Anda di halaman 1dari 11

Pemeriksaan nervi okularis (N III, IV, VI)

Nervus okularis terdiri dari dua komponen dengan fungsi yang berbeda,
yaitu
- Motor

somatik,

menginervasi

empat

dari

enam

otot-otot

ekstraokular dan muskulus levator palpebra superior. Komponen ini


berfungsi mengontrol kontraksi otot ekstraokular dalam melihat dan
-

fiksasi objek penglihatan.


Motor visceral, memberikan inervasi parasimpatis pada muskulus
konstriktor

pupil

dan

muskulus

siliaris.

Komponen

ini

bertanggungjawab dalam refleks akomodasi pupil sebagai respon


terhadap cahaya.
Pemeriksaan nervi okularis meliputi tiga hal, yaitu
1. Pemeriksaan gerakan bola mata
2. Pemeriksaan kelopak mata
3. Pemeriksaan pupil
Kelainan, Penyebab dan Gejala Klinis gangguan Nervus III, IV dan
VI
1.

Gangguan Nervus Okulomotorius


Kelainan berupa paralisis nervus okulomotorius menyebabkan bola

mata tidak bisa bergerak ke medial, ke atas dan lateral, kebawah dan
keluar. Hal ini mengakibatkan gangguan fungsi parasimpatis untuk
kontriksi pupil dan akomodasi, sehingga reaksi pupil akan berubah. N.
III juga menpersarafi otot kelopak mata untuk membuka mata, sehingga
kalau terjadi kelumpuhan, kelopak mata akan jatuh (ptosis) Kelumpuhan
okulomotorius lengkap memberikan sindrom di bawah ini:
a. Ptosis, disebabkan oleh paralisis otot levator palpebra dan tidak adanya
perlawanan dari kerja otot orbikularis okuli yang dipersarafi oleh saraf
fasialis.
b. Fiksasi posisi mata, dengan pupil ke arah bawah dan lateral, karena tak
adanya perlawanan dari kerja otot rektus lateral dan oblikus superior.
c. Pupil yang melebar, tak bereaksi terhadap cahaya dan akomodasi. Jika
seluruh

otot

mengalami

paralisis

secara

akut,

kerusakan biasanya

terjadi di perifer, paralisis otot tunggal menandakan bahwa kerusakan


melibatkan nukleus okulomotorius.
Penyebab kerusakan diperifer meliputi;

a). Lesi kompresif seperti tumor serebri, meningitis basalis, karsinoma


nasofaring dan lesi orbital.
b). Infark seperti pada arteritis dan diabetes.
Gangguan pada nervus III ( nervus okulomotorius ) dapat dibagi atas 5
bagian yaitu:
1)bagian nucleus,

dapat

disebabkan

oleh

(perdarahan), neoplasma (tumor) dan abses.


2)bagian otak tengah fasikularis (fascicular

infark,

haemorragik

midbrain

portion)

dapat disebabkan oleh infark, haemorragik (perdarahan), neoplasma


(tumor) dan abses.
3)bagian subarakhnoid fasikularis (fascicular subarachnoid portion) dapat
disebabkan oleh aneurisma, infeksi meningitis (bakteri, jamur/parasit,
virus), infiltrasi meningeal dan karsinoma/limfoma/infiltrasi leukemia,
inflamasi granulomatosa (sarkoidosis, granulomatosis limfomatoideus,
granulomatosis Wegener).
4)bagian sinus kavernosus fasikularis (fascicular cavernous sinus portion)
diakibatkan oleh adanya tumor (pituitari adenoma, meningioma,
kraniofaringioma,

karsinoma

metastatic),

gangguan

vaskularisasi,

aneurisma intrakavernosus besar (giant intracavernous aneurysm),


fistula arteri karotid-sinus kavernosus, fistula cabang dura karotid-sinus
kavernosus, trombosis sinus kavernosus, iskemia pada mikrovaskuler
dalam vasa nervosa dan inflamasi-sindrom Tolosa-Hunt (idiopatik atau
inflamasi granulomatosa).
5)bagian orbital fasikularis (fascicular orbital portion) dapat disebabkan
oleh inflamasi (pseudotumor inflamasi orbital, miositis orbital) ,
endokrin

(tiroid

orbitopati)

dan

tumor

(misalnya

hemangioma,

limfangioma, meningioma).
Gejala klinis dari gangguan nervus III yaitu :
a. Deviasi divergen atau temporal (eksotropia) yang horizontal dapat
terjadi karena kelemahan otot rektus medialis. Deviasi vertikal dapat
terjadi akibat kelemahan otot rektus superior, otot oblikus inferior, dan
otot rektus inferior.
b. Penglihatan diplopia campuran horizontal dan vertikal daripada deviasi
dua bidang penglihatan.

c. Terjadinya ptosis karena gangguan pada m. levator palpebra pada


bagian mata yang mengalami gangguan.
d. Dilatasi pupil (midriasis) dapat terjadi akibat gangguan pada m. sfingter
pupillare yang melibatkan serabut saraf parasimpatetik yang berasal
daripada subnukleus Edinger-Westphal.
e. Nyeri hebat pada mata yang terlibat
f. Nyeri kepala hebat
g. Gejala-gejala neurologik tergantung lokasi lesi:

Bagian otak tengah fasikularis (fascicular midbrain portion) :


sindrom Benedikt menyebabkan gambaran klinis seperti tremor
tangan ipsilateral (tremor rubral daripada nucleus rubber), dan
ataksia. Selain itu, sindrom Weber yang terjadi pada lesi di area
ventral

dari

batang

otak

tengah

fasikularis

menyebabkan

kontralateral hemiplegia atau kontralateral hemiparese.


Bagian subarakhnoid fasikularis (fascicular subarachnoid portion) :
penyebab terbanyak lesi di bagian ini adalah aneurisma, gejala dan
tanda-tanda perdarahan subarakhnoid terhasil termasuk nyeri
kepala hebat yang tiba-tiba atau mendadak, kaku pada leher, dan
penurunan kesadaran dapat terjadi. Selain daripada itu, infeksi
meningeal basalis, infiltrat neoplasma, dan berbagai gangguan

akibat inflamasi dapat memberi dampak kepada nervus III ini.


Gejala utama daripada meningitis sering timbul seperti nyeri kepala,
kaku

pada

leher,

demam,

dan

dapat

terjadinya

gangguan

kesadaran.
2. Gangguan Nervus Trokhlearis
Kelainan berupa paralisis nervus troklearis menyebabkan bola mata
tidak bisa bergerak ke bawah dan ke medial. Ketika pasien melihat lurus
kedepan atas, sumbu dari mata yang sakit lebih tinggi daripada mata
yang lain. Jika pasien melihat ke bawah dan ke medial, mata berotasi
dipopia terjadi pada setiap arah tatapan kecuali paralisis yang terbatas
pada saraf troklearis jarang terjadi dan sering disebabkan oleh trauma,
biasanya karena jatuh pada dahi atau verteks
Penyebab terbanyak gangguan nervus IV adalah trauma kapitis.
Umumnya trauma kapitis ini melibatkan trauma kapitis yang hebat dan
disertai oleh kesadaran menurun. Selain itu, penyakit mikrovaskulopati

yang disebabkan oleh penyakit diabetes, aterosklerosis, atau hipertensi


dapat menyebabkan gangguan N.IV. Adanya tumor, aneurisma, multipel
sclerosis, atau cedera iatrogenik dapat menyebabkan gangguan N.IV yang
juga disertai dengan gangguan pada nervus kranialis yang lain. Selain itu,
pembedahan mata akibat katarak dapat menyebabkan gangguan N.IV ini.
Di samping itu juga, kelainan atau gangguan pada N.IV dapat
disebabkan oleh kelainan kongenital. Pasien dengan penyakit kongenital
ini mempunyai tendon atau otot oblikus superior yang abnormal sejak dari
lahir.
Gejala klinis dari gangguan nervus IV yaitu :
a. Diplopia vertikal, torsio, atau oblikus. Gejala diplopia ini bertambah
buruk apabila melihat ke bawah dan kontralateral daripada otot yang
terlibat dengan gangguan tersebut.
b. Pasien sering membuat head tilt ( posisi kepala yang miring )
berlawanan daripada sisi yang mengalami gangguan tersebut untuk
mengurangi diplopia yang dialaminya.

3. Gangguan Nervus Abdusen


Kelainan pada paralisis nervus abdusens menyebabkan bola mata
tidak bisa bergerak ke lateral, ketika pasien melihat lurus ke atas, mata
yang sakit teradduksi dan tidak dapat digerakkan ke lateral, ketika pasien
melihat ke arah nasal, mata yang paralisis bergerak ke medial dan ke atas
karena predominannya otot oblikus inferior. Jika ketiga saraf motorik dari
satu mata semuanya terganggu, mata tampak melihat lurus keatas dan
tidak dapat digerakkan ke segala arah dan pupil melebar serta tidak
bereaksi terhadap cahaya (oftalmoplegia totalis). Paralisis bilateral dari
otot-otot mata biasanya akibat kerusakan nuklear.
sering

dari

paralisis

nukleus

Penyebab

paling

adalah ensefelaitis, neurosifilis, mutiple

sklerosis, perdarahan dan tumor. Penyebab yang paling sering dari


kelumpuhan otot-otot mata perifer adalah meningitis, sinusistis, trombosis
sinus

kavernosus,

anevrisma

arteri

komunikantes posterior, fraktur basis.

karotis

interva

atau

arteri

Penyebab gangguan N.VI dibagi beberapa bagian tergantung


lokalisasinya yaitu gangguan pada nukleusnya dapat disebabkan oleh
kongenital yaitu Mobius sindrom., adanya tumor, infark atau sindrom
Wernicke-Korsakoff.

Selain itu, pada fasikular dapat terjadi demielinasi,

infark atau tumor sehingga memberikan gangguan pada N.VI. Di samping


itu, pada

subarakhnoid,

dapat

terjadi

meningitis,

perdarahan

subarakhnoid, post-infeksi, tumor Clivus, trauma, kompresi aneurisma


atau pembuluh ekstatik dan sarkoidosis.
Selain itu, pada os petrosa, terjadinya infeksi tulang mastoid atau
tulang petrosa, fraktur tulang petrosa, aneurisma, trombosis pada sinus
petrosa

inferior,

dislokasi

batang

otak

ke

bawah

oleh

massa

supratentorial, dapat juga disebabkan oleh pungsi lumbar, anestesia


epidural, schwannoma trigeminal dapat menyebabkan gangguan N.VI.
Pada sinus kavernosus dan fissura orbitalis superior, dapat terjadi
aneurisma,

tumor

(misalnya

meningioma,

karsinoma

nasofaringeal,

pituitary adenoma), fistula karotid-kavernosus, trombosis, malformasi dura


arterio-vena, sindroma Tolosa Hunt, Herpes Zoster dan sinusitis dapat juga
menyebabkan gangguan pada N.VI. Selain itu, pada orbital didapatkan
adanya tumor, infark (biasanya ada pengaruh hipertensi atau diabetes)
dan migren dapat menyebabkan manifestasi klinis pada gangguan N.VI.

Gejala Klinis dari gangguan Nervis VI yaitu :


a. Posisi bola mata di sisi yang lumpuh berada di medial karena gangguan
pada otot rektus lateralis (eksternus).
b. Esotropia
c. Penglihatan diplopia horizontal
d. Posisi kepala cenderung miring ke otot yang lumpuh bertujuan
mengimbangi diplopia.
DIAGNOSIS DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Fisis Pergerakan Bola Mata
1. Inspeksi
Bola mata diperhatikan apakah ada ptosis, pupil, reaksi cahaya pupil,
refleks akomodasi, eksophthalmus atan enopthalmus dan kedudukan bola
mata.

a. Ptosis
Pada keadaan normal bila seseorang melihat ke depan maka batas
kelopak mata atas akan memotong iris pada titik yang sama secara
bilateral. Ptosis dicurigai bila salah satu kelopak mata memotong iris lebih
rendah dari pada mata yang lain, atau bila pasien mendongakkan
kepal ke belakang / ke atas (untuk kompensasi) secara kronik atau
mengangkat alis mata secara kronik pula.
b. Gerakan bola mata.
Pasien diminta untuk melihat dan mengikuti gerakan jari atau ballpoint
ke

arah

medial,

penglihatan

ganda

atas,

dan

(diplopia)

bawah,
dan

sekaligus

dilihat

ada

ditanyakan

adanya

tidaknya nistagmus.

Sebelum pemeriksaan gerakan bola mata (pada keadaan diam) sudah


dilihat adanya strabismus (juling) dan deviasi conjugate ke satu sisi.
c. Pupil
Pemeriksaan pupil meliputi :
-Bentuk dan ukuran pupil
-Perbandingan pupil kanan dan kiri
Perbedaan : pupil sebesar 1mm masih dianggap normal
-Refleks pupil
Meliputi pemeriksaan :
Refleks cahaya langsung (bersama N. II)
Refleks cahaya tidak langsung (bersama N. II)
Refleks pupil akomodatif atau konvergensi
Bila seseorang melihat benda didekat mata (melihat hidungnya sendiri)
kedua otot rektus medialis akan berkontraksi. Gerakan kedua mata ini
disebut konvergensi. Bersamaan dengan gerakan bola mata

tersebut

maka kedua pupil akan mengecil (otot siliaris berkontraksi) (Tejuwono)


atau pasien disuruh memandang jauh dan disuruh memfokuskan matanya
pada suatu objek diletakkan pada jarak

15 cm didepan mata pasien

dalam keadaan normal terdapat konstriksi pada kedua pupil yang disebut
reflek akomodasi. Kelumpuhan nervus III dapat menyebabkan terjadinya
ptosis, yaitu kelopak mata jatuh, mata tertutup dan tidak dapat dibuka.
Hal ini disebabkan oleh kelumpuhan m. levator palpebrae superior.
Ukuran pupil; bentuk pupil, apakah isokor atau anisokor, bundar dan
rata tepinya; dan apakah ada lubang pada irisnya atau benda asing dalam
bilik mata depannya. Reaksi cahaya pupil terdiri dari refleks cahaya
konsensual dan non-konsensual. Pada pemeriksaan ini pasien diminta

memfiksasi pada benda jauh, setelah itu cahaya disenter dan dilihat
apakah ada reaksi pada pupil. Pada normalnya pupil miosis. Refleks
akomodasi dilakukan dengan meminta pasien melihat jauh kemudian
melihat benda yang ditempatkan dekat matanya. Pada normalnya, pupil
akan mengecil. Pada kelumpuhan nervus III refleknya negatif.
Posisi bola mata diperhatikan, apakah ia berada ditengah atau
adanya deviasi ke satu arah.
2. Pemeriksaan pergerakan bola mata
2.1. Cover test
Pada pemeriksaan ini pasien melihat mata kanan pemeriksa dengan
kedua-dua matanya. Kemudian dengan cepat mata kiri pasien ditutup dan
mata kanannya diperhatikan, apakah ada pergerakan dari mata kanan
untuk mengkoreksi posisinya. Pada strabismus latent terdapat koreksi
posisi pada mata.
2.2. Tes pergerakan mata pursuit
Pada pemeriksaan ini pasien disuruh mengikuti jari-jari pemeriksa
yang digerakkan ke arah lateral, medial atas, bawah dan ke arah
yang miring, yaitu: atas-lateral, bawah medial, atas-lateral dan bawah lateral. Mata pasien
tetap diperhatikan, apakah kedua-dua mata pasien bergerak bersamaan dan lancar atau adanya
diplopia. Pada pasien dengan palsy nervus III mata yang lumpuh akan deviasi ke lateral-bawah.
Pasien dengan palsy nervus IV tidak bisa melihat ke medial-bawah. Pasien dengan palsy nervus
VI tidak bisa melihat ke lateral.
Pemeriksaan Nervus III dan VI
Pada pemeriksaan nervus III kiri pasien diminta melihat ke arah kanan dan kemudian
ke kanan atas (medial atas). Untuk pemeriksaan nervus VI kiri pasien diminta melihat ke arah
kiri. Apabila terdapat gangguan pada nervus VI kiri, mata kiri pasien tidak bisa melihat ke kiri.
Pemeriksaan ini diulang pada mata kanan
Pemeriksaan Nervus IV
Pada pemeriksaan nervus IV kiri, pasien diminta melihat ke arah kanan bawah. Apabila
terdapat gangguan pada nervus IV kiri, maka mata kiri pasien tidak bisa melihat ke arah itu
malah akan terjadinya diplopia
2.3. Tes refleks vestibulo-okular (dolls eye manoeuvre)
Pasien disuruh melihat jauh, kemudian kepalanya digerak ke kiri, ke kanan, ke atas dan
ke bawah. Apabila mata pasien bergerak dalam batas orbit mata dan ke arah yang berlawanan

berarti lesinya berada di supranucleus. Kalau mata pasien tetap tidak bergerak berarti lesinya
berada di batang otak.
3. Pemeriksaan penunjang yang lain.
MRI/MRA
MRI merupakan teknik imaging yang lebih sensitif dibanding CT scan dalam
mendeteksi lesi batang otak intraparenkim seperti infark, abses kecil atau tumor. MRI juga
merupakan prosedur yang dipilih untuk memperlihat inflamasi dan infiltrasi meningeal dan
duramater. Intensitas sinyal abnormal di bagian nervus III dalam intercavernosa dapat dilihat
pada kasus herpes zoster dengan palsi nervus III. MRI/MRA bisa memberi informasi yang lebih
spesifik dari CT scan dalam memperlihat aliran vaskuler dan bisa mendeteksi lesi di sinus
cavernosa termasuk aneurisma.
CT Scan
CT Scan lebih sensitif dari MRI dalam memperlihat pendarahan subarachnoid. CT scan juga
lebih bagus dari MRI dalam memperlihat kalsifikasi dalam lesi, seperti yang ditemukan pada
sesetengah tumor dan dalam aneurisma yang besar.
PENATALAKSANAAN TERHADAP GANGGUAN PADA N.III, IV &VI
1. Gangguan Nervus Okulomotorius
Pasien-pasien dengan gejala parese N.III, direkomendasikan langkahlangkah berikut:
Semua pasien di bawah umur 40 tahun dengan gejala parese N.III,
diperiksa CT Scan dan cairan serebrospinalnya, dan angiografi serebral,
tanpa memperhatikan keadaan pupil.
Semua pasien dengan gejala atau tanda perdarahan subarakhnoid
harus diperiksa CT Scan, pemeriksaan CSF, dan angiografi.
Kelompok pasien seleksi dengan kelompok vaskulopati (lebih dari 50
tahun) dengan gejala pupillary sparing parese N.III akan diobservasi
setiap hari selama 5 sampai 7 hari, kemudian setiap bulan selama 6
bulan.
Semua pasien berumur lebih dari 40 tahun dengan gejala nonpupillary
N.III palsy harus diperiksa CT Scan, pemeriksaan BSE dan angiografi
serebral.
Bila ditemukan aberrant regeneration maka evaluasi terhadap adanya
suatu lesi massa harus dimulai, aberrant regeneration ini adalah
sebagai tanda dari lesi kompresif terkecuali pada kasus-kasus trauma
kepala mayor.

Trauma minor bukan penyebab parese N.III. penyebab lain harus dicari
untuk evaluasi diagnostiknya.
Pada umumnya, pasien dengan gangguan N.III ini, terasa nyeri pada
bagian mata yang mengalami gangguan nervus ini. Maka, pengobatan
yang diberikan adalah bertujuan untuk mengurangkan rasa nyeri dan
diplopia. Pengobatan dengan NSAIDs (Nonsteroidal anti-inflammatory
drugs) merupakan pilihan yang utama untuk mengurangi rasa nyeri pada
mata pasien ini. Untuk pasien yang mempunyai gejala diplopia yang
hebat, disarankan menutupi mata tersebut untuk sementara waktu jika
pasien

ini

mempunyai

gejala

diplopia

yang

ringan,

disarankan

menggunakan prisma vertikal atau horizontal untuk mengembalikan posisi


mata.

Selain

itu

juga,

pembedahan

juga

dapat

dilakukan

yaitu

pembedahan pengangkatan palpebra jika adanya ptosis yang persisten


sehingga mengganggu penglihatan pasien. Dianjurkan untuk pasien yang
mempunyai ptosis dan mempunyai penglihatan diplopia untuk tidak naik
tempat-tempat yang tinggi misalnya gunung, memandu kendaraan ,atau
mengoperasikan

mesin-mesin

yang

berat

demi

keselamatan

dan

kesejahteraan pasien.
2. Gangguan Nervus Troklearis
Pasien yang mengalami deviasi dan diplopia yang sedikit disarankan
menggunakan prisma. Selain itu, Botulinum toksin dapat digunakan
sebagai terapi pada pasien yang mengalami gangguan N.IV ini. Botulinum
toksin

merupakan

presinaptik

untuk

agen

neuromuskular

memblokir

yang

pelepasan

akan

bereaksi

pada

neurotransmiter

dan

menyebabkan kelemahan otot. Walaupun, terapi pertama menggunakan


Botulinum toksin ini kurang memberikan kesan, namun penggunaannya
adalah terbaik untuk memperbaiki deviasi yang masih ada setelah
pembedahan strabismus.
3. Gangguan Nervus Abdusen
Penggunaan prisma Fresnel dapat mengurangi penglihatan diplopia
pada setengah pasien. Prisma ini dilekatkan pada kacamata yang dipakai
pasien dengan harapan, terjadinya kompensasi mata yang mengalami

gangguan tersebut. Selain itu juga, mata yang satu dapat ditutup untuk
sementara waktu untuk mengurangi penglihatan diplopia tersebut.
Namun, penutupan mata yang satu tidak disarankan untuk bayi dan anak
karena ia dapat memberikan resiko yaitu merangsang stimulus terjadinya
ambliopia.
Selain itu, pada tahap awal, pasien dapat diberikan injeksi
Botulinum toksin pada sisi ipsilateral otot rektus medialis. Botulinum
toksin ini bertujuan mencegah kontraksi otot rektus medialis.
Penggunaan
prisma
dan
Botulinum
toksin
ini

adalah

penatalaksanaan awal sementara dilakukan observasi terhadap pasien


selama 9 sampai 12 bulan. Setelah 9 sampai 12 bulan observasi, maka
ditentukan pula terapi selanjutnya konservatif maupun pembedahan. Jika
kondisi

pasien

tidak

disarankan pasien

sesuai

untuk

untuk

tetap

dilakukan

memakai

pembedahan,

prisma.

Selain

itu

maka
juga,

penutupan (oklusi) mata secara permanent juga disarankan.


DAFTAR PUSTAKA
1.Lumbantobing SM. Saraf Otak. In: Neurologik Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Jakarta; 2007; p 21-86.
2.Fuller G. Cranial nerves III, IV, VI: Eye movements. In:Neurologic Examination Made Easy.
3rd Edition. Churchill Livingstone; London; 2004; p 81-92.
3.Victor M, Ropper A H. Disorders of Ocular Movement and Pupillary Function. In: Adams
and Victors Manual of Neurology. 7th Edition. McGraw Hill; United States of America;
2002; p 112-25.
4.Ilyas, Sidarta. Anatomi dan Fisiologi Mata. In:Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; Jakarta;2006; p 1-13.
5.Mardjono, Mahar. Saraf Otak dan Patologinya. In: Neurologi Klinis Dasar.Dian Rakyat;
Jakarta; p 126-149.
6.Sobotta. EGC. Jakarta. 2000.356-365.
7.James Goodwin, MD. Oculomotor Nerve Palsy. on line 2006 (2008/10/18), hal: 1-17,
available from URL: http: www.emedicine.com/oph/topic183.html.
8.Zafar A Sheik, MD. Trochlear Nerve Palsy. on line 2006 (2008/10/18), hal: 1-10, available
from URL: http: www.emedicine.com/oph/topic 697.html.
9.NN. Sixth nerve palsy. On line 2008 (2008/10/19),

hal:

1-4,

available

from

URL:http://en.wikipedia.org/wiki/Sixth_nerve_palsy
10.Nilgun Sahin Celik, MD. Abducens Nerve Palsy As a Complication of Spinal Anesthesia

Following Knee Arthroscopy. On line 1996 to 2008 (2008/10/18),hal: 1-3, available from
URL:

http://www.ispub.com/ostia/index.php?xmlFilePath=journals/ija/vol13n2/palsy.xml
11.A.Baharudin. A Rare Isolated Bilateral Abducens Nerve Palsy In Nasopharyngeal

Carcinoma (NPC). On line 1996 to 2008 (2008/10/18),hal: 1-4, available from URL:
http://www.ispub.com/ostia/index.php?xmlFilePath=journals/ijhns/vol1n1/nerve.xml
12.Paramjeet Singh, MD. An Isolated Abducens Nerve Palsy Disclosing Pachymeningitis
Secondary To Sphenoid Sinusitis. On line 1996 to 2008 (2008/10/18),hal: 1-5, available
from URL:
http://www.ispub.com/ostia/index.php?xmlFilePath=journals/ijorl/vol3n2/abducens.xml
13. Dr. Iskandar Japardi. Nervus III(N.Okulomotorius). On line 2002
(2008/10/17), hal:
1-5, available from URL:
http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi26.pdf.
14.Chandra B. Pandangan Umum Mengenai Koma. In: Kapita Selekta
Neurologi. 1stEdition. Gadjah Mada University Press; Yogyakarta; 2005;
p 43-66.
15.Bickley L S. The Head and Neck. In: Bates Guide to Physical
Examination and History Taking. 9th Edition. Lippincott Williams &
Wilkins; Philadelphia; 2007; p 153-240.

Anda mungkin juga menyukai