Anda di halaman 1dari 30

ANALISA PENERAPAN IJARAH MUNTAHIYA BIT TAMLIK DI BANK

SYARIAH
Irham Fachreza Anas
Central Studies of Islamic Economics (CESIE)

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT tidak hanya diperintahkan untuk
beribadah kepada Allah semata. Dalam pada itu, manusia juga diberikan tugas oleh
Allah SWT untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan hidupnya di muka bumi.
Tugas ini memang tidak mudah, namun Allah SWT telah membuat sebuah sistem yang
berfungsi sebagai pedoman dan pengantur bagi manusia untuk memelihara
kesejahteraan hidupnya di muka bumi. Sistem ini bernama Din Islam.
Agama Islam merupakan sebuah sistem yang mengatur kehidupan manusia dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sistem ini tidak hanya mengatur tentang
hubungan manusia dengan Allah SWT, atau yang sering disebut hubungan vertikal.
Namun, lebih dari itu agama islam sebagai sebuah sistem juga mengatur hubungan
antar sesama manusia dan seluruh ciptaan Allah SWT, misalnya tumbuhan dan hewan.
Dalam agama Islam, hubungan antar sesama manusia ( hubungan horizontal ) di
bahas dalam ilmu fiqh ( baca : fiqh muamalat ), misalnya hubungan antara 2 pihak yang
melakukan sewa-menyewa atau dalam ilmu fiqh muamalat disebut sebagai ijarah. Para
ulama fiqh berbeda pendapat dalam mendefenisikan ijarah. Ulama Hanafiyah
mendefinisikan ijarah sebagai suatu transaksi terhadap manfaat dengan imbalan.
Sedangkan ulama Syafiiyah mendefinisikannya ijarah sebagai suatu transaksi terhadap
manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan
tertentu.
Sejatinya, dalam akad Ijarah tidak ada pemindahan kepemilikan / transfer of title
atas barang yang disewakan. Namun, jika pihak penyewa menginginkan adanya
pemindahan kepemilikan atas barang tersebut, maka dapat dilakukan dengan opsi
penjualan dan atau opsi hibah di akhir akad. Atas transaksi sewa yang ingin diakhiri
dengan pemindahan kepemilikan, maka dalam khazanah fiqh muamalat kontemporer
dikenal dengan istilah Ijarah Muntahiya Bit Tamlik (IMBT)
Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik membahas lebih dalam mengenai IMBT
yang dihubungkan dengan penerapannya secara riil di salah satu Bank Syariah, yaitu
Bank
Panorama
Syariah
(selanjutnya
disebut
BPS).
B.

PEMBATASAN

MASALAH

IMBT bisa diterapkan untuk semua jenis pembiayaan yang disediakan oleh BPS,
misalnya KPR iB, Pembiayaan iB Modal Kerja dan Pembiayaan iB Investasi. Dalam
konteks ini, penulis membatasi analisis penerapan IMBT di BPS hanya pada KPR iB.
Mengingat, KPR iB merupakan produk utama yang dipasarkan oleh BPS. Selain itu,
bahwa KPR iB yang ada di BPS sebagian besar menggunakan IMBT.
C.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimana
penerapan
IMBT
di
BPS
?
2. Apakah dalam penerapan tersebut terdapat perbedaan antara praktiknyadi bank
syariah
dan
teori
IMBT
secara
fiqh
?
3. Apakah dalam dokumen perjanjian IMBT terdapat klausul-klausul yang dapat
merusak
akad
?
4. Apa solusi agar hal-hal ( angka 3) tersebut dapat sesuai dengan syariah ?
5. Apa saja kendala yang ditemukan jika solusi tersebut dilaksanakan ?
BAB II
TEORI IJARAH MUNTAHIYA BIT TAMLIK (IMBT)
A. DEFENISI IMBT
IMBT adalah sebuah istilah modern yang tidak terdapat dikalangan fuqoha
terdahulu. Istilah ini tersusun dari dua kata :
1. Al-ijarah (sewa)
Ijrah dalam bahasa Arab berarti upah, sewa, jasa, atau imbalan. Secara etimoligi
dapat berarti bai al-manfaah yang berarti jual-beli dan atau pemilikan atas manfaat.
2. At-Tamlik (kepemilikan)
Secara bahasa berarti menjadikan orang lain memiliki sesuatu. At-tamlik bisa
berupa kepemilikan terhadap benda, kepemilikan terhadap manfaat, bisa dengan ganti
atau tidak. Sebagaimana ungkapan dibawah ini :
a) Jika kepemilikan terhadap sesuatu terjadi dengan adanya ganti maka ini adalah jual
beli.
b) Jika kepemilikan terhadap suatu manfaat dengan adanya ganti maka disebut
persewaan.
c) Jika kepemilikan terhadap sesuatu tanpa adanya ganti maka ini disebut hibah /
hadiah.
d) Adapun jika kepemilikan terhadap suatu manfaat tanpa adanya ganti maka disebut
pinjaman.
Dari kedua definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa definisi IMBT adalah
kepemilikan suatu manfaat/jasa berupa barang yang jelas dalam tempo waktu yang
jelas dikuti dengan adanya pemberian kepemilikan suatu barang yang bersifat khusus
dengan adanya ganti yang jelas. IMBT adalah akad sewa menyewa antara pemilik
objek sewa dan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang
disewakannya dengan opsi perpindahan hak milik objek sewa pada saat tertentu sesuai
dengan akad sewa.

B. DASAR HUKUM
1. Al-Quran
a) QS. al-Zukhruf [43] : 32
Apakah mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan
antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah
meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih
baik dari apa yang mereka kumpulkan.
b) QS. al-Qashash [28]: 26:
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, Hai ayahku! Ambillah ia sebagai orang
yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu
ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.
2. Hadits
a) Hadits Nabi riwayat Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Said al-Khudri, Nabi
s.a.w. bersabda :
Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya
b) Hadits Nabi riwayat Ahmad, Abu Daud, dan Nasai dari Sa`d Ibn Abi Waqqash,
dengan teks Abu Daud, ia berkata:
Kami pernah menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil tanaman yang tumbuh pada
parit dan tempat yang teraliri air; maka Rasulullah melarang kami melakukan hal
tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakan tanah itu dengan emas atau
perak (uang).
C. RUKUN IMBT
Sebagimana dijelaskan di atas bahwa transaksi IMBT merupakan pengembangan
transaksi ijarah untuk mengakomodasi kebutuhan pasar.Oleh sebab itu, rukun dari
IMBT adalah sama dengan rukun dari ijarah.Adapun rukun IMBT adalah sebagai berikut
:
1. Orang yang berakad : Penyewa (Mustajir) dan Pemberi Sewa (Mujir/Muajjir)
2. Sewa/imbalan : Harga Sewa (Ujrah)
3. Manfaat Obyek Sewa (Majur)
4. Sighat (ijab dan kabul).
D. SYARAT IMBT
Agar pelaksanaan IMBT sempurna, berikut beberapa syarat dari sahnya akad IMBT :
1. Syarat Pihak yang berakad : Cakap hukum ( Baligh & Berakal )
2. Syarat Obyek yang disewakan :
a) Manfaat barang dan atau jasa.
b) Barang itu milik sah & sempurna dari mujir (milk al-tm) atau Barang itu tidak terkait
dengan hak orang lain.

c) Objek harus bisa dinilai dan dikenali secara spesifik (fisik). Artinya manfaat barang
jelas.
d) Manfaat barang dan atau jasa tidak termasuk yang diharamkan / dilarang
Bermanfaat.
e) Manfaat Barang/jasa bisa langsung diserahkan atau digunakan selama jangka waktu
tertentu yang disepakati.
3. Syarat Harga Sewa (Ujrah):
a) Jelas disebutkan pada saat transaksi berupa uang, dirham, dinar dan lain
sebagainya. Menurut Ulama Hanfiyah pembayaran upah tidak boleh dalam bentuk
manfaat yang serupa. Seperti sewa rumah dengan ujroh penyewaan rumah. Namun
dalam fatwa DSN no : 09/DSN-MUI/IV/2000 perihal Pembiayaan Ijrah bahwa
Pembayaran sewa atau upah boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama
dengan obyek kontrak.
b) Jelas disebutkan berapa jumlah Ujrah.
4. Syarat Sighot :
a) Harus jelas dan disebutkan secara spesifik dengan siapa berakad.
b) Antara ijab qabul (serah terima) harus selaras baik dengan keinginan untuk
melakukan kontrak sewa; harga dan jangka waktu yang disepakati.
c) Tidak mengandung klausul yang bersifat menggantungkan keabsahan transaksi
pada hal / kejadian yang akan datang yang tidak sesuai dengan esensi dari ijrah.
Misalnya, mujir menyewakan rumahnya kepada pihak lain dengan syarat ia menempati
dulu selama 1 (satu) bulan baru kemudian ia sewakan kepada B. Esensi dari ijrah
adalah memberikan hak atas manfaat barang pada salah satu pihak yang berakad.
E. KETENTUAN TEKNIS PELAKSANAAN IMBT
Pelaksanaan IMBT sebenarnya memiliki banyak bentuk tergantung apa yang
disepakati oleh kedua pihak yang berkontrak. Dalam hal ini berlaku kaidah substance
over form, yaitu maksud tujuan akad lebih diutamakan ketimbang bentuk akad itu
sendiri.
Merujuk Fatwa Dewan Syariah Nasional No.7/DSN-MUI/III/2002 tanggal 28 Maret
2002 tentang Al-Ijarah Al-Muntahiya Bi Al-Tamlik, berikut ketentuan teknis yang harus
diperhatikan oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang ingin menerapkan IMBT
dalam produk pembiayaan :
1. Perjanijian untuk melakukan IMBT harus disepakati ketika akad Ijarah
ditandatangani.
2. Pihak yang melakukan IMBT harus melaksanakan akad ijarah terlebih dahulu, akad
pemindahan kepemilikan baik dengan jual beli atau pemberian hanya dapat dilakukan
setelah masa ijarah selesai.
3. Janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad ijarah adalah wad, yang
hukumnya tidak mengikat. Apabila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad
pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa ijarah selesai.

Mengingat, ketentuan ijarah berlaku pula pada akad Ijarah Muntahiyah Bittamlik
(IMBT), maka LKS, khususnya Bank Syariah wajib memperhatikan ketentuan sebagai
berikut :
1. Bank dapat membiayai pengadaan objek sewa berupa barang yang telah dimiliki
bank.
2. Bank wajib menyediakan barang sewa, menjamin pemenuhan kualitas maupun
kuantitas barang sewa serta ketetapan waktu penyediaan barang sewa sesuai
kesepakatan.
3. Bank wajib menanggung biaya pemeliharaan barang/asset sewa yang sifatnya
materiil dan struktural sesuai kesepakatan.
4. Bank dapat mewakilkan kepada nasabah untuk mencarikan barang yang akan
disewakan oleh nasabah.
5. Nasabah wajib membayar sewa secara tunai dan menjaga keutuhan barang sewa,
dan menanggung biaya pemeliharaan barang sewa sesuai dengan kesepakatan.
6. Nasabah tidak bertanggung jawab atas kerusakan barang sewa yang terjadi bukan
karena pelanggaran perjanjian atau kelalaian nasabah.
BAB III
PEMBAHASAN
A. PENERAPAN AKAD IMBT PADA BPS
Berikut ilustrasi dari penerapan IMBT dalam KPR iB BPS yang digunakan dalam
rangka memenuhi kebutuhan nasabah terhadap kepemilikan rumah tinggal dan atau
investasi property.
1. Ilustrasi IMBT Pertama :

Ket :
1. A : Rumah milik Developer PT. Makmur
1. B : Nasabah mengajukan permohonan pembiayaan untuk memiliki rumah kepada
Bank Syariah dengan membawa semua berkas-berkas yang dibutuhkan. Kemudian
Bank Syariah melakukan proses analisa pembiayaan.
2. Bank Syariah telah menyetujui permohonan pembiayaan pemilikan rumah untuk
nasabah, kemudian Bank Syariah melakukan pembelian Rumah seluas xx m2 yang
diminta nasabah kepada PT. Makmur (Penjual/Supplier Rumah) sebesar Rp 450 juta.
Dalam contoh ini, nasabah telah melakukan pembayaran uang muka kepada BPS
sebesar Rp 50 juta.
Catatan : Dalam prakteknya di BPS, uang muka diberikan langsung kepada developer.
2. A : Rumah seluas xx m2 menjadi milik penuh Bank Syariah
3. Bank Syariah dan Nasabah melakukan Akad Pembiayaan berdasarkan Prinsip Ijarah
(Muntahiya Bit Tamlik) selama 100 bulan untuk menyewa Rumah xx m2 dengan uang
sewa sebesar Rp 7 juta /bulan.
3. A : Nasabah menyewa Rumah xx m2 milik Bank Syariah dan memperoleh manfaat
dengan menempati rumah tersebut
4. Nasabah membayar uang sewa bulan pertama sebesar Rp 7 juta hingga 99
(sembilan puluh sembilan) bulan ke depan.
5.
Pada bulan ke-100 atau akhir masa perjanjian, Bank Syariah dan Nasabah
melakukan Akad Hibah atas Rumah xx m2 (Bank meng-hibah-kan ke Nasabah)
Ilustrasi pertama adalah model yang diutamakan diterapkan oleh BPS. Artinya, BPS
telah memutuskan bahwa dalam kondisi pembiayaan normal pemindahan kepemilikan
dari objek sewa akan dilakukan berdasarkan dengan akad hibah. Dalam akad
perjanjian pembiayaan berdasarkan prinsip IMBT milik BPS, dijelaskan bahwa
pengertian IMBT adalah yaitu BANK menyewakan barang kepada MUSTAJIR dengan
diakhiri oleh pemindahan kepemilikian melalui hibah diakhir masa sewa.
2. Ilustrasi IMBT Kedua :
Jika ditengah masa sewa nasabah memutuskan untuk melakukan pelunasan
pembiayaan dipercepat (early re-payment), maka BPS melakukan akad IMBT dengan
Opsi Bai. Berikut ilustrasinya ;

1. A : Rumah milik Developer


1. B : Nasabah mengajukan permohonan pembiayaan untuk memiliki rumah kepada
Bank Syariah dengan membawa semua berkas-berkas yang dibutuhkan. Kemudian
Bank Syariah melakukan proses analisa pembiayaan.
2. Bank Syariah telah menyetujui permohonan pembiayaan pemilikan rumah untuk
nasabah, kemudian Bank Syariah melakukan pembelian Rumah seluas xx m2 yang
diminta nasabah kepada Developer sebesar Rp 450 juta. Dalam contoh ini, nasabah
telah melakukan pembayaran uang muka kepada BPS sebesar Rp 50 juta.
Catatan : Dalam prakteknya di BPS, uang muka diberikan langsung kepada developer.
2. A : Rumah seluas xx m2 menjadi milik penuh Bank Syariah
3. Bank Syariah dan Nasabah melakukan Akad Pembiayaan berdasarkan Prinsip Ijarah
(Muntahiya Bit Tamlik) selama 100 bulan untuk menyewa Rumah seluas xx m2 dengan
uang sewa sebesar Rp 7 juta /bulan.
3. A : Nasabah menyewa Rumah seluas xx m2 milik Bank Syariah dan memperoleh
manfaat dengan menempati rumah tersebut.
4. Nasabah membayar uang sewa bulan pertama sebesar Rp 7 juta hingga 98
(sembilan puluh delapan) bulan ke depan.
5. Pada bulan ke-50 atau pertengahan masa perjanjian, Nasabah memutuskan untuk
melakukan pelunasan dipercepat (early re-payment). Bank Syariah dan Nasabah
melakukan Akad Jual-Beli (Bai) dengan harga jual Rumah seluas xx m2 sebesar Rp
200 juta (sisa harga pokok pembelian objek sewa).
3. Pelaksanaan IMBT dengan Wakalah :
Fatwa DSN nomor : 04/DSN-MUI/IV/2000 tanggal 01 April 2000 tentang Murabahah
pada ketetapan Pertama ayat 9 dinyatakan:
Jika bank (baca : LKS) hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang
dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara
prinsip, menjadi milik bank.

Kalimat secara prinsip yang ada di Fatwa DSN tersebut diterjemahkan dalam
tataran praktis oleh Petugas BPS dalam konteks penerapan IMBT pada saat Bank
membeli rumah yang akan dijadikan objek sewa dengan pernyataan sebagai berikut :
Pada saat, Bank menyetujui permohonan nasabah untuk KPR iB secara IMBT, maka
jika bank telah melakukan konfirmasi pembelian kepada developer, maka secara prinsip
bank telah membeli rumah. Walaupun secara akuntansi belum terdapat aliran dana
kepada Developer/penjual, bank berkomitmen untuk melakukan pembayaran uang
pembelian rumah kepada developer yang diwakilkan kepada nasabah dengan
menggunakan akad wakalah. Setelah rumah tersebut dibeli oleh bank maka kemudian
baru dapat dilakukan akad IMBT
Fakta unik yang terjadi di lapangan, bahwa meskipun BPS melakukan akad
wakalah dengan nasabah. Namun pada prakteknya nasabah tetap tidak menerima
uang, dana pembiayaan yang telah dimasukkan ke rekening nasabah langsung
ditransfer ke rekening developer yang ada di BPS maupun bank lain. Penggunaan akad
wakalah dimaksudkan hanya sebatas untuk membutikan secara hukum positif bahwa
nasabah telah menerima pembiayaan dari bank serta nasabah telah mengetahui telah
terjadi transaksi jual-beli antara bank dengan developer/penjual/suplier. Jika terjadi
wanprestasi di kemudian hari akan tertutup peluang nasabah akan mengingkari bahwa
ia telah menerima sejumlah pembiayaan dari bank.
Berikut ilustrasi dari model ketiga :

Ket :
1. A : Rumah milik Developer PT. Makmur
1. B : Nasabah mengajukan permohonan pembiayaan untuk memiliki rumah kepada
Bank Syariah dengan membawa semua berkas-berkas yang dibutuhkan. Kemudian
Bank Syariah melakukan proses analisa pembiayaan.
2. Bank Syariah telah menyetujui permohonan pembiayaan pemilikan rumah untuk
nasabah, BPS melakukan Akad Wakalah dengan Nasabah untuk (transfer) pembayaran
uang transaksi pembelian rumah sebesar Rp 450 juta atas nama BPS kepada
Developer/penjual yang berasal dari rekening nasabah. Dalam contoh ini, nasabah
telah melakukan pembayaran uang muka kepada BPS sebesar Rp 50 juta.
Catatan : Dalam prakteknya di BPS, uang muka diberikan langsung kepada developer.
2. A : Rumah seluas xx m2 menjadi milik penuh Bank Syariah

3. Bank Syariah dan Nasabah melakukan Akad Pembiayaan berdasarkan Prinsip Ijarah
(Muntahiya Bit Tamlik) selama 100 bulan untuk menyewa Rumah seluas xx m2 dengan
uang sewa sebesar Rp 7 juta /bulan.
3. A : Nasabah menyewa Rumah seluas xx m2 milik Bank Syariah dan memperoleh
manfaat dengan menempati rumah tersebut
4. Nasabah membayar uang sewa bulan pertama sebesar Rp 7 juta hingga 99
(sembilan puluh sembilan) bulan ke depan.
5. Pemindahan pemilikan dapat dilakukan dengan Akad Hibah bilamana perjanjian
pembiayaan beratahan sampai dengan akhir masa sewa. Jika, dipertengahan masa
sewa nasabah ingin melakukan pelunasan pembiayaan dipercepat, maka BPS akan
menggunakan akad Bai.
B. ANALISA PERBANDINGAN PENERAPAN IMBT SECARA PRAKTIK & TEORITIK
Berdasarkan ilustrasi penerapan akad murabahah di BPS tersebut di atas, maka
terdapat perbedaan antara praktek akad murabahah di lapangan dengan akad
murabahah yang ada di teori fiqih muamalah, yaitu pada :
1. Bank Bukan Sebagai Pemberi Sewa Murni
Posisi BPS bukanlah sebagai pemberi sewa murni (Operating Lease) atau layaknya
agen perusahaan sewa yang memang memiliki persediaan barang (rumah) sebelum
melakukan IMBT dengan nasabah. BPS hanya akan melakukan pembelian rumah
sebagai syarat untuk melakukan IMBT kepada nasabah bilamana sudah dapat
dipastikan ada nasabah yang akan menyewa rumah tersebut dengan prinsip IMBT.
Pada konteks inilah terlihat bahwa BPS memang merupakan intermediary institution,
yang melakukan IMBT secara finance lease, bukan sebagai pemberi sewa murni /
operating lease.
Secara teoritik dalam IMBT, baik pada saat transaksi maupun tidak, pemberi sewa
memang sudah memiliki persediaan barang untuk di-IMBT-kan.
2. Penggunaan Akad Wakalah ;
Selain melakukan IMBT, BPS ternyata juga melakukan akad wakalah untuk
mendelegasikan tugas pembelian rumah kepada nasabah sebelum dilakukan IMBT.
Artinya, terdapat indikasi bahwa nasabah tidak akan mendapatkan barang dari bank
melainkan hanya sejumlah uang pembiayaan.
Fakta yang unik terjadi di lapangan adalah walaupun BPS menggunakan akad
wakalah namun pada prakteknya nasabah tetap tidak menerima uang, dana
pembiayaan yang telah dimasukkan ke rekening nasabah langsung ditransfer ke
rekening developer yang ada di BPS maupun bank lain. Penggunaan akad wakalah
dimaksudkan hanya sebatas untuk membutikan secara hukum positif bahwa nasabah
telah menerima pembiayaan dari bank serta nasabah telah mengetahui telah terjadi
transaksi jual-beli antara bank dengan developer/penjual/suplier. Jika terjadi

wanprestasi di kemudian hari akan tertutup peluang nasabah akan mengingkari bahwa
ia telah menerima sejumlah pembiayaan dari bank.
Secara teoritik dalam IMBT, tidak dikenal penggunaan akad wakalah pada saat
penjual dan pembeli selaku pemberi sewa melakukan jual-beli objek yang akan
disewakan pembeli ke pihak lain.
3. Pembuatan Surat Accept (Pengakuan Hutang dan atau Sanggup Bayar)
Menurut petugas BPS, bahwa Surat Pengakuan (Accept) merupakan salah satu
diantara beberapa langkah antisipasi bank kepada nasabah dalam hal pembuktian
secara hukum positif bahwa nasabah telah menerima pembiayaan dalam bentuk uang
tunai maupun barang. Jika terjadi wanprestasi di kemudian hari akan tertutup peluang
nasabah akan mengingkari bahwa ia telah menerima sejumlah pembiayaan dari bank.
Dalam teori IMBT dijelaskan bahwa tidak ada hubungan utang piutang antara
pemberi sewa dan penyewa, apalagi utang pokok objek sewa. Mengingat, pada saat
IMBT (akad ijarah) masih berlangsung maka objek sewa adalah tetap milik pemberi
sewa.
Namun, bila dalam IMBT yang telah ditentukan masa sewa-nya adalah pertahun
sedangkan pembayaran uang sewa dilakukan secara bulanan, maka penyewa bisa
ditetapkan memiliki sejumah utang uang sewa kepada pemberi sewa.
4. Pembayaran Uang Muka Sewa
Seluruh pembiayaan yang disalurkan oleh BPS dengan menggunakan beraneka
ragam akad wajib tunduk pada satu ketetapan dalam SOP pembiayaan BPS yang
menyatakan bahwa setiap nasabah pembiayaan wajib melakukan pembayaran uang
muka (dalam rangka self financing) yang besarannya variatif maksimal 20%. Dalam
konteks KPR iB IMBT, sebelum dilakukan akad pembiayaan, nasabah wajib melakukan
pembayaran uang muka langsung kepada developer yang akan diakui sebagai uang
muka sewa kepada Bank.
Secara teoritik dalam IMBT tidak dikenal adanya kewajiban penyewa untuk untuk
membayar uang muka. Namun, jika pemberi sewa dan penyewa telah menyepakati
adanya uang muka sewa maka secara syariah dibolehkan.
5. Riview Ujroh
Bank dapat melakukan riview ujroh, yaitu mengurangi maupun menambah uang
sewa nasabah bilamana ditengah masa perjanjian terjadi perubahan kondisi pasar.
Bank berpedoman kepada Fatwa Dewan Syariah nomor 56/DSN-MUI/V/2007 tanggal
30 Mei 2007 tentang Ketentuan Review Ujroh Pada Lembaga Keuangan Syariah.
Dalam IMBT, besaran uang sewa yang akan kenakan kepada penyewa adalah hak
dari pemberi sewa. Jika di masa datang pemberi sewa ingin merubah kewajiban uang
sewa (menambah dan atau mengurangi), maka hal tersebut dibolehkan. Namun, dalam
pelaksanaannya wajib disetujui oleh penyewa.
6. Penyerahan Jaminan Dari Nasabah/Pembeli
Seluruh pembiayaan yang disalurkan oleh BPS dengan menggunakan beraneka
ragam akad wajib tunduk pada satu ketetapan dalam SOP pembiayaan BPS yang
menyatakan bahwa setiap pembiayaan yang akan disalurkan wajib disertai dengan

jaminan. Dalam konteks KPR iB IMBT, rumah yang menjadi objek pembiayaan itu
sendiri yang dijadikan jaminan atas pembiayaan IMBT rumah. Bank melakukan
pengikatan secara Hak Tanggungan atas rumah tersebut.
Secara teoritik, tidak ada kewajiban untuk menyediakan jaminan dalam rangka
pelaksanaan IMBT. Namun, jika penyewa telah menyepakati adanya jaminan tersebut,
maka secara syariah dibolehkan.
Menurut penulis ada hal unik yang terjadi dalam praktik IMBT di BPS (dan bank
syariah lain pada umumnya), yaitu dengan melakukan pengikatan Hak Tanggungan
atas objek IMBT (rumah), sama saja Bank telah melakukan pengikatan Hak
Tanggungan atas rumah miliknya sendiri yang telah di-IMBT-kan ke nasabah. Hal
tersebut tentunya terkesan sia-sia, mengingat secara syariah rumah itu adalah milik
bank, jika penyewa (nasabah) tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai penyewa,
maka bank berhak menghentikan IMBT dan mengambil rumah tersebut.
Menurut petugas BPS, bahwa langkah seperti itu harus dilakukan bank, mengingat
sertifikat rumah dibuat atas nama nasabah bukan bank (dengan tujuan salah satunya
meminimalisir biaya-biaya yang dapat merugikan nasabah). Jika tidak dilakukan
pengikatan secara Hak Tanggungan, maka bilamana di kemudian hari terjadi sengketa
yang harus diselesaikan melalui penjualan rumah sudah pasti secara hukum positif
posisi bank akan lemah.
C. ANALISA PERJANJIAN IMBT
Akad perjianjian yang digunakan adalah transaksi yang sebenarnya terjadi di BPS.
Namun, dalam rangka menjaga prinsip kerahasiaan bank, maka seluruh identitas kedua
belah pihak disamarkan.
1. Profil Perjanjian IMBT
Nama yang digunakan oleh BPS dalam menerapkan IMBT di transaksi pembiayaan
adalah Perjanjian Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bit Tamlik. Perjanjian ini terdiri dari 20
(dua puluh) pasal sebagai berikut :
a. Pasal 1 Barang Yang Disewakan
b. Pasal 2 Harga Objek Sewa
c. Pasal 3 Jangka Waktu Sewa
d. Pasal 4 Pembayaran Uang Sewa
e. Pasal 5 Penarikan Pembiayaan IMBT
f. Pasal 6 Biaya-biaya
g. Pasal 7 Jaminan
h. Pasal 8 Asuransi Jaminan
i. Pasal 9 Kuasa Bank Atas Rekening Mustajir
j. Pasal 10 Status Objek IMBT
k. Pasal 11 Kewajiban Mustajir
l. Pasal 12 Pembatasan Tindakan Mustajir
m. Pasal 13 Pemeliharaan, Pemakaian dan Kerugian Atas Objek IMBT
n. Pasal 14 Pernyataan dan Jaminan Mustajir
o. Pasal 15 Peristiwa Cidera Janji (Wanprestasi)

p. Pasal 16 Koresponden
q. Pasal 17 Penyelesaian Perselisihan
r. Pasal 18 Perubahan Atas Perjanjian
s. Pasal 19 Lampiran-Lampiran
t. Pasal 20 Penutup
2. Pemenuhan Terhadap Syarat, Rukun Ketentuan Teknis IMBT
Syarat IMBT
Syarat Pemberi Sewa (Mujir)

Keterangan
xxx, Pemimpin PT. Bank BPS Cabang
xxxx, beralamat di Jalan xxx, selanjutnya
disebut BANK.

Syarat Penyewa (Mustajir)

xxxx, pekerjaan karyawan xxx, alamat


xxx, dalam hal ini bertindak untuk dan
atas nama diri sendiri dan untuk
melakukan tindakan hukum dalam
Perjanjian
ini
telah
mendapat
persetujuan dari Istri yang turut
menandatangani
Perjanjian
ini,
selanjutnya disebut MUSTAJIR.

Syarat Barang

a. Pasal 1 Barang Yang Disewakan


b. Pasal 2 Harga Objek Sewa
c. Pasal 10 Status Objek IMBT

Syarat Ujroh
Syarat Sighat Akad IMBT

Pasal 4 Pembayaran Uang Sewa


a.

Bahwa MUSTAJIR dalam rangka


memenuhi
kebutuhannya
meminta
kepada BANK untuk membeli barang
yang selanjutnya akan disewa oleh
MUSTAJIR.
b. Bahwa BANK menyetujui untuk membeli
barang dimaksud dan menyewakannya
kepada MUSTAJIR
c.

Syarat Sighat Akad IMBT

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas,


KEDUA
BELAH
PIHAK
sepakat
mengikatkan diri untuk mengadakan
PERJANJIAN PEMBIAYAAN IJARAH
MUNTAHIA
BIT
TAMLIK,
untuk
selanjutnya dalam perjanjian ini disebut
IMBT, yaitu BANK menyewakan barang

kepada MUSTAJIR dengan diakhiri oleh


pemindahan kepemilikian melalui hibah
diakhir masa sewa, dengan ketentuan
dan syarat-syarat sebagai berikut :
d. Pasal 3 Jangka Waktu Sewa
e. Pasal 20 Penutup
Rukun IMBT
Pemberi Sewa (Mujir)

Keterangan
Bank

Penyewa

Mustajir

Barang

a. Pasal 1 Barang Yang Disewakan


b. Pasal 2 Harga Objek Sewa

Upah
Sighat Akad Murabahah

Pasal 4 Pembayaran Uang Sewa


a.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas,


KEDUA
BELAH
PIHAK
sepakat
mengikatkan diri untuk mengadakan
PERJANJIAN PEMBIAYAAN IJARAH
MUNTAHIA
BIT
TAMLIK,
untuk
selanjutnya dalam perjanjian ini disebut
IMBT, yaitu BANK menyewakan barang
kepada MUSTAJIR dengan diakhiri oleh
pemindahan kepemilikian melalui hibah
diakhir masa sewa, dengan ketentuan
dan syarat-syarat sebagai berikut :
b. Pasal 20 Penutup

3. Tanggapan atas Pelaksanaan IMBT Di


BPS
Merujuk Fatwa Dewan Syariah Nasional No.7/DSN-MUI/III/2002 tanggal 28 Maret
2002 tentang Al-Ijarah Al-Muntahiya Al-Tamlik, IMBT dilaksanakan dengan teknis
sebagai berikut :
Ijarah Muntahiya Bit Tamlik
Dokumen 1
Akad Ijarah
Dokumen 2
Waad Pemindahan Kepemilikan Objek Sewa

Dokumen 3

1. Akad Bai diakhir masa sewa, atau


2. Akad Hibah diakhir masa sewa

IMBT bukan merupakan nama akad, melainkan istilah dari suatu proses transaksi
muamalah terdiri dari beberapa akad, yaitu akad sewa (ijarah) dan akad bai atau akad
hibah. Sama halnya dengan Bai Inah yang di dalamnya terdiri dari akad bai tunai dan
akad bai tangguh serta dilaksanakan secara simultan.
Pihak yang melakukan IMBT harus melaksanakan akad ijarah terlebih dahulu, akad
pemindahan kepemilikan baik dengan jual beli atau pemberian hanya dapat dilakukan
setelah masa ijarah selesai.
Janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad ijarah adalah wad, yang
hukumnya tidak mengikat. Apabila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad
pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa ijarah selesai.
{ Fatwa Dewan Syariah Nasional No.7/DSN-MUI/III/2002 tanggal 28 Maret 2002
tentang Al-Ijarah Al-Muntahiya Al-Tamlik }
Fakta yang unik adalah pelaksanaan IMBT di BPS berbeda dengan paragraf di
atas. Pelaksanaan IMBT di BPS adalah sebagaimana berikut :
Dokumen 1

Ijarah Muntahiya Bit Tamlik


Perjanjian Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bit

Dokumen 2

Tamlik
1. Akad Bai bila dilakukan pelunasan dipercepat

Dokumen 3
Dokumen Lain

2. Akad Hibah di akhir masa sewa


Surat Accept
Akad Wakalah (sesuai kebutuhan)

Perjanjian yang dibuat oleh BPS menggunakan nama IMBT bukan Ijarah. Dalam
dokumen perjanjian tersebut dinyatakan secara jelas defenisi dari IMBT yang akan
dilaksanakan oleh Bank dan Nasabah. Berikut defenisinya :
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, KEDUA BELAH PIHAK sepakat
mengikatkan diri untuk mengadakan PERJANJIAN PEMBIAYAAN IJARAH
MUNTAHIA BIT TAMLIK, untuk selanjutnya dalam perjanjian ini disebut
IMBT, yaitu BANK menyewakan barang kepada MUSTAJIR dengan diakhiri
oleh pemindahan kepemilikian melalui hibah diakhir masa sewa, dengan
ketentuan dan syarat-syarat sebagai berikut :

Walaupun dengan menggunakan nama (akad) IMBT, pasal-pasal inti dalam


perjanjian tersebut adalah isi pasal dari perjanjian sewa (ijarah) pada umumnya. Selain
itu, posisi dari objek sewa telah dinyatakan secara jelas oleh BPS, yaitu milik bank
sampai dengan suatu kondisi tertentu.
Pasal 10
STATUS OBYEK IMBT
MUSTAJIR mengetahui dan menyetujui bahwa status kepemilikan Obyek
IMBT selama MUSTAJIR belum melunasi uang sewa adalah milik BANK dan
oleh karenanya surat-surat bukti kepemilikan Obyek IMBT akan disimpan
BANK.
Mengacu pada kaidah substance over form, yaitu maksud tujuan akad lebih
diutamakan ketimbang bentuk akad itu sendiri. Menurut penulis, secara tidak langsung
penerapan IMBT di BPS tidak keluar dari konteks pelaksanaan IMBT yang mengacu
pada Fatwa. Dengan pertimbangan bahwa :
a)

Isi pasal-pasal dalam perjanjian pembiayaan IMBT BPS secara tidak langsung
merupakan pasal-pasal yang digunakan dalam akad ijarah pada umumnya. Artinya,
dalam perjanjian pembiayaan IMBT BPS diawali dengan akad ijarah, walaupun judul
akad yang dipakai adalah IMBT.

b) Status objek sewa adalah jelas milik bank sebagaimana dinyatakan dalam pasal 10
Status Objek IMBT, bahwa status kepemilikan Obyek IMBT selama MUSTAJIR belum
melunasi uang sewa adalah milik BANK .
c) BPS akan membuatkan akad bai dan atau akad hibah secara terpisah dari perjanjian
pembiayaan IMBT pada saat dilakukan perpindahan kepemilikan objek IMBT.
4. Koreksi Atas Pasal 7 Jaminan ayat 3
Pada pasal 7 ayat 3 dinyatakan :
Pasal 7
JAMINAN
3. Nasabah setuju untuk mengosongkan objek pembiayaan jika dalam 3

bulan berturut-turut tidak membayar angsuran, dan akan dipasang


papan bertuliskan "Rumah Ini Dalam Penguasaan Bank ". Jika
menunggak 4 bulan berturut-turut, jaminan pembiayaan akan dijual.

Istilah angsuran pada pasal tersebut tidak tepat. Konteks angsuran dalam IMBT
adalah angsuran uang sewa, sehingga bank seharusnya menulis angsuran uang sewa
atau angsuran ujroh. Dengan pencantuman kalimat angsuran uang sewa dan atau
angsuran ujroh, maka pasal 7 ayat 3 tersebut menjadi jelas, tidak multi tafsir.
Penafsiran berbeda atas suatu pasal dalam perjanjian membuka peluang terjadinya
perselisihan di kemudian hari.
5. Koreksi atas Pasal 8 Asuransi Jaminan ayat 2
Pada pasal 8 tentang Asuransi Jaminan ayat 2 dinyatakan :
Pasal 8
ASURANSI JAMINAN
2. Biaya premi asuransi atas jaminan sebagaimana tersebut dalam ayat (1)
pasal ini harus sudah dibayar lunas oleh MUSTAJIR sebelum dilakukan
penarikan Pembiayaan.
Merujuk Fatwa Dewan Syariah Nasional NO: 09/DSN-MUI/IV/2000 tanggal 13 April
2000 tentang Pembiayaan Ijarah (bagian ketiga kewajiban LKS, bahwa seluruh biaya
atas objek yang akan disewakan kepada nasabah adalah kewajiban dari pemberi sewa
dalam hal ini bank.
: Kewajiban LKS dan Nasabah dalam Pembiayaan Ijarah
1. Kewajiban LKS sebagai pemberi sewa:
a. Menyediakan aset yang disewakan.
b. Menanggung biaya pemeliharaan aset.
c. Menjaminan bila terdapat cacat pada aset yang disewakan.
Isi pada 8 ayat 2 bertentangan dengan fatwa tersebut. Seharusnya Bank
menanggung asuransi atas objek sewa, sebab barang tersebut merupakan milik bank.

Menurut Penulis, Bank boleh memasukkan komponen asuransi yang telah


dibayarkan dalam penetuan biaya sewa untuk nasabah. Cara ini lebih sesuai dengan
syariah.
6. Koreksi Atas Pasal 13 Pemeliharaan, Pemakaian dan Kerugian Atas Objek IMBT ayat 3
Pada pasal 13 tentang Pemeliharaan, Pemakaian dan Kerugian Atas Objek IMBT
ayat 3 dinyatakan :
Pasal 13
PEMELIHARAAN, PEMAKAIAN DAN KERUGIAN ATAS OBJEK IMBT
3.

MUSTAJIR membebaskan BANK dari dan oleh karenanya MUSTAJIR


bertanggung jawab atas kerugian, cacat-cacat, luka-luka atau kematian yang
diderita oleh pihak ketiga yang ditimbulkan karena pemakaian dan
penggunaan OBYEK IMBT oleh MUSTAJIR.

Isi dari pasal 13 ayat 3 ini dapat merusak akad IMBT yang telah dilaksanakan oleh
kedua belah pihak. Seharusnya Nasabah tidak dapat dimintai pertanggung jawabannya
atas kerusakan barang sewa (barang sewa menjadi tidak bermanfaat, dll) sepanjang
kerusakan tersebut terjadi bukan karena pelanggaran perjanjian dan kelalaian nasabah.
Begitu juga untuk kerusakan karena terjadinya force mejure, seperti gempa bumi,
gunung meletus dan lain sebagainya.
Dengan adanya pasal 13 ayat 3 tersebut, maka bank sebenarnya ingin menghindar
dari tanggungjawabnya sebagai pemilik barang. Tindakan ini sangat dilarang dalam
Islam serta jelas akan merugikan nasabah.
Merujuk Fatwa Dewan Syariah Nasional NO: 09/DSN-MUI/IV/2000 tanggal 13 April
2000 tentang Pembiayaan Ijarah, dinyatakan :
:
1.
2.
a.
b.
c.

Kewajiban LKS dan Nasabah dalam Pembiayaan Ijarah


--- sengaja dikosongkan --Kewajiban nasabah sebagai penyewa
Membayar sewa dan bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan aset
yang disewa serta menggunakannya sesuai kontrak.
Menanggung biaya pemeliharaan aset yang sifatnya ringan (tidak materiil).
Jika aset yang disewa rusak, bukan karena pelanggaran dari penggunaan
yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak penyewa dalam
menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.

Berdasarkan pertimbangan di atas, seharusnya BPS menyatakan dalam pasal 13


ayat 3 dengan isi sebagai berikut :
Seharsunya diubah menjadi :
Pasal 13
PEMELIHARAAN, PEMAKAIAN DAN KERUGIAN ATAS OBJEK IMBT
3.

MUSTAJIR bertanggung jawab atas kerugian, cacat-cacat, luka-luka atau


kematian yang diderita oleh pihak ketiga yang ditimbulkan karena kelalaian
dan penyalahgunaan pemakaian OBYEK IMBT oleh MUSTAJIR.

7. Koreksi Atas Pasal 13 Pemeliharaan, Pemakaian dan Kerugian Atas Objek IMBT ayat
4
Pada pasal 13 tentang Pemeliharaan, Pemakaian dan Kerugian Atas Objek IMBT
ayat 4 dinyatakan :
Pasal 13
PEMELIHARAAN, PEMAKAIAN DAN KERUGIAN ATAS OBJEK IMBT
4. Apabila OBYEK IMBT hilang dan atau menjadi tidak bermanfaat sama sekali
termasuk tetapi tidak terbatas pada karena rusak, tidak berguna lagi secara
ekonomis atau karena alasan apapun, maka MUSTAJIR tetap bertanggung
jawab atas hal tersebut tanpa mengurangi hak BANK atas Uang Sewa dan
OBYEK IMBT tersebut.

Isi dari pasal 13 ayat 4 ini dapat merusak akad IMBT yang telah dilaksanakan oleh
kedua belah pihak, seharusnya Bank tidak boleh mengambil uang sewa jika objek sewa
tersebut rusak dan atau hilang manfaat ekonomisnya.
Ujroh tidak bisa diambil jika manfaat sewa hilang dan atau tidak bisa digunakan oleh
nasabah. Jika bank tetap mengambil manfaat dari sesuai yang tidak ada (rusak, hilang
nilai ekonomisnya, dll), maka menurut penulis sama saja bank telah mengambil riba.
Mengingat, tidak ada underlying yang mendasari pengambilan ujroh dari nasabah
selain manfaat atas barang sewa.

Jika, barang sewa rusak, cacat, dll yang terjadi bukan karena kelalaian dan
penyalahgunaan barang sewa oleh nasabah, maka bank tidak dapat membebankan
tanggungjawab atas kerugian tersebut kepada nasabah. Berdasarkan pertimbangan di
atas, seharusnya pasal 13 ayat 4 dihilangkan dalam perjanjian pembiayaan. Untuk
aspek kerugian, sudah tercover dalam pasal 13 ayat 3.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Penerapan IMBT untuk penyaluran pembiayaan di BPS dilakukan dengan ;

Dokumen 1

Ijarah Muntahiya Bit Tamlik


Perjanjian Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bit

Dokumen 2

Tamlik
o Akad Bai bila dilakukan pelunasan dipercepat
o

Dokumen 3
Dokumen Lain

Akad Hibah di akhir masa sewa


Surat Accept
Akad Wakalah (sesuai kebutuhan)

2. Terdapat 6 (enam) perbedaan antara praktik IMBT di BPS dan teori fiqh pada
umumnya, yaitu ; Bank Bukan Sebagai Pemberi Sewa Murni, Penggunaan Akad
Wakalah, Pembuatan Surat Accept (Pengakuan Hutang dan atau Sanggup Bayar,
Pembayaran Uang Muka Sewa, Riview Ujroh dan Penyerahan Jaminan Dari
Nasabah/Pembeli
3. Nama yang digunakan oleh BPS dalam menerapkan IMBT pada transaksi
pembiayaan adalah Perjanjian Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bit Tamlik. Perjanjian ini
terdiri dari 20 (dua puluh) pasal. Terdapat beberapa pasal yang menurut penulis dapat
merusak perjanjian IMBT yaitu Pasal 7 tentang Jaminan ayat 3 yang menggunakan
istilah angsuran, Pasal 8 tentang Asuransi Jaminan ayat 2 yang membebankan biaya
asuransi atas objek sewa kepada nasabah, pasal 13 tentang Pemeliharaan, Pemakaian
dan Kerugian Atas Objek IMBT ayat 3 yang membebankan kerugian terkait objek sewa
kepada nasabah dan pasal 13 tentang Pemeliharaan, Pemakaian dan Kerugian Atas
Objek IMBT ayat 4 yang dapat menjerumuskan BPS pada pengambilan riba.

4. Solusi atas ketidaksempurnaan tersebut adalah melakukan perubahan beberapa


klausul perjanjian dimaksud dan melakukan penghapusan pasal 13 ayat 4.
5. Khusus untuk kebijakan Hak Tanggungan atas rumah yang di-IMBT-kan, hal tersebut
merupakan upaya penyelarasan hukum syariah dan hukum positif. Jika tidak dilakukan
oleh bank, maka bank sudah pasti dalam posisi merugi jika terjadi sengketa yang hanya
dapat diselesaikan dengan penjual rumah.

REFERENSI :
Al-Zuhaili, Wahbah. 2004. Al-fiqh al-islmi wa adillatuhu, Juz 5. Damaskus : Dr Fikr alMuasir.
Antonio, Muhammad Syafii. 2001. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik. Jakarta : Gema Insani
Press.
Aziz, Koni Rumaini. 20011. Analisa Perjanjian Take Over (Skripsi). Jakarta : UIN Syahid
Haroen, Nasroen. Fiqh Muamalah. Jakarta : Gaya Media Utama.
Karim, Adiwarman Bank Islam dan Analisis dan Keuangan. 2001. Jakarta: Gema Insani Press.
Moleong, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. 1997. Bandung : PT Remaja Rosda
Karya. cet. Ke-8.
Muhammad. Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah. 2005. Jakarta : Raja
Grafindo Persada.
Msa, Kmil. 1998. Ahkmu al-mumalat. Beirut : Ar-Resalah Publisher.
Ramli, Hasbi. 2005. Toeri Dasar Akutansi Syariah. Jakarta: Renaisan.
Sabiq, Sayyid. 2008. Fiqhus Sunnah. (Terj : Asep Sobari, Muhil Dhofir, Sofwan Abbas & Amir
Hamzah), Jil. 3 . Jakarta : Al-Itishom Cahaya Umat.
Syamsir Salam dan Jaenal Aripin. Metodologi Penelitian Sosial. 2006. Jakarta :UIN
Jakarta Press.
Wallahu 'alam bis showab
Waslm
IV.2. Akad Ijarah Muntahia Bittamlik (IMBT)
IV.2.1. Definisi

Terdapat bentuk akad lain yang bisa menjadi pilihan dalam melakukan pembiayaan perumahan
secara syariah, yaitu akad Ijarah Muntahia Bittamlik (IMBT). Akad ini merupakan akad sewa
(Ijarah) dari suatu aset riil, dimana pembeli rumah menyewa rumah yang telah dibeli oleh bank,
dan diakhiri dengan perpindahan kepemilikan dari bank kepada pembeli rumah. Didalam akad
IMBT ini terdapat dua buah akad, yaitu akad Jual-Beli (Al-Bai), dan akad IMBT sendiri, yang
merupakan akad sewa-menyewa yang diakhiri dengan perpindahan kepemilikan di akhir masa
sewa.[5]
Secara bahasa, IMBT memiliki arti dengan memecah dua kata didalamnya. Pertama adalah kata
al-ijaarah, yang berarti upah, yaitu suatu yang diberikan berupa upah terhadap pekerjaan. Dan
kata kedua adalah kata at-tamliik, secara bahasa memliki makna yang dapat menjadikan orang
lain untuk memiliki sesuatu. Sedangkan menurut istilah at-tamliik bisa berupa kepemilikan
terhadap benda, kepemilikan terhadap manfaat, bisa dengan imbalan atau tidak.[6]
Akad ini pun dikenal dengan nama lain, yaitu Ijarah Wa Iqtinah, dimana rumah yang disewa
telah disepakati diawal akan dibeli pada akhir masa sewa. Pembayaran yang dilakukan setiap
bulan adalah biaya sewa rumah tersebut yang ditambah dengan harga rumah yang telah dibagi
jangka waktu sewa yang disepakati. Harga rumah tersebut diperoleh dari harga beli rumah dari
bank kepada si penjual rumah, dikurangi uang muka yang telah dibayar oleh pembeli rumah.
Setelah jangka waktu sewa yang disepakati selesai, bank harus melakukan transfer kepemilikan
rumah kepada pembeli.
IV.2.2. Skema Pembiayaan
Pada akad IMBT ini, proses dan tahapan kontraknya akan dijelaskan dengan menggunakan
skema berikut.

Gambar IV.2.2. Skema Pembiayaan Rumah dengan akad Ijarah Muntahia Bittamlik
Tahapan dari skema IMBT yang telah digambarkan diatas adalah sebagai berikut.
1. Konsumen melakukan identifikasi dan memilih rumah yang akan dibeli
2. Bank membeli rumah dari penjual dengan cara tunai
3. Bank menyewakan rumah kepada konsumen dengan harga sewa dan jangka waktu yang
disepakati.

4. Konsumen membayar harga sewa rumah setiap bulan diakhiri dengan membeli rumah
pada harga yang disepakati diakhir masa sewa.
Pada tahapan skema IMBT ini, terdapat tiga kontrak yang harus dilakukan. Kontrak pertama
adalah kontrak antara bank dengan penjual rumah yang mencakup proses jual-beli rumah dari
penjual rumah kepada bank. Kontrak ini diatur didalam suatu Perjanjian Penjualan properti
(PJP).
Kontrak yang kedua adalah Perjanjian Sewa Menyewa (PSM), yaitu perjanjian yang melibatkan
bank dengan konsumen dimana Bank menyewakan rumah kepada konsumen dengan biaya sewa
per bulan dan jangka waktu sewa disepakati didalam kontrak ini. Dan perjanjian yang terakhir
adalah Perjanjian Jual Properti (PJP) dimana bank menjual rumah yang disewakan tersebut
kepada konsumen setelah masa sewa yang disepakati diawal berakhir.
IV.2.3. Perhitungan
Perhitungan dari skema IMBT ini dapat djelaskan melalui contoh berikut. Misalkan ada
seseorang yang hendak menjual rumah di harga Rp.100,000,000. Dan ada seorang pembeli B
yang ingin membeli rumah tersebut dengan meminta bantuan Bank A memberikan pembiayaan,
maka bank A dapat menawarkan kepada pembeli B untuk bekerjasama dengan akad IMBT.
Maka kontrak pertama yang dilakukan adalah dimana Bank A harus membeli rumah kepada
penjual rumah dengan harga Rp. 100,000,000 dan akan dilanjutkan dengan perjanjian kontrak
kedua dimana Bank A menyewakan rumahnya kepada pembeli B. Misalkan biaya sewa yang
disepakati adalah sebesar Rp.1,000,000 per bulan selama 10 tahun (120 bulan), maka pembeli B
akan mengeluarkan uang sewa sampai 10 tahun adalah sebesar Rp.1,000,000 dikali dengan 120
bulan, adalah sebesar Rp.120,000,000.
Diakhir masa sewa, Bank A menjual rumah yang telah dimilikinya kepada pembeli B dengan
harga Rp.10,000,000. Maka kepemilikan rumah telah berpindah kepada pembeli B pada saat
kontrak perjanjian yang terakhir, yaitu setelah 10 tahun. Apabila perhitungan tersebut
digambarkan kedalam skema akad IMBT, gambar berikut adalah skema aliran dana yang terjadi.

Gambar IV.2.3.1. Skema Pembiayaan akad Ijarah Muntahia Bittamlik


Namun, bank perlu memperhatikan bagaimana arus kas dari akad IMBT ini berkerja untuk bank.
Dari sisi waktunya, arus kas masuk dan arus kas keluar dapat digambarkan didalam skema
pembayaran berikut ini.

Gambar IV.2.3.2. Skema Pembayaran akad Ijarah Muntahia Bittamlik


IV.2.4. Potensi Masalah
Pada akad IMBT, apabila pembeli B tidak dapat melakukan pembelian rumah sebelum jangka
waktu berakhir. Karena apabila pembelian rumah dilakukan sebelum masa sewa berakhir, maka
Bank A akan mengalami kerugian dimana, pendapatan yang diperoleh lebih kecil dari pada uang
yang sudah dikeluarkan pada saat membeli rumah. Kecuali pada saat pembelian dilakukan
sebelum masa sewa berakhir, pembeli B tetap melunasi biaya sewa menyewa. Namun solusi ini
pun merugikan pembeli B. Sehingga, perlu dijelaskan didalam kontrak dimana dijelaskan suatu
skenario perhitungan apabila pembeli B melakukan pembelian rumah yang dimiliki bank A lebih
cepat dari jangka waktu sewa yang disepakati.
Dari sisi keuangan, akad IMBT ini secara relatif cenderung memiliki potensi yang merugikan
salah satu pihak. Dimana bank memiliki kemungkinan kerugian yang lebih besar dari pada
konsumen. Harga sewa akan cenderung mengalami peningkatan seiring dengan berjalannya
waktu. Namun harga sewa dalam akad IMBT ini sudah disepakati secara tetap diawal tyransaksi.
Dari sisi harga, harga jual pada saat akhir periode sewa yang sudah ditentukan diawal pun,
berpotensi memiliki perbedaan prediksi. Dimana harga jual yang disepakati lebih kecil dari pada
harga pasar. Hal ini pun dapat merugikan bank penerbit pembiayaan akad IMBT ini.

Ijarah Muntahiyah BitTamlik (IMBT)


Ijarah Muntahiyah bitTamlik (IMBT) di dalam Fatwa MUI nomor: 27/DSN-MUI/III/2002
diartikan sebagai perjanjian sewa-menyewa yang disertai dengan opsi pemindahan hak milik atas
benda yang disewa, kepada Penyewa, setelah selesai masa aqad ijarah. Adapun di dalam
Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam dan LK) Nomor:
PER.04/BI/2007 dalam Bab ketentuan Umum IMBT adalah akad penyaluran dana untuk
pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran
sewa (Ujrah) antara Perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir) dengan penyewa
(mustajir) disertai opsi pemindahan hak milik atas barang tersebut kepada penyewa setelah
selesai masa sewa.
Sedangkan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) menjelaskan IMBT pada pasal 323
yaitu Dalam akad ijarah Muntahiyah bitTamlik suatu benda antara Muajir/pihak yang

menyewakan dengan Mustajir/pihak penyewa diakhiri dengan pembelian majur/objek ijarah


oleh mustajir/pihak penyewa.
Ijarah yang termasuk akad dalam bidang jasa sekarang ini telah diperluas dengan dihubungkan
konsep intiqal al-milkiyah (berpindah kepemilikan), oleh karena itu salah satu jasa yang
berkembang dalam ekonomi syariah adalah produk Ijarah Muntahiyah bitTamlik (IMBT).
Secara konseptual IMBT hampir sama dengan leasing, bahwa leasing merupakan bentuk
pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh perusahaan
tertentu, berdasarkan pembayaran secara berkala, disertai dengan hak pilih/opsi bagi perusahaan
tersebut untuk membeli barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu
leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama. Dalam pelaksanaan akad IMBT ada
ketentuan ketentuan yang bersifat umum dan ketentuan bersifat khusus. Ketentuan bersifat
umum yaitu: 1) rukun dan syarat yang berlaku dalam akad ijarah berlaku pula dalam aqad
IMBT, 2) perjanjian untuk melakukan akad IMBT harus disepakati ketika akad ijarah
ditandatangani, 3) hak dan kewajiban setiap pihak dijelaskan dalam aqad. Sedangkan yang
bersifat khusus yaitu: 1) pihak yang melakukan IMBT harus melakukan akad ijarah terlebih
dahulu. Akad pemindahan kepemilikan baik dengan jual beli (bai) atau pemberian (hibah) hanya
dapat dilakukan setelah masa ijarah selesai. 2) janji pemindahan kepemilikan yang disepakati
diawal akad ijarah adalah waad (janji) yang hukumnya tidak mengikat. Apabila waad (janji)
dilaksanakan, maka pada akhir masa ijarah (sewa) wajib dibuat akad pemindahan kepemilikan.
Artinya dalam akad IMBT tidak bertentangan dengan prinsip syariah yaitu melarang 2 (dua)
akad dalam satu perjanjian. Namun Ijarah Muntahiyah bit Tamlik memiliki perbedaan dengan
leasing konvensional, seperti nampak dalam tabel berikut:
BIDANG
a.
Aset/Obyek

IMBT/SYARIAH
Aset selama masa sewa

KONVENSIONAL/LEASING
sama seperti dalam

menjadi pemilik Bank/muajjir. financial lease nasabah


Bank/muajjir tetap menjadi

membeli aset dari suplier

pemilik aset setelah masa sewa dengan dana pembiayaan


berakhir, jika nasabah
dari bank dan aset langsung
tidak bersedia membuat akad dicatatkan atas nama
pemindahan kepemilikan

nasabah.

(dengan jual beli/hibah).

Aset kemudian
dikontruksikan sebagai
milik Bank ( karena dibeli

dengan uang Bank) dan


Bank menyewakannya
kepada nasabah.

perjanjian menggunakan
b.aqad/perjanjian
c. Perpindahan kepemilikan.

dengan satu akad dan satu


waad (akadnya ijarah (sewa)
dan waadnya jual beli atau

sewa dan jual beli menjadi

hibah) yang akan ditanda

perjanjian.

tangani setelah ijarah


berakhir (jika nasabah
menghendaki), maka perlu
dilampirkan konsep
perjanjian jual beli/hibah.
Juga dilampirkan konsep
kuasa kepada bank untuk
d. Pembuktian kepemilikan

menjual aset jika pada akhir

obyek.

masa ijarah nasabah tidak


menginginkan aset.
perpindahan kepemilikan
dengan menggunakan jual
beli dan hibah.
Perpindahan kepemilikan

satu kesatuan dalam satu

dilaksanakan setelah masa


ijarah selesai.

perpindahan kepemilikan
dengan menggunakan jual
beli.
Perpindahan kepemilikan

Bank/Muajjir dianggap

diakui setelah seluruh

pemilik dari obyek yang

pembayaran sewa telah

disewakan logikanya

diselesaiakan.

banklah yang membeli


barang dari suplier. Dan
nasabah untuk membeli

dalam financial lease tidak

barang atas surat kuasa dari

mengkontruksikan bahwa

bank.

lessorlah yang membeli


barang dari suplier.

SKEMA PEMBIAYAAN IJARAH MUNTAHIAH BITTAMLIIK

(1). Nasabah memesan untuk menyewa barang kepada Bank.


(2). Bank membeli dan membayar barang kepada Supplier.
(3). Supplier mengirim barang kepada Nasabah.
(4). Nasabah membayar sewa kepada Bank.
(5). Masa sewa diakhiri dengan nasabah membeli barang tersebut.
F. APLIKASI PEMBIAYAAN IMBT PADA KEPEMILIKAN PERUMAHAN (KPR)
Kebutuhan manusia akan tempat tinggal merupakan hal yang menjadi kebutuhan primer tanpa
membeda-bedakan suku, ras, agama, jenis kelamin, dan berbagai aspek sosial lainnya. Saat ini,

tidak semua orang mampu untuk membeli rumah karena tidak adanya kemampuan daya beli, dan
juga tidak semua orang memenuhi syarat untuk melakukan pinjaman ke bank konvensional.
Dalam Islam, pembiayaan untuk membantu masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan akan
rumah pun bisa menjadi prioritas dalam mewujudkan keadilan sehingga target pasarnya pun
tidak hanya orang-orang yang memenuhi kriteria bank. Tidak hanya orang yang mampu saja
yang berhak mendapatkan pinjaman, tetapi juga masyarakat yang tidak mampu pun berhak untuk
mendapatkan fasilitas pembiayaan.
Sebuah instrumen pembiayaan perumahan harus memenuhi akad atau kontrak yang
diperbolehkan oleh aturan Syariah yaitu akad yang tidak mengandung riba, maysir, dan gharar
yang salah satu diantaranya adalah akad Ijarah Muntahia Bittamlik.
Terdapat bentuk akad lain yang bisa menjadi pilihan dalam melakukan pembiayaan perumahan
secara syariah, yaitu akad Ijarah Muntahia Bittamlik (IMBT). Akad ini merupakan akad sewa
(Ijarah) dari suatu aset riil, yaitu pembeli rumah menyewa rumah yang telah dibeli oleh bank,
dan diakhiri dengan perpindahan kepemilikan dari bank kepada pembeli rumah. Di dalam akad
IMBT ini terdapat dua buah akad, yaitu akad Jual-Beli (Al-Bai), dan akad IMBT sendiri, yang
merupakan akad sewa-menyewa yang diakhiri dengan perpindahan kepemilikan di akhir masa
sewa[14].
Secara bahasa, IMBT memiliki arti dengan memecah dua kata di dalamnya. Pertama adalah kata
al-ijarah, yang berarti upah, yaitu suatu yang diberikan berupa upah terhadap pekerjaan. Dan
kata kedua adalah kata at-tamlik, secara bahasa memiliki makna yang dapat menjadikan orang
lain untuk memiliki sesuatu. Sedangkan menurut istilah, at-tamlik bisa berupa kepemilikan
terhadap benda, kepemilikan terhadap manfaat, bisa dengan imbalan atau tidak[15].
Akad ini pun dikenal dengan nama lain, yaitu Ijarah Wa Iqtinah, yaitu rumah yang disewa telah
disepakati di awal akan dibeli pada akhir masa sewa. Pembayaran yang dilakukan setiap bulan
adalah biaya sewa rumah tersebut yang ditambah dengan harga rumah yang telah dibagi jangka
waktu sewa yang disepakati. Harga rumah tersebut diperoleh dari harga beli rumah dari bank
kepada si penjual rumah, dikurangi uang muka yang telah dibayar oleh pembeli rumah. Setelah
jangka waktu sewa yang disepakati selesai, bank harus melakukan transfer kepemilikan rumah
kepada pembeli.
F.1. Skema Pembiayaan
Pada akad IMBT ini, proses dan tahapan kontraknya akan dijelaskan dengan menggunakan
skema berikut.
Gambar IV.2.2. Skema Pembiayaan Rumah dengan akad Ijarah Muntahia Bittamlik
Tahapan dari skema IMBT yang telah digambarkan di atas adalah sebagai berikut:
(1) Konsumen melakukan identifikasi dan memilih rumah yang akan dibeli;

(2) Bank membeli rumah dari penjual dengan cara tunai;


(3) Bank menyewakan rumah kepada konsumen dengan harga sewa dan jangka waktu yang
disepakati;
(4) Konsumen membayar harga sewa rumah setiap bulan diakhiri dengan membeli rumah pada
harga yang disepakati di akhir masa sewa;
Pada tahapan skema IMBT ini, terdapat tiga kontrak yang harus dilakukan. Kontrak pertama
adalah kontrak antara bank dengan penjual rumah yang mencakup proses jual-beli rumah dari
penjual rumah kepada bank. Kontrak ini diatur di dalam suatu Perjanjian Penjualan Properti
(PJP).
Kontrak yang kedua adalah Perjanjian Sewa Menyewa (PSM), yaitu perjanjian yang melibatkan
bank dengan konsumen, yaitu Bank menyewakan rumah kepada konsumen dengan biaya sewa
per bulan dan jangka waktu sewa disepakati di dalam kontrak ini. Dan perjanjian yang terakhir
adalah Perjanjian Jual Properti (PJP), yaitu bank menjual rumah yang disewakan tersebut kepada
konsumen setelah masa sewa yang disepakati di awal berakhir.
F.2. Perhitungan
Perhitungan dari skema IMBT ini dapat djelaskan melalui contoh berikut: Misalkan ada
seseorang yang hendak menjual rumah seharga Rp100.000.000. Dan ada seorang pembeli B yang
ingin membeli rumah tersebut dengan meminta bantuan Bank A memberikan pembiayaan, maka
bank A dapat menawarkan kepada pembeli B untuk bekerja sama dengan akad IMBT.
Maka kontrak pertama yang dilakukan adalah Bank A harus membeli rumah kepada penjual
rumah dengan harga Rp100.000.000 dan akan dilanjutkan dengan perjanjian kontrak kedua, yaitu
Bank A menyewakan rumahnya kepada pembeli B. Misalkan biaya sewa yang disepakati adalah
sebesar Rp1.000.000 per bulan selama 10 tahun (120 bulan), maka pembeli B akan
mengeluarkan uang sewa sampai 10 tahun adalah sebesar Rp1.000.000 dikali dengan 120 bulan,
adalah sebesar Rp120.000.000.
Di akhir masa sewa, Bank A menjual rumah yang telah dimilikinya kepada pembeli B dengan
harga Rp10.000.000. Maka kepemilikan rumah telah berpindah kepada pembeli B pada saat
kontrak perjanjian yang terakhir, yaitu setelah 10 tahun. Apabila perhitungan tersebut
digambarkan ke dalam skema akad IMBT, gambar berikut adalah skema aliran dana yang terjadi.
Gambar IV.2.3.1. Skema Pembiayaan akad Ijarah Muntahia Bittamlik
Namun, bank perlu memperhatikan bagaimana arus kas dari akad IMBT ini bekerja untuk bank.
Dari sisi waktunya, arus kas masuk dan arus kas keluar dapat digambarkan dalam skema
pembayaran berikut ini.
Gambar IV.2.3.2. Skema Pembayaran akad Ijarah Muntahia Bittamlik

F.3. Potensi Masalah


Pada akad IMBT, apabila pembeli B tidak dapat melakukan pembelian rumah sebelum jangka
waktu berakhir. Karena apabila pembelian rumah dilakukan sebelum masa sewa berakhir, maka
Bank A akan mengalami kerugian, yaitu pendapatan yang diperoleh lebih kecil dari pada uang
yang sudah dikeluarkan pada saat membeli rumah. Kecuali pada saat pembelian dilakukan
sebelum masa sewa berakhir, pembeli B tetap melunasi biaya sewa-menyewa. Namun, solusi ini
pun merugikan pembeli B sehingga perlu dijelaskan di dalam kontrak yang dijelaskan suatu
skenario perhitungan apabila pembeli B melakukan pembelian rumah yang dimiliki bank A lebih
cepat dari jangka waktu sewa yang disepakati.
Dari sisi keuangan, akad IMBT ini secara relatif cenderung memiliki potensi yang merugikan
salah satu pihak. Bank memiliki kemungkinan kerugian yang lebih besar dari pada konsumen.
Harga sewa akan cenderung mengalami peningkatan seiring dengan berjalannya waktu. Namun,
harga sewa dalam akad IMBT ini sudah disepakati secara tetap di awal transaksi.
Dari sisi harga, harga jual pada saat akhir periode sewa yang sudah ditentukan di awal pun
berpotensi memiliki perbedaan prediksi, yaitu harga jual yang disepakati lebih kecil dari pada
harga pasar. Hal ini pun dapat merugikan bank penerbit pembiayaan akad IMBT ini.

Anda mungkin juga menyukai