Anda di halaman 1dari 22

Kadar lengas tanah disebut sebagai kandungan air (moisture) yang terdapat dalam

tanah. Lengas tanah berperan dalam pengaturan penyerapan unsur hara dan pernapasan akar-
akar tanaman, yang selanjutnya berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman.
Penentuan kadar lengas tanah dengan menggunakan metode gravimetri dengan cara
menghitung selisih kadar lengas tanah antara sebelum dan setelah dikeringkan dalam oven.
Pada praktikum ini, kadar lengas tanah digunakan dalam penentuan N tersedia, P tersedia,
penetapan KPK dan kation tertukar, dan untuk penetapan unsur mikro tersedia (Fe, Mn, Cu,
Zn) dengan DTPA. Dari hasil pengukuran, diperoleh rata-rata kadar lengas tanah entisol
diameter 0,5 mm adalah 2,3% dan tanah berdiameter 2 mm sebesar 2,055%. Sedangkan pada
tanah entisol kelompok 2, kadar lengas tanah untuk diameter 0,5 mm sebesar 2,3% dan untuk
tanah diameter 2 mm sebesar 2,2%. Dari kedua hasil tersebut, tanah entisol berdiameter 0,5
mm memiliki kadar lengas yang lebih tinggi dibandingkan tanah berdiameter 2 mm. Hal ini
dikarenakan ukuran permukaan tanah yang berdiameter 0,5 mm lebih tinggi dibandingkan
tanah berdiameter 2 mm. Secara keseluruhan, dari 5 sampel tanah yang digunakan untuk
pengujian, tanah entisol memiliki kadar lengas yang paling rendah. Tanah entisol merupakan
tanah bertekstur pasir dan memiliki kandungan lempung yang rendah sehingga kemampuan
tanah Entisol untuk mengikat air sangat rendah.
Pada praktikum yang dilakukan, didapatkan hasil bahwa pH tanah Entisol dengan
vegetasi singkong sebesar 6.54 untuk pH aktual sedangkan pH potensial adalah 5.41. Pada
tanah Entisol dengan vegetasi rumput didapatkan pH aktual sebesar 6,71 dan pH potensial
sebesar 5,55. Dari hasil pH yang didapatkan, dapat dikatakan bahwa tanah Entisol memiliki
pH yang sedikit masam untuk pH potensial dan masam sedang untuk pH aktual. Kisaran pH
antara 5 hingga 7 merupakan kisaran pH umum untuk tanah mineral di daerah iklim basah.
(Tan, 1982). pH dari 2 tanah Entisol yang berbeda vegetasi ini relatif sama atau tidak ada
perbedaan yang signifikan. Hasil yang didapat juga relatif sama dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Arifin (2011) pada tanah Entisol dengan tipe penggunaan lahan sebagai lahan
petanian.
Pengaruh pH terhadap kesuburan tanah bersifat tidak langsung yaitu terhadap kelarutan
dan ketersediaan hara N, P, dan K dalam tanah (Sutedjo dan Kartaspoetra, 1990 cit Rocana,
2011). Faktor yang mempengaruhi pH tanah adalah tipe vegetasi, jumlah curah hujan, drainase
tanah internal, dan aktivitas manusia. Apabila drainase tanah baik maka pH tanah akan semakin
baik untuk pertumbuhan tanaman. pH juga dapat dipengaruhi oleh dekomposisi bahan organik,
bahan induk, pengandapan, vegetasi alami, kedalaman tanah, dan penggenangan. Telah
ditandai bahwa pH tertentu cenderung dikaitkan dengan suatu kumpulan bagian kondisi tanah
(Elisa, 2002).

Ion-ion dalam air menghantarkan aliran listrik, maka dipergunakan cara yang tepat yaitu
Daya Hantar Listrik (DHL) atau electrical conductivity, untuk menaksirkan kandungan total
garam terlarut di dalam suatu tanah. Bila hasil pengukuran DHL yang diperoleh lebih kecil
daripada 4 milimhos per centimeter, maka tanah tersebut masih masuk ke dalam kelompok
tanah normal. Tanah salin (asin) umumnya tidak produktif untuk pertanian. Tanah semacam
ini dapat terjadi akibat adanya rembesan air laut, sementara air tawar tidak mampu
menetralkan. Tanah bergaram sifatnya lepas karena tidak mempunyai kemampuan untuk
mengikat air, sehingga pada musim hujan air terus merembes ke bawah. Tanah semacam itu
tidak mampu menahan air di lapisan olah karena bersifat lepas tersebut (Muslimah, 2007).

Gambar 1 Histogram Daya Hantar Listrik tanah


Berdasarkan hasil analisis Laboratorium yang telah dilakukan seperti gambar histogram
diatas dapat diketahui nilai DHL tanah dari rendah ke tinggi secara berurutan adalah tanah
alfisol 2; inceptisol 2; molisol 1; alfisol 1; inceptisol 1; entisol 1; entisol 2; vertisol 2; vertisol
1; dan molisol 2. Analisis tanah sampel Entisol 1 yang digunakan memiliki DHL sebesar 2.54
mS/cm pada ulangan 1 dan pada ulangan 2, daya hantar listrik pada tanah sampel adalah sebesar
2.24 mS/cm dengan rata rata sebesar 2.39 mS/cm. Sedangkan pada tanah sampel Entisol 2
memiliki DHL sebesar 1.93 mS/cm pada ulangan 1 dan pada ulangan 2, daya hantar listrik pada
tanah sampel adalah sebesar 3.86 mS/cm dengan rata rata sebesar 2.895 mS/cm. Nilai DHL
pada suatu tanah berkaitan erat hubungannya dengan kinerja tanaman dan disajikan pada Tabel
2. Prinsip dasar bagaimana salinitas mempengaruhi produksi tanaman adalah adanya ion
sodium (Na+) dan (Cl-) pada konsentrasi yang meracuni tanaman. Hasil analisis nilai DHL pada
tanah sampel Entisol 1 dan 2 menunjukkan nilai yang pengaruh garamnya akan berpengaruh
terhadap tanaman yang sangat rentan sebab nilai DHL nya sebesar 2-4 mS.
Tabel 2 Pengaruh Nilai Daya Hantar Listrik (DHL) terhadap Kinerja Tanaman

Nilai Daya Hantar Listrik (DHL) Kinerja Tanaman


0 - 2 mS Pengaruh kadar garam boleh diabaikan
Hanya tanaman yang sangat rentan akan
2 - 4 mS
terpengaruh
4 - 8 mS Hasil panen tanaman terbatas
Hanya tanaman yang tergenang hasil panen akan
8 - 16 mS
memuaskan

Hanya sedikit hasil panen tanaman yang


> 16 mS
tergenang yang memuaskan
Sumber : Notohadiprawiro, 1998 cit. Muslimah, 2007.

Amonium (NH4)
0.0009
0.0008
0.0007
0.0006
0.0005
(%)

0.0004
0.0003
0.0002
0.0001
0
entisol alfisol inceptisol molisol vertisol

kelompok 1 kelompok 2

Gambar 4. Histogram kandungan Amonium (NH4) dalam tanah

Nitrat (NO3ˉ)
0.0012

0.001

0.0008
(%)

0.0006

0.0004

0.0002

0
entisol alfisol inceptisol molisol vertisol

kelompok 1 kelompok 2

Gambar 5. Histogram kandungan Nitrat (NO3-) dalam tanah


Dari hasil praktikum didapatkan nilai [N] rata-rata tanah entisol vegetasi singkong
dalam ammonium sebesar 0,000328 % sedangkan [N] rata-rata dalam nitrat sebesar 0,000492
%. Sedangkan nilai [N] rata-rata tanah entisol vegetasi rumput dalam ammonium lebih tinggi
yaitu sebesar 0,000494%, sedangkan nilai [N] rata-ratanya dalam Nitrat lebih kecil yaitu
sebesar 0,00033. Kadar [N] dalam ammonium yang lebih tinggi dalam tanah entisol vegetasi
rumput dibandingkan dengan tanah entisol vegetasi singkong dan kadar [N] dalam Nitrat yang
lebih tinggi pada tanah entisol vegetasi singkong dibandingkan dengan tanah entisol vegetasi
rumput dapat disebabkan karena proses nitrifikasi pada tanah entisol vegetasi rumput lebih
rendah dibandingkan dengan tanah entisol vegetasi singkong sehingga karena proses nitrifikasi
lebih rendah otomatis NH4+ yang berubah menjadi NO3- juga lebih sedikit sehingga bila
dibandingkan dengan tanah vegetasi singkong maka tanah entisol vegetasi rumput lebih banyak
memiliki kandungan NH4+ yang lebih tinggi dari NO3-, sementara itu pada tanah entisol
vegetasi singkong proses nitrifikasinya lebih tinggi sehingga lebih banyak NH4+ yang diubah
menjadi NO3- sehingga kandungan [N] dalam Nitrat lebih tinggi bila dibandingkan dengan
tanah vegetasi rumput . Selain itu, kondisi tanah juga dapat mempengaruhi kadar [N], dimana
pada tanah yang tergenang (reduktif) akan banyak ditemukan NH4+ sedangkan pada tanah yang
kering (oksidatif) akan banyak ditemukan NO3- , sehingga mungkin saja tanah entisol pada
vegetasi singkong lebih oksidatif dibanding tanah entisol vegetasi rumput dan tanah entisol
vegetasi rumput lebih reduktif dibandingkan dengan tanah entisol vegetasi singkong. Karena
seperti kita tahu bahwa tanaman singkong merupakan tanaman palawija yang mana tanaman
tersebut tidak membutuhkan air yang banyak sedangkan rumput-rumputan cenderung
menyimpan dan menyerap banyak air dari akarnya. Faktor pH juga mempengaruhi, seperti
teori dari Hardjowigeno (1995) bahwa Penyerapan NH4+ lebih banyak terjadi pada pH tanah
netral, sedangkan NO3– pada pH rendah. Senyawa NO3– umumnya bergerak menuju akar
karena aliran masa, senyawa NH4+ bersifat tidak mobil, gerakan disebabkan oleh difusi juga
aliran masa. Pada tanah entisol vegetasi singkong diberikan penambahan pupuk kandang
sedangkan pada vegetasi rumput tidak dilakukan penambahan pupuk apapun sehingga karena
penambahan pupuk tanah entisol pada vegetasi singkong akan lebih masam bila dibandingkan
dengan tanah entisol vegetasi rumput sehingga pada tanah entisol vegetasi singkong lebih
banyak ditemui NO3– sebaliknya pada tanah entisol vegetasi rumput akan lebih banyak ditemui
NH4+. Selain itu faktor lain yang mempengaruhi yaitu kegiatan jasad renik, menurut Hakim et
al (1986) Faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan N adalah kegiatan jasad renik, baik
yang hidup bebas maupun yang bersimbiose dengan tanaman. Pertambahan lain dari nitrogen
tanah adalah akibat loncatan suatu listrik di udara. Nitrogen dapat masuk melalui air hujan
dalam bentuk nitrat. Jumlah ini sangat tergantung pada tempat dan iklim.
Namun secara keseluruhan nilai [N] yang didapatkan pada tanah entisol baik vegetasi
singkong maupun vegetasi rumput sangat rendah, hal ini sesuai dengan teori menurut
Darmawijaya (1992) yang menyatakan bahwa pada Entisol yang diusahakan secara intensif
untuk budidaya pertanian mempunyai kadar unsur hara esensial yang rendah terutama unsur
hara nitrogen (N), sedangkan fosfor (P), dan kalium (K) cukup namun belum tersedia bagi
tanaman, sehingga perlu penambahan unsur hara melalui pemupukan. Rendah nya unsur hara
N disebabkan karena tanah entisol memiliki tekstur yang didominasi pasir, sehingga
kandungan bahan organiknya rendah dan mudah mengalami leaching selain itu menurut
Hardjowigeno (1995), salah satu penyebab hilangnya unsur N pada tanah berpasir adalah
bentuk ion NO3- (nitrat) yang mudah tercuci dan miskin akan unsur hara. Namun nilai N yang
didapatkan dari hasil praktikum bila dibandingkan dengan nilai N menurut Firmansyah dan
Sumarni (2013) yang menyatakan bahwa tanah entisol memiliki kadar N-total sebesar 0,06 %,
dan juga teori dari Arifin (2011) yang menyatakan bahwa N-total pada lahan pertanian sebesar
0,07 % (rendah).
Nilai N yang dari hasil praktikum yang jauh lebih rendah dapat disebabkan karena
mungkin tempat pengambilan tanah yaitu di daerah pantai Samas, Bantul, Yogyakarta memiliki
tingkat leaching atau pencucian yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan tanah entisol yang
digunakan oleh sumber referensi tersebut. Selain itu kemungkinan juga kandungan bahan
organik pada tanah Entisol pantai Samas jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kandungan
bahan organik tanah entisol pada referensi. Kekurangan hara N dapat membatasi pembelahan
dan pembesaran sel (Sumiati & Gunawan 2007 cit Firmansyah dan Sumarni, 2013) serta
pembentukan klorofil, sehingga pertumbuhan tanaman menjadi terhambat dan daunnya
kekuningan. Hal ini terjadi karena hara N terlibat langsung dalam pembentukan asam amino,
protein, asam nukleat, enzim, nukleoprotein, dan alkaloid, yang sangat dibutuhkan untuk
proses pertumbuhan tanaman, terutama perkembangan daun, meningkatkan warna hijau daun,
serta pembentukan umbi/anakan (Abdissa et al. 2011, Nasreen et al. 2007 cit Firmansyah dan
Sumarni, 2013 ). Menurut Afandi et al (2005) Oleh sebab itu, perlu dilakukan perbaikan sifat
fisik dan kimia tanah Entisol dengan menggunakan bahan organik berupa kotoran ayam,
kotoran sapi dan kompor agar dapat digunakan untuk usaha pertanian tanaman ubi jalar. Selain
itu menurut Hardjowigeno (1995) Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi
permasalahan N tersebut adalah dengan penambahan pupuk anorganik maupun pupuk organik.
Bentuk NH3 (amoniak) diserap oleh daun dari udara atau dilepaskan dari daun ke udara,
jumlahnya tergantung konsentrasi di udara. Sebagian besar N diambil akar dalam
bentuk anorganik yaitu NH4+ (ammonium) and NO3– (nitrat).

P Tersedia
45
40
35
30
25
µg/g

20
15
10
5
0
entisol alfisol inceptisol molisol vertisol

1 2
Gambar 6. Histogram P tersedia dalam berbagai jenis tanah
Berdasarkan hasil praktikum dapat diketahui bahwa kandungan P tersedia pada tanah
entisol vegetasi singkong jauh lebih tinggi yaitu sebesar 33,5998 µg/g daripada kandungan P
pada tanah entisol vegetasi rumput yang hanya sebesar 1,4556 µg/g saja. Hal ini dapat saja
terjadi karena pada tanah entisol vegetasi singkong dilakukan upaya pemupukan dengan
menggunakan pupuk kandang, sedangkan pada tanah entisol vegetasi rumput tanpa
pemupukan. Menurut Winarso (2005) ada beberapa faktor yang turut mempengaruhi
ketersediaan P tanah yaitu : (l) tipe liat, (2) pH tanah, (3) waktu reaksi , (4) temperatur dan
(5) bahan organik tanah. Disamping itu penggenangan juga dapat mempengaruhi. Menurut
Darmawijaya (1992), pada Entisols yang diusahakan secara intensif untuk budidaya pertanian
mempunyai kadar unsur hara esensial yang rendah terutama unsur hara nitrogen (N), sedangkan
fosfor (P), dan kalium (K) cukup namun belum tersedia bagi tanaman, sehingga perlu
penambahan unsur hara melalui pemupukan. Pemupukan dilakukan dengan tujuan untuk
meningkatkan ketersediaan hara dalam tanah dan diharapkan dapat mencukupi kebutuhan hara
tanaman. Fungsi bahan organik dalam merubah sifat kimia tanah yaitu dapat menaikkan
ketersediaan P salah satunya dengan menaikan jumlah mineralisasi P organik menjadi P
anorganik. P diambil tanaman dalam bentuk HPO42− dan H2PO4− (Kurnia, 2004).
Berdasarkan teori-teori tersebut dapat diketahui bahwa memang dengan pemupukan maka akan
meningkatkan kandungan bahan organik didalam tanah yang mana dengan adanya peningkatan
bahan organik maka akan terjadi peningkatan mineralisasi (perubahan P organik menjadi P
anorganik yang tersedia bagi tanaman). Selain itu, kadar P yang tinggi juga dapat dipengaruhi
oleh faktor pH, menurut teori dari Arinong (2013) menyatakan bahwa ketersediaan P tanah
sangat dipengaruhi oleh pH tanah. Pada kebanyakan tanah ketersediaan P maksimum
dijumpai pada kisaran pH antara 5,5 - 7,0. Ketersedian P akan menurun bila pH tanah lebih
rendah dari 5,5 atau lebih tinggi dari 7,0. Pada pH rendah jerapan P oleh ion Fe dan Al dan
oksida hidrous dari logam-logam tersebut. Di atas pH 7,0 fiksasi atau jerapan dilakukan oleh
kalsium dan magnesium yang banyak tersedia dan larut, menyebabkan P mengendap sehingga
ketersediaannya menurun kembali. pH tanah entisol berdasarkan hasil pengamatan untuk tanah
entisol vegetasi singkong yaitu 6,645 untuk pH aktual dan 5,415 untuk pH potensial, sehingga
kondisi pH tersebut juga mendukung ketersediaan P maksimum.
Bondansari dan Bambang (2011) dalam Afandi et al (2015) menyatakan bahwa Entisol
memiliki kadar hara tergantung pada bahan induk. Unsur P dan K yang ada di dalam tanah
masih pada keadaan segar belum dapat diserap oleh tanaman, sehingga menyebabkan produksi
tanaman tidak maksimal. Oleh sebab itu, perlu dilakukan perbaikan sifat fisik dan kimia tanah
Entisol dengan menggunakan bahan organik berupa kotoran ayam, kotoran sapi dan kompos
agar dapat digunakan untuk usaha pertanian tanaman ubi jalar. Menurut Arifin (2011) fosfor
tersedia tanah pada Entisol hutan adalah 13,52 ppm, sedangkan pada lahan pertanian adalah
9,73 ppm. Sedangkan menurut Firmansyah dan Sumarni (2013), Kadar P dalam tanah entisol
dengan vegetasi bawang merah sebesar 76,3 ppm (sangat tinggi). Menurut Susanto (2005)
bahwa bahan organik disamping dapat menyumbangkan fosfor juga menghasilkan bahan-
bahan terhumifikasi yang berperan untuk memperbesar ketersediaan fosfor dari mineral karena
membentuk P humat yang lebih mudah diserap tanaman. Adanya pengelolaan kadar lengas
pada kondisi macak-macak juga ikut meningkatkan ketersediaan P dalam tanah karena pada
kondisi ini terjadi pembebasan P sukar larut oleh mikrobia (Hardjowigeno dan Widiatmaka,
2001).
Kapasitas Tukar Kation Total (KTK total) tanah adalah jumlah muatan negatif tanah baik
yang bersumber dari permukaan koloid anorganik (liat) maupun koloid organik (humus) yang
merupakan situs pertukaran kation-kation (Siagian, 2009). Koloid tanah (mineral liat dan
humus) bermuatan negatif, sehingga dapat menyerap kation-kation. Kation-kation dapat
ditukar (dd) (Ca2+, Mg2+, K+ dan Na+) dalam kompleks jerapan tanah ditukar dengan kation
NH4+ dari pengekstrak dan dapat diukur. Untuk penetapan kapasitas tukar kation (KTK) tanah,
kelebihan kation penukar dicuci dengan etanol 96%. NH4+ yang terjerap diganti dengan kation
Na+ dari larutan NaCl, sehingga dapat diukur sebagai KTK (Prasetyo et al., 2009). Kapasitas
tukar kation tanah sangat beragam pada setiap jenis tanah. Besarnya KTK tanah dipengaruhi
oleh sifat dan ciri tanah itu sendiri antara lain reaksi tanah (pH), tekstur tanah atau jumlah liat,
jenis mineral liat, bahan organik, dan pengapuran dan pemupukan (Oktrafina, 2010).
Hubungan pH dengan KTK sangat erat yaitu pada pH rendah, hanya muatan permanen
liat, dan sebagian muatan koloid organik memegang ion yang dapat digantikan melalui
pertukaran kation. Dengan demikian KTK relatif rendah. Hal ini disebabkan oleh kebanyakan
tempat pertukaran kation koloid organik dan beberapa fraksi liat, H+ dan mungkin hidroksi-Al
terikat kuat, sehingga sukar dipertukarkan. Dengan meningkatnya pH, hidrogen yang diikat
koloid organik dan liat berionisasi dan dapat digantikan. Demikian pula ion hidroksi-Al yang
terjerap akan dilepaskan dan membentuk Al(OH)3. Dengan demikian terciptalah tapak-tapak
pertukaran baru pada koloid liat. Beriringan dengan perubahan-perubahan itu KTK pun
meningkat (Hakim dkk, 1986 cit. Oktrafina, 2010). Jones et al. (1991) cit Sufardi dkk (2017)
menyatakan bahwa rasio yang ideal antara kation Ca/Mg = 2,5-6,0; Ca/K = 8-18; Mg/Na = 2-
5; Mg/K = 2-6; dan K/Na = 3-8.

Gambar 2 Histogram Kapasitas Pertukaran Kation tanah


Berdasarkan gambar histogram diatas dapat diketahui nilai kpk tanah dari yang
terendah ke tinggi secara berurutan adalah tanah entisol 2; inceptisol 2; entisol 1; alfisol 2;
alfisol 1; molisol 1 dan 2; vertisol 2; dan vertisol 1. Berdasarkan hasil analisis Laboratorium
yang telah dilakukan, diketahui bahwa tanah sampel Entisol 1 yang digunakan memiliki KPK
sebesar 7.140 me% pada ulangan 1 dan pada ulangan ke 2, kapasitas pertukaran kation pada
tanah sampel adalah sebesar 10.812 me% dengan rata rata sebesar 8.76 me%. Sedangakan pada
tanah sampel Entisol 2 yang digunakan memiliki KPK sebesar 7.971 me% pada ulangan 1 dan
pada ulangan ke 2, kapasitas pertukaran kation pada tanah sampel adalah sebesar 5.508 me%
dengan rata rata sebesar 6.740 me%. Dengan demikian nilai KPK pada sampel tanah Entisol 1
dan 2 tergolong rendah. Hal tersebut telah sesuai dengan literatur yang ada, bahwa tanah entisol
memiliki nilai KPK yang tergolong rendah. Perbedaan nilai KPK pada tanah entisol 1 dan 2
terjadi sebab vegetasi yang tumbuh diatasnya dapat mempengaruhi kandungan humus tanah.
Pada tanah entisol 1 ditanami vegetasi singkong sedangkan pada tanah entisol 2 banyak
ditumbuhi rumput liar. Kandungan humus tanah dan jenis mineral lempung tanah dapat
mempengaruhi nilai KPK tanah.

Ppm Kation K
250

200

150
µg/g

100

50

0
entisol alfisol inceptisol molisol vertisol

kelompok 1 kelompok 2

Gambar 3 Histogram ppm kation K tanah


Berdasarkan gambar histogram diatas dapat diketahui nilai ppm kation k pada tanah
yang dianalisis dari yang terendah ke tertinggi secara berurutan adalah tanah entisol 2; entisol
1; molisol 1; vertisol 1; inceptisol 2; molisol 2; alfisol 2; inceptisol 1; alfisol 1; dan vertisol 2.
Berdasarkan hasil analisis Laboratorium yang telah dilakukan, diketahui bahwa tanah sampel
Entisol 1 yang digunakan memiliki nilai ppm kation K sebesar 39.700 µg/g. Sedangkan pada
tanah sampel Entisol 2 memiliki nilai ppm kation K sebesar 37.864 µg/g.
K tersedia
6

4
me %

0
entisol alfisol inceptisol molisol vertisol

kelompok 1 kelompok 2

Gambar 4 Histogram K tersedia tanah

Berdasarkan gambar histogram diatas dapat diketahui nilai kation K yang tersedia pada
tanah yang dianalisis dari yang terendah ke tertinggi secara berurutan adalah tanah entisol 2;
entisol 1; molisol 1; vertisol 1; inceptisol 2; molisol 2; alfisol 2; inceptisol 1; alfisol 1; dan
vertisol 2. Berdasarkan hasil analisis Laboratorium yang telah dilakukan, diketahui bahwa
tanah sampel Entisol 1 yang digunakan memiliki nilai kation K tersedia sebesar 1.015 me/100.
Sedangkan pada tanah sampel Entisol 2 memilki nilai kation K tersedia sebesar 0.968 me/100.
Kation tersedia yang terdapat pada tanah entisol ini tergolong rendah. Kalium merupakan salah
satu unsur hara makro utama yang sangat penting bagi tanaman (Mengel dan Kikrby, 2007 cit
Sufardi dkk 2017), sehingga jika K tersedia di dalam tanah rendah, maka tanaman akan terjadi
defisiensi kalium (Sufardi dkk, 2017).
Ppm Kation Na
60

50

40
µg/g

30

20

10

0
entisol alfisol inceptisol molisol vertisol

kelompok 1 kelompok 2

Gambar 5 Histogram ppm kation Na tanah

Berdasarkan gambar histogram diatas dapat diketahui nilai ppm kation Na pada tanah
yang dianalisis dari yang terendah ke tertinggi secara berurutan adalah tanah inceptisol 2;
entisol 1; inceptisol 1; alfisol 1; entisol 2; alfisol 2; molisol 2; molisol 1; vertisol 1; dan vertisol
2. Berdasarkan hasil analisis Laboratorium yang telah dilakukan, diketahui bahwa tanah sampel
Entisol 1 yang digunakan memiliki nilai ppm kation Na sebesar 25.128 µg/g. Sedangkan pada
sampel tanah Entisol 2 memiliki nilai ppm kation Na sebesar 29.366 µg/g.

Na Tersedia
3

2.5

2
me%

1.5

0.5

0
entisol alfisol inceptisol molisol vertisol

kelompok 1 kelompok 2

Gambar 6 Histogram K tersedia tanah

Berdasarkan gambar histogram diatas dapat diketahui nilai kation Na yang tersedia pada
tanah yang dianalisis dari yang terendah ke tertinggi secara berurutan adalah tanah inceptisol
2; entisol 1; inceptisol 1; alfisol 1; entisol 2; alfisol 2; molisol 2; molisol 1; vertisol 1; dan
vertisol 2. Berdasarkan hasil analisis Laboratorium yang telah dilakukan, diketahui bahwa
tanah sampel Entisol 1 yang digunakan memiliki nilai kation Na tersedia sebesar 1.093 me%.
Sedangkan pada tanah sampel Entisol 2 memiliki nilai kation Na tersedia sebesar 1.277 me%.
Kandungan Na tersedia pada tanah entisol ini tergolong rendah. Menurut Foth (2010) cit
Sufardi dkk (2017) ion natrium (Na+) bukanlah sebagai unsur hara esensial, tetapi keberadaan
ion ini di dalam tanah perlu mendapat perhatian. Tanah yang baik adalah tanah yang
mengandung Na-dd rendah atau < 1,0 cmol kg-1) karena jika konsentrasi ion Na tinggi, maka
akan berpengaruh buruk pada tanah dan tanaman.

ppm kation Ca
3500

3000

2500

2000
µg/g

1500

1000

500

0
entisol alfisol inceptisol molisol vertisol

kelompok 1 kelompok 2

Gambar 7 Histogram ppm kation Ca tanah

Berdasarkan gambar histogram diatas dapat diketahui nilai ppm kation Ca pada tanah
yang dianalisis dari yang terendah ke tertinggi secara berurutan adalah tanah alfisol 1;
inceptisol 1; inceptisol 2; entisol 2; entisol 1; molisol 1; molisol 2; vertisol 1; dan vertisol 2.
Berdasarkan hasil analisis Laboratorium yang telah dilakukan, diketahui bahwa tanah sampel
Entisol 1 yang digunakan memiliki nilai ppm kation Ca sebesar 97.946 µg/g. Sedangkan pada
sampel tanah Entisol 2 memiliki nilai ppm kation Ca sebesar 50.109 µg/g.
Ca Tersedia
90
80
70
60
50
me %

40
30
20
10
0
entisol alfisol inceptisol molisol vertisol

kelompok 1 kelompok 2

Gambar 8 Histogram kation Ca tersedia tanah

Berdasarkan gambar histogram diatas dapat diketahui nilai kation Ca yang tersedia pada
tanah yang dianalisis dari yang terendah ke tertinggi secara berurutan adalah tanah alfisol 1;
inceptisol 1; inceptisol 2; entisol 2; entisol 1; molisol 1; molisol 2; vertisol 1; dan vertisol 2.
Berdasarkan hasil analisis Laboratorium yang telah dilakukan, diketahui bahwa tanah sampel
Entisol 1 yang digunakan memiliki nilai kation Ca tersedia sebesar 2.444 me%. Sedangkan
pada sampel entisol 2 memiliki nilai kation Ca tersedia sebesar 1.250 me%. Kandungan Ca
pada tanah entisol ini tergolong rendah. Kalsium (Ca) merupakan salah satu unsur hara
berbentuk kation yang termasuk ke dalam unsur makro tanaman yang sangat penting bagi
tanaman karena dapat berfungsi sebagai penyusun dinding sel dan menjaga elastisitas sel
(Mengel dan Kikrby, 2007 cit Sufardi dkk 2017). Di dalam tanah, Ca-dd dapat berperan untuk
mengimbangi pengaruh negatif dari kation Al, Fe, dan Mn. Jika kadar Ca-dd rendah, maka
tanaman akan mudah terpengaruh oleh tingginya ion Al dan Fe sehingga dapat membahayakan
pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu, maka pada lahan kering yang mengalami kekurangan
Ca, diperlukan kapur atau bahan amelioran organik (Sufardi dkk, 2017).
ppm kation Mg
6000

5000

µg/g 4000

3000

2000

1000

0
entisol alfisol inceptisol molisol vertisol

kelompok 1 kelompok 2

Gambar 9 Histogram ppm kation Mg tanah

Berdasarkan gambar histogram diatas dapat diketahui nilai ppm kation Mg pada tanah
yang dianalisis dari yang terendah ke tertinggi secara berurutan adalah tanah entisol 2; entisol
1; inceptisol 1; inceptisol 2; alfisol 2; alfisol 1; vertisol 1; molisol 2; molisol 1; dan vertisol 2.
Berdasarkan hasil analisis Laboratorium yang telah dilakukan, diketahui bahwa tanah sampel
Entisol 1 yang digunakan memiliki nilai ppm kation Mg sebesar 367.629 µg/g. Sedangkan pada
sampel tanah entisol 2 memiliki nilai ppm kation Mg sebesar 258.224 µg/g.

Mg teredia
250

200

150
me %

100

50

0
entisol alfisol inceptisol molisol vertisol

kelompok 1 kelompok 2

Gambar 10 Histogram Mg tersedia tanah

Berdasarkan gambar histogram diatas dapat diketahui nilai kation Mg yang tersedia
pada tanah yang dianalisis dari yang terendah ke tertinggi secara berurutan adalah tanah entisol
2; entisol 1; inceptisol 1; inceptisol 2; alfisol 2; alfisol 1; vertisol 1; molisol 2; molisol 1; dan
vertisol 2. Berdasarkan hasil analisis Laboratorium yang telah dilakukan, diketahui bahwa
tanah sampel Entisol 1 yang digunakan memiliki nilai kation Mg tersedia sebesar 15.122 me%.
Sedangkan pada sampel tanah entisol 2 memiliki kation Mg sebesar 10.662 me%. Kandungan
kation Mg tersedia pada tanah entisol ini tergolong cukup rendah. Sebagai unsur makro
sekunder, Mg juga sangat penting di dalam tanah dan tanaman. Magnesium berfungsi sebagai
penyusun klorofil yang terlibat dalam berbagai sistem enzim tanaman. Di dalam tanah, Mg
juga berperan sama seperti Ca yaitu selain sebagai sumber hara juga berguna untuk
mengimbangi kelarutan Al dan Fe yang berlebihan pada tanah masam (Havlin et al., 2010 cit
Sufardi dkk, 2017).
Dari pengukuran kadar unsur-unsur mikro tersedia pada Entisol diperoleh hasil kadar
unsur Fe 11,56 ppm untuk vegetasi singkong dan 10,98 ppm untuk vegetasi rumput; kadar
unsur Mn 7,77 ppm dan 7,84 ppm; kadar unsur Zn 23,96 ppm dan 15,36 ppm; dan kadar unsur
Cu 17,27 ppm dan 17,38 ppm.

Besi diambil tanaman dalam bentuk ion atau garam-garam komplek organik (chelate),
besi sulfat/komplek Fe-organik dapat diberikan melalui daun, jarum-jarum besi yang
ditusukkan dalam batang merupakan sumber Fe. Fe3 + dapat diabsorpsi oleh tanaman, tetapi
dalam proses metabolisme ion Fe2+ yang aktif. Menurut Hanafiah (2013) pada dasarnya kerak
bumi mengandung sekitar 5% Fe yang sebagian besar terdapat dalam kisi – kisi kristal mineral.
Batuan beku seperti basalt, crusit dan granit masing–masing mengandung 8.6, 5.6, dan 2.7 %
Fe. Batuan sedimen seperti shale, batuan kapur dan batuan pasir masing – masing mengandung
4.7, 0.9, dan 0.3% Fe. Tanaman membutuhkan unsur hara mikro termasuk Fe kurang dari 100
ppm atau setara dengan 0,01%. Hasil yang didapat pada praktikum yaitu kandungan Fe pada
tanah Entisol vegetasi singkong sebesar 11,56 ppm yang setara dengan 0,001156%
kandungannya dalam tanah dan pada tanah dengan vegetasi rerumputan adalah 10,98 ppm
yang setara dengan 0,001098% kandungannya dalam tanah. Hasil yang didapatkan relatif tidak
ada beda nyata antara tanah dengan vegetasi singkong dan rerumputan. Menurut Howeller
(2002), kandungan Fe yang sesuai (medium) untuk tanaman singkong adalah sebesar 0,001%
hingga 0,010%. Menurut Heras (1985) pada Sallam (2002), pH alkalis dan kandungan bahan
organik yang rendah dapat menyebabkan defisiensi unsur Fe. Kelarutan Fe juga akan mencapai
maksimum pada pH = 6, dan akan menurun pada pH > 6.

Mangan diabsorpsi tanaman dalam bentuk ion mangano, Mn2+ dan juga dalam bentuk
molekul senyawa komplek organik seperti EDTA bentuk-bentuk ini dapat diserap melalui
daun.Mn tidak mobil dalam tanaman, sehingga gejala defisiensinya mula-mula pada bagian
muda, pada tahap pendahuluan gejalanya berupa chlorosis diantara tulang - tulang daun
(Anonim, 2009). Hasil yang didapatkan pada praktikum adalah 7,77 ppm untuk tanah Entisol
vegetasi singkong dan 7,84 ppm untuk vegetasi rerumputan. Hasil tersebut tergolong sangat
rendah menurut Howeller (2002) khususnya untuk memenuhi kebutuhan Mn untuk singkong.
Seng diambil tanaman dalam bentuk Zn2 , Zn-EDTA, dalam tanah basa diambil dalam
bentuk Zn(OH), dan dapat diambil melalui daun. Ketersediaan Zn turun dengan naiknya pH,
pupuk yang mengakibatkan penurunan pH berarti menaikkan ketersediaan Zn dalam tanah.
Kadar P dalam tanah mempengaruhi ketersediaan Zn, terjadinya reaksi antara P dan Zn serta
ikatan Zn dan P begitu kuat sehingga menurunkan ketersediaan Zn. Bahan organik tanah
mempengaruhi ketersediaan Zn, sebab bahan organik memacu aktifitas mikrobia, yang
membutuhkan Zn untuk pertumbuhannya, sehingga Zn kurang tersedia untuk tanaman
(immobilisasi). Lempung sebagai penyusun tanah berperan terhadap ketersediaan Zn,
terjerapnya Zn oleh lempung diduga karena bereaksi dengan CaCO3 dan MgCO3, atau karena
reaksi Clay-Ca makin lama persinggungan antara Clay-Ca dan Zn makin besar jumlah Zn yang
terjerap dan tidak tersedia bagi tanaman (Anonim, 2009).

Dari praktikum yang telah dilaksanakan, didapatkan nilai kandungan Zn sebesar 23,96
ppm pada tanah Entisol dengan vegetasi singkong dan 15,36 ppm pada vegetasi rumput. Kali
ini terdapat perbedaan dari hasil yang diperoleh. Kandungan Zn dari tanah dengan vegetasi
singkong lebih tinggi daripada pada vegetasi rerumputan. Menurut Howeller (2002), kebutuhan
singkong akan unsur Zn cukup sedikit, yaitu 1 hingga 5 ppm, sehingga Zn yang ada pada tanah
masih cukup. Kemudian menurut Hidayati (2005) rerumputan memiliki kemampuan untuk
mengakumulasi Zn dalam jumlah yang tinggi sehingga kandungan Zn dalam tanah menurun.
Diambil tanaman dalam bentuk ion Cu , EDTA ( molekul komplek organik ) dan dapat
diambil tanaman melalui daun. Ketersediaan Cu paling optimal pada pH 5,5, sehingga pada
tanah asam, sulfat masam, serta tanah yang memiliki pH tinggi ketersediaan Cu rendah,
pengapuran yang berlebihan menyebabkan turunnya ketersediaan Cu. Ketersediaan dan
perubahan valensi Cu dipengaruhi pula oleh cara pengolahan tanah, pada tanah yang
disawahkan, hara Cu direduksi menjadi bervalensi rendah, misalnya Cu2O, CuS dan Cu2S
Penggenangan tanah sering menyebabkan terjadinya penurunan ketersediaan Cu (Anonim,
2009).

Kandungan Cu dalam tanah Entisol dengan vegetasi singkong adalah 17,27 ppm dan
17,38 ppm untuk vegetasi rerumputan. Hasil yang didapat tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan antara 2 tanah yang berbeda vegetasinya.
Asam Humat
9
8
7
6
(x 10ˉ6) %

5
4
3
2
1
0
entisol alfisol inceptisol molisol vertisol

kelompok 1 kelompok 2

Gambar 1. Histogram nilai asam humat untuk semua jenis tanah

Asam Fulvat
9
8
7
6
(x 10ˉ6) %

5
4
3
2
1
0
entisol alfisol inceptisol molisol vertisol

kelompok 1 kelompok 2

Gambar 2. Histogram nilai asam fulvat untuk semua jenis tanah

Dari hasil praktikum, didapatkan kadar asam humat tanah entisol dengan vegetasi
singkong sebesar 8,38 X 10-6 dan kadar asam fulvat sebesar 8,47 X 10-6. Sedangkan kadar asam
humat tanah entisol dengan vegetasi rumput sebesar 6,99 X 10-6 dan kadar asam fulvat sebesar
7,64 X 10-6. Secara keseluruhan kadar asam fulvat di kedua tanah entisol tersebut lebih tinggi
daripada kadar asam humat. Menurut teori Inbar et al. (1990) cit. Agustian et al. (2004), dimana
dikatakan bahwa bahan organik yang perombakannya baru pada tahap awal biasanya
mengandung asam fulvat lebih banyak dibandingkan asam humat dan jika perombakannya
telah berlanjut asam fulvat menurun atau tetap jumlahnya sedangkan asam humat justru
meningkat. Pada kedua sampel tanah entisol tersebut sumber bahan organik terutama diperoleh
dari sisa-sisa tanaman dan dari pemupukan oleh pupuk kandang yang belum mengalami
pengolahan lebih lanjut sehingga perombakan bahan organik oleh mikroorganisme masih
sangat rendah.

Berdasarkan histogram tersebut, nilai asam humat dan asam fulvat di tanah entisol yang
bervegetasi singkong lebih tinggi daripada nilai asam humat dan asam fulvat di tanah entisol
yang bervegetasi rumput. Salah satu faktor yang mempengaruhi nilai asam humat adalah pH.
Di tanah entisol yang bervegetasi singkong, nilai pH aktual dan potensial lebih kecil dari nilai
pH tanah entisol yang bervegetasi rumput. Suatu penelitian mengatakan bahwa telah
mengamati kelarutan asam humat batubara yang menunjukkan bahwa kelarutan maksimum
asam humat terjadi pada pH 3-6 yaitu sekitar 80% dan sisa padatan mulai larut pada pH 8,5.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pada pH yang relatif tinggi (konsentrasi H+ rendah)
akan meningkatkan konsentrasi dari ‐COO- yang dapat berfungsi sebagai ligan pada asam
humat (Ariyanto, 2009). Dengan menurunnya pH akan menyebabkan ikatan hidrogen semakin
kuat sehingga agregat akan bergabung satu sama lain. Pada pH yang relatif rendah maka
konsentrasi H+ tinggi sehingga gugus-gugus fungsi yang terdapat pada asam humat sulit
mengalami deprotonasi. Sulitnya deprotonasi gugus-gugus fungsional asam humat akan
meningkatkan kemampuan pembentukan ikatan hidrogennya dan menurunkan jumlah muatan
negatif gugus fungsional asam humat sehingga akan menurunkan gaya tolak-menolak antar
gugus dalam molekul asam humat. Dalam larutan pH 3-9 asam humat membentuk sistem
koloid polielektrolit linear yang bersifat fleksibel (Yuliyati dkk., 2016). Asam humat tidak larut
pada pH lebih kecil 3 karena cenderung membentuk padatan polielektrolit, kaku (rigid) dan
teragregrasi membentuk suatu padatan makromolekul melalui ikatan hydrogen (Alimin dkk.,
2005 dalam Yuliyati dkk., 2016).

Pemberian bahan organik ke tanah pada umumnya dapat memperbaiki kualitas fisik-
kimia tanah, namun jumlah bahan organik yang dibutuhkan sangat besar. Faktor tersebut sering
menjadi kendala dalam penggunaan bahan organik, oleh karena itu penggunaan senyawa humat
diharapkan dapat menggantikan peran bahan organik konvensional, seperti pupuk kandang dan
kompos. Senyawa humat ini memiliki bobot molekul sedang sampai tinggi dan merupakan
campuran yang komplek dari struktur hidrokarbon alifatik dan aromatik dengan gugus-gugus
fungsional amida, karboksil, keton dan lain-lain (Tobing, 2009)
Bersama dengan liat tanah, senyawa humat bertanggung jawab atas sejumlah aktivitas
kimia dalam tanah. Senyawa humat dan liat terlibat dalam reaksi kompleks dan dapat
mempengaruhi pertumbuhan tanaman secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak
langsung, senyawa humat memperbaiki kesuburan tanah dengan mengubah kondisi fisik,
kimia, dan biologi dalam tanah. Secara langsung senyawa humat merangsang pertumbuhan
tanaman melalui pengaruhnya terhadap metabolisme dan terhadap sejumlah proses fisiologi
lainnya (Tan, 1992 cit. Tobing, 2009).

Anda mungkin juga menyukai