Anda di halaman 1dari 22

DISTRIBUSI SPASIAL KEPITING BAKAU (Scylla spp) DI KAWASAN

HUTAN MANROVE BUNGKUTOKO KOTA KENDARI SULAWESI


TENGGARA

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1)


Program Studi Budidaya Perairan

Oleh :
EFA MEGANANTA KILAT PRATIWI
201710260311098

JURUSAN PERIKANAN
FAKULTAS PERTANIAN PETERNAKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2022
HALAMAN PENGESAHAN
DISTRIBUSI SPASIAL KEPITING BAKAU (Scylla spp) DI KAWASAN
HUTAN MANROVE BUNGKUTOKO KOTA KENDARI SULAWESI
TENGGARA

OLEH :

EFA MEGANANTA KILAT PRATIWI


201710260311098

Dosen Pembimbing 1 Tanggal,..............

Dr. Hariyadi, S.Pi, M.Si


NIDN : 0701107501

Dosen Pembimbing 2 Tanggal,..............

Dr. Hany Handajani, S.Pi, M.Si


NIDN : 0715017101

Malang, ......
Menyetujui :

Dekan, Ketua Jurusan

Dr. Ir. Aris Winaya, MM. M.Si, IPU Dr. Hany Handajani, S.Pi, M.Si
NIP : 196405141990331002 NIP : 110.0309.0406
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................
1.1 Latar Belakang................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................
1.3 Tujuan.............................................................................................................
1.4 Manfaat...........................................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................
2.1 Biologi Kepiting Bakau (Scylla Serrata)........................................................
2.2 Habitat dan Siklus Hidup Kepiting (Scylla Serrata).......................................
2.3 Perilaku Kepiting Bakau (Scylla Serrata).......................................................
2.4 Distribusi Kepiting Bakau (Scylla Serrata)....................................................
2.5 Kerapatan Mangrove.......................................................................................
2.6 Substrat Tanah Mangrove.............................................................................
2.7 Karbon (C- Organik).....................................................................................
BAB III METODE PENELITIAN..............................................................................
3.1 Waktu dan Tempat....................................................................................
3.2 Materi dan Alat..........................................................................................
3.3 Metode.......................................................................................................
3.3.1 Pengambilan sampel..............................................................................
3.3.2 Mengamati variabel tanah.....................................................................
3.3.3 Mengamati variabel kerapatan mangrove..............................................
3.3.4 Mengamati variabel kualitas air............................................................
3.3.4.1 Suhu.......................................................................................................
3.3.4.2 pH..........................................................................................................
3.3.4.3 Salinitas.................................................................................................
3.3.5
AnalisisData...........................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kepiting bakau merupakan salah satu komoditas perikanan yang penting di


Indonesia. Cita rasa dan kandungan gizinya yang tinggi meyebabkan permintaan
yang terus meningkat permintaan yang terus meningkat untuk di ekspor maupun
dikonsumsi di dalam negeri. (Herliany dan Zamdial, 2015). Kulit kepiting juga
mempunyai nilai komersial yang tinggi. Kulit di ekspor sebagai sumber kitin dan
kitosan yang dapat digunakan di industri makanan, tekstil dan agrikultur. Kitin
dan kitosan dapat diaplikasikan sebagai pengawet makanan, agen pengemulsi,
biokatalis dan biodegradable filmsm (Sarbon et al., 2015; Gadgey and Bahekar,
2017).

Kepiting bakau merupakan fauna makrobenthik yang tergolong kelas


krustasaea. Kepiting bakau (Scylla spp.) umumnya ditemukan di perairan
mangrove dan estuari (Chairunnisa, 2004 dalam Yulianti dan Sofiana 2018).
Kepiting bakau berperan penting dalam ekosistem mangrove berkaitan dengan
aktivitasnya yang meliang dan mencari makan. Kepiting bakau ini akan merubah
karakteristik sedimen dan mempengaruhi kandungan bahan organik pada sedimen
dari ekosistem mangrove (Widyastuti, 2016).

Kelimpahan kepiting bakau di kawasan pesisir dipengaruhi oleh kerapatan


ekosistem mangrove sebagai habitatnya. Kerapatan yang tinggi memungkinkan
meningkatnya jumlah nutrisi bagi kepiting bakau (Gita et al., 2015). Parameter
lingkungan juga mempengaruhi kelimpahan kepiting bakau, seperti salinitas,
temperatur dan derajat keasaman (pH) (Rizaldi et al., 2015).

Sebagai salah satu komponen biotik yang penting dalam ekosistem


mangrove, peran kepiting dalam ekosistem mangrove antara lain sebagai pemakan
detritus atau termasuk dalam organisme pengurai dan penyedia makanan alami
bagi biota perairan karena dalam satu kali pemijahan kepiting dapat menghasilkan
ribuan larva. Menurut (Pratiwi, 2002 dalam Pratiwi R dan Rahmat 2015) kepiting-
kepiting di daerah mangrove selalu memfokuskan aktivitasnya di dalam lubang
galian, lubang-lubang tersebut dijadikan sebagai habitat yang memberikan
perlindungan yang aman selain itulubang-lubang yang telah digalinya bermanfaat
sebagai media aerasi oksigen dapat masuk ke bagian substrat yang lebih dalam,
sehingga dapat memperbaiki kondisi substrat hutan mangrove. Kepiting
merupakan spesies kunci di hutan mangrove yang berfungsi untuk mengkonversi
nutrien dan mempertinggi mineralisasi, meningkatkan distribusi oksigen di dalam
tanah, membantu siklus karbon, dan penyedia pakan alami bagi berbagai jenis
biota di perairan (Kalor dkk, 2018).

Pengelompokan distribusi spasial dilakukan untuk mengetahui suatu


makhluk hidup tinggal pada pola tidak berkelompok, berkelompok dan teratur
(reguler). Penelitian disrtibusi spasial kepiting bakau di kawasan Hutan Mangrove
Bungkutoko Kota Kendari Sulawesi Tenggara dilakukan untuk mengetahui
beberapa poin didalamnya, yaitu apakah kepiting bakau di hutan mangrove
bungkutoko kota kendari termasuk tidak berkelompok, berkelompok dan teratur
(reguler). Penempatan transek pada 11 titik dengan ulangan 1x dengan ukuran
transek 1x1 m, dengan penempatan nomor yang acak. Pengambilan sampe
kepiting menggunakan bubu trap yang dipasang secara acak disetiap plot
Kemudian melihat kerapatan mangrove apakah termasuk kategori semai, pancang
dan pohon dengan menghitung menggunakan rumus kerapatan mangrove.
Menganalisa apabila terdapat hubungan antara distribusi spasial kepiting dengan
kerapatan mangrove. Apabila ditemukan hubungan antara distribusi spasial
kepiting dengan kerapatan mangrove, maka dianalisa. Kemudian Menganalisa
variabel-variabel kualitas air di lokasi sekitaran transek-transek penelitian.
Variabel kualitas air yang di analisa ada suhu, pH dan salinitas.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana hasil pengamatan distribusi kepiting bakau di hutan mangrove


Bungkutoko?
2. Bagaimana kerapatan mangrove di hutan mangrove Bungkutoko?
3. Bagaimana hasil perbandingan antara kepiting dan variabel penelitian?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui distribusi spasial kepiting bakau di kawasan Hutan
Mangrove Bungkutoko Kota Kendari Sulawesi Tenggara.
2. Untuk mengetahui apabila ada hubungan antara distribusi spasial kepiting
bakau dengan kerapatan mangrove.
3. Untuk menganalisa hubungan antara distribusi spasial kepiting bakau
dengan kerapatan mangrove.

1.4 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi peneliti terkait


distribusi spasial kepiting bakau (Scylla spp) di kawasan hutan mangrove
Bungkutoko kota Kendari Sulawesi Tenggara.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Kepiting Bakau (Scylla Serrata)


Kepiting merupakan fauna yang habitat dan penyebarannya terdapat di air
tawar, payau dan laut. Jenis-jenisnya sangat beragam dan dapat hidup di berbagai
kolom di setiap perairan. Sebagian besar kepiting yang kita kenal banyak hidup di
perairan payau terutama di dalam ekosistem mangrove. Sebagian besar kepiting
merupakan fauna yang aktif mencari makan di malam hari nocturnal (Prianto,
2007 dalam Rusmadi, 2014). Menurut (Forskal, 1775 dalam Davie. P, 2015)
klasifikasi dalam Genus Scylla sebagai berikut.

Kingdom : Animalia

Phylum : Arthropoda

Subphylum : Crustacea

Class : Malacostraca

Ordo : Decapoda

Family : Portunidae

Genus : Scylla

Spesies : Scylla Serrata.

Gambar 1. Kepiting Bakau


(Scylla Serrata)
(Google, 2021).
Mata kepiting bakau yang dilengkapi dengan tangkai mata, dilindungi oleh
dinding rongga mata, menyerupai duri-duri besar dan kokoh, yang terletak pada
bagian dahi karapaks. Apabila berada dalam keadaan terancam, tangkai mata akan
ditempelkan rapat-rapat dalam rongga mata, sehingga yang tampak hanyalah duri-
duri kokoh tersebut. kepiting bakau memiliki bentuk karapaks yang agak bulat,
memanjang, pipih, sampai agak cembung. Panjang karapaks berukuran kurang
lebih dua pertiga ukuran lebar karapaks. Secara umum, karapaks kepiting bakau
terbagi atas empat
area, yaitu: area pencernaan (gastric region), area jantung (cardiac region), area pe
rnapasan (branchial region), dan area pembuangan (hepatic region). Duri duri pad
a bagian depan karapaks, memiliki bentuk dan ketajaman yang bervariasi, sehingg
amenjadi salah satu faktor pembeda dalam klasifikasi jenis kepiting bakau (Keena
n et al., 1989). Pasangan kaki pertama pada tubuh kepiting bakau, disebut chelped
. Coxa pada cheliped merupakan ruas cheliped yang paling dekat dengan tubuh, se
hingga merupakan tempat menempelnya cheliped pada tubuh. Cheliped sangat ber
peran dalam aktivitas makan. Strukturnya kokoh, terutama pada bagian chela,
dilengkapi dengan gigi-gigi yang tajam dan kuat untuk mencabikcabik makanan d
an memasukkannya ke dalam mulut. Selain berfungsi sebagai alat bantu makan,
cheliped juga berfungsi sebagai alat bertarung untuk pertahanan diri. Hal ini
terutama terjadi pada kepiting bakau jantan, sehingga cheliped kepiting bakau
jantan umumnya lebih besar daripada cheliped betina, ketika mencapai tingkat
dewasa kelamin. Kepiting bakau yang merasa terancam oleh gangguan pemangsa,
akan bergerak mundur, sedangkan kedua cheliped-nya diangkat tinggi ke atas
dengan posisi chela membuka. Tiga pasang kaki berikutnya, disebut kaki jalan
yang selain berfungsi untuk berjalan saat kepiting bakau berada di darat, juga
berfungsi dalam proses reproduksi, terutama pada kepiting bakau jantan. Ketika
proses percumbuan menjelang perkawinan berlangsung, dengan bantuan kaki-kaki
jalan kepiting bakau jantan akan mendekap betina di bagian bawah tubuhnya,
sehingga tubuh mereka menyatu. Posisi ini disebut doubllers. Doubllers umumnya
berlangsung hingga kepiting bakau betina memasuki proses moulting prakopulasi.
Kaki-kaki jalan juga berfungsi ketika proses penetasan telur berlangsung.
Kepiting bakau betina yang sedang berkontraksi, akan berdiri menggunakan
kedua cheliped-nya, sementara bagian dactylus kedua pasang kaki jalan terakhir
(kaki jalan II dan III), digunakan untuk menggaruk massa zigote secara terus
menerus, sampai butiran- butiran telur terurai dan terlepas dari rambut-rambut
pleopod. Pasang kaki terakhir kepiting bakau yang disebut kaki renang, berbentuk
agak membulat dan lebar. Dua ruas terakhir kaki renang (dactylus dan propondus)
berbentuk pipih. Pasangan kaki renang digunakan sebagai alat bantu semacam
dayung saat berenang. Sekalipun dapat tahan hidup di darat selama 4-5 hari,
namun kepiting bakau tetap membutuhkan air untuk menghindarkan dirinya dari
evaporasi. Selain itu, dalam siklus hidupnya, kepiting bakau betina yang telah
matang gonad akan meninggalkan perairan hutan mangrove, menuju ke perairan
laut untuk memijahkan, mengerami dan menetaskan telur-telurnya (Sulaeman
dkk., 1993) dalam (Siaheinenia, 2009).

2.2 Habitat dan Siklus Hidup Kepiting Bakau(Scylla Serrata)


Kepiting bakau dapat hidup pada berbagai ekosistem. Sebagian besar siklus
hidupnya berada di perairan pantai meliputi muara atau estuaria, perairan bakau
dan sebagian kecil di laut untuk memijah. Scylla sp. ini biasanya lebih menyukai
tempat berlumpur dan berlubang-lubang di daerah ekosistem mangrove. Beberapa
jenis kepiting yang dapat dimakan ini juga ditemukan hidup melimpah di perairan
estuaria dan kadang-kadang terlihat hidup bersama dengan Portunidae (kepiting
perenang) lainnya dalam satu kawasan. Distribusi kepiting menurut kedalaman air
hanya terbatas pada daerah litoral dengan kisaran kedalaman 0 – 32 meter dan
sebagian kecil hidup di laut dalam (Suryani, 2006).

Kepiting betina yang telah beruaya ke perairan laut akan berusaha mencari
perairan yang kondisinya cocok untuk tempat melakukan pemijahan, khususnya
terhadap suhu dan salinitas air laut. Setelah telur menetas maka muncul larva
tingkat I (Zoea I) dan terus menerus berganti kulit, sambil terbawa arus perairan
pantai, sebanyak lima kali (Zoea V), kemudian berganti kulit lagi menjadi
megalopa yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa kecuali
masih memiliki bagian ekor yang panjang (Kasry, 1991). Pada tingkat megalopa,
kepiting mulai beruaya pada dasar perairan lumpur menuju perairan pantai, dan
biasanya pertama kali memasuki perairan muara sungai, kemudian keperairan
bakau untuk kembali melangsungkan perkawinan.
Kordi (1997) mengatakan, untuk menjadi kepiting dewasa, zoea
membutuhkan pergantian kulit kurang lebih sebanyak 20 kali, proses pergantian
kulit pada zoea berlangsung relatif lebih cepat yaitu sekitar 3 – 4 hari tergantung
pada kemampuan tumbuhnya. Jika tersedia pakan dalam jumlah melimpah, maka
proses pergantian kulit akan berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan
lingkungan yang tidak mengandung pakan yang memadai. Pada fase Megalopa
proses pergantian kulit berlangsung relatif lama yaitu setiap 15 hari, setiap 9
pergantian kulit tubuh kepiting akan semakin besar sekitar sepertiga kali dari
ukuran semula.

Gambar 2. Siklus Hidup Kepiting Bakau (Karsy, 1991)

2.3 Perilaku Kepiting Bakau (Scylla Serrata)


Menurut Prianto (2007) bahwa, bagian tubuh kepiting juga dilengkapi bulu
dan rambut sebagai indera penerima. Bulu-bulu terdapat hampir di seluruh tubuh
tetapi sebagian besar bergerombol pada kaki jalan. Untuk menemukan
makanannya kepiting menggunakan rangsangan bahan kimia yang dihasilkan oleh
organ tubuh. Antena memiliki indera penciuman yang mampu merangsang
kepiting untuk mencari makan. Ketika alat pendeteksi pada kaki melakukan
kontak langsung dengan makanan, chelipeds dengan cepat menjepit makanan
tersebut dan langsung dimasukkan ke dalam mulut. Mulut kepiting juga memiliki
alat penerima sinyal yang sangat sensitif untuk mendeteksi bahan-bahan kimia.

Kepiting mengandalkan kombinasi organ perasa untuk menemukan makanan,


pasangan dan menyelamatkan diri dari predator. Kepiting memiliki sepasang mata
yang terdiri dari beberapa ribu unit optik. Matanya terletak pada tangkai, dimana
mata ini dapat dimasukkan ke dalam rongga pada carapace ketika dirinya
terancam. Kadang-kadang kepiting dapat mendengar dan menghasilkan berbagai
suara. Hal yang menarik pada berbagai spesies ketika masa kawin, sang jantan
mengeluarkan suara yang keras dengan menggunaklan chelipeds-nya atau
menggetarkan kaki jalannya untuk menarik perhatian sang betina. Setiap spesies
memiliki suara yang khas, hal ini digunakan untuk menarik sang betina atau untuk
menakut-nakuti pejantan lainnya.

Kepiting memiliki siklus hidup seperti hewan air lainnya yakni terjadi di luar
tubuh, hanya saja sebagian kepiting meletakkan telur-telurnya pada tubuh sang
betina. Kepiting betina biasanya segera melepaskan telur sesaat setelah kawin,
tetapi sang betina memiliki kemampuan untuk menyimpan sperma sang jantan
hingga beberapa bulan lamanya. Telur yang akan dibuahi selanjutnya dimasukkan
pada tempat (bagian tubuh) penyimpanan sperma. Setelah telur dibuahi telur-telur
ini akan ditempatkan pada bagian bawah perut (abdomen). Jumlah telur yang
dibawa tergantung pada ukuran kepiting. Beberapa spesies dapat membawa
puluhan hingga ribuan telur ketika terjadi pemijahan. Telur ini akan menetas
setelah beberapa hari kemudian menjadi larva (individu baru) yang dikenal
dengan “zoea”. Ketika melepaskan zoea ke perairan, sang induk menggerak-
gerakkan perutnya untuk membantu zoea agar dapat dengan mudah lepas dari
abdomen. Larva kepiting selanjutnya hidup sebagai plankton dan melakukan
moulting beberapa kali hingga mencapai ukuran tertentu agar dapat tinggal di
dasar perairan sebagai hewan dasar (Prianto, 2007).

2.4 Distribusi Kepiting Bakau (Scylla Serrata)


Distribusi merupakan gambaran pergerakan makhluk hidup dari suatu tempat
ke tempat lain. Distribusi suatu spesies dalam satu area tertentu dapat disusun
dalam tiga pola dasar yaitu acak, mengelompok dan teratur (reguler). Untuk
menjelaskan fenomena pergerakan ini biasa digunakan istilah migrasi yakni
pergerakan sejumlah besar spesies dari suatu tempat ketempat lain (Soetjipta,
1993).

Menurut Gunarto, dkk (2001) distribusi merupakan penyebaran spesies yang


dipengaruhi oleh adanya selang geografi (geographic range) suatu perairan.
Informasi mengenai distribusi kepiting bakau pada suatu perairan sangat
membantu usaha penangkapan kepiting bakau, terutama berkaitan dengan
kemudahan mendapatkan fishing ground dan nilai komersiel penangkapan.

Pola distribusi tergantung pada beberapa faktor antara lain : musim


pemijahan, tingkat kelangsungan hidup dari tiap-tiap umur serta hubungan antara
kepiting dengan perubahan lingkungan. Kepiting bakau biasanya terdapat pada
dasar perairan lumpur berpasir, keberadaan mangrove dan masukan air laut
sampai sungai (Sulaiman dan Hanafi, 1992).

Secara ekosistem, penyebaran kepiting bakau di bagi dua daerah, yaitu daerah
pantai dan daerah perairan laut. Pada perairan pantai yang merupakan daerah
nursery ground dan feeding ground kepiting bakau berada pada stadia muda;
menjelang dewasa; dan dewasa, sedangkan diperairan laut merupakan spawning
ground, kepiting bakau berada pada stadia dewasa (matang gonad), zoea sampai
megalops.

2.5 Kerapatan Mangrove


Mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara
sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove tumbuh pada
pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai yang datar, biasanya di sepanjang
sisi pulau yang terlindung dari angin atau di belakang terumbu karang di lepas
pantai yang terlindung. Secara ekologi, ekosistem mangrove berperan sebagai
sistem penyangga kehidupan berbagai organisme akuatik maupun organisme
teresterial, baik sebagai tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan
(nursery ground) maupun tempat berkembang biak (spawning ground)
(Lewerissa, 2017).

Analisis tingkat kerapatan jenis mangrove dilakukan berdasarkan kategori


pertumbuhan yaitu semai, pancang dan pohon Samson (2020). Adapun fase
pertumbuhan pohon menurut Kasmadi (2015) dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :

1. Semai adalah anakan pohon mulai kecambah sampai setinggi kurang1,5 m.

2. Pancang adalah anakan pohon tingginya ≥ 1,5 meter sampai diameter < 20 cm.

3. Pohon adalah pohon dewasa berdiameter ≥ 20 cm.

2.6 Substrat Tanah Mangrove


Substrat adalah tempat dimana akar-akar mangrove dapat tumbuh. Substrat
merupakan faktor pembatas utama terhadap pertumbuhan dan distribusi mangrove
(Budiman, 1991). Mangrove dapat tumbuh dengan baik pada substrat berupa
pasir, lumpur atau batu karang. Sebagian besar jenis-jenis mangrove tumbuh
dengan baik pada substrat berlumpur, namun ada pula yang tumbuh baik pada
substrat berpasir, bahkan substrat berupa pecahan karang. Kondisi substrat
merupakan salah satu faktor yang berperan dalam pembentukan zonasi mangrove.
Tipe substrat pada suatu pantai sangat mempengaruhi pertumbuhan
mangrove. Tipe tanah jenis silt (debu) dan clay (liat) merupakan faktor penunjang
proses regenerasi dimana partikel liat yang berupa lumpur akan menangkap buah
tumbuhan mangrove yang jatuh ketika sudah masak. Proses regenerasi ini sangat
mempengaruhi kerapatan mangrove di suatu area. Sebaliknya pada pantai dengan
substrat berpasir atau pasir dengan campuran pecahan karang, kerapatan
mangrovenya akan rendah dikarenakan jenis substrat tersebut tidak mampu
menangkap/menahan buah mangrove yang jatuh sehingga proses regenerasi tidak
terjadi (Kordi, 2012)
Walton et al. (2006) menyatakan bahwa kepiting bakau berdistribusi secara
luas di areal mangrove yang didominasi oleh substrat lumpur. Substrat yang halus
di ekosistem mangrove banyak mengandung serasah dan bahan organik yang
dihasilkan dari daundaun mangrove yang jatuh ke lumpur sekitar pohon mangrove
yang terdekomposisi oleh bakteri sehingga banyak ditemukan makanan bagi
organisme tertentu seperti kelompok Gastropoda (Ellobiodae dan Potomididae)
yang diketahui merupakan salah satu makanan alami kepiting bakau (Avianto,
2013).

2.7 Karbon (C- Organik)


Bahan organik tanah merupakan material penyusun tanah yang berasal dari
sisa tumbuhan dan binatang, baik yang berupa jaringan asli maupun yang telah
mengalami pelapukan. Sumber utama bahan organik tanah berasal dari daun,
ranting, cabang, batang, dan akar tumbuhan. Kandungan karbon organik di lokasi
penelitian termasuk sangat rendah sampai sedang dengan kandungan berkisar
0,34-2,34% (Fitriana 2006).

Bahan organik yang terdapat dalam ekosistem mangrove dapat berupa bahan
organic yang terlarut dalam air (tersuspensi) dan bahan organik yang tertinggal
dalam sedimen. Sebagian bahan organik lainnya akan digunakan langsung oleh
tingkatan tropik yang lebih tinggi dan akhirnya dilepaskan ke dalam kolom air
melalui autolisis dari sel-sel mati (Kushartono, 2009). Menurut Zamroni dan
Rohyani (2008) menyebutkan bahwa serasah mangrove berupa daun, ranting dan
biomassa lainnya yang jatuh menjadi sumber pakan biota perairan dan unsur hara
yang sangat menentukan produktifitas perikanan laut. Produksi serasah
merupakan bagian yang penting dalam transfer bahan organik dari vegetasi ke
dalam substrat. Unsur hara yang dihasilkan dari proses dekomposisi serasah di
dalam substrat sangat penting dalam pertumbuhan mangrove dan sebagai sumber
detritus bagi ekosistem laut dan estuari dalam menyokong kehidupan berbagai
organisme akuatik.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat


Penelitian ini dilaksanakan pada 2021 di Taman Hutan Mangrove
Bungkutoko Kendari Sulawesi Tenggara.

3.2 Materi dan Alat


3.2.1 Materi
Materi yang digunakan dapat dilihat pada tabel 1 berikut :
No Materi Fungsi
.
1. Tali tambang nilon Untuk membentuk plot.
2. Tanah sampel lokasi Untuk di teliti jenis substratnya.
transek
3. Kayu gamal ukuran 1m Untuk membentuk plot
4. Kepiting mangrove Untuk di ukur bobot dan menentukan jenis.

3.2.2 Alat
Alat yang digunakan dapat dilihat pada tabel 2 berikut :
No. Alat Fungsi
1. Meter roll Untuk mengukur jarak atau panjang.
2. Refraktometer Untuk mengukur kadar/ konsentrasi garam.
3. Termometer Untuk mengukur suhu atau temperatur.
4. Kertas pH Untuk menentukan larutan yang bersifat asam dan
basa.
5. Handphone Untuk mendokumentasikan kegiatan penelitian.
6. Alat tulis Untuk mencatat hasil yang diperoleh.
7. Gunting dan pisau Untuk memotong tali dan membelah kayu.
8. Botol aqua 600ml Untuk mengambil sampel tanah .
9. Tangkap rakkang Untuk menangkap kepiting mangrove.
10. Pipa paralon ¾ inc
11. Penggaris Untuk mengukur panjang.

3.3 Metode
3.3.1 Pengambilan sampel
Jumlah stasiun ada 3 dimana setiap stasiun terdapat 3 transek dengan jumlah
transek 11. Ulangan setiap transek dilakukan 1x. Metode transek kuatdrat dengan
ukuran 1 x 1 meter. Pengambilan sampel dilakukan pada waktu surut terendah
untuk mempermudah dalam proses pengambilan sampel Menurut Fajeri et al,

15
(2020). Penangkapan kepiting bakau menggunakan bubu pada zona hutan
mangrove (zona belakang dan tengah) dan jaring pada zona laut, selama sehari
semalam pada tiap stasiun penelitian Siahaineina dan Makatita, (2020).
Pengambilan sampel kepiting bakau dengan menggunakan alat Bubu lipat
(Collapsible trap) ukuran 45x30x15 cm. Peletakan bubu lipat dilakukan pada
pukul 13.00 WIB sampai pukul 16.30 WIB. Pengambilan sampel dilakukan pada
pukul 07.00 WIB sampai pukul 12.00 WIB (Mahfud et al, 2017).

penggambaran pengambilan sampel dapat dilihat pada gambar 3. di bawah ini :

1
2
3

Gambar 3. Lokasi penelitian (Google Map 2021)

3.3.2 Mengamati Kepiting Bakau


Di setiap plot diletakkan satu bubu secara acak dan setiap sampel kepiting bakau
yang diperoleh dikelompokkan berdasar ciri morfologi, kemudian diberi label
dimasukkan dalam kantong plastik. Sampel kepiting selanjutnya dimasukkan
dalam timba plastik dan dikelompokkan berdasar jenisnya dari identifikasi
sementara di lapang (Mahfud et al, 2017).

3.3.3 Mengamati variabel tanah

16
Sampel tanah diambil dengan menggunakan pipa paralon yang berukuran 2,5 inci
dan kemudian ditancapkan ke dalam tanah secara tegak lurus dengan kedalaman
60 cm. Sampel-sampel tanah dari masing-masing zona tersebut dibawa ke
laboratorium untuk dianalisis sifat kimianya (Nursin et al, 2014).

3.3.4 Mengamati variabel kerapatan mangrove


Kerapatan mangrove diukur pada setiap plot yang ada pada stasiun-stasiun
penelitian. Menurut (Odum, 1993 dalam Samson 2020) Kerapatan mangrve
dihitung menggunakan rumus :
Di= ¿
A

Keterangan : Di = kerapatan jenis i

ni = jumlah total setiap individu dari jenis i

A = luas total area pengambilan contoh m2

Menurut Kepmen LH No. 201 Tahun 2004, kriteria nilai kerapatan jenis
mangrove pada nilai ≥1500 maka tergolong kategori sangat rapat dan pada nilai
≤1000 maka tergolong dalam kategori jarang (Agustini et al, 2016).

3.3.5 Mengamati variabel kualitas air

3.3.5.1 Suhu

Pengambilan suhu air dilakukan secara langsung di lokasi penelitian


menggunakan termometer. Air diambil menggunakan botol sampel secukupnya,
kemudian dimasukan termometer batang kedalam sampel air yang sudah diambil
menggunakan botol sampel dan di tunggu beberapa menit kemudian catat hasilnya
(Baker, 1975 dalam Parmadi, 2016).

3.3.5.2 pH

pH diukur dengan menggunakan pH meter dengan cara memasukkan kertas pH


kedalam air kemudian nilai pH dapat dibaca pada skala pH meter(Brugger, 2000
dalam Parmadi, 2016).

17
3.3.5.3 Salinitas

Pengambilan salinitas air dilakukan secara langsung di lokasi penelitian


menggunakan refraktometer. Air diambil menggunakan botol sampel secukupnya,
kemudian diambil sampel menggunakan pipit tetes dan diteteskan sampel air ke
alat refraktometer, lalu diamati hasilnya pada alat refraktometer (Brugger, 2000
dalam Parmadi, 2016).

3.3.5 Analisis Data

Analisis data kuantitatif merupakan suatu cara yang digunakan untuk menjawab
masalah penelitian yang berkaitan dengan data berupa angka dan program
statistik. Untuk dapat menjabarkan dengan baik tentang pendekatan dan jenis
penelitian, populasi dan sampel, instrumen penelitian, teknik pengumpulan data,
dan analisis data dalam suatu proposal dan/atau laporan (Wahidmurni, 2017).

18
Distribusi Spasial Kepiting Bakau

Penangkapan kepiting
Pemasangan Transek bakau

Variabel yang Sampel kepiting bakau


diuji Perbandingan
1. Variabel tanah sampel dengan
(sedimentasi) variabel yang
Tabulasi diuji
2. Variabel Diagram Batang
perbandingan
kerapatan
mangrove
3. Variabel
kualitas air

19
DAFTAR PUSTAKA

Armin Nursin, Wardah, dan Yusran. 2014. Sifat Kimia Tanah Pada Berbagai
Zonasi Hutan Mangrove Di Desa Tumpapa Kecamatan Balinggi Kabupaten
Parigi. Moutong Warta Rimba, 2 (1) : 17-23.

DavieP. 2015. World Register Marines Species.Website :www.marinespecies.org/


Scylla Serrata or Portunus Pelagicus. Diakses pada tanggal 22 Januari 2016

Didi Kasmadi, Johny S. Tasirin, Maria Y.M.A., Sumakud. 2015. Komposisi Dan
Struktur Jenis Pohon Di Hutan Produksi Terbatas Ake Oba Tanjung Wayamli.
jurnal unsrat, 6 (13):1-8.

Dr.Wahidmurni, M.Pd. 2017. Pemaparan Metode Penelitian Kuantitaif. Dosen


Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

Efraim Samson, Vergenia Sigmarlatu, dan Deli Wakano. 2020. Keanekaragaman


dan Kerapatan Jenis Mangrove di Desa Kase Kecamatan Leksula Kabupaten Buru
Selatan. Jurnal Penelitian Biologi, 7 (1) : 1055-1063.

Eggy Havid Parmadi J.C., Irma Dewiyanti, Sofyatuddin Karina1. 2016. Indeks
Nilai Penting Vegetasi Mangrove Di Kawasan Kuala Di, Kabupaten Aceh Timur.
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kelautan dan Perikanan Unsyiah, 1(1) : 82-95.

Fajeri, Febrianti Lestari, dan Susiana. 2020. Asosiasi Gastropoda Di Ekosistem


Padang Lamun Di Perairan Senggarang Besar. Jurnal Akuakultur, Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil, 10 (1): 22-29.

Gadgey, K.K., and A. Bahekar. 2017. Studies on Extraction Methods of Chitin


from Crab Shell and Investigation of its Mechanical Properties. IJMET, 8 (2): 220
– 231.

Gita, R.S.D., Sudarmadji, dan J. Waluyo. 2015. Pengaruh Abiotik terhadap


Keanekaragaman dan Kelimpahan Kepiting Bakau (Scylla spp.) di Hutan
Mangrove Taman Nasional Alas Purwo, Jawa Timur. Bonorowo Wetlands, 5 (1):
11-20.

20
Herliany, N.E. dan Zamdial. 2015. Hubungan Lebar Karapas dan Berat Kepiting
Bakau (Scylla spp) Hasil Tangkapan di Desa Kahyapu Pulau Enggano Provinsi
Bengkulu. Jurnal Kelautan, 8 (2): 89 – 94

Suryani, Miti. 2006. Ekologi Kepiting Bakau (Scylla serrata Forskal) dalam
Ekosistem Mangrove di Pulau Enggano Provinsi Bengkulu. (Tesis). Semarang :
Universitas Diponegoro.

Kalor, J.D., Dimara, L., Ottouw, G. & Piaki, K., 2018. Status kesehatan dan uji
spesies indikator biologi ekosistem mangrove Teluk Yotefa Jayapura, Journal
Biosfera, 35(1): 1-9.

Kasry, A. 1991. Budidaya Kepiting Bakau dan Biologi Ringkas. Jakarta: Bhratara.

Kordi, K. 1997. Budidaya Kepiting & Ikan Bandeng. Semarang: Dahara Prize.

Laura Siahainenia. 2009. Struktur Morfologis Kepiting Bakau (Scylla


paramamosain). Jurnal Triton. 5(1) :11-21.

Laura Siahainenia dan Miftah Makatita 2020. Aspek Bioekologi Sebagai Dasar
Pengelolaan Sumberdaya Kepiting Bakau (Scylla spp.) Pada Ekosistem Mangrove
Passo. Jurnal Triton, 16 (1) : 8-18.

Mohamad Zaenal Mahfud, Sudarmadji, dan Wachju Subchan. 2017. Pengaruh


Faktor Lingkungan Terhadap Relative Fitness dan Distribusi Spasial Kepiting
Bakau (Scylla spp.) di Hutan Mangrove Blok Bedul Sogoro Anak Taman
Nasional Alas Purwo. Jurnal Ilmu Dasar, 18 (2): 65-72

Nella Tri Agustini, Zamdial Ta’alidin dan Dewi Purnama. 2016. Struktur
Komunitas Mangrove Di Desa Kahyapu Pulau Enggano. Jurnal Enggano, 1(1):
19-31.

Prianto, E. 2007. Peran Kepiting Sebagai Spesies Kunci (Keystone Spesies) pada
Ekosistem Mangrove. Prosiding Forum Perairan Umum Indonesia IV.Balai Riset
Perikanan Perairan Umum. Banyuasin.

Rianta Pratiwi dan Rahmat. 2015. Sebaran Kepiting Mangrove (Crustacea:


Decapoda) Yang Terdaftar Di Koleksi Rujukan Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI
1960-1970, Berita Biologi 14(2).

21
Rizaldi, D. Rosalina, dan E. Utami. 2015. Kelimpahan Kepiting Bakau (Scylla sp)
di Perairan Muara Tebo Sungailiat. Akuatik, 9 (2): 14-20.

Rusmadi. 2014. Studi Biologi Kepiting di Perairan Teluk Dalam Desa Malang
Rapat Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Skripsi. Universitas Maritim
Raja Ali Haji :Tanjungpinang

Widyastuti, E. 2016. Keanekaragaman Kepiting pada Ekosistem Mangrove di


Perairan Lingga Utara dan Sekitarnya, Kepulauan Riau. Zoo Indonesia, 25 (1):
22–32.

Wibisono, M. S. 2005. Hubungan Jenis Substrat Dengan Kerapatan Vegetasi


Rhizophora sp. Di Hutan Mangrove Sungai Nyirih Kecamatan Tanjungpinang
Kota. Pengantar Ilmu Kelautan. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.

Yona A. Lewerissa, M. Sangaji dan M. B. Latumahina. 2018. Pengelolaan


Mangrove Berdasarkan Tipe Substrat Di Perairan Negeri Ihamahu Pulau Saparua.
Jurnal Triton, 14(1).

Yulianti dan Mega Sari Juane Sofiana. 2018. Kelimpahan Kepiting Bakau (Scylla
sp.) di Kawasan Rehabilitasi Mangrove Setapuk, Singkawang. Jurnal Laut
Khatulistiwa, 1(1): 25-30.

22

Anda mungkin juga menyukai