sumatera dan Jawa, timur ke Philipina,
Borneo, Sulawesi dan Kepulauan Sunda Kecil. Di Malaya
tersebar luas di daratan utama di hutan dan perkebunan,
khususnya umum di daerah pemukiman; juga di Pulau
Langkawi, Penang, Singapura dan Tioman.

Spesies : Paguma larvata Hamilton-Smith; Sub Spesies : P.l. jourdanii


(Gray); kecuali di Perlis dan Kedah Utara Sub Spesies Pl.
robusta (Miller) ditemukan.
Nama Inggris : Masked palm civet
Nama Lokal : Musang merah; musang lamri
Sebaran : Himalaya, Burma dan China bagian selatan, selatan ke
Kepulauan Andaman, Sumatera, Malaya dan Borneo. Di
Malaya tersebar luas di daratan utama pada semua tipe hutan
dari dataran rendah sampai pegunungan.

Spesies : Arctitis binturong (Raffles); Sub Spesies : A.b. binturong


(Raffles)
Nama Inggris : Binturong; Bearcat
Nama Lokal : Binturong

38 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
EKOLOGI

Sebaran : Burma dan wilayah Indochina, menyebar ke Sumatera, Jawa,


Borneo dan Palawan, Kepulauan Philipina. Di Malaya
terbatas di hutan lebat, tersebar di daratan utama tetapi tidak
ada yang melimpah.

Spesies : Arctogalidia trivirgata (Gray); Sub Spesies : A.t. sumatrana


Lyon (di daratan utama); A.t. macra Miller (di Langkawi).
Nama Inggris : Small-toothed or three-striped palm civet
Nama Lokal : Musang akar
Sebaran : barat laut India, melalui Burma, Thailand dan wilayah
Indochina, selatan ke Sumatera, Jawa dan Borneo. Di
Malaya umm di hutan lebat di perbukitan dan dataran rendah;
juga di Pulau Langkawi dan Singapura.

Spesies : Hemigalus derbyanus (Gray); Sub Spesies : H.d. derbyanus


(Gray)
Nama Inggris : Banded palm civet
Nama Lokal : Musang belang
Sebaran : Burma bagian selatan, selatan ke Malaya, Sumatera dan
Borneo. Di Malaya jarang tetapi tersebar luas, terbatas di
hutan lebat di daratan utama.

Spesies : Cynogale bennettii Gray


Nama Inggris : Otter civet
Nama Lokal : Berang-berang darat
Sebaran : Vietnam Utara, selatan ke Malaya, Sumatera dan Borneo. Di
Malaya jarang tetapi tersebar luas di daratan utama.

Spesies : Herpestes brachyurus Gray; Sub Spesies : H.b. brachyurus


Gray
Nama Inggris : Short-tailed mongoose
Nama Lokal : Garangan ekor pendek; Bumbun ekor pendek
Sebaran : Malaya, Sumatera dan Borneo. Di Malaya tersebar luas di
seluruh daratan utama tetapi tidak ada yang umum.

Spesies : Herpestes edwardsii (Geoffroy); Sub Spesies : H.e. edwardsii


(Geoffroy).
Nama Inggris : Indian grey mongoose
Nama Lokal : Garangan kelabu; Bumbun kelabu
Sebaran : dari Arab dan Iran ke anak benua India dan Srilangka. Diduga
diintroduksi ke Malaya yang tercatat di Provinsi Wellesley,
Perak, Selangor dan Malaka.

Spesies : Herpestes auropunctatus (Hodgson); Sub Spesies : H.a.


perakensis (Kloss)
Nama Inggris : Small Indian Mongoose
Nama Lokal : Garangan kecil; Bumbun kecil; Cerpelai

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 39
EKOLOGI

Sebaran : Iran ke India, Burma, Thailand dan Malaya. Di Malaya


jarang dan statusnya tidak pasti; tercatat terbatas di daratan
utama.

Spesies : Herpestes javanicus (Geoffroy); Sub Spesies : H.j.


peninsulae (Schwarz)
Nama Inggris : Javan mongoose
Nama Lokal : Garangan Jawa; Bumbun Jawa
Sebaran : Thailand, Kamboja, Malaya dan Jawa. Di Malaya tidak
umum, tercatat hanya di sebagian daratan utama.

Famili : Felidae
Spesies : Panthera tigris (Linnaeus); Sub Spesies : P.t. tigris
(Linnaeus)
Nama Inggris : Tiger
Nama Lokal : Harimau belang; Harimau loreng
Sebaran : dari Iran melalui Uni Soviet dan China ke Siberia bagian
Timur, selatan ke India dan Sumatera, Jawa dan Bali. Di
Malaya tersebar luas di semua tipe hutan di daratan utama.

Spesies : Panthera pardus (Linnaeus); Sub Spesies : P.p. melas Cuvier


(Jawa)
Nama Inggris : Leopard; Panther; Black Panther
Nama Lokal : Macan tutul; Macan kumbang; harimau bintang, harimau
kumbang.
Sebaran : Afrika, sebagian besar Asia dari Caucasus ke Siberia bagian
timur, selatan ke India dan Srilangka, Malaya dan Jawa. Di
Malaya tidak umum tetapi tersebar luas di seluruh hutan
daratan utama dari dataran rendah sampai puncak gunung.

Spesies : Neofelis nebulosa (Griffith); Sub Spesies : N.n. diardi


(Cuvier)
Nama Inggris : Clouded leopard
Nama Lokal : Harimau dahan; Macan dahan
Sebaran : Himalaya ke Burma dan China bagian selatan, selatan ke
Sumatera, Malaya dan Borneo. Di Malaya tidak umum tetapi
tersebar luas di seluruh hutan daratan utama; di masa lalu juga
tercatat ada di Singapura.

Spesies : Felis bengalensis Kerr; Sub Spesies : F.b. tingia Lyon


Nama Inggris : Leopard Cat
Nama Lokal : Kucing batu
Sebaran : dari Tibet ke Siberia bagian timur, selatan ke India dan
melalui China ke Sumatera, Jawa, Bali, Borneo dan Philipina.
Di Malaya umum di kebanyakan habitat di daratan utama,
termasuk perkebunan dan darah sub urban; juga dilaporkan
ada di Pulau Singapura.

40 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
EKOLOGI

Spesies : Felis temminckii Vigors & Horsfield; Sub Spesies : F.t.


temminckii Vigor & Horsfield
Nama Inggris : Golden Cat
Nama Lokal : Kucing emas
Sebaran : Tibet dan Himalaya bagian timur ke China bagian selatan,
selatan ke Malaya dan Sumatera. Di Malaya jarang, terbatas
di daratan utama.

Spesies : Felis planiceps Vigors & Horsfield


Nama Inggris : Flat-headed cat
Nama Lokal : Kucing hutan
Sebaran : Thailand bagian selatan ke Sumatera dan Borneo. Di Malaya
jarang, tetapi tersebar luas di seluruh hutan di daratan utama,
juga dilaporkan di Singapura walaupun mungkin tidak ada
secara alami.

Spesies : Felis marmorata Martin; Sub Spesies : F.m. marmorata


Martin
Nama Inggris : Marbled cat
Nama Lokal : Kucing dahan
Sebaran : Himalaya bagian timur ke Burma dan wilayah Indochina,
selatan ke Malaya, Sumatera dan Borneo. Di Malaya jarang
dan terbatas di daratan utama.

C. Mangsa dan Ekologi Pemangsaan (Diet and Feeding Ecology)


Karnivora tidak hanya makan daging, kenyataannya mereka memiliki
makanan yang bervariasi, hanya sedikit yang pemakan daging murni.
Beberapa, seperti panda raksasa (Ailuropoda melanoleuca) adalah spesialis
pemakan bambu, musang palem pemakan buah, kinkajou (Potos flavus) dan
racoon yang tidak pernah memakan daging. Mustelidae, mungkin famili yang
paling ekslusif memakan daging, musang dan kerabatnya dikenal sebagai
predator yang menakutkan dan pandai berburu serta dapat membunuh mangsa
yang 10 kali lebih berat dari badannya dan berang-berang yang hidup terutama
dari ikan, udang, kepiting dan katak. Tetapi sejenis luwak Eropa (European
badger) menggantungkan hidupnya dengan makan cacing tanah. Garangan
(mongoose) hidup tergantung pada serangga, walaupun beberapa spesies
dikenal sebagai pembunuh ular. Kucing juga pemakan daging, kucing besar
mungkin paling hebat diantara semua predator. Beruang, viverrid, anjing, dan
hyena lebih omnivora, walaupun semua kecuali viverrid memiliki spesialis
pemakan daging diantara golongan mereka. Beruang kutub, anjing liar Afrika
dan hyena tutul jarang makan selain daging, tetapi beruang cokelat, hyena
cokelat dan jackal adalah omnivor sejati. Aardwolf merupakan spesialis
ekstrim yang menggunakan moncongnya untuk memanen rayap dari genus

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 41
EKOLOGI

Trinervitermes. Karnivora laut makan beraneka hewan laut meliputi ikan,


moluska, Crustacea, penguin dan khususnya pada anjing laut leopard
memakan anjing laut lainnya. Mamalia paling banyak setelah manusia di
dunia, anjing laut pemakan kepiting (Lobodon carcinophagus) hanya makan
krill (invertebrata sejenis udang), sementara satu dari yang bertubuh raksasa,
walrus (Odobenus rosmarus) makanan utamanya adalah moluska.
Salah satu ciri makanan yang banyak dimakan oleh karnivora adalah
memiliki kualitas yang tinggi, tetapi sulit didapat, oleh karena itu mereka
harus mengunakan semua kesempatan. Kebanyakan karnivora hidup di
dalam keadaan yang disebut sebuah rejim pesta atau kelaparan. Mereka dapat
mengenyangkan diri mereka jika ada kesempatan, seekor hyena tutul dapat
makan sepertiga berat tubuhnya dalam sekali makan, dan juga dapat pergi
untuk periode waktu yang lama tanpa makan. Beruang yang hibernasi adalah
yang paling ekstrim dalam hal ini, ia dapat hidup tanpa makan selama setengah
tahun, dengan menggunakan cadangan lemaknya yang dikumpulkan selama
musim panas yang melimpah. Jika makanan melebihi dari yang dapat
dikonsumsi secara individual, beberapa spesies akan menyembunyikan
sisanya. Hyena tutul akan menghamburkan timbunan telur burung onta di
bawah semak dan gerumbul rumput yang tebal jika mereka menemukan
sarang yang tidak dijaga. Anjing biasanya mengubur kelebihan makanannya
dan menunjukkan kemampuan luar biasa untuk menemukannya lagi.
Karnivora memiliki berbagai cara menangkap mangsanya. Beberapa
menyergap mangsanya, memburunya dan menyerbu dengan tiba-tiba dan
cepat, lainnya memburu mangsa dalam waktu lama dan lambat yang
melelahkan. Beberapa (seperti sigung) memakan apa saja yang dapat
ditangkapnya yang melintas di depannya. Yang lainnya memakan sisa-sisa
dari bangkai atau di perkotaan makan dari tempat sampah. Beberapa
karnivora, seperti rubah arctic (Vulpes lagopus) dikenal menyembunyikan
buruannya untuk dimakan kemudian. Anjing laut pemakan kepiting
(Lobodon carcinophagus) unik di antara karnivora karena mereka menyaring
makanan. Mereka memiliki gigi khusus yang memungkinkan mereka dapat
menyaring makanan pokok mereka zooplankton yang kecil, dari air.
Karnivora makan apa yang bisa mereka tangkap, mereka sangat mudah
beradaptasi dalam kebiasaan makan dan sangat sedikit yang membatasi atau
sangat tergantung hanya pada satu jenis makanan. Kesuksesan karnivora
adalah kombinasi antara spesialisasi yang dilakukan agar pemilihan mangsa
menjadi efektif dan fleksibilitas untuk memakan beragam mangsa sesuai
dengan perubahan musim dan variasi habitat (Ewer, 1985).
Ketersediaan (availability) mangsa bukan hanya berarti jumlahnya
melimpah; karena walaupun jumlahnya melimpah tetapi jika spesies tersebut
pandai menghindarkan diri atau dapat melakukan perlawanan dan pertahanan

42 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
EKOLOGI

diri yang baik, mungkin menjadi tidak available bagi pemangsa dibandingkan
spesies yang jumlahnya sedikit tetapi lebih mudah ditangkap. Bahkan dalam
suatu spesies, semua kelas individu tidak perlu dibunuh oleh seekor pemangsa
sesuai proporsi jumlah mereka dalam populasi. Individu yang sangat muda
(anak-anak), tua dan sakit atau terluka mungkin lebih dipilih untuk dibunuh
dan tingkah laku satwa mangsa kadang-kadang juga membuat pemangsa
memilihnya. Sebagai contoh, singa di Taman Nasional Danau Manyara yang
mangsa utamanya kerbau, membunuh sejumlah dewasa tua secara tidak
proporsional. Walaupun secara individual lebih besar dan lebih kuat dari pada
betina dan anak-anak, faktanya banyak kerbau jantan bersifat soliter sehingga
membuka peluang untuk lebih mudah diserang dari pada betina dan anak-anak
yang lebih lemah tetapi memiliki sistem perlindungan dan pertahanan secara
kelompok (Makacha dan Schaller, 1969 dalam Ewer, 1985).
Ada dua faktor lainnya yang mempengaruhi pemangsa membunuh,
tidak hanya bergantung pada kelimpahan relatif dari berbagai jenis mangsa di
habitatnya. Pertama adalah palatabilitas. Sesungguhnya tidak semua jenis
daging sama menariknya bagi suatu spesies pemangsa tertentu. Informasi
tentang bekerjanya faktor ini di alam masih sangat sedikit. Tetapi pemangsa
yang lapar dan biasanya rewel terhadap makanan, jika tidak dapat memperoleh
makanannya maka preferensinya yang didasarkan pada palatibilitas tidak
berperan dalam pemilihan mangsa (Ewer, 1985).
Faktor kedua adalah pengalaman. Memburu dan menangkap mangsa
memerlukan beberapa ketrampilan teknik yang akan meningkat secara nyata
seiring banyaknya pengalaman. Spesies mangsa yang berbeda memerlukan
teknik berburu yang berbeda pula dan satwa yang telah menjadi ahli dalam
memburu mangsa jenis tertentu akan cenderung memfokuskan diri pada
spesies tersebut dan lebih memilihnya sebagai buruannya. Kucing rumah
menunjukkan bekerjanya faktor ini. Kebanyakan kucing merupakan
pemangsa burung yang agak tidak efisien tetapi kucing yang pernah belajar
bagaimana menangkap burung cenderung menjadi penggemar burung. Di
antara karnivora yang lebih kecil yang tidak biasa memangsa ternak, misalnya
yang kadang-kadang terjadi secara individual pada banyak kucing yang nakal
mengembangkan tekniknya menjadi spesialis pemakan burung (Ewer, 1985).
Untuk memahami kebiasaan makan suatu spesies, perlu mengetahui
apakah pemangsa itu makan di berbagai tipe habitat yang ada di seluruh
wilayah jelajahnya dan juga seluruh siklus tahunannya. Informasi yang
lengkap tersebut masih terbatas untuk sedikit spesies. Kebanyakan yang
menjadi perhatian adalah jenis-jenis yang bernilai ekonomis penting seperti
rubah, yang dituduh sebagai penyebab menurunnya populasi unggas dan
ternak, atau seperti singa yang memainkan peran kunci dalam industri wisata
(Ewer, 1985).

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 43
EKOLOGI

Metode untuk mempelajari makanan karnivora dibagi menjadi dua


kategori. Pertama adalah dengan pengamatan langsung terhadap mangsa
yang dimakannya. Metode ini hanya mudah diterapkan untuk spesies besar
dan khususnya yang hidup di dataran yang relatif terbuka dimana mangsa
dapat dengan mudah dilihat. Kelemahannya adalah mangsa yang kecil
kemungkinan besar terlewatkan. Metode kedua adalah cara tidak langsung
dengan mengidentifikasi sisa-sisa makanan di dalam perut dan usus atau pada
fecesnya. Yang pertama jelas memiliki kerugian yaitu harus banyak
membunuh untuk memeriksa isi perutnya. Jika makanan yang tersisa dalam
usus dan feces (gut and scat) sudah diidentifikasi, timbul masalah bagaimana
mencatat hasilnya. Dua metode tersebut umum digunakan, masing-masing
dengan keterbatasannya. Apa saja yang dimakan hanya dapat dicatat
persentasenya. Kesulitan yang jelas di sini adalah bahwa hasilnya tidak
memberikan ukuran langsung nilai penting dari menu yang dimakannya; 90%
feces (scat) masing-masing berisi seekor kumbang mungkin berarti kurang
dari 50% darinya masing-masing seekor kelinci. Metode kedua berusaha
mengukur persentase dari total volume masing-masing kategori yang tersisa.
Untuk perut yang baru diisi, ini mungkin dapat memberikan gambaran yang
jelas nilai penting relatif dari menu makanan tetapi semakin lama dicerna
maka semakin datanya tidak dapat dipercaya. Pada kasus tersebut, orang
mungkin menduga bahwa kumbang akan tertinggal dalam feces dengan
proporsi lebih tinggi sebagai bahan yang tidak dapat dicerna dibandingkan
kelinci dan proporsi sisanya dari burung muda dan tua serta mamalia mungkin
tidak teridentifikasi (Ewer, 1985).
Lockie (1959) dalam (Ewer, 1985) meneliti rubah dan mendapatkan
teknik yang lebih baik untuk feces. Jika makanan utama sudah diidentifikasi,
proporsi bagian-bagian yang dapat dicerna dari masing-masing dapat
diketahui dengan cara memberikannya kepada satwa dalam kandang,
kemudian menghitung berat hidup yang diketahui dari berat kering sisa-sisa
yang ada dalam feces (scat). Faktor koreksi untuk masing-masing bahan
makanan dapat dihitung, dengan mana sisa-sisa dalam feces dapat dikonversi
kedalam berat hidup yang tecerna. Seperti yang mungkin diduga orang, sisa-
sisa kumbang dalam feces menunjukkan nilai makanan per gram yang lebih
sedikit dari sisa-sisa vertebrata dan burung kecil dan mamalia yang ditemukan
menunjukkan yang satu lebih sedikit dari yang lain. Metoda ini jelas hanya
dapat diterapkan pada spesies yang sudah pernah diteliti di dalam kandang,
tetapi jika faktor koreksi telah ditentukan, metode ini sangat mudah
diterapkan. Bagaimanapun, penyempurnaan sangat diperlukan jika jenis
mangsa yang diambil tidak banyak berbeda proporsinya dengan bahan yang
tidak dapat dicerna yang dikandungnya; sebagai contoh, Erlinge (1968) dalam
Ewer (1985) yang meneliti berang-berang menemukan bahwa frekuensi

44 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
EKOLOGI

keberadaan sisa makanan dalam feces memberi perkiraan yang sangat bagus
tentang nilai penting relatif dari berbagai spesies ikan dan katak yang
dimakan. Seperti yang mungkin diperkirakan, udang karang, dengan proporsi
material yang tidak dapat dicerna lebih tinggi bisa sedikit terwakili dengan
metode ini.
Bothma (1966) dalam Ewer (1985) menggunakan sebuah kombinasi
persentase keberadaan dan persentase volume. Bebagai jenis makanan
disusun sesuai urutan nilai penting, pertama berdasarkan satu metode
kemudian dengan metode lainnya dan diberi nomor sesuai dengan urutan
ranking. Dua angka kemudian ditambakan untuk memberi sebuah nomor
indeks untuk masing-masing jenis makanan dan indeks-indeks ini kemudian
disusun dalam urutan rangking yang baru yang oleh Bothma digunakan untuk
memberikan perkiraan nilai penting relaatif yang lebih baik dibandingkan jika
menggunakan persentasi keberadaan atau volume secara sendiri-sendiri.
Kenyataannya peneliti yang berbeda menggunakan metode pencatatan
yang berbeda sehingga hasilnya sulit dibandingkan, tetapi untuk kebanyakan
tujuan praktis akan cukup memadai jika bahan-bahan yang dimakan
diklasifikasikan menjadi tiga kategori utama yaitu : (1) makanan utama atau
makanan pokok, (2) makanan minor tetapi penting, dan (3) makanan yang
hanya sesekali penting atau memiliki nilai kalori yang terlalu kecil. Yang
termasuk kategori terakhir adalah tumbuhan yang secara proporsional dapat
diabaikan dalam hal sebagai sumber energi tetapi mungkin penting sebagai
sumber vitamin (Ewer, 1985).

D. Tingkah Laku
Kombinasi dari jumlah spesies yang banyak, toleransi habitat yang
luas, makanan yang beraneka ragam dan otak yang telah berkembang dengan
baik dari karnivora telah membawa pada evolusi tingkah laku dan sistem
sosial yang luas. Hanya primata tingkat tinggi yang memiliki pola tingkah
laku dan sistem sosial yang lebih kompleks dari karnivora. Fleksibilitas
dalam tingkah laku dalam ordo dapat dilihat di antara spesies dan mungkin
yang paling menarik, masing-masing spesies ahli dalam lingkungan yang
berbeda.
Banyak karnivora yang soliter ketika melakukan pegerakan mencari
makan atau selama induk masih bersama anak-anak yang tergantung padanya.
Tetapi, penelitian mendetail tentang spesies soliter ini menghasilkan bahwa
walaupun mereka tampaknya soliter, mereka berbagi teritori dengan sesama
jenisnya dan bekerjasama serta berkomunikasi dengan sesama anggota
kelompoknya.
Musang dan genet (Viverridae) adalah contoh yang baik untuk
karnivora yang soliter sementara dari satuan sistem sosial yang tampaknya

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 45
EKOLOGI

telah berkembang. Jantan soliter hidup dalam teritori yang terhitung luas yang
mencakup teritori-teritori lebih kecil dari beberapa betina. Tetapi, dengan
musang palem, sub ordinat yang biasanya jantan yang lebih muda menempati
wilayah kecil di dalam teritori jantan dominan, menghindari kontak dengan
jantan dominan ketika ia bergerak menjelajahi wilayahnya.
Beruang juga kebanyakan soliter, tetapi fleksibilitasnya dalam tingkah
laku memungkinkan beruang cokelat dan beruang kutub berkumpul
terkonsentrasi di sumber makanan. Sebagai contoh, beruang cokelat (Ursus
arctus) berkumpul selama migrasi ikan salmon di barat laut hamparan laut
Amerika Utara dan beruang kutub mungkin berkumpul di bangkai ikan paus di
Arctic circle. Agak mengherankan, beruang kutub juga terkonsentrasi selama
waktu kekurangan makanan. Selama musim panas dan musim gugur, ketika
es mencair, sejumlah jantan mungkin puasa bersama dalam damai di tempat
tertentu yang disukai sepanjang pantai. Kadar testosteron rendah dan tidak
ada makanan untuk diperebutkan.
Banyak dari 37 spesies kucing benar-benar soliter dan hanya satu yaitu
singa (Panthera leo) yang sangat sosial. Singa hidup dalam kelompok (pride)
2 – 12 dari satu keluarga yang terdiri dari betina-betina dan anak-anak mereka.
Anggota kelompok (pride) tidak tinggal bersama sepanjang waktu tetapi
mereka mempertahankan teritori bersama dan saling bersahabat satu sama lain
ketika mereka bertemu. Jantan dari kelompok (koalisi) biasanya 2 – 4, tetapi
dapat juga sampai 7. Jantan bergabung dalam kelompok (pride), tetapi
kedudukannya tidak langgeng dan mereka dapat digantikan oleh suatu
kelompok (koalisi) yang lebih kuat, atau mereka pindah ke kelompok lain.
Ukuran kelompok (pride) dan teritori adalah tidak tetap tergantung pada
sumberdaya, sebagaimana asosiasi antara para betina dan para jantan. Di
wilayah terbuka jantan menghabiskan banyak waktu bersama kelompoknya,
mungkin karena para betina dan anak-anak mereka lebih mudah dipisahkan
oleh jantan asing yang mungkin akan membunuhnya. Di savana yang berhutan
para jantan dapat meninggalkan kelompok dan mencari betina-betina lain
untuk dikawininya ketika anak-anak masih sangat kecil. Akan lebih mudah
untuk menyembunyikan mereka dari para jantan pembunuh anak-anak di
semak yang lebat. Cheetah (Acinonyx jubatus) adalah satu-satunya kucing lain
yang individu dewasanya membentuk hubungan untuk waktu yang lama, di
dalamnya para jantan juga membentuk koalisi terdiri dari 2 -3 individu yang
bekerja sama mempertahankan teritori.
Sistem sosial dasar dari anjing berbeda dengan kucing dan menganut
monogami. Tetapi, bangsa anjing (canid) menunjukkan fleksibilitas yang
jauh lebih besar dalam sistem sosial mereka, baik di dalam spesies maupun
antar spesies dibandingkan dengan kucing. Anjing liar Afrika (Lycaon pictus)
dan dhole (Cuon alpinus) hidup dalam ikatan yang sangat erat dalam

46 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
EKOLOGI

gerombolan (pack) yang kompak dan selalu berburu bersama, pasangan yang
tidak hadir berarti adalah yang sedang berkembang biak. Serigala abu-abu
(Canis lupus) mungkin melakukan hal yang sama, atau berpasangan. Rubah
merah (Vulpes vulpes) sering mencari makan sendirian, tetapi mungkin tidak
selalu memelihara ikatan monogami dalam sistem perkawinan dan kadang-
kadang sebuah teritori dapat berisi satu jantan dewasa dan beberapa betina.
Mustelid, dengan jumlah spesies lebih 50 merupakan famili terbesar
dalam ordo karnivora. Mereka tampaknya kebanyakan soliter, walaupun
berang-berang laut mungkin tak disadari berkumpul sampai beberapa ratus
ekor. Luwak Eropa (Meles meles) merupakan salah satu karnivora yang telah
dipelajari dengan baik dan menggambarkan fakta bahwa sangat banyak
karnivora yang jelas-jelas soliter, tetapi ada yang tersamar dalam kumpulan
sosial dan telah mengembangkan kecenderungan untuk hidup dalam
kelompok-kelompok. Beberapa luwak, terutama kerabat dekat, mungkin
berbagi teritori dan hidup bersama dalam sebuah kumpulan besar tetapi
mencari makan di teritorinya sendiri. Luwak madu (Melivora capensis)
memiliki sistem sosial yang agak berbeda dari yang pernah diperkirakan
sebelum diteliti. Apa yang diperkirakan sosial ternyata adalah suatu sifat
soliter. Walaupun kadang-kadang tampak berjalan berpasangan, seekor jantan
yang lebih besar dan betina yang lebih kecil bukanlah pasangan kawin, tetapi
ibu dan anaknya. Anak tunggal tergantung pada induknya sampai ia lebih
besar dari induknya. Tetapi, jantan-jantan kadang-kadang bersatu dalam
kelompok-kelompoknya sampai enam ekor dan memiliki overlaping daerah
jelajah (home range) yang sangat besar ketika betina-betina soliter sedang
birahi.
Garangan (mongoose) menunjukkan keragaman sistem sosial yang
sangat tinggi. Kebanyakan cenderung soliter, tetapi tiga spesies : garangan
pita (Mungos mungo), garangan kerdil (Helogale parvula) dan meerkat
(Suricata suricatta) telah mengembangkan sistem sosial yang kompleks dan
berbeda. Pada garangan kerdil pasangan dominan adalah yang akan
berkembang biak, sementara pada garangan pita dan meerkat beberapa betina
yang akan berkembang biak membentuk kelompok-kelompok. Satu dari
garangan yang lebih besar, yang hidup nokturnal dan berekor putih (Icheumia
albicauda) merupakan spesies lain yang tampaknya soliter dan menunjukkan
tingkat sosialitas dimana beberapa betina ditemukan memiliki daerah jelajah
yang overlap.
Hyena, yang hanya empat spesies merupakan famili terkecil dalam
ordo karnivora. Tiga spesies : hyena cokelat (Parahyaena brunnea), hyena
tutul (Crocuta crocuta) dan aardwolf (Proteles cristatus) telah diteliti dengan
baik dan menunjukkan tingkat keragaman sistem sosial yang sangat tinggi dan
fleksibel. Hyena tutul hidup sangat sosial dalam kelompok klan (clan) 5 – 80

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 47
EKOLOGI

individu yang didominasi oleh betina, hidup dalam klan pembela teritori yang
menakutkan yang bisa mencapai 400mil2 (1.000 km2), atau paling kecil 16
mil2 (40 km2), tergantung pada sumberdayanya. Di Serengeti, dengan sistem
migratori mangsa, sistem klan fleksibel sehingga hyena dapat pulang pergi
dari teritori-teritori mereka melalui terirori-teritori hyena lainnya untuk
mendapatkan tempat mencari makan. Hyena cokelat selalu mencari makan di
teritori mereka sendiri tetapi mungkin berbagi satu teritori dengan hyena
lainnya sampai sebanyak 14 individu. Semua anggota klan membawa
makanan ke dalam gua untuk memberi makan anak-anak, yang dilakukan
tidak hanya oleh orang tuanya.
Aardwolf adalah monogami, tetapi selama musim kawin beberapa
jantan mungkin dikhianati oleh pasangannya yang mungkin kawin dengan
tetangga-tetangganya.
Procyonid belum banyak diteliti, dan walaupun beberapa spesies
seperti ringtail tampaknya soliter, kebanyakan menunjukkan mereka bergerak
dalam kelompok-kelompok besar. Hal ini menimbulkan dugaan tampaknya
semua spesies memelihara hubungan sosial yang kompleks di dalam dan di
antara jenis kelamin. Procyonid merupakan famili dalam ordo karnivora yang
penting untuk diteliti lebih jauh guna memahami sosialitasnya.
Mengapa terjadi perbedaan-perbedaan dalam sistem sosial, dan
khususnya pada beberapa spesies dari kelompok-kelompok tertentu. Sebuah
jawaban nyata adalah bahwa karnivora membentuk kelompok-kelompok
dalam rangka kerjasama untuk berburu. Walaupun hal ini mungkin sebagian
benar, tetapi tidak menjelaskan mengapa, sebagai contoh, meerkat yang
pemangsa invertebrata adalah sangat sosial. Bahkan dalam kasus pemburu
mangsa besar seperti singa dan hyena tutul, telah diketahui bahwa ukuran
kelompok perburuan tidak perlu berhubungan dengan keberhasilan
perburuan, bukan juga merupakan strategi untuk mendapatkan lebih banyak
makanan dari pada berburu sendirian. Untuk spesies yang lebih kecil, hal
tersebut diduga bahwa berada di dalam sebuah kelompok membantu
mencegah pemangsaan dengan meningkatkan kewaspadaan dan kerjasama
pertahanan. Walaupun hal ini juga kadang-kadang benar - individu meerkat
bergiliran dalam berjaga, sementara yang lain dari kelompok tersebut mencari
makan – hal tersebut tidak menjelaskan mengapa spesies-spesies lain seperti
luwak Eropa, rubah merah dan hyena cokelat mencari makan secara soliter
tetapi kadang-kadanag hidup dalam kelompok-kelompok.
Bukti menunjukkan bahwa hal ini dan banyak kelompok karnivora
lainnya dipengaruhi oleh pola pemencaran mangsa mereka. Untuk
kebanyakan karnivora, mangsa sering memencar tidak teratur dalam kantong-
kantong (patches) dan beberapa kantong (patches) lebih besar dari lainnya.
Ukuran teritori dipengaruhi oleh jarak antar patches, dan jumlah satwa yang

48 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
EKOLOGI

hidup dalam teritori menurut kekayaan patches. Ini dikenal sebagai Hipotesis
Pemencaran Sumberdaya (Resources Dispersion Hypothesis) dan telah
diketahui untuk menjelaskan ukuran kelompok dan ukuran teritori dalam
sejumlah karnivora. Hal ini juga menjelaskan mengapa ukuran kelompok dan
ukuran teritori saling berhubungan. Sebuah kelompok hyena cokelat hidup
dalam suatu wilayah dengan kantong-kantong yang kaya akan makanan yang
saling berdekatan akan memiliki sebuah teritori yang kecil dan berisi lebih
banyak anggota dari pada yang hidup di kantong-kantong yang miskin
makanan dan terpencar berjauhan. Demikian juga, dalam kondisi dimana
kantong-kantong makanan miskin tetapi saling berdekatan, maka baik ukuran
kelompok dan teritorinya adalah relatif dibandingkan dengan sebuah
kelompok asing. Beberapa keuntungan serupa yang dapat dirasakan oleh
kerabatnya dan juga mereka dapat saling membantu satu sama lain, sebagai
contoh dengan membantu memberi makan anak-anak dari individu lain.
Untuk singa, keuntungan utama diterima oleh para betina yang hidup dalam
kelompok (pride) dalam kerjasama melindungi anak-anak mereka dari jantan-
jantan pemangsa anak-anak.

IKHTISAR
Karnivora menempati hampir semua tipe habitat daratan dan
perairan, dari daerah tropis sampai ke kutub. Mereka hidup di hutan, gurun
pasir, pegunungan, padang rumput, padang semak, danau dan rawa, pesisir
laut dan laut terbuka. Karnivora dijumpai di seluruh dunia, walaupun banyak
pulau tidak memiliki populasi asli. Karnivora tidak hanya makan daging,
mereka memiliki makanan yang bervariasi, hanya sedikit yang pemakan
daging murni. Karnivora makan apa yang bisa mereka tangkap, mereka
sangat mudah beradaptasi dalam kebiasaan makan dan sangat sedikit yang
tergantung hanya pada satu jenis makanan. Kesuksesan karnivora adalah
kombinasi antara spesialisasi dan fleksibilitas dalam makanan sesuai dengan
perubahan musim dan variasi habitat. Jumlah spesies yang banyak, toleransi
habitat yang luas, makanan yang beraneka ragam dan otak yang telah
berkembang telah membawa karnivora pada evolusi tingkah laku dan sistem
sosial yang luas. Hanya primata tingkat tinggi yang memiliki pola tingkah
laku dan sistem sosial yang lebih kompleks dari karnivora. Banyak karnivora
yang soliter ketika melakukan pegerakan mencari makan atau selama induk
masih bersama anak-anak yang tergantung padanya. Tetapi, penelitian
menunjukkan walaupun mereka tampaknya soliter, mereka berbagi teritori
dengan sesama jenisnya dan bekerjasama serta berkomunikasi dengan
sesama anggota kelompoknya. Karnivora membentuk kelompok-kelompok
dalam rangka kerjasama untuk berburu. Ukuran daerah jelajah dan teritori
ditentukan oleh kelimpahan dan sebaran satwa mangsa. Ukuran kelompok
dan ukuran teritori juga saling berhubungan

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 49
EKOLOGI

GLOSARIUM
Pride : sebuah kelompok atau kelas sosial terbaik.
Pack : Sebuah kelompok satwa yang hidup dan berburu bersama,
khususnya serigala dan anjing.
Availability : ketersediaan sumberdaya yang juga dapat diakses ketika
dibutuhkan.
Palatability : menyenangkan dan dapat diterima oleh rasa sehingga cocok
untuk dimakan atau diminum. Dalam ilmu satwa, berarti
rasa senang yang dihubungkan dengan makan yang
tergantung pada suatu rasa makanan dan tekstur, atau berapa
banyak satwa menyukai suatu makanan atau ransum.
Gut : bagian saluran makanan, khususnya usus atau perut.
Bagian saluran makanan antara perut dan anus.
Scat : kotoran atau feces yang dibuang oleh hewan.
Patch : suatu area kecil dari hamparan yang ditutupi oleh vegetasi
tertentu.
Clan : sebuah kelompok sosial besar yang terdiri dari beberapa
keluarga dari nenek moyang yang sama atau terdiri dari
kerabat, teman-teman sekerja.

DAFTAR PUSTAKA
http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/Carnivora
.html. Diakses 6/3/2007.
http://dictionary. reference. com/browse/pride. Diakses 26/3/2007.
http://encarta.msn.com/ dictionary_/pack.html. Diakses 26/3/2007.
http://lookwayup.com/lwu.exe/lwu/d?s=f&w=gut. Diakses 26/3/2007.
http://www.answer.com/topic/carnivora-1. Diakses 6/3/2007.
http://www.answers.com/topic/clan. Diakses 26/3/2007.
http://www.answers.com/topic/patch. Diakses 6/3/2007.
http://www.behave.net/fact_sheets/Palatblty-Morethan.pdf. Diakses
26/3/2007.
http://www.m-w.com/cgi-bin/dictionary?book=Dictionary &va=gut.
Diakses 6/3/2007.
Medway, L. 1969. The Wild Mammals of Malaya and offshore islands
including Singapore. Oxford University Press. London

50 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
Bab
PEMANGSAAN
5
Pemangsaan atau predasi (Predation) adalah suatu interaksi antara dua
spesies dimana yang satu rugi dan yang lainnya mendapat keuntungan.
Dengan definisi ini maka tipe-tipe pemangsa dapat meliputi:
? Herbivora memangsa bagian atau seluruhnya dari tumbuh-tumbuhan
(biasanya tidak termasuk algae). Grazor memakan bagian tumbuhan,
biasanya rumput dan vegetasi herba lainnya. Browsor memakan bagian
tumbuhan, biasanya vegetasi berkayu.
? Karnivora atau predator (pemangsa) adalah organisme yang menangkap,
menbunuh dan memakan organisme lain, baik herbivora maupun
karnivora lain
? Kanibal memangsa sesama jenisnya
? Parasitoid biasanya serangga yang meletakkan telurnya pada serangga
lain sebagai inangnya. Larva berkembang sempurna dalam inangnya,
biasanya mengakibatkan kematian inangnya.
? Parasit memangsa bagian tubuh organisme lain tanpa mematikannya
(parasitisme sangat luas dan meliputi semua kingdom baik parasit
maupun inangnya). Parasit mungkin meningkatkan resiko kematian
inangnya dan menurunkan fekunditas tetapi tidak langsung mematikan.
? Detrivora mengkonsumsi bahan organik mati seperti serasah, kotoran
atau karkas. Mereka tidak memberikan pengaruh langsung pada
populasi yang memberkan sumberdaya tersebut.

Tabel di bawah ini dapat membantu menjelaskan tipe-tipe pemangsaan


tersebut di atas.

Tabel 3. Tipe-tipe pemangsaan.

Resiko Kematian Mangsa/Inang


Kontak antar organisme
Rendah Tinggi

Dekat dan jangka panjang Parasit Parasitoid

Singkat Herbivora Predator

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 51
PEMANGSAAN

Banyak karnivora merupakan pemangsa puncak di dalam


ekosistemnya, dan oleh karena itu tidak menghadapi ancaman pemangsaan
ketika dewasa walaupun anak-anaknya mungkin rawan. Karnivora kecil di
daratan menghadapi ancaman pemangsaan dari karnivora yang lebih besar
dan burung-burung pemangsa, baik siang maupun malam. Pinnipeds
menghadapi pemangsaan Cetacean besar seperti paus pembunuh (Orcinus
orca) dan hiu. Banyak karnivora, besar dan kecil, daratan dan perairan diburu
oleh manusia. Pemangsaan dapat menjadi penting dalam struktur komunitas,
dimana spesies berada, kelimpahan relatif dan perilaku mereka.
Kebanyakan karnivora menggunakan gigi dan rahangnya menjaga diri
dari pemangsa. Seekor karnivora yang merasa terancam bisanya
membungkukan badannya dan memperlihatkan giginya, mendesis atau
menggeram pada penyerangnya serta menggigit dan mencakar jika
penyerangnya mendekat. Sementara itu, Pinnipeds banyak tergantung pada
kecepatan dan ketangkasannya di air untuk menghindari pemangsa.
Karnivora betina seringkali menyembunyikan anaknya di sebuah liang atau
gua, dan kadang-kadang berganti-ganti lokasi untuk menghindari deteksi.
Beberapa induk karnivora juga dikenal dengan gigih mempertahankan
anaknya jika menghadapi ancaman. Banyak karnivora memiliki warna yang
sama dengan latar belakang lingkungannya (seperti rubah Artik yang berubah
putih di musim dingin untuk menyesuaikan dengan salju). Mereka juga
seringkali menunjukkan penyamaran atau pola warna, seperti totol-totol atau
garis, yang membuat mereka sulit dilihat. Sedikit karnivora memiliki adaptasi
khusus untuk mempertahankan diri mereka terhadap pemangsa. Sigung dan
beberapa mustelid, herpestid dan viverrid memiliki kelenjar anal yang telah
berkembang baik dengan menghasilkan bau busuk yang akan dilepaskan
dalam keadaan terancam. Satwa ini biasanya memiliki pewarnaan
aposematik dalam bentuk garis dan pita untuk memberikan peringatan kepada
predator agar tidak mendekat. Akhirnya, dapat dirumuskan bahwa beberapa
karnivora menirukan satwa lain untuk menghindari pemangsa. Sebagai
contoh, pewarnaan pada anak cheetah, yang sangat rawan terhadap
pemangsaan, mungkin meniru sejenis luwak madu, yang aposematik dan
sangat agresif.
Dalam ekologi, pemangsan menggambarkan suatu interaksi biologi
dimana sejenis pemangsa (predator) membunuh dan memakan organisme
lain, yang dikenal sebagai mangsa (prey). Pemangsa bisa karnivora atau
omnivora. Parasit mungkin juga mengkonsumsi bagian tubuh hewan lain.
Tidak seperti pemangsa yang perlu membunuh mangsa untuk
mengkonsumsinya, parasit biasanya tidak ingin membunuh inangnya.

52 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
PEMANGSAAN

A. Adaptasi
Hubungan antara pemangsa dan mangsa adalah menguntungkan bagi
pemangsa dan merugikan bagi spesies mangsa. Hasil dari interaksi ini adalah
adaptasi dalam spesies mangsa yang membantunya untuk terhindar dari
pemangsaan, sementara adaptasi bagi pemangsa menghasilkan kecakapan
berburu yang semakin baik.
Jika pemangsaan tidak penting, mangsa tidak akan mengembangkan
adaptasi khusus untuk menghindari pemangsaan. Tidak ada resiko dan tidak
ada keuntungan untuk menghindarinya. Karena penting, maka beberapa tipe
strategi untuk menghindari pemangsaan menjadi suatu adaptasi yang umum.
Dengan demikian, pemangsaan merupakan sumber evolusi yang penting bagi
tingkat kematian (mortality) sebagaimana strategi di bawah ini yang
berkembang luas. Mungkin lebih baik melihat adaptasi anti pemangsa dari
pada adaptasi pemangsa karena prinsip life-dinner principle yang berarti
”ancaman lebih besar pada mangsa yang akan kehilangan nyawanya jika gagal
menghindari pemangsa dari pada pemangsa yang hanya kehilangan makan
malamnya jika gagal menangkap mangsanya. Bagaimanapun, evolusi
mungkin merespon pada perbedaan dalam kematian terlalu kecil sehingga
tidak penting secara ekologis. Untuk menentukan penting tidaknya
pemangsaan bagi ekologis, diperlukan pengalaman lapangan.
Mangsa mengembangkan berbagai strategi untuk menghindari
pemangsa, yaitu antara lain:

1. Pewarnaan (Coloration) yang meliputi :


? Warna aposematik (Aposematic colors) untuk memperingatkan
pemangsa bahwa mereka (mangsa) tidak enak dimakan.
? Penyamaran (Cryptic) yaitu menyembunyikan diri dengan membaur
dengan lingkungannya (latar belakangnya).
? Warna mimetik (Mimetic colors) merupakan usaha suatu spesies untuk
meniru spesies lain. Terdapat beberapa tipe untuk lebih dari satu
tujuan, seperti Batesian mimicry dimana satwa sebenarnya dapat
dimakan tetapi tampak seperti satwa yang tidak digemari karena
mengandung bisa. Hal ini merugikan spesies yang ditirunya karena
sistem pertahanan dengan bisanya menjadi tidak efektif. Mullerian
mimicry dimana satwa yang ditiru tidak dapat dimakan tetapi karena
terlalu langka bagi pemangsa untuk belajar menghindarinya, maka
pemangsa menganggapnya mereka semua sebagai satu spesies yaitu
mangsa yang berbisa. Hal ini membuat pemangsa semakin mengingat
bahwa satwa yang berpenampilan seperti itu harus dihindari. Hal ini
merupakan mutualisme antara yang meniru dan yang ditiru. Aggresive
mimicry adalah ketika pemangsa meniru sesuatu yang disukai oleh
mangsa sehingga mangsa tidak takut dengan kehadiran pemangsa. Hal
ini sering dilakukan oleh pemangsa dengan teknik ”sit and wait” yang

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 53
PEMANGSAAN

jelas dapat dilihat oleh mangsanya. Banyak belalang memipihkan


tubuh dan anggota badannya dengan warna seperti daun kelopak
bunga, duduk di dekat bunga dan menangkap penyerbuk yang
mendekati bunga untuk mendapatkan nektar.

2. Perilaku
? Catalepsis, mangsa berpura-pura mati sehingga pemangsa
mengabaikannya.
? Intimidation display, suatu usaha untuk menghindari pemangsaan
dengan menakuti atau mengejutkan pemangsa cukup lama untuk pergi
atau untuk meyakinkannya bahwa mangsa terlalu sulit untuk diserang.
Banyak ngengat dengan sayap yang ada bulatannya seperti mata yang
besar berguna untuk menakut-nakuti pemangsa.

3. Polymorphism : adanya lebih dari satu bentuk dalam populasi. Setiap


bentuk harus pada frekuensi yang lebih tinggi dari pada yang akan
dihasilkan oleh mutasi sendiri. Polimorphism dapat menurunkan
pemangsaan dengan mengurangi efisiensi pemangsa. Pencarian gambaran
(search images) digunakan oleh pemangsa untuk mengambil mangsa dari
suatu lingkungan yang tampak kompleks. Ketika pencarian gambaran
terbentuk, maka pengenalan bentuk menjadi lebih cepat dari yang
diperkirakan. Spesies yang mengalami polimorphism dapat mencegah
predator melakukan search images yang meliputi semua anggota spesies.
Pembentukan search images untuk spesies yang mengalami polimorphism
dapat menghasilkan evolusi dalam populasi. Untuk bentuk yang umum
mungkin menderita banyak pemangsaan, sehingga bisa menjadi tidak lagi
menjadi umum. Kemudian pemangsa mungkin mengalihkan search
images kepada bentuk umum yang baru dan mulai menguranginya. Tipe
seleksi ini disebut Apostatic Selection.

4. Pertahanan kimiawi (Chemical defense) pada mangsa membuatnya terlalu


berbisa, berbau atau terlalu tidak enak untuk dimakan.
? Bisa (toxin) dapat meracuni pemangsa, tetapi ini sering tidak
menyelamatkan mangsa (hanya mangsa berikutnya yang tidak
dimangsa oleh pemangsa yang pernah mengalami keracunan).
Strategi ini hanya akan bekerja bagi individu jika ia memiliki
pewarnaan aposematik dimana pemangsa harus tahu sebelum
membunuh mangsa yang berbisa.
? Perang kimiawi (fighting chemical) dapat membahayakan pemangsa.
Lebah pembombardir mengeluarkan cairan yang eksplosif untuk
menakuti pemangsa dan mengusirnya. Rayap nasute menjaga
sarangnya dan menyemprot serangga penyerang dengan bahan kimia
yang dapat mengacaukan arah (menyesatkan) penyerang.
? Beberapa bahan kimia tidak enak atau beracun. Sekali lagi,
pewarnaan aposematik diperlukan oleh mangsa untuk memberitahu
predator bahwa mangsa tersebut tidak enak.

54 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
PEMANGSAAN

5. Masting : melahirkan banyak anak dalam beberapa tahun dan sedikit di


tahun-tahun lainnya.
? Populasi mangsa terjaga rendah pada tahun-tahun non-mast, dan pada
tahun mast lebih banyak anak bertahan hidup dibandingkan jika
populasi pemangsa lebih banyak pada tahun-tahun non-mast.
? Jika masting memproduksi keturunan sangat berlebihan dalam
setahun dan sedikit atau tidak sama sekali pada tahun non mast, tahun
mast mungkin memberikan sangat banyak keturunan yang dimakan
pemangsa sekenyangnya tetapi sedikit berpengaruh pada keberhasilan
reproduksi. Sebagai contoh, jika 50% anak-anak akan mati karena
kelaparan ketika tidak ada pemangsaan, maka tidak masalah bagi
keberhasilan secara keseluruhan jika kebanyakan anak-anak yang
kelaparan dimakan oleh pemangsa. Jengkerik periodik dipercaya
bereproduksi dengan cara yang aneh sebagai salah satu cara dari
masting.

B. Hirarki
Terdapat hirarki dalam pemangsa; sebagai contoh walaupun burung
kecil memangsa serangga, mereka mungkin pada gilirannya menjadi mangsa
dari ular, yang mungkin pada gilirannya juga menjadi mangsa burung elang.
Seekor pemangsa berada pada puncak rantai makanannya (dimana tidak ada
organisme lain memangsanya) disebut sebagai pemangsa puncak (apex
predator); sebagai contoh adalah paus pembunuh, harimau dan buaya, bahkan
manusia yang bersifat omnivora (walaupun pembedaan ini tidak mutlak
tergantung kesempatannya, beberapa pemangsa seperti buaya air asin
Australia akan memangsa manusia dan daging buaya kadang-kadang dimakan
oleh manusia). Pemangsa demikian seringkali juga merupakan spesies kunci
(keystone species), dan oleh karena itu mungkin memiliki pengaruh yang besar
pada keseimbangan organisme dalam suatu ekosistem; introduksi atau
penghilangan pemangsa seperti ini, atau perubahan kepadatan populasinya
dapat memberikan pengaruh yang drastis pada keseimbangan banyak populasi
spesies lainnya dalam suatu ekosistem.

C. Spesialisasi
Pemangsa memiliki strategi yang berbeda untuk bertahan hidup.
Generalis adalah pemangsa yang dapat makan berbagai spesies mangsa.
Pemangsa seperti ini umumnya mendapatkan spesies cadangan (buffer
species) ketika mangsa utamanya langka. Pemangsa spesialis sangat
tergantung pada satu spesies mangsa (tidak dapat beralih ke spesies lain), tidak
memanfaatkan spesies cadangan dengan efektif dan cenderung menunjukkan
respon numerik ketika terjadi fluktuasi mangsa utamanya.
Banyak pemangsa mengkhususkan diri dalam berburu hanya pada satu
spesies mangsa. Sementara yang lainnya lebih opportunistic dengan

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 55
PEMANGSAAN

membunuh dan memakan apa saja. Spesialis umumnya sangat mahir


menangkap mangsa yang disukainya. Satwa mangsanya pada gilirannya juga
seringkali menjadi mahir menghindari pemangsa tersebut. Hal ini yang
disebut sebagai evolusi ”arm race” dan cenderung menjaga kesimbangan
kedua populasi spesies tersebut.
Terdapat beraneka ragam spesialisasi. Beberapa pemangsa
mengkhususkan dalam kelas mangsa tertentu, tidak hanya satu spesies.
Hampir semuanya akan beralih ke mangsa lain (dengan tingkat keberhasilan
yang bervariasi) ketika mangsa yang disukainya benar-benar langka.

D. Motivasi
Walaupun keberhasilan pemangsaan menghasilkan perolehan energi,
namun perburuan juga selalu menguras energi. Jika tidak lapar, kebanyakan
pemangsa biasanya tidak akan mencari mangsa karena kerugiannya lebih
banyak daripada manfaatnya. Sebagai contoh, ikan pemangsa besar seperti
hiu yang kecukupan makanan di dalam akuarium akan mengabaikan ikan
yang lebih kecil yang berenang di sekitarnya (sementara ikan mangsa
mendapat keuntungan karena pemangsa puncak tidak tertarik padanya).
Pembunuhan yang surplus menunjukkan suatu tipe penyimpangan perilaku.
Telah diamati bahwa satwa pemangsa yang diberi cukup makanan
dalam suatu kandang yang leluasa (seperti satwa kesenangan atau ternak)
biasanya akan membedakan satwa-satwa yang seperti mangsanya yang hidup
di area pemukiman yang sama dari jenis yang sama tetapi dari areal lain yang
liar. Interaksi ini bisa berkisar dari hidup bersama dengan rukun sampai pada
perkawanan yang dekat; motivasi untuk mengabaikan naluri pemangsaan
dapat saling menguntungkan atau takut mendapat balasan dari manusia
karena membahayakan co-inhabitants tidak akan ditoleransi. Kucing
peliharaan dan tikus peliharaan, sebagai contoh, dapat hidup bersama di
dalam rumah manusia yang sama tanpa harus menjadi kawan. Kucing
peliharaan dan anjing peliharan di bawah kekuasaan manusia seringkali
tergantung satu sama lain untuk keramahan, persahabatan dan bahkan
perlindungan, khususnya di perkotaan.

E. Hubungan Pemangsa-Mangsa
Pemangsaan adalah bentuk interaksi dimana pemangsa menyerang
mangsa hidup dan mengkonsumsinya. Interaksi dapat antara dua atau lebih
individu, dan bersifat menguntungkan pemangsa dan merugikan mangsa.
Studi interaksi pemangsa-mangsa sangatlah luas meliputi perilaku pemangsa
(seperti mencari, menguasai dan memangsa), adaptasi mangsa (strategi
bertahan hidup), dan fenomena keberadaan mereka bersama (co-existence),
sebagai faktor penyeimbang yang memungkinkan kedua kelompok tersebut

56 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
PEMANGSAAN

bertahan. Harus diingat bahwa ada empat tipe pemangsa : pemangsa sejati
(termasuk kanibalisme), grazer, paraitoid dan parasit. Pada bahasan ini akan
difokuskan pada pemangsa sejati.
Ada lima faktor yang harus dipertimbangkan untuk memahami
interaksi pemangsa-mangsa, yaitu : (1) kepadatan populasi mangsa; (2)
kepadatan populasi pemangsa; (3) karakteristik mangsa : reaksi terhadap
pemangsa, kondisi nutrisi; (4) kepadatan dan kualitas mangsa alternatif yang
tersedia (available) bagi pemangsa; dan (5) karakteristik pemangsa : cara
penyerangan dan preferensi terhadap mangsa.
Jika pemangsa benar-benar efisien, semua mangsanya akan dimangsa.
Akibatnya mangsa akan punah, demikian juga pemangsanya juga akan punah.
Tetapi interaksi pemangsa-mangsa di alam memungkinkan keduanya
melestarikan diri sendiri. Peneliti yang pertama memodelkan bagaimana
interaksi tersebut bekerja adalah A.J. Lotka (1925) dan V. Volterra (1926).
Model Lotka-Volterra mengansumsikan bahwa reproduksi pemangsa
merupakan fungsi dari jumlah mangsa yang dikonsumsinya, sehingga ketika
pemangsa memakan lebih banyak mangsa, maka jumlah pemangsa meningkat
dengan meningkatnya reproduksi dan imigrasi. Terdapat pola sirkular dari
interaksi pemangsa-mangsa dalam model ini : (1) ketika populasi pemangsa
meningkat, populasi mangsa menurun; (2) ketika populasi mangsa menurun,
populasi pemangsa juga menurun; (3) ketika populasi pemangsa menurun,
populasi mangsa meningkat; dan (4) ketika jumlah mangsa meningkat,
populasi pemangsa kembali meningkat dan siklus dimulai lagi.
Ketika populasi diplotkan terhadap waktu, sebuah pola sepasang
osilasi dapat dilihat dimana puncak dari satu populasi bertepatan dengan titik
terendah dari populasi lainnya. Nilai numerik dari kedua populasi kemudian
saling berpotongan dan posisinya berbalikan.
Suatu contoh yang dikenal luas adalah sepasang osilasi antara populasi
pemangsa dan populasi mangsa dari kelinci salju dan lynx. Model Lotka-
Volterra dengan mudah menjelaskan pola ukuran populasi pemangsa-mangsa.
Walaupun model ini tidak salah, tapi terlalu
menyederhanakan ruang lingkup interaksi pemangsa-
mangsa dengan asumsi utama bahwa ketika
pemangsa makan lebih banyak mangsa, populasi
pemangsa meningkat, tetapi tidak tepat benar terlihat
di alam. Pada kenyataannya, ketika mangsa
meningkat, seekor pemangsa dapat memiliki sebuah
respon numerik, dimana pemangsa kenyataannya
meningkat jumlahnya karena reproduksi atau
imigrasi, atau respon fungsional, dimana setiap Sumber : Software Populus
pemangsa makan lebih banyak mangsa. Gambar 1. Siklus populasi kelinci salju dan lynx.

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 57
PEMANGSAAN

Ada tiga tipe respon fungsional yang sudah dikenal, masing-masing


menunjukkan hubungan yang berbeda antara kepadatan mangsa dan jumlah
mangsa yang dikonsumsi.
1. Respon fungsional tipe I adalah hubungan langsung dimana
pemangsa makan semua mangsa yang tersedia sampai titik kejenuhan
tertentu, yaitu ketika pemangsa tidak dapat
makan lagi. Setelah pemangsa mencapai titik
kejenuhan, kepadatan mangsa dapat terus
meningkat dengan tdak berpengaruh pada
berapa banyak mangsa telah dimakan.
Beberapa serangga menggunakan strategi
memiliki ribuan anak yang menetas dalam
waktu bersamaan sehingga secara tiba-tiba
membanjiri persediaan makanan untuk
pemangsa, hal ini untuk menjamin adanya
porsi yang tersisa setelah semua pemangsa
Sumber : Software Populus
kenyang.
Gambar 2. Respon fungsional tipe I.

2. Respon fungsional tipe II lebih umum terjadi karena lebih realistis,


sebab melibatkan faktor yang disebut waktu penanganan (handling
time). Handling time adalah sejumlah waktu yang harus dihabiskan
untuk setiap mangsa yang dimakannya. Hal ini merupakan waktu
yang diperlukan untuk memburu, menaklukan dan memakannya,
kemudian menyiapakan diri untuk perburuan
berikutnya. Pada respon tipe ini, hubungan
antara kepadatan mangsa dan konsumsi
tidaklah linear karena berubah menurut waktu.
Pertama, laju konsumsi meningkat, tetapi
seiring kepadatan mangsa terus meningkat,
ada penurunan dalam laju dimana konsumsi
meningkat sampai suatu tingkat maksimum
dicapai. Pelambatan secara gradual dari
konsumsi ini menunjukkan adanya faktor
handling time.
Sumber : Software Populus
Gambar 3. Respon fungsional tipe II.

3. Respon fungsional tipe III adalah yang paling kompleks. Mirip


dengan tipe II pada kepadatan mangsa yang tinggi, tetapi mencakup
faktor tambahan yang sangat kecil atau tidak ada konsumsi mangsa
ketika mangsa pada kepadatan rendah. Hal ini berarti bahwa
pemangsa tidak makan mangsa sampai ada sejumlah mangsa yang
tersedia (available).

58 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
PEMANGSAAN

Sumber : Software Populus


Gambar 4. Respon fungsional tipe III.

Satu alasan untuk hal tesebut adalah bahwa ketika jumlah mangsa
sangat sedikit, mereka semua dapat menemukan tempat bersembunyi yang
ideal dan dengan mudah manjauhkan diri dari jangkauan pemangsa. Tetapi,
ketika jumlah mangsa menjadi lebih banyak, beberapa mangsa terpaksa
berlindung di tempat yang kurang ideal atau masuk ke tempat mencari makan
yang terbuka sehingga lebih mudah dilihat oleh pemangsa.
Alasan lain mengapa mangsa sering tidak dimakan ketika mereka ada
pada kepadatan rendah berkaitan dengan ”search images”. Seekor pemangsa
telah terbiasa melihat pada tipe habitat tertentu untuk bentuk, warna atau pola
pergerakan tertentu dalam perburuan pada efisiensi maksimum.
Menggunakan search images untuk mangsa sangat penting karena kesuksesan
pemangsa memburu mangsa tersebut sangat tergantung pada search images.
Di sisi lain, pencarian sesuatu yang sangat jarang, hanya membuang-buang
waktu dan cenderung tidak memberikan hasil yang baik dan sepadan dengan
pengorbanan waktu.
Terkait dengan search image adalah fenomena ”switching” (beralih).
Walaupun seekor pemangsa mungkin memiliki preferensi pada satu jenis
mangsa, ketika mangsa ada pada kepadatan rendah dan mangsa lain
kepadatannya tinggi, pemangsa akan beralih ke mangsa alternatif yang
memiliki kepadatan tinggi.
Kombinasi ketiga faktor tersebut – kemampuan mangsa untuk
bersembunyi, search image dari predator dan beralih ke mangsa lain –
menghasilkan sedikitnya atau tidak adanya mangsa yang dimakan ketika
kepadatan mangsa rendah. Hal ini memungkinkan populasi mangsa untuk
memulihkan diri (recover). Kemudian pemangsa meningkatkan konsumsinya
sampai handling time menjadi faktor pembatas lagi. Ketika hal tersebut
terjadi, laju konsumsi meningkat melambat dan konsumsi bahkan melewati
maksimum.

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 59
PEMANGSAAN

F. Dinamika Mangsa-Pemangsa : Lotka-Volterra


Model Lotka-Volterra dibuat dari sepasang persamaan diferensial yang
menggambarkan dinamika pemangsa-mangsa (atau herbivora-tumbuhan, atau
parasit-inang) dalam bentuk sederhana (satu populasi pemangsa, satu populasi
mangsa). Alfred Lotka dan Vito Volterra pada tahun 1920-an
mengembangkannya secara terpisah, dicirikan oleh osilasi dalam ukuran
populasi baik pemagsa maupun mangsa dengan puncak osilasi pemangsa
sedikit tertinggal di belakang puncak osilasi mangsa. Model ini membuat
beberapa penyederhanaan asumsi yaitu : (1) populasi mangsa akan tumbuh
secara eksponensial ketika tidak ada pemangsa; (2) populasi pemangsa akan
kelaparan jika tidak ada populasi mangsa; (3) pemangsa dapat memakan
mangsa dalam jumlah tidak terbatas; dan (4) tidak ada kompleksitas
lingkungan (dengan perkataan lain, kedua populasi bergerak secara acak
dalam sebuah lingkungan yang homogen).
Penting bahwa pemangsa dan mangsa dapat saling mempengaruhi
evolusi. Keturunan yang meningkatkan kemampuan menemukan dan
menangkap mangsa akan terseleksi sebagai pemangsa yang bertahan,
sementara keturunan yang meningkatkan kemampuan mangsa untuk
menghindar dari pemangsaan akan terseleksi sebagai mangsa yang bertahan.
Tujuan dari keturunan-keturunan tersebut tidak sama, dan interaksi dari
tekanan yang terseleksi ini yang mempengaruhi dinamika populasi pemangsa
dan populasi mangsa. Memperkirakan hasil dari interaksi spesies juga menjadi
perhatian para ahli biologi untuk memahami bagaimana komunitas tersusun
dan lestari.
Kita mulai dengan melihat apa yang terjadi pada populasi pemangsa
jika tidak ada mangsa; tanpa sumber makanan, jumlah mereka diharapkan
menurun secara eksponensial sebagaimana digambarkan oleh persamaan
berikut :
......................................... (1)

Persamaan ini menggunakan hasil dari jumlah pemangsa (P) dan


laju kematian pemangsa (q) untuk menggambarkan laju penurunan
(karena tanda minus di sisi sebelah kanan persaman) populasi pemangsa
(P) seiring waktu (t). Tetapi dalam keadaan ada mangsa, penurunan ini
berhadapan dengan laju kelahiran ca'PN, yang ditentukan oleh laju
konsumsi (a'PN dimana laju penyerangan [a'] dikalikan dengan hasil dari
jumlah pemangsa [P] dikalikan jumlah mangsa [N]) dan dengan
kemampuan pemangsa untuk mengubah makanannya ke anak-anak (c).
Seiring jumlah pemangsa dan mangsa (masing-masing P dan N)
meningkat, mereka menjadi lebih sering, tetapi laju konsumsi aktual akan

60 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
PEMANGSAAN

tergantung pada laju penyerangan atau attack rate (a'). Persamaan yang
mengambarkan dinamika populasi pemangsa menjadi :

......................................... (2)

Hasil ca'P adalah respon numerik dari pemangsa atau kenaikan


per kapita sebagai fungsi dari kelimpahan mangsa. Keseluruhan
terminologi ca'PN memberi kita gambaran bahwa kenaikan pada
populasi pemangsa adalah proporsional terhadap hasil dari kelimpahan
pemangsa dan mangsa.
Pada populasi mangsa, kita mengharap jika tidak ada pemangsa
maka jumlah mangsa akan meningkat secara eksponensial. Persamaan
berikut ini menggambarkan laju peningkatan populasi mangsa seiring
waktu, dimana r adalah laju petumbuhan populasi mangsa dan N adalah
kelimpahan populasi mangsa :

................................................... (3)

Tetapi, dalam keadaan ada pemangsa, populasi mangsa tidak


dapat meningkat secara eksponensial. Laju konsumsi untuk persamaan
di atas (a'PN) menggambarkan kematian mangsa dan dinamika mangsa
dapat digambarkan dengan persamaan :

....................................... (4)

Hasil dari a' dan P adalah respon fungsional pemangsa atau laju
penangkapan mangsa sebagai fungsi dari kelimpahan mangsa (lihat respon
fungsional tipe I dan tipe II). Di sini terminologi a'PN menggambarkan fakta
bahwa kehilangan populasi mangsa sehubungan dengan keberadaan
pemangsa adalah proporsional dengan hasil dari kelimpahan pemangsa dan
mangsa.
Persamaan (2) dan (4) menggambarkan dinamika populasi pemangsa
dan mangsa dalam keadaan keduanya ada bersamaan dan keduanya
membentuk model pemangsa-mangsa Lotka-Volterra. Model ini meramalkan
hubungan siklikal antara jumlah pemangsa dan mangsa : seiring jumlah
pemangsa (P) meningkat maka laju konsumsi juga meningkat (a'PN),
cenderung memperkuat kembali kenaikan P. Tetapi penngkatan laju
konsumsi tidak memiliki konsekuensi nyata – penurunan jumlah mangsa (N)

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 61
PEMANGSAAN

yang pada gilirannya menyebabkan P (dan juga a'PN) menurun. Seriring a'PN
menurun, populasi mangsa dapat memulihkan diri dan N meningkat.
Sekarang P dapat meningkat dan siklus dimulai lagi. Grafik ini menunjukkan
hubungan siklikal yang diperkirakan oleh model hipotetik populasi pemangsa
dan mangsa.
Huffaker (1958) membesarkan dua spesies tungau (mite) untuk
mendemonstrasikan pasangan osilasi kepadatan pemangsa dan mangsa di
laboratorium. Menggunakan Typhlodramus occidentalis sebagai pemangsa
dan enam tungau totol (Eotetranychus sexmaculatus) sebagai mangsa,
Huffaker membuat lingkungan tersusun oleh bermacam jumlah jeruk
(dimakan oleh mangsa) dan bola karet pada nampan. Jeruk-jeruk sebagian
ditutupi dengan lilin untuk mengontrol jumlah area makan yang tersedia bagi
E. sexmaculatus dan tersebar di antara bola-bola karet. Hasilnya, satu dari
banyak permutasi digambarkan di bawah ini. Sebagai catatan, ukuran
populasi mangsa pada aksis vertikal sebelah kiri dan populasi pemangsa pada
aksis vertikal sebelah kanan, dan skala keduanya berbeda.

Gambar 5. Hubungan siklikal model hipotetik populasi pemangsa dan mangsa.


(Huffaker, 1958)

Gambar 6. Hubungan siklikal kepadatan pemangsa dan mangsa dua spesies


tungau di laboratorium (Huffaker, 1958).

62 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
PEMANGSAAN

Tampak jelas dari grafik tersebut bahwa kedua populasi menunjukkan


perilaku siklikal dan bahwa populasi pemangsa umumnya mengikuti puncak
populasi mangsa. Tetapi ada beberapa informasi tentang eksperimen ini
bahwa kita perlu mempertimbangkan sebelum menyimpulkan bahwa hasil
eksperimen ini sebenarnya mendukung perkiraan yang dibuat oleh model
Lotka-Volterra. Untuk mencapai grafik hasil di sini, Huffaker menambahkan
banyak kompleksitas kepada lingkungan. Sumber makanan (jeruk) untuk E.
sexmaculatus disebarkan lebih jauh terpisah dari pada eksperimen
sebelumnya yang berarti bahwa sumber makanan untuk T. Occidentalis (yaitu
E. sexmaculatus) juga lebih jauh terpisah. Ditambahkan, jeruk-jeruk sebagian
diisolasi dengan penghalang vaseline, tetapi kemampuan mangsa untuk
menyebar dibantu dengan adanya batang yang menjadi tangga yang membuat
mereka dapat mengikuti aliran udara ke bagian lain dari lingkungan. Dengan
perkataan lain, pemangsa dan mangsa tidak bertemu satu sama lain secara acak
dalam lingkungan tersebut (lihat asumsi 4).
Sementara itu, ada lima tipe respon numerik dalam interaksi pemangsa-
mangsa, yaitu:
1. Respon numerik tipe I, hubungan linear dimana K pemangsa ditentukan
oleh kepadatan mangsa. Memberikan efek stabilisasi netral.
2. Respon numerik tipe II, peningkatan dalam jumlah pemangsa dengan
kenaikan kepadatan mangsa, tetapi populasi pemangsa mencapai suatu
ambang batas dimana ada hal lain yang membatasi populasinya (seperti
teritori, tempat bersarang, dan lain-lain). Agak membuat tidak stabil.
3. Respon numerik tipe III, respon pemangsa yang tergantung kelimpahan
mangsa (kurva berbentuk sigmoid). Memiliki efek menyetabilkan
sampai tingkat ambang batas tertentu.
4. Respon numerik tipe IV, tidak ada respon pemangsa pada perubahan
kelimpahan mangsa; jumlah pemangsa per mangsa mengecil. Membuat
tidak stabil.
5. Respon numerik tipe V, respon negatif pada kelimpahan pemangsa terjadi
seiring dengan meningkatnya populasi mangsa. Membuat tidak stabil.
Untuk dapat lebih memahami interaksi pemangsa-mangsa kita perlu
melihat respon fungsional dan respon numerik secara bersamaan.

G. Pengaruh Pemangsaan
Akibat dari pemangsaan sangat kompleks karena menimbulkan
kontroversi dan emosi karena sering mengakibatkan konflik kepentingan.
Prinsip-prinsip penting perlu diambil untuk mengatasinya. Predator tidak
memangsa untuk kejahatan, mereka memangsa untuk bertahan hidup dan
menjalankan naluri alaminya memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka harus

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 63
PEMANGSAAN

memiliki keahlian dan stamina yang kuat untuk menghadapi lawan yang berat.
Pemangsaan adalah puncak kesuksesan dari serangkaian tingkah laku strategi
bertahan hidup yang harus mereka jalani selama berjam-jam, bahkan berhari-
hari. Hubungan antara pemangsa dan mangsa merupakan keseimbangan yang
mudah terguncang bila tidak dikelola.
Secara ekologis, pemangsaan merupakan proses penting yang menjaga
sifat dinamis ekosistem. Pemangsa membantu menjaga jumlah mangsa
terkendali dan sering kali untuk mengurangi fluktuasi yang drastis. Pemangsa
membuang anggota populasi mangsa yang kurang sehat dengan menyeleksi
yang tua dan lemah. Mereka juga sering lebih memilih jantan daripada betina
populasi mangsanya, sehingga mengurangi dampak dari poligami yang umum
pada kebanyakan spesies mangsa; yaitu satu jantan mengawini beberapa
betina. Lebih jauh, pemangsaan yang dilakukan oleh satwaliar terhadap
populasi mangsa (termasuk ternak), juga dapat disebabkan oleh kondisi
lingkungan seperti kekeringan di Afrika dan musim dingin yang hebat di
Amerika Utara dan Eropa.
Pengaruh pemangsaan tidak selalu merugikan karena:
1. Individu yang dibunuh (yang dirugikan) tidak selalu contoh acak dari
populasi. Serangan pemangsaan tertuju pada mangsa yang terlemah.
Pemangsa dapat berfungsi sebagai pemeliharan populasi mangsa.
Pemangsa dapat menjadi agen seleksi alam yang penting. Seleksi untuk
mekanisme melarikan diri tercepat, mekanisme dan perilaku anti
predator, dan lain-lain. Pemangsaan dapat memiliki kekuatan seleksi
yang besar bagi populasi mangsa.
2. Dapat memberikan kompensasi di dalam populasi. Efek pemangsaan
seringkali memberikan kompensasi pada berkurangnya kompetisi
intraspesifik. Pemangsaan mengurangi populasi mangsa sampai di
bawah daya dukungnya, sehingga dapat mengurangi terjadinya kompetisi
atas sumberdaya oleh populasi mangsa.
3. Pemangsaan merupakan cara tarnsfer energi utama (seperti karbon) ke
seluruh ekosistem.
4. Pemangsaan pada ternak atau yang dilakukan oleh pemangsa yang
diintroduksi dapat merugikan. Contohnya kasus dingo dan kanguru di
Australia, dimana tidak ada dingo populasi kanguru melimpah dan
dimana ada dingo tidak ada kanguru. Dingo dan babi peliharaan, dingo
memakan anak babi tetapi tidak memakan babi dewasa, akibatnya dimana
ada dingo maka struktur populasi babi peliharaan kehilangan kelas umur
muda. Lamprey (sejenis belut besar) dan Danau Trout, ketika lamprey
diintroduksi, beberapa populasi ikan asli Danau Trout menghilang.

64 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
PEMANGSAAN

IKHTISAR
Pemangsaan (predation) adalah suatu interaksi antara dua spesies
dimana spesies yang satu memangsa spesies lainnya, sehingga pemangsa
(predator) mendapat keuntungan dan mangsa (prey) menderita kerugian.
Dengan definisi ini maka interaksi yang termasuk dalam pemangsaan
meliputi hebivora, karnivora, kanibalisme, parasitisme, parasitoid dan
detrivora. Interaksi pemangsa-mangsa telah menimbulkan adaptasi, baik
pada spesies mangsa maupun pemangsa. Spesies mangsa beradaptasi untuk
menghindari pemangsa, sementara pemangsa beradaptasi untuk
memudahkan mendapat mangsa. Adaptasi meliputi bentuk pola pewarnaan
tubuh, perilaku, polimorphisme, pertahanan kimiawi, dan melahirkan banyak
anak pada tahun-tahun tertentu. Dalam pemangsaan juga terdapat hirarki
dimana suatu spesies pemangsa mungkin dimangsa oleh pemangsa kedua dan
pemangsa kedua dimakan oleh pemangsa ketiga. Spesies pemangsa yang
tidak dimangsa lagi oleh spesies lain disebut pemangsa puncak (apex
predator) yang biasanya menjadi spesies kunci (keystone species) dalam
suatu ekosistem. Untuk dapat bertahan, spesies pemangsa mengembangkan
strategi generalis atau spesialis. Pemangsa generalis akan memangsa
spesies apa saja yang dapat ditangkapnya, dan bila mangsa utamanya langka
akan berpindah ke mangsa alternatif atau mangsa cadangan (buffer species).
Sementara pemangsa spesialis mengkhususkan diri hanya memangsa satu
spesies dan tidak mau beralih ke spesies lain. Pemangsa hanya akan
membunuh satwa mangsanya bila lapar dan mengikuti naluri untuk bertahan
hidup. Hubungan matematis pemangsa-mangsa diformulasikan oleh A.J.
Lotka (1925) dan V. Volterra (1926) dengan asumsi-asumsi :(1) ketika
populasi pemangsa meningkat, populasi mangsa menurun; (2) ketika
populasi mangsa menurun, populasi pemangsa juga menurun; (3) ketika
populasi pemangsa menurun, populasi mangsa meningkat; dan (4) ketika
jumlah mangsa meningkat, populasi pemangsa kembali meningkat dan siklus
dimulai lagi. Pemangsaan memiliki pengaruh yang baik bagi ekosistem
karena melalui pemangsaan, kesehatan populasi spesies mangsa terjaga dan
kompetisi sumberdaya pada spesies mangsa dapat dikurangi. Pemangsaan
juga merupakan cara tarnsfer energi utama (seperti karbon) ke seluruh
ekosistem. Pemangsaan yang dilakukan oleh pemangsa yang diintroduksi
dapat merugikan spesies asli karena dapat mengakibatkan kepunahan spesies
asli.

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 56
PEMANGSAAN

GLOSARIUM
Pemangsa sejati : Pemangsa yang hanya memakan daging.
Pemangsa spesialis : Pemangsa yang hanya makan satu spesies
mangsa dan tidak mau beralih ke spesies lain.
Pemangsa generalis : Pemangsa yang makan spesies mangsa apa saja
yang dapat ditangkapnya dan selalu memiliki
spesies cadangan (buffer species) bila mangsa
utamanya langka.
Life-dinner principle : Prinsip yang berarti ancaman lebih besar
diterima oleh mangsa yang akan kehilangan
nyawanya jika gagal menghindari pemangsa dari
pada oleh pemangsa yang hanya kehilangan
makan malamnya jika gagal menangkap
mangsanya.
Aposematic colors : Adaptasi spesies mangsa dengan pola warna
yang mencolok untuk memperingatkan
pemangsa bahwa mereka tidak enak dimakan.
Cryptic (penyamaran) : Adaptasi spesies mangsa dengan cara
menyembunyikan diri dengan membaur dengan
lingkungannya (latar belakangnya).
Mimetic colors : Usaha suatu spesies untuk meniru spesies lain.
Batesian mimicry : Adaptasi satwa mangsa yang sebenarnya dapat
dimakan meniru satwa yang tidak digemari.
Mullerian mimicry : Adaptasi satwa mangsa yang meniru spesies
dihindari pemangsa karena berbisa.
Aggresive mimicry : Adaptasi pemangsa yang meniru sesuatu yang
disukai oleh mangsa sehingga mangsa tidak
takut dengan kehadiran pemangsa.
Catalepsis : Adaptasi mangsa dengan berpura-pura mati
sehingga pemangsa mengabaikannya.
Intimidation display : Suatu usaha mangsa untuk menghindari
pemangsaan dengan menakuti atau mengejutkan
pemangsa cukup lama untuk pergi atau untuk
meyakinkannya bahwa mangsa terlalu sulit
untuk diserang.
Polymorphism : Adanya lebih dari satu bentuk dalam populasi.
Search images : Suatu tahapan pengenalan sasaran mangsa oleh
pemangsa dengan mencari gambaran (image)
yang mungkin berbaur atau tersamar dalam suatu
lingkungan yang tampak kompleks.
Apostatic Selection : Seleksi yang terjadi melalui pergantian search
image dari suatu spesies mangsa yang
sebelumnya ke spesies mangsa yang baru,
karena yang sebelumnya sudah sulit dijumpai.
Chemical defense : Suatu cara bertahan spesies mangsa dengan cara

66 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
PEMANGSAAN

memiliki bisa, berbau atau terlalu tidak enak


untuk dimakan, bahkan dengan cara
mengacaukan arah pemangsa sehingga tidak
dapat menemukannya.
Masting : Cara adaptasi spesies mangsa dengan melahirkan
banyak anak dalam beberapa tahun dan sedikit di
tahun-tahun lainnya, tujuannya adalah agar masih
ada yang tersisa dalam jumlah signifikan setelah
pemangsa kenyang memakannya.
Apex predator : Pemangsa puncak yang tidak ada lagi satwa lain
yang memangsanya, contoh adalah paus
pembunuh, harimau dan buaya.
Keystone species : Spesies kunci yaitu spesies yang memiliki
pengaruh yang besar pada keseimbangan
organisme lain dalam suatu ekosistem.
Introduksi atau penghilangan pemangsa seperti
ini, atau perubahan kepadatan populasinya dapat
memberikan pengaruh yang drastis pada
keseimbangan banyak populasi spesies lainnya
dalam suatu ekosistem.
Kanibalisme : Memakan sesama jenisnya.
Grazer/Grazor : Memakan rumput
Browser/Browsor : Memakan daun-daunan tumbuhan berkayu atau
herba.
Handling time : Sejumlah waktu yang harus dihabiskan untuk
setiap mangsa yang dimakannya.

DAFTAR PUSTAKA
http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/ accounts/information/
Carnivora. html. Diakses Tanggal 6 Maret 2007.
http://en.wikipedia.org/wiki/ Predation. Diakses Tanggal 7 Maret 2007.
http://www.answer.com/topic/carnivora-1. Diakses Tanggal 6 Maret 2007.
http://www.bookrags.com/ Predation. Diakses Tanggal 7 Maret 2007.
http://www.cnr.uidaho.edu/wlf448/pred1lab.htm. Diakses Tanggal 7 Maret
2007.
http://www.rw.tu.edu/butler/ intro/ Guide9.htm. Diakses Tanggal 7 Maret
2007.
http://www.tiem.utk.edu/ gross/bioed/bealsmodules/predator-prey.html.
Diakses Tanggal 7 Maret 2007.
http://www.tnstate.edu/ganter/B412%20Ch%2010%20 Predation.html.
Diakses Tanggal 7 Maret 2007.
http:www.bio.mtu.edu/couses/bl340/ predationhand.html. Diakses Tanggal
7 Maret 2007.
Huffaker, C. B. 1958. Experimental studies on predation: dispersion factors
and predator-prey oscillations. Hilgardia 27(14):343-383.

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 67
Bab
NILAI EKONOMI
6

A. Peranan dalam Ekosistem


Karnivora adalah pemangsa penting di banyak ekosistem, berperan
sebagai pengendali naik turunnya populasi mangsanya. Banyak karnivora
yang begitu penting sebagai pengendali sehingga ia berperan sebagai spesies
kunci (keystone species) dan hilangnya spesies tersebut dapat menimbulkan
dampak yang drastis pada ekosistem. Sebagai contoh, srigala yang
diintroduksi ke Taman Nasional Yellowstone setelah punah selama hampir 70
tahun, dan pemangsaannya pada Elk memungkinkan tanaman berkayu untuk
pulih kembali setelah terjadi overbrowsing (Ripple and Beschta, 2003).
Karnivora juga merupakan inang dari berbagai jenis parasit internal maupun
eksternal, termasuk protozoa, nematoda, trematoda, cestoda, dan berbagai
jenis kutu (Roberts and Janovy Jr., 2000).
Predator puncak (top predator) sangat menakutkan hati satwa yang
diburunya. Tetapi ketika seekor rusa dilukai oleh srigala, setidaknya ia tahu
bahwa ia akan memberikan hidupnya yang lebih mulia. Suatu studi baru
menemukan bagaimana ekosistem hancur tanpa kehadiran predator puncak
yang mengendalikan populasi kunci untuk tidak terlalu besar (melebihi daya
dukungnya). Ini juga memberikan pelajaran untuk mengingatkan manusia
yang sering menghilangkan predator puncak dari rantai makanan yang akan
membuat ekosistem menjadi kolaps (Carey, 2007).
Predator puncak adalah pengatur rantai makanan – mereka menjaga
setiap saluran energi menjadi terkendali. Pemangsaan yang tetap dari
konsumen puncak mencegah suatu populasi berkembang melebihi
kemampuan yang dapat didukung oleh sistem (Carey, 2007).
Menghilangkan predator puncak sering dapat mengubah
keseimbangan ekosistem secara keseluruhan. Sebagai contoh, ketika suatu
area kebanjiran permanen dan menciptakan serangkaian pulau, tidak semua
pulau memiliki sumberdaya yang cukup untuk mendukung predator.
Konsumen puncak yang tersisa menghabiskan nutrisi dan mengalami ledakan

68 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
NILAI EKONOMI

reproduksi. Ledakan terjadi di seluruh ekosistem, walaupun spesies yang


meledak berkompetisi satu dengan lainnya, namun berpotensi membuat
spesies yang sedikit akan mengalami kepunahan dan mengurangi
keanekaragaman hayati. Ketika suatu spesies mengalami ledakan populasi,
sesungguhnya berarti spesies lain akan menurun. Semakin besar ledakan
suatu spesies, maka semakin meningkatkan peluang bagi penurunan atau
kepunahan spesies lain. Ini dikenal sebagai siklus ledakan dan kepunahan
(boom and bust cycle). Dengan penurunan ini, populasi mendekati nol dan
sulit untuk bangkit kembali (Carey, 2007).
Manusia sering memainkan peran dalam memulai siklus ledakan dan
penurunan dengan menghilangkan predator puncak. Sebagai contoh, setelah
srigala abu-abu diburu sampai mendekati kepunahan di Amerika Serikat, rusa,
elk dan semua satwa yang takut srigala menjadi bebas dan berkembangbiak
merajalela, menghabiskan vegetasi dimana konsumen lain juga bergantung
untuk makan. Atau, yang terbaru, para peneliti menemukan bahwa ketika
persediaan ikan di Samudra Atlantik dipanen berlebihan, populasi jellyfish
meledak. Sementara, jellyfish memiliki sedikit predator, penghilangan ikan
meningkatkan kelimpahan nutrisi untuk pesta pora jellyfish (Carey, 2007).
Ekosistem memberi kita makanan yang kita makan dan membantu
memproduksi udara yang dapat kita hirup dan air yang bersih. Tetapi mereka
umumnya rawan dan dapat menjalankan perannya jika dalam keseimbangan
dinamis (equilibrium). Inilah sistem penyangga kehidupan kita, kita
tergantung pada mereka. Studi ini menunjukkan pentingnya predator puncak
dan bahwa kita perlu hati-hati untuk membuat kompromi dengan mereka
(Carey, 2007).
Predator puncak dalam ekosistem hutan di Jawa adalah harimau Jawa
(Panthera tigris sondaicus), macan tutul atau macan kumbang (Panthera
pardus melas) dan ajak (Cuon alpinus). Harimau Jawa sudah dinyatakan
punah pada dekade 1980-an, sehingga puncak rantai makanan di hutan-hutan
Pulau Jawa adalah macan tutul dan ajak. Namun penyebaran ajak di Jawa
sangat terbatas dan sulit atau tidak ditemukan di hutan-hutan tanaman jati,
hanya dijumpai di puncak-puncak gunung. Dengan demikian macan tutul
memegang peranan penting dalam mengendalikan kestabilan ekosistem hutan
di Pulau Jawa atau menjadi keystone species. Kedudukan macan tutul dalam
jaring-jaring pangan (food web) dalam ekosistem hutan di Jawa digambarkan
oleh MacKinnon (1992) pada Gambar 7.

B. Peranan Bagi Manusia


Hubungan manusia dengan karnivora sangat ekstrim dan bercampur
emosi. Di sisi lain, kita menghargai dan mengaguminya. Sesungguhnya dua
spesies, srigala dan kucing liar telah didomestikasi dan menjadi hewan sahabat

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 69
NILAI EKONOMI

yang paling dekat. Dalam hal anjing domestik, kita juga telah
mengembangkan dan melatih banyak turunannya untuk bekerja sebagai
anjing pemburu, anjing penggembala dan anjing pemandu. Karnivora juga
penting untuk estetika dan ekonomi. Kita mengagumi kemampuan berburu
mereka dan kecantikan mereka yang mencolok. Banyak simbol kemewahan
dan lambang pentng lainnya adalah karnivora. Mereka merupakan daya tarik
utama ekoturisme, khususnya dimana mereka dapat dilihat di habitat
alaminya. Sepanjang hidup manusia juga telah berburu karnivora untuk
makan, obat dan diambil kulitnya. Sampai saat ini karnivora juga masih
diburu untuk tujuan rekreaasi sebagai trofi dan seringkali dengan biaya sangat
mahal.

Gambar 7.Jaring-jaring pangan dalam ekosistem savana (MacKinnon, 1992).

70 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
NILAI EKONOMI

Di sisi lain, manusia dan karnivora telah lama dalam konflik karena
kepentingan ekologi yang sama. Nenek moyang kita di dataran Afrika
berkompetisi mendapatkan makanan dengan karnivora besar. Dengan
perkembangan pertanian dan peternakan, konflik ini meningkat sehubungan
karnivora berbagai ukuran cenderung memangsa hewan ternak yang memiliki
nilai ekonomi penting bagi kita. Apalagi, karnivora besar kadang-kadang
membunuh manusia. Satwaliar yang saling berkompetisi masing-masing
menunjukkan kekompakan kepada yang lainnya. Lebih jauh, semakin besar
dan semakin kuat satwa memiliki dampak negatif pada satwa pesaingnya yang
kebih kecil dan lebih lemah. Singa mempengaruhi jumlah cheetah dan anjing
liar, sementara srigala berpengaruh pada coyote. Manusia sebagai pemangsa
tertinggi (bukan ordo karnivora) mempengaruhi semua pesaingnya dan
karnivora menderita akibat tindakan manusia yang brutal dan efisien, lebih
dari kelompok satwa lainnya. Dengan ledakan populasi manusia dan
perkembangan mekanisme pembunuhan yang semakin efisien, pembunuhan
besar-besaran semakin cepat : penembakan, pemerangkapan, peracunan dan
panen labih telah menimbulkan korban banyak spesies karnivora. Bahkan,
melalui domestikasi anjing dan kucing, nenek moyangnya di alam terancam
akibat kawin silang dengan mereka dan penyebaran penyakit.
Dalam usaha mengembalikan ketidak-seimbangan, suatu jaringan
organisasi pemerintah dan non pemerintah telah dibentuk di seluruh dunia dan
jutaan dolar telah dihabiskan untuk penelitian, perlindungan dan program
pengelolaan, skema kompensasi dan pendidikan. Walaupun ada banyak
keberhasilan diraih, situasinya adalah serius dan suatu upaya besar manusia
diperlukan, jika tidak maka satwa indah dan penting ini akan mengalami nasib
yang sama dengan srigala Pulau Falkland, mink laut dan racoon Barbados
.

C. Nilai Ekonomi
1. Merugikan
Karnivora juga memiliki dampak negatif bagi manusia. Mereka
mungkin bersaing dengan manusia untuk perburuan dan menjadi pemangsa
ternak. Kadang-kadang, karnivora besar bahkan menyerang dan membunuh
manusia. Spesies omnivora mungkin menjarah tanaman buah-buahan dan di
daerah perkotaan karnivora menjadi hama ketika menjarah tempat sampah dan
tinggal di dalam cerobong asap atau di bawah beranda. Mereka juga
membawa penyakit dan parasit, seperti rabies yang dapat ditularkan pada
manusia dan hewan peliharaan (Roberts and Janovy Jr., 2000; Vaughan, Ryan,
and Czaplewski, 2000).
Populasi karnivora besar menurun di seluruh dunia pada satu abad
terakhir (Ginsberg and Macdonald 1990, Nowell and Jackson 1996) terutama

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 71
NILAI EKONOMI

sebagai akibat konflik dengan manusia (Gittleman et al. 2001). Karnivora


merupakan korban dari banyak bentuk konflik yang meliputi diburu untuk
konsumsi (Kruuk 2002), penyebaran penyakit (Guan et al. 2003), dan
kompetisi dengan manusia untuk mendapatkan spesies mangsa (Ginsberg
2001). Kompetisi untuk mendapatkan satwa mangsa secara khusus dapat
menjadi akut dan menimbulkan kemarahan bila karnivora memangsa
ungulata dalam peternakan (Fritts et al. 2003). Konflik pemangsaan ternak
telah menunjukkan kerugian ekonomi lokal yang nyata (Kruuk 2002).
Pembalasan pembunuhan pada karnivora yang dianggap bersalah (Ogada
et al. 2003) dan yang tidak berdosa (Sacks et al. 1999) telah memperparah
penurunan populasi dan menghambat pemulihan beberapa spesies karnivora
seperti macan tutul salju (Mishra 1997) dan Srigala (Mech and Boitani 2003).
Akibatnya sangat mengerikan: dua spesies mamalia predator yang terlibat
konflik pemangsaan ternak, yaitu Srigala Tasmania dan Rubah Kepulauan
Falkland telah punah dua abad yang lalu (Woodroffe et al. in prep dalam
Swarner, 2004).
Di beberapa negara Afrika, data masalah pengendalian satwa atau
evaluasi pemangsaan ternak (depredation) oleh badan nasional satwaliar
(national wildlife agency), justru kebanyakan tersedia dari penelitian-
penilitian independen. Proyek Predator Laikipia (Laikipia Predator Project),
mengevaluasi catatan sejarah dan mewancarai manajer dan peternak untuk
memperkirakan laju pemangsaan ternak komersial di ranch-ranch dan
kelompok peternak di Kenya (Ogada et al., 2003). Kehilangan ternak karena
dimangsa predator dari kelompok ternak sapi 0,8 – 0,9 % dan kelompok
kambing dan domba 2.1 – 2.5% setiap tahun. Demikian juga di Kenya,
Mizutani (1993) memperkirakan bahwa karnivora membunuh 2,2% kambing.
Di Zimbabwe Barat Laut, 2% dari semua ternak sapi yang hilang disebabkan
oleh pemangsaan anjing liar (Rasmussen, 1999).
Walaupun laju pemangsaan ternak rendah, kerugian ekonomi total bisa
tinggi. Lindsay (2003) memperkirakan bahwa melestarikan sekelompok
anjing liar di areal peternakan (ranch land) di Afrika Selatan menghabiskan
biaya $11.000 - $ 55.000 per tahun (jika ada ternak dimangsa maka diganti
rugi sesuai harga yang berlaku di pasaran). Contoh dari benua lain juga
menunjukkan bahwa diperlukan biaya yang tinggi, baik di tingkat individual
maupun nasional. Peternak di Himalaya, India, kehilangan rata-rata 12%
ternaknya per keluarga karena dimangsa macan tutul salju dan karnivora
lainnya (Mishra 1997). Dalam skala yang lebih besar produsen domba di
Amerika Serikat diperkirakan kehilangan $40 - $150 juta setiap tahun karena
predator (Knowlton et al. 1999). Pemangsaan ternak perlu dikaji dan
penelitian perilaku pemangsaaan ternak dapat menyumbang teknik untuk
mengurangi konflik (Swarner, 2004).

72 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
NILAI EKONOMI

Di Rumania lebih banyak karnivora yang hidup berdekatan dengan


peternakan dibandingkan di negara Eropa lainnya, tetapi sedikit diketahui
adanya konflik di antara keduanya (Martens dan Promberger 2001). Hasil
penelitian Martens dan Promberger (2001) menunjukkan bahwa pemangsaan
ternak pada musim panas sebagian besar dilakukan oleh srigala (Canis lupus)
65% dan beruang (Ursus arctos) 36%. Sembilan puluh satu persen ternak
yang dimangsa adalah domba. Jumlah korban per camp berkorelasi positif
dengan ratio domba : penggembala dan domba : anjing penjaga. Rata-rata
kerugian US$465/camp peternakan dan US$35 per km2 (sejak 1999).
Berkaitan dengan faktor biaya dan pendapatan, camp-camp peternakan
menderita kerugian setara dengan 10% dari total pembiayaan dan 74% dari
total pendapatan manager camp peternakan.
Hasil penelitian Namgail dan Bhatnagar (2007) di tiga desa di
peternakan Trans-Himalaya, di dalam kawasan usulan Suaka Margasatwa
Gya-Miru, Ladakh, India, mencatat adanya kehilangan 295 ekor ternak selama
2,5 tahun sampai awal 2003 yang disebabkan pemangsaan oleh macan tutul
salju (Uncia uncia), Srigala Tibet (Canis lupus chanku) dan Lynx Eurasia (lynx
l. isabellina) yang menunjukkan laju kehilangan ternak 2,9% per tahun di
perusahaan peternakan. Srigala Tibet adalah predator terpenting yang
bertanggungjawab atas 60% dari total pemangsaan ternak, diikuti macan tutul
salju 38% dan lynx 2%. Ternak kambing merupakan korban terbanyak (32%),
diikuti oleh domba (15%) dan kuda (13%). Srigala membunuh kuda lebih
banyak dan kambing lebih sedikit dari yang diperkirakan berdasarkan
kelimpahan relatifnya. Macan tutul salju juga membunuh kuda lebih banyak
dari yang diperkirakan dan memangsa ternak lainnya secara proporsional
dengan kelimpahan. Kerugian ekonomi yang diderita tiga desa tersebut
diperkirakan mendekati $USD12.120 atau sekitar $USD190/rumah
tangga/tahun. Hal ini merupakan kerugian tahunan total yang relatif tinggi,
khususnya disebabkan oleh pemangsaan terhadap ternak paling berharga yaitu
yak dan kuda.

2. Menguntungkan
Banyak manfaat yang dapat diperoleh manusia dari karnivora.
Manusia telah ribuan tahun berburu karnivora untuk olah raga dan untuk kulit,
daging dan bagian tubuh lainnya. Tulang dan jaringan lunak harimau
(Panthera tigris) dan karnivora besar lainnya telah lama digunakan dalam
pengobatan tradisional di Asia. Jutaan karnivora kecil seperti rubah merah
(Vulpes vulpes) dan mink (Mustela vison) dibudidayakan untuk diambil
kulitnya. Karnivora juga bernilai bagi manusia karena kemampuannya
mengendalikan pengerat dan hama lainnya. Kucing, anjing dan karnivora
lainnya merupakan peliharaan yang populer di seluruh dunia (Schaller, 1996;

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 73
NILAI EKONOMI

Vaughan, Ryan, and Czaplewski, 2000).


Karnivora (pemakan daging, bukan ordo karnivora) dilarang untuk
dimakan menurut hukum Yahudi dan Islam. Karnivora tidak secara efisien
digunakan sebagai hewan pangan karena trophic levelnya yang tinggi,
walaupun beberapa seperti aligator dan tuna masih dimakan oleh manusia.
Karnivora sebagai pemberi jasa ekosistem antara lain melalui nilai
guna langsung (Direct Use Value) seperti pengamatan satwaliar, fotografi dan
perburuan; serta nilai penggunaan pasif (Passive-Use Values) seperti nilai
keberadan (Existence), pengurusan (Stewardship) dan warisan (Bequest).

1 2

4 3
Sumber:
(1) Paul_Elledge: www.audubonmagaziine.org (2) www.spiridonbearcamp.com
(3) www.kitikmeotheritage.ca (4) www.phoenix.vl.ru

Gambar 8.
Berbagai macan contoh nilai guna langsung dari karnivora, searah jarum jam,
karnivora sebagai trofi berburu, perburuan beruang berlisensi, kulit macan tutul
yang sudah menjadi jaket dan perburuan ilegal terhadap macan tutul untuk kulitnya.

74 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
NILAI EKONOMI

Perkiraan nilai ekonomi jasa ekosistem dari karnivora di Amerika


Serikat adalah sebagai berikut :
1. Wisata di Taman Nasional Yellowstone (dampak ekonomi regional dari
srigala $70 juta per tahun) (Stark, 2006).
2. Ekspansi populasi dan jelajah berang-berang laut di bagian selatan
California (> $100 juta per tahun manfaat ekonomi bagi rumah tangga)
(Loomis, 2005).
3. Recovery beruang grizzly di ekosistem Bitterroot (manfaat $40.4-60.6
juta/tahun dan biaya $436-442 juta/tahun) (USFWS, 2000).

Masyarakat Afrika Timur dan Selatan menganggap daging satwa liar


boleh dimakan. Alasannya mereka harus bertahan hidup dalam kekeringan
dan kelaparan yang luar biasa, sehingga tidak mampu membeli makanan
bergizi dan tidak peduli dengan penurunan populasi satwaliar. Apalagi, harga
daging satwaliar lebih murah dari pada daging ternak. Harga daging ternak
US$ 1,14 per kg, tetapi daging satwaliar dijual kurang dari US$0,58 per kg.
Hal ini juga merupakan kebijakan pemerintah dalam rangka memerangi
kekurangan gizi. Berdasarkan laporan TRAFFIC berjudul "Food For
Thought: The Utilization of Wild Meat in Eastern and Southern Africa",
pemanfaatan daging di wilayah ini memiliki nilai ekonomi untuk daerah-
daerah tertentu, dan berdampak pada kawasan dilindungi serta nilai individual
spesies dalam perdagangan. Selama penelaahan dua tahun terhadap
perdagangan dan pemanfaatan daging satwaliar, ada tujuh negara Afrika
Timur dan Selatan yang memanfaatkan daging satwaliar, yaitu Botswana,
Kenya, Malawi, Mozambique, Tanzania, Zambia and Zimbabwe.
Menurut organisasi wisata dunia (WTO), lebih dari 663 juta wisatawan
internasional pada tahun 1999 yang membelanjakan uangnya sebanyak
US$453 milyar. Kunjungan wisata diperkirakan meningkat rata-rata 4,1% per
tahun untuk 20 tahun dan diperkirakan jumlah wisatwan pada tahun 2020
menjadi 1,6 milyar. Menurut hasil penelitian, 40 – 60% wisatawan
internasional adalah wisatawan alam dan 20 – 40% berkaitan dengan
satwaliar. Pada tahun 1995 Kenya Wildlife Service memperkirakan bahwa
satwaliar menempati 80% pasar wisata. Dari total dampak ekonomi wisata
internasional pada tahun 1994 sebanyak US$416 milyar, USD83-166 milyar
diantaranya berasal dari wisata yang berkaitan dengan satwaliar, ini
meningkat dibandingkan tahun 1988 yang sebesar USD47-155 milyar.

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 75
NILAI EKONOMI

IKHTISAR
Tidak dapat dipungkiri bahwa predator atau satwa pemangsa,
khususnya dari ordo Karnivora memiliki peranan yang penting terutama
dalam menjaga keseimbangan ekosistem alami sehingga proses-proses di
dalamnya dapat bekerja dan memberikan fungsinya secara optimal bagi
kepentingan manusia. Peranan karnivora ini dalam ekosistem dapat
dikuantifikasikan menjadi nilai ekonomi dengan mengukur kerugian atau
dampak yang ditimbulkan akibat keberadaan atau ketiadaan mereka.
Karnivora juga memiliki nilai ekonomi yang secara langsung dapat dirasakan
seperti mendatangkan pendapatan melalui kegiatan wisata safari atau wisata
buru dan pemanfaatan langsung bagian-bagian tubuh satwa seperti kulit
untuk industri pakaian dan dagingnya untuk peningkatan gizi masyarakat. Di
sisi lain, karnivora juga dapat merugikan melalui pemangsaan terhadap
ternak dan manusia serta penyebaran penyakit. Kerugian ini dapat dihindari
atau dikurangi dengan menjaga keseimbangan populasi pemangsa dengan
upaya konservasi (seperti pengaturan populasi pemangsa dan pembinaan
habitat mangsa) atau dengan mencegah dan menghindarkan faktor-faktor
yang menyebabkan ketidakseimbangan dalam ekosistem.

GLOSARIUM
Overbrowsing : pemangsaan terhadap hijauan oleh herbivora
secara berlebihan akibat ledakan populasi
herbivora tersebut, yang disebabkan oleh
hilangnya predator herbivora tersebut.
Boom and bust cycle : siklus ledakan populasi spesies yang satu
(misalnya karnivora) dan menyebabkan
penurunan populasi spesies yang lain
(herbivora) secara terus menerus sebagai
rangkaian sebab-akibat.
Rantai makanan (food chain) : proses makan memakan yang membentuk
siklus dalam suatu ekosistem yang terdiri
dari mata beberapa rantai antara lain :
produsen primer (tumbuhan hijau),
konsumen pertama atau produsen sekunder
(herbivora); konsumen kedua (karnivora
atao omnivora); konsumen ketiga (karnivora
atau omnivora) yang mungkin adalah
predator puncak; serta organisme pengurai
(decomposer).
Jaring-jaring pangan (food web) : kumpulan rantai makanan yang saling
berhubungan satu sama lain dalam suatu
ekosistem.

76 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
NILAI EKONOMI

Ranch Land : Lahan peternakan yang luas, dimana ternak


dibiarkan lepas tidak di kandang, biasanya
hanya dipagar dan dijaga oleh penggembala
(sheperd) atau anjing penjaga.
Trofi (trophy) : bukti atau tanda kenang-kenangan bila
seseorang pemburu telah berhasil
membunuh satwa buruannya, bisanya
berupa kepala satwa tersebut yang
diawetkan dan dipajang sebagai hiasan atau
lambang kebanggaan.
Recovery : Pemulihan, misalnya pemulihan populasi
yang menurun atau pemulihan habitat yang
telah mengalami degradasi.
Depredation : dalam konteks ini diartikan sebagai
pemangsaan ternak oleh satwaliar.

DAFTAR PUSTAKA
Carey, B. 2007. Top predators key to ecosystem survival. http://www.Live
Science.com. Diakses Tanggal 8 Maret 2007
Carey, J., D. Judge. 2002. "Longevity Records: Life Spans of Mammals,
Birds, Amphibians, Reptiles, and Fish" (On-line). Max Planck Institute
for Demographic Research. Accessed December 05, 2005 at http://
animaldiversity.ummz.umich.edu/local/redirect.php/http://www.dem
ogr.mpg.de/.
Eaton, R. 1976. A possible case of mimicry in larger mammals. Evolution,
30(4): 853-856.
Ewer, R. 1973. The Carnivores. Ithaca: Cornell University Press.
Flynn, J., J. Finarelli, S. Zehr, J. Hsu, M. Nedbal. 2005. Molecular phylogeny
of the Carnivora (Mammalia): Assessing the impact of increased
sampling on resolving enigmatic relationships. Systematic Biology,
54(2): 317-337.
Frank, L. 1996. Female masculinization in the spotted hyena: Endocrinology,
behavioral ecology, and evolution. Pp. 78-131 in J. L. Gittleman, ed.
Carnivore Behavior, Ecology, and Evolution, vol. 2. Ithaca: Cornell
University Press.
Fritts, S. H., R. O. Stephenson, R. H. Hayes, and L. Boitani. 2003. Wolves and
Humans. Pages 289-316 in D. L. Mech and L. Boitani, editors. Wolves:
Behavior, Ecology, and Conservation. University of Chicago Press,
Chicago.
Ginsberg, J. R. 2001. Setting priorities for carnivore conservation: what makes
carnivores different? Pages 498-523 in J. L. Gittleman, S. M. Funk, D.
W. MacDonald, and R. K. Wayne, editors. Carnivore Conservation.

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 77
NILAI EKONOMI

Cambridge University Press, Cambridge.


Ginsberg, J. R., and D. W. MacDonald, editors. 1990. Foxes, Wolves, Jackals,
and Dogs: An Action Plan for the Conservation of Canids. IUCN/SSC
Canid Specialist Group, Gland, Switzerland.
Gittleman, J. 1989. Carnivore group living: Comparative trends. Pp. 183-207
in J. L. Gittleman, ed. Carnivore Behavior, Ecology and Evolution, vol.
1. Ithaca: Cornell University Press.
Gittleman, J. L., S. M. Funk, D. W. MacDonald, and R. K. Wayne, editors.
2001. Carnivore Conservation. Cambridge University Press,
Cambridge.
Gorman, M., B. Trowbridge. 1989. The role of odor in the social lives of
carnivores. Pp. 57-88 in J. L. Gittleman, ed. Carnivore Behavior,
Ecology, and Evolution, vol. 1. Ithaca: Cornell University Press.
Guan, Y., B. J. Zheng, Y. Q. He, X. L. Liu, Z. X. Zhuang, C. L. Cheung, S. W.
Luo, P. H. Li, L. J. Zhang, Y. J. Guan, K. M. Butt, K. L. Wong, K. W.
Chan, W. Lim, K. F. Shortridge, K. Y. Yuen, J. S. M. Peiris, and L. L. M.
Poon. 2003. Isolation and characterization of viruses related to the
SARS coronavirus from animals in southern China. Science 302:276-
278.
http://en.wikipedia.org?wiki/Carnivore. Diakses Tanggale 7 Mei 2007.
http://www.american.edu/TED/kenya-bbq.htm. Diakses Tanggal 15 Mei
2007.
http://www.answer.com/topic/carnivore-1. Diakses Tanggal 6 Maret 2007.
IUCN, 2004. "2004 IUCN Red List of Threatened Species" (On-line).
A c c e s s e d D e c e m b e r 0 6 , 2 0 0 5 a t
h t t p : / / a n i m a l d i v e r s i t y. u m m z . u m i c h . e d u / s i t e /
accounts/information/www.redlist.org. Diakses Tanggal 6 Maret
2007.
King, C. 1989. The advantages and disadvantages of small size to weasels,
Mustela species. Pp. 302-334 in J. L. Gittleman, ed. Carnivore
Behavior, Ecology, and Evolution, vol. 1. Ithaca: Cornell University
Press.
Knowlton, F. F., E. M. Gese, and M. M. Jaeger. 1999. Coyote depredation
control: an interface between biology and management. Journal of
Range Management 52:398-412.
Korpimaki, E., K. Norrdahl. 1989. Avian predation on mustelids in Europe 1.
Occurrence and effects on body size variation and life traits. Oikos,
55(2): 205-215.
Lindsey, P. A. 2003. Conserving wild dogs (Lycaon pictus) outside state
protected areas in South Africa: ecological, sociological and economic
determinants of success. Doctorate thesis. University of Pretoria,
Pretoria.

78 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
NILAI EKONOMI

Loomis, J.B. 2005. Economic benefits of expanding California's Southern Sea


Otter Population. Report prepared for Defenders of Wildlife.
December, 2005.
MacKinnon, K. 1992. Nature's Treasurehouse : The Wildlife of Indonesia.
PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Mead, R. 1989. The physiology and evolution of delayed implantation in
carnivores. Pp. 437-464 in J. L. Gittleman, ed. Carnivore Behavior,
Ecology, and Evolution, vol. 1. Ithaca: Cornell University Press.
Mead, R. 1989. The physiology and evolution of delayed implantation in
carnivores. Pp. 437-464 in J. L. Gittleman, ed. Carnivore Behavior,
Ecology, and Evolution, vol. 1. Ithaca: Cornell University Press.
Mertens, A. and C. Promberger. 2001. Economic Aspects Of Large
Carnivore–Livestock Conflicts In Romania. Ursus 12:173–180.
http://www. ursusjournal.com/volumes/Mertens%20and%20
Promberger%202001.pdf. Diakses Tanggal 15 Mei 2007.
Mishra, C. 1997. Livestock depredation by large carnivores in the Indian trans-
Himalaya: conflict perceptions and conservation prospects.
Environmental Conservation 24:338-343.
Mizutani, F. 1993. Home range of leopards and their impact on livestock on
Kenyan ranches. Symp. Zool. Soc. Lond. 65:425-439.
Moehlman, P. 1989. Intraspecific variation in canid social systems. Pp. 143-
163 in J. L. Gittleman, ed. Carnivore Behavior, Ecology, and Evolution,
vol. 1. Ithaca: Cornell University Press.
Namgail, T., J.L. Fox and Y.V. Bhatnagar. 2007. Carnivore-Caused Livestock
Mortality in Trans-Himalaya. Springer. New York. http://www.
springerlink. com/content/42567458h670u205/SpringerLink - Journal
Article.htm. Diakses Tanggal 15 Mei 2007.
Nowell, K., and P. Jackson, editors. 1996. The Wild Cats: Status survey and
conservation action plan. IUCN/SCC Cat Specialist Group, Gland,
Switzerland.
Ogada, M. O., R. Woodroffe, N. O. Oguge, and L. G. Frank. 2003. Limiting
depredation by African carnivores: the role of livestock husbandry.
Conservation Biology 17:1-10.
Ortolani, A., T. Caro. 1996. The adaptive significance of color patterns in
carnivores: Phylogenetic tests of classic hypotheses. Pp. 132-188 in J.
L. Gittleman, ed. Carnivore Behavior, Ecology, and Evolution, vol. 2.
Ithaca: Cornell University Press.
Peters, G., W. Wozencraft. 1989. Acoustic communication by fissiped
carnivores. Pp. 14-56 in J. L. Gittleman, ed. Carnivore Behavior,
Ecology, and Evolution, vol. 1. Ithaca: Cornell University Press.
Peters, G., W. Wozencraft. 1989. Acoustic communication by fissiped
carnivores. Pp. 14-56 in J. L. Gittleman, ed. Carnivore Behavior,

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 79
NILAI EKONOMI

Ecology, and Evolution, vol. 1. Ithaca: Cornell University Press.


Rasmussen, G. S. A. 1999. Livestock predation by the painted hunting dog
Lycaon pictus in a cattle ranching region of Zimbabwe: a case study.
Biological Conservation 88:133-139.
Reeves, R., B. Stewart, P. Clapham, J. Powell. 2002. The National Audobon
Society Guide to Marine Mammals of the World. New York: Alfred A.
Knopf.
Ripple, W., R. Beschta. 2003. Wolf reintroduction, predation risk, and
cottonwood recovery in Yellowstone National Park. Forest Ecology
and Management, 184: 299-313.
Roberts, L., J. Janovy Jr.. 2000. Foundations of Parasitology. New York:
McGraw-Hill.
Sacks, B. N., M. M. Jaeger, C. C. Neale, and D. R. McCullough. 1999.
Territoriality and breeding status of coyotes relative to sheep
predation. Journal of Wildlife Management 63:593-605.
Sandell, M. 1989. The mating tactics and spacing patterns of solitary
carnivores. Pp. 164-182 in J. L. Gittleman, ed. Carnivore Behavior,
Ecology, and Evolution, vol. 1. Ithaca: Cornell University Press.
Schaller, G. 1996. Introduction: Carnivores and conservation biology. Pp. 1-
10 in J. L. Gittleman, ed. Carnivore Behavior, Ecology, and Evolution,
vol. 2. Ithaca: Cornell University Press.
Stains, H. 1984. Carnivores. Pp. 491-521 in S. . Anderson, J. K. Jones Jr., eds.
Orders and Families of Recent Mammals of the World. New York:
John Wiley and Sons.
Stark, M. 2006. UM economist: Wolves a big moneymaker. Billings Gazette.
April 7, 2006. http://www.billingsgazette.net/articles/2006/04/07/
news/ state/25-wolves.txt
Swarner, M. 2004. Human-carnivore conflict over livestock : The African
wild dog in central Botswana. http://www.repositories.cdlib.org/cgi/
viewcontent.pdf. Diakses Tanggal 15 Mei 2007.
USFWS. 2000. Grizzly Bear Recovery in the Bitterroot Ecosystem: Final
Environmental Impact Statement. March 2000.
Vaughan, T., J. Ryan, N. Czaplewski. 2000. Mammalogy, 4th Edition.
Toronto: Brooks Cole.

80 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
Bab
MANAJEMAN KONSERVASI
7

A. Sejarah Konservasi Alam Di Indonesia


Sejarah konservasi satwaliar karnivora di Indonesia sudah sama tuanya
dengan sejarah konservasi sumberdaya alam hayati di negeri ini. Melacak
sejarah konservasi karnivora tidak terlepas dari mempelajari sejarah
konservasi sumberdaya alam hayati itu sendiri, karena karnivora merupakan
bagian dari sumberdaya alam hayati. Di Indonesia kegiatan konservasi
satwaliar dimulai pada awal abad ke 19 yang ditandai dengan berdirinya
perkumpulan penggemar alam (Nederlands-Indisce Vereniging voor
Natuurberscherming) yang diketuai oleh Dr. S. H. Koorders. Perkumpulan ini
menghasilkan bermacam-macam peraturan dan usulan kawasan konservasi
alam, diantaranya Cagar Alam Cibodas (1889) dan Cagar Alam Ujung Kulon
(1912) yang keduanya kini telah menjadi taman nasional (Alikodra, 1990).
Perhatian Pemerintah Indonesia terhadap konservasi alam mulai
timbul sejak tahun 1974, diawali oleh kegiatan Direktorat Perlindungan dan
Pengawetan Alam (PPA) yang berhasil menyusun rencana pengembangan
kawasan-kawasan konservasi di Indonesia dengan bantuan FAO/UNDP (Food
And Agriculture Organisation/United Nation Development Programme) dan
usaha penyelamatan satwaliar yang terancam kepunahan dengan bantuan
WWF (World Wildlife Fund) (Alikodra, 1990).
Tahun 1982 merupakan tonggak bersejarah dalam kegiatan konservasi
di Indonesia dengan diadakannya konggres Taman Nasional Se Dunia yang
ketiga di Bali. Ketika itu ada 11 taman nasional yang dideklarasikan oleh
Pemerintah Indonesia (Soemarwoto, 2004) dan sampai tahun 2006 Indonesia
telah memiliki 50 taman nasional. Penetapan taman nasional ini sangat
penting untuk konservasi satwaliar secara umum, termasuk karnivora, karena
kini karnivora penting seperti harimau, macan tutul, macan dahan, kucing
emas, kucing bakau, kucing batu, ajak dan lain-lain hanya dapat hidup dengan
aman di taman-taman nasional.
Dari segi hukum, perlindungan terhadap satwaliar di Indonesia sudah
dimulai sejak jaman penjajahan belanda antara lain melalui :

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 81
MANAJEMEN KONSERVASI

Ordonansi Perburuan (Jachtordonnantie 1931 Staatsblad 1931


?
Nummer 133);
Ordonansi Perlindungan Binatang-binatang Liar
?
(Dierenbeschermingsordonnantie 1931 Staatsblad 1931 Nummer
134);
Ordonansi Perburuan Jawa dan Madura (Jachtoddonnantie Java en
?
Madoera 1940 Staatsblad 1939 Nummer 733);
Ordonansi Perlindungan Alam (Natuurbeschermingsordonnantie
?
1941 Staatsblad 1941 Nummer 167);

Pada masa pemerintahan Republik Indonesia perlindungan terhadap


satwaliar antara lain melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor
421/Kpts/Um/8/1970. Kemudian diperkuat dengan Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor 301/Kpts-II/1991 dan dipertegas dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan
Satwa.
Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya maka status
perlindungan satwaliar pada umumnya menjadi semakin kuat. Indonesia juga
meratifikasi United Nations Convention on Biodiversity Conservation
(UNCBD) melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994. Disamping itu
Indonesia juga telah meratifikasi Convention on International Trade in
Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) yang mengendalikan
perdagangan hidupan liar yang terancam kepunahan.
Pasang surut tingkat perhatian pemerintah terhadap konservasi jenis
satwa Indonesia tergambar dari dinamika lembaga pemerintah yang
menangani urusan konservasi sumberdaya alam. Urusan konservasi
sumberdaya alam hayati ditangani oleh Departemen Kehutanan, yang pernah
menjadi bagian dari Departemen Pertanian dengan tingkatan Direktorat
Jenderal (eselon I) dan Konservasi sumberdaya alam hayati ditangani oleh
Direktur (eselon II) yaitu Direktur Perlindungan dan Pelestarian Alam (PPA).
Sejak tahun 1983, Kehutanan kembali menjadi sebuah Departemen dengan
salah satu Direktorat Jenderalnya menangani Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam (PHKA). Konservasi Jenis ditangani oleh seorang Direktur,
sejajar dengan Konservasi Kawasan. Dengan meningkatnya tingkat eselon
lembaga yang menanganinya, diharapkan konservasi sumberdaya alam hayati
di Indonesia semakin baik.

B. Permasalahan Konservasi Jenis Di Indonesia


Upaya konservasi jenis di Indonesia dapat dikatakan tidak atau belum
berhasil, hal ini dapat dilihat dari indikasinya yaitu dari tahun ke tahun daftar

82 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
MANAJEMEN KONSERVASI

jenis yang terancam punah dan dilindungi semakin panjang dan daftar jenis
yang masuk appendix CITES juga semakin banyak. Bahkan beberapa jenis
satwa naik peringkatnya dari Appendix II ke Appendix I atau peringkatnya
tetap namun kuotanya terus diturunkan.
Permasalahan konservasi jenis yang dihadapi di Indonesia dapat dilihat
dari beberapa sudut pandang :
1. Nasib suatu jenis dalam suatu komunitas atau ekosistem sangat
ditentukan oleh perlakuan yang diterima oleh komunitas atau
ekosistem tersebut. Keterancaman suatu jenis tidak terlepas dari
keterancaman yang diterima oleh komunitasnya atau ekosistem dimana
jenis tersebut hidup. Oleh karena itu, penanganan konservasi suatu
jenis juga tidak dapat dipisahkan dari upaya-upaya perlindungan
terhadap habitatnya. Masalahnya, saat ini Indonesia sedang mengalami
kehancuran habitat dengan laju yang sangat memprihatinkan, antara
lain akibat penebangan hutan, kebakaran hutan dan konversi hutan
yang mengakibatkan degradasi dan fragmentasi habitat. Sementara itu
penanganan penyebab kehancuran habitat tersebut merupakan masalah
tersendiri yang kompleks dan melibatkan banyak kepentingan dan
banyak lembaga lain. Konservasi jenis juga berhadapan dengan
pencemaran lingkungan seperti polusi udara dan polusi perairan yang
dapat menghancurkan spesies melalui mekanisme hujan asam dan
perusakan habitat perairan, kematian biota dan kegagalan reproduksi.
Di sisi lain, yang berkentingan dengan konservasi jenis (Ditjen PHKA,
Direktorat Konservasi Jenis) tidak memiliki kekuatan dan kemampuan
untuk melakukan penanganan (pencegahan dan penyelesaian)
penyebab kehancuran habitat tersebut sendirian. Dengan kondisi
demikian, dapat diprediksi bahwa nasib konservasi jenis tidak akan
mengalami perbaikan dalam satu dekade mendatang, jika tidak ada
itikad baik dan upaya bersama semua pihak yang terkait.
2. Upaya konservasi jenis juga berhadapan dengan kebutuhan masyarakat
lokal akan jenis flora dan fauna, baik untuk kebutuhan subsisten
maupun untuk tujuan komersial. Praktek pemanenan yang berlebihan
spesies tidak dilindungi maupun pemanenan ilegal terhadap jenis-jenis
dilindungi merupakan tantangan nyata yang dihadapi oleh pemerintah
Indonesia. Walaupun pemanenan dilakukan secara tradisional namun
bila dilakukan tehadap satwa langka, maka dapat menjadi pemicu
kepunahan satwa tersebut. Masih banyak masyarakat asli di sekitar
hutan yang menggantungkan hidup pada pemanenan atau perburuan
flora fauna secara tradisional. Pelarangan terhadap kegiatan ini dapat
dianggap sebagai tidak berpihak pada masyarakat dan dapat
mengurangi dukungan mereka terhadap upaya konservasi.
Perburuan terhadap satwa tidak dilindungi juga dapat memberikan
dampak berantai pada satwa dilindungi, misalnya perburuan terhadap
babi hutan berdampak langsung pada populasi macan tutul atau
harimau, karena babi hutan merupakan satwa mangsa satwa karnivora

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 83
MANAJEMEN KONSERVASI

tersebut. Berkurangnya atau hilangnya satwa mangsa dapat


mengakibatkan punahnya jenis-jenis karnivora. Hal serupa juga terjadi
pada burung parasit, walaupun burung yang bersifat parasit dilindungi
tetapi bila burung inangnya tidak dilindungi dan diburu, maka upaya
perlindungan terhadap burung parasit dapat menjadi sia-sia.
3. Permintaan pasar nasional maupun internasional terhadap sumberdaya
hayati flora fauna secara langsung juga merupakan permasalahan
dalam konservasi jenis. Seringkali permintaan pasar ini dipenuhi
dengan cara ilegal, pemanenan berlebih ataupun manipulasi.
Contohnya, banyak satwa langka yang diperdagangkan di pasar gelap
atau diselundupkan ke luar negeri. Akibat banyaknya satwaliar yang
diselundupkan dari Indonesia ke luar negeri, pada tahun 1991 Komisi
CITES untuk Masyarakat Eropa melarang impor hidupan liar dan
produknya yang berasal dari Indonesia.
Masalah perdagangan hidupan liar ilegal sangat kompleks karena
melibatkan banyak instansi yang seringkali di antara instansi tersebut
(kepolisian, TNI, bea cukai, karantina/Deptan, Departemen Kelautan
dan Perikanan, Deperindag dan Dephut sendiri) tidak terjalin
kerjasama yang kompak. Permintaan pasar yang tinggi telah memicu
pemanenan berlebih, walaupun telah dibatasi dengan kuota, seringkali
jumlah yang ditangkap sebenarnya melebihi kuota.
4. Praktek-praktek pemanenan yang merusak, misalnya penggunaan bom
atau racun yang dapat membunuh dan memusnahkan sampai pada
anakan dan spesies lain yang sebenarnya tidak menjadi target
pemanenan. Penggunaan perangkap atau jerat yang bisa saja salah
sasaran, seperti jerat atau perangkap babi yang mengenai anoa atau
babirusa yang dilindungi. Walaupun peraturan dan perundangan
tentang perburuan telah dikeluarkan, tetapi sampai saat ini perburuan
tradisional yang dilakukan oleh masyarakat untuk keperluan subsisten
dan perburuan satwa kecil seperti burung, sulit dikontrol dan belum
efektif di atur.
5. Masuknya spesies asing ke dalam kawasan-kawasan konservasi, baik
sengaja maupun tidak sengaja juga mengancam kelestarian jenis
setempat. Sayangnya, masalah spesies asing ini belum mendapat
penanganan serius, padahal dalam beberapa dekade mendatang spesies
asing ini dapat mengancam jenis-jenis asli, terutama jika jenis asing
tersebut bersifat invasif. Sampai saat ini pengawasan dan pengendalian
terhadap introduksi spesies asing, baik yang dilakukan dengan sengaja
maupun tidak belum dilakukan secara efektif.
6. Sementara itu, upaya penangkaran belum terlalu maju dan belum
mampu menggantikan individu yang hilang dari habitat alaminya
apalagi untuk memenuhi semua permintaan pasar. Sampai saat ini
perdagangan hidupan liar (satwa maupun tumbuhan) masih
mengandalkan pemanenan dari habitat alaminya. Belum majunya
penangkaran sebagai basis perdagangan hidupan liar antara lain

84 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
MANAJEMEN KONSERVASI

disebabkan oleh : belum dikuasinya teknologi, masih mudahnya


memperoleh hidupan liar di habitat alaminya (baik legal untuk yang
tidak dilindungi maupun ilegal melalui pemburu liar dan pasar gelap
untuk yang dilindungi) dan untuk jenis tertentu memerlukan investasi
yang mahal (misalnya buaya, penyu, monyet dan rusa), sementara
untuk jenis lainnya bila ditangkarkan hanya mendapatkan margin yang
kecil sehingga kurang menarik (misalnya jenis-jenis burung).
Minimnya law enforcement terhadap perburuan dan perdagangan
ilegal, membuat upaya penangkaran tidak terdorong maju, karena
selama suatu jenis flora atau fauna bisa diperoleh dengan mudah
dengan cara-cara ilegal maka upaya penangkaran tidak akan menarik
minat para pengusaha hidupan liar.
7. Kurang intensifnya upaya konservasi jenis di Indonesia bisa jadi karena
upaya konservasi di Indonesia masih menggunakan pendekatan
ekosistem dan pendekatan kawasan. Hal ini dapat terlihat dari segala
investasi dan upaya ditujukan pada pengamanan kawasan dan keutuhan
ekosistem secara keseluruhan. Walaupun semua itu ditujukan untuk
menjamin keamanan jenis namun tanpa adanya fokus atau target
spesies, pengelolaan bisa tidak efektif. Artinya mungkin saja spesies
langka yang ada di dalamnya tetap tidak aman. Apalagi keadaan
pengalolaan saat ini dengan keterbatasan sumberdaya manusia dan
pembiayaan banyak yang tidak mampu mengamankan kawasan seperti
yang terjadi pada TN. Kutai yang telah hancur. Contoh ekstrim lainnya
adalah, ternyata dengan penetapan TN Meru Betiri tidak mampu
menyelamatkan harimau Jawa dari kepunahan. Padahal salah satu
tujuan perlindungan kawasan ini adalah untuk konservasi harimau
Jawa. Demikian juga dengan penetapan TN. Bogani Nani Warta Bone
yang salah satu tujuannya untuk melindungi burung Maleo, tetapi
kenyataannya populasi burung langka ini terus menurun bahkan salah
satu habitat utamanya di zona inti mengalami kehancuran parah yang
sulit dipulihkan sehingga menyebabkan perginya populasi maleo dari
habitatnya tersebut.
8. Dari aspek legal, konservasi keanekaragaman hayati masih ditujukan
pada konservasi ekosistem secara keseluruhan (UU No.5 Tahun 1990)
atau ditujukan pada kawasan (PP 68 tahun 1998 dan SK-SK penetapan
TN, Tahura, TWA, Taman Buru, CA dan SM). Dengan cakupan yang
global ini, seringkali membuat konservasi terhadap jenis-jenis langka
menjadi kalah mendapatkan perhatian, apalagi pada era otonomi
daerah seperti sekarang, segala upaya pengelolaan di kawasan
konservasi diorientasikan pada perolehan pendapatan, khususnya
melalui ekowisata. Sementara upaya konservasi yang perlu investasi
besar dan seringkali tidak menghasilkan pendapatan yang signifikan
tidak menarik untuk dikerjakan.
9. Upaya konservasi terhadap jenis flora dan fauna di Indonesia umumnya

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 85
MANAJEMEN KONSERVASI

masih sebatas penetapan status perlindungan melalui peraturan


pemerintah yang ditetapkan bersama-sama dengan jenis lainnya dalam
bentuk daftar (PP NO. 7 tahun 1999). Penetapan perlindungan ini
belum diikuti dengan pedoman pengelolaannya per jenis baik di habitat
alaminya (in-situ) maupun di luar habitatnya (ex-situ). Di negara yang
sudah maju seperti USA, penetapan perlndungan sudah lebih spesifik
(menunjuk jenis tertentu) dan lebih detail dengan pedoman
pengelolaannya. Semestinya, Direktorat Konservasi Jenis
menindaklanjuti Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah dengan
menerbitkan pedoman teknis pengelolaan jenis-jenis dilindungi baik
secara in-situ mapun ex-situ.
10. Upaya konservasi secara intensif terhadap jenis-jenis tertentu masih
kekurangan dana. Kegiatan konservasi terhadap jenis-jenis tertentu
umumnya didanai oleh sponsor dan dilakukan dengan mitra (NGO).
Oleh karena itu, konservasi jenis belum dilakukan secara sinambung,
karena kebanyakan masih tergantung pada keberlangsungan proyek
(sponsor) dan keberadaan NGO, misalnya konservasi badak bercula
satu, burung maleo, babirusa, badak Sumatera dan harimau Sumatera
yang dilakukan selama proyek (sponsor ) dan NGO masih ada.
11. Baru ada sedikit strategi nasional konservasi jenis-jenis langka (salah
satunya adalah strategi nasional konservasi badak bercula satu),
sementara masih banyak jenis-jenis langka yang belum dibuat strategi
nasional konservasinya. Bahkan master plan atau blue print konservasi
jenis-jenis dilindungi yang dapat menjadi pedoman operasional unit
pelaksana teknis di lapangan belum tersedia.
12. Konservasi pada tingkat spesies memerlukan biaya yang tinggi dan
dipandang kurang efisien dibandingkan dengan konservasi pada
tingkat komunitas atau ekosistem, dimana dengan sumberdaya dana
dan tenaga yang sama mampu mengkonservasi lebih banyak spesies
sekaligus. Oleh karena itu, konservasi pada tingkat spesies belum
menjadi pilihan atau priroitas bagi kebijakan nasional konservasi
keanekaragaman hayati di Indonesia yang memiliki sumberdaya dana
dan tenaga terbatas.
13. Upaya konservasi terhadap jenis flora fauna masih dikonsentrasikan
pada kawasan-kawasan konservasi dan pada pengaturan
perdagangannya. Upaya upaya konservasi jenis di luar kawasan
konservasi, misalnya di hutan produksi belum dilakukan secara
maksimal, bahkan siapa yang bertanggungjawab terhadap konservasi
flora-fauna di luar kawasan konservasi masih menjadi ajang saling
lempar tanggungjawab. Padahal, hutan produksi jauh lebih luas
dibandingkan hutan konservasi, artinya kekayaan keanekaragaman
hayati yang terkandung di dalamnyapun lebih banyak. Oleh karena itu,
hutan produksi juga memiliki peranan yang penting dalam konservasi
keanekaragaman hayati, disamping fungsi utamanya untuk
memproduksi kayu.

86 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
MANAJEMEN KONSERVASI

14. Belum efektifnya penerapan low enforcement terhadap pelanggaran


peraturan dan perundangan konservasi keanekaragaman hayati.
Dengan perkataan lain, Pihak yang berkompeten (Departemen
Kehutanan, Kepolisian dan Kejaksaan) masih setengah hati menindak
para penjahat keanekaragaman hayati. Umumnya tindakan yang
dilakukan hanya menyita satwa atau tumbuhan, sementara pemilik,
pedagang atau pelaku pencuriannya dilepaskan, sehingga tidak
menimbulkan efek jera, tetapi sebaliknya menimbulkan sikap
oportunistik (mereka mengambil, kalaupun ketahuan paling-paling
hanya disita satwa atau tumbuhan yang dicurinya, jadi tidak
menanggung rugi atau resiko apapun).

C. Pengelolaan Karnivora
Anggota Ordo Karnivora ditakuti, dimusuhi dan dieksploitasi oleh
manusia selama berabad-abad. Saat ini ada 122 spesies terancam yang masuk
dalam daftar Buku Merah IUCN. Sebelas spesies diantaranya dengan status
“near threatened”, sembilan spesies “lower risk”, 39 spesies “vulnerable” , 33
spesies “endangered” enam spesies “critically endangered”, lima spesies
telah dianggap punah dan satu spesies (Mustela nigripes) telah punah di alam,
walaupun usaha reintroduksi memiliki harapan. Delapan spesies lainnya
tidak memiliki data yang cukup. Ancaman utama bagi karnivora meliputi
kehilangan dan degradasi habitat serta perburuan untuk olah raga dan
perdagangan. Spesies langka seringkali berharga sangat mahal di pasar gelap,
walaupun perdagangan spesies tersebut diatur dengan ketat oleh CITES dan
hukum nasional. Program penangkaran mungkin merupakan cara terakhir
untuk melestarikan beberapa spesies seperti panda raksasa (Ailuropoda
melanoleuca). Dalam beberapa kasus, reintroduksi spesies ke areal dimana
mereka pernah punah telah berhasil, seperti srigala di Yallowstone. Dalam
rangka melestarikan karnivora dari kepunahan dalam jangka panjang, habitat
yang luas dan populasi mangsa yang sehat harus dilestarikan di seluruh dunia,
dan manusia harus belajar untuk hidup bersama dalam damai dengan satwa-
satwa tersebut (IUCN, 2004; Schaller, 1996).
Upaya konservasi karnivora telah dilakukan oleh The Species Survival
Commission dari World Conservation Union (IUCN) yang membagi dalam
kelompok-kelompok spesialis (Specialist Group) yaitu Canid Specialist
Group, Cat Specialist Group dan Hyena Specialist Group. Kelompok-
kelompok ini telah menghasilkan serial survei status dan action plan yang
menilai status konservasi spesies-spesies yang relevan dan membuat
rekomendasi konservasinya. Status konservasi dari setiap spesies dinilai dan
ditempatkan dalam satu kategori sesuai dengan statusnya terutama yaitu
Extinct, Extinct in the Wild, Critically Endangered, Endangered dan
Vulnerable. Hampir setengahnya berada terancam punah dan 65%

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 87
MANAJEMEN KONSERVASI

Endangered dan Vulnerable. Hal ini tentu saja merupakan kondisi yang serus.
Walaupun kawasan konservasi merupakan komponen vital dari action plan
konservasi karnivora, tetapi banyak spesies dan populasi tidak terjamin
keamanannya dalam pengelolaan kawasan konservasi dan perlu dicari cara
lain agar karnivora dan manusia dapat hidup berdampingan. Pemecahan
inovatif seperti melindungi ternak dari pemangsaan, penggunaan anjing
penjaga untuk melindungi ternak dan pembelajaran masyarakat masih kurang
berhasil.
Sampai akhir abad 20 upaya konservasi karnivora di Indonesia masih
dilakukan melalui penetapan status dilindungi dan melalui pendekatan
ekosistem atau pendekatan kawasan. Artinya, perlindungan satwa ini hanya
dilakukan dengan melindungi habitatnya melalui penunjukkan kawasan hutan
sebagai Cagar Alam, Suaka Margasatwa atau Taman Nasional. Sementara
penetapan status dilindungi tidak mampu membendung laju kepunahan satwa
tersebut akibat perburuan serta perusakan dan kehilangan habitat.
Harimau merupakan jenis karnivora di Indonesia yang memiliki arti
sangat penting bagi masyarakat baik secara ekologis, sosial, ekonomi maupun
kultural. Harimau merupakan predator puncak pada rantai makanan dalam
ekosistem hutan di Pulau Jawa dan Sumatera. Ada tiga jenis harimau, yaitu
harimau Jawa (Panthera tigris sondaica), harimau Bali (Panthera tigris
balica) dan harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae). Harimau Bali telah
punah sejak tahun 1937 dan harimau Jawa dinyatakan punah sejak tahun 1972.
Harimau Jawa terakhir terlihat pada 1971 oleh zoolog dari Belanda, A.
Hoorgewerf, di Meru Betiri dan Ujung Kulon. Di Meru Betiri, Hoorgeworf
memperkirakan jumlahnya 5 sampai 7 ekor, sedangkan di Ujung Kulon 10
sampai 12 ekor. Di hutan lain seluruh Jawa sekitar 25 ekor (Djunaedi, 2006).
Masyarakat Jawa, Sunda, Padang dan Kerinci khususnya memiliki
persepsi dan hubungan kultural terhadap harimau. Ikatan batin ini tercermin
dari sikap dan kepercayaan mereka terhadap satwa ini. Harimau merupakan
satwa karismatik sehingga di Jawa dipanggil dengan sebutan Kaki (kakek)
atau Kyai, sedangkan di Sumatera dipanggil dengan sebutan Datuk. Harimau
dan macan tutul (kumbang) menjadi simbol kekuatan, wibawa, kekuasaan dan
kesaktian. Oleh karena itu harimau digunakan sebagai lambang dan panji-
panji kesatuan atau batalyon tentara dan polisi, lambang provinsi, atau
lambang perguruan bela diri. Bahkan jurus bela diri atau ilmu kesaktian
banyak yang menggunakan istilah harimau, misalnya jurus harimau (seperti
pada perguruan silat Perisai Diri) atau jimat kantong macan yang dipercaya
masyarakat Jawa mempunyai kekuatan dapat menempuh jarak ribuan
kilometer dalam beberapa langkah.

88 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
MANAJEMEN KONSERVASI

Gambar 9.
Harimau Jawa
(Panthera tigris sondaica).

Sumber : http://www.geocities. com/harimau _yosri/Haiwan HarimauJawa.htm

Gambar 10.
Harimau Bali
(Panthera tigris balica).
Sumber: IUCN Cat Specialist Group.

Gambar 11.
Harimau Sumatera
(Panthera tigris sumatrae).
Sumber : http://www.tigertrust. info/thesumatrantiger.htm

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 89
MANAJEMEN KONSERVASI

Dalam kebudayaan, harimau dimanifestasikan melalui reog ponorogo


dan barongan pada kesenian kuda lumping. Dalam kepercayaan masyarakat
Sunda, Raja Pajajaran Prabu Siliwangi dipercaya wafatnya menjelma menjadi
harimau (Maung Lodaya). Sementara, masyarakat Padang percaya dalam
tubuh harimau bersamayam roh kerabatnya dan masyarakat Kerinci
mempercayai adanya harimau jadi-jadian (McNeely dan Wachtel, 1988).
Sayangnya ikatan emosional tersebut tidak mampu mencegah laju kepunahan
harimau Jawa dan Bali.
Laju kepunahan harimau Jawa sudah dimulai sejak jaman penjajahan
Belanda. Wlaupun pada waktu itu Pemerintah Belanda telah menyatakan
melindungi satwa ini dengan undang-undang, pada awal abad ke-19, harimau
Jawa oleh pemerintah kolonial Belanda dianggap sebagai binatang yang
merugikan karena sering dilaporkan mengganggu manusia. Misalnya, dalam
buku yang berjudul Village Java Under Cultivation System 1830-1870, pada
periode 1819-1821 di Banten tercatat 35 orang meninggal akibat diterkam
harimau Jawa di hutan. Demikian pula, pada periode tahun 1828-1829 di
Priangan tercatat 348 orang meninggal akibat diterkam harimau Jawa. Oleh
karena itu pemerintah kolonial Belanda memberikan hadiah ribuan gulden
kepada orang-orang yang berhasil membunuh dan membawa bukti kepala
harimau Jawa. Konsekuensinya, ratusan harimau Jawa dibunuh pemburu
dalam upaya mendapat hadiah. Misalnya, menurut pengakuan seorang
pemburu ulung, Lederboer, pada periode 1910-1940 ia telah menembak
harimau Jawa tidak kurang dari 100 ekor (Elson, 1994 dalam Iskandar, 2007).
Akibatnya, pada tahun 1960-an populasi harimau Jawa menurun
drastis. Saat itu harimau Jawa hanya terbatas ditemukan di beberapa kawasan
hutan, seperti Ujung Kulon, Leuweung Sancang, Baluran, dan Meru Betiri.
Dalam perkembangannya akibat perburuan liar, rusaknya berbagai kawasan
hutan primer, dan berkurangnya pakan di alam, seperti rusa, dan kijang, macan
loreng di Pulau Jawa sejak tahun 1970-an telah berubah statusnya dari
binatang yang merugikan menjadi binatang langka yang dilindungi undang-
undang berdasarkan SK Menteri Pertanian Tanggal 26 Agustus 1970 Nomor
421/KPTS/Um/8/1970. Binatang tersebut tidak boleh diburu, ditangkap,
dibunuh, diperdagangkan, dikoleksi, dan diawetkan (Iskandar, 2007).
Sementara harimau Sumatra juga semakin menurun populasinya.
Diperkirakan tidak lebih dari 350 ekor harimau Sumatra yang tersisa di alam
atau menurun dari 1.000 ekor pada tahun 1980 an. Pada tahun 1992,
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHPA)
memperkirakan ada sekitar 400 ekor harimau Sumatera yang hidup di taman-
taman nasional dan dua Suaka Margasatwa serta 100 ekor di luar kawasan
konservasi yang kemungkinan akan segera dikonversi menjadi pertanian.
Harimau Sumatera antara lain terdapat di Taman Nasional Way Kambas, Bukit

90 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
MANAJEMEN KONSERVASI

Tiga Puluh, Gunung Leuser, Kerinci Seblat dan Bukit Barisan Selatan.
Populasi terbesar diperkirakan sekitar 110 ekor di Taman Nasional Gunung
Leuser. Harimau Sumatera ini mendiami 4.564.121 ha atau sekitar 9,63%
total wilayah Sumatera dari pantai sampai lebih dari 1.000 m di atas
permukaan laut. Harimau Sumatera juga ditemukan di luar kawasan
konservasi, khususnya kebun karet dimana sering dilaporkan menyerang
manusia dan ternak Harimau Sumatera juga terdapat di kebun binatang di
seluruh dunia yang berjumlah 235 ekor.

Ancaman utama terhadap


harimau Sumatera adalah kehilangan
dan kerusakan habitat, fragmentasi dan
perburuan liar. Selama tiga puluh tahun
terakhir sejak tahun 1970 diperkirakan
sudah 300 ekor harimau dibunuh dan
diperdagangkan di wilayah Provinsi
Jambi. Antara tahun 1998 sampai 2000
tercatat 66 ekor atau sekitar 20% dari
total populasi harimau Sumatra dibunuh.
Walaupun dilarang, perdagangan
harimau masih saja terjadi, hal ini
mungkin disebabkan oleh harganya
yang mahal yaitu mencapai Sumber : http://www.warsi. or.id/ Projects/MOnitoring.ind.htm
US$ 20.000,- di pasar gelap. Gambar 12. Harimau Sumatera yang dibunuh masyarakat.

Upaya konservasi harimau Sumatra dilakukan oleh Departemen


Kehutanan melalui Sumatran Tiger Conservation Program (STCP) bekerja
sama dengan the Sumatran Tiger Trust of the UK dan The Tiger Foundation of
Canada serta didukung oleh The Save The Tiger Fund (Exxon Mobil).
Program ini dipusatkan di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Provinsi Jambi.
Fokus dari program ini adalah patroli anti pencurian, investigasi perdagangan
ilegal, monitoring harimau dan mangsanya dengan remote camera, dukungan
manajemen taman nasional prioritas, pengembangan kebijakan nasional,
kepedulian publik dan memberikan failitas kepada inisiatif upaya konservasi
harimau yang dilakukan oleh lokal.
Upaya konservasi harimau Sumatra dilakukan oleh WWF Indonesia
dalam program Perlindungan Harimau (Tiger Protection) yang merupakan
bagian dari Program Wilayah Konservasi Tesso Nilo (Tesso Nilo
Conservation Landscape Program). Tujuan spesifik proyek tersebut meliputi:
? Mengurangi jumlah perburuan harimau melalui operasi 5 unit anti-
perburuan di Taman Nasional Bukit tigapuluh (Pendanaan dari WWF
US).

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 91
MANAJEMEN KONSERVASI

Memelihara jaringan informan yang sudah ada untuk menegnali dan


?
mengkap pemburu-pemburu dan pedagang-pedagang bagian tubuh
harimau.
Memperbaiki tingkat pemutusan hukum bagi pemburu-pemburu dan
?
pedagang-pedagang bagian tubuh harimau yang sudah tertangkap bekerja
sama dengan Aliansi LSM, dengan cara merancang dan memperbaiki
strategi yang digunakan.
Mengembangkan sebuah strategi supaya tim penyelidikan penebangan
?
illegal yang bekerja di bawah modul “Kejahatan Hutan” dapat
mengintegrasikan informasi mengenai perburuan harimau.
Mendukung dibangunnya kesadaran untuk melestarikan satwa harimau
?
diantara komunitas local dan menyuarakan pentingnya pelestarian dan
pemeliharaan hutan.

WCS (Wildlife Conservation Society) juga berpartisipasi dalam


melakukan upaya konservasi harimau Sumater melalui proyeknya yang
bernama CANOPY sejak tahun 1998 dengan kegiatan antara lain:
? Monitoring harimau dan satwa mangsanya mengunakan camera trap
? Penanganan konflik antara harimau dan masyarakat.
? Melalui Wildlife Crime Unit melakukan monitoring perdagangan ilegal
harimau Sumatera dan satwaliar dilindungi lainnya, memberi dukungan
penegakan hukum dan kampanye kepedulian serta pelarangan
perdagangan harimau Sumatera.

IKHTISAR
Konservasi karnivora di Indonesia dapat dikatakan masih baru,
berbeda dengan konservasi alam pada umumnya yang telah dimulai sejak tiga
dekade terakhir. Karnivora merupakan satwa yang memiliki resiko
kepunahan tinggi, disamping karena posisinya berada pada puncak rantai
makanan sehingga populasinya mudah goyah jika poplasi mangsanya
mendapat gangguan, karnivora juga sering ditakuti dan dimusuhi oleh
masyarakat sehingga sering menjadi sasaran pembunuhan atau perburuan.
Karnivora khususnya yang menjadi pemangsa puncak merupakan keystone
species, yang bila punah akan berakibat dratstis pada ekosistem. Upaya
konservasi karnivora yang sedang giat dilaksanakan adalah konservasi
harimau Sumatera tertutama pada satu dekade terakhir. Beberapa lembaga
swadaya masyarakat internasional bekerja sama dengan Direktorat Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan serta
didukung dana dari sponsor internasional telah melakukan monitoring,
penelitian, penyelamatan, penangkaran, penanganan konflik manusia-
harimau dan peningkatan kesadaran masyarakat. Sayangnya karnivora lain
belum ditangani seperti : macan tutul, macan dahan, ajak dan musang
Sulawesi.

92 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
MANAJEMEN KONSERVASI

GLOSARIUM
IUCN : International Union for Conservation of Nature and Natural
Resources adalah perserikatan internasional bagi pelestarian
alam dan sumberdaya alam,merupakan perserikatan
kelompok peminat pelestarian, lingkungan dan margasatwa
terbesar dan paling mewakili dunia, didirikan pada tahun
1948 memiliki 537 anggota di 116 negara (MacKinnon et al.,
1990).
CITES : Convention on International Trade in Endangered Species of
Wild Fauna and Flora adalah konvensi perdagangan
internasional spesies flora dan fauna terancam, didirikan pada
tahun 1973 oleh konferensi diplomatik di Washington D.C.
dengan tujuan untuk mengatur dan memantau perdagangan
spesies flora dan fauna yang terancam punah. Konvensi ini
diberlakukan tahun 1975 dan mempunyai anggota 90 negara
(MacKinnon et al., 1990).
WWF : World Wide Fund for Nature (sebelumnya World Wildlife
Fund) adalah suatu Non Government Organisation yang
didirikan pada tahun 1961 untuk memobilisasi dukungan
moral dan finansial bagi penelamatan kehidupan dan menjadi
sekutu IUCN yang terdekat di bidang pelestarian
(MacKinnon et al., 1990).
WCS : Wildlife Conservation Society adlah suatu Non Government
Organisation didirikan pada tahun 1895 dengan nama New
York Zoological Society, memiliki misi menyelamatkan
hidupan liar dan habitatnya dengan memahami dan
memecahkan berbagai masalah kritis yang mengancam
spesies kunci beserta ekosistemnya di seluruh dunia. WCS
memulai aktivitas di Indonesia pada tahun 1965 dan
membentuk program Indonesia secara resmi pada tahun 1991
(WCS-IP).
Red List : atau Red Data Book merupakan buku yang disusun oleh
IUCN dan WCMC (World Conservation Monitoring Center)
berisi daftar spesies terancam punah beserta kategori
keterancamannya (berdasarkan kriteria 1994) yaitu : Punah
(Extinct), Punah di alam (Extinct in the Wild), Kritis
(Critically Endangered), Genting (Endangered), Rentan
(Vulnerable), Resiko relatif rendah (Lower Risk), Kurang data
(Data Deficient) dan Tidak dievaluasi (Not Evaluated)
(Primack et al., 1998).
FAO : Food And Agriculture Organisation adalah organisasi pangan
dan pertanian PBB yang bertanggungjawab atas pelaksanaan
proyek pengelolaan kawasan yang dilindungi yang dibiayai
sumber dana PBB terutama dari Program Pembangunan
Peserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP = United Nation
Development Programme) contohnya adalah Program
Pengembangan Taman Nasional di Indonesia (MacKinnon et
al., 1990).

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 93
MANAJEMEN KONSERVASI

DAFTAR PUSTAKA
Adisoemarto, S. dan M.A. Rifai (ed). 1994. Keanekaragaman Hayati di
Indonesia. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan
Konphalindo. Jakarta.
Alikodra, H.S. 1990. Pengelolaan Satwaliar. Jilid I. Pusat Antar Universitas
Ilmu Hayati, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Blockhus, J.M., M. Dillenbeck, J.A. Sayer dan P. Wegge. 1992. Conserving
Biological Diversity in Managed Tropical Forest. IUCN/ITTO.
Gland, Switzerland.
Djunaidy, M. 2006. Mencari Macan Loreng di Meru Betiri. Tempo
I n t e r a k t i f , K a m i s , 2 0 A p r i l 2 0 0 6 .
http://www.tempointeractive.com/hg/iptek!2006/04/20/brk,2006
0420-76451,id.html. Diakses Tanggal 16 Mei 2007.
Erik Meijaard, dkk. 2006. Hutan Pasca Pemanenan : Melindungi Satwaliar
dalam Kegiatan Produksi di Kalimantan. CIFOR. Bogor.
htt://id.wikipedia.org/wiki/Harimau.htm. Diakses Tanggal 16 Mei 2007.
http://en.wikipedia. org?wiki/Carnivore. Diakses Tanggal 16 Mei 2007.
http://en.wikipedia.org/Sumatran_tiger.htm. Diakses Tanggal 16 Mei 2007.
http://wild-tiger.blogspot.com/Wild Tiger. Diakses Tanggal 16 Mei 2007.
http://www.american. edu/TED/kenya-bbq.htm. Diakses Tanggal 16 Mei
2007.
http://www.answers.com/topic/carnivora-1. Diakses Tanggal 5 Maret 2007.
http://www.biodiversitypartners.org/econ/ pub/Carnivores2006.pdf. Diakses
Tanggal 16 Mei 2007.
http://www.ecs.org/international/Asia/Sumatra/sumatrantiger.htm. Diakses
Tanggal 16 Mei 2007.
http://www.indo.net.id/mbs/bunga_rampai_harimau.htm. Diakses Tanggal
16 Mei 2007.
http://www.tigertrust.info/thesumatrantiger.htm. Diakses Tanggal 16 Mei
2007.
http://www.wwf.or.id/tessonilo/Default.php.htm. Diakses Tanggal 16 Mei
2007.
Iskandar, J. 2007. Pelestarian Macan Tutul. Kompas, Senin, 22 Januari
2007. h t t p : / / w w w. k o m p a s . c o m / k o m p a s _ c e t a k / 0 7 0 1 /
22/Jabar/9570.htm. Diakses Tanggal 16 Mei 2007.
IUCN, 2004. "2004 IUCN Red List of Threatened Species" (On-line).
h t t p : / / a n i m a l d i v e r s i t y. u m m z . u m i c h . e d u / s i t e / a c c o u n t s /
information/www.redlist.org. Diakses Tanggal 6-12- 2005.
Lee, R.J., J. Riley, R. Merrill dan R.P. Manopo. 2001. Keanekaragaman
Hayati dan Konservasi di Sulawesi Bagian Utara. WCS dan NRM.
Jakarta.
MacKinnon, J., K. MacKinnon, G. Child dan J. Thorsell. 1990. Pengelolaan
Kawasan Yang Dilindungi di Daerah Tropika. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.

94 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
MANAJEMEN KONSERVASI

MacNeely, J.A. and P.S. Wachtel. 1988. Soul of The Tiger, Searching for
Nature's Answers in Exotic South East Asia. Doubleday. New York.
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam
dan Kawasan Pelestarian Alam.
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa.
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis
Tumbuhan dan Satwaliar.
Primack, R.B., J. Supriatna, M. Indrawan dan P. Kramadirata. 1998. Biologi
Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Schaller, G. 1996. Introduction: Carnivores and conservation biology. Pp. 1-
10 in J. L. Gittleman, ed. Carnivore Behavior, Ecology, and Evolution,
vol. 2. Ithaca: Cornell University Press.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Wildlife Conservation Society Indonesia Program. (Tanpa tahun).
Conservation Indonesia Program. Booklet.

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 95
STATUS EKOLOGI
Bab MACAN TUTUL JAWA
(Panthera pardus melas CUVIER 1809)
8 DAN IMPLIKASI MANAJEMEN
KONSERVASINYA *)

A. Pendahuluan
Macan tutul (Panthera pardus melas CUVIER 1809) adalah satwa
endemik Pulau Jawa yang dilindungi undang-undang dan termasuk dalam Red
Data Book IUCN dengan kategori endangered atau terancam punah. Sebaran
dan kelimpahan populasi macan tutul di Pulau Jawa tidak diketahui dengan
pasti, namun diperkirakan mengalami penurunan terus menerus sebagai
akibat dari kehilangan dan fragmentasi habitatnya. Praktek pembangunan
yang tidak berwawasan lingkungan dan ditinggalkannya konsep bioregional
telah menghasilkan tata ruang wilayah yang tidak menguntungkan bagi
kelestarian keanekaragaman hayati beserta ekosistemnya, antara lain dengan
menyebabkan fragmentasi hutan. Laju penurunan populasi macan tutul juga
diperparah oleh kegiatan perburuan, baik terhadap macan tutul maupun satwa
mangsanya.
Macan tutul merupakan salah satu jenis satwaliar yang menerima
dampak dari pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan. Konversi
hutan secara besar-besaran, baik legal maupun ilegal mengakibatkan
punahnya populasi macan tutul secara lokal di beberapa kawasan hutan.
Penata gunaan lahan dan penataan ruang yang tidak mengindahkan prinsip
ekosistem sebagai satu kesatuan telah mengakibatkan pemecahan atau
fragmentasi habitat yang pada akhirnya menyebabkan isolasi demografi dan
genetik terhadap suatu populasi sehingga mudah mendapat ancaman
kepunahan lain seperti inbreeding.
Dalam tatanan ekosistem hutan di Pulau Jawa, macam tutul memiliki
peranan yang sangat penting karena setelah harimau jawa (Panthera tigris
sondaica) punah, kini puncak rantai makanan (trophic level) ditempati oleh
macan tutul. Sebagai karnivora puncak (top carnivore) macan tutul
mengendalikan populasi satwa-satwa di bawah trophic levelnya termasuk

*) Merupakan bagian Proposal Disertasi Program Doktor Hendra Gunawan pada Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

96 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA

diantaranya satwa-satwa yang menjadi hama tanaman pertanian dan satwa


penyebar penyakit seperti babi hutan, monyet dan tikus. Jika macan tutul
punah maka dapat mengakibatkan meledaknya populasi satwa yang menjadi
hama tanaman tersebut. Hal ini sudah terjadi di beberapa tempat di Jawa
Tengah. Di sisi lain, berkurangnya satwa mangsa sebagai akibat perburuan
dan kerusakan habitat menyebabkan macan tutul masuk ke perkampungan dan
memangsa hewan ternak. Akibatnya, keberadaan macan tutul kini juga
terancam karena dimusuhi oleh masyarakat.
Sampai saat ini informasi ekologi macan tutul Jawa masih kurang,
bahkan perkembangan populasi dan penyebarannya selama beberapa dekade
terakhir tidak termonitor sehingga menghambat upaya konservasinya karena
tidak ada landasan pertimbangan ilmiahnya. Untuk itu masih diperlukan
banyak penelitian untuk memberikan masukan bagi pengeloan konservasi
macan tutul.

B. Biologi Macan Tutul


1. Taksonomi
Kingdom :
ANIMALIA
Phylum :
CHORDATA
Kelas :
MAMMALIA
Ordo :
CARNIVORA
Famili :
FELIDAE
Spesies Panthera pardus, Linnaeus, 1758
:
Sub spesies Panthera pardus melas, Cuvier, 1809
:
Nama Inggris Javan leopard
:
Nama Indonesia :
Macan tutul, macan kumbang
Nama Daerah :
macan, sima, Macan Tutul, seruni,
kombang, gogor, pogoh, bungbak
(Jawa); macan, Macan Tutul, meong
hideung, kerud anjing, rimau lalat,
meong krut (Sunda); macan totol
(Madura); harimau tutul (Melayu)
(Anonim, 1978).
Status Red Lits IUCN : 1978 - Vulnerable
1988 - Threatened
1994 - Indeterminate
1996 - Endangered

Ada 30 sub spesies macan tutul, tetapi kebanyakan daripadanya


dipertanyakan. Analisis taksonomi moderen menghasilkan hanya
delapan atau sembilan sub spesies yang valid, salah satunya adalah
Panthera pardus melas yang sebarannya di Pulau Jawa.

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 97
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA

2. Deskripsi Fisik
Macan tutul memiliki tubuh yang memanjang dan berotot.
Cakarnya lebar dan telinganya pendek. Di daerah tropis rambut mereka
cenderung lebih pendek dan lebih halus, sementara di iklim yang lebih
dingin rambut mereka lebih panjang dan padat. Warna dasar sangat
bervariasi dari kekuningan sampai ke abu-abuan, bahkan warna chesnut.
Tenggorokan, dada, perut dan bagian dalam kaki berwarna dasar putih.
Selebihnya di bagian kepala, tenggorokan, dada dan bagian luar kaki
memiliki tutul-tutul berwarna hitam (Guggisberg, 1975; Nowak, 1997).
Warna dasar kulit juga sangat bervarasi tergantung pada lokasi,
mulai dari kuning keemasan di padang rumput terbuka, kuning-krem di
daerah padang pasir sampai kuning gelap di pegunungan dan daerah
berhutan (Guggisberg, 1975; Nowak, 1997). Di Afrika sendiri
kecenderungan warna berikut dapat dijumpai : (1) di savana kuning
kemerehan (rufous) sampai kuning oker (ochraceous); (2) di gurun pasir
krem pucat sampai kuning kecokelatan, di daerah yang lebih dingin
warnanya menjadi lebih abu-abu; (3) di hutan hujan berwarna gelap,
kuning keemasan tua; (4) di pegunungan tinggi berwarna lebih gelap.
Variasi juga terjadi pada polanya baik di Afrika maupun wilayah lain.
Kedua variasi tersebut juga disertai dengan variasi pada panjang rambut
dan ukuran tubuh yang menjadi dasar pengelompokkan taksonomi.

Macan tutul Jaguar

Macan dahan Cheetah

Gambar 13. Perbedaan pola tutul pada macan tutul, jaguar, macan dahan dan cheetah.

98 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA

Tutul-tutul hitam pada macan tutul tersusun dalam bentuk kembangan


(rosette) atau seperti bunga mawar. Bentuk kembangan ini terbatas pada
punggung dan rusuk, sedangkan tutul-tutul tunggal terdapat di kepala, kaki,
telapak kaki, bagian bawah tubuh yang warna dasarnya putih atau abu-abu dan
ekor yang sisi bawahnya berwarna putih (Grzimek, 1975; Lekagul and
McNeely, 1977). Macan kumbang juga memiliki pola tutul-tutul, tetapi
karena warna dasar tubuhnya hitam maka tutul-tutul hanya terlihat di bawah
cahaya yang kuat (Lekagul and McNeely, 1977). Macan tutul kadang-kadang
disalah-tafsirkan dengan Jaguar Amerika Selatan, walapun macan tutul kurang
pendek tidak seperti jaguar, pola rosettenya umumnya lebih kecil dan tidak
memiliki tutul di tengahnya.
Terdapat kecenderungan melanisme (warna hitam) pada spesies ini
(Guggisberg, 1975; Nowak, 1997). Macan tutul yang mengalami melanisme
umumnya dinamakan macan kumbang (black panther) dilahirkan dari induk
yang sama dari macan tutul dan masih memiliki tutul rosette walaupun
tersamar oleh warna rambut yang gelap (Garman,
1997). Karakteristik ini lebih sering di daerah berhutan
lebat dimana dengan warna lebih gelap mungkin
menguntungkan karena tidak terlihat jika
dibandingkan di daerah terbuka. Baik tutul maupun
hitam, pewarnaan pada spesies ini sangat efektif
(Guggisberg, 1975; Nowak, 1997).
Menurut Garman (1997) macan tutul yang
mengalami melanisme kebanyakan ditemukan di
daerah hutan yang lebat dan basah di India dan Asia
Timur, dimana warna ini bermanfaat dalam perburuan.
Di wilayah Asia bagian selatan (India sampai Malaysia Sumber : IUCN - The World Conservation Union (1996)

dan ulau Jawa) macan kumbang atau macan tutul yang


mengalami melanisme juga terjadi. Di Jawa sebagian
besar mengalami melanisme.
Robinson (1969) dalam Hoogerwerf (1970)
menyatakan bahwa bila fase tutul kawin dengan fase
tutul maka perbandingan anak-anaknya adalah tiga
tutul dan satu kumbang, bila fase tutul kawin dengan
fase kumbang maka perbandingan anak-anaknya
adalah satu tutul dan satu kumbang, dan bila fase
kumbang kawin dengan fase kumbang maka seluruh
anaknya adalah kumbang.
Sumber : http://globalcrossing.net/ brendel/leopard.htm (2007)

Gambar 14.
Macan tutul yang mengalami melanisme (atas)
dan Macan tutul pola warna normal (bawah)

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 99
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA

Wilayah dan habitat memiliki pengaruh pada penampilan macan tutul.


Di Afrika, macan tutul yang hidup di daerah berbukit cenderung lebih besar
dari pada yang hidup di dataran rendah (Guggisberg, 1975; Nowak, 1997).
Secara umum ukuran tubuh macan tutul sangat tergantung pada sub spesies
dan lokasi, yang terbesar memiliki panjang mendekati 5 kaki dan panjang ekor
3 kaki – umumnya jantan 20 – 40 % lebih besar dari pada betina (Garman,
1997).
Ukuran rata-rata macan tutul adalah seperempat dari harimau dan
singa, dan harimau akan membunuh macan tutul bila ada kesempatan
(Seidentsicker, 1991). Macan tutul yang pernah diukur memiliki panjang
0,910 - 2,920 m tetapi yang lebih umum berkisar 1,37 – 1,67 m dengan berat 28
– 90 kg (Guggisberg, 1975; Nowak, 1997). Macan tutul India jantan memiliki
panjang 215 cm berat maksimum 68 kg, betina panjangnya 180 cm dan berat
maksimum 50 kg. Secara umum berat jantan rata-rata 68 kg, tetapi di India
dan Afrika Selatan beratnya mencapai 91 kg. Macan tutul dari populasi di
Turki, Iran dan Afganistan merupakan yang terbesar, yang jantan biasanya
mencapai 91 kg hampir seukuran jaguar. Penelitian lain mencatat berat jantan
60 – 80 kg, betina 50 – 70 kg dengan tinggi bahu baik jantan maupun betina
sama yaitu 70 cm. Dari lima macan tutul jantan di China beratnya rata-rata 32
kg (Hu and Wang 1984, Gao et al. 1987, Wang 1990); Tiga macan tutul Amur
masing-masing 25, 29 dan 43 kg (Gao et al. 1987). Macan tutul Amur jantan
32-48 kg, dengan pengecualian jantan yang besar dapat mencapai 60-75 kg
(Ognev 1935, Heptner and Sludskii 1972). Macan tutul betina di Sri Lanka
rata-rata 29 kg (Pocock 1939); jantan rata-rata 56 kg, dan terbesar 77 kg
(Phillips 1935, Pocock 1939). Di bagian barat Thailand dua jantan masing-
masing 60 dan 70 kg (Rabinowitz 1989). Dua jantan dari India Tengah 50 dan
70 kg (Pocock 1939).
Ukuran rata-rata tubuh Macan Tutul yang hidup di P. Jawa adalah
sebagai berikut (Hoogerwerf, 1970) :

Tabel 4. Ukuran rata-rata tubuh macan tutul yang hidup di Pulau Jawa.

Jenis Kelamin Panjang Total *) Tinggi Berat


Jantan 215 cm 60 - 65 cm 52 kg
Betina 185 cm 60 - 65 cm 39 kg

*) diukur dari ujung moncong sampai ke ujung ekor.

100 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA

Sumber : http://www. predatorconservation.com/leopard.htm

Gambar 15. Bentuk dan ukuran jejak kaki macan tutul.

3. Perkembang biakan dan perilaku berkembang biak


a. Sistem Perkawinan dan Perilaku Kawin
Sistem perkawinan macan tutul adalah Promiscuity yaitu jantan
dan betina kawin dengan lebih dari satu pasangan dan tidak ada ikatan
jangka panjang. Betina akan kawin dengan jantan-jantan yang lebih tua
yang memiliki home range overlap dengannya. Sistem perkawinan ini
berkembang karena betina dapat membesarkan anak-anaknya tanpa
bantuan dan perlindungan jantan.
Macan tutul tidak memiliki musim berkembang biak khusus. Jika
musim memungkinkan, macan tutul akan kawin sepanjang tahun
(Guggisberg 1975; Kithchener 1991; Nowak 1997). Musim
perkembangbiakan mungkin sepanjang tahun, tetapi puncaknya selama
musim kelahiran impala yang merupakan mangsa utamanya. Tergantung
wilayahnya, macan tutul mungkin kawin sepanjang tahun (India dan
Afrika) atau musiman selama Januari sampai Februari.
Seekor betina mengalami oestrus rata-rata tujuh hari (4 – 14 hari)
dengan siklus sekitar 46 hari. Betina yang oestrus akan menarik perhatian
jantan dangan memanggil, dan akan meninggalkan tanda bau pada pohon
atau semak-semak, ia juga menjadi sering megembara keluar dari home
range-nya. Jantan dan betina membentuk asosiasi sementara, dan seekor
betina oestrus mungkin dikawini oleh beberapa jantan dalam rentang
waktu yang singkat.
Jantan memiliki ritual perkawinan dengan betina-betina yang
teritorinya overlap dengan teritorinya (Estes 1991). Jantan akan
mengikuti betina yang birahi dan berkelahi dengan jantan lain untuk
mendapatkan hak kawin (Estes 1991; Nowak, 1997). Macan tutul betina

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 101
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA

siap dikawin dalam interval 3 – 7 minggu dan periode ini berlanjut sampai
beberapa hari dimana terjadi perkawinan.
Seekor betina mungkin dirayu oleh beberapa jantan, jantan yang
berhasil akan menggigit bagian belakang leher betina dengan giginya,
betina akan menampar jantan ketika kopulasi telah sempurna. Kopulasi
sangat sering, dari 70 sampai 100 kali sehari. Laman dan Cheyl (1997)
yang mengamati perilaku kawin macan tutul di Taman Nasional
Serengeti, Tanzania menemukan kopulasi sebanyak 13 kali selama satu
setengah jam pengamatan. Semua kopulasi tercatat dan semua dimulai
dengan betina berjalan mundur dan maju di depan jantan yang sedang
beristirahat, menggosokkan badannya dan menggoyang-goyangkan
ekornya di wajah sang jantan. Jantan seringkali menggigit betina di
bagian tengkuknya selama interaksi ini. Perkawinan disertai dengan
suara geraman, baik dari jantan maupun betina. Puncaknya berlaangsung
rata-rata tiga detik dengan interval rata-rata antara kopulasi 6,5 menit.
Dalam kandang, kopulasi tercatat 100 kali sehari (Ktichner, 1991) dan
kopulasi yang terlihat bisa jadi merupakan bagian dari percumbuan.
Mengapa banyak kopulasi tidak jelas pada macan tutul karena satwa ini
soliter dan betina tampaknya agak oportunis untuk memilih diantara
jantann berdasarkan kekuatan kopulasinya seperti yang diketahui pada
jaguar dan singa. Penelitian masih diperlukan sebelum pertanyaan ini
dapat dijawab untuk macan tutul.
Rata-rata lamanya waktu jantan dan betina dewasa bersama adalah
2,1 hari. Ketika betina dan jantan menghabiskan waktu bersama mereka
akan kawin, jantan akan mengikuti betina kemanapun pergi dan kadang-
kadang mereka berbagi mangsa buruan. Perkawinan berlangsung selama
dua atau tiga hari, interval dengan pekawinan berikutnya dua tahun.
Setelah musim kawin berakhir, jantan dan betina akan berpisah.

b. Masa Bunting dan Jumlah Anak Per Kelahiran


Macan tutul betina akan mencapai kematangan seksual pada umur
rata-rata 33 bulan (30 – 36 bulan). Seekor betina pertama melahirkan
pada umur 2,5 tahun sampai 3 tahun. Masa kehamilan rata-rata 96 hari
(90 – 112 hari). Laporan lain menyebutkan masa kebuntingan macan tutul
3 sampai 5 bulan.
Induk yang bunting mencari gua, celah batu besar, lubang pohon
atau semak belukar untuk melahirkan dan membuat sarang (Nowak, 1997,
Guggisberg, 1975). Anak-anak macan tutul dilahirkan dalam gua, lobang
pohon, lubang tanah atau tempat berlindung lain yang sesuai. Macan tutul
umumnya melahirkan dua anak per kelahiran, tetapi kadang-kadang 3
atau 4 tetapi juga ada yang melaporkan sampai enam ekor setiap

102 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA

kelahiran. Rasio kelamin dalam setiap kelahiran adalah 1:1.


Angka kematian bayi tinggi sehingga hanya tersisa satu atau dua
anak (Guggisberg 1975; Kithchener 1991; Nowak 1997). Menurut
Garman (1997) angka kematian anak macan tutul 40-50%, sehingga
biasanya jarang dijumpai induk bersama anak lebih dari 1 - 2 ekor.
Anak-anak macan tutul lahir dalam keadaan mata tertutup dan
lemah dengan berat kurang dari dua pound atau sekitar 0,5 kg. Anak macn
tutu yang baru dilahirkan berwarna keabu-abuan karena tutul rosette-nya
belum tampak jelas. Rambutnya lebih panjang dan lebih lembut
dibandingkan yang dewasa, warna kulitnya agak abu-abu pucat dengan
tutul-tutul kecil yang kurang jelas.
Macan tutul beranak lagi setelah 15 bulan (jika anak-anaknya mati)
sampai lebih dua tahun. Rata-rata umur perkembangbiakan terakhir
adalah 8,5 tahun.

c. Pemeliharaan Anak
Macan tutul betina membesarkan anak-anaknya di tempat
bersarang dan mengajarinya berburu. Jantan-jantan tidak ambil bagian
dalam membesarkan anak dan hanya bertemu dengan betina untuk kawin.
Guggisberg (1975) melaporkan bahwa jantan juga membantu betina yang
mengasuh anak-anak seperti dengan memberi mereka hasil buruan. Induk
jantan mungkin dijauhkan dari anak-anak oleh betina, tetapi jantan
memberikan daging kepada anak-anaknya.
Anak macan tutul disusui induknya selama tiga bulan atau lebih.
Mata anak macan tutul terbuka setelah sekitar enam hari sampai 10 hari.
Mereka disembunyikan sekitar delapan minggu dan induknya akan
berhenti berpindah-pindah sampai anak-anak dapat bergabung mengikut
perjalanan.
Anak-anak dapat berjalan setelah 13 hari dan pada umur tiga bulan
disapih serta mulai mengikuti induknya keluar dari sarang. Pada umur
lima bulan mereka dapat menangkap hewan kecil dan kebanyakan dapat
mencari makan sendiri pada umur satu tahun.
Anak-anak macan tutul disapih setelah tiga bulan dan mulai
bergabung dengan induknya berburu dimana mereka akan belajar untuk
bertahan hidup. Anak-anak berhenti menyusu dan mulai makan daging
setelah tiga bulan; mereka dibimbing makan daging sampai kira-kira umur
10 bulan, ketika mereka begabung dengan induk mereka pada perburuan.
Betina mungkin pergi meninggalkan anak-anak untuk waktu lama,
kadang-kadang meninggalkan mereka sampai satu setengah hari
sendirian. Induk macan tutul memindahkan anak-anaknya ke tempat
berlindung baru setiap dua atau tiga hari, membawa mereka satu per satu

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 103
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA

dengan mulutnya. Jika anak-anak harus dipindahkan ketika masih kecil,


induknya membawanya dengan menggigit tengkuknya dan bahkan bisa
membawanya sambil berenang.
Induk macan tutul meng-grooming anak-anaknya dengan
menjilatinya (licking) dan menggerumisnya (nibbling), dan mereka saling
grooming satu dengan lainnya dan induk mereka.
Anak-anak macan tutul belajar dengan meniru tingkah laku
induknya, dan mereka biasanya membunuh impala pertamanya pada
umur 11 bulan, walaupun mereka dapat membunuh hewan kecil seperti
garangan atau bangsa pengerat pada umur sekitar empat bulan. Induknya
mungkin membawa mangsa hidup atau mati untuk anak-anaknya, dimana
mereka belajar menerkamnya dan belajar menguasaninya dengan
cakarnya. Ketika berpindah dengan anak-anaknya, ekor induk macan
tutul melengkung ke atas, menunjukkan warna keputihan bagian bawah
ekor yang mungkin berperan sebagai petunjuk bagi anak-anaknya di
antara rumput yang tinggi. Pemangsaan pada anak-anak macan tutul,
khususnya yang dilakukan oleh macan tutul lain dan hyena tutul sangat
umum terjadi dan jarang lebih dari satu atau dua anak yang selamat dan
dapat bertahan hidup.
Pada umur satu tahun, macan tutul muda mungkin dapat menjaga
dirinya sendiri tetapi masih bersama induknya sampau umur 18 – 24 bulan
(Nowak, 1997, Guggisberg, 1975), ketika mulai perkembangbiakan
berikutnya. Setelah umur dua tahun menjadi dewasa muda (sub-adult)
anak-anak macan tutul akan meninggalkan induknya untuk membangun
teritori mereka sendiri. Anak-anak menjadi dewasa secara seksual sekitar
dua setengah tahun. Setelah anak-anak menjadi dewasa, berkumpul
kembali dengan penuh kasih sayang antara induk dan anak-anak masih
bisa terjadi.
Saudara sekandung mungkin masih bersama untuk beberapa bulan
sebelum berpisah untuk memulai kehidupan soliter. Pemencaran mungkin
tertunda di wilayah yang melimpah mangsanya, khususnya jika macan
tutul lain menghuni habitat di sekitarnya.
Sistem pemencaran macan tutul muda tampaknya fleksibel dan
anak yang masih muda tidak selalu meninggalkan tempat kelahirannya
ketika sudah bisa mandiri. Tetapi sebaliknya beberapa jantan muda
meninggalkan tempat kelahirannya pada umur 15 – 16 bulan
(Seidensticker and Susan, 1991)

4. Masa Hidup
Di berbagai negara macan tutul yang hidup dalam kandang dapat
mencapai umur 21 – 23 tahun. Di alam, umurnya tidak diketahui, tetapi

104 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA

diperkirakan antara tujuh dan sembilan tahun (Guggisberg 1975).


Menurut Garman (1997) masa hidup antara 12-17 tahun. Macan tutul
dapat hidup sampai umur 23 tahun di kandang.

C. EKOLOGI MACAN TUTUL


1. Penyebaran Geografis
Iklim memainkan peran penting dalam penyebaran macan tutul,
sebagaimana juga berpengaruh pada sebagian besar satwaliar. Iklim juga
menentukan keberadaan dan ketersediaan satwa mangsa di suatu habitat.
Di anatara kucing besar, macan tutul memiliki sebaran terluas dengan
toleransi yang tinggi terhadap variasi iklim dan makanan (Guggisberg
1975). Oleh karena itu, macan tutul dapat hidup dan berkembang di
lingkungan yang lebih bervariasi dalam temperatur dan sumber makanan.
Satu-satunya pembasat tampaknya adalah air. Sebaran macan tutul yang
luas berkaitan dengan kemampuannya menghadapi berbagai variasi
lingkungan (Anton and Turner 1997). Macan tutul memiliki panjang
tungkai dan tebal kulit yang bervariasi tergantung iklim dan habitat
(Guggisberg 1975).
Pantera pardus dapat ditemukan mulai dari kepulauan Inggris
sampai ke Jepang dan melalui sebagian besar Asia. Saat ini masih dapat
ditemukan di Afrika, kecuali di gurun Sahara dan Kalahari, dan beberapa
bagian dari Asia seperti Sri Lanka. Macan tutul lebih umum di bagian
timur dan tengah Afrika. Sebaliknya, mereka jarang di bagian barat dan
utara Afrika dan terdapat di sebagian besar Asia (Nowak, 1997; Sanderson,
1972).
Saat ini macan tutul masih dapat ditemukan di selatan pegunungan
Cape, Afrika Selatan, menyebar ke sebagian besar negara-negara Afrika di
selatan Sahara, melintasi Timur Tengah ke Asia Tenggara dan Jawa, serta
arah utara ke Rusia dan Timur Jauh. Macan tutul tidak ada di Sumatra,
barangkali karena kehadiran harimau dan enam jenis Felidae lainnya, dan
di Borneo mungkin disebabkan oleh tidak adanya makanan utamanya
yaitu ungulata besar.
Macan Tutul memiliki daerah penyebaran yang paling luas di
antara jenis kucing dan menempati berbagai tipe habitat (Lekagul and
McNeely, 1977). Di dunia, Macan Tutul tersebar luas mulai dari Afrika
(melampaui Sahara Tengah), Asia Kecil, Afganistan, Turki, Iran, India,
Srilanka, Jawa, China termasuk China Utara (Manchuria), hingga Amar
Ussuri (Grzimek, 1975). Salah satu sub spesiesnya, yaitu Panthera
pardus melas hanya terdapat di Pulau Jawa dan Kepulauan Kangean
(Anonim, 1978; Anonim, 1982).

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 105
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA

Sumber : http://commons.wikimedia.org/wiki/Image/Panthera_pardus-historic_distribution.gif

Gambar 16. Sejarah penyebaran macan tutul di dunia.

Gambar 17.
Penyebaran
macan tutul di Afrika.

Sumber: http://www.felidtag.org/pages/Educational%5Cfact Sheets%5Cleopard.htm

106 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA

Di Indonesia, macan tutul hanya ditemukan di Jawa dan Pulau


Kangean; sisa fosil yang ditemukan menunjukkan umur satu juta tahun
(Hemmer and Schutt 1973). Van Helvoort et al. (1985) memperkirakan
macan tutul diintroduksi ke Pulau Kangean yang letaknya lebih jauh dari
Jawa dibandingkan Pulau Bali, dimanamacn tutul tidak ada. Macan Tutul
tidak terdapat di Sumatera, Kalimantan maupun Bali (Hoogerwerf, 1970).
Seidensticker (1986) berspekulasi bahwa macan tutul (dan harimau)
mungkin tidak ada di Pulau Borneo karena tidak adanya mangsa utama
berua ungulata besar dan macan tutul tidak ada di Pulau Bali karena
adanya harimau Bali dan tidak ada di Sumatra karena melimpahnya
anggota Felidae lainnya (tujuh spesies).
Di Jawa Tengah Macan Tutul terdapat di Randublatung, Pati,
Kendal, Semarang, Telawa, Gunung Muria dan Gunung Lawu
(Hoogerwerf, 1970). Menurut Anonim (1987) daerah penyebaran Macan
Tutul di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebagai
berikut : Pulau Nusa Kambangan, Batang, Banjarnegara, Kendal, Cepu,
Sragen, Kebasen, Notog, Jatilawang, Gunung Slamet, Gunung Muria,
Gunung Kidul, Gunung Merapi dan Kulon Progo.

Sumber : http://www.felidtag.org/pages/ Educational%5CFactSheets%5Cleopard.htm

Gambar 18.Penyebaran macan tutul di Timur Tengah dan sekitarnya.

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 107
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA

Di Jawa Timur Macan Tutul terdapat di Taman Nasional Meru


Betiri, TN. Baluran, Tuban, Ponorogo, Padangan, Saradan, jember,
Blitar, Jatirogo, Madium dan gundih. Sedangkan di Jawa Barat Macan
Tutul terdapat di Cianjur Selatan, Gunung Gede, Gunung Pangrango,
Cirebon dan Taman Nasional Ujung Kulon (Hoogerwerf, 1970). Suatu
penelitian yang dilakukan oleh tim LIPI, PHPA dan JICA berhasil
memotret Macan Tutul di TN. Gunung Halimun (Departemen Kehutanan,
1994).

Sumber : http://www.felidtag.org/pages/Educational%5CFact Sheets%5Cleopard.htm

Gambar 19.Penyebaran macan tutul di Asia.

Gunawan (1988) menemukan bukti keberadaan Macan Tutul


berupa feces, jejak dan bekas cakaran di pohon serta garukan di tanah di
CA. Pringombo (Kab. Banjarnegara), hutan jati BKPH Subah (Kab.
Batang), Serang (Kab. Purbalingga) dan CA. Nusa Kambangan Timur
(Kab. Cilacap). Sementara Di Gunung Kidul tidak berhasil diperoleh
bukti keberadaan Macan Tutul.
Suatu ekspedisi yang dilakukan oleh Konservasi Satwa bagi
Kehidupan (KSBK) di Cagar Alam P. Sempu, Kec. Sumbermanjing
Wetan, Malang dari 29 Juli sampai 16 Agustus 1996 menemukan macan
kumbang pada pulau seluas 877 ha tersebut. Bila benar, hal ini
merupakan temuan baru, mengingat Pulau tersebut selama ini tidak
pernah disebut sebagai daerah penyebaran macan tutul (Surabaya Post
Hot News, Selasa, 17/09/1996).

108 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA

2. Habitat
Macan tutul merupakan spesies yang sangat mudah beradaptasi,
ditemukan di setiap tipe hutan, savana, padang rumput, semak dan
setengah gurun. Mereka juga tinggal di tebing, hutan tropis berawa dan
pegunungan yang terjal sampai ketinggian garis salju di Gunung Kenya.
Macan tutul hidup di habitat yang sangat beragam. Mereka dapat
hidup baik di hutan rawa tropika maupun di pegunungan yang terjal.
Mereka hidup di hutan dataran rendah, pegunungan, padang rumput,
semak dan padang pasir. Sekelompok macan tutul pernah ditemukan
pada ketingian 5.630 m di Kilimanjaro, dan tidak membeku menjadi es
seperti yang diduga banyak orang (Guggisberg, 1975; Nowak, 1997),
tetapi di Himalaya mereka jarang ditemukan di atas ketinggian 3.000
meter. Habitat macan tutul bervariasi dari hutan gugur yang kering,
ekosistem padang pasir, hutan hujan tropis, hutan konifer sampai di
sekitar pemukiman (Cat Specialist Group 2002).
Macan tutul merupakan bangsa kucing (felid) yang paling dapat
beradaptasi dan mungkin ditemukan di hampir semua tipe habitat di
wilayah penyebarannya. Di sub Sahara, Afrika, macan tutul ditemuan di
semua habitat dengan curah hujan tahunan di atas 50 mm dan dapat masuk
ke wilayah dengan curah hujan yang lebih rendah, tetapi di sepanjang
sungai. Dari semua jenis kucing Afrika, macan tutul merupakan satu-
satunya jenis yang menempati baik di hutan hujan dan habitat padang
pasir yang kering. Penyebaran macan tutul sampai ketinggian 6.700 m
dimana pernah ditemukan macan tutul di Gunung Kilimanjaro, dan
melimpah di dataran tinggi pegunungan berapi Ruwenzori dan Virunga.
Macan tutul juga masih ditemukan di wilayah yang sudah berpenduduk
seperti di bagian barat Kenya yang secara ekstensif telah dibudidayakan
dengan kepadatan penduduk 150 orang/km2, sehingga sedikit habitat
alaminya dan mangsanya, padahal 20 tahun sebelumnya telah dianggap
punah.
Meskipun macan tutul masih ditemukan di kisaran habitat yang
luas, sayangnya banyak populasinya terfragmentasi dan terisolasi. Di
Afrika tekanan penduduk telah mengurangi populasi macan tutul secara
drastis dan di banyak wiayah seperti Zanzibar, macan tutul sekarang
punah. Di Serengeti, keberadaan singa berdampak dramatis pada sebaran
macan tutul.
Di Afrika Utara dan Timur Tengah, macan tutul diyakini tidak ada
di gurun pasir di Semenanjung Arab bagian tengah walaupun masih
ditemukan di Laut Mati dimana curah hujan tahunannya kurang dari
setengah inchi (50 mm). Hutan dan semak Mediterania juga menjadi
habitat yang sesuai untuk spesies ini di Afrika bagian utara, Iran dan

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 109
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA

Cucasus. Di wilayah ini, mereka lebih terbatas pada pegunungan yang


terpencil dan daerah kaki bukit yang terjal, sampai ketinggian 1.800 m di
Turkmenistan, 3000 m di Marocco, 2.600 m di Saudi Arabia dan 3.200 m
di Iran.
Di Asia terdapat banyak tipe lingkungan dan macan tutul terdapat
di hampir semua tipe lingkungan tersebut. Di anak benua India mereka
ditemukan di seluruh wilayah dengan perkecualian gurun pasir dan
mangrove Sunderbans. Mereka juga hidup di pinggiran kota besar seperti
Islamabad dan Bombay, dan masih umum terdapat di wilayah
pegunungan India. Mereka juga terdapat di hampir seluruh China dan
Himalaya, dimana mereka simpatrik dengan macan tutul salju (snow
leopard) sampai ketinggian 5.200 m, walaupun mereka kebanyakan hidup
di daerah yang masih bervegetasi. Di Indonesia, macan tutul masih
ditemukan di Jawa, satu dari wilayah berenduduk terpadat di dunia. Di
Rusia Timur Jauh, macan tutul lebih menyukai wilayah bervegetasi oak
dan pinus yang bersalju sedikit.
Untuk seekor kucing besar, macan tutul sangat tangguh
menghadapi perkembangan pemukiman manusia, khususnya dengan
meningkatnya kepadatan populasi manusia di sekitar hampir seluruh
habitatnya. Macan utul masih ditemukan di seluruh Jawa meskipun
dalam jumlah yang sedikit, padahal pulau ini merupakan salah satu pulau
terpadat penduduknya di dunia (IUCN - The World Conservation Union,
1996).
Di kebanyakan negara, macan tutul akan mengikti garis salju
(snow line), musim dingin di dataran rendah ketika aktivitas manusia
berkurang. Macan tutul India tampaknya lebih toleran terhadap matahari
daripada harimau, hidup di semak belukar dan daerah berbatu-batu.
Tidak seperti harimau, mereka tidak ditemukan di mangrove Sundarbans,
memang sebenarnya macan tutul cenderung menghindari daerah
kekuasaan harimau.
Macan tutul merupakan satu-satunya kucing Afrika yang hidup
baik di habitat hutan hujan maupun gurun pasir. Tetapi macan tutul lebih
menyukai semak yang tebal di lingkungan berbatu dan hutan tepi sungai
untuk habitat mereka sehingga mereka dapat menggunakan pohon-pohon
untuk aktivitas berlindung dan mengintai. Macan tutul biasanya berada
dekat dengan semak belukar di sisi pegunungan atau sepanjang sungai.
Macan tutul masih terdapat di luar kawasan konservasi.
Kemampuannya untuk hidup di banyak habitat yang berbeda dan
sumber mangsa yang sangat beragam memberinya peluang bertahan
hidup lebih baik daripada cheetah dan singa. Macan tutul sangat
menyukai daerah yang memiliki pohon dan di savana mereka sering

110 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA

terlihat di dekat pohon; mereka merupakan pemanjat yang menakjubkan.


Betina harus memiliki tempat untuk bersarang di dalam home
rangenya. Di gurun Kalahari, macan tutul betina akan menggunakan
lubang aardvark sebagai tempat bersarang (Bailey, 1993). Tempat
bersarang biasanya vegetasi tebal atau singkapan batu. Sarang sangat
penting untuk kelangsungan hidup anak-anakknya karena melindunginya
dari pemangsa.

3. Home range dan Teritori


Home range (daerah jelajah) adalah ruang yang digunakan tetapi
tidak perlu dipertahankan. Macan tutul jantan memiliki home range yang
sering overlap dengan beberapa home range betina. Home range, macan
tutul umumnya terpusat di sekitar badan air dimana mangsa
terkonsentrasi. Secara umum ada banyak variasi home range macan tutul,
yang terbesar melampaui yang terkecil dengan faktor 80, yang hampir
pasti dapat dikaitkan dengan ketersediaan makanan (Seidentsicker, 1991).
Ukuran home range macan tutul sangat bervarasi dan sangat
tergantung pada ketersediaan jumlah dan penyebaran satwa mangsa
(IUCN - The World Conservation Union, 1996). Ukuran home range
macan tutul rata-rata berkisar antara 30 – 78km2 (jantan) dan 23 – 33 km2
(betina) di kawasan yang dilindungi (Bailey, 1993). Tetapi home range
mungkin jauh lebih besar ketika ketersediaan makanan berkurang dan
kepadatan macan tutul rendah. Sebagai contoh, home range berkisar
antara 338 - 478 km2 ditemukan Norton dan Henley (1987) di dataran
pegunungan. Bothma et al., (1997) menggunakan radio-tracking dan
teknik analisis kernel menemukan bahwa rata-rata ukuran home range dari
tiga macan tutul jantan dewasa adalah 2182,37 +/- 491.628 km2, lima
betina dewasa 488,70 +/- 292.893 km2 dan seekor jantan dewasa muda
1323.80 km2. Jelajah ini jauh lebih besar dibandingkan macan tutul di
manapun dan mungkin mencerminkan kekeringan dan kemiskinan
mangsa di alam Kalahari selatan. Aspek-aspek seperti pelindung
perburuan dan penyebaran dan kelimpahan mangsa adalah penting dalam
menentukan ukuran jelajah karnivora pada umumnya, khususnya Felidae.
Semua jelajah memiliki sedikitnya satu badan air dengan beberapa lainnya
memiliki lebih dari satu badan air, tetapi macan tutul tampaknya tidak
menggunakan sungai baik secara eksklusif ataupun sebagai batas alam
jelajahnya.
Di Taman Nasional Royal Chitwan, Nepal, jumlah ungulata per
kilometer persegi sangat tinggi sehingga total beratnya mendekati 2,7 ton
di kawasan ini. Di tipe habitat ini dengan kepadatan mangsa sangat tinggi,
macan tutul betina mengembara menjelajahai wilayah antara 6 – 13 km2.

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 111
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA

Di Taman Nasional Serengeti dan Tsavo, Afrika Timur, teritori mereka


berkisar antara 11 – 121 km2. Tetapi di Pegunungan Stellenbosch, Afrika
Selatan, di Kalahari dan di Pegunungan Sikhote Alin, Rusia Timur, macan
tutul jantan berburu di teritori yang kadang-kadang lebih dari 400 km2
(IUCN - The World Conservation Union, 1996).
Macan tutul menandai teritorinya dengan cakaran, feces, urin dan
sekresi. Teritori jantan lebih besar dari pada betina dan mungkin overlap
dengan teritori beberapa betina. Teritori macan tutul jantan mencakup
teritori beberapa betina, dimana teritori betina-betina tersebut biasanya
terpisah dan hanya sedikit overlap. Macan tutul mengunjungi hampir
semua wilayah jelajahnya pada interval waktu yang teratur,
meninggalkan tanda bau dan tanda yang terlihat di tempat yang mencolok
mata sepanjang lintasan dan di batas-batasnya. Dengan tanda bau dan
cakaran, macan tutul menyampaikan informasi status tempat tinggalnya,
kondisi dan identitasnya. Tanda tersebut masih dapat dikenali individu
lain lama setelah ditinggalkannya (IUCN - The World Conservation
Union, 1996).
Penelitian pada sebuah ranch di Laikipia, Kenya seluas 200 km2
yang termasuk dalam daerah jelajah sekitar 25 ekor macan tutul penghuni
tetap dan pengembara (bukan penhuni tetap) menunjukkan bahwa betina
menempati home range eksklusif rata-rata 14.0 km² walaupn ada
beberapa overlap dengan betina dewasa muda. Home range macan tutul
jantan penghuni tetap rata-rata 32.8 km² dan tidak overlap satu sama lain
tetapi ovelap dengan teritori-teritori betina. Macan tutul jantan
pengembara menjelajahi seluruh area. (Mizutani dan Jewell, 1998).
Macan tutul bersifat soliter dan daerah jelajah betina bisanya
eksklusif, walaupun mungkin sedikit fleksibel. Jelajah jantan 6 – 63 km2,
overlap dengan jelajah betina yang sangat bervariasi dari 6 – 13 km2 di
dataran tinggi yang kaya dengan ungulata sampai 400 km2 di daerah panas
dan kering Kalahari, semuanya tergantung pada ketersediaan sumber
makanan. Macan tutul muda tidak memiliki home range tetap sampai
mendapatkan home range karena yang dewasa mati.

4. Makanan dan Kebiasaan Makan


Di Afrika makanan macan tutul sangat bervariasi, meliputi
wildebeest, impala, reed-buck (sejenis rusa) , gazelle, jackal, baboon,
antelope dan stork (sejenis burung bangau), dimana gazelle dan reed-buck
merupakan makanan utamanya. Tetapi, macan tutul juga mau memangsa
yang lain. Suatu ketika macan tutul menyukai sebangsa anjing (canine),
bahkan pernah merebut anjing dari kaki tuannya. Mereka akan memakan
ikan dan ternak seperti kambing. Dari feces yang dipelajari di

112 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA

Kilimanjaro menunjukkan macan tutul juga makan hewan pengerat kecil.


Macan tutul dapat membunuh kera. Macan tutul bahkan makan bangkai,
sisa mangsa harimau (Nowak, 1997; Guggisberg, 1975).
Menurut Prater (1965) dalam Hoogerwerf (1970), Macan Tutul
akan membunuh dan makan apa saja yang dapat ditangkapnya dengan
mudah. Kebanyakan mangsa Macan Tutul adalah satwa yang masih anak-
anak (infant/juvenile) atau yang sudah tua karena biasanya keadaannya
lemah dan mudah diburu (Grzimek, 1975).
Berbagai jenis satwa yang menjadi mangsa Macan Tutul antara
lain : babi hutan, kijang, rusa, kera, landak, lutung dan burung (Anonim,
1978). Menurut Bartels (1929) dalam Hoogerwerf (1970) Macan Tutul
memangsa teledu, musang dan owa abu-abu. Grzimek (1975)
mengatakan bahwa satwa-satwa kecil seperti kelinci, binatang pengerat,
ikan dan burung juga dimangsa Macan Tutul. Dinyatakannya pula bahwa
Macan Tutul juga memakan buah-buahan yang manis. Menurut Prater
(1965) dalam Hoogerwerf (1970) Macan Tutul juga memangsa binatang
melata dan ketam. Bahkan menurut (Schaller (1969) dalam Lekagul and
McNeely (1977), Macan Tutul juga memangsa serangga. Westra (1931)
dalam Hoogerwerf (1970) mengatakan pernah menjumpai Macan Tutul
memburu dan memangsa kelelawar. Menurut Anonim (1982) Macan
Tutul juga memangsa penyu laut yang sedang atau baru selesai bertelur di
pantai.
Bila di lingkungan hidupnya persediaan makanan sudah berkurang
sekali, Macan Tutul kadang-kadang masuk ke perkampungan di sekitar
hutan dan memangsa binatang ternak (Anonim, 1978). Binatang ternak
yang sering dimangsa oleh Macan Tutul adalah unggas dan kambing
(Veevers-Carter, 1978). Menurut Lekagul and McNeely (1977) Macan
Tutul juga memangsa anjing piaraan.
Seperti kebanyakan predator besar, Macan Tutul juga dapat
menjadi satwa kanibal (Hoogerwerf, 1970). Menurut Grzimek (1975),
Macan Tutul yang sudah tua dan sakit-sakitan atau terluka sehingga sulit
mencari mangsa, biasanya suka menyerang manusia, umumnya wanita
dan anak-anak yang sedang bekerja di ladang. Tetapi sebenarnya satwa
ini bukan pemangsa manusia.
Macan tutul lebih menyukai berburu ungulata dengan berat tubuh
20 sampai 50 kg. Mereka membunuh berbagai jenis rusa besar baik yang
berusia remaja maupun anak-anak yang lebih kecil dan memburu rusa
kecil (Genus Axis), antelope semua umur dan babi hutan, kambing, domba
dan anak kerbau dan sapi peliharaan. Strategi berburunya sangat fleksibel
dan beragam, dimana di daerah yang kepadatan mangsanya rendah macan
tutul juga memakan landak, trenggiling, burung merak dan ayam hutan,

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 113
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA

monyet di pohon dan anjing yang tersesat di pinggran desa. Di Kalahari


mereka juga memangsa kelinci, wart hog (sejenis babi Phacochoerus
aethiopicus), rubah telinga kelelawar, jackal dan srigala betina. Macan
tutul makan mamalia kecil, burung dan kadang-kadang berburu mangsa
yang jauh lebih besar. Macan tutul tidak membutuhkan banyak air karena
cairan yang terkandung pada mangsanya sudah cukup untuknya.
Macan tutul merupakan pemburu soliter dan umumnya memburu
mangsanya pada malam hari. Macan tutul berburu siang hari untuk
menghindari kontak dengan singa dan hyena, yang umumnya berburu
pada malam hari.
Setelah menangkap mangsa, macan tutul akan membawanya naik
ke atas pohon, walaupun beratnya tiga kali dari berat tubuhnya, hal ini
menunjukkan kekuatan dan ketangkasannya yang luar biasa. Di padang
savana terbuka, macan tutul memangsa wildebeest, impala, gazelle dan
eland (sejenis antelope genus Taurotragus), kelinci, reptil dan bahkan
serangga. Di daerah berhutan mangsa yang umum meliputi monyet,
duiker (sejenis antelope kecil dari genus Cephalophus, Sylvicapra), dan
berbagai jenis pengerat seperti tikus, landak dan tupai.
Macan tutul sungguh merupakan pemburu yang oportunistik.
Mereka memakan hewan apa saja. Makananya kebanyakan terdiri dari
monyet, pengerat, reptil, amfibi, burung, ikan, babi hutan dan ungulata.
Faktanya macan tutul memburu sekitar 90 jenis hewan yang berbeda.
Mangsanya beragam dalam ukuran dari makanan kecil seperti kumbang
sampai antelope. Di Afrika, antelope berukuran sedang merupakan
makanan utama macan tutul, khususnya gazelle Thomson (gazelle kecil
jenis Gazella thomsoni) dan reedbuck (sejenis antelope dari genus
Redunca). Macan tutul memburu mangsanya dengan diam-diam dan
pada menit-menit terakhir menerkam mangsanya dan mencekik
tenggorokannya dengan gigitan cepat. Macan tutul dapat membawa
satwa mangsanya yang tiga kali lebih berat darinya naik ke atas pohon.
Macan tutul juga makan baboon, aardvark (sejenis mamalia yang
hidup dalam lubang tanah dan memakan rayap, genus Orycteropus), ular,
bahkan cheetah. Di Ivory Coast, macan tutul makan 30 jenis mamalia.
Macan tutul bahkan mau merebut ikan dari elang dan memburu gorila.
Macan tutul juga memakan bangkai dan kadang-kadang mencurinya dari
harimau, mereka juga memberinya kepada anjing liar, hyena dan singa.
Simpanse dapat berbahaya bagi macan tutul karena bila jumlahnya cukup
dapat mengeroyoknya. Macan tutul betina berburu setiap lima atau
enam hari dan beberapa bangkai mungkin disimpan di pohon dalam satu
waktu. Hidup di tempat yang panas, kelembaban yang diperlukan untuk
bertahan didapat dari mangsanya.

114 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA

Macan tutul dapat makan mangsa apa saja, tetapi jika tersedia akan
memilih ungulata berukuran kecil sampai sedang (antelope kecil, gazelle,
rusa, babi dan hewan ternak). Tetapi di wilayah dengan ungulata yang
sedikit, macan tutul dapat bertahan hidup dengan makan burung, reptil,
hyraxes, baboon, monyet dan anjing kampung. Oleh karena itu macan
tutul dapat hidup dekat dengan manusia. Lagi pula, macan tutul dapat
hidup tanpa air untuk periode yang lama, dan hanya mendapatkan air dari
kelembaban mangsanya.
Macan tutul juga tidak manjauhkan diri dari bangkai (daging
busuk) dan akan kembali ke mangsa yang dibunuhnya. Pada beberapa
kasus, seekor macan tutul mungkin mempunyai simpanan mangsa dari
berbagai umur di pohon yang sama. Tetapi, hal ini juga memungkinkan
macan tutul mudah keracunan. Keragaman mangsa macan tutul
dibuktikan dari variasi mangsa mulai dari kumbang tahi sampai eland
(sejenis antelope) dewasa dengan berat yang dapat mencapai 900 kg.
Bailey (1993) menemukan sedikitnya 92 spesies mangsa yang tercatat di
Sub Sahara Afrika. Penelitian telah menemukan interval rata-rata antara
pemangsaan ungulata berkisar dari 7 – 13 hari. Bailey (1993)
memperkirakan konsumsi harian rata-rata macan tutul dewasa jantan
adalah 3,5 kg dan betina 2,8 kg.
Katembo dan Punga (1996) melalui penelitian terhadap feces
menemukan bahwa makanan macan tutul terdiri dari 53,5 % ungulata dan
25,4% primata dengan rata-rata berat mangsa 24,6 kg. Menurut Karanth
dan Melvin (1995) dari studi feces menemukan bahwa mangsa macan
tutul berimbang antara ungulata dan primata yaitu 89-98%. Macan tutul
memfokuskan mangsanya pada kelas 30 – 175 kg dengan rata-rata berat
mangsa utama 37,6 kg, Macan tutul juga menyeret mangsanya dengan
jarak rata-rata 47 m dan terjauh 400 m yaitu seekor chital. Hasil buruan
tersebut 54% disimpan di vegetasi rapat, 17% vegetasi sedang dan 13% di
atas pohon, hanya 16% di tempat terbuka. Macan tutul juga lebih diurnal
dibandingkan harimau, tetapi hal ini mungkin disebabkan mangsa macan
tutul lebih banyak spesies diurnal seperti langur dan chital.
Karena singa dan hyena akan merebut mangsa macan tutul, maka
macan tutul akan menyimpan mangsanya di atas pohon dan
meninggalkannya untuk didatangi lagi kemudian. Macan tutul mampu
mengangkat bangkai jerapah muda seberat 125 kg (2 – 3 kali beratnya) ke
atas pohon setinggi 5,8 m (Hamilton, 1976). Macan tutul juga
menggunakan pohon untuk berlindung dari serangan langsung pemangsa
besar lainnnya. Tulang belikat (lembusir) macan tutul disesuaikan untuk
melekatnya otot yang kuat yang menaikkan dada, meningkatkan
kemampuan satwa ini untuk memanjat pohon. Lebih jauh tercatat, macan

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 115
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA

tutul menyergap mangsanya di atas tanah dengan melompat dari atas


cabang pohon, walaupun ini tampaknya oportunistik dan tidak umum,
macan tutul lebih senang menyerang mangsanya dari atas tanah.
Pemangsa macan tutul antara lain singa, harimau, buaya dan anjing
liar. Pertahanan terbaik terhadap pemangsa adalah pewarnaan tutul dan
hitam. Macan tutul dikenal karena kemampuannya untuk tidak
terdeteksi, walaupun singa, harimau dan buaya akan memburunya.
Kadang-kadang sekawanan anjing liar atau anjing Afrika pemburu juga
menyerang macan tutul (Guggisberg, 1975).
Macan tutul dapat menyerang diam-diam sebelum sempat
ketahuan, seolah dapat muncul dari mana saja. Bekas gigitan macan tutul
di tengkuk atau tenggorokan. Gigitan di belakang leher sering terjadi
ketika mangsa diserang dari belakang. Gigitan di leher menunjukkan
cekikan. Macan tutul dapat membawa mangsa yang lebih besar dan
mengangkatnya ke atas pohon untuk menghindari karnivora lainnya.
Mereka juga mungkin menyimpan buruannya di atas pohon untuk makan
berikutnya (Nowak, 1997; Guggisberg, 1975).

5. Kebiasaan dan Perilaku


a. Kebiasaan
Macan tutul bersifat sangat nokturnal, menghabiskan sebagian
besar waktu siang untuk tidur di atas pohon besar dan menjadi sangat aktif
menjelang petang dan akan terus berburu sampai menjelang pagi.
Beberapa macan tutul menempuh perjalanan sejauh 25 km semalam dan
hampir tidak pernah menginap di tempat yang sama dua kali.
Macan tutul umumnya soliter dan hanya ditemukan bersama
macan tutul lain jika mereka sedang kawin, berkelahi atau mempunyai
anak. Macan tutul mungkin merupakan pemangsa paling nokturnal,
tetapi mereka juga berburu di siang hari. Baik jantan maupun betina
bersifat teritorial. Macan tutul mungkin merupakan pemangsa paling
kuat dibandingkan dengan berat tubuhnya, mereka satu-satunya kucing
yang mengangkat mangsanya ke atas pohon. Macan tutul memiliki
penyamaran yang luar biasa dan sangat sabar dan tidak mengenal lelah.
Macan tutul biasanya berada dekat dengan semak belukar di sisi
pegunungan atau sepanjang sungai. Macan tutul biasanya mencari makan
sendirian, kecuali pada musim kawin. Macan tutul pemalu, cerdik dan
berbahaya, khususnya ketika terluka. Macan tutul sangat pandai
memanjat pohon dan dapat menarik mangsa besar ke atas pohon untuk
melindunginya dari pemangsa lain atau pemakan bangkai di sekitarnya.
Mereka akan kembali lagi untuk memakannya.

116 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA

Seperti halnya harimau loreng (Panthera tigris), macan tutul


biasanya hidup menyendiri (soliter), kecuali pada musim kawin dan masa
mengasuh anak. Di Jawa tidak ada peneliti yang menyebutkan adanya
kelompok macan tutul yang lebih dari dua ekor atau seekor induk yang
diikuti oleh lebih dari dua ekor anak (Hoogerwerf, 1970).
Macan tutul termasuk satwa yang gemar mengembara dan kurang
bersifat menetap, tetapi suka kembali ke tempat persembunyiannya
semula (Anonim, 1978). Menurut Grzimek (1975) macan tutul tidak akan
keluar dari teritorinya jika makanan cukup tersedia dan mudah didapat.
Pada umumnya macan tutul mencari mangsa pada senja hingga
malam hari, jarang mereka berburu pada siang hari Grzimek (1975).
Menurut Goudriaan (1948) dalam Hoogerwerf (1970), waktu aktif macan
tutul mengadakan perburuan adalah antara pukul 15.00 sampai 20.00 dan
antara pukul 03.00 sampai 06.00, jadi tidak selalu dalam keadaan gelap.
Dalam beberapa kasus macan tutul di P. Jawa juga berburu pada siang hari.
Macan tutul mengincar atau mengintai mangsanya dari atas pohon
atau dari balik semak-semak, kemudian dengan meloncat mangsanya
disergap dengan menerkam bagian tengkuk. Jika mangsa tertangkap,
lehernya digigit dan moncongnya dicakar dengan kaki depan serta
diserangnya sampai mangsa tidak berdaya (Anonim, 1978). Menurut
Goudriaan (1948) dalam Hoogerwerf (1970) macan tutul di Jawa
memakan korbannya mulai dari jantung, hati dan bagian-bagian lunak
lainnya.
Macan tutul kadang-kadang menyimpan sisa makanannya dengan
cara menutupinya dengan daun, ranting, rumput atau serasah. Sering pula
sisa makanannya disimpan di atas pohon untuk menghindari jangkauan
binatang pemakan bangkai (Van Dooren, 1949 dalam Hoogerwerf, 1970;
Grzimek, 1975). Setelah makan, macan tutul biasanya mencari air untuk
minum. Macan tutul dapat bertahan hidup dengan baik pada musim
kering yang panjang walaupun hanya minum tiap 2 - 3 hari sekali
(Grzimek, 1975).
Menurut Goudriaan (1948) dalam Hoogerweerf (1970), macan
tutul kembali ke tempat penyimpanan sisa makanannya setelah 2 atau 3
hari, bahkan kadang-kadang setelah lebih dari 3 hari. Logan Home (1927)
dalam Hoogerwerf (1970) mengatakan bahwa macan tutul kembali ke
tempat penyimpanan sisa makanannya setelah lelah dan gagal dalam
berburu.
Macan tutul membuang kotoran (feces) tanpa disembunyikan,
tetapi diletakkan di tempat-tempat terbuka misalnya di atas batu-batu
besar (Medway, 1975). Gunawan (1988) mendapati kotoran macan tutul
di tengah-tengah persimpangan jalan di hutan jati Perum Perhutani di

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 117
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA

Subah (Kabupaten Batang) dan batas kawasan CA. Pringombo


(Kabupaten Banjarnegara).
Dalam kotoran macan tutul biasanya ditemukan tulang, rambut
dan kuku dari jenis : sigung, kelelawar, lutung dan lain-lain (Anonim,
1978). Hoogerwerf (1970) menemukan rambut dari jenis : kera, lutung,
surili, kijang dan kadang-kadang rambut kancil dalam kotoran macan
tutul. Ditemukannya juga kotoran macan tutul yang mengandung tanah
liat dan remukan tulang. Gunawan (1988) mendapati tiga kotoran Macan
tutul di tempat yang berbeda dan masing-masing bersisi rambut kera di
hutan Jati Subah (Kabupaten Batang), rambut dan kuku babi hutan serta
rambut dan kuku kijang di CA. Pringombo (Kabupaten Banjarnegara).
Macan tutul dapat terlihat setiap waktu sepanjang hari, walaupun
dianggap satwa nokturnal dan penuh misteri, tetapi di kawasan-kawasan
konservasi mereka lebih diurnal, bahkan terlihat berburu pada siang hari
yang terik. Macan tutul umumnya berburu di atas tanah dan merupakan
pemburu yang sangat ahli dengan rata-rata pengejaran 275 m sebelum
akhinya memotong leher mangsanya dengan mencekiknya. Macan tutul
juga akan menangkap mangsa dengan cara menubruk mangsanya dari
atas pohon dan mencengkeram bagian lehernya. Mangsa kemudian
diseret ke atas cabang pohon walaupun ukurannya lebih besar darinya,
seperti gazelle. Mangsa yang disimpan di atas pohon rata-rata empat kali
lebih lama dari pada mangsa berukuran sama yang disimpan di atas tanah.
Macan tutul adalah pemanjat pohon yang baik dan dapat turun
dengan kepala di bawah, tidak seperti kebanyak kucing yang turun dengan
bagian pantat lebih dahulu. Macan tutul juga perenang yang baik tetapi
tidak dakan berendam dalam air seperti harimau. Macan tutul
menghindari genangan air dengan hati-hati dan tampaknya seperti kucing
rumah yang tidak senang menjadi basah. Secara umum seperti halnya
kucing besar lainnya, macan tutul menghabiskan waktu sekitar dua per
tiga waktu untuk istirahat dan mempelajari lingkungannya (Seidentsicker,
1991). Sebagian besar waktunya untuk berbaring di pohon, di atas batu
besar atau atau di sarangnya.
Penyemprotan urin dan cakaran pohon merupakan cara macan
tutul mengidentifikasikan teritorinya. Macan tutul lebih mudah
beradaptasi dibandingkan singa dan harimau serta dapat hidup di wilayah
pinggiran kota yang padat penduduknya; mereka bahkan kadang-kadang
terdengar di kota Nairobi pada malam hari.
Macan tutul umumnya nokturnal, walaupun mereka kadang-
kadang aktif siang hari dan kadang-kadang terlihat selama siang hari
berbaring di pohon. Mereka berteduh waktu panas di siang hari, baik di
pohon, gua atau naungan batu; di daerah kering mereka sering merayap ke

118 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA

dalam lubang aardvalk yang tidak digunakan untuk berteduh. Pohon dan
batu berfungsi ganda sebagai tempat yang baik untuk mengamati areal
perburuan dan menghindari predator seperti singa atau hyena totol, atau
pesaing paling berbahayanya yaitu macan tutul lain. Walaupun soliter,
pasangan berkembang biak kadang-kadang terlihat bersama, dan induk
dengan anak-anak juga terlihat bersama. Macan tutul kadang-kadang
berjemur matahari pagi.
Tidak seperti pemangsa besar lainnya, macan tutul tidak hanya
ditemukan di dalam taman nasional dan alam liar lainnya, tetapi juga
ditemukan di lahan pertanian. Macan tutul bersifat teritorial dan
mempertahankan teritorinya dari individu lain sesama jenis kelamin.
Jantan dan betina menandai tertorinya dengan menyemprotkan urin dan
meninggalkan tanda cakaran pada batang pohon di pinggiran teritori
mereka.
Walaupun mekanisme penghindaran telah dikembangan,
perkelahian antar macan tutul jantan sangat umum terjadi dan dapat
membahayakan. Home range macan tutul betina lebih kecil daripada
jantan, dan home range jantan dapat overlap dengan lebih dari satu home
range betina. Di wilayah yang mangsanya melimpah, dimana terdapat
macan tutul dengan kepadatan tinggi, teritori jantan mungkin banyak
overlap, dan dalam kasus demikian macan tutul biasanya dengan aktif
menghindari kontak, menggunakan wilayah bersama pada waktu yang
berlainan. Ukuran teritori tergantung pada habitat, dan terutama pada
jumlah makanan yang tersedia di dalamnya. Macan tutul bergerak pelan,
jalan santai, tetapi dapat dengan cepat berubah meloncat atau memacu lari
bila diperlukan.
Dimana ada harimau, macan tutul cenderung sedikit (Schaller
1967, 1972; M.K. Ranjitsinh pers. Comm dalam LaBrasca, 2007). Tetapi
ini bukan aturan yang baku, Korkishko and Pikunov (1994)
menyimpulkan bahwa peningkatan jumlah harimau di Cagar Alam
Kedrovaya, Rusia tidak mempengaruhi populasi macan tutul. Di Taman
Nasional Chitwan, Nepal macan tutul dan harimau co-exist dengan cara
berburu pada waktu yang berbeda dan mangsa yang berbeda serta
menggunakan komplek vegetasi yang berbeda (Seidensticker 1976).
Macan tutul makan mangsa yang lebih kecil (biasanya kurang dari 75 kg)
(Seidensticker 1976; Johnsingh 1983), pembagian mangsa juga terjadi
antara singa dan macan tutul di Serengeti (Bertram 1982) dan Gir Forest
(R. Chellam in litt. 1993 dalam LaBrasca, 2007). Macan tutul lebih
toleran dari pada harimau pada temperatur ekstrim dan lingkungan yang
kering (Santiapillai and Ramono 1992), sebagai contoh, mereka lebih
umum di hutan monsoon tropika yang kering musiman daripada harimau,

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 119
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA

yang tergantung pada sumber air permanen (Kleiman and Eisenberg


1973; Sunquist 1981; Johnsingh 1983; Rabinowitz 1989)
Rabinowitz (1989) menemukan proporsi sisa-sisa primata yang
relatif tinggi (12%) dalam 237 kotoran macan tutul dari Suaka
Margasatwa Huai Kha Khaeng, Thailand. Kucing besar lebih memilih
tidak memburu primata jika ada mangsa yang lainnya yang lebih mudah
di dapat dan melimpah (Seidensticker 1983), dan laju pemangsaan yang
relatif tinggi ditemukan oleh Robinowitz dengan berkompetisi dengan
harimau untuk mangsa muntjak. Di hutan gugur yang kering di Huai Kha
Khaeng, kanopi relatif terbuka dan primata mungkin lebih banyak
bergerak di permukaan tanah (Rabinowitz 1989). Pocock (1939)
menggambarkan macan tutul menangkap monyet langur dengan berpura-
pura bergerak untuk memanjat pohon, membuat mereka melompat ke
tanah untuk menyelamatkan diri, sehingga mereka dapat lebih mudah
ditangkap. Cara rombongan langur berlompatan ke semua arah antara
tanah dan pohon ketika dikejutkan oleh macan tutul diperkirakan yang
menyebabkan monyet mengembangkan teknik untuk membingungkan
macan tutul (P. Jackson pers. comm. 1993 dalam LaBrasca, 2007).
Rata-rata pergerakan harian macan tutul jantan yang dipasangi
radio colar di Thailand adalah dua kilometer, dan ia aktif 66% sehari.
Tidak ada kecenderungan yang kuat baik pada aktivitas nokturnal
maupun diurnal (Rabinowitz 1989). Macan tutul cenderung lebih
nikturnal di dekat pemukiman manusia (LaBrasca, 2007). Macan tutul
utamanya nokturnal, sebagian besar waktu aktifnya antara matahari
tenggelam dan terbit. Tetapi juga tercatat bahwa mereka terlihat setiap
saat sepanjang hari dan kadang-kadang berburu spada siang hari untuk
menghindari kompetisi dengan singa dan hyena (Guggisberg 1975;
Leyhausen and Tonkin 1979).
Macan tutul adalah satwa arboreal, yang berarti mereka makan,
tidur, kawin dan memburu mangsanya dari atas pohon (Alderton 1998).
Mata mereka sangat spesialis untuk melihat pada malam hari dengan
lapsisan pemantul di belakang matanya yang disebut tapetum lucidum
yang membuat cahaya melewati mata dua kali, menciptakan image yang
lebih cemerlang bahkan di cahaya yang redup (Kitchener 1991). Seperti
halnya banyak kucing lainnya, macan tutul menggunakan kumisnya
untuk merasakan jalan mereka ketika melewati semak yang lebat di
malam yang gelap (LaBrasca, 2007).

b. Perilaku Berburu
Macan tutul makan apa saja dari berbagai ukuran mulai dari tikus
sampai mamalia dengan berat dua kali lipat tubuhnya – meliputi

120 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA

wildebeest dan jerapah muda; karena hal ini, dan juga sifat misteri dan
perilaku nokturnal maka mereka dapat beradaptasi dengan berbagai tipe
habitat. Tutul-tutulnya merupakan penyamaran yang sempurna sehingga
ditiru oleh tentara untuk pakaian perang di semak-semak.
Kehebatan penyamaran kulit macan tutul sangat nyata ketika
berbaring di bayangan yang tidak rata (karena ada lubang-lubang cahaya
misalnya karena cahaya melewati tajuk yang jarang), membuat pola tutul-
tutul bercampur sempurna dengan pola cahaya matahari dengan
bayangan. Macan tutul merupakan pemburu yang sangat efektif, mereka
menggunakan semua cover yang tersedia, seperti pohon, semak, rumput
tinggi, dan bayangan dalam rangka mengejar mangsanya. Mereka bahkan
akan menyerang mangsanya dengan menubrukan badannya dari tempat
yang strategis sepeti cabang pohon.
Macan tutul adalah pemburu dan penyergap yang berburu dengan
indera penglihatannya, suaaranya dan penciumannya. Ketika mengintai,
macan tutul merundukkan badannya ke tanah dan ekornya horisontal,
sementara matanya melokalisir mangsanya menggunakan penglihatan
malamnya yang tajam, berdiam jika mangsanya menengok sekitar karena
curiga; kemudian macan tutul menyergap dengan tepat dan cepat. Macan
tutul secara keseluruhan beradaptasi untuk berburu; mereka memiliki
sepasang mata yang berfungsi seperti binokuler sehingga dapat dengan
akurat menetapkan jarak, dan mereka sering mengamati mangsa dari
tempat tinggi yang strategis sebelum mulai benar-benar memburu
mangsanya. Mereka biasanya memburu mangsanya pada jarak pendek
(umumnya kurang dari 30 m) dan membunuhnya dengan mencekik atau
menggigit bagian belakang kepala sehingga memutuskan saluran syaraf
tulang belakang.
Hasil pengamatan menemukan bahwa macan tutul menggunakan
tiga cara untuk masuk dalam jangkauan mangsanya. Pertama adalah
dengan mengikuti atau mengejar dari jauh. Setelah mendeteksi mangsa
potensial, macan tutul mendekatinya dengan pelan-pelan dan sembunyi-
sembunyi, badannya merendah ke tanah berlindung pada vegetasi dan
hanya maju ketika mangsa tidak melihatnya. Kadang-kadang macan
tutul sedang istirahat tidak aktif ketika pertama mendeteksi mangsanya,
jika tersembunyi di tempat yang cocok seperti dekat persimpangan
sungai, macan tutul menggunakan cara kedua yaitu menyergap atau
menyerang tiba-tiba. Menyergap jarang dilakukan, tetapi mungkin
terdapat beberapa tempat di habitatnya dimana mangsa datangnya dapat
diduga. Cara berburu yang ketiga sedikit lebih umum dan sangat
oportunistik. Dalam perjalanannya, macan tutul mengamati gerumbul
vegetasi dan menubruk dengan cepat ketika mangsa kecil (khususnya

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 121
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA

kelinci Lepus capensis) melompat keluar (Bertram, 1982).


Giginya mengagumkan dan efisien untuk membunuh; taringnya
membuat gigitan mematikan dan merobek menembus kulit jangat,
sementara molar-nya yang setajam pisau cukur dan lidahnya yang kasar
membuat daging cepat ditelan. Mangsa sering ditarik ke atas pohon untuk
menghindari dirampas oleh hyena, singa atau jackal, walaupun di wilayah
seperti Namibia hyena sudah tidak ada sejak beberapa dekade terakhir,
macan tutul tidak mengeluarkan energi tambahan untuk mengangkut
bangkai ke atas pohon dan memakannya di tanah.
Macan tutul juga membunuh mangsa kecil, seperti tikus atau
burung, dengan cara memukulnya menggunakan cakarnya. Mangsa
tertentu mungkin dikeluarkan isi perutnya dan dipendam, dan burung
biasanya dengan hati-hati akan dicabuti bulunya sebelum dimakan.
Macan tutul tampaknya tidak menyukai rambut dan bulu, dan
membesihkannya dengan menguncang-guncangkan kepalanya dengan
kuat; mereka sering membuang bagian yang berambut dari bangkai
mamalia dengan giginya sebelum memakannya. Macan tutul sering
membunuh lebih dari kebutuhannya untuk waktu dekat, dan
menyembunikan sisa mangsanya, baik di pohon atau goa dan kembali lagi
kemudian hari untuk menghabiskannya. Macan tutul akan memakan
bangkai jika ada.
Pemangsa tidak selalu menjadi pemenang; wildebeest dewasa,
zebra, jerapah, antelope sable (antelope hitam besar Hippotragus niger)
dan gemsbok (antelope besar Oryx gazella) semua berhasil mengusir
macan tutul untuk melindungi anak-anak mereka. Macan tutul dapat
menyerang baboon pada malam hari, mereka biasanya tidak
melakukannya pada siang hari, karena kelompok baboon lainnya
biasanya datang untuk membela anggota kelompokknya dan mengusir
macan tutul, atau berhamburan. Walaupun mitos umum mengatakan
bahwa baboon dan babi semak merupakan makanan utama macan tutul,
dan kenyataannya satwa-satwa ini dimakannya macan tutul tetapi mereka
hanya merupakan persentase kecil dari makanan macan tutul.
Macan tutul tidak mentolerir pemangsa lain dan sering memburu
spesies pesaingnya. Tercatat macan tutul membunuh cheetah dan
meletakkannya di atas pohon tanpa memakannya. Macan tutul juga
memakan macan tutul lain yang telah dibunuhnya dalam perkelahian
teritorial.
Ketika terluka, terpojok atau tiba-tiba diganggu, macan tutul dapat
menjadi sangat berbahaya dan banyak kejadian, khususnya di antara para
pemburu yang terluka atau dibunuh oleh macan tutul.

122 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA

c. Perilaku Berkomunikasi
Macan tutul umumnya pendiam. Karakteristik suaranya paling
banyak adalah suara geraman parau, batuk serak berulang-ulang dalam
interval, yang mirip dengan suara chainsaw; sekali terdengar, suara ini
tidak mudah dilupakan. Panggilan serak biasanya dikeluarkan oleh
macan tutul jantan untuk mengumumkan teritorinya yang akan dibalas
oleh macan tutul lainnya, jika ada yang individu lain di sekitarnya maka
akan terus berulang-ulang mengeluarkan suara tersebut sampai individu
lain itu pergi. Macan tutul mempunyai suara individual yang berbeda dan
ini mungkin menguntungkan untuk satwa soliter seperti macan tutul untuk
mengenali satu dengan lainnya dari kejauhan melalui suara seperti juga
mereka saling menghindar satu sama lain. Dua macan tutul jantan
teritorial akan selalu saling menggeram dan macan tutul betina akan
memanggil bila sedang oestrus. Macan tutul juga dikenal mendengkur
selama makan. Penandaan teritori oleh macan tutul juga merupakan cara
yang penting dalam komunikasi intra spesifik.

d. Perilaku Sosial
Sistem sosial merupakan cara adaptasi macan tutul karena macan
tutul merupakan karnivora berukuran sedang sehingga tidak memiliki
banyak pemangsa dan dapat berburu sendiri dengan efisien. Cara berburu
mereka membuat mereka harus hidup menyendiri tanpa tergantung pada
saudara kandung atau induknya untuk keberhasilan perkembangbiakan.
Tekanan seleksi utama yang membentuk sistem sosial macan tutul adalah
lingkungan.
Jika ungulata ukuran sedang tidak ada maka macan tutul akan
dengan mudah beralih ke berbagai jenis mangsa lainnya.
Keanekaragaman jenis mangsa macan tutul merupakan penyumbang
utama sistem sosial ini. Karena macan tutul tidak tergantung pada satu
jenis sumber makanan, maka jumlah pesaingnya sedikit.
Macan tutul jantan memiliki teritori yang luas yang sering
berhubungan dengan beberapa teritori betina yang lebih sempit. Jantan
ini memiliki ritual perkembangbiakan dengan betina-betina tersebut.
Batas-batas teritori secara teratur ditandai dengan urin, feces, penandaan
secara facial, cakaran di tanah dan pohon.
Macan tutul umumnya arboreal, beristirahat jauh di atas singa dan
hyena yang dapat dengan mudah menyergapnya. Mereka makan, tidur,
kawin dan mengejar mangsanya dari pohon. Mereka jarang berkelahi
untuk makanan mereka, mereka lebih baik membiarkan mangsa yang
telah dibunuhnya diambil oleh hyena atau singa agar tidak terluka yang
akan membuatnya tidak dapat berburu lagi mencari mangsa untuk dirinya

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 123
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA

sendiri. Singa dan hyena di Afrika dan harimau di Asia dapat membunuh
macan tutul, jika mereka dapat menangkapnya.
Macan tutul memiliki cakar yang dapat ditarik masuk, berkait dan
tajam. Hal ini memungkinkannya untuk memanjat pohon dengan mudah,
tetapi cakar ini juga merupakan senjata mematikan. Kait cakar yang
tajam dapat merobek daging mangsanya dengan mudah dan
membantunya menangkap dan menjatuhkan mangsanya. Karena
cakarnya sangat melengkung, banyak kotoran dan bakteri tersangkut di
dalamnya sehingga cakaran macan tutul dapat menyebabkan infeksi yang
hebat dan dapat sangat mematikan. Macan tutul memelihara ketajaman
cakarnya dengan mencakar batang kayu yang membantunya melepaskan
lapisan kuku bagian luar.
Macan tutul jantan maupun betina hidup dalam home range yang
besar. Mereka hidup dalam home range karena sumber makanan mereka
merupakan satwa yang bergerak. Mereka tidak dapat mempertahankan
teritori karena mereka tidak memiliki sumber makanan yang benar-benar
pasti yang harus dijaga. Jantan hidup dalam home range yang lebih besar
karena mangsanya biasanya lebih besar dari pada mangsa macan tutul
betina. Macan tutul betina akan hidup dalam sebuah kelompok (Sunquist
2001). Seekor induk akan berbagi home range dengan anak-anak
betinanya. Anak-anak betina juga akan mempelajari lokasi sarang
dimana mereka dilahirkan dan ketika setelah dewasa melahirkan mereka
sering menggunakan sarang yang sama. Home range untuk betina
mungkin memiliki vegetasi yang lebih tebal daripada home range jantan,
karena ia harus memiliki sarang untuk melindungi anak-anaknya dari
pemangsa yang juga termasuk macan tutul, singa, harimau dan kawanan
anjing liar. Pemangsa macan tutul dewasa antara lain buaya dan manusia.
Macan tutul bersifat soliter, yang berarti mereka beburu, makan,
tidur dan hidup sendiri. Macan tutul hanya akan berada bersama dalam
waktu lama selama musim kawin untuk kemudian berpisah lagi secepat
mungkin. Betina dan jantan memiliki home range yang overlap.
Kebanyakan home range individual berkisar 9 – 63 km2 dan sedikitnya
70% overlap dengan home range individu lainnya.
Dalam sistem sosial, macan tutul jantan mempertahankan
teritorinya yang dapat mencakup teritori dari dua atau tiga macan tutul
betina. Macan tutul jantan mempertahankan teritori dari jantan lain, dan
betina mempertahankan teritori dari betina lain. Tampaknya anak betina
membangun teritorinya di dalam teritori induknya, sementara anak jantan
dikeluarkan dari teritori jantan sampai membentuk teritori di luar tempat
kelahirannya.

124 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA

Karena macan tutul soliter, pertemuan para dewasa dengan


anggotanya dari jenis kelamin yang sama umumnya jarang. Macan tutul
dewasa dari jenis kelamin yang sama yang memiliki jelajah bersebelahan
atau overlap biasanya saling menghindari satu sama lain, tetapi
perkelahian bisa terjadi khususnya untuk memperebutkan mangsa.
Interaksi antara macan tutul dan spesies pemangsa besar lainnya
sangat kompleks. Macan tutul tidak hanya berburu tetapi juga diburu oleh
cheetah dan hyena. Hyena tutul merebut mangsa besar hasil buruan
macan tutul atau makan sisa bangkainya, mungkin ini salah satu alasan
mengapa macan tutul membunuh mangsa kecil dan mengapa macan tutul
membawa mangsanya ke atas pohon bila memungkinkan. Kehadiran
hyena dengan adaptasi mereka yang sangat efisien sebagai pemakan
bangkai membuat macan tutul tidak mendapat bagian makanan yang
signifikan dari mangsanya dari memakan bangkai (Bertram, 1982).
Singa memburu macan tutul setiap kali melihatnya. Dalam kasus
ini, macan tutul selalu menyelamatkan diri ke atas pohon, walaupun tidak
selalu berhasil. Keberadaan pohon atau batu sebagai tempat
menyelematkan diri agaknya yang memungkinkan macan tutul dapat
hidup bersama (co-exist) dengan pesaing-pesaing besarnya. Singa dapat
menjaga teritorinya kosong dari singa lain, tetapi mereka tidak dapat
mengeluarkan macan tutul yang lebih tangkas dan arboreal (Bertram,
1982).

D. Permasalahan Macan Tutul Di Jawa Dan Implikasi Pengelolaannya

1. Rumusan Masalah
B e r b a g a i Kebijakan pembangunan Tekanan Sosial-
tidak berwawasan Ekonomi-Budaya
permasalahan yang telah lingkungan Masyarakat
diuraikan dalam Bab
Pendahuan dapat dirumuskan Tata ruang, tata guna Perambahan, konversi
lahan, konversi hutan ilegal dan perburuan macan
dalam diagram alir legal tutul dan mangsanya
sebagaimana disajikan pada
Gambar 20. Penurunan kualitas Hilangnya habitat fragmentasi habitat
habitat (cover tidak menyebabkan menyebabkan isolasi
cocok lagi dan minimum area for geografik, inbreeding
mangsa tidak tersedia viabel population tidak dan populasi tidak
cukup) terpenuhi berkembang

DAMPAK TERHADAP MACAN TUTUL

Gambar 20. Penurunan populasi regional


·
Kepunahan lokal
·
Rumusan permasalahan berkaitan dengan
Sebaran menyempit dan sporadis
·
ancaman terhadap kelestarian Macan Tutul Pemangsaan Ternak
·
(Panthera pardus melas) di Pulau Jawa. Populasi satwa mangsa meledak
·

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 125
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA

2. Implikasi Pengelolaan
a. Pentingnya Penelitian Macan Tutul
Penurunan populasi macan tutul dan kepunahannya secara lokal terkait
dengan perubahan tata guna lahan dan perubahan penutupan lahan baik legal
maupun ilegal yang telah mengakibatkan penurunan luas sampai hilangnya
habitat, fragmentasi dan degradasi kualitas habitatnya. Upaya konservasi
macan tutul hanya dapat efektif bila dilakukan secara terpadu dengan konsep
manajemen ekosistem bioregional.
Dengan kondisi macan tutul yang semakin terancam maka diperlukan
upaya-upaya nyata untuk mencegah kepunahannya menysul harimau Jawa.
Untuk mendukung kegiatan pengelolaan populasi macan tutul dan berbagai
upaya konservasi lainnya, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui
kondisi ekologi macan tutul di Pulau Jawa saat ini sehingga dapat digunakan
sebagai dasar dalam menentukan upaya konservasi yang efektif. Sehubungan
dengan itu, hal-hal yang perlu diteliti antara lain :
1. Kondisi habitat aktual macan tutul yang meliputi ruang, cover dan
mangsanya
2. Sebaran ekologisnya di Pulau Jawa termasuk menghitung luas
kantong-kantong habitatnya yang telah terfragmentasi sehingga
diketahui kecukupan minimum area for viable populationnya.
3. Rekontruksi peta sebaran populasi macan tutul sesuai dengan
perubahan luas kawasan berhutan dalam tiga dekade terakhir dan
menemukan lokasi sebaran baru (yang belum tercatat)
4. Kondisi kesehatan populasi macan tutul
5. Kelimpahan poopulasi baik secara lokal maupun total
6. Luas daerah jelajar (home range)
7. Hubungan antara kondisi habitat (tipe vegetasi ketinggian dpl) dengan
pola warna antara tutul dan kumbang (melanisme).
8. Penyimpangan perilaku pemangsaan terhadap hewan ternak
9. Konsekuensi yang mungkin terjadi apabila terjadi perubahan tata guna
hutan di masa mendatang
10. Aspek–aspek sosial-budaya masyarakat yang berkaitan dengan upaya
konservasi macan tutul.
11. Aspek kebijakan pembangunan yang berkaitan dengan konservasi
macan tutul khususnya dan konservasi kenakekaragaman hayati pada
umumnya

Pendekatan penelitian untuk mencapai tujuan dalam rangka


penyelesaian permasalahan macan tutul secara diagram disajikan pada
Gambar 21. Hasil penelitian harus mampu memberikan masukan bagi
pengelola untuk :

126 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA

1. Menjadi bahan pertimbangan bagi pelaksana pembangunan di daerah


dalam rangka pelaksanaan pembangunan berwawasan lingkungan.
2. Menjadi model bagi unit pelaksana teknis konservasi sumberdaya alam
dalam rangka konservasi keanekaragaman hayati, khsusunya konservasi
macan tutul.
3. Menjadi bahan evaluasi terhadap kegiatan pembangunan di masa lampau
dan dampaknya pada keanekaragaman hayati pada umumnya dan macan
tutul pada khususnya.
4. Memberikan gambaran atau prediksi kondisi populasi dan sebaran macan
tutul di masa mendatang.

PENDEKATAN PENDEKATAN PENDEKATAN

EKOSISTEM BIOLOGI KELEMBAGAAN

MENGETAHUI : MENGETAHUI : MENGETAHUI :

Kualitas habitat (cover,


· Kebutuhan dasar untuk
· Kelemahan/kekuranga
·
mangsa dan air) hidup dan berkembangbiak n perangkat kebijakan
Luasan habitat
· Perilaku
· Faktor penyebab
·
Sebaran ekologis dan
· Kesehatan dan daya survive
· ancaman dari
geografis Kemampuan adaptasi
· Masyarakat (aspek
Tataguna lahan dan tata
· Populasi dan demografi
· sosial, ekonomi dan
ruang budaya)
Penutupan lahan
· Potensi dukungan
·

INFORMASI

EKOLOGI MACAN TUTUL, DAN

Gambar 21.Pendekatan dalam penelitian ekologi dan konservasi macan tutul.

Diantara spesies macan tutul (Panthera pardus), sub spesies (P.p.


melas) merupakan salah satu yang belum banyak diteliti, baik oleh peneliti
nasional maupun peneliti asing, terutama tentang ekologinya. Penelitian
macan tutul di Indonesia banyak dilakukan oleh mahasiswa terutama mahasisa
S1 sebagai skripsi. Beberapa penelitian dan kajian macan tutul Jawa yang
pernah dilakukan antara lain disajikan dalam Tabel 5.

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 127
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA

Tabel 5.Judul-judul penelitian tentang macan tutul Jawa (Panthera pardus melas).
No. Judul Penelitian Tahun Peneliti/Penulis
1. Mempelajari Kemungkinan Distribusi Macan tutul (Panthera 1987 Purbawiyatna.
pardus Linnaeus, 1758) di Resort Cibodas, Situgunung dan
Bodogol Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (Skripsi
S-1 – Fahutan, IPB Tidak diterbitkan)
2. Studi Karakteristik Habitat dan daerah Penyebaran Macan 1988 Hendra Gunawan
Tutul (Panthera pardus melas CUVIER, 1809) di Jawa
Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Skripsi Sarjana,
Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (Skripsi S1-Fahutan,
IPB tidak diterbitkan).
3. Studi karakteristik satwa mangsa Macan Tutul Pantehera 1989 Wahyudi, E.
pardus melas Curvier di TN Meru Betiri Jawa Timur (Skripsi
S-1 – Fahutan, IPB Tidak diterbitkan)
4. Studi Karakteristik Habitat dan Populasi Macan Tutul 1991 Nana Sudiana
(Panthera pardus Linnaeus, 1758) di Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango (Skripsi S-1 – Fahutan, IPB Tidak
diterbitkan)
5. Status Of The Leopard (Panthera Pardus) In Java, Indonesia. 1992 Santiapillai C,
Tigerpaper 11: 1-5 Ramono Ws.
6. Food habits of the javan leoprad Panthera pardus melas in 2003 Sakaguchi, N., R.M.
Gunung Halimun National Park, Indonesia. In: Biodiversity Sinaga., A.H.
Conservation Project. Research on Endangered Species in Syahrial.
Gunung Halimun National Park, Research and Conservation
of Biodiversity in Indonesia, vol. XI. In press.
7. Monitoring research aon the javan leopard Panthera pardus 2003 Syahrial. A.H. and
melas in Gunung Halimun National Park, Indonesia. In: Sakaguchi,
Biodiversity Conservation Project. Research on Endangered
Species in Gunung Halimun National Park, Research and
Conservation of Biodiversity in Indonesia, vol. XI. (In press)
8. Modelling Differential Extinctions To Understand Big Cat 2003 David M.
Distribution On Indonesian Islands Wilkinson And
Hannah J. O’regan
9. Biogeographic History Of The Javan Leopard Panthera Pardus 2004 Erik Meijaard,
Based On A Craniometric Analysis. J. Mamm. 85: 302-310.
10. Estimasi populasi macan tutul (Panthera pardus melas) dan 2005 Anton Ario
kelimpahan mangsa di hutan Bodogol, Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango. (Tesis S2 tidak dipublikasikan)
11. Habitat dan Wilayah Jelajah (Panthera pardus melas F. 2005 Wiguna, F.S.
Cuvier, 1809) di Resort Cikaniki Taman Nasional Gunung
Halimun(Skripsi S-1 – Fahutan, IPB Tidak diterbitkan)
12. Potensi Keberadaan Mangsa Macan tutul (Panthera pardus 2006 Sutomo.
melas Cuvier, 1809) di Koridor antara Gunung Halimun dan
Gunung Salak (Skripsi S-1 – Fahutan, IPB Tidak diterbitkan)
13. Analisis pola sebaran Spasial Panthera pardus melas Cuvier, 2007 Ahmad, G.
1809 di Taman Nasional Alas Purwo (Skripsi S-1 – Fahutan,
IPB Tidak diterbitkan)
14. Taxonomic Uniqueness Of The Javan Leopard; An Opportunity 2007 Spartaco Gippoliti,
For Zoos To Save It. Erik Meijaard

128 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA

b. Pengelolaan Habitat Macan Tutul


Pengelolaan habitat macan tutul mencakup beberapa aspek
lingkungan yang saling berkaitan, maka pendekatan yang paling tepat dalam
pengelolaan habitat adalah ekosistem dan pengelolaannya diarahkan kepada
tujuan keanekaragaman (species richness) dan ketersediaan (Availability)
sumber makanan. Kegiatan pengelolaan habitat macan tutul terutama
ditujukan pada tiga hal yaitu : pengelolaan makanan, cover dan air.

(1). Pengelolaan Makanan (Satwa Mangsa)


Macan tutul merupakan satwa predator atau karnivora puncak (top
carnivore) yang mangsanya berupa satwa herbivora atau karnivora
tingkat pertama. Oleh karena itu pengelolaan makanan macan tutul juga
berarti pengelolaan makanan satwa yang menjadi mangsanya. Untuk
menentukan populasi jenis herbivora yang akan ditingkatkan, maka perlu
diketahui terlebih dahulu jenis herbivora yang menjadi mangsa macan
tutul di suatu wilayah hutan tempat habitat macan tutul tersebut.
Salah satu jenis mangsa yang paling mudah dikelola adalah kijang
dan rusa, hal ini karena mudah berbiak dan merupakan satwa mangsa
utama macan tutul. Untuk menaikkan populasi kijang maka perlu
dilakukan perluasan lapangan perumputan (grazing ground) atau
penanaman jenis-jenis rumput pakan dan pembuatan tempat-tempat
minum atau tempat mengasin. Bahkan jika perlu diadakan reintroduksi
hijang hasil penangkaran atau hasil translokasi untuk meningkatkan
populasi yang sudah ada.
Untuk menciptakan habitat yang sesuai bagi satwa herbivora,
maka perlu dibuat banyak grazing ground di tempat-tempat dengan
produktivitas tinggi, yaitu di daerah ekoton, misalnya di dataran tepi
sungai atau di tepi sumber air. Grazing ground ini, disamping sebagai
tempat merumput juga merupakan tempat berkumpulnya berbagai jenis
satwa untuk melakukan aktivitas sosial, seperti mengasuh anak, bertemu
pasangan, bercumbu dan kawin. Oleh karena itu bagi macan tutul tempat
ini merupakan gudang makanan, sehingga bila ingin makan, macan tutul
tinggal datang, mengintai di sekitar grazing ground dan menangkap
mangsanya disini.

(2). Pengelolaan Cover


Cover atau pelindung bagi macan tutul dipergunakan untuk tidur,
berkembang biak, mengasuh anak dan mencari makan. Cover bagi macan
tutul dapat berupa vegetasi (semak belukar untuk mengintai atau cabang
pohon untuk beristirahat dan menyimpan makanan), dapat pula berbentuk
gua atau lubang pohon yang besar untuk tidur, bersembunyi dan
berlindung dari pengaruh cuaca dan gangguan manusia.

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 129
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA

Sama halnya dengan makanan, maka pengelolaan cover bagi


macan tutul tidak terlepas dari pengelolaan cover bagi satwa mangsanya.
Misalnya, salah satu satwa mangsa macan tutul adalah surili yang
memerlukan vegetasi dengan tajuk sambung menyambung untuk
melakukan pergerakan antar pohon dalam mencari makanan, maka
pengelolaan vegetasi yang demikian perlu dilakukan untuk memberi
peluang bagi macan tutul memperoleh mangsa jenis Surili. Demikian
pula dengan jenis satwa mangsa lainnya, perlu diperhatikan cover seperti
apa yang diperlukannya, sehingga akan memudahkan pengelola untuk
melakukan kegiatan pembinaan.

(3). Pengelolaan Sumber Air


Macan tutul tahan tidak minum berhari-hari, disamping itu juga,
macan tutul bukan termasuk satwa yang suka berendam seperti Harimau
Loreng (Panthera tigris), sehingga air bukan menjadi faktor pembatas.
Meskipun demikian, mengingat mangsa macan tutul adalah satwa
herbivora yang mungkin sangat tergantung pada air, baik untuk minum
maupun untuk berendam atau berkubang, maka keberadaan sumber-
sumber air dan tempat berkubang perlu mendapat perhatian dalam rangka
pembinaan habitat macan tutul.
Sumber-sumber air ini dapat terdiri dari danau, rawa, sungai, mata
air, dan sebagainya. Pada waktru musim kemarau yang panjang untuk
beberapa daerah diperlukan pengelolaan air untuk satwaliar. Sistem
hidrologi dari suatu kawasan perlu dipelajari untuk melihat
kemungkinan-kemungkinan terdapatnya sumber-sumber air. Ada
beberapa cara sederhanan untuk menyediakan air bagi satwaliar, yaitu
memanfaatkan aliran permukaan dengan membuat bendungan ataupun
bak-bak yang dapat menampung air, kemudian mengalirkannya ke
tempat-tempat yang lebih rendah sebagai tempat minum dan berkubang
satwaliar.

c. Pengelolaan Populasi
Pengelolaan populasi bertujuan untuk mendapatkan kondisi
populasi yang stabil, dimana struktur umur (komposisi kelamin dan
umur) mampu menjamin keseimbangan jumlah anggotanya. Populasi
yang berlebihan, adanya penyempitan habitat atau penurunan daya
dukung dapat menyebabkan satwaliar keluar dari habitat alaminya untuk
mencari makan di daerah pemukiman penduduk. Sedangkan penurunan
populasi dapat menyebabkan kepunahan jenis. Oleh karena itu,
pengelolaan populasi satwa liar di kawasan konservasi bertujuan untuk
memelihara keseimbangan ekosistem alam.
Demikian halnya dengan pengelolaan populasi macan tutul adalah

130 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA
untuk mendapatkan jumlah individu dari masing-masing populasi yang
seimbang, sesuai dengan daya dukungnya. Pengelolaan populasi macan tutul
ditujukan untuk mengatur populasi mangsa dan populasi pemangsa, termasuk
jenis pemangsa lain yang menjadi pesaing macan tutul agar dapat menjamin
kelestarian satwa tersebut di habitat alaminya.

(1). Pengelolaan Populasi Mangsa


Menurut Coughley (1977) ada tiga macam perlakuan pengelolaan
populasi satwaliar yaitu : (1) perlakuan terhadap populasi kecil atau yang
cenderung menurun untuk meningkatkan kepadatannya, (2) pemanenan
satwaliar untuk mendapatkan hasil yang lestari dan (3) perlakuan terhadap
populasi yang berlebihan untuk menyetabilkannya. Untuk kasus macan tutul,
pengelolaan populasi satwa mangsa ditujukan untuk meningkatkan
kepadatannya guna memenuhi kebutuhan pakan macan tutul yang semakin
berkurang akibat perburuan liar.
Pengelolaan populasi satwa mangsa dapat dilakukan dengan cara :
? Menciptakan kondisi habitat sedemikian rupa sehingga dapat
meningkatkan kembali populasi satwa mangsa. Misalnya dengan
penyediaan makanan tambahan, tempat minum dan tempat mengasin.
? Melakukan restocking atau reintroduksi dari hasil penangkaran, jenis-
jenis satwa yang populasinya kecil akibat perburuan (bukan akibat
ketidak sesuaian habitat).
? Melakukan translokasi jenis yang sama dari tempat lain.
? Mengurangi persaingan dengan satwaliar lain yang tidak penting dengan
cara mengurangi populasi pesaing.

(2). Pengelolaan Populasi Pemangsa


Pengelolaan populasi satwa pemangsa disini, bukan saja macan tutul,
tetapi juga termasuk jenis pemangsa lain seperti anjing hutan (Cuon alpinus)
dan kucing hutan (Felis bengalensis). Satwa pemangsa lain perlu dikelola agar
keberadaannya tidak mengancam kelestarian Macan Tutul.
Menurut Alikodra (1997) ada tiga situasi yang memungkinkan
berlakunya usaha pengendalian pemangsa, yaitu :
? Jika perbandingan antara jumlah satwa pemangsa (predator) dengan
jumlah satwa yang dimangsa (prey) adalah tinggi. Keadaan ini terjadi
akibat kelimpahan populasi pemangsa menyebabkan perubahan
kelimpahan yang dimangsa. Atau berkurangnya kelimpahan satwa yang
dimangsa disebabkan oleh musim yang jelek, kuantitas dan kaulitas
makanan yang menurun, adanya pemungutan yang intensif ataupun
habitatnya rusak.
? Jika kelangsungan hidup jenis satwa yang dimangsa sangat
mengkhawatirkan, terutama karena kondisi habitat yang tidak
mendukung, diperlukan perlakuan habitat, sehingga mampu
meningkatkan perkembangan populasi stawa yang dimangsa.

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 131
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA

Jika populasi satwa yang dimangsa sangat sedikit sehingga tidak mampu
?
mendukung pertumbuhan populasi pemangsa, perlu dipersiapkan
“persediaan” jenis yang dimangsa, baik terdiri dari satwaliar maupun
dari ternak.

Program pengelolaan macan tutul jangka panjang yang harus


dilakukan adalah meningkatkan kesejahteraan macan tutul di habitat
alaminya. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan populasi satwa
mangsa dan menciptakan kondisi agar satwa mangsa tersebut available bagi
macan tutul. Dua tujuan ini dapat tercapai dengan cara menciptakan grazing
ground-grazing ground di zona-zona ekoton atau di sekitar sumber air.
Grazing ground disamping akan menjadi pusat berkumpulnya berbagai jenis
satwa juga merupakan arena berburu yang mudah bagi macan tutul.
Disamping itu adanya grazing ground yang tata letaknya strategis merupakan
sarana untuk melakukan pemantauan (monitoring) kondisi kesejahteraan dan
dinamika populasi berbagai jenis satwaliar. Grazing ground juga dapat
menjadi lokasi wisata terbatas dan penelitian.
Satwa pemangsa lain yang berpeluang menjadi pesaing bagi Macan
Tutul juga perlu dikelola agar persaingannya masih dalam tingkat yang tidak
membahayakan kelestarian Macan Tutul. Dalam hal ini memang harus
ditentukan species target pengelolaan sehingga memudahkan dalam
pengambilan keputusan bila ada dua atau lebih pilihan satwa yang harus
diselamatkan. Satwa pemangsa lain yang sering co exist dengan macan tutul
adalah anjing hutan (Cuon alpinus) dan kucing hutan (Felis bengalensis).
Untuk menentukan langkah-langkah apa yang harus dilakukan dalam
pengelolaan kedua jenis satwa tersebut, maka sebelumnya harus diketahui
terlebih dahulu kondisi habitat, kelimpahan dan penyebaran populasinya.
Pengetahuan tentang kelimpahan populasi anjing hutan dan kucing hutan
perlu dimiliki agar dapat diketahui apakah jumlah tersebut tidak
membahayakan keberadaan Macan Tutul dalam kondisi persaingan alami.
Bila anjing hutan atau kucing hutan populasinya berlebihan dan menjadi
pesaing macan tutul sehingga populasi macan tutul terancam, maka perlu
diadakan pengurangan populasi anjing hutan dan kucing hutan. Pengurangan
populasi untuk tujuan menyeimbangkan populasi dalam ekosistem alami ini
disebut 'culling system'.

d. Monitoring Dinamika Populasi


Perubahan tata guna lahan yang terus terjadi dari tahun ke tahun
sebagai dampak perubahan kebijakan pembangunan akibat tekanan
penduduk, tuntutan perolehan pendapatan asli daerah telah mengakibatkan
wilayah-wilayah bervegetasi hutan yang merupakan habitat berbagai jeni
satwa liar telah berubah signifikan. Perubahan terjadi terhadap luasan,

132 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA

kualitas dan kesinambungan vegetasi. Dari tahun ke tahun, terutama sejak


otonomi daerah digulirkan, semakin banyak kelmpok hutan yang luas dan
kompak terpecah menjadi fragmen-fragmen hutan yang terpisah-pisah dalam
ukuran yang kecil-kecil. Akibatnya, fragmen habitat seperti ini tidak sesuai
lagi sebagai habitat satwa yang memiliki home range luas dan sensistivitas
tinggi terhadap gangguan manusia.
Seiring terjadinya perubahan tata guna lahan yang mengakibatkan
fragmentasi dan penurunan kualitas habitat satwa, maka populasi berbagai
jenis satwapun menurun drastis, termasuk populasi macan tutul yang hidupnya
tergantung pada ketersediaan satwa mangsa. Diperkirakan beberapa di
kawasan hutan, macan tutul sudah punah secara lokal akibat habitatnya tidak
sesuai lagi atau populasinya dimusnahkan oleh perburuan.
Untuk mengetahui dinamika populasi macan tutul di berbagai
habitatnya, maka perlu dilakukan kegiatan monitoring. Monitoring tidak saja
dilakukan terhadap macan tutul tetapi juga terhadap satwa yang menjadi
mangsanya dan pesaingnya. Hasil dari monitoring ini dapat dijadikan bahan
pertimbangan dalam menentukan upaya-upaya yang diperlukan untuk
menjamin kelestarian satwa tersebut. Kegiatan monitoring meliputi
pencatatan jumlah, struktur umur, tingkah laku, pemetaan dan pengukuran
home range, identifikasi individu dan pemeriksaan kesehatan secara tidak
langsung (melalui feces). Bila diperlukan dapat dilakukan penangkapan untuk
pemeriksaan kesehatan dan pemasangan atau radio transmiter dan micro chip
identitas serta pencatatan data biologis seperti DNA.

e. Mengembangkan program konservasi khusus


Program konservasi jenis belum berkembang di Indonesia.
Beberapa program konservasi atau penyelematan satwa langka umumnya
dilaksanakan dalam bentuk proyek yang dibiayai oleh Non Government
Oganisation (NGO) internasional, misalnya penyelamatan penyu, badak
Jawa, badak Sumatera, harimau Sumatera, komodo dan burung maleo.
Akibatnya keberlangsunannya sangat tergatung pada sponsor dan seringkali
berhenti di tengah jalan sebelum tujuan program tersebut benar-benar berhasil.
Sebagai contoh program penyelamatan burung maleo di Sulawesi yang sudah
dilakukan oleh International Council for Bird Preservation (sekarang Birdlife
International) pada awal tahun 1990an dan sempat terhenti, kemudian
dilanjutkan oleh Wildlife Conservation Society (WCS).
Di beberapa negara lain program konservasi karnivora sudah
menjadi prioritas, bahkan telah diatur dengan legislasi. Khusus konservasi
karnivora sudag ada kelompok-kelompok spesialis yang menangani
konservasinya seperti Cat Spesialist Group, Canid Spesialist Group dan
Hyena Specialist Group. Konservasi karnivora secara khusus baru

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 133
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA

dilaksanakan untuk Harimau Sumatera yang ditangani oleh beberapa NGO


dan Balai Taman Nasional. Macan tutul sebagai satu-satunya kucing besar
yang tersisa di Pulau Jawa juga mendapat prioritas konservasi khusus. Bila
upaya konservasi khusus ini tidak dilakukan, dikhawatirkan nasibnya akan
menyusul harimau Jawa yang telah punah lebih dua dekade yang lalu.
Beberapa kawasan hutan perlu dilindungi dan dikelola secara khusus
sebagai benteng terakhir perlindungan macan tutul. Kawasan hutan ini
diutamakan yang memiliki luasan yang cukup, kompak (tidak
terfragmentasi), memiliki keanekaragaman tipe vegetasi dan dijamin tidak
akan mengalami perubahan fungsi hutan. Kawasa hutan yang merupakan
habitat macan tutul tetapi bukan merupakan kawasan konservasi perlu
diusulkan menjadi kawasan konservasi atau hutan lindung sehingga dapat
lebih menjamin kelestarian satwaliar. Taman Nasional Ujung Kulon, TN.
Gede Pangrango, TN. Halimun-Salak, TN. Alas Purwo, TN. Meru Betiri, TN
Baluran, TN. Gunung Ciremai, TN. Merapi, TN. Merbabu dan Hutan Lindung
Gunung Slamet merupakan habitat macan tutul yang masih cukup luas dan
kompak, sehingga bisa menjadi benteng terakhir perlindungan macan tutul.

f. Mendorong Kebijakan Pemerintah Daerah yang Mendukung


Konservasi
Sejak digulirkannya otonomi daerah, berbagai kabupaten berlomba-
lomba menggali potensi sumberdaya alam yang dapat menghasilkan
pendapatan asli daerah sebesar-besarnya. Usaha perolehan pendapatan asli
daerah melalui eksploitasi sumberdaya alam seringkali tidak memikirkan
dampak negatifnya baik terhadap kerusakan lingkungan maupun terhadap
masyarakat. Indikator hal ini tercermin dari maraknya usulan daerah untuk
mengalihfungsikan hutan menjadi perkebunan, lahan pertanian, tambak,
pemukiman dan penggunaan lainnya yang merusak dan mengurangi luas
tutupan hutan. Hal ini tentu saja berdampak pada kelestarian
keanekaragaman hayati flora, fauna dan ekosistemnya.
Di beberapa daerah terjadi illegal logging yang melibatkan banyak
oknum petugas penagak hukum, anggota legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Banyak ijin pemanfaatan hasil hutan, baik kayu maupun non kayu diterbitkan
dengan mengabaikan dari mana hasil hutan tersebut diperoleh dan potensi
yang dapat dipanen. Semua dilakukan dengan satu alasan, perolehan
pendapatan asli daerah. Fungsi legislatif sebagai pengawas jalannya
pemerintahan seringkali tidak berjalan. Disamping disebabkan oleh
ketidaktahuan, ketidak siapan dan ketidak pedulian, seringkai disebabkan
oleh adanya motivasi keuntungan politik golongan maupun pribadi mulai dari
proses perijinan, pelaksanaan sampai pada penglahan dan pemasarannya.
Akibat dari situasi politik yang tidak menguntungkan konservasi

134 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA

sumberdaya alam tersebut, perlu diciptakan iklim politik yang mampu


memotivasi para penegak hukum (yudikatif), eksekutif dan legislatif di daerah
untuk mengedapankan, atau sekurang-kurangnya tidak mengabaikan
konservasi sumberdaya alam. Beberapa mekanisme telah diinisiasi, seperti
muculnya isu kabupaten konservasi, pembentukan taman nasional,
pengelolaan taman nasional mandiri, pembagian perolehan manfaat dari
kawasan konservasi sampai pada mekanisme kompensasi.
Ke depan, para konservasionis harus memberikan dukungan moril,
teknis dan politis terhadap pemerintah daerah yang memiliki inisiatif
melakukan konservasi sumberdaya alam. Para konservasionis juga harus
mampu meyakinkan pemerintah daerah tentang nilai ekonomi jangka panjang
dari usaha konservasi. Dalam jangka pendek, usaha konservasi harus
mendapat dukungan dana yang mampu memacu pertumbuhan ekonomi
daerah dan menciptakan lapangan kerja lokal. Tanpa adanya dampak positif
langsung terhadap nilai-nilai konomi yang terukur, kampanye konservasi akan
sulit diterima oleh semua pihak.

E. Rekomendasi
Kondisi populasi macan tutul Jawa semakin terancam sebagai akibat
dari hilangnya habitat, menurunnya kualitas habitat, fragmentasi habitat dan
perburuan, baik terhadap satwa mangsanya maupun terhadap macan tutul itu
sendiri karena dianggap membahayakan dan memangsa ternak. Untuk
menghindarkan macan tutul kepunahan, sudah saatnya dilakukan program
penyelamatan satwa ini secara khusus dan menetapkan kawasan-kawasan
prioritas sebagai benteng terakhir perlindungan macan tutul. Di kawasan-
kawasan tersebut dilakukan monitoring dan pengamanan secara intensif dan
berkelanjutan.
Seiring upaya penyelamatan macan tutul di habitatnya, sosialisasi
program konservasi macan tutul juga perlu dilakukan secara terus menerus
dan partisipasi aktif masyarakat juga perlu digalang untuk menjamin
suksesnya program ini. Pemberian pemahaman yang tepat tentang
pentingnya macan tutul sebagai penjaga kesimbangan ekosistem hutan di
Jawa dan dampak yang akan terjadi jika spesies ini punah, diharapkan mampu
membangkitkan motivasi masyarakat untuk ikut melestarikan satwa ini.
Berbagai kegiatan penelitian tentang macan tutul diharapkan mampu
memberikan pengetahuan yang bermanfaat bagi penentuan langkah-langkah
teknis penyelematan satwa ini. Oleh karena itu kegiatan penelitian satwa ini
perlu mendapat dukungan dari pihak-pihak yang kompeten (Departeman
Kehutanan, NGO dan sponsor). Sayangnya, penelitian tentang macan tutul
masih jarang dan dari pihak pemerintah tampaknya belum menempatkan
satwa ini sebagai prioritas program konservasi jenis.

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 135
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1978. Mamalia di Indonesia. Direktorat PPA, Direktorat
Jenderal kehutanan. Bogor.
______. 1982. Pedoman Teknik Inventarisasi Mamalia (Dasar-dasar
Umum). Direktorat PPA, Direktorat Jenderal Kehutanan. Bogor.
______. 1987. Laporan Studi Penyebaran Keluarga Felidae di Jawa Tengah
dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Direktorat Jenderal PHPA,
Departemen Kehutanan. Bogor.
Ahmad, G. 2007. Analisis pola sebaran Spasial Panthera pardus melas
Cuvier, 1809 di Taman Nasional Alas Purwo. Dep. KSH dan
Ekowisata, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Skripsi S1,
Tidak dipublikasikan.
Alderton, D. 1998. Wild Cats of the World. Blandford: United Kingdom.
Alikodra, H.S. 1997. Teknik Pengelolaan Satwaliar Dalam Mepertahankan
Keanekaragaman Hayati Indonesia. Pusat Antar Universitas Ilmu
Hayat Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Anton, M. and A. Turner. 1997. The Big Cats and Their Fossil Relatives.
Columbia University Press: New York.
Bailey, T. N. 1993. The African leopard: a study of the ecology and behavior
of a solitary felid. New York, Columbia University Press.
Bertram, B. 1982. Leopard Ecology as Studied by Radio Tracking. Bothma,
J and Knight M.H. et al. 1997. Range Size of Southern Kalahari
Leopards. South African Journal of Wildlife Research 27(3/4): 94
Cat Specialist Group 1996. Panthera pardus ssp. melas. In: IUCN 2006. 2006
IUCN Red List of Threatened Species. <www.iucnredlist.org>.
Downloaded on 02 May 2007.
Cat Specialist Group. 2002. Panthera pardus. 2006 IUCN Red List of
Threatened Species. IUCN 2006. Retrieved on 12 May 2006. Database
entry includes justification for why this species is of least concern
Comstock Publishing Associates.
Coughley, G. 1977. Analyses of Vertebrate Populations. John Wiley and
Sons. Chichester - New York - Brisbane - Toronto.
Estes, 1991. Behavior Guide to African Mammals. University of California
Press: Berkely.
Gao, Yaoting et al. 1987. Fauna Sinica. Mammalia, Vol. 8: Carnivora.
Science Press, Beijing (in Chinese).
Garman, A. 1997. Leopard (Panthera pardus). http://dspace.dial.pipex.com/
agarman/leopard.htm. Diakses Tanggal 1 Mei 2007.
Grzimek, B. 1975. Animal Life Encyclopedia Vol. 12, Mammal III. Van
Nostrand Reinhold Company. London, England.
Guggisberg, C. 1975. Wild Cats of the World. New York: Taplinger Publishing
Company.

136 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA

Gunawan, H. 1988. Studi Karakteristik Habitat dan Daerah Penyebaran


Macan Tutul (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) di Jawa Tengah dan
Yogyakarta. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi S1, Tidak
dipublikasikan.
Gunawan, H. 1988. Studi Karakteristik Habitat dan daerah Penyebaran
Macan Tutul (Panthera pardus melas CUVIER, 1809) di Jawa Tengah
dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Skripsi Sarjana, Jurusan
Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor (tidak diterbitkan).
Hemmer, H. and Schutt, G. 1973. Pleistocene leopards (Panthera pardus) of
Java and southern China. Koninkl. Neder. Akad. Wetensch. Proc. Sers.
B 76:37-49 (in German).
Heptner, V.H. and Sludskii, A.A. 1972. Mammals of the Soviet Union. Vol III:
Carnivores (Feloidea). Vyssha Shkola, Moscow (in Russian). Engl.
transl. edited by R.S. Hoffmann, Smithsonian Inst. and the Natl.
Science Fndn., Washington DC, 1992.
Hoogerwerf, A. 1970. Ujung Kulon, The Land of The Last Javan Rhinoceros.
E.J. Brill. Leiden, Netherlands.
http:// www.catsurvivalstrust.org/leopard.htm. Diakses Tanggal 3 Mei 2007.
http://en.wikipedia.org/wiki/ Leopard.htm. Diakses Tanggal 3 Mei 2007.
http://en.wikipedia.org/wiki/Indian_ Leopard. Diakses Tanggal 1 Mei 2007.
http://library.thinkquest.org/11234/leopard.html. Diakses Tanggal 2 Mei
2007.
http://www. travelafricamag.com/content/view/176/56). Diakses Tanggal 3
Mei 2007.
http://www.bio. davidson.edu/people/vecase/Behavior/Spring2002/
friedman/ Matingsystem.html. Diakses Tanggal 3 Mei 2007.
http://www.bio. davidson.edu/people/vecase/Behavior/Spring2004/bunton/
bunton. html#social. Diakses Tanggal 3 Mei 2007.
http://www.bio.davidson.edu/people/
vecase/Behavior/Spring2002/friedman/ diet.html. Diakses Tanggal
3 Mei 2007.
http://www.bio.davidson.edu/people/vecase/Behavior/
Spring2002/Friedman/ habitat.html. Diakses Tanggal 3 Mei 2007.
http://www.bio.davidson.edu/people/vecase/Behavior/Spring2002/Friedman
/socialsystem.html. Diakses Tanggal 4 Mei 2007.
http://www.cheguevara.co.za/wiki/Leopard-Distribution_and_
conservation.htm. Diakses Tanggal 3 Mei 2007.
http://www.dataid.com/junglegallery.htm. Diakses Tanggal 3 Mei 2007.
http://www.ecotravel.co.za/Guides/Wildlife/Vertebrates/Mammals/Big_5/L
eopard/Leopard_Information.htm. Diakses Tanggal 1 Februari 2007.
http://www.felidtag.org/pages/Educational%5CFactSheets%5Cleopard.htm.
Diakses Tanggal 3 Mei 2007.

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 137
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA
http://www.katzenseite.net/infos/habitat.htm. Diakses Tanggal 5 Mei 2007.
http://www.lioncrusher.com/animal.asp?animal=57. Diakses Tanggal 2 Mei
2007.
http://www.naturalia.org/ZOO/AN_TERRA/ leopardo.html. Diakses
Tanggal 3 Mei 2007.
http://www.north-india.in/fauna/leopard.htm. Diakses Tanggal 3 Mei 2007.
http://www.savenues. com/wildlife/wildlife_leopard.htm. Diakses Tanggal
3 Mei 2007.
http://www.school.za/ PILAfrica/ en/webs/16645/wildlife/leopard.shtml.
Diakses Tanggal 3 Mei 2007.
http://www.travel africamag.com/content/view/176/56. Diakses Tanggal 3
Mei 2007.
IUCN - The World Conservation Union. 1996. Leopard Panthera pardus
Linnaeus 1758.
Johnsingh, A.J.T. 1983. Large mammalian prey-predators in Bandipur Tiger
Reserve. J. Bombay Nat. Hist. Soc. 80:1-57.
Karanth, K.U. and S. E. Melvin. 1995. Prey selection by tiger, leopards and
dhole in tropical forests. Journal of Animal Ecology 64: 439-450.
Kitchener, A. 1991. The Natural History of the Wild Cats. Ithica, New York:
Kleiman, D.G. and Eisenberg, J.F. 1973. Comparisons of canid and felid social
systems from an evolutionary perspective. Anim. Behav. 21:637-659.
Korkishko V.G. and Pikunov, D. 1994. The population number of the Far East
Leopard in 1991 in Russia. Unpubl. report presented to the Species
Survival Commission, IUCN 19th General Asembly, Buenos Aires,
Argentina.
LaBrasca, C. 2007. Biogeography of Panthera pardus. California State
University, Sacramento. www.csus.edu/indiv/g/.../BG1.htm. Diakses
Tanggal 1 Februari 2007.
Laman, T. G. and. K. D. Cheryl. 1997. An oberservation of leopard (Panthera
pardus Linnaeus) mating behaviour in Serengeti National park,
Tanzania. African Journal of Ecology 35(2): 165-167.
Lekagul, B. and J.A. McNeely. 1977. Mammals of Thailand. Kurusapha
Ladprao Press. Bangkok.
Leyhausen, P., B. Tonkin. 1979. Cat Behavior: The Predatory and Social
Behavior of Domestic and Wild Cats. New York and London: Garland
STPM Press.
MacKinnon, J., Kathy MacKinnon, Graham Child dan Jim Thorsell. 1990.
Pengelolaan Kawasan Yang Dilindungi di Daerah Tropika. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
Medway, L. 1967. The Wild Mammal of Malaya (Peninsular Malaysia) and
Singapore. Oxford University Press. Oxford - New York - Melbourne.
Sankhala, K. 1977. Tiger. William Colins Sons and Co. Ltd.
Glasgow.

138 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA

Mizutani, F., P. Jewell. 1998. Home-range and movements of leopards


(Panthera pardus) on a livestock ranch in Kenya. Journal of Zoology,
244: 269-286.
Norton, P.M. and S.R. Henley 1987. Home range and movements of male
leopards in the Cedarberg Wilderness Area, Cape Province. South
African Journal of Wildlife Research 17(2): 41-48.
Nowak, R. 1997. "Mammals of the World" (On-line). at
http://animaldiversity.ummz.umich.edu/local/redirect.php/http://ww
w.press.jhu.edu/books/walkers_mammals_of_the_world/carnivora.fe
lidae.panthera.htm. Diakses Tanggal 6-11- 2001.
Ognev, S.I. 1935. Mammals of the U.S.S.R. and adjacent countries. Israel
Program for Scientific Translations, Jerusalem (1962).
Phillips, W.W.A. 1935. Manual of the mammals of Sri Lanka, 2d revised edn.,
Part III. Wildlife and Nature Protection Society of Sri Lanka, Colombo
(1984).
Pocock, R.I. 1930. The panthers and ounces of Asia. J. Bombay Nat. Hist. Soc.
1:63-82; 307-336.
Pocock, R.I. 1939. The fauna of British India, Mammalia, I. Primates and
Carnivora, 2d edn. Taylor and Francis, London.
Purbawiyatna. 1987. Mempelajari Kemungkinan Distribusi Macan tutul
(Panthera pardus Linnaeus, 1758) di Resort Cibodas, Situgunung dan
Bodogol Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Jurusan
Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor. Skripsi S1, Tidak dipublikasikan.
Rabinowitz, A, 1989. The density and behavior of large cats in a dry tropical
forest mosaic in Huai Kha Khaeng Wildlife Sanctuary, Thailand. Nat.
Hist. Bull. Siam. Soc. 37(2):235-251.
Sanderson, I. 1972. Living Mammals of the World. Garden City, New York:
Doubleday & Company.
Santiapillai, C. and Ramono, W.S. 1992. Status of the leopard (Panthera
pardus) in Java, Indonesia. Tigerpaper XIX:1-5.
Schaller, G.B. 1967. The deer and the tiger. Chicago Univ. Press, Chicago.
Schaller, G.B. 1972. The Serengeti lion. Univ. of Chicago Press, Chicago.
Seidensticker, J. 1976. On The Ecological Separation Between Tigers and
Leopards. Smithsonian Institution. Washington, D.C. USA.
Seidensticker, J. 1976. On the ecological separation between tigers and
leopards. Biotropica 8:225-234.
Seidensticker, J. 1983. Predation by Panthera cats and measures of human
influence in habitats of South Asian monkeys. Inter. J. Primatol.
4(3):323-326.
Seidensticker, J. 1986. Large carnivores and the consequences of habitat
insularization: ecology and conservation of tigers in Indonesia and
Bangladesh. Pp 1-42 in S.D. Miller and D.D. Everett, eds. Cats of the
world: biology, conservation and management. National Wildlife
Federation, Washington D.C.

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 139
STATUS EKOLOGI MACAN TUTUL JAWA DAN IMPLIKASI MANAJEMEN KONSERVASINYA

Seidensticker, J. and L. Susan (Eds). 1991. Great Cats: Majestic Creatures of


the Wild, Rodale Press.
Sudiana, N. 1991. Studi Karakteristik Habitat dan Populasi Macan Tutul
(Panthera pardus Linnaeus, 1758). Di Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi S1, Tidak dipublikasikan.
Sunquist, F. 2001. Staying close to home. International Wildlife 31(3): 20-9.
Sunquist, M.E. 1981. The social organization of tigers (Panthera tigris) in
Royal Chitwan National Park, Nepal. Smithson. Contrib. Zool. 336:1-
98.
Surabaya Post Hot News, Selasa, 17/09/1996. Perburuan Liar Ancam
Kelestarian Pulau Sempu dan Satwa Langka.
http://www.wp.com/64257/170996/05 sempu.htm. Diakses 01-02-
2007
Sutomo. 2006. Potensi Keberadaan Mangsa Macan tutul (Panthera pardus
melas Cuvier, 1809) di Koridor antara Gunung Halimun dan Gunung
Salak. Dep. KSH dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan. Institut
Pertanian Bogor. Skripsi S1, Tidak dipublikasikan.
Undang-Undang Nomor 5, Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam
hayati dan Ekosistemnya. Departemen Kehutanan. Jakarta.
van Helvoort, B.E., de Iongh, H.H. and P.J.H. van Bree. 1985. A leopard-skin
and -skull (Panthera pardus L.) from Kangean Island, Indonesia. Z.
Säugetierk. 50:182-184.
Veevers-Carter, W. 1978. Mamalia darat Indonesia. Internusa, P.T. Jakarta.
Wahyudi, E. 1989. Studi karakteristik satwa mangsa Macan Tutul Pantehera
pardus melas Curvier di TN Meru Betiri Jawa Timur. Jurusan
Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor. Skripsi S1, Tidak dipublikasikan.
Wiguna, F.S. 2005. Habitat dan Wilayah Jelajah (Panthera pardus melas F.
Cuvier, 1809) di Resort Cikaniki Taman Nasional Gunung Halimun.
Dep. KSH dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian
Bogor. Skripsi S1, Tidak dipublikasikan.

140 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
LAMPIRAN 1.

Lampiran 1. Jenis-jenis karnivora di Indonesia dan penyebarannya*).

No. Nama Ilmiah Nama Inggris Nama Indonesia Sebaran

I CANIDAE

1 Canis lupus familiaris Domestic dog Anjing kampung Kalimantan,


Sumatra, Jawa,
Sunda Kecil,
Sulawesi, Maluku,
Irian Jaya

2 Cuon alpinus Dhole Ajag Sumatra, Jawa

II URSIDAE

3 Helarctos malayanus Sun bear Beruang madu Kalimantan,


Sumatra

III MUSTELIDAE

4 Amblonyx cinereus Asiatic short Sero Ambrang Kalimantan,


clawed otter Sumatra, Jawa
5 Arctonyx collar is Hog badger Babi-batang Sumatra
Sumatra

6 Lutra lutr a Smooth coated Berang-berang Sumatra


otter pantai

7 Lutra sumatrana Hairy nosed otter Berang-berang Kalimantan,


gunung Sumatra

8 Lutrogale perspicillata Oriental small- Berang-berang Kalimantan,


clawed otter Wregul Sumatra, Jawa

9 Martes flavigula Yellow throated Amunin panan Kalimantan,


marten Sumatra, Jawa

10 Melogale orientalis Indian ferred Biul slentek


badger

11 Mustela lutreolina Indonesian Pulusan gunung


mountain weasel

12 Mustela nudipes Bare foot weasel Pulusan Chok- Kalimantan,


puteh Sumatra, Jawa

13 Mustela sibirica Siberian weasel Pulusan marmer

14 Mydaus javanensis Malayan stink Teledu sigung Kalimantan,


badger Sumatra, Jawa
IV VIVERRIDAE

15 Arctitis binturong Binturong Binturung muntu Kalimantan,


Sumatra, Jawa

16 Arctogalidia trivigata Three striped Musang akar Kalimantan,


palm otter Sumatra, Jawa

17 Cynogale benneltii Water civet Musang air Kalimantan,


Sumatra

18 Diplogale hosei Hose’s palm civet Bekulu gunung ?

19 Hemigalus derbyanus Banded palm Musang tekalong Kalimantan,


civet Sumatra

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 141
LAMPIRAN 1.

No. Nama Ilmiah Nama Inggris Nama Indonesia Sebaran

21 Paguma larvata Masked palm Musang galing Kalimantan,


civet Sumatra

22 Paradoxur us Common palm Musang luwak Kalimantan,


hermaphro ditus civet Sumatra, Jawa,
Sunda Kecil,
Sulawesi, Maluku,
Irian Jaya

23 Prionodon linsang Banded linsang Lingsang Kalimantan,


Sumatra, Jawa

24 Viverra tangalunga Malayan civet Tenggalung Malaya Kalimantan,


Sumatra

25 Viverricula indica Small Indian civet Musang rase Sumatra, Jawa

V HERPESTIDAE

26 Herpestes brachyura Short-tailed Garangan cerpelai Kalimantan,


mongoose Sumatra

27 Herpestes hosei Bornean Garangan ?


mongoose Kalimantan

28 Herpestes javanicus Javan gold- Garangan Jawa Jawa


spotted
mongoose

29 Herpestes semitorquatus Collared Garangan Wau Kalimantan,


mongoose Sumatra

VI FELIDAE

30 Catopuma badia Bornean red cat Kucing merah Kalimantan

31 Catopuma temminckii Asiatic golden cat Kucing emas Sumatra

32 Felis silvestris Feral cat Kucing kampung Kalimantan,


Sumatra, Jawa,
Sunda Kecil,
Sulawesi, Maluku,
Irian Jaya

33 Neofelis nebulosa Clouded leopard Macan dahan Kalimantan,


Sumatra

34 Panther a pardus Leopard Macan tutul, macan Jawa


kumbang

35 Panther a tigris Tiger Harimau loreng Sumatra, Jawa


(punah)

36 Pardofelis marmorata Marbled cat Kucing batu Kalimantan,


Sumatra

37 Prionailurus bengalensis Leopard cat Kucing kuwuk Kalimantan,


Sumatra, Jawa

38 Prionailurus planiceps Flat-headed cat Kucing tandang Kalimantan,


Sumatra

39 Prionailurus viverrinus Fishing cat Kucing bakau Sumatra, Jawa

*) Sumber :
Suyanto, A., M. Yoneda, I. Maryanto, Mahardatunkamsi and Jito Sugardjito. 1998. Checklist
of The Mammals of Indonesia. LIPI-JICA joint Project for Biodiversity
Conservation in Indonesia. Bogor.

142 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
LAMPIRAN 2.

Lampiran 2.Status Konservasi Jenis-Jenis Karnivora di Indonesia.


Status
Status PP Status Red List
No. Nama Ilmiah Appendix
7/1999 1) IUCN 2)
CITES 3)
I CANIDAE
1 Canis lupus familiaris - - -
2 Cuon alpinus Dilindungi Vulnerable 2
II URSIDAE
3 Helarctos malayanus Dilindungi Vulnerable 1
III MUSTELIDAE
4 Amblonyx cinereus - Unsufficiently known 2
5 Arctonyx collaris Dilindungi - -
6 Lutra lutr a - Vulnerable 1
7 Lutra sumatrana - Unsufficiently known 2
8 Lutrogale perspicillata - Unsufficiently known 2
9 Martes flavigula - Indeterminate -
10 Melogale orientalis - Unsufficiently known -
11 Mustela lutreolina - Unsufficiently known -
12 Mustela nudipes - Unsufficiently known -
13 Mustela sibirica - - -
14 Mydaus javanensis Dilindungi - -
IV VIVERRIDAE
15 Arctitis binturong Dilindungi - -
16 Arctogalidia trivigata - - -
17 Cynogale benneltii Dilindungi Unsufficiently known 2
18 Diplogale hosei - - -
19 Hemigalus derbyanus - - 2
20 Macrogalidia Dilindungi Rare 1
musschenbroek ii
21 Paguma larvata - - 3
22 Paradoxur us - - 3
hermaphroditus
23 Prionodon linsang Dilindungi - 2
24 Viverra tangalunga - - -
25 Viverricula indica - - -
V HERPESTIDAE
26 Herpestes brachyura - - -
27 Herpestes hosei - - -
28 Herpestes javanicus - - 3
29 Herpestes semitorquatus - - -
VI FELIDAE
30 Catopuma badia Dilindungi Rare 2
31 Catopuma temminckii Dilindungi Indeterminate 1
32 Felis silvestris - - 2
33 Neofelis nebulosa Dilindungi Vulnerable 1
34 Panther a pardus Dilindungi Threatened 1
35 Panther a tigris Dilindungi Endangered 1
36 Pardofelis marmorata Dilindungi Indeterminate 1
37 Prionailurus bengalensis Dilindungi Indeterminate 1
38 Prionailurus planiceps Dilindungi Indeterminate 1
39 Prionailurus viverrinus Dilindungi Unsufficiently known 2

Sumber :
1) Peraturan Pemerintah Nomor 7, Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
2) UNEP-WCMC. 2007. UNEP-WCMC Species Database: CITES-Listed Species World Wide Web :
http://www.unep-wcmc.org/isdb/ CITES/ Taxonomy/ tax-class-result.cfm/isdb/CITES/Taxonomy/ tax-
class-result. cfm?source= animals& displaylanguage=eng&Class =5&Country=ID. Diakses Tanggal 31
July, 2007.
3) IUCN 2004. 2004 IUCN Red List of Threatened Species. www.iucnredlist.org. Diakses Tanggal 31 Juli
2007.

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 143
LAMPIRAN 3.

Lampiran 3. Gambar beberapa jenis karnivora yang hidup di Indonesia.

Sumber: http://www.piterhunt.ru
Sumber:www.apus.ru
Sumber: www.apus.ru

Cuon alpinus (Pallas) Martes flavigula (Boddaert)

Sumber: www.cc.u-ryukyu.ac.jp
Herpestes javanicus
Sumber: http://www.quantum-conservation.org

Sumber: www.gibbonproject.org

Helarctos malayanus (Raffles) Paradoxurus hermaphroditus (Pallas)

144 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
LAMPIRAN 3.
Sumber: www.zoothailand.org

Sumber: www.biopix.dk
Mustela nudipes Desmarest Lutra lutra (Linnaeus)
Sumber: www.terrambiente.org

Sumber: http://www.otter.org
Lutra sumatrana (Gray) Amblonyx cinereus (Illiger)
Sumber: http://ecologyasia.com

Sumber: http://www.nies.go.jp

Lutrogale perspicillata Geoffroy Viverra tangalunga Gray

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 145
LAMPIRAN 3.

Sumber: www.city.yokohama.jp
Sumber: http://www.filin.vn.ua

Prionodon linsang (Hardwicke) Paguma larvata Hamilton-Smith

Sumber: http://zoo-eco.zooclub.ru
Sumber: http://filin.vn.ua

Arctitis binturong (Raffles) Hemigalus derbyanus (Gray) Sumber : http://hosomidani.no-blog.jp


Sumber : http://www.tunturisusi.com

Prionailurus planiceps Arctogalidia trivirgata (Gray)

146 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
LAMPIRAN 3.
Sumber: www.terrambiente.org

Viverricula indica synonim V. malaccensis (Gmelin)


Sumber: http://www.terrambiente.org

Cynogale bennettii Sumber : http://www.zivotinjsko.carstvo.com


Sumber: http://www.catsurvivaltrust.org

Pardofelis marmorata Prionailurus bengalensis

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 147
LAMPIRAN 3.
Sumber: Hollingsworth, John and Karen, U.S. Fish and Wildlife Service

Panthera tigris (Linnaeus)


Sumber: www.home.globalcrossing.net

Panthera pardus (Linnaeus)


Sumber: www.chahrlie doggett.net

Neofelis nebulosa (Griffith)

148 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
LAMPIRAN 3.

Sumber : FFI
Catopuma temminckii

Sumber : http://www.lioncrusher.com
Viverricula indica Sumber : http://cougharhillweb.org

Prionailurus viverrinus

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 149
LAMPIRAN 3.
Sumber: http://www.terrambiente.org

Diplogale hosei

Sumber: http://www.apus.ru
Macrogalidia musschenbroekii

Sumbe: http://www.frettcheninfos.de
Sumber: http://www.lioncrusher.com

Mydaus javanensis

Catopuma badia

150 Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah
RIWAYAT HIDUP PENULIS

HENDRA GUNAWAN dilahirkan pada 3 April 1964


di Kabupaten Banjarnegara. Putera keempat dari pasangan
Alimah (Ibu) dan Aswowikarto (ayah) menyelesaikan
pendidikan SD (1976) dan SMP (1980) di Kabupaten
Banjarnegara dan SMA di SMAN 1 Kota Cirebon (1980).
Meraih gelar sarjana kehutanan (1980), Magister Sains
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (2000) dan
Doktor Ilmu Kehutanan (2010) di Institut Pertanian Bogor.
Pria pecinta alam ini pernah bekerja sebagai manajer
pembinaan hutan di sebuah HPH (1989-1991), kemudian
menjadi Pegawai Negeri Sipil di Kementerian Kehutanan
sejak 1992 dengan profesi sebagai peneliti di bidang
konservasi sumberdaya alam. Saat ini jabatannya adalah
Peneliti Utama di Bidang Konservasi Sumberdaya Alam di Puslitbang Konservasi dan
Rehabilitasi, Badan Litbang Kementerian Kehutanan.
Peneliti yang senang fotografi ini aktif menulis dan mengikuti seminar dan telah
menghasilkan lebih dari 110 karya tulis ilmiah dan populer. Selain meneliti, penggemar
jungle travelling ini juga sering diminta sebagai konsultan, narasumber, pembimbing
mahasiswa, pengajar diklat dan tenaga ahli di berbagai tim dan kelompok kerja. Menjadi
anggota Dewan Riset Badan Litbang Kehutanan, Dewan Redaksi di beberapa jurnal dan
majalah, anggota Pokja Konservasi Badak Indonesia dan Pokja Restorasi Ekosistem
Kawasan Konservasi merupakan kesibukannya akhir-akhir ini.
Pehobi birdwatching ini menaruh perhatian pada dampak lingkungan, baik akibat
pembangunan maupun bencana alam. Di sela kesibukannya sebagai peneliti, masih
menyempatkan diri menjadi penyusun AMDAL dan telah mendapatkan sertifikasi
kompetensi Ketua Tim Penyusun AMDAL (KTPA) dengan bidang keahlian dampak
ekologis.
Penggemar pecel dan gado-gado ini menikah dengan Retno Widianingsih dan telah
dikaruniai tiga anak yaitu Priyahita Adhika Putera Rendra (Apoteker); Pradnya Paramarta
Raditya Rendra (Geologis) dan Sistha Anindita Pinastika Heningtyas yang masih kuliah di
Fakultas Farmasi UNPAD.
Buku-buku yang pernah ditulis sebagai bahan ajar dan diklat (belum diterbitkan secara
komersial) antara lain : Dasar-Dasar Pengenalan Dan Identifikasi Satwaliar (2008),
Ekologi dan Konservasi karnivora (2007), dan Fragmentasi Hutan : Aplikasi Teori
Biogeografi Pulau dalam Konservasi Keanekaragaman Hayati (2007).
Kegiatan yang sedang disibukinya saat ini antara lain melanjutkan penelitian Restorasi
Ekosistem Gunung Merapi, penelitian Sebaran Macan Tutul Di Jawa Barat, penyusunan
buku Bioekologi dan Konservasi Badak Indonesia, buku Restorasi Ekosistem Pegunungan
Pasca Perambahan Di Gunung Ciremai dan buku Penanganan Satwaliar Pasca Erupsi
Gunung Merapi.

Bio Ekologi dan Konservasi Karnivora Spesies Kunci yang Terancam Punah 151
Dicetak dengan biaya dari
DIPA 029.05.1.500652 Tahun 2013
Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
KEMENTERIAN KEHUTANAN

Anda mungkin juga menyukai