Anda di halaman 1dari 20

pola hubungan perawat dan profesi lain

Jun
12

POLA HUBUNGAN KERJA PERAWAT DALAM PELAKSANAAN PRAKTIK PROFESIONAL

Dalam melaksanakan tugasnya dengan baik dan professional, seorang perawat


harus dapat bekerja sama dengan pihak-pihak lain yang berkaitan dengan
tugasnya untuk memberikan pelayanan yang baik pada individu, keluarga,
kelompok, maupun masyarakat.

HUBUNGAN KERJA PERAWAT DENGAN PROFESI LAIN YANG SALING TERKAIT

Dalam melaksanakan tugasnya, perawat tidak dapat bekerja tanpa berkolaborasi


dengan profesi lain. Profesi lain tersebut diantaranya adalah dokter, ahli gizi,
tenaga laboratorium, tenaga rontgen dsb. Setiap tenaga profesi tersebut
mempunyai tanggung jawab terhadap kesehatan pasien, hanya pendekatannya
saja yang berbeda disesuaikan dengan profesinya masing-masing.

Dalam menjalankan tugasnya, setiap profesi dituntut untuk mempertahankan


kode etik profesi masing-masing. Kelancaran masing-masing profesi tergantung
dari ketaatannya dalam menjalankan dan mempertahankan kode etik profesinya.

Bila setiap profesi telah dapat saling menghargai, maka hubungan kerja sama
akan dapat terjalin dengan baik, walaupun pada pelaksanaannya sering juga
terjadi konflik-konflik etis.

Contoh kasus:

Perawat Ranti, S.Kp adalah lulusan fakultas ilmu keperawatan yang bertugas di
ruang ICU rumah sakit tipe B. dalam menjalankan tugasnya, Ranti sangat
berdisiplin dan teliti terhadap pelaksanaan asuhan keperawatan pasien. Oleh
karena itulah, Ranti sangat dipercaya oleh dokter jaga yang bernama dr.Alex.

Bila Ranti bertugas dengan waktu yang bersamaan dengan dr.Alex, Ranti sering
mendapat pesan bahwa dr.Alex tidak dapat hadir dan diberi petunjuk atau
protocol bila terjadi perubahan pada kondisi pasiennya dan Ranti diwajibkan
melapor melalui telepon atau ponselnya.

Dalam hal ini, sebenarnya Ranti dan dr.Alex mempunyai tanggung jwab yang
berbeda baik dalam menjalankan tugas maupun tanggung jawab terhadap
pasien. Walaupun Ranti dapat menjalankan tugasnya dengan baik, akan tetapi
terjadi konflik dalam nilai-nilai pribadinya, apakah ia perlu menjelaskan pada
dr.Alex bahwa tanggung jawab tugas mereka berbeda, dan tidak dapat
dilimpahkan begitu saja padanya tanpa alas an yang dapat dipertanggung
jawabkan atau apakah ia perlu melaporkan kepada pihak rumah sakit bahwa
dr.Alex sering tidak hadir untuk menjalankan tugasnya sebagai dokter jaga.

Hal ini perlu dipertimbangkan dengan matang agar hubungan kerja perawat dan
dokter tersebut dapat tetap terjalin dengan baik dan dapat berperan sesuai
dengan profesinya masing-masing.

Perawat VS Dokter

PROFESI keperawatan menggeliat. Hampir dua dekade perawat Indonesia


mengkampanyekan perubahan paradigma. Pekerjaan perawat yang semula
vokasional hendak digeser menjadi pekerjaan profesional. Perawat yang dulunya
berfungsi sebagai perpanjangan tangan dokter, kini berupaya menjadi mitra

sejajar dokter sebagaimana para perawat di negara maju. Siapkah pihak lain
menerima perubahan paradigma itu? Siapkah para perawat menerima
konsekuensi dari perubahan paradigma itu?Wacana tentang perubahan
paradigma keperawatan bermula dari Lokakarya Nasional Keperawatan I tahun
1983. Dalam pertemuan itu disepakati bahwa keperawatan adalah pelayanan
profesional.

Pelayanan keperawatan didefinisikan sebagai bagian integral dari pelayanan


kesehatan yang diberikan kepada masyarakat, keluarga, kelompok khusus,
individu, dan sebagainya, pada setiap tingkat, sepanjang siklus kehidupan
pasien.

Mengikuti perkembangan keperawatan dunia, para perawat menginginkan


perubahan mendasar dalam kegiatan profesinya. Kalau tadinya hanya
membantu pelaksanaan tugas dokter, menjadi bagian dari upaya mencapai
tujuan asuhan medis, kini mereka menginginkan pelayanan keperawatan mandiri
sebagai upaya mencapai tujuan asuhan keperawatan.

Jika dulu hanya menjalankan perintah dokter, sekarang ingin diberi wewenang
memutuskan berdasarkan ilmu keperawatan dan bekerja sama dengan dokter
untuk menetapkan apa yang terbaik bagi pasien.

Keluarnya Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UU No


2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional serta Surat Keputusan Menteri
Kesehatan No 647/2000 tentang registrasi dan praktik keperawatan lebih
mengukuhkannya sebagai profesi di Indonesia.

***

TUNTUTAN perubahan paradigma ini tentu mengubah sebagian besar bentuk


hubungan perawat dengan manajemen organisasi tempat kerja (rumah sakit,
puskesmas), dokter, serta pasien. Jika praktik keperawatan dilihat sebagai
praktik profesi, maka harus ada otoritas atau kewenangan. Ada kejelasan
batasan, siapa melakukan apa. Karena diberi kewenangan maka perawat bisa
digugat, perawat harus bertanggung jawab terhadap tiap keputusan dan
tindakan yang dilakukan.

Perawat harus diberi kesempatan untuk mengambil keputusan secara mandiri


didukung oleh pengetahuan dan pengalaman di bidang keperawatan. Namun
demikian, tidak ada satu pun masalah kesehatan yang hanya diatasi dengan
salah satu disiplin ilmu, karenanya kerja sama dengan pelbagai profesi lain tetap
sangat penting.

Peran lain perawat adalah melakukan advokasi, membela kepentingan pasien.


Saat ini keputusan pasien dipulangkan sangat tergantung kepada putusan
dokter. Dengan keunikan pelayanan keperawatan, perawat berada dalam posisi
untuk bisa menyatakan kapan pasien bisa pulang atau kapan pasien harus tetap
tinggal. Perawat juga berperan memberikan informasi sejelas-jelasnya bagi
pasien.

Untuk bisa bekerja secara profesional diperlukan sarana dan prasarana kerja
yang memadai. Perlu iklim kerja yang kondusif dengan budaya organisasi yang
mendukung dalam berinteraksi dengan tenaga kesehatan lain serta budaya
organisasi yang memfasilitasi kerja sama dengan pasien.

Struktur organisasi hendaknya bisa memfasilitasi kewenangan bagi perawat


dalam membuat keputusan. Untuk bisa bekerja secara tenang dan maksimal,
diperlukan proteksi terhadap risiko kerja dan tindak kekerasan.

***

KONSEKUENSI dari perkembangan itu harus ada jenjang karier dan


pengembangan staf yang tertata baik, imbalan jasa, insentif serta sistem
penghargaan yang sesuai dan memadai.

Rendahnya imbalan jasa bagi perawat selama ini mempengaruhi kinerja


perawat. Banyak perawat bergaji di bawah upah minimum regional (UMR).
Sebagai gambaran, gaji perawat pemerintah di Indonesia antara Rp 300.000-Rp
1 juta per bulan tergantung golongan. Sementara perawat di Filipina tak kurang
dari Rp 3,5 juta.

Bagaimana mau maksimal jika pagi bekerja di rumah sakit pemerintah, sore
bekerja di rumah sakit swasta agar penghasilan bisa cukup untuk hidup. Sejak
berangkat dari rumah, perawat sudah dipusingkan dengan uang bayaran sekolah
anak. Saat berangkat kerja, harus menempuh perjalanan jauh dengan berebutan

dan berdesakan di kendaraan umum. Hal ini membuat perawat sering kali
menjadi tidak sabar dan tidak berkonsentrasi dalam bekerja.

Jika dibandingkan dengan penghasilan dokter secara umum, penghasilan


perawat ibarat bumi dan langit. Di beberapa daerah ada perawat honorer yang
hanya mendapat imbalan Rp 35.000-Rp 50.000 per bulan. Mereka bekerja
sebagai perawat hanya untuk pengabdian atau demi status. Bahkan sebagian
menggantungkan hidup dari menyadap karet atau bertani.

Oleh karena itu, isu hangat di pelbagai pertemuan keperawatan baik regional
maupun nasional adalah isu tentang jasa keperawatan. Hal ini merupakan
kebutuhan mendesak, karena dapat menimbulkan dampak serius, seperti
penurunan mutu pelayanan, meningkatnya keluhan konsumen, ungkapan
ketidakpuasan perawat lewat unjuk rasa dan sebagainya.

Isu ini jika tidak ditanggapi dengan benar dan proporsional dikhawatirkan dapat
menghambat upaya melindungi kepentingan pasien dan masyarakat yang
membutuhkan jasa pelayanan kesehatan, menghambat perkembangan rumah
sakit serta menghambat upaya pengembangan dari keperawatan sebagai
profesi. Hal ini juga terkait dengan kesiapan Indonesia menghadapi AFTA 2003.

Pengaturan sistem penghargaan kepada perawat di Indonesia diharapkan


memperhatikan besarnya upaya dan bobot kerja yang disumbangkan oleh
perawat dalam melaksanakan pelayanan atau asuhan keperawatan yang
profesional.

***

MASALAHNYA, para dokter dan direktur rumah sakit banyak yang belum
memahami apa yang disebut pelayanan keperawatan profesional. Sosialisasi
tentang hal itu belum memadai, terutama di daerah. Maka perubahan paradigma
itu harus lebih disosialisasikan, khususnya kepada para dokter sebagai mitra
kerja. Untuk meyakinkan para dokter dan konsumen, kata seorang panelis, perlu
penelitian untuk membuktikan bahwa hasil pelayanan keperawatan profesional
jauh lebih baik daripada pelayanan keperawatan sebelumnya.

Dalam hal persiapan peraturan, Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI)


menyatakan sudah menyelesaikan konsep lingkup praktik keperawatan, standar

praktik keperawatan, serta standar kompetensi tiap kategori keperawatan.


Rancangan Undang-Undang Keperawatan juga sudah selesai, tinggal dibahas di
tingkat departemen kemudian diteruskan ke DPR.

Dalam waktu dekat hendak dilakukan uji coba model-model praktik keperawatan
profesional. Sejauh ini sudah diidentifikasi bentuk-bentuk praktik keperawatan
mandiri, seperti praktik di rumah sakit, kunjungan rumah (home care),
lembaga/rumah perawatan (nursing home), praktik berkelompok serta praktik
individu.

Diakui, pengaturan tenaga keperawatan di Indonesia saat ini belum terintegrasi


sejak dari perencanaan, pengadaan sampai pemanfaatan. Karena itu para pihakpemerintah, PPNI, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), asosiasi rumah sakit, serta
perwakilan konsumen-perlu duduk bersama membahas hal ini.

Selain itu, PPNI harus duduk bersama IDI untuk pembinaan kemitraan seawal
mungkin dan memilah dari daftar tindakan medik yang selama ini dilimpahkan
dokter ke perawat. Dalam kondisi di mana dokter tidak ada, tindakan medik apa
yang bisa dilimpahkan secara penuh, sehingga perawat bisa mengklaim jasa
keperawatannya. Sebagaimana bidan yang mendapat pelimpahan secara penuh
untuk menolong persalinan normal dari dokter ahli kandungan dan kebidanan.

***

DI luar masalah jasa keperawatan dan soal menjalin kerja sama kemitraan
dengan dokter, perawat perlu mengantisipasi konsekuensi perubahan dari
vokasional menjadi profesional.

Status yuridis seiring perubahan perawat dari perpanjangan tangan dokter


menjadi mitra dokter sangat kompleks. Penanganan pasien di rumah sakit akan
ditangani dua profesi di samping tenaga kesehatan lain. Tanggung jawab hukum
akan terpisah untuk masing-masing kesalahan atau kelalaian. Yaitu, malpraktik
medis, dan malpraktik keperawatan. Untuk mengantisipasi, di luar negeri saat ini
sudah ada asuransi untuk malpraktik keperawatan, selain asuransi untuk
malpraktik kedokteran.

Pemberian kewenangan untuk memutuskan bentuk perawatan bagi pasien


maupun pembagian tanggung jawab dengan dokter dalam melakukan tindakan,

membuahkan konsekuensi hukum. Perawat kini bisa digugat. Pelbagai kasus


pengadilan di luar negeri menunjukkan, perawat profesional mengalami tuntutan
hukum akibat kelalaian atau malpraktik dalam melakukan pekerjaan.

Kesalahan perawat yang mungkin bisa terjadi adalah salah obat, salah dosis,
salah konsentrasi, salah baca label, salah pasien, atau yang fatal salah transfusi.
Contoh di luar negeri adalah tertinggalnya peralatan bedah dalam perut pasien.
Saat ini di Indonesia kelalaian itu masih menjadi tanggung jawab dokter. Tetapi,
nanti jika perawat kamar bedah sudah profesional seperti di negara maju, hal itu
menjadi tanggung jawab perawat.

Perawat profesional akan berhadapan dengan beberapa bentuk sanksi hukum.


Dari hukum pidana, hukum perdata, hukum perburuhan (berkaitan dengan
tempat kerja), hukum kedokteran sampai masalah etika dan disiplin profesi.

Perawat perlu mempunyai hukum keperawatan yang terkait dengan hukum


kedokteran dan hukum kerumahsakitan. Hal-hal ini harus diajarkan pada
pendidikan perawat sejak level yang paling rendah (kini D3 Keperawatan yang
akan menjadi perawat profesional pemula).

Perlu ada kejelasan dari pemerintah maupun para pihak terkait mengenai
tanggung jawab hukum dari perawat, dokter maupun rumah sakit. Sejauh ini
belum ada peraturan pemerintah (PP) yang mengatur.

UU No 23/1992 tidak mengatur. Dari 29 PP yang diperlukan untuk pelaksanaan,


baru disusun empat PP. Itu pun bukan tentang standar profesi, perlindungan hak
pasien dan ganti rugi akibat kesalahan pelayanan yang dilakukan tenaga
kesehatan.

Pengaturan yang ada hanya berupa Surat Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan
Medik serta Keputusan Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial. Padahal,
menurut peraturan seharusnya PP dulu baru Kepmenkes dan SK Dirjen. Demikian
juga pengaturan tentang hak dan kewajiban perawat. Surat Keputusan Dirjen
Yanmed hanya mengatur perawat di rumah sakit, sedang pengaturan perawat
secara umum belum ada.

Untuk itu organisasi profesi perawat harus berbenah dan memperluas struktur
organisasi agar dapat menampung semua perubahan, misalnya ada sekretaris
jenderal yang bekerja purnawaktu.

Kode etik keperawatan Indonesia :

1. Tanggung jawab perawat terhadap individu, keluarga dan masyarakat

a. Perawat dalam melaksanakan pengabdiannya senantiasa berpedoman kepada


tanggungjawab yang bersumber dari adanya kebutuhan akan keperawatan
individu, keluarga dan masyarakat.

b. Perawat dalam melaksanakan pengabdiannya di bidang keperawatan


senantiasa memelihara suasana lingkungan yang menghormati nilai-nilai
budaya, adat-istiadat dan kelangsungan hidup beragama dari individu, keluarga
dan masyarakat.

c. Perawat dalam melaksanakan kewajibannya bagi individu, keluarga dan


masyarakat senantiasa dilandasi dengan rasa tulus ikhlas sesuai dengan
martabat dan tradisi luhur keperawatan.Tanggungjawab terhadap tugas

d. Perawat senantiasa menjalin hubungan kerja sama dengan individu, keluarga


dan masyarakat dalam mengambil prakarsa dan mengadakan upaya kesehatan
khususnya serta upaya kesejahteraan umum sebagai bagian dari tugas
kewajiban bagi kepentingan masyarakat.

2. Tanggungjawab terhadap tugas

a. Perawat senantiasa memelihara mutu pelayanan keperawatan yang tinggi


disertai kejujuran profesional dalam menerapkan pengetahuan serta ketrampilan
keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu, keluarga dan masyarakat.

b. Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui sehubungan


dengan tugas yang dipercayakan kepadanya kecuali jika diperlukan oleh yang
berwenang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

c. Perawat tidak akan menggunakan pengetahuan dan keterampilan


keperawatan untuk tujuan yang bertentangan dengan norma-norma
kemanusiaan.

d. Perawat dalam menunaikan tugas dan kewajibannya senantiasa berusaha


dengan penuh kesadaran agar tidak terpengaruh oleh pertimbangan
kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik dan agama
yang dianut serta kedudukan sosial.

e. Perawat senantiasa mengutamakan perlindungan dan keselamatan klien


dalam melaksanakan tugas keperawatan serta matang dalam
mempertimbangkan kemampuan jika menerima atau mengalihtugaskan
tanggungjawab yang ada hubungannya dengan keperawatan.

3. Tanggungjawab terhadap sesama perawat dan profesi kesehatan lainnya

a. Perawat senantiasa memelihara hubungan baik antara sesama perawat dan


dengan tenaga kesehatan lainnya, baik dalam memelihara kerahasiaan suasana
lingkungan kerja maupun dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan secara
menyeluruh.

b. Perawat senantiasa menyebarluaskan pengetahuan, keterampilan dan


pengalamannya kepada sesama perawat serta menerima pengetahuan dan
pengalaman dari profesi lain dalam rangka meningkatkan kemampuan dalam
bidang keperawatan.

4. Tanggungjawab terhadap profesi keperawatan

a. Perawat senantiasa berupaya meningkatkan kemampuan profesional secara


sendiri-sendiri dan atau bersama-sama dengan jalan menambah ilmu
pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang bermanfaat bagi
perkembangan keperawatan.

b. Perawat senantiasa menjunjung tinggi nama baik profesi keperawatan dengan


menunjukkan perilaku dan sifat pribadi yang luhur.

c. Perawat senantiasa berperan dalam menentukan pembakuan pendidikan dan


pelayanan keperawatan serta menerapkan dalam kegiatan dan pendidikan
keperawatan.
d. Perawat secara bersama-sama membina dan memelihara mutu organisasi
profesi keperawatan sebagai sarana pengabdiannya.

5. Tanggungjawab terhadap pemerintah, bangsa dan negara

a. Perawat senantiasa melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai


kebijaksanaan yang diharuskan oleh pemerintah dalam bidang kesehatan dan
keperawatan.

b. Perawat senantiasa berperan secara aktif dalam menyumbangkan pikiran


kepada pemerintah dalam meningkatkan pelayanan kesehatan dan keperawatan
kepada masyarakat.

TREND DAN ISSUE KEPERAWATAN

PELAKSANAAN KOLABORASI PERAWAT DOKTER

A.

Pendahuluan

Kolaborasi merupakan istilah umum yang sering digunakan untuk


menggambarkan suatu hubungan kerja sama yang dilakukan pihak tertentu.
Sekian banyak pengertian dikemukakan dengan sudut pandang beragam namun
didasari prinsip yang sama yaitu mengenai kebersamaan, kerja sama, berbagi
tugas, kesetaraan, tanggung jawab dan tanggung gugat. Namun demikian
kolaborasi sulit didefinisikan untuk menggambarkan apa yang sebenarnya yang
menjadi esensi dari kegiatan ini. Seperti yang dikemukakan National Joint
Practice Commision (1977) yang dikutip Siegler dan Whitney (2000) bahwa tidak
ada definisi yang mampu menjelaskan sekian ragam variasi dan kompleknya
kolaborasi dalam kontek perawatan kesehatan.

Berdasarkan kamus Heritage Amerika (2000), kolaborasi adalah bekerja bersama


khususnya dalam usaha penggambungkan pemikiran. Hal ini sesuai dengan apa
yang dikemukanan oleh Gray (1989) menggambarkan bahwa kolaborasi sebagai
suatu proses berfikir dimana pihak yang terklibat memandang aspek-aspek
perbedaan dari suatu masalah serta menemukan solusi dari perbedaan tersebut
dan keterbatasan padangan mereka terhadap apa yang dapat dilakukan.

American Medical Assosiation (AMA), 1994, setelah melalui diskusi dan negosiasi
yang panjang dalam kesepakatan hubungan professional dokter dan perawat,
mendefinisikan istilah kolaborasi sebagai berikut ; Kolaborasi adalah proses
dimana dokter dan perawat merencanakan dan praktek bersama sebagai kolega,
bekerja saling ketergantungan dalam batasan-batasan lingkup praktek mereka
dengan berbagi nilai-nilai dan saling mengakui dan menghargai terhadap setiap
orang yang berkontribusi untuk merawat individu, keluarga dan masyarakat.
(www.nursingword.org/readroom,)

Apapun bentuk dan tempatnya, kolaborasi meliputi suatu pertukaran pandangan


atau ide yang memberikan perspektif kepada seluruh kolaborator. Efektifitas
hubungan kolaborasi profesional membutuhkan mutual respek baik setuju atau
ketidaksetujuan yang dicapai dalam interaksi tersebut. Partnership kolaborasi
merupakan usaha yang baik sebab mereka menghasilkan outcome yang lebih
baik bagi pasien dalam mecapai upaya penyembuhan dan memperbaiki kualitas
hidup.

Kolaborasi merupakan proses komplek yang membutuhkan sharing pengetahuan


yang direncanakan dan menjadi tanggung jawab bersama untuk merawat
pasien. Bekerja bersama dalam kesetaraan adalah esensi dasar dari kolaborasi
yang kita gunakan untuk menggambarkan hubungan perawat dan dokter.
Tentunya ada konsekweksi di balik issue kesetaraan yang dimaksud. Kesetaraan
kemungkinan dapat terwujud jika individu yang terlibat merasa dihargai serta
terlibat secara fisik dan intelektual saat memberikan bantuan kepada pasien.
Pertanyaannya apakah kolaborasi dokter dan perawat telah terjadi dengan
semestinya?

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk menelaah lebih
jauh mengenai trend dan issue mengenai pelaksanaan kolaborasi perawatdokter, mengingat bahwa kerjasama antara dokter-perawat merupakan salah
satu faktor sangat penting untuk mencapai keberhasilan dan kualitas pelayanan
kesehatan yang diberikan kepada pasien.

B.

Trend dan Issue yang Terjadi

Hubungan perawat-dokter adalah satu bentuk hubungan interaksi yang telah


cukup lama dikenal ketika memberikan bantuan kepada pasien. Perspektif yang
berbeda dalam memandang pasien, dalam prakteknya menyebabkan
munculnya hambatan-hambatan teknik dalam melakukan proses kolaborasi.
Kendala psikologis keilmuan dan individual, factor sosial, serta budaya
menempatkan kedua profesi ini memunculkan kebutuhan akan upaya kolaborasi
yang dapat menjadikan keduanya lebih solid dengan semangat kepentingan
pasien.

Berbagai penelitian menunjukan bahwa banyak aspek positif yang dapat timbul
jika hubungan kolaborasi dokter-perawat berlangsung baik. American Nurses
Credentialing Center (ANCC) melakukan risetnya pada 14 rumah sakit
melaporkan bahwa hubungan dokter-perawat bukan hanya mungkin dilakukan,
tetapi juga berdampak langsung pada hasil yang dialami pasien (Kramer dan
Schamalenberg, 2003). Terdapat hubungan korelasi positif antara kualitas
hubungan dokter-perawat dengan kualitas hasil yang didapatkan pasien.

Hambatan kolaborasi dokter dan perawat sering dijumpai pada tingkat


profesional dan institusional. Perbedaan status dan kekuasaan tetap menjadi

sumber utama ketidaksesuaian yang membatasi pendirian profesional dalam


aplikasi kolaborasi. Dokter cenderung pria, dari tingkat ekonomi lebih tinggi dan
biasanya fisik lebih besar dibanding perawat, sehingga iklim dan kondisi sosial
masih medukung dominasi dokter. Inti sesungguhnya dari konflik perawat dan
dokter terletak pada perbedaan sikap profesional mereka terhadap pasien dan
cara berkomunikasi diantara keduanya.

Dari hasil observasi penulis di rumah sakit nampaknya perawat dalam


memberikan asuhan keperawatan belum dapat melaksanakan fungsi kolaborasi
khususnya dengan dokter. Perawat bekerja memberikan pelayanan kepada
pasien hanya berdasarkan intruksi medis yang juga didokumentasikan secara
baik, sementara dokumentasi asuhan keperawatan yang meliputi proses
keperawatan tidak ada. Disamping itu hasil wawancara penulis dengan beberapa
perawat rumah sakit pemerintah dan swasta, mereka menyatakan bahwa
banyak kendala yang dihadapi dalam melaksanakan kolaborasi, diantaranya
pandangan dokter yang selalu menganggap bahwa perawat merupakan tenaga
vokasional, perawat sebagai asistennya, serta kebijakan rumah sakit yang
kurang mendukung.

Isu-isu tersebut jika tidak ditanggapi dengan benar dan proporsional


dikhawatirkan dapat menghambat upaya melindungi kepentingan pasien dan
masyarakat yang membutuhkan jasa pelayanan kesehatan, serta menghambat
upaya pengembangan dari keperawatan sebagai profesi.

C.

Pembahasan

Pemahaman kolaborasi

Pemahaman mengenai prinsip kolaborasi dapat menjadi kurang berdasar jika


hanya dipandang dari hasilnya saja. Pembahasan bagaimana proses kolaborasi
itu terjadi justru menjadi point penting yang harus disikapi. Bagaimana masingmasing profesi memandang arti kolaborasi harus dipahami oleh kedua belah
pihak sehingga dapat diperoleh persepsi yang sama.

Seorang dokter saat menghadapi pasien pada umumnya berfikir, apa diagnosa
pasien ini dan perawatan apa yang dibutuhkannya pola pemikiran seperti ini

sudah terbentuk sejak awal proses pendidikannya. Sulit dijelaskan secara tepat
bagaimana pembentukan pola berfikir seperti itu apalagi kurikulum kedokteran
terus berkembang. Mereka juga diperkenalkan dengan lingkungan klinis dibina
dalam masalah etika, pencatatan riwayat medis, pemeriksaan fisik serta
hubungan dokter dan pasien. mahasiswa kedokteran pra-klinis sering terlibat
langsung dalam aspek psikososial perawatan pasien melalui kegiatan tertentu
seperti gabungan bimbingan pasien. Selama periode tersebut hampir tidak ada
kontak formal dengan para perawat, pekerja sosial atau profesional kesehatan
lain. Sebagai praktisi memang mereka berbagi lingkungan kerja dengan para
perawat tetapi mereka tidak dididik untuk menanggapinya sebagai
rekanan/sejawat/kolega. (Siegler dan Whitney, 2000)

Dilain pihak seorang perawat akan berfikir; apa masalah pasien ini? Bagaimana
pasien menanganinya?, bantuan apa yang dibutuhkannya? Dan apa yang dapat
diberikan kepada pasien?. Perawat dididik untuk mampu menilai status
kesehatan pasien, merencanakan intervensi, melaksanakan rencana,
mengevaluasi hasil dan menilai kembali sesuai kebutuhan. Para pendidik
menyebutnya sebagai proses keperawatan. Inilah yang dijadikan dasar
argumentasi bahwa profesi keperawatan didasari oleh disiplin ilmu yang
membantu individu sakit atau sehat dalam menjalankan kegiatan yang
mendukung kesehatan atau pemulihan sehingga pasien bisa mandiri.

Sejak awal perawat dididik mengenal perannya dan berinteraksi dengan pasien.
Praktek keperawatan menggabungkan teori dan penelitian perawatan dalam
praktek rumah sakat dan praktek pelayanan kesehatan masyarakat. Para pelajar
bekerja diunit perawatan pasien bersama staf perawatan untuk belajar merawat,
menjalankan prosedur dan menginternalisasi peran.

Kolaborasi merupakan proses komplek yang membutuhkan sharing pengetahuan


yang direncanakan yang disengaja, dan menjadi tanggung jawab bersama untuk
merawat pasien. Kadangkala itu terjadi dalam hubungan yang lama antara
tenaga profesional kesehatan. (Lindeke dan Sieckert, 2005).

Kolaborasi adalah suatu proses dimana praktisi keperawatan atau perawat klinik
bekerja dengan dokter untuk memberikan pelayanan kesehatan dalam lingkup
praktek profesional keperawatan, dengan pengawasan dan supervisi sebagai
pemberi petunjuk pengembangan kerjasama atau mekanisme yang ditentukan
oleh peraturan suatu negara dimana pelayanan diberikan. Perawat dan dokter
merencanakan dan mempraktekan bersama sebagai kolega, bekerja saling
ketergantungan dalam batas-batas lingkup praktek dengan berbagi nilai-nilai dan
pengetahuan serta respek terhadap orang lain yang berkontribusi terhadap
perawatan individu, keluarga dan masyarakat.

Anggota Tim interdisiplin

Tim pelayanan kesehatan interdisiplin merupakan sekolompok profesional yang


mempunyai aturan yang jelas, tujuan umum dan berbeda keahlian. Tim akan
berfungsi baik jika terjadi adanya konstribusi dari anggota tim dalam
memberikan pelayanan kesehatan terbaik. Anggota tim kesehatan meliputi :
pasien, perawat, dokter, fisioterapi, pekerja sosial, ahli gizi, manager, dan
apoteker. Oleh karena itu tim kolaborasi hendaknya memiliki komunikasi yang
efektif, bertanggung jawab dan saling menghargai antar sesama anggota tim.

Pasien secara integral adalah anggota tim yang penting. Partisipasi pasien dalam
pengambilan keputusan akan menambah kemungkinan suatu rencana menjadi
efektif. Tercapainya tujuan kesehatan pasien yang optimal hanya dapat dicapai
jika pasien sebagai pusat anggota tim.

Perawat sebagai anggota membawa persfektif yang unik dalam interdisiplin tim.
Perawat memfasilitasi dan membantu pasien untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan dari praktek profesi kesehatan lain. Perawat berperan sebagai
penghubung penting antara pasien dan pemberi pelayanan kesehatan.

Dokter memiliki peran utama dalam mendiagnosis, mengobati dan mencegah


penyakit. Pada situasi ini dokter menggunakan modalitas pengobatan seperti
pemberian obat dan pembedahan. Mereka sering berkonsultasi dengan anggota
tim lainnya sebagaimana membuat referal pemberian pengobatan.

Kolaborasi menyatakan bahwa anggota tim kesehatan harus bekerja dengan


kompak dalam mencapai tujuan. Elemen penting untuk mencapai kolaborasi
yang efektif meliputi kerjasama, asertifitas, tanggung jawab, komunikasi,
otonomi dan kordinasi seperti skema di bawah ini.

Autonomy

Responsibility

cooperation

Communications

Coordination

Common purpose

Mutuality

Assertiveness

Efective collaboration

Elemen kunci efektifitas kolaborasi

Kerjasama adalah menghargai pendapat orang lain dan bersedia untuk


memeriksa beberapa alternatif pendapat dan perubahan kepercayaan. Asertifitas
penting ketika individu dalam tim mendukung pendapat mereka dengan
keyakinan. Tindakan asertif menjamin bahwa pendapatnya benar-benar didengar
dan konsensus untuk dicapai. Tanggung jawab, mendukung suatu keputusan
yang diperoleh dari hasil konsensus dan harus terlibat dalam pelaksanaannya.
Komunikasi artinya bahwa setiap anggota bertanggung jawab untuk membagi
informasi penting mengenai perawatan pasien dan issu yang relevan untuk
membuat keputusan klinis. Otonomi mencakup kemandirian anggota tim dalam
batas kompetensinya. Kordinasi adalah efisiensi organisasi yang dibutuhkan
dalam perawatan pasien, mengurangi duplikasi dan menjamin orang yang
berkualifikasi dalam menyelesaikan permasalahan.

Kolaborasi didasarkan pada konsep tujuan umum, konstribusi praktisi


profesional, kolegalitas, komunikasi dan praktek yang difokuskan kepada pasien.
Kolegalitas menekankan pada saling menghargai, dan pendekatan profesional
untuk masalah-masalah dalam team dari pada menyalahkan seseorang atau
atau menghindari tangung jawab. Hensen menyarankan konsep dengan arti
yang sama : mutualitas dimana dia mengartikan sebagai suatu hubungan yang
memfasilitasi suatu proses dinamis antara orang-orang ditandai oleh keinginan
maju untuk mencapai tujuan dan kepuasan setiap anggota. Kepercayaan adalah
konsep umum untuk semua elemen kolaborasi. Tanpa rasa pecaya, kerjasama
tidak akan ada, asertif menjadi ancaman, menghindar dari tanggung jawab,
terganggunya komunikasi . Otonomi akan ditekan dan koordinasi tidak akan
terjadi.

Elemen kunci kolaborasi dalam kerja sama team multidisipliner dapat digunakan
untuk mencapai tujuan kolaborasi team :

Memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan


menggabungkan keahlian unik profesional.

Produktivitas maksimal serta efektifitas dan efesiensi sumber daya

Peningkatnya profesionalisme dan kepuasan kerja, dan loyalitas

Meningkatnya kohesifitas antar profesional

Kejelasan peran dalam berinteraksi antar profesional,

Menumbuhkan komunikasi, kolegalitas, dan menghargai dan memahami


orang lain.

Berkaitan dengan issue kolaborasi dan soal menjalin kerja sama kemitraan
dengan dokter, perawat perlu mengantisipasi konsekuensi perubahan dari
vokasional menjadi profesional. Status yuridis seiring perubahan perawat dari
perpanjangan tangan dokter menjadi mitra dokter sangat kompleks. Tanggung
jawab hukum juga akan terpisah untuk masing-masing kesalahan atau kelalaian.
Yaitu, malpraktik medis, dan malpraktik keperawatan. Perlu ada kejelasan dari
pemerintah maupun para pihak terkait mengenai tanggung jawab hukum dari
perawat, dokter maupun rumah sakit. Organisasi profesi perawat juga harus
berbenah dan memperluas struktur organisasi agar dapat mengantisipasi
perubahan. (www. kompas.com. Diakses pada tanggal 20 Maret 2007)

Pertemuan profesional dokter-perawat dalam situasi nyata lebih banyak terjadi


dalam lingkungan rumah sakit. Pihak manajemen rumah sakit dapat menjadi
fasilitator demi terjalinnyanya hubungan kolaborasi seperti dengan menerapkan
sistem atau kebijakan yang mengatur interaksi diantara berbagai profesi
kesehatan. Pencatatan terpadu data kesehatan pasien, ronde bersama, dan
pengembangan tingkat pendidikan perawat dapat juga dijadikan strategi untuk
mencapai tujuan tersebut.

Ronde bersama yang dimaksud adalah kegiatan visite bersama antara dokterperawat dan mahasiswa perawat maupun mahasiswa kedokteran, dengan tujuan
mengevaluasi pelayanan kesehatan yang telah dilakukan kepada pasien. Dokter
dan perawat saling bertukar informasi untuk mengatasi permasalahan pasien
secara efektif. Kegiatan ini juga merupakan sebagai satu upaya untuk
menanamkan sejak dini pentingnya kolaborasi bagi kemajuan proses

penyembuhan pasien. Kegiatan ronde bersama dapat ditindaklanjuti dengan


pertemuan berkala untuk membahas kasus-kasus tertentu sehingga terjadi
trasnfer pengetahuan diantara anggota tim.

Komunikasi dibutuhkan untuk mewujudkan kolaborasi yang efektif, hal tersebut


perlu ditunjang oleh sarana komunikasi yang dapat menyatukan data kesehatan
pasien secara komfrenhensif sehingga menjadi sumber informasi bagi semua
anggota team dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu perlu
dikembangkan catatan status kesehatan pasien yang memungkinkan komunikasi
dokter dan perawat terjadi secara efektif.

Pendidikan perawat perlu terus ditingkatkan untuk meminimalkan kesenjangan


profesional dengan dokter melalui pendidikan berkelanjutan. Peningkatan
pengetahuan dan keterampilan dapat dilakukan melalui pendidikan formal
sampai kejenjang spesialis atau minimal melalui pelatihan-pelatihan yang dapat
meningkatkan keahlian perawat

D.

Penutup

Untuk mencapai pelayanan yang efektif maka perawat, dokter dan tim
kesehatan harus berkolaborasi satu dengan yang lainnya. Tidak ada kelompok
yang dapat menyatakan lebih berkuasa diatas yang lainnya. Masing-masing
profesi memiliki kompetensi profesional yang berbeda sehingga ketika
digabungkan dapat menjadi kekuatan untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Banyaknya faktor yang berpengaruh seperti kerjasama, sikap saling menerima,
berbagi tanggung jawab, komunikasi efektif sangat menentukan bagaimana
suatu tim berfungsi. Kolaborasi yang efektif antara anggota tim kesehatan
memfasilitasi terselenggaranya pelayanan pasien yang berkualitas.

DAFTAR REFERENSI

Berger, J. Karen and Williams. 1999. Fundamental Of Nursing; Collaborating for


Optimal Health, Second Editions. Apleton and Lange. Prenticehall. USA

Dochterman , Joanne McCloskey PhD, RN, FAAN. 2001 Current Issue in Nursing.
6th Editian . Mosby Inc.USA

Siegler, Eugenia L, MD and Whitney Fay W, PhD, RN., FAAN , alih bahasa Indraty
Secillia, 2000. Kolaborasi Perawat-Dokter ; Perawatan Orang Dewasa dan Lansia,
EGC. Jakarta

www. Nursingworld. 1998.: Collaborations and Independent Practice: Ongoing


Issues for Nursing. Diakses pada tanggal 12 Maret 2007

www. Kompas.com/kompas-cetak/ 2001. Diskusi Era Baru: Perawat Ingin Jadi


Mitra Dokter. Diakses pada tanggal 20 Maret 2007

www.pikiran-rakyat.com/cetak. 2002 : Hak dan Kewajiban Rumah Sakit. Diakses


pada tanggal 20 Maret 2007

www. nursingworld. Sieckert. 2005 Nursing Physician workplace Collaboration.


Diakses pada tanggal 12 Maret 2007

www.nursingworld. Canon. 2005. New Horizons for Collaborative Partnership.


Diakses pada tanggal 12 Maret 2007

www. Nursingworld. Gardner. 2005. Ten Lessons in Collaboration. Diakses pada


tanggal 12 Maret 2007

Anda mungkin juga menyukai