Anda di halaman 1dari 7

Klasifikasi Hipertensi menurut JNC 7

Klasifikasi TD
TDS (mmHg)
TDD (mmHg)
Normal
<120
dan <80
Prehipertensi
120-139
atau 80-89
Hipertensi derajat 1
140-159
atau 90-99
Hipertensi derajat 2
160
atau 100
TD = Tekanan Darah, TDS = Tekanan Darah Sistolik, TDD = Tekanan Darah Diastolik
The American Heart Association / American College of Cardiology (AHA/ACC)
mengeluarkanacuan bahwa TDS _ 180 mmHg dan/atau TDD _ 110 mmHg
sebaiknya dikontrol sebelum dilakukan operasi, terkecuali operasi bersifat
urgensi. Obat anestesi yang paling aman bagi penderita hipertensi adalah
lidocaine hidrocloride 2%, prilocaine HCL 2% dan mepivacaine HCL 3% tanpa
vasokonstriktor. Larutan anestesi lokal yang sering dipakai untuk pencabutan
gigi adalah lidocaine yang dicampur dengan adrenalin dengan dosis
1:80.000 dalam setiap cc larutan. Konsentrasi adrenalin tersebut dapat
dikatakan relatif rendah, bila dibandingkan dengan jumlah adrenalin
endogen yang dihasilkan oleh tubuh saat terjadi stres atau timbul rasa nyeri
akibat tindakan invasif. Pemilihan obat anestesi tanpa vasokontriktor pada
penderita hipertensi dipertimbangkan jika injeksi adrenalin intravaskular
maka akan menimbulkan efek yang berbahaya karena dosis adrenalin
tersebut menjadi relatif tinggi. Masuknya adrenalin ke dalam pembuluh
darah bisa menimbulkan: takikardi, stroke volume meningkat, sehingga
tekanan darah menjadi tinggi. Resiko yang lain adalah terjadinya ischemia
otot jantung yang menyebabkan angina pectoris, bila berat bisa berakibat
fatal yaitu infark myocardium. Namun adrenalin masih dapat digunakan pada
penderita dengan prehipertensi dengan kandungan adrenalin tidak lebih
atau sama dengan 1:200.000. Komplikasi yang mungkin terjadi akibat
pencabutan gigi pada penderita hipertensi adalah terjadinya perdarahan
yang sulit dihentikan.
Daftar Pustaka :
Little, JW. 1997. Dental Management of the Medically Compromised Patient. 5th
edition. Mosby. St.Louis

Anestesi
1. 1. Dosis Toksik 1. Tanpa vasokonstriktor: lidocaine 3-4 mg/kg BB (10 ml larutan lidocaine
2%). 2. Dengan vasokonstriktor: lidocaine 7 mg/kg BB (20-25 ml larutan lidocaine 2%).

Kandungan beberapa preparat anestesi lokal Articaine Bupivacaine Lidocaine Mepivacaine


Prilocaine Relative potency 5 16 4 4 4 Relative toxicity 1,5 8 2 1.8 1.5 Max recommended
dose (70kg) 500 mg 90mg 300-500mg 400-500mg 400-600mg Concentration 4% 0,25/0,5%
2%, 3% 2%, 3% 3% Vasoconstrictor Epinephrine 1:100.000 1:200.000 or without without
Epinephrine 1:50.000- 1:100.000 Epinephrine 1:66.000- 1:100.000 or without Felypressin
1:1.850.000 Brand name Ubistesin Ultracain Carbostesin Xylestesin Xylocitin Scandonest
Mepivastesin Xylonest Anestesi lokal pada penderita dengan problem sistemik 1. Adrenalin
di dalam larutan anestesi lokal kontraindikasi pada pasien dengan hipertensi dan penyakit
kardiovaskular yang lain karena peningkatan tekanan darah yang sangat tinggi (Stroke)
dan serangan jantung iskemia/infark miokardium pada penderita dengan PJK dan aritmia. 2.
Adrenalin masih boleh dipakai pada penderita kardiovaskular dengan syarat: a. Injeksi
larutan dengan perlahan b. Aspirasi sebelum injeksi c. Konsentrasi adrenalin seminimal
mungkin (</=1:200.000) dengan pemakaian maksimum 0.04 mg adrenalin dalam satu kali
perawatan.
2. 2. Pehacaine Ampul berisi 2 cc Lidocaine HCL 2% Adrenalin 1:80.000 (0.025mg/ampul)
Pengenceran dengan lidocaine plain 2% (2:3) sehingga didapatkan adrenalin dengan
konsentrasi 1:200.000 (0.01 mg/ampul). Pemakaian masih aman untuk penderita
kardiovaskular = 8 cc (4 ampul) Xylestesin Cartridge berisi 1.8 cc Lidocaine HCL 2%
Adrenalin 1:200.000 (0.009mg/cartridge) Pemakaian masih aman untuk penderita
kardiovaskular = 4.4 cartridge 3. Adrenalin kontraindikasi mutlak diberikan pada penderita: a.
Hipertensi parah dan tak terkontrol b. Aritmia refraktori c. Riwayat infark miokardium akut (<6
bulan) d. Riwayat stroke (<6 bulan) e. Riwayat operasi CABG (<3 bulan) f. Gagal jantung
kongestif tak terkontrol g. Hipertiroid tak terkontrol 4. Alternatif obat anestesi lokal lain yang
aman untuk penderita kardiovaskular: a. Mepivacaine 3% b. Prilocaine 4%
PENATALAKSANAAN UMUM STROKE a. PENATALAKSANAAN DI UGD 1. Evaluasi Cepat dan
Diagnosis Karena jendela terapi dalam pengobatan stroke sangat pendek, maka harus dilakukan
evaluasi dan diagnosis klinik yang cepat, sistemik dan cermat, meliputi : a. Anamnesis, terutama
mengenai gejala awal, waktu awitan, aktivitas saat serangan, gejala lain seperti nyeri kepala, mual,
muntah, rasa berputar, kejang, cegukan, gangguan visual, penurunan kesadaran, serta faktor-faktor
resiko stroke (hipertensi, hiperkolesterol, diabetes, dll). b. Pemeriksaan Fisik, meliputi penilaian
ABC, nadi, oksimetri, dan suhu tubuh. Pemeriksaan kepala dan leher (misal cedera kepala akibat
jatuh saat kejang, bruit karotis, dan tanda-tanda distensi vena jugular pada gagal jantung
kongestif).Pemeriksaan dada (jantung dan paru), abdomen, kulit dan ekstremitas.c. Pemeriksaan
Neurologik dan Skala Stroke, Pemeriksaan neurologik terutama pemeriksaan saraf kranialis,
rangsang meningeal, sistem motorik, sikap dan cara jalan, refleks, koordinasi, sensorik dan fungsi
kognitif. Skala stroke yang dianjurkan saat ini adalah NIHSS (NATIONAL Institutes of Health Stroke
Scale).2. Terapi Umum (Suportif) Stabilisasi jalan nafas dan pernafasan Pemasangan ETT
pada pasien tidak sadar, bantuan ventilasi pada pasien dengan penurunan kesadaran atau disfungsi
bulbar dengan gangguan jalan nafas. Berikan bantuan oksigen pada pasien hipoksia, pasien
stroke yang tidak hipoksia tidak memerlukan suplemen oksigen. Intubasi ET atau LMA diperlukan
pada pasien dengan hipoksia (pO2 < 60 mmHg atau pCO2 > 50 mmHg), atau syok, atau pasien
dengan resiko aspirasi.Usahakan pipa ET tidak terpasang lebih dari 2 minggu, kalau lebih
dianjurkan untuk dilakukan trakeostomi. Stabilisasi Hemodinamik (Sirkulasi) Berikan cairan

kristaloid atau koloid iv (hindari pemberian cairan hipotonik seperti glukosa). Dianjurkan
pemasangan CVC (central Venous Catheter), untuk memantau kecukupan cairan dan sarana
memasukkan cairan dan nutrisi.Usahakan CVC antara 5 12 mmHg. Optimalisasi tekanan
darah.Bila tekanan darah sistolik dibawah 120 mmHg, dan cairan sudah mencukupi dapat diberikan
obat-obatan vasopressor secara titrasi seperti dopamin atau norepinefrin/epinefrin dengan target
tekanan darah sistolik berkisar 140 mmHg. Cardiac monitoring harus dilakukan selama 24 jam
pertama setelah awitan serangan stroke iskemik. Bila terdapat penyakit jantung kongestif, konsul
kardiologi. Hipotensi arterial harus dihindari dan dicari penyebabnya.Hipovolemia harus dikoreksi
dengan larutan salin normal dan aritmia jantung yang menyebabkan penurunan curah jantung harus
dikoreksi. Pemeriksaan awal fisik umum Tekanan darah Pemeriksaan jantung
Pemeriksaan neurologi umum awal : derajat kesadaran, pemeriksaan pupil dan okulomotor,
keparahan hemiparesis. d. Pengendalian peninggian TIK Pemantauan ketat penderita dengan
resiko edema serebral dengan memperhatikan perburukan gejala dan tanda neurologik pada harihari pertama setelah serangan stroke. Monitor tekanan intra kranial harus dipasang pada pasien
dengan GCS < 9 dan penderita yang mengalami penurunan kesadaran karena kenaikkan TIK.
Sasaran terapi adalah TIK < 20 mmHg dan CPP > 70 mmHg. Penatalaksanaan penderita dengan
peningkatan TIK meliputi : i. Tinggikan posisi kepala 20 30 ii. Hindari penekanan pada vena
jugulare. iii. Hindari pemakaian cairan glukosa atau cairan hipotonik. iv. Hindari hipertermia v. Jaga
normovolemia vi. Osmoterapi atas indikasi. Manitol 0,25 0,50 gr/kgBB selama > 20 menit,
diulangi setiap 4 6 jam dengan target 310 mOsm/L. Osmolalitas sebaiknya diperiksa 2 kali
dalam sehari selama pemberian osmoterapi. Kalau perlu berikan furosemide dengan dosis inisial
1 mg/kgBB iv. Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35 40 mmHg). Paralisis
neuromuskular dikombinasi dengan sedasi yang adekuat dapat mengurangi naiknya ICP dengan
cara mengurangi naiknya TIK dan tekanan vena akibat batuk, suction, bucking ventilator. Pasien
dengan kenaikan kritis TIK sebaiknya diberikan muscle relaxant sebelum tindakan suction atau
lidokain sebagai alternatif. Kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk mengatasi oedem otak
dan tekanan TIK yang tinggi pada stroke iskemik, pemberiannya diperbolehkan bila yakin tidak ada
kontraindikasi. Drainase ventrikuler dianjurkan pada hidrosefalus akut akibat stroke iskemik
serebelar. Tindakan bedah dekompresif pada keadaan iskemik serebelar yang menimbulkan efek
massa dapat menyelamatkan nyawa dan memberikan hasil yang baik. e. Penanganan transformasi
hemoragik Tidak ada anjuran khusus tentang terapi transformasi perdarahan asimtomatik, sedang
untuk yang simtomatik sama dengan terapi stroke perdarahan. f. Pengendalian kejang Bila
kejang berikan diazepam bolus lambat iv 5 10 mg diikuti pemberian phenitoin loading dose 15
20 mg/kg bolus dengan kecepatan maksimum 50 mg/menit. Bila kejang belum teratasi maka
perlu rawat di ICU. Tidak dianjurkan pemberian antikonvulsan profilaktik pada penderita stroke
iskemik tanpa kejang. Pada stroke perdarahan intraserebral dapat diberikan obat antiepilepsi
profilaktik selama 1 bulan dan kemudian diturunkan dan dihentikan bila tidak ada kejang selama
pengobatan. g. Pengendalian suhu tubuh Setiap penderita stroke yang disertai febris harus
diberikan antipiretika dan diatasi penyebabnya. Berikan acetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari
38,5C. Pada pasien febris atau beresiko terjadi infeksi, harus dilakukan kultur dan hapusan
(tracheal, darah dan urin) dan diberikan antibiotika. Jika memakai kateter ventrikuler, analisa CSS
harus dilakukan untuk mendeteksi meningitis.Jika didapatkan meningitis harus diikuti terapi
antibiotik.h. Pemeriksaan Penunjang EKG Laboratorium : kimia darah, fungsi ginjal,
hematologi, dan faal hemostasis, kadar gula darah, analisa urin, analisa gas darah dan elektrolit.
Bila ada kecurigaan PSA lakukan punksi lumbal untuk pemeriksaan CSS. Pemeriksaan radiologi:

rontgen dada, CT scan b. PENATALAKSANAAN UMUM DI RUANG RAWAT 1. CAIRAN a. Berikan


cairan isotonis seperti 0,9 % salin dengan tujuan menjaga euvolemi. Tekanan vena sentral
dipertahankan antara 5 12 mmHg. b. Pada umumnya kebutuhan cairan 30 ml/kgBB/hari
(parenteral maupun enteral) c. Balance cairan diperhitungkan dengan mengukur produksi urin sehari
ditambah dengan pengeluaran cairan yang tidak dirasakan (urin sehari + 500 ml + 300 ml per
kenaikan panas 1 derajat celcius). d. Elektrolit (sodium, potasium, calcium, magnesium) harus selalu
diperiksa dan diganti bila terjadi kekurangan sampai tercapai nilai normal. e. Asidosis dan alkalosis
harus dikoreksi sesuai hasil analisa gas darah. f. Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa
hendaklah dihindari kecuali pada keadaan hipoglikemia. 2. NUTRISI a. Nutrisi enteral paling lambat
harus sudah diberikan dalam 48 jam, nutrisi oral hanya boleh diberikan setelah hasil tes fungsi
menelannya baik. b. Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun, makanan diberikan
melalui pipa nasogastrik. c. Pada keadaan akut kebutuhan kalori 25-30 kkal/kg/hari dengan
komposisi: Karbohidrat 30-40% dari total kalori Lemak 20-35% (pada gangguan nafas lebih
tinggi, 35-55%) Protein 20-30% (pada keadaan stress kebutuhan protein 1,4-2,0 g/kgBB/hari;
pada gangguan fungsi ginjal < 0,8 g/kgBB/hari) d. Apabila kemungkinan pemakaian pipa nasogastrik
diperkirakan > 6 minggu, pertimbangkan untuk gastrotomi. e. Pada keadaan tertentu yaitu
pemberian nutrisi enteral tidak memungkinkan, dukungan nutrisi boleh diberikan secara parenteral.
f. Perhatikaan diit pasien yang tidak bertentangan dengan obat-obatan yang diberikan (misal:
hindarkan makanan yang banyak mengandung vit K pada pasien yang mendapat warfarin). 3.
PENCEGAHAN DAN MENGATASI KOMPLIKASI a. Mobilisasi dan penilaian dini untuk mencegah
komplikasi subakut (aspirasi, malnutrisi, pneumonia, DVT, emboli paru, dekubitus, komplikasi
ortopedik dan kontraktur perlu dilakukan) b. Berikan antibiotika atas indikasi dan usahakan sesuai
dengan tes kultur dan sensitivitas kuman atau minimal terapi empiris sesuai dengan pola kuman. c.
Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi terbatas dan/atau memakai kasur antidekubitus. d.
Pencegahan DVT dan emboli paru. e. Pada pasien tertentu yang beresiko menderita DVT perlu
diberikan heparin subkutan 5000 IU dua kali sehari atau LMWH atau heparinoid. Perlu diperhatikan
terjadinya resiko perdarahan sistemik dan perdarahan intraserebral.Pada pasien yang tidak bisa
menerima antikoagulan, untuk mencegah DVT pada pasien imobilisasi direkomendasikan
penggunaan stocking eksternal atau Aspirin. 4. PENATALAKSANAAN MEDIK YANG LAIN a.
Hiperglikemia pada stroke harus diobati. Target yang harus dicapai adalah normoglikemia. b. Jika
gelisah lakukan terapi psikologi, kalau perlu berikan minor dan mayor tranquilizer seperti
benzodiazepin short acting atau propofol. c. Analgesik dan anti muntah sesuai indikasi. d. Berikan
H2 antagonis apabila ada indikasi (perdarahan lambung). e. Hati-hati dalam menggerakkan,
penyedotan lendir atau memandikan pasien karena dapat mempengaruhi TIK. f. Mobilisasi bertahap
bila hemodinamik dan pernafasan stabil. g. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, sebaiknya
dengan kateterisasi intermitten. h. Pemeriksaan penunjang lanjutan seperti pemeriksaan
laboratorium, MRI, Dupleks Carotid Sonography, Transcranial Doppler, TTE, TEE dan lain-lain
sesuai dengan indikasi. i. Rehabilitasi j. Edukasi keluarga. k. Discharge planning (rencana
pengelolaan pasien di luar rumah sakit). DAFTAR PUSTAKA 1. Rumantir CU. Gangguan peredaran
darah otak.Pekanbaru : SMF Saraf RSUD Arifin Achmad/FK UNRI. Pekanbaru. 2007. 2. Goetz
Christopher G. Cerebrovascular Diseases.In : Goetz: Textbook of Clinical Neurology, 3rd ed.
Philadelphia : Saunders. 2007. 3. Rumantir CU. Pola Penderita Stroke Di Lab/UPF Ilmu Penyakit
Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung Periode
1984-1985. Laporan Penelitian Pengalaman Belajar Riset Dokter Spesialis Bidang Ilmu Penyakit
Saraf. 1986. 4. Ropper AH, Brown RH. Cerebrovascular Diseases.In : Adam and Victor s

Priciples of Neurology. Eight edition. New York : Mc Graw-Hill. 2005. 5. Kelompok Studi Stroke
PERDOSSI. Pencegahan Primer Stroke.Dalam : Guideline Stroke 2007. Jakarta. 6. Baehr M,
Frotscher M. Duus : Topical Diagnosis in Neurology. 4th revised edition. New York : Thieme.
2005. 24

Pengendalian hipertensi yang agresif akan menurunkan komplikasi terjadinya infark


miokardium, gagal jantung kongestif, stroke, gagal ginjal, penyakit oklusi perifer dan diseksi
aorta. Konsekuensi dari penggunaan obatobat antihipertensi yang rutin mempunyai potensi
terjadinya interaksi dengan obat-obat yang digunakan selama pembedahan. Tingginya angka
penderita hipertensi dan bahayanya komplikasi yang bisa ditimbulkan akibat hipertensi ini
menyebabkan pentingnya pemahaman para ahli anestesia dalam manajemen selama periode
perioperatif.

Batas atas tekanan darah normal yang di ijinkan adalah sebagai berikut :

Dewasa 140/90 mmHg

Dewasa muda (remaja) 100/75 mmHg

Anak usia prasekolah 85/55 mmHg

Anak < 1 tahun (infant) 70/45 mmHg


Hasil pengukuran TD dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk posisi dan waktu
pengukuran, emosi, aktivitas, obat yang sedang dikonsumsi dan teknik pengukuran TD.

Anda mungkin juga menyukai