Anda di halaman 1dari 22

PAPER

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN USU/ RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

NAMA : TOGU NAIPOSPOS


NIM
: 110100301

PAPER

OPHTHALMIA NEONATORUM

Disusun oleh:
TOGU NAIPOSPOS
NIM: 110100301

Supervisor:

dr. Aryani Atiyatul Amra, SpM(K)


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN
2016

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas rahmat dan karunia-Nya yang memberikan kesehatan dan ketersediaan waktu
bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Pada

kesempatan

ini,

penulis

mengucapkan

terimakasih

kepada

dr. Aryani Atiyatul Amra, SpM(K), selaku supervisor yang telah memberikan
arahan dalam penyelesaian makalah ini.
Makalah ini berjudul Ophthalmia Neonatorum dimana tujuan penulisan
makalah ini ialah untuk memberikan informasi mengenai berbagai hal yang
berhubungan dengan Ophthalmia Neonatorum. Dengan demikian diharapkan
karya tulis ini dapat memberikan kontribusi positif dalam proses pembelajaran
serta diharapkan mampu berkontribusi dalam sistem pelayanan kesehatan secara
optimal.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis dengan senang hati akan menerima segala bentuk kritikan yang
bersifat membangun dan saran-saran yang akhirnya dapat memberikan manfaat
bagi makalah ini. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Februari 2016

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ......................................................................................

DAFTAR ISI .................................................................................................... ii


BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................

1.1.Latar Belakang................................................................................

1.2.Tujuan Penulisan.............................................................................

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................

2.1.Konjungtiva ....................................................................................

2.1.1. Anatomi Konjungtiva.........................................................

2.1.2. Histologi Konjungtiva........................................................

2.2. Ophthalmia Neonatorum.............................................................

2.2.1. Definisi...............................................................................

2.2.2. Etiologi...............................................................................

2.2.3. Patofisiologi.......................................................................

2.2.4. Manifestasi Klinis.............................................................. 10


2.2.5. Diagnosis............................................................................ 13
2.2.6. Penatalaksanaan................................................................. 13
2.2.7. Komplikasi......................................................................... 15
2.2.8. Pencegahan......................................................................... 16
BAB 3 KESIMPULAN..................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 18
LAMPIRAN

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Di awal abad ke-20, munculnya skrining pada wanita hamil untuk penyakit

menular seksual (PMS) merupakan pemicu meluasnya penggunaan profilaksis tetes


mata pada bayi baru lahir. Periode ini ditandai dengan prevalensi Ophthalmia
Neonatorum yang jauh lebih tinggi dari tahun-tahun belakangan ini. Pada tahun 1986,
WHO melaporkan bahwa prevalensi neonatal conjungtivitis sebagai penyebab
kebutaan pada anak-anak di Eropa mencapai 20-79%. 1

Di seluruh dunia, insidensi Ophthalmia Neonatorum tinggi di daerah-daerah


dengan kejadian penyakit menular seksual yang juga tinggi dan fasilitas kesehatan
yang buruk. Insiden berkisar dari 0,1% di negara-negara yang maju dengan
perawatan prenatal yang efektif, sedangkan berkisar 10% di daerah seperti Afrika
Timur.2
Organisme biasanya menginfeksi bayi melalui kontak langsung selama proses
kelahiran. Infeksi diketahui naik ke uterus sehingga bayi yang dilahirkan melalui
seksiosesar juga dapat terinfeksi. Kemungkinan ini diperkuat oleh kejadian
ketuban pecah dini pada persalinan yang lama.2
Insidensi Ophthalmia Neonatorum berkisar antara 1-2%, tergantung sosio
ekonomi suatu wilayah. Dalam satu rumah sakit di Pakistan, kejadian Ophthalmia
Neonatorum dilaporkan pada 17%. Insiden Ophthalmia Neonatorum di Amerika
berkisar antara 1-2%. Epidemiologi Ophthalmia Neonatorum menurun drastis
ketika larutan AgNO3 diperkenalkan pada tahun 1800-an untuk mencegah
oftalmia gonokokal.3
Klamidia adalah agen infeksi yang paling umum yang menyebabkan
Ophthalmia Neonatorum di Amerika Serikat (40% Ophthalmia Neonatorum
disebabkan oleh klamidia). Sebaliknya, kejadian Ophthalmia Neonatorum oleh
agen gonokokal telah berkurang drastis dan menyebabkan kurang dari 1% kasus
konjungtivitis neonatal. Seperti di Amerika Serikat, kejadian Ophthalmia
Neonatorum di banyak negara lain menurun setelah larutan AgNO3 mulai dipakai.
Di Eropa, insiden jatuh dari 10% dari kelahiran sampai kurang dari 1%.3

1.2. Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan paper ini adalah untuk mengetahui segala sesuatu yang
berhubungan dengan Ophthalmia Neonatorum mulai dari definisi, penyebab,
gejala, pengobatan, hingga pencegahan agar terhindar dari komplikasi. Selain itu,
tujuan penulisan paper ini adalah sebagai salah satu syarat menyelesaikan
Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu Penyakit Mata Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara / Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam
Malik Medan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Konjungtiva

2.1.1. Anatomi Konjungtiva


Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang
melapisi permukaan posterior dari kelopak mata dan permukaan anterior dari
sklera.4
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu:

Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus. Konjungtiva tarsal sukar


digerakkan dari tarsus.

Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di


bawahnya.

Konjungtiva fornises atau forniks yang merupakan tempat peralihan


konjungtiva tarsal dan konjungtiva bulbi.

Gambar 2.1. Anatomi Konjungtiva4

2.1.2. Histologi Konjungtiva


Secara histologis, konjungtiva terdiri atas tiga lapisan yang disebut:4,6
1. Epitel
Lapisan dari sel epitel pada konjungtiva berbeda pada tiap-tiap regionya
seperti:

Konjungtiva marginal mempunya lima lapis sel epitel gepeng


bertingkat.

Konjungtiva tarsalis mempunyai dua lapis sel epitel. Sel silindris pada
bagian superfisial dan sel gepeng pada bagian basal.

Konjungtiva forniks dan bulbar mempunyai tiga lapis sel epitel. Sel
silindris pada bagian superfisial, polihedral pada bagian tengah, dan
sel kuboid pada bagian basal.

Konjungtiva limbal mempunyai lima sampai enam lapis sel epitel


gepeng bertingkat.

Sel-sel epitel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang
mensekresi mukus yang diperlukan untuk dispersi air mata. Sel-sel epitel
basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan dapat
mengandung pigmen.
2. Adenoid
Disebut juga lapisan limfoid yang terdiri dari jaringan ikat, terdapat sel
limfosit di antaranya. Lapisan ini paling berkembang di forniks. Lapisan
ini belum terbentuk pada saat kelahiran sampai usia 3-4 bulan kehidupan.
Oleh sebab itu peradangan konjungtiva pada bayi ttidak menghasilkan
reaksi folikular.

3. Fibrosa
Terdiri dari jalinan kolagen dan serat elastin. Pada lapisan ini terdapat
pembuluh darah dan saraf. Lapisan ini lebih tebal dari adenoid, kecuali
pada bagian konjungtiva tarsal dimana lapisan ini sangat tipis.

Gambar 2.2. Histologi Konjungtiva4

2.2. Ophthalmia Neonatorum


2.2.1. Definisi
Ophthalmia Neonatorum adalah radang konjungtiva yang terjadi pada neonatus
dengan onset munculnya manifestasi dalam 28 hari pertama kehidupan. Infeksi ini
umumnya diperoleh oleh neonatus selama perjalanan melalui jalan lahir yang
terinfeksi. Kondisi ini juga dikenal sebagai konjungtivitis neonatal yang dapat
mengakibatkan berbagai macam komplikasi visual.1,4,5
7

Kejadian Ophthalmia Neonatorum dapat disebabkan oleh agen infeksius


maupun non-infeksius. Penyebab infeksius seperti bakteri, klamidia dan virus,
sedangkan penyebab non-infeksius adalah bahan kimia yang biasanya diberikan
sebagai profilaksis mata pada bayi baru lahir.

2.2.2. Etiologi dan Faktor Risiko


Infeksi dapat terjadi dalam tiga cara, yaitu sebelum kelahiran, selama
kelahiran atau setelah lahir.4
1. Sebelum Kelahiran
Infeksi sangat jarang terjadi melalui cairan amnion pada ibu yang
mengalami rupture membran.
2. Selama Kelahiran
Ini adalah cara infeksi yang paling umum terjadi. Infeksi dari jalan lahir
yang terinfeksi terutama ketika anak lahir dengan presentasi wajah atau
dengan bantuan forceps.
3. Setelah Lahir
Infeksi dapat terjadi selama bayi baru lahir pertama kali mandi atau dari
pakaian kotor atau jari dengan lokia yang terinfeksi.
Faktor risiko untuk terjadinya ophtalmia neonatorum termasuk:7
1.
2.
3.
4.
5.

Vagintis pada ibu


Terdapatnya mekonium pada air ketuban saat bayi lahir
Ketuban pecah dini
Partus yang lama
Rendahnya tingkat lisozim dan imunoglobulin dalam konjungtiva

neonatal,
6. Kehamilan kurang dari 36 minggu,
7. Tindakan pertolongan persalinan yang tidak higienis dan steril
Etiologi konjungtivitis neonatal dapat disebabkan oleh berbagai macam
agen seperti bahan kimia atau mikroba. Meskipun beberapa agen non-infeksius
maupun infeksius dapat menginfeksi konjungtiva, penyebab paling umum

konjungtivitis neonatal adalah larutan perak nitrat (AgNO3), klamidia, gonorea,


dan infeksi virus herpes.
a) Neisseria gonorrhoeae
Ciri khas dari bakteri ini dari pewarnaan gram adalah bakteri diplokokus
gram negatif, tidak bergerak, dengan diameter kira-kira 0,8 m. Pada keadaan
tidak berpasangan kokus bakteri berbentuk seperti ginjal, bila berpasangan bagian
yang datar atau cekung saling berdekatan.8
Manifestasi dari Ophthalmia Neonatorum yang disebabkan bakteri
gonokokal yaitu:2,9

Onset penyakit biasanya terjadi dalam 3 - 4 hari pertama kelahiran tetapi

mungkin tertunda sampai 3 minggu.


Dapat terjadi unilateral maupun bilateral.
Mata penderita akan kelihatan merah dan membengkak disertai keluarnya

sekret purulen.
Pada kasus berat ditandai dengan kemosis, sekret yang berlebihan, dan
ulserasi kornea yang progresif dan dapat berlanjut menjadi perforasi mata.
Gambar 2.3. Neisseria gonorrhoeae conjunctivitis

Ophtalmia neonatorum dari Neisseria meningitidis juga pernah terjadi. Dua


organisme Neisseria tersebut tidak dapat dibedakan dengan pewarnaan gram.
Diagnosis definitif didasarkan pada kultur dari eksudat konjungtiva.2

b) Klamidia
Bakteri

golongan

Klamidia

yang

paling

sering

menyebabkan

konjungtivitis neonatal adalah spesies Chlamydia trachomatis, disebut juga


Trachoma Inclusion Conjungtivitis (TRIC). Bakteri ini adalah organisme
intraselular obligat. Onset dari konjungtivitis pada bayi biasanya muncul sekitar
usia 1 minggu, walaupun ada kemungkinan onset bisa muncul lebih cepat
terutama pada kasus ketuban pecah dini.2,8
Karakteristik dari infeksi pada mata berupa:9
edema ringan, konjungtiva hiperemis dan reaksi papiler dengan eksudat
ringan sampai sedang.
Pada kasus-kasus berat yang biasanya jarang terjadi, diikuti dengan
munculnya sekret yang banyak serta terbentuknya pseudomembran.
Pemeriksaan baku emas untuk diagnosis adalah kultur dari kerokan
konjungtiva yang terinfeksi. Karena kuman ini merupakan organism obligat
intraselular, pada material yang akan dikultur harus terdapat sel epitel didalamnya.
Tes amplifikasi asam nukleat (reaksi rantai polymerase) lebih sensitif dari
pemeriksaan kultur. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah tes fluoresens
antibodi langsung dan enzim immunoassay.2
c) Infeksi Bakteri Lain
Bakteri-bakteri lain yang dapat menyebabkan Ophthalmia Neonatorum
adalah spesies gram positif seperti Staphylococcus aureus, Streptococcus
pneumoniae, Streptococcus viridans, dan Staphylococcus epidermidis. Bakteribakteri ini merupakan penyebab 30-50% dari seluruh kasus oftamia neonatorum.2,3
Organisme Gram negatif, seperti Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae,
Serratia marcescens, Proteus, Enterobacter, dan spesies Pseudomonas, juga telah
diteliti sebagai penyebab Ophthalmia Neonatorum.3
d) Herpes simpleks

10

Virus herpes merupakan virus yang memiliki morfologi besar. Semua virus
herpes mempunyai inti DNA untai-ganda yang dikelilingi oleh protein. Virus
memasuki sel melalui peleburan dengan selaput sel setelah berikatan dengan
reseptor sel khusus berupa glikoprotein.8
Infeksi yang disebabkan virus herpes simpleks (HSV) biasanya jarang terjadi
sehingga menyebabkan konjungtivitis neonatorum. Manifestasi klinis pada infeksi
HSV biasanya lebih lama muncul dari pada infeksi gonokokal yaitu pada minggu
pertama atau kedua kehidupan.2,4
e) Konjungtivitis Kimiawi
Konjungtivitis karena bahan kimia biasanya ditandai dengan iritasi ringan
dan dapat sembuh dengan sendirinya, serta munculnya kemerahan pada
konjungtiva muncul pada 24 jam pertama setelah pemberian larutan perak nitrat
(AgNO3) atau antibiotik yang biasanya digunakan sebagai profilaksis mata. 2,4
2.2.3. Patofisiologi
Konjungtiva merupakan selaput lendir tipis, berdasarkan lokasi dapat
dibagi menjadi tarsal, bulbi, dan forniks. Konjungtiva terdiri dari epitel skuamosa
non-keratin, yang kaya vaskularisasi pada substantia propria (mengandung
pembuluh limfatik dan sel, seperti limfosit, sel plasma, sel mast, dan makrofag).
konjungtiva ini juga memiliki kelenjar lakrimal dan sel goblet.3
Mekanisme pertahanan primer terhadap infeksi adalah lapisan epitel yang
meliputi konjungtiva sedangkan mekanisme pertahanan sekundernya adalah
sistem imun yang berasal dari perdarahan konjungtiva, lisozim dan imunoglobulin
yang terdapat pada lapisan air mata, mekanisme pembersihan oleh lakrimasi dan
berkedip. Adanya gangguan atau kerusakan pada mekanisme pertahanan ini dapat
menyebabkan infeksi pada konjungtiva.1
Patologi konjungtivitis neonatal dipengaruhi oleh anatomi dari jaringan
konjungtiva pada bayi baru lahir. Peradangan pada konjungtiva dapat menyebabkan
pelebaran pembuluh darah, kemosis, dan sekresi berlebihan. Eksotoksin dari bakteri
seperti yang dapat ditemukan pada spesies Streptococcus dan Staphylococcus dapat

11

menginduksi terjadi nekrosis, terutama bagi sel epitel konjungtiva. Hasil nekrosis dari
epitel tersebut akan menghasilkan sekret pada mata. 1,3
Walaupun pada fase akut sebagian besar patogen akan tereliminasi, tapi
beberapa spesies dapat bertahan dari reaksi imun tersebut. Seperti pada spesies
Chlamydia trachomatis yang dapat bertahan dan hidup pada sel fagosit. 1
2.2.4. Manifestasi Klinis
Gejala klinis bervariasi sesuai dengan etiologi, sulit untuk menentukan
penyebab pasti konjungtivitis neonatal hanya berdasarkan gambaran klinis saja.
Gejala klinis bisa dinilai dari:2,4,10
a) Berdasarkan masa inkubasi

konjungtivitis gonokokal, terjadi 3-5 hari setelah lahir tapi dapat


terjadi dikemudian hari

konjungtivitis klamidia, biasanya memiliki onset lebih lama dari


konjungtivitis gonokokal, masa inkubasi 5-14 hari.

konjungtivitis kimia sekunder akibat aplikasi larutan perak nitrat


biasanya terjadi pada hari pertama kehidupan, menghilang secara
spontan dalam waktu 2-4 hari .

Masa

inkubasi

konjungtivitis

lain

yaitu

nongonokokal,

nonchlamydial lebih panjang, menurut laporan sebelumnya.


Konjungtivitis Herpetik, biasanya terjadi dalam minggu pertama
setelah lahir.

b) Berdasarkan penyebab
Gambaran klinis konjungtivitis gonokokal cenderung lebih parah dari
penyebab lain ophthalmia neonatorum, yaitu: 2,9,10

terdapat tanda klasik berupa konjungtivitis purulen, yang biasanya


bilateral.

12

Keterlibatan kornea juga telah dilaporkan, termasuk edema difus


epitel dan ulserasi yang dapat berlanjut ke perforasi kornea dan

endophthalmitis.
Pasien mungkin juga memiliki manifestasi sistemik misalnya,
rhinitis,

stomatitis,

artritis,

meningitis,

infeksi

anorektal,

septicemia.
Karakteristik dari infeksi pada mata pada Ophthalmia Neonatorum akibat
infeksi klamidia berupa: 9,10

edema ringan, konjungtiva hiperemis dan reaksi papiler dengan

eksudat ringan sampai sedang.


Pada kasus-kasus berat yang biasanya jarang terjadi, diikuti dengan
munculnya

sekret

yang

banyak

serta

terbentuknya

pseudomembran.
Kebutaan dapat terjadi meskipun jarang dan jauh dan terjadi lebih
lambat

daripada

konjungtivitis

gonokokal,

bukan

karena

keterlibatan kornea seperti pada konjungtivitis gonokokal; tetapi


akibat dari bekas luka kelopak mata dan pannus (seperti pada
trachoma).
Pada konjungtivitis yang disebabkan bakteri lain dapat memberikan
manifestasi klinis berupa:5

hiperemis konjungtiva
edema palpebra
adanya sekret pada mata.

Presentasi klinis konjungtivitis neonatal karena agen kimia biasanya lebih


ringan. Ditandai dengan infeksi bilateral, iritasi, dan sekret mukosa. Herpes
simpleks keratokonjungtivitis biasanya terjadi pada bayi dengan adanya vesikel
pada kornea yang dapat membentuk gambaran dendrit. Pada herpes simpleks
umum adanya keterlibatan epitel kornea disertai vesikula pada kulit (yang
mengelilingi mata).5
13

Tabel 2.1. Manifestasi Ophthalmia Neonatorum


Penyebab

Onset

Bahan
Kimia Dalam
(perak
nitrat jam
sebagai
profilaksis)
Gonokokus

Klamidia

Temuan Klinis
beberapa

Hasil
Laboratorium
dan Sitologi
Kultur negatif

- Hiperemis
sekret
cair
maupun mukoid

2-4 hari setelah Akut


Purulen Gram
negatif
lahir
Konjungtivitis
diplokokus
intraselular pada
agar coklat dan
agar darah
5-14 hari setelah
Giemsa-positif
lahir
- Konjungtivitis inklusi sitoplasma
mukopurulen
sel epitel.
lebih jarang dari Kultur negatif
purulen
- Mukus kental

Bakteri
lain 4-5 hari setelah Konjungtivitis
(Pseudomonas
lahir
mukopurulen
aeruginosa,
Staphylococcus
aureus,
Streptococcus
pneumoniae,
Haemophilus)
Herpes simpleks
5-7 hari setelah
lahir
Blepharoconjunct
ivitis
Keterlibatan
kornea
Manifestasi
sistemik

Kultur
positif
pada agar darah,
gram
positif
maupun negatif.

Multinucleated
Giant Cell, positif
inklusi
sitoplasma, kultur
negatif.

2.2.5. Diagnosis
Studi laboratorium untuk konjungtivitis neonatal sangat penting untuk
penegakan diagnosis dan pengelolaan yang baik. Pemeriksaan kultur awal pada agar

14

coklat atau agar Thayer-Martin untuk N. gonorrhoeae harus dilakukan serta agar
darah untuk bakteri lain.1,12,14
Pada N.gonorrhoeae dalam 24 jam kultur akan didapat koloni mukoid
cembung, mengkilat dan menonjol dengan diameter 1-5 mm. Koloni dapat
transaparan atau opak, tidak berpigmen dan tidak hemolitik. 8
Infeksi klamidia dapat dikesampingkan dengan mengambil goresan
konjungtiva kemudian diperiksa dengan pewarnaan Giemsa yang akan memberikan
hasil ungu atau pewarnaan Macchiavello yang menghasilkan warna merah, dimana
hasil tersebut kontras dengan sel inang yang berwarna biru. Selain itu juga dapat
dilakukan pemeriksaan uji antibodi langsung immunofluorescent 8,11
Pada konjungtivitis herpes, pewarnaan gram dapat menunjukkan hasil sel
raksasa multinukleat atau Pewarnaan Papanicolaou dapat menunjukkan inklusi
eosinofilik intranukleat pada sel epitel. 11
2.2.6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada kasus oftalmia nenonatorum lebih difokuskan pada
pemberian profilaksis selalu lebih baik daripada pengobatan kuratif. 4
a)

Profilaksis pada masa antenatal, natal dan postnatal

1.

Antenatal: meliputi perawatan menyeluruh ibu dan pengobatan infeksi genital


saat dicurigai terinfeksi. 4

2.

Natal: merupakan waktu yang sangat penting, karena sebagian besar infeksi
terjadi selama persalinan. 4
a.

Proses melahirkan harus dilakukan dengan higienisitas tinggi dan


melakukan tindakan aseptik.

b.

Kelopak mata bayi yang tertutup harus benar-benar dibersihkan dan


dikeringkan.

3.

Postnatal: langkah-langkahnya meliputi: 4,13


a.

Penggunaan tetrasiklin topikal 1% atau eritromisin topikal 0,5% atau


perak nitrat 1% (metode Crede 's) ke dalam mata bayi segera setelah
kelahiran.

15

b.

Suntikan tunggal ceftriaxone 50 mg / kg IM atau IV (tidak melebihi


125 mg) harus diberikan kepada bayi yang lahir dari ibu yang tidak
diobati.

b)

Pengobatan Kuratif 4,12


Pengobatan kuratif sebaiknya diberikan bila ada pemeriksaan sitologi dari

epitel konjungtiva ataupun kultur dari sekret konjungtiva sebelum memulai


perawatan.
1. Ophthalmia Neonatorum kimiawi adalah kondisi yang dapat sembuh dengan
sendirinya dan tidak memerlukan pengobatan apapun.
2. Ophthalmia

Neonatorum

yang

disebabkan

gonokokus

membutuhan

pengobatan yang tepat untuk mencegah komplikasi.


Terapi topikal harus mencakup:

Pemberian irigasi dengan larutan garam salin tiap jam sampai eksudat dari
konjungtiva bersih.

Salep mata Bacitracin 4 kali / hari. Karena strain ini resisten terhadap
penisilin, terapi topikal dengan golongan ini tidak dapat diandalkan.

Jika terjadi keterlibatan kornea maka salep atropin sulfat harus diberikan.

Terapi sistemik.
Neonatus dengan gonokokal ophthalmia harus dirawat selama 7 hari dengan satu
rezim berikut:

Ceftriaxone 75-100 mg / kg / hari IV atau IM, dibagi dalam 4 dosis

Cefotaxime 100-150 mg / kg / hari IV atau IM, per 12 jam.

Ciprofloxacin 10-20 mg / kg / hari atau Norfloxacin 10 mg / kg / hari.

Jika isolat gonokokal yang terbukti rentan terhadap penisilin, kristal benzyl
penisilin G 50.000 unit untuk bayi cukup bulan dengan berat badan normal

16

dan 20.000 unit untuk bayi prematur atau bayi berat badan rendah harus
diberikan secara intramuskuler dua kali sehari selama 3 hari.
3. Ophthalmia Neonatorum oleh bakteri lain
Diberikan pengobatan dengan tetes antibiotik spektrum luas dan salep selama
2 minggu.
4. Ophthalmia Neonatorum yang disebabkan klamidia memberikan respon yang
baik terhadap tetrasiklin topikal 1% atau eritromisin topikal 0,5% sebanyak 4
kali sehari selama 3 minggu. Namun, eritromisin sistemik 125 mg oral, 4 kali
sehari selama 3 minggu juga harus diberikan pada infeksi yang disebabkan
klamidia di konjungtiva dimana menyiratkan kolonisasi bakteri pada saluran
pernapasan bagian atas juga. Kedua orang tua juga harus diobati dengan
eritromisin sistemik.
5. Ophthalmia Neonatorum yang disebabkan virus herpes simpleks biasanya
merupakan penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya. Namun, obat
antivirus topikal dapat mengendalikan infeksi lebih efektif dan dapat
mencegah kekambuhan. Biasanya diberikan asiklovir 20mg/kg setiap 8 jam
selama 14 hari (21 hari jika keterlibatan SSP) bersama-sama dengan terapi
topikal asiklovir salep mata 3% 5 kali sehari.
2.2.7. Komplikasi
Kasus yang tidak diobati, khususnya dari ofthalmia neonatorum gonokokal,
dapat berkembang menjadi ulkus kornea, yang dapat menyebabkan perforasi kornea.
3,4.

Bila tidak diketahui dan tidak segera diobati, infeksi Pseudomonas dapat

menyebabkan endoftalmitis dan menyebabkan kematian. Pneumonia telah dilaporkan


pada

10-20%

kasus

pada

bayi

dengan

konjungtivitis

klamidia.

HSV

keratokonjungtivitis dapat menyebabkan jaringan parut kornea dan ulserasi. Selain


itu, infeksi HSV yang menyebar luas sering menyebabkan keterlibatan sistem saraf
pusat. 3,4

2.2.8. Pencegahan

17

The Canadian Paediatric Society merekomendasikan bahwa profilaksis mata


dengan perak nitrat 1%, erythromycin 0,5% salep, atau tetrasiklin hidroklorida 1%
diberikan untuk semua bayi yang baru lahir, termasuk mereka yang lahir melalui
bedah caesar, pada jam pertama setelah kelahiran. Penting diingat bahwa profilaksis
mata rutin, tidak mencegah Ophthalmia Neonatorum akibat klamidia; dan meskipun
insidensi gonorrheal Ophthalmia Neonatorum telah relatif jarang setelah adanya
profilaksis mata, harus terus diperhatikan, mengingat kecenderungan tinggi untuk
menyebabkan kerusakan dan kebutaan pada mata. 14

BAB III

18

KESIMPULAN
Ophthalmia Neonatorum merupakan penyakit infeksi pada bayi baru lahir
yang insidensinya tinggi terutama pada daerah dengan insidensi penyakit menular
seksual yang tinggi pula.
Ophthalmia Neonatorum adalah suatu infeksi pada konjungtiva yang melapisi
kelopak mata pada neonatus dibawah usia 1 bulan. Sementara itu agen penyebab yang
paling sering menyebabkan timbulnya infeksi pada konjungtiva bayi baru lahir ini
adalah diantaranya, kuman gonokokal, klamidia, virus herpes simpleks, serta bahan
kimia seperti perak nitrat, Gejala dan perjalanan penyakit yang dapat ditimbulkan
bervariasi berdasarkan agen penyebab masing-masing.
Proses transmisi dari penyakit ini biasanya terjadi pada saat proses kelahiran
bayi dari ibu yang sudah terinfeksi sebelumnya. Maka dari itu, pencegahan penyakit
ini apat dilakukan dengan menjaga higienisitas jalan lahir pada saat proses persalinan
dan penggunaan aseptik atau pemilihan persalinan melalui operasi seksiosesaria.
The Canadian Paediatric Society merekomendasikan bahwa profilaksis mata
dengan perak nitrat 1%, erythromycin 0,5% salep, atau tetrasiklin hidroklorida 1%
diberikan untuk semua bayi yang baru lahir, termasuk mereka yang lahir melalui
bedah caesar, pada jam pertama setelah kelahiran.

DAFTAR PUSTAKA

19

1. Palafox, S.K et all. 2011. Ophtalmia Neonatorum. Clinic Experiment


Ophthalmology Volume 2.
2. American Academy of Ophthalmology. 2011. Infectious and Allergic
Ocular Disease. In Pediatric Ophthalmology and Strabismus Section 6.
San Fransisco. Page 186-187
3. McCourt, E.A. 2014. Neonatal Conjunctivitis. MedScape. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/1192190-overview
4. Khurana, A.K. 2007. Disease of Conjunctiva. In Comprehensive
Ophthalmology Fourth Edition. New Age International (P) Limited
Publisher. New Delhi. Page 52, 71-73
5. Ilyas, S., Yulianti, S.R. 2011. Mata Merah dengan Penglihatan Normal.
Ilmu Penyakit Mata. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. Hal 126-127
6. Vaughan & Asbury. 2010. Anatomi dan Embriologi Mata, Subjek
Khususyang Berkaitan dengan Pediatri. Oftalmologi Umum. ECG.
Jakarta. Hal 5-6, 360.
7. Gul, S.S. et all. 2010. Ophtalmia Neonatorum. Journal of the College of
Physicians and Surgeons Pakistan Volume 20. Pakistan Available at:
http://www.jcpsp.pk/archive/2010/Sep2010/08.pdf.
8. Brooks, G.F., Butel, J. S., Carroll, K.C. and Morse, S. A, 2008. Jawetz,
Melnick, & Adelberg's Medical Microbiology, Twenty-Fourth Edition.
United States: McGraw-Hill.
9. Nelson, W.E. 1992. Textbook of Pediatric 12th Edition Part 2. EGC.
Philadelphia. Page 77-81, 191-193
10. Birmingham and Midland Eye Centre. 2009. Treatment of Ophthalmic
Infection. Available at:
http://bmec.swbh.nhs.uk/wp-content/uploads/2013/03/OPHTHALMIANEONATORUM.pdf.
11. Song, J.C. 2013. Chapter 6 Neonatal Conjungtivitis (Ophtalmia
Neonatorum). Avalable at:
http://www.oculist.net/downaton502/prof/ebook/duanes/pages/v4/v4c006.htm
l

20

12. The College of Optometrists. 2012. Clinical Management Guidelines


Ophtalmia Neonatorum. Available at: http://www.collegeoptometrists.org/download.cfm/docid/768CA144-45F4-4EC693CC6C041AC94904
13. Lubis, C.P. 2003. Infeksi Nosokomial pada Neonatus. Bagian Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Medan. Available at:
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/2006
14. Matejcek, A., & Goldman, R. D. 2013. Treatment and prevention of

ophthalmia neonatorum. Canadian Family Physician, 59(11), 11871190.

21

Anda mungkin juga menyukai