Perkembangan Moral
Perkembangan Moral
Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan dan konvensi
mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain
(Santrock, 1995). Bayi ketika dilahirkan tidak memiliki moral (imoral). Tetapi dalam dirinya
terdapat potensi moral yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannnya
berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua, saudara, teman sebaya, atau guru), anak
belajar memahami tentang perilaku mana yang baik, yang boleh dikerjakan.
Teori Psikoanalisa tentang Perkembangan Moral
Dalam menggambarkan perkembangan moral, teori psikoanalisa dengan pembagian
struktur kepribadian manusia atas tiga, yaitu id, ego, dan superego. Id adalah struktur
kepribadian yang terdiri atas aspek biologis yang tidak rasional dan tidak disadari. Ego adalah
struktur kepribadian yang terdiri atas aspek psikologis, yaitu subsistem ego yang rasional dan
disadari, namun tidak memiiki moralitas. Superego adalah struktur kepribadian yang terdiri atas
aspek social yang berisikan sistem nilai dan moral, yang benar-benar memperhitungkan benar
atau salahnya sesuatu.
Menurut teori psikoanalisa klasik Freud, semua orang mengalami konflik oedipus.
Konflik ini akan menghasilkan pembentukan struktur kepribadian yang dinamakan Freud sebagai
superego. Ketika anak mengatasi konflik oedipus ini, maka perkembangan moral dimulai. Salah
satu alasan mengapa anak mengatasi konflik oedipus adalah perasaan khawatir akan kehilangan
kasih sayang orang tua dan ketakutan akan dihukum karena keinginan seksual mereka yang tidak
dapat diterima terhadap orang tua yang berbeda jenis kelamin. Untuk mengalami kecemasan,
menghindari hukuman, dan mempertahankan kasih sayang orangtua, anak-anak membentuk
suatu superego dengan mengidentifikasikan diri dengan orangtua yang sama jenis kelamin,
menginternalisasi standar-standar benar dan salah orangtua (Desmita, 2012).
Struktur superego ini mempunyai dua komponen, yaitu ego ideal dan kata hati. Kata hati
menggambarkan bagian dalam atau kehidupan mental seseorang, peraturan-peraturan
masyarakat, hokum, kode, etika, dan moral. Pada usia kira-kira 5 tahun perkembangan superego
secara khas akan menjadi sempurna. Ketika hal ini terjadi, maka suara hati terbentuk. Ini berarti
bahwa pada usia sekitar 5 tahun orang sudah menyelesaikan pengembangan moralnya (Lerner &
Hultsch, 1983).
menurut kesepakatan. Dalam tahap ini, anak juga meninggalkan penghormatan sepihak kepada
otoritas dan mengembangkan penghormatan kepada teman sebayanya. Mereka nampak
membandel kepada otoritas, serta lebih mentaati peraturan kelompok sebaya atau pemimpinnya
(Desmita, 2012).
Teori Kohlberg tentang Perkembangan Moral
Teori Kohlberg tentang perkembangan moral merupakan perluas, modifikasi, dan
redefeni atas teori Piaget. Teori ini didasarkan atas analisisnya terhadap hasil wawancara dengan
anak laki-laki usia 10 hingga 16 tahun yang dihadapkan pada suatu dilemma moral, di mana
mereka harus memilih antara tindakan mentaati peraturan atau memenuhi kebutuhan hidup
dengan cara yang bertentangan dengan peraturan (Desmita, 2012).
Berdasarkan pertimbangan yang diberikan atas pertanyaan kasus dilematis yang dihadapi
seseorang, Kohlberg mengklasifikasikan perkembangan moral atas tiga tingkatan (level), yang
kemudian dibagi lagi menjadi enam tahap (stage). Kohlberg setuju dengan Piaget yang
menjelaskan bahwa sikap moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari
pengalaman. Tetapi, tahap-tahap perkembangan moral terjadi atas aktivitas spontan dari anakanak. Anak-anak memang berkembang melalui interaksi social, namun interaksi ini memiliki
corak khusus, di mana faktor pribadi yaitu aktivitas-aktivitas anak ikut berperan (Desmita, 2012).
Hal penting lain dari teori perkembangan moral Kohlberg adalah orientasinya untuk
mengungkapkan moral yang hanya ada dalam pikiran dan yang dibedakan dengan tingkah laku
moral dalam arti perbuatan nyata. Semakin tinggi tahap perkembangan moral seseorang, akan
semakin terlihat moralitas yang lebih mantap dan tanggung jawab dari perbuatan-perbuatannya
(Desmita, 2012).
Tabel. Tingkat dan Tahap Perkembangan Moral Menurut Kohlberg
Tingkat
1. Prakonvensional Moralitas
Pada level ini anak mengenal moralitas
berdasarkan dampak yang ditimbulkan
oleh suatu perbuatan, yaitu menyenangkan
(hadiah) atau menyakitkan (hukuman).
Anak tidak melanggar aturan karena takut
akan ancaman hukuman dari otoritas
2. Konvensional
Tahap
1. Orientasi kepatuhan dan hukuman
pemahaman anak tentang baik dan buruk
oleh otoritas. Kepatuhan terhadap aturan
adalah untuk menghindari hukuman dari
otoritas
2. Orientasi hedonistic-instrumentall suatu
perbuatan dinilai baik apabila berfungsi
sebagai instrument untuk memenuhi
melihat struktur proses kognitif yang mendasari jawaban ataupun perubahan-perubahan moral (Desmita,
2012).
Sesuai dengan tahap-tahap perkembangan moral menurut Kohlberg, tingkat penalaran
moral remaja berada pada tahap konvensional. Hal ini adalah karena dibandingkan dengan anakanak, tingkat moralitas remaja sudah lebih matang. Mereka sudah mulai mengenal konsepkonsep moralitas seperti kejujuran, keadilan, kesopanan, kedisiplinan, dan sebagainya. Walaupun
anak remaja tidak selalu mengikuti prinsip-prinsip moralitas mereka sendiri, namun riset
menyatakan bahwa prinsip-prinsip tersebut menggambarkan keyakinan yang sebenarnya dari
pemikiran moral konvensional (Desmita, 2012).
Beberapa penelitian tentang penalaran moral remaja yang mengacu pada teori penalaran
moral Kohlberg, menunjukkan bahwa pada umumnya remaja berada dalam tingkatan
konvensional. Penelitian Kusdwiratri Setiono (1982) misalnya, menunjukkan bahwa dari 180
mahasiswa Universitas Padjadjaran peserta KKN yang diukur penalaran moralnya berdasarkan
Moral Judgement Interview (MJI); 1% tahap 2, 56% tahap 3, dan 43% tahap 4. Penelitian Budi
Susilo (1986) dengan menggunakan alat ukur yang sama terhadap tingkat penalaran moral dari
71 mahasiswa di Yogyakarta menemukan adanya perbedaan antara mahasiswa yang aktif dan
yang tidak aktif dalam kegiatan Lembaga Sosial Masyarakat. Sekitar 39% dari mahasiswa yang
aktif tingkat penalarannya mencapat tahap 4,s edangkan mahasiswa yang tidak aktif hanya 8%
yang mencapai tahap 4 (Setiono, 1994).
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tahap penalaran moral remaja Indonesia
pada umumnya berkisar antara tahap 3 dan 4, bahkan lebih banyak yang baru mencapai tahap 3.
Ini mengindikasikan bahwa perkembangan penalaran moral remaja Indonesia secara umum
belum optimal. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya ditemui remaja yang mengalami
dekadensi moral. Untuk itu, agaknya perlu melakukan program intervensi untuk meningkatkan
tahap penalaran moral Kohlberg, idealnya penalaran moral remaja sudah mencapai tahap 5,
yakni telah memiliki prinsip moral sendiri yang bisa sama atau berbeda dengan system moral
masyarakat. Remaja yang mencapai tahap 5 perkembangan penalaran moralnya tidak mudah
terbawa arus mengikuti apa yang dianggap baik atau buruk oleh masyarakat. Pencapaian
penalaran moral tahap 5 ini sangat penting bagi remaja, sebab ia akan menduduki posisi kunci
dalam masyarakat di masa mendatang (Desmita, 2012).
pemahaman,
dan
pengharapankonsep-konsep
abstrakketika
membuat
Ketidakmampuan untuk menyelesaikan krisis yang terjadi pada satu tahap akan dengan
sendirinya mengganggu tahap berikutnya. Ketidakmampuan tersebut pada akhirnya juga akan
mempengaruhi tingkat kepercayaan eksistensial seseorang. Rasionalnya, seharusnya individu
telah berkembang tingkat kepercayaan eksistensialnya, hanya saja karena kegagalan
penyelesaian krisis dengan sendirinya mengganggu siklus kehidupannya, maka individu tersebut
juga akan mengalami hambatan untuk meningkatkan dari tingkat kepercayaan eksistensial yang
saat itu dialaminya (Desmita, 2012).
Hasil penelitian yang dilakukan Sanders (1998) menunjukkan bahwa individu dengan
status difusi (tanpa eksplorasi dan tanpa komitmen) ternyata memiliki tingkat kematangan yang
rendah dalam hal keyakinan beragama. Artinya individu dengan status difusi yang tidak mampu
menyelesaikan krisis pada tahap difusi ternyata tidak dapat pula mengembangkan kepercayaan
beragamanya.
Kegagalan mengenai krisis internal di atas, bila bertemu dengan lingkungan eksternal
yang tidak mendukung perkembangan kepercayaan, akan menjadikan remaja terseret dalam
pengaruh lingkungan. Seseorang individu hidup dalam lingkungan social yang lebih luas dan
dirinya mungkin melepaskan lingkungan tersebut. Bila pengaruh lingkungan itu kuat dan bersifat
mendukung kepercayaan atau keyakinan yang dimiliki remaja, maka remaja akan terbantu dan
menyelesaikan krisisnya. Sebaliknya bila pengaruh lingkungan itu kuat dan tidak membantu atau
malah mengganggu proses menyelesaikan krisis kepercayaan kepada Tuhan yang dialami
remaja, maka akan mengakibatkan remaja akan mengalami krisis kepercayaan kepada Tuhan
yang tidak terselesaikan. Keraguannya kepada Tuhan dapat mengakibatkan menjadi ingkar
kepada Tuhan (Desmita, 2012).
Faktor terakhir yang oleh Fowler (1988) diidentifikasikan berperngaruh terhadap
perkembangan kepercayaan eksistensial adalah keanggotaan dalam kelompok biasanya setiap
individu akan memiliki reference group yang menjadi aktivitas bagi dirinya. Ikatan yang muncul
dari konsekuensi logis keanggotaannya pada kelompok tersebut, akan dengan sendirinya
mempengaruhi perilaku yang harus ditampilkannya. Lingren (tt) menyatakan bahwa teman
sebaya memainkan peran penting dalam kehidupan remaja dan secara khas menggantikan
keluaga sebagai aktivitas social remaja.
Begitu juga dalam aktivitas keberagamannya, kelompok akan memperngaruhi cara
seseorang beragama. Jika kelompok tersebut membangun iklim beragama yang sehat, maka
dimungkinkan individu menjadi anggotanya akan terdorong untuk melakukan aktivitas agama
yang semakin lama cenderung meningkat. Krisis kepercayaan terhadap Tuhan akan dibantu
kelompok tersebut kurang memperhatikan masalah religiusitas, maka kecenderungan
antireligiusitas, makakecenderungan yang muncul adalah anggota akan larut pada aktivitas yang
sepi dari nuansa agama bahkan menentang agama. Krisis kepada Tuhan yang dialami oleh
seorang remaja tidak dibantu oleh kelompok untuk dapat menyelesaikannya (Desmita, 2012).\
Implikasi Perkembangan Moral dan Spiritual terhadap Pendidikan
Memerhatikan uraian tentang perkembangan moral dan spiritual sebagaiamana telah
dipaparkan, maka sekolah sebagai lembaga pendidikan dituntut untuk membantu peserta didik
dalam mengembangkan moral dan spiritual mereka, sehingga mereka dapat menjadi manusia
yang moralis dan religious. Berikut ini akan dikemukakan beberapa strategi yang mungkin dapat
dilakukan guru di sekolah dalam membantu perkembangan moral dan spiritual peserta didik.
1. Memberikan pendidikan moral dan keagamaaan melalui kurikulum tersembunyi
(hidden curriculum), yakni menjadi sekolah sebagai atmosfer moral dan agama secara
keseluruhan. Atmosfer di sini termasuk peraturan sekolah dan kelas, sikap terhadap
kegiatan akademik dan ekstrakulikuler, orientasi moral yang dimiliki guru dan
pegawai serta materi teks yang digunakan. Terutama guru dalam hal ini harus mampu
menjadi model tingkah laku yang mencerminkan nilai-nilai moral dan agama. Tanpa
adanya model tingkah laku yang baik dari guru, maka pendidikan moral dan agama
yang diberikan di sekolah tidak akan efektif menjadi peserta didik sebagai seorang
yang moralis dan religious
2. Memberikan pendidikan moral langsung (direct moral education), yakni pendidikan
moral dengan pendekatan pada nilai dan juga sifat selama jangka waktu tertentu atau
menyatukan nilai-nilai dan sifat-sifat tersebut ke dalam kurikulum. Dalam pendekatan
ini, instruksi dalam konsep moral tertentu dapat mengambil bentuk dalam contoh dan
definisi, diskusi kelas, dan bermain peran, atau member reward kepada siswa yang
berperilaku secara tepat.
3. Memberikan pendekatan moral melalui pendekatan klarifikasi nilai (value
clarification), yaitu pendekatan pendidikan moral tidak langsung yang berfokus pada
upaya membantu siswa untuk memperoleh kejelasan mengenai tujuan hidup mereka
dan apa yang berharga untuk dicari. Dalam klarifikasi nilai, kepada siswa diberikan
pertanyaan atau dilemma, dan mereka diharapkan untuk member tanggapan, baik
secara individual maupun secara kelompok. Tujuannya adalah untuk menolong siswa
menentukan nilai mereka sendiri dan menjadi peka terhadap nilai yang dianut orang
lain.
4. Menjadikan pendidikan wahana yang kondusif bagi peserta didik untuk menghayati
agamanya, tidak hanya sekedar bersifat teoritis, tetapi penghayatan yang benar-benar
dikonstruksi dari pengalaman keberagamaan. Oleh sebab itu, pendidikan agama yang
dilangsungkan di sekolah harus lebih menekankan pada penempatan peserta didik
untuk mencari pengalaman keberagaman (religiousity). Dengan pendekatan demikian,
maka yang ditonjolkan dalam pendidikan agama adalah ajaran dasar agama yang
sarat dengan nilai-nilai spiritualitas dan moralitasm seperti kedamaian dan keadilan.
5. Membantu peserta didik mengembangkan rasa Ketuhanan melalui pendekatan
spiritual parenting, seperti:
Memupuk hubungan sadar anak dengan Tuhan melalui doa setiap hari
Menanyakan kepada anak bagaimana Tuhan terlibat dalam aktivitasnya
sehari-hari
Memberikan kesadaran kepada anak bahwa Tuhan akan membimbing kita
apabila kita meminta
Menyuruh anak merenungkan bahwa Tuhan itu ada dalam jiwa mereka
dengan cara menjelaskan bahwa mereka tidak dapat melihat diri mereka
tumbuh atau mendengar darah mereka mengalir, tetapi tahu bahwa semua itu
sungguh-sungguh terjadi sekalipun mereka tidak melihat apapun (Desmita,
2012).