Anda di halaman 1dari 25

REFARAT

NERVUS III, IV, VI DAN APLIKASI KLINISNYA

OLEH :
Siti Amalia Putri ( C 111 12 160 )
Jordy Liong

( C 111 12 163 )

Simon Jonatan ( C 111 12 165 )

PENGAMAT :
Dr. dr. Hasmawaty Basir, Sp. S (K)

PEMBIMBING :
dr. Susilo

Departemen Ilmu Saraf


Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Makassar
2016
1

LEMBARPENGESAHAN
Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa
Nama

Judul Refarat

: Siti Amalia Putri C111 12 160


Jordy Liong

C111 12 163

Simon Jonatan

C111 12 165

: Nervus III, IV, VI dan aplikasi klinisnya

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Departemen Ilmu
Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

Mengetahui,
Co-ass

Siti Amalia Putri

Jordy Liong

Simon Jonatan

Pembimbing

dr. Susilo

DAFTAR ISI

Halaman
SAMPUL ....

DAFTAR ISI ......

DAFTAR GAMBAR .........

BAB I PENDAHULUAN

BAB II ANATOMI DAN FISIOLOGI.......

BAB III KELAINAN PENYEBAB DAN GEJALA KLINIS


GANGUAN N. III, IV DAN VI .

10

BAB IV PEMERIKSAAN PENUNJANG .

15

BAB V PENATALAKSANAAN .

21

DAFTAR PUSTAKA ......

24

DAFTAR GAMBAR
3

GAMBAR

HALAMAN

Gambar 1 : Innervasi Otot pergerakan Bola Mata.

Gambar 2 : Nervus Kranialis dan Fungsinya .

Gambar 3: Skema Nervus Okulomotor, trochlearis dan Abdusent .

Gambar 4 : Tes pergerakan bola mata

18

Gambar 5 : Kelumpuhan nervus III

19

Gambar 6 : Kelumpuhan nervus IV...

19

Gambar 7 : Kelumpuhan nervus VI

20

BAB I
4

PENDAHULUAN
N. III bersama dengan N. IV dan N. VI merupakan saraf otak yang
mengatur gerakan bola mata. Ketiga saraf otak ini relatif panjang dari batang
otak menuju orbita. Karena ketiga nervus kranialis ini memiliki kesatuan
fungsi dalam menginervasi otot-otot penggerak bola mata sehingga
pemeriksaannya dilakukan secara bersama-sama. Salah satu kelainan yang
bisa timbul bila terjadi gangguan pada ketiga saraf ini atau salah satunya
adalah strabismus yaitu kondisi dimana kedua mata tampak tidak searah
atau memandang pada dua titik yang berbeda dan dapat disebabkan oleh
ketidak seimbangan tarikan otot yang mengendalikan pergerakan mata akibat
gangguan persarafan otot bola mata. Keadaan ini banyak dijumpai dalam
masyarakat. Secara umum, ada beberapa kelainan pada Nervus III, IV, dan
VI diantaranya yaitu :
a. Strabismus

Kedudukan

bola

mata

menyimpang

ke

nasal

(s.konvergen) karena gangguan N.VI atau temporal (s.divergen)


karena gangguan pada N.III. dapat juga ditemukan diplopia serta
kelumpuhan otot bola mata.
b. Oftalmoplegia : Kelumpuhan gerakan bolamata disebut oftalmoplegia
eksternus; kelumpuhan pada m.konstriktor pupil oft.internus.
c. Ptosis karena kelumpuhan otot levator palpebra kelopak mata atas
tidak dpt diangkat sehingga tampak menutupi kornea (ggn N.III).
d. Nistagmus : Gerakan bola mata bolak-balik secara involunter.
e. Deviasi konyugat : Kedua bola mata melirik ke salah satu sisi.
f. Sindrom Weber : Paralisis otot yg dipersarafi N.III ipsilateral disertai
hemiplegia kontralateral.
g. Sindrom Benedict : Gangguan N.III ipsilateral disertai ataksia dan
tremor ekstermitas atas kontralateral.

h. Sindroma Foville : Paralisis gerakan bola mata ke arah ipsilateral lesi


(N.VI),disertai lesi Nn.V,VII,VIII ipsilateral sindroma Horner ipsilateral
(tdk selalu komplit).
i. Sindroma Raymond-Cestan : Ganguan Nn.VI, VII LMN ipsilateral
disertai hemiplegi kontralateral disebut juga hemiplegia alternans N.VI.

BAB II

ANATOMI DAN FISIOLOGI

Gambar 1. Innervasi Otot pergerakan Bola Mata.

Otot pergerakan bola mata terdiri dari beberapa macam otot.


Diantaranya adalah Rectus Superior, Rectus Medial, Rectus Inferior, Rectus
Lateral, Oblique Superior dan Oblique Inferior. Otot otot tersebut diinervasi
oleh tiga macam saraf nervus cranialis yaitu Nervus Oculomotor ( III ), Nervus
trochlearis

( IV ), dan Nervus Abducent ( VI ). Nervus Oculomotor

menginervasi otot Rectus Superior, Rectus Medial, Rectus Inferior dan


Oblique Inferior. Sedangkan Nervus Trochlear menginervasi otot Oblique
Superior dan Nervus Abdusens menginervasi Otot Rectus Lateral.

Gambar 2. Nervus Kranialis dan Fungsinya

Seperti yang tampak pada gambar diatas, Nervus Oculomotor


menginervasi otot pergerakan bola mata ( Rectus Superior, Rectus Medial,
Rectus Inferior dan Oblique Inferior ). Selain otot pergerakan, Nervus
Okulomotor juga menginervasi m. Sphincter Pupillae untuk miosis pupil dan
m. levator Palpebra untuk mengangkat kelopak mata. Nervus Trochlear

menginervasi otot Oblique Superior dan Nervus Abdusens menginervasi Otot


Rectus Lateral.

Gambar 3. Skema Nervus Okulomotor, trochlearis dan Abdusent

BAB III
KELAINAN, PENYEBAB DAN GEJALA KLINIS
GANGGUAN NERVUS III, IV DAN VI

1. Gangguan Nervus Okulomotorius


Kelainan berupa paralisis nervus okulomatorius menyebabkan bola
mata tidak bisa bergerak ke medial, ke atas dan lateral, kebawah dan
keluar. Juga mengakibatkan gangguan fungsi parasimpatis untuk kontriksi
pupil dan akomodasi, sehingga reaksi pupil akan berubah. N. III juga
menpersarafi otot kelopak mata untuk membuka mata, sehingga kalau
lumpuh, kelopak mata akan jatuh ( ptosis) Kelumpuhan okulomotorius
lengkap memberikan sindrom di bawah ini:
a. Ptosis, disebabkan oleh paralisis otot levator palpebra dan tidak
adanya perlawanan dari kerja otot orbikularis okuli yang dipersarafi
oleh saraf fasialis.
b. Fiksasi posisi mata, dengan pupil ke arah bawah dan lateral, karena
tak adanya perlawanan dari kerja otot rektus lateral dan oblikus
superior.
c. Pupil yang melebar, tak bereaksi terhadap cahaya dan akomodasi.Jika
seluruh otot mengalami paralisis secara akut, kerusakan biasanya
terjadi di perifer, paralisis otot tunggal menandakan bahwa kerusakan
melibatkan nukleus okulomotorius. Penyebab kerusakan diperifer
meliputi;
a. Lesi kompresif seperti tumor serebri, meningitis basalis, karsinoma
nasofaring dan lesiorbital.
b. Infark seperti pada arteritis dan diabetes.

10

Gejala klinis dari gangguan nervus III yaitu :


a. Deviasi divergen atau temporal (eksotropia) yang horizontal dapat
terjadi karena kelemahan otot rektus medialis. Deviasi vertikal dapat
terjadi akibat kelemahan otot rektus superior, otot oblikus inferior, dan
otot rektus inferior.
b. Penglihatan diplopia campuran horizontal dan vertikal daripada deviasi
dua bidang penglihatan.
c. Terjadinya ptosis karena gangguan pada m.levator palpebra pada
bagian mata yang mengalami gangguan.
d. Dilatasi pupil (midriasis) dapat terjadi akibat gangguan pada m.sfingter
pupillare yang melibatkan serabut saraf parasimpatetik yang berasal
daripada subnukleus Edinger-Westphal.
e. Nyeri hebat pada mata yang terlibat
f. Nyeri kepala hebat
g. Gejala-gejala neurologik tergantung lokasi lesi:
Bagian otak tengah fasikularis (fascicular midbrain portion) :
sindrom Benedict menyebabkan gambaran klinis seperti tremor
tangan ipsilateral (tremor rubral daripada nucleus rubber), dan
ataksia. Selain itu, sindrom Weber yang terjadi pada lesi di area
ventral dari batang otak tengah fasikularis menyebabkan

kontralateral hemiplegia atau kontralateral hemiparese.


Bagian subarakhnoid fasikularis (fascicular subarachnoid
portion) : penyebab terbanyak lesi di bagian ini adalah
aneurisma, gejala dan tanda-tanda perdarahan subarakhnoid
termasuk nyeri kepala hebat yang tiba-tiba atau mendadak,
kaku pada leher, dan penurunan kesadaran dapat terjadi. Selain
daripada itu, infeksi meningeal basalis, infiltrat neoplasma, dan
pelbagai gangguan akibat inflamasi dapat memberi dampak

11

kepada nervus III ini. Gejala utama daripada meningitis sering


timbul seperti nyeri kepala, kaku pada leher,demam, dan dapat
terjadinya gangguan kesadaran.
2. Gangguan Nervus Trokhlearis
Kelainan berupa paralisis nervus troklearis menyebabkan bola
mata tidak bisa bergerak kebawah dan ke medial. Ketika pasien melihat
lurus kedepan atas, sumbu dari mata yang sakit lebih tinggi daripada
mata yang lain. Jika pasien melihat kebawah dan ke medial, mata
berotasi diplopia terjadi pada setiap arah tatapan kecuali paralisis yang
terbatas pada saraf troklearis jarang terjadi dan sering disebabkan oleh
trauma, biasanya karena jatuh pada dahi atu verteks.
Penyebab terbanyak gangguan nervus IV adalah trauma kapitis.
Umumnya trauma kapitis ini melibatkan trauma kapitis yang hebat dan
disertai oleh kesadaran menurun. Selain itu, penyakit mikro vaskulopati
yang disebabkan oleh penyakit diabetes, aterosklerosis, atau hipertensi
dapat menyebabkan gangguan N.IV. Adanya tumor, aneurisma, multipel
sclerosis, atau cedera iatrogenik dapat menyebabkan gangguan N.IV
yang juga disertai dengan gangguan pada nervus kranialis yang lain.
Selain itu, pembedahan mata akibat katarak dapat menyebabkan
gangguan N.IV. Di samping itu juga, kelainan atau gangguan pada N.IV
dapat disebabkan oleh kelainan congenital. Pasien dengan penyakit
congenital ini mempunyai tendon atau otot oblikus superior yang
abnormal sejak dari lahir.
Gejala klinis dari gangguan nervus IV yaitu :

12

a. Diplopia vertikal, torsio, atau oblikus. Gejala diplopia ini bertambah


buruk apabila melihat ke bawah dan kontralateral daripada otot yang
terlibat dengan gangguan tersebut.
b. Pasien sering membuat head tilt (posisi kepala yang miring)
berlawanan daripada sisi yang mengalami gangguan tersebut untuk
mengurangi diplopia yang dialaminya.
3. Gangguan Nervus Abdusen
Kelainan pada paralisis nervus abdusens menyebabkan bola mata
tidak bisa bergerak ke lateral, ketika pasien melihat lurus ke atas, mata
yang sakit teradduksi dan tidak dapat digerakkan ke lateral, ketika pasien
melihat ke arah nasal, mata yang paralisis bergerak kemedial dan ke atas
karena predominannya otot oblikus inferior.Jika ketiga saraf motorik dari
satu mata semuanya terganggu, mata tampak melihat lurus keatas dan
tidak dapat digerakkan kesegala arah dan pupil melebar serta tidak
bereaksi terhadap cahaya (oftalmoplegia totalis). Paralisis bilateral dari
otot-otot mata biasanya akibat kerusakan nuklear. Penyebab paling sering
dari paralisis nukleus adalah encephalitis, neurosifilis, mutiple sklerosis,
perdarahan dan tumor.Penyebab yang paling sering dari kelumpuhan
otot-otot mata perifer adalah meningitis, sinusistis, trombosis sinus
kavernosus, aneurisma arteri karotis interva atau arteri komunikantes
posterior, fraktur basis carnii.
Penyebab gangguan N.VI dibagi beberapa bagian tergantung
lokalisasinya yaitu gangguan pada nukleusnya dapat disebabkan oleh
kongenital yaitu Mobius sindrom., adanya tumor, infark atau sindrom
Wernicke-Korsakoff. Selain itu, pada fasikular dapat terjadi demielinasi,
infark atau tumor sehingga memberikan gangguan pada N.VI. Di samping
itu,

pada

subarakhnoid,

dapat

terjadi

meningitis,

perdarahan

13

subarakhnoid, post-infeksi, tumor Clivus, trauma, kompresi aneurisma


atau pembuluh ekstatik dan sarkoidosis.
Selain itu, pada os petrosa, terjadinya infeksi tulang mastoid atau
tulang petrosa, fraktur tulang petrosa, aneurisma, trombosis pada sinus
petrosa

inferior,

dislokasi

batang

otak ke

bawah

oleh

massa

supratentorial, dapat juga disebabkan oleh pungsi lumbar, anestesia


epidural, schwannoma trigeminal dapat menyebabkan gangguan N.VI.
Pada sinus kavernosus dan fissura orbitalis superior, dapat terjadi
aneurisma, tumor (misalnya meningioma, karsinoma nasofaringeal,
pituitary adenoma), fistula karotid-kavernosus, trombosis, malformasi dura
arterio-vena, sindroma Tolosa Hunt, Herpes Zoster dan sinusitis dapat
juga menyebabkan gangguan pada N.VI. Selain itu, pada orbital
didapatkan adanya tumor,infark (biasanya ada pengaruh hipertensi atau
diabetes) dan migren dapat menyebabkan manifestasi klinis pada
gangguan N.VI.
Gajala Klinis dari gangguan Nervis VI yaitu :
a. Posisi bola mata di sisi yang lumpuh berada di medial karena
gangguan pada ototrektus lateralis (eksternus).
b. Esotropia.
c. Penglihatan diplopia horizontal.
d. Posisi kepala cenderung miring ke otot yang lumpuh bertujuan
mengimbangi diplopia.

BAB IV
DIAGNOSIS DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG

14

Pemeriksaan Fisis Pergerakan Bola Mata


1. Inspeksi
Bola mata diperhatikan apakah ada ptosis, pupil, reaksi cahaya pupil,
refleks akomodasi, eksophthalmus atan enopthalmus dan kedudukan
bola mata.
a. Ptosis
Pada keadaan normal bila seseorang melihat ke depan maka batas
kelopak mata atas akan memotong iris pada titik yang sama secara
bilateral. Ptosis dicurigai bila salah satu kelopak mata memotong
iris lebih rendah dari pada mata yang lain, atau bila pasien
mendongakkan kepal ke belakang / ke atas (untuk kompensasi)
secara kronik atau mengangkat alis mata secara kronik pula.
b. Gerakan bola mata.
Pasien diminta untuk melihat dan mengikuti gerakan jari atau
ballpoint ke arah medial, atas, dan bawah, sekligus ditanyakan
adanya penglihatan ganda (diplopia) dan dilihat ada tidaknya
nistagmus. Sebelum pemeriksaan gerakan bola mata (pada
keadaan diam) sudah dilihat adanya strabismus (juling) dan deviasi
c.

conjugate ke satu sisi.


Pupil
Pemeriksaan pupil meliputi:
Bentuk dan ukuran pupil
Perbandingan pupil kanan dan kiri
Perbedaan : pupil sebesar 1mm masih dianggap normal
Refleks pupil Meliputi pemeriksaan :
Refleks cahaya langsung (bersama N. II)
Refleks cahaya tidak alngsung (bersama N. II)
Refleks pupil akomodatif atau konvergensi
Bila seseorang melihat benda didekat mata (melihat hidungnya

sendiri) kedua otot rektus medialis akan berkontraksi. Gerakan kedua

15

mata ini disebut konvergensi. Bersamaan dengan gerakan bola mata


tersebut maka kedua pupil akan mengecil (otot siliaris berkontraksi)
(Tejuwono)

atau

pasien

disuruh

memandang

jauh

dan

disuruh

memfokuskan matanya pada suatu objek diletakkan pada jarak 15 cm


didepan mata pasien dalam keadaan normal terdapat konstriksi pada
kedua pupil yang disebut reflek akomodasi. Kelumpuhan nervus III dapat
menyebabkan terjadinya ptosis, yaitu kelopak mata jatuh, mata tertutup
dan tidak dapat dibuka. Hal ini disebabkan oleh kelumpuhan m. levator
palpebrae superior.
Ukuran pupil; bentuk pupil, apakah isokor atau anisokor, bundar
dan rata tepinya; dan apakah ada lubang pada irisnya atau benda asing
dalam bilik mata depannya.
Reaksi cahaya pupil terdiri dari refleks cahaya konsensual dan
non-konsensual. Pada pemeriksaan ini pasien diminta memfiksasi pada
benda jauh, setelah itu cahaya disenter dan dilihat apakah ada
reaksi pada pupil. Pada normalnya pupil miosis. Refleks akomodasi
dilakukan dengan meminta pasien melihat jauh kemudian melihat benda
yang ditempatkan dekat matanya. Pada normalnya, pupil akan mengecil.
Pada kelumpuhan nervus III refleknya negatif. Posisi bola mata
diperhatikan, apakah ia berada ditengah atau adanya deviasi ke satu
arah.

2. Pemeriksaan pergerakan bola mata


a. Cover Test
Pada pemeriksaan ini pasien melihat mata kanan pemeriksa
dengan kedua-dua matanya.Kemudian dengan cepat mata kiri
pasien

ditutup

dan

mata

kanannya

diperhatikan,

apakah

16

ada pergerakan dari mata kanan untuk mengkoreksi posisinya.


Pada strabismus latent terdapatkoreksi posisi pada mata.
b. Tes pergerakan mata pursuit
Pada pemeriksaan ini pasien disuruh mengikuti jari-jari
pemeriksa yang digerakkan ke arah lateral, medial atas, bawah
dan ke arah yang miring, yaitu: atas-lateral, bawah medial, ataslateral dan bawah lateral. Mata pasien tetap diperhatikan, apakah
kedua-dua mata pasien bergerak bersamaan dan lancar atau
adanya diplopia. Pada pasien dengan palsy nervus III mata yang
lumpuh akan deviasi ke lateral-bawah. Pasien dengan palsy nervus
IV tidak bisa melihat ke medial-bawah. Pasien dengan palsy nervus
VI tidak bisa melihat ke lateral.
Pemeriksaan Nervus III dan VI
Pada pemeriksaan nervus III kiri pasien diminta melihat ke arah kanan
dan kemudian ke kanan atas (medial atas). Untuk pemeriksaan nervus
VI kiri pasien diminta melihat ke arahkiri. Apabila terdapat gangguan
pada nervus VI kiri, mata kiri pasien tidak bisa melihat kekiri.
Pemeriksaan ini diulang pada mata kanan
Pemeriksaan Nervus IV
Pada pemeriksaan nervus IV kiri, pasien diminta melihat ke arah
kanan bawah. Apabila terdapat gangguan pada nervus IV kiri, maka
mata kiri pasien tidak bisa melihat ke arah itumalah akan terjadinya
diplopia

17

Gam
bar 4 : Tes pergerakan mata

Gamabr 5 : Kelumpuhan pada nervus III

18

Gambar 6 : Kelumpuhan pada nervus IV

G
ambar 7 : Kelumpuhan pada nervus VI

c. Tes refleks vestibulo-okular (dolls eye manouver)

19

Tes ini dilakukan pada pasien yang pergerakkan bola matanya .


Pasien disuruh melihat jauh, kemudian kepalanya digerak ke kiri,
ke kanan, ke atas dan ke bawah. Apabila mata pasien bergerak
dalam batas orbit mata dan ke arah yang berlawanan berarti
lesinya berada di supranucleus. Kalau mata pasien tetap tidak
bergerak berarti lesinya berada di batang otak.

BAB V
PENATALAKSANAAN TERHADAP GANGGUAN PADA N.
III, IV DAN VI
1. Gangguan Nervus Okulomotorius
Pasien-pasien dengan gejala parese N.III, direkomendasikan langkahlangkah berikut :
I.

Semua pasien di bawah umur 40 tahun dengan gejala parese


N.III, diperiksa CT Scan dan cairan serebrospinalnya, dan

II.

angiografi serebral, tanpa memperhatikan keadaan pupil.


Semua pasien dengan gejala atau tanda perdarahan
subarakhnoid harus diperiksa CT Scan, pemeriksaan CSF, dan

III.

angiografi.
Kelompok pasien seleksi dengan kelompok vaskulopati (lebih
dari 50 tahun) dengan gejala pupillary sparing parese N.III akan

20

diobservasi setiap hari selama 5 sampai 7 hari, kemudian setiap


IV.

bulan selama 6 bulan.


Semua pasien berumur lebih dari 40 tahun dengan gejala non
pupillary N.III palsy harus diperiksa CT Scan, pemeriksaan BSE

V.

dan angiografi serebral.


Bila ditemukan aberrant regeneration maka evaluasi terhadap
adanya suatu lesi massa harus dimulai, aberrant regeneration
ini adalah sebagai tanda dari lesi kompresif terkecuali pada

VI.

kasus-kasus trauma kepala mayor.


Trauma minor bukan penyebab parese N.III. penyebab lain
harus dicari untuk evaluasi diagnostiknya.

Pada umumnya, pasien dengan gangguan N.III ini, terasa nyeri pada
bagian mata yang mengalami gangguan nervus ini. Maka, pengobatan yang
diberikan adalah bertujuan untuk mengurangkan rasa nyeri dan diplopia.
Pengobatan dengan NSAIDs

(Nonsteroidal anti-inflammatory drugs)

merupakan pilihan yang utama untuk mengurangi rasa nyeri pada


mata pasien ini. Untuk pasien yang mempunyai gejala diplopia yang hebat,
disarankan menutupi mata tersebut untuk sementara waktu jika pasien ini
mempunyai gejala diplopia yang ringan, disarankan menggunakan prisma
vertikal atau horizontal untuk mengembalikan posisi mata. Selain itu juga,
pembedahan juga dapat dilakukan yaitu pembedahan pengangkatan
palpebra jika

adanya

ptosis

yang

persisten

sehingga

mengganggu

penglihatan pasien. Dianjurkan untuk pasien yang mempunyai ptosis dan


mempunyai penglihatan diplopia untuk tidak naik tempat-tempat yang tinggi
misalnya gunung, memandu kendaraan, atau mengoperasika nmesin-mesin
yang berat demi keselamatan dan kesejahteraan pasien.
2. Gangguan Nervus Troklearis

21

Pasien yang mengalami deviasi dan diplopia yang sedikit disarankan


menggunakan prisma. Selain itu, Botulinum toksin dapat digunakan sebagai
terapi pada pasien yang mengalami gangguan N.IV ini. Botulinum toksin
merupakan agen neuromuskular yang akan bereaksi pada presinaptik untuk
memblokir pelepasan neurotransmiter dan menyebabkan kelemahan otot.
Walaupun, terapi pertama menggunakan Botulinum toksin ini kurang
memberikan

kesan,

namun

penggunaannya

adalah

terbaik

untuk

memperbaiki deviasi yang masih ada setelah pembedahan strabismus.Pada


tahun 1970-an, Knapa memperkenalkan metode pembedahan untuk
gangguan pada otot oblikus superior. Untuk deviasi yang kurang daripada 15
diopter prisma, pembedahan pada satu otot dapat dilakukan dengan cara jika
tidak terdapat overaction tarikan otot oblikus inferior yang berlebihan, maka
otot

oblikus

inferior dilemahkan

dengan

cara

miektomi

(myectomy).

Walaupun, jika deviasi adalah lebih daripada 15 diopter prisma, pembedahan


yang melibatkan 2-3 otot akan dilakukan. Dua otot yang perlu dibedah
termasuk melemahkan otot oblikus inferior ipsilateral, begitu juga dengan otot
rektus superior ipsilateral, otot oblikus superior, atau otot rektus inferior
kontralateral.
3. Gangguan Nervus Abdusen
Penggunaan prisma Fresnel dapat mengurangi penglihatan diplopia
pada setengah pasien. Prisma ini dilekatkan pada kacamata yang dipakai
pasien dengan harapan, terjadinya kompensasi mata yang mengalami
gangguan tersebut. Selain itu juga, mata yang satu dapat ditutup untuk
sementara waktu untuk mengurangi penglihatan diplopia tersebut. Namun,
penutupan mata yang satu tidak disarankan untuk bayi dan anak karena ia
dapat memberikan resiko yaitu merangsang stimulus terjadinya ambliopia.
Selain itu, pada tahap awal, pasien dapat diberikan injeksi Botulinum toksin
pada sisi ipsilateral otot rektus medialis. Botulinum toksin ini bertujuan
22

mencegah kontraksi otot rektus medialis. Penggunaan prisma dan Botulinum


toksin ini adalah penatalaksanaan awal sementara dilakukan observasi
terhadap pasien selama 9 sampai 12 bulan. Setelah 9 sampai 12 bulan
observasi, maka ditentukan pula terapi selanjutnya konservatif maupun
pembedahan. Jika
kondisi pasien tidak sesuai untuk dilakukan pembedahan, maka disarankan
pasien untuk tetap memakai prisma. Selain itu juga, penutupan (oklusi) mata
secara permanent juga disarankan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Lumbantobing SM. Saraf Otak. In: Neurologik Klinik Pemeriksaan Fisik


dan Mental. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Jakarta; 2007;
p 21-86.
2. Fuller G. Cranial nerves III, IV, VI: Eye movements. In:Neurologic
Examination Made Easy 3rd Edition. Churchill Livingstone; London;
2004; p 81-92.
3. Victor M, Ropper A H. Disorders of Ocular Movement and Pupillary
Function. In: Adams and Victors Manual of Neurology. 7th Edition.
McGraw Hill; United States of America; 2002; p 112-25.
4. Ilyas, Sidarta. Anatomi dan Fisiologi Mata. In:Ilmu Penyakit Mata.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Jakarta; 2006; p 1-13.
5. Mardjono, Mahar. Saraf Otak dan Patologinya. In: Neurologi Klinis
Dasar.Dian Rakyat; Jakarta; p 126-149.
6. Sobotta. EGC. Jakarta. 2000.356-365.

23

7. James Goodwin, MD.Oculomotor Nerve Palsy. on line 2006 (2008/10/18),


hal: 1-17, available from URL: http:
www.emedicine.com/oph/topic183.html.
8. Zafar A Sheik, MD. Trochlear Nerve Palsy.on line 2006 (2008/10/18),
hal: 1-10, available from URL: http: www.emedicine.com/oph/topic
697.html.
9. 9.NN.Sixth nerve palsy. On line 2008 (2008/10/19), hal: 1-4, available
from URL:http://en.wikipedia.org/wiki/Sixth_nerve_palsy
10. Nilgun Sahin Celik, MD. Abducens Nerve Palsy As a Complication of
Spinal Anesthesia Following Knee Arthroscopy. On line 1996 to 2008
(2008/10/18),hal: 1-3, available from
URL:http://www.ispub.com/ostia/index.php?
xmlFilePath=journals/ija/vol13n2/palsy.xml.
11. A.Baharudin. A Rare Isolated Bilateral Abducens Nerve Palsy In
Nasopharyngeal Carcinoma (NPC). On line 1996 to 2008
(2008/10/18),hal: 1-4, available from URL :
http://www.ispub.com/ostia/index.php?
xmlFilePath=journals/ijhns/vol1n1/nerve.xm
12. Paramjeet Singh, MD. An Isolated Abducens Nerve Palsy Disclosing
Pachymeningitis Secondary To Sphenoid Sinusitis. On line 1996 to 2008
(2008/10/18),hal: 1-5, available from URL:
http://www.ispub.com/ostia/index.php?
xmlFilePath=journals/ijorl/vol3n2/abducens.xml
13. Dr. Iskandar Japardi. Nervus III(N.Okulomotorius). On line 2002
(2008/10/17), hal:1-5, available from
URL:http://library.usu.ac.id/download/fk/bedahiskandar
%20japardi26.pdf.
14. Chandra B. Pandangan Umum Mengenai Koma. In: Kapita Selekta
Neurologi. 1st Edition. Gadjah Mada University Press; Yogyakarta;
2005; p 43-66.

24

15. Bickley L S. The Head and Neck. In: Bates Guide to Physical
Examination and HistoryTaking. 9Th Edition. Lippincott Williams &
Wilkins; Philadelphia; 2007; p 153-240.

25

Anda mungkin juga menyukai