Pembentukan pirit. Pirit (FeS2) adalah mineral berkristal kubus dari senyawa besisulfida yang terkumpul di dalam endapan marin kaya bahan organik dan diluapi air
mengandung senyawa sulfat (SO4-) dari air laut. Bentuk kristal pirit sangat halus
bervariasi dari <> 2 mikron hingga > 100 mikron (Van Dam dan Pons, 1972).
Kandungan pirit dalam endapan marin mencapai 5%, tetapi umumnya 1-4% (Van
Breemen, 1972). Pembentukan pirit memerlukan persyaratan tertentu :
(1) Lingkungan anaerob : Reduksi sulfat hanya dapat terjadi pada kondisi yang sangat
anaerob seperti pada sedimen tergenang dan kaya bahan organik. Dekomposisi bahan
organik oleh bakteri anaerob menghasilkan senyawa-senyawa yang bersifat masam
sehingga menyebabkan lingkungan bertambah masam (Pons et al., 1982);
(2) Sulfat terlarut : Sumber utama sulfat adalah air laut atau air payau pasang;
(3) Bahan organik : Oksidasi bahan organik menghasilkan energi yang sangat
diperlukan oleh bakteri pereduksi sulfat. Ion sulfat bertindak sebagai sumber elektron
bagi respirasi bakteri kemudian direduksi menjadi sulfida. Jumlah sulfida yang
terbentuk berkaitan langsung dengan jumlah bahan organik yang dimetabolisme oleh
bakteri;
(4) Jumlah besi : Tanah dan sedimen mengandung besi oksida dan hidroksida dalam
jumlah yang banyak, yang akan tereduksi menjadi Fe2+, yang sangat larut pada pH
sekitar normal atau dijerap oleh senyawa organik yang larut;
(5) Waktu : Waktu yang diperlukan untuk pembentukan pirit pada kondisi alami masih
belum banyak diketahui. Reaksi antara padatan FeS dan S berjalan sangat lambat,
memerlukan waktu bulanan bahkan tahunan untuk menghasilkan sejumlah pirit.
Namun demikian, pada kondisi yang sesuai, Fe2+ larut dan ion polisulfida dapat
membentuk pirit dalam beberapa hari (Howarth, 1979 dalam Dent, 1986). Reaksi
keseluruhan pembentukan pirit dari besi oksida (Fe2O3) sebagai sumber Fe
digambarkan sebagai berikut :
Pada kondisi tergenang atau anaerob, selain terbentuk ion mono-karbonat, di dalam
tanah atau sedimen juga mengandung karbonat yang berasal dari koral atau binatang
laut. Karbonat akan menetralisir kemasaman tanah dan mempertahankan pH sekitar
netral.
Pirit adalah zat yang hanya ditemukan di tanah di daerah pasang surut saja. Zat ini
dibentuk pada waktu lahan digenangi oleh air laut yang masuk pada musim kemarau.
Pada saat kondisi lahan basah atau tergenang, pirit tidak berbahaya bagi tanaman.
Akan tetapi, bila terkena udara (teroksidasi), pirit berubah bentuk menjadi zat besi dan
zat asam belerang yang dapat meracuni tanaman. Pirit dapat terkena udara apabila:
=>Tanah pirit diangkat ke permukaan tanah (misalnya pada waktu mengolah tanah,
membuat saluran, atau membuat surjan).
=>Permukaan air tanah turun (misalnya pada musim kemarau).
Gejala keracunan zat besi pada tanaman:
Daun tanaman menguning jingga
Pucuk daun mengering
Tanamannya kerdil
Hasil tanaman rendah.
Ciri-ciri tingginya kadar besi dalam tanah:
sulfat masam yang sudah tua mengandung besi dalam bentuk kristal goetit dan
hematit yang stabil sehingga sulit tereduksi. Sebaliknya tanah sulfat masam yang
masih muda kaya akan koloid besi, sehingga diperkirakan mempunyai kadar besi
terlarut yang tinggi setelah penggenangan. Reduksi oksida Fe3+ dengan bahan
organik sebagai donor elektron akan mengkonsumsi 4 proton :
Konsten et al., (1990) melaporkan bahwa tanah sulfat masam di Kalimantan ada yang
tidak menunjukkan peningkatan pH setelah penggenangan. Hal ini disebabkan tanah
tersebut mempunyai kandungan oksida Fe3+ yang rendah dibandingkan kapasitas
netralisasi oleh tanah.
Reduksi sulfat. Proses reduksi sulfat menjadi sulfida dapat terjadi pada kondisi pH di
atas 4 hingga 5, pada pH di bawah itu reaksi terjadi sangat lambat dan bahkan tidak
ada. Reduksi sulfat seringkali terjadi pada tanah sulfat masam yang masih muda dan
sulfat masam lanjut yang lama tergenang. Reduksi sulfat ini sangat berkaitan dengan
adanya hasil dekomposisi bahan organik yang masih baru. H2S yang terbentuk sangat
beracun bagi tanaman, pada konsentrasi 0,1 mg l-1 H2S sudah dapat meracuni
tanaman padi dalam larutan hara (Mitsui, 1964 dalam van Breemen, 1993). Reaksi
yang terjadi digambarkan sebagai berikut :
b. Proses oksidasi
Proses utama yang terjadi bila tanah sulfat masam teroksidasi adalah oksidasi pirit.
Reklamasi lahan rawa melalui pembuatan saluran drainase mengakibatkan perubahan
kimia di dalam tanah sulfat masam. Pirit yang semula tidak berbahaya pada kondisi
tergenang, secara perlahan berubah menjadi unsur beracun dan merupakan sumber
kemasaman tanah bila kondisi tanah berubah menjadi oksidatif. Perbedaan yang besar
antara pasang surutnya air laut serta musim kemarau yang panjang menyebabkan pirit
teroksidasi secara alami. Reaksi oksidasi pirit dengan oksigen pada tanah sulfat
masam berlangsung dalam beberapa tahapan, meliputi reaksi-reaksi kimia dan
biologis (Dent, 1986). Pada tahap awal, oksigen terlarut secara lambat bereaksi
dengan pirit menghasilkan 4 molekul H+ per molekul pirit yang dioksidasi :
Pada nilai pH kurang dari 3,5 reaksi oksidasi kimia ini berjalan sangat lambat dengan
waktu paruh 1.000 hari. Kecepatan oksidasi pirit oleh Fe3+ sangat dipengaruhi oleh
pH, karena Fe3+ hanya larut pada nilai pH di bawah 4 dan Thiobacillus ferrooxidans
tidak tumbuh pada pH yang tinggi. Besi oksida dan pirit di dalam tanah mungkin
secara fisik berada pada tempat yang berdekatan, namun ada tidaknya reaksi di antara
mereka sangat dipengaruhi oleh kelarutan Fe3+.
Kecepatan oksidasi pirit cenderung bertambah dengan menurunnya pH tanah. Pada
pH di bawah 4, proses oksidasi terhambat oleh suplai O2. Kecepatan penurunan pH
akibat oksidasi pirit tergantung pada : (1) jumlah pirit; (2) kecepatan oksidasi; (3)
kecepatan perubahan bahan hasil oksidasi; dan (4) kapasitas netralisasi. Kalsium
karbonat dan basa dapat ditukar merupakan bahan penetralisir kemasaman dimana
reaksinya dengan asam sulfat berjalan cepat(van Breemen, 1993).
Di dalam tanah, berbagai tingkatan oksidasi yang berlangsung tidak terjadi
pada titik yang sama. Pengujian secara mikro-morfologi menunjukkan bahwa ada
perbedaan/batas yang nyata antara lokasi beradanya pirit dan bahan hasil oksidasinya
seperti jarosit, besi oksida, dan gipsum. Pirit biasanya terdapat di dalam inti dari ped,
sedangkan jarosit, besi oksida, dan gipsum terdapat pada permukaan ped dan ruang
pori. van Breemen (1976) menduga bahwa oksigen bereaksi dengan Fe2+ terlarut
membentuk Fe3+ terlebih dahulu sebelum bertemu dengan pirit.
c. Hasil oksidasi pirit
Oksidasi pirit oleh Fe3+ menghasilkan ion (H+) yang kemudian sebagian digunakan
lagi untuk mengoksidasi Fe2+ menjadi Fe3+. Hasil akhir dari oksidasi pirit adalah
hidroksida Fe3+. Pada pH > 4, oksida dan hidroksida Fe3+ akan mengendap,
misalnya dalam bentuk goetit yang lambat laun akan berubah menjadi hematit (Dent,
1986).
Jarosit [KFe3(SO4)2(OH)6] merupakan endapan berwarna kuning pucat hasil
oksidasi pirit pada kondisi yang sangat masam, yaitu pada Eh diatas 400 mV dan pH
kurang dari 3,7. Reaksi pembentukannya sebagai berikut :
Pada pH di atas 4, jarosit tidak stabil dan mudah berubah menjadi goetit dan
terhidrolisa menjadi oksida besi. Hasil pengujian mikroskopi terhadap irisan tipis dan
difraksi sinar X menunjukkan bahwa bercak kuning yang merupakan karakteristik
tanah sulfat masam didominasi oleh jarosit dan goetit. Bercak merah dan coklat pada
sulfat masam adalah goetit yang kadang-kadang berasosiasi dengan jarosit dan
hematit (van Breemen, 1976). Sulfat merupakan salah satu hasil oksidasi pirit yang
sangat sedikit dijerap oleh profil tanah. Sebagian besar dari sulfur terlarut hilang
bersama air drainase atau berdifusi ke lapisan di bawahnya yang kemudian akan
direduksi kembali menjadi sulfida. Sebagian kecil tertahan dalam bentuk jarosit atau
gipsum. Gipsum terbentuk pada tanah sulfat masam melalui reaksi netralisasi
kemasaman oleh kalsium karbonat :
Ion hidrogen (proton) yang dihasilkan dari oksidasi pirit menyebabkan kondisi tanah
yang sangat masam. pH yang sangat rendah menyebabkan penghancuran kisi-kisi
mineral liat sehingga silikat dan Al3+ terlepas. Di lapangan, nilai pH tanah sulfat
masam berkisar antara 3,2 hingga 3,8 (Dent, 1986). Meningkatnya kandungan silika
dan Al3+ terlarut mempengaruhi karakteristik tanah dan air tanah. Aktivitas Al3+
terlarut berkorelasi secara langsung dengan pH, bila pH meningkat maka aluminium
akan mengendap sebagai hidroksida atau basic sulfate (van Breemen, 1973).
Beberapa unsur mikro seperti Ni dan Co ikut terakumulasi di dalam sedimen karena
mensubstitusi Fe dalam pirit atau unsur Cu, Zn, Pb yang menggantikan sulfida (Deer
et al., 1965 dalam van Breemen, 1993). Unsur-unsur tersebut akan terlepas kembali
saat pirit teroksidasi. Satawathananont (1986 dalam van Breemen, 1993)
menunjukkan bahwa konsentrasi unsur Cu, Zn, Mo, Cd, Pb, Ni, dan As terdapat dalam
jumlah yang lebih tinggi pada tanah berpirit yang aerasinya baik (pH 2,9)
dibandingkan pada tanah sulfat masam yang sudah berkembang (pH 3,9-4,5) dan
tanah marin yang tidak masam (pH 4,9) di Bangkok. Lebih lanjut ia mengamati tanah
yang diinkubasi pada nilai potensial redoks dan pH yang terkontrol dalam suasana
masam yang oksidatif selama dua minggu, logam berat yang larut air lebih tinggi pada
tanah berpirit dibandingkan tanah lanjut/tua.
Selain unsur mikro, masih banyak unsur lain seperti gas SO2, Fe2+, H2S, Al3+ dan
asam-asam organik yang dilepaskan sebagai akibat teroksidasinya pirit. Keluarnya
unsur-unsur beracun tersebut dari tanah melalui air drainase ke perairan umum dapat
sangat masam sekali (pH 4,0-4,3), dan di lapisan bawah masam ekstrim sampai sangat
masam sekali (pH 3,5-3,8). Kandungan garam, dengan data terbatas yang hanya
berasal dari SMP Kalimantan, ditunjukkan oleh daya hantar listrik yang bervariasi
dari 7.000-21.000 dS/m, dengan rata-rata termasuk sangat tinggi sekali (7.253-7.320
dS/m), baik di lapisan atas maupun lapisan bawah.
Kandungan bahan organik, tidak termasuk lapisan gambut tipis di permukaan tanah
bervariasi sedang sampai sangat tinggi, baik pada SMP dari Sumatera maupun SMP
dari Kalimantan. Rata-rata kandungan bahan organik sangat tinggi sampai sangat
tinggi sekali (9,16-20,54%) di lapisan atas, dan sangat tinggi (6,31-6,61%) di lapisan
bawah. Kandungan N tinggi (0,59-0,70%) di lapisan atas, dan menurun menjadi
rendah sampai sedang (0,17-0,28%) di lapisan bawah. Rasio C/N di seluruh lapisan
tanah bervariasi dari tinggi sampai sangat tinggi, dan cenderung meningkat di lapisan
bawah. Rata-rata C/N tergolong tinggi (16-24) di lapisan atas, dan sangat tinggi (3031) di lapisan bawah.
Kandungan fosfat potensial (P2O5-HCI) pada SMP dari Sumatera bervariasi dari
rendah sampai sangat tinggi di lapisan atas, dan menurun menjadi rendah sampai
sedang di lapisan bawah. Rata-ratanya tinggi (58 mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan
rendah (20 mg/100 g tanah) di lapisan bawah. Sementara kandungan P2O5 di seluruh
lapisan pada SMP dari Kalimantan, bervariasi dari rendah sampai sangat tinggi. Oleh
karena itu, rata-rata kandungan P2O5 potensial di lapisan atas termasuk sangat tinggi
(115 mg/100 g tanah), dan di lapisan bawah sedang (33 mg/100 g tanah). Kandungan
K2O tergolong sedang (32-35 mg/100 g tanah) di lapisan atas, dan sedang sampai
tinggi (29-60 mg/100 g tanah) di lapisan bawah.
Kandungan fosfat tersedia (P2O5 Bray-I) tergolong sedang sampai tinggi (17,7-32,3
ppm) di lapisan atas, dan sedang (15,2-17,0 ppm) di lapisan bawah. Jumlah basa, baik
di lapisan atas maupun lapisan bawah, tergolong tinggi (18,0-28,3 cmol(+)/kg tanah).
Basa dapat tukar yang dominan di seluruh lapisan tanah adalah Mg dan Na masingmasing untuk Mg termasuk sangat tinggi (10,89- 14,19 cmol(+)/kg tanah, pada SMP
dari Sumatera, dan termasuk tinggi (7,05-8,02 cmol(+)/kg tanah) pada SMP dari
Kalimantan. Kandungan Na tergolong sangat tinggi sampai sangat tinggi sekali, baik
di lapisan atas (2,34-6,01 cmol(+)/kg tanah) maupun di lapisan bawah (4,91-5,61
cmol(+)/kg tanah). Sebaliknya kandungan Ca-dapat tukar rendah sampai sedang, baik
di lapisan atas (5,11-7,84 cmol(+)/kg tanah), maupun lapisan bawah (4,61-7,95
cmol(+)/kg tanah). Sementara kandungan K-dapat tukar, tergolong sedang (0,43-0,64
cmol(+)/kg tanah) di seluruh lapisan. Kapasitar tukar kation tanah, menunjukkan nilai
tinggi sampai sangat tinggi (31,5-62,5 cmol(+)/kg tanah) di lapisan atas, dan tinggi
(28,9-32,7 cmol(+)/kg tanah) di lapisan bawah karena pengaruh kandungan bahan
organik yang sangat tinggi.
Kejenuhan basa tergolong rendah sampai sedang (35-49%) di lapisan atas, dan sedang
sampai sangat tinggi (55-84%) di lapisan bawah. Kejenuhan AI di semua lapisan
umumnya sangat bervariasi dari sangat rendah sampai sangat tinggi, dan rata-ratanya
rendah (32-35%) di lapisan atas, dan rendah sampai sedang (30-47%) di lapisan
bawah. Kandungan pirit (FeS2) sangat rendah (0,44-1,12%) di lapisan atas, dan
rendah (1,35-2,31%) di lapisan bawah.
tinggi (67-71%) baik di lapisan atas maupun lapisan bawah. Kandungan pirit (FeS2)
menunjukkan rata-rata sangat rendah (0,85-1,07%) di kedua lapisan tanah.
Tumbuhan rumput purun tikus sebagai indikator adanya pirit di dalam tanahnya
Pirit (FeS2) merupakan senyawa yang hanya terbentuk dalam suasana payau (ada
pengaruh air laut). Sebab air laut merupakan sumber utama senyawa SO4
Lahan pasang surut yang salinitas air (kadar garamnya) lebih dari 0,8% disebut
sebagai lahan salin atau pasang surut air asin. Lahan seperti itu biasanya didominasi
oleh tumbuhan bakau.
Apabila kadar garamnya hanya tinggi pada musim kemarau selama kurang dari 2
bulan, disebut sebagai lahan salin peralihan. Biasanya ditandai oleh banyaknya
tumbuhan Nipah.