BAB IV
NURCHOLISH MADJID DAN SEKULARISASI
di
sekitarnya
memanggil
beliau
Kiai
Haji,
sebagai
berada
dalam
kondisi
memperjuangkan
kemerdekaannya,
83
selama dua abad terakhir tersebut, yaitu menjadi empat macam gerakan: 1)
Gerakan Revivalis di akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 (yaitu gerakan
Wahhabiyah di Arab, Sanusiyah di Afrika Utara dan Fulaniyah di Afrika
Barat), 2) Gerakan Modernis (yang dipelopori India oleh Sayyid Ahmad
Khan, di seluruh Timur Tengah oleh Jamal al-Din al-Afghani, dan di Mesir
oleh Muhammad Abduh), 3) Neo-Revivalisme (yang modern namun agak
reaksioner, contohnya Mawdudi dan kelompoj Jamaati Islami di Pakistan),
dan 4) Neo-Modernisme (Fazlur Rahman sendiri mengkategorikan dirinya ke
dalam wilayah terakhir ini dengan alasa karena neo-Modernisme mempunyai
sintesis progresif dari rasionalitas Modernis dengan ijtihad dan tradisi klasik).
Pemikiran Fazlur Rahman tersebut dianggap memiliki kontribusi untuk
memperluas pemahaman Nurcholish dalam menggabungkan tradisi Islam
klasik dengan modernisme, walaupun sebenarnya sejak kecil Nurcholish
sudah terpengaruh dengan dua lingkungan tersebut.
Di dunia sekolah Nurcholish Madjid memperlihatkan grafik prestasi
akademik yang luar biasa, khususnya selama belajar di madrasah dan di
pesantren Drul-Ulm. Namun, pendidikan agama yang dijalani pesantren
Drul-Ulm tidak lama diikuti Nurcholish Madjid. Setelah dua tahun berada
di pesantren Drul-Ulm yang merupakan pesantren NU, Nurcholish
menerima kritikan yang negatif dari teman-temannya karena ayahnya tetap
bergabung dengan partai Masyumi. Oleh karena itu, kemudian ayahnya
memindahkan Nurcholish Madjid ke pesantren modern Gontor di Ponorogo,
Jawa Timur (Barton, 1999: 74-75).
85
berjasa bagi Nurcholish, di samping ayahnya Haji Abdul Madjid yang begitu
dihormati (Ridwan, 2002: 54).
Nurcholish Madjid kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan
mengambil jurusan Bahasa Arab dan Sejarah Kebudayaan Islam. Selama di
IAIN Jakarta, Nurcholish mengenal dan mengikuti kegiatan-kegiatan
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Selain itu, Nurcholish mengikuti aktivitas
menulis dimulai ketika beliau menerjemahkan artikel berbahasa Arab yang
dikirimkan ke majalah Gema Islam, majalah milik Hamka. Sejak saat itu,
tulisan-tulisan beliau banyak dipublikasikan dalam majalah Gema Islam dan
memiliki kedekatan dengan Hamka (Ridwan, 2002: 54). Kemampuan bahasa
Nurcholish lebih meningkat setelah di Jakarta beliau mengikuti kursus bahasa
Perancis di Alliance Francaise, yang selesai tahun 1962. Selain bahasa Arab,
Inggris dan Perancis, Nurcholish pun fasih dalam bahasa Persia yang diajarkan
dalam perkuliahan di IAIN (Barton, 1999: 78).
Berbagai organisasi penting diikuti Nurcholish. Hal itu memperkuat
pribadi Cak Nur dalam hal kepemimpinan. Dia dikenal sebagai Ketua Umum
PB HMI (Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam) pada tahun 1966-1969
dan 1969-1971. Juga sebagai Presiden PEMIAT (Persatuan Mahasiswa Islam
Asia Tenggara) pada 1967-1969. Pemikiran Nurcholish tersebar melalui
berbagai tulisannya yang dimuat secara berkala di tabloid Mimbar Demokrasi
yang diterbitkan HMI. Gagasan-gagasan Presiden Persatuan Mahasiswa Islam
Asia Tenggara itu, membuat Nurcholish digelari oleh orang-orang Masyumi
sebagai Natsir muda (dalam http://tokohindonesia.com/ensiklopedi/n/nur
88
cholismadjid/index.shtml, 8/07/2009).
Setelah menyelesaikan studinya pada tahun 1965, kemudian antara
tahun 1968 hingga 1971, Nurcholish menjadi Wakil Sekretaris Umum dan
pendiri International Islamic Federation of Students Organisation (IIFSO,
Himpunan Organisasi Mahasiswa Islam se-Dunia). Menurut Barton, di
samping kegiatan Nurcholish di HMI, pengalamannya di tingkat internasional
merupakan bentuk kegiatan yang selama beberapa puluh tahun telah memberi
sumbangan berharga terhadap perkembangan intelektualnya (1999: 79).
Dengan berbagai pengalaman organisasi dalam bidang keagamaan dan
keilmuan tersebut, Nurcholish tidak hanya tetap berada dalam lingkungan
budaya intelektual yang berada pada lapisan sosial menengah ke atas, tetapi
juga lingkungan politik nasional hingga internasional.
Aktivitas-aktivitas yang diikuti Nurcholish terutama sejak mengikuti
HMI melibatkan beliau dalam pemikiran, perbincangan dan penelitian berbagai
masalah masyarakat yang memungkinkannya tampil dalam forum yang lebih
luas lagi dengan perjalanannya ke Amerika dan Timur Tengah sekitar tahun
1967-1969. Dengan kondisi latar belakang sosial dan budaya tersebut,
perhatian Nurcholish terfokus pada kondisi umat Islam di Indonesia hingga
tingkat dunia internasional, terutama berkaitan dengan wacana modernisasi
saat itu. Menurut Barton (1999: 82), Semua itu telah membangun medan
kesadaran Nurcholish Madjid terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat agar
mampu bersikap elastis ketika berhadapan dengan perubahan.
89
merupakan
agenda
yang
disengaja
Fazlur
Rahman
untuk
92
96
peneliti
akan
dapat
menggambarkan
bagaimana
perkembangan
zaman.
Berkaitan
dengan
perlunya
meningkatkan
99
3 vol.VI p.7). Dengan penjelasan tersebut, dapat diperoleh gambaran bahwa faktor
lingkungan dalam tinjauan historis kehidupan Nurcholish melandasi perspektif
Nurcholish tentang pembaruan dan aktualisasinya.
Pengetahuan dan pengalaman Nurcholish meninjau kondisi keagamaan
umat Islam saat itu mendorongnya untuk mengemukakan gagasan Perubahan
Pemikiran Islam. Terutama dengan disampaikannya pidato berjudul Keharusan
Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat pada silaturahim antara
para aktivis, anggota dan keluarga empat organisasi, yaitu Persami, HMI, GPI,
dan PII, yang diselenggarakan oleh PII Cabang Jakarta pada 3 Januari 1970.
Gagasan tersebut dikemukakan berkaitan dengan latar belakang pemahamannya
mengenai pesan-pesan pokok ajaran Islam dalam Al-Quran. Kemudian sejak
tahun 1971 hingga 1974, gagasan Nurcholish Madjid menjadi wacana yang sering
dibahas dalam berbagai diskursus mahasiswa dan cendekiawan Islam di
Indonesia, terutama kritik terhadap konsep sekularisasi yang dikemukakannya
dalam pidato tersebut.
Pembaruan pemikiran Islam di Indonesia sering dihubungkan dengan
tipologi pemikiran para pengusungnya. Terutama Nurcholish Madjid yang
dianggap sebagai pembaharu yang pertama kali mengusung gagasan pembaruan
pemikiran, menurut Barton termasuk dalam tipologi neo-Modernisme. Hal
tersebut karena Nurcholish Madjid lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang
memegang ajaran Islam klasik, kemudian mendapatkan pendidikan dalam
lingkungan
yang
mengedepankan
modernisme,
sehingga
pemikirannya
merupakan dialektika dari ajaran Islam klasik dan pemikiran modernisme. Begitu
101
pula
dengan
pembaruan
pemikiran
Islam
yang
diusungnya,
walaupun
Indonesia telah menyaksikan sebuah kebangkitan Islam yang amat progresif dan
begitu memiliki masa depan. Nurcholish Madjid membentuk Yayasan
Paramadina dan kemudian mendirikan Universitas Paramadina pada tahun 1985.
Dengan didirikannya yayasan tersebut, pembaruan pemikiran Islam yang dimulai
Nurcholish Madjid semakin berkembang sehingga menjadi diskursus pada
cendekiawan muslim di Indonesia hingga sekarang.
C. Sekularisasi
1. Dasar Pemikiran
Dasar pemikiran Nurcholish Madjid tentang sekularisasi berkaitan
dengan berbagai penafsiran atas tulisan-tulisan Nurcholish Madjid. Peneliti
mengkaji tulisan-tulisan Nurcholish sejak tahun 1970 ketika gagasan tersebut
pertama kali dikemukakan, hingga tahun 2005 menjelang wafatnya beliau
tanggal 29 Agustus 2005. Dengan kajian tersebut dan merujuk dari penelitianpenelitian lain yang relevan, peneliti menafsirkan dasar pemikiran
sekularisasi Nurcholish Madjid, sebagai berikut:
a. Dasar Tauhid/ Teologis
Perspektif pemikiran Nurcholish mengenai dasar tauhid proses
sekularisasi digambarkan oleh beliau dalam kertas kerja pembaruan
pemikiran Islam. Nurcholis mengemukakan prinsip tauhid sebagai alasan
pentingnya proses sekularisasi, bahwa:
Sebenarnya pandangan yang wajar dan menurut apa adanya kepada
dunia dan masalahnya secara otomatis harus dipunyai seorang muslim
sebagai konsekuensi logis dari tauhid. Pemutlakan transendensi semata-mata
kepada Tuhan, sebenarnya harus melahirkan desakralisasi pandangan selain
103
105
b. Dasar Filologis
Nurcholish Madjid mengemukakan gagasan proses sekularisasi dengan
merujuk kepada pemikiran Harvey Cox mengenai perbedaan sekularisasi dan
sekularisme. Seperti yang dikutip oleh Nurcholish Madjid dari Harvey Cox
yaitu: di mana pun ia timbul, ia harus dibedakan dari sekularisme.
Sekularisasi menunjukkan adanya proses sejarah, hampir pasti tak mungkin
diputar kembali, yang di dalamnya masyarakat dan kebudayaan dibebaskan
dari kungkungan atau asuhan pengawasan keagamaan dan pandangan-dunia
metafisis yang tertutup. (Madjid, 2008: 245).
Pengertian sekularisasi digunakan pada istilah sosiologi sebagaimana
pendapat Talcott Parsons, Harvey Cox dan Robert N. Bellah yang lebih
merujuk pada pengertian pembebasan masyarakat dari belenggu takhayul
dalam beberapa aspek kehidupan. Jadi, sekularisasi tidak berarti penghapusan
orientasi keagamaan dalam norma-norma dan nilai-nilai kemasyarakatan, akan
tetapi seperti pendapat Bellah adalah devaluasi radikal. Oleh karena itu,
Nurcholish Madjid juga mengajukan konsep-konsep seperti sekularisasi,
desakralisasi
dan
rasionalisasi
(Pattimahu,
M.Asrul,
dalam
http://rullyasrul83.wordpress.com/2009/07/29/9/,05/08/09).
Dengan mengutip pandapat Talcott Parson, Nurcholis Madjid
menunjukkan bahwa sekularisasi sebagai suatu proses sosiologis, lebih banyak
mengisyaratkan pengertian pembebasan masyarakat dari belenggu takhayul
dalam beberapa aspek kehidupannya, dan tidak berarti penghapusan orientasi
keagamaan dalam norma dan nilai kemasyarakatan (Pattimahu, M.Asrul,
106
William
Liddle
(1997:
14-15),
konsep
sekularisasi
107
sekularisasi
digunakan
juga
sebelum
Nurcholish
Nurcholish
tentang
kondisi
Islam
klasik
yang
mampu
kertas
kerja
Nurcholish
Madjid
berjudul
Keharusan
awal
mengenai
gagasan
sekularisasi.
Nurcholish
Madjid
liberalisasi. Proses itu secara garis besar terbagi ke dalam tiga proses yang
saling berkaitan, yaitu 1) sekularisasi, 2) kebebasan berpikir, dan 3) sikap
terbuka. Oleh karena itu, sekularisasi yang dimaksudkan Nurcholish
merupakan suatu proses yang saling berkaitan dengan kebebasan berpikir dan
sikap terbuka sebagai agenda yang harus dilakukan dalam pembaruan
pemikiran Islam. Seperti yang dikemukakan Nurcholish:
kita hendak menarik pengertian bahwa pembaruan harus dimulai
dengan dua tindakan yang saling erat hubungannya, yaitu melepaskan
diri dari nilai-nilai tradisional, dan mencari nilai-nilai yang berorientasi
ke masa depan. Untuk itu diperlukan suatu proses liberalisasi. Proses
itu dikenakan terhadap ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan Islam
yang ada sekarang ini. Proses ini menyangkut proses-proses lainnya
(2008: 228-229).
Sekularisasi yang dimaksudkan Nurcholish Madjid berbeda dengan
sekularisme. Pada umumnya, sekularisme didefinisikan sebagai paham atau
pandangan yang berpendirian bahwa moralitas tidak perlu didasarkan pada
ajaran agama. Sedangkan pengertian sekularisasi sangat berkaitan dengan
sekularisme, yaitu 1) hal-hal yang membawa ke arah kehidupan yang tidak
didasarkan pada ajaran agama, dan 2) pengambilalihan bangunan atau barang
milik negara dan digunakan untuk keperluan lain (dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, 2002). Oleh karena itu, seseorang pandangan
dan sikapnya memisahkan antara kehidupan agama/ kerohanian dengan
kehidupan duniawi/ kebendaan, dianggap sebagai orang yang sekuler. Pada
proses sekularisasi yang dikemukakan Nurcholish, ditekankan bahwa proses
tersebut tidak sama dengan sekularisme.
111
Lebih
lanjut
mengenai
definisi
sekularisasi
112
yang
114
Nurcholish
Madjid
mengemukakan,
kata-kata
sekuler
dan
Madjid
mengemukakan
bahwa
penggunaan
istilah
115
tersebut
diperoleh
dari
pandangan
beliau
dalam
buku
116
bahwa
sekularisasi
tanpa
sekularisme
yaitu
proses
120
dengan
perkembangan
pembaruan
pemikiran
Islam
yang
digagasnya. Hal tersebut dapat ditinjau melalui berbagai tulisan dan kajian
para intelektual terhadap pemikiran Nurcholish Madjid juga tulisan-tulisan
Nurcholish sendiri. Oleh karena itu, peneliti menyusun garis waktu (timeline)
tulisan-tulisan Nurcholish yang tersebar dalam berbagai media massa dan juga
tulisan yang telah dibukukan. Walaupun tidak lengkap sepenuhnya, karena
terdapat tulisan-tulisan Nurcholish yang tidak dapat diketahui waktu
penulisannya, akan tetapi tulisan-tulisan tersebut dikumpulkan dari berbagai
121
buku, artikel, surat kabar dan jurnal sejak tahun 1970 hingga saat-saat terakhir
Nurcholish menulis kolom Harian Suara Merdeka tahun 2004 sebelum beliau
wafat pada tahun 2005.
Pemikiran mengenai sekularisasi pertama kali dikemukakan Nurcholis
Madjid dalam pertemuan Halal bi halal organisasi pemuda Islam tanggal 3
Januari 1970, mengenai Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah
Integrasi Umat. Sejak saat itu, berbagai respon berupa pujian dan kritik
diterima
Nurcholish
berkaitan
dengan
gagasan
sekularisasi
yang
128