Anda di halaman 1dari 7

Apabila ada PNS dibawah KPA yang memiliki sertifikat keahlian pengadaan

barang/jasa, maka sebaiknya KPA merangkap sebagai PP-SPM, dalam


rangka meningkatkan pengendalian internal yang handal di satker yang
bersangkutan, karena PP-SPM merupakan gerbang pengujian terakhir.
Sedangkan apabila PNS dibawah KPA tidak ada yang memiliki
sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa, maka KPA merangkap
sebagai PPK (pasal 12 ayat 2b Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang telah diubah terakhir
dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012, Dalam hal tidak ada
personil

yang

memenuhi

persyaratan

untuk

ditunjuk

sebagai

PPK,

persyaratan

memiliki

sertifikat

keahlian

pengadaan

barang/jasa

dikecualikan untuk PA/KPA yang bertindak sebagai PPK).

Pendahuluan
Dalam sebuah satuan kerja (satker) yang mendapatkan alokasi dana untuk melaksanakan
tugas dan fungsinya, terdapat kemungkinan hanya ada 2 atau 3 pegawai yang berstatus
sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dalam satker tersebut. Salah satu contoh dari satker
tersebut adalah Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultansi Perpajakan (KP2KP).
Dalam kondisi seperti itu, bagamana langkah yang harus diambil terkait Pejabat
Perbendaharaan Negara yang harus ada pada setiap satuan kerja, seperti Kuasa Pengguna
Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pejabat Penguji Surat Permintaan
Pembayaran (PP-SPM) dan Bendahara Pengeluaran?
Pejabat Perbendaharaan Negara
Satuan kerja diadakan karena mengemban tugas dan fungsi yang harus dilaksanakan sebagai
kepanjangan tangan dari Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan. Untuk
melaksanakan kegiatan (tugas dan fungsinya), dibutuhkan dana. Dana tersebut, dialokasikan
dalam bentuk dokumen pelaksanaan anggaran, yang biasa kita kenal dengan sebutan DIPA
(Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran).
Setiap Menteri/Pimpinan Lembaga adalah Pengguna Anggaran (PA). Ia diberi tanggung
jawab untuk mengelola bagian anggaran yang disediakan untuk menampung alokasi anggaran
untuk membiayai kegiatannya dalam rangka mewujudkan fungsi pemerintahan sesuai bidang
tugas Kementerian Negara/Lembaga yang dipimpinnya. Dalam pelaksanaan tugas dan
tanggung jawab sebagai PA, Menteri/Pimpinan Lembaga dapat menunjuk bawahannya
sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).
Dalam rangka pelaksanaan anggaran, KPA memiliki tugas dan wewenang sebagai berikut:
a. menyusun DIPA;
b. menetapkan PPK dan PPSPM;

c. menetapkan panitia/pejabat yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan dan anggaran;


d. menetapkan rencana pelaksanaan kegiatan dan rencana pencairan dana;
e. melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran Belanja Negara;
f. melakukan pengujian tagihan dan perintah pembayaran atas beban anggaran negara;
g. memberikan supervisi, konsultasi, dan pengendalian pelaksanaan kegiatan dan
anggaran;
h. mengawasi penatausahaan dokumen dan transaksi yang berkaitan dengan pelaksanaan
kegiatan dan anggaran; dan
i. menyusun laporan keuangan dan kinerja sesuai dengan Peraturan Perundangundangan.
Tugas dan kewenangan KPA tersebut, tidak mungkin dilaksanakan oleh kepala satker sendiri
yang secara otomatis berfungsi sebagai KPA (sesuai pasal 6 ayat 1 Peraturan Pemerintah
Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara dan pasal 5 ayat 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.05/2012 tentang
Tata cara Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,
dinyatakan bahwa penunjukan KPA bersifat ex-officio). Apabila semua tugas dan kewenangan
tersebut dilaksanakan oleh KPA sendiri, tidak akan tercipta mekanisme check and balance.
Tugas dan kewenangan KPA untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran
anggaran belanja negara, dikuasakan kepada pejabat dibawah kepala satker, yang kita kenal
dengan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Sedangkan tugas dan kewenangan KPA untuk
melakukan pengujian tagihan dan perintah pembayaran atas beban anggaran negara,
dikuasakan kepada Pejabat Penerbit Surat Perintah Membayar (PP-SPM).
Dalam rangka melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja
negara, PPK memiliki tugas dan wewenang sebagai berikut: menyusun rencana pelaksanaan
kegiatan dan rencana pencairan dana; menerbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa;
membuat, menandatangani dan melaksanakan perjanjian dengan Penyedia Barang/Jasa;
melaksanakan kegiatan swakelola; memberitahukan kepada Kuasa BUN atas perjanjian yang
dilakukannya; mengendalikan pelaksanaan perikatan; menguji dan menandatangani surat
bukti mengenai hak tagih kepada negara; membuat dan menandatangani SPP atau dokumen
lain yang dipersamakan dengan SPP; melaporkan pelaksanaan/penyelesaian Kegiatan kepada
KPA; menyerahkan hasil pekerjaan pelaksanaan Kegiatan kepada KPA dengan Berita Acara
Penyerahan; menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen pelaksanaan Kegiatan; dan
melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang berkaitan dengan tindakan yang
mengakibatkan pengeluaran anggaran Belanja Negara.
Tugas dan kewenangan untuk melakukan pengujian tagihan dan perintah pembayaran, yang
didelegasikan kepada PPSPM adalah: menguji kebenaran SPP atau dokumen lain yang
dipersamakan dengan SPP beserta dokumen pendukung; menolak dan mengembalikan SPP,
apabila tidak memenuhi persyaratan untuk dibayarkan; membebankan tagihan pada mata
anggaran yang telah disediakan; menerbitkan SPM atau dokumen lain yang dipersamakan
dengan SPM; menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen hak tagih; melaporkan

pelaksanaan pengujian dan perintah pembayaran kepada KPA; dan melaksanakan tugas dan
wewenang lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan pengujian dan perintah pembayaran.
Untuk menangani/melaksanakan pembayaran kepada pihak-pihak yang tidak memiliki
rekening bank seperti tukang tambal ban, penjual materai di pinggir jalan dan lain sebagainya
sehingga tidak dapat dilaksanakan pembayaran langsung dari rekening kas negara kepada
rekening yang bersangkutan dan juga untuk kelancaran pelaksanaan tugas di satker, maka
kepada satker yang bersangkutan diberikan uang muka yang kita sebut dengan istilah uang
persediaan (UP). Untuk mengelola UP tersebut, Menteri/Pimpinan Lembaga dapat
mengangkat Bendahara Pengeluaran. Kewenangan mengangkat Bendahara Pengeluaran dapat
didelegasikan kepada kepala satker.
Bendahara Pengeluaran melaksanakan tugas kebendaharaan atas UP yang meliputi: menerima
dan menyimpan UP; melakukan pengujian tagihan yang akan dibayarkan melalui UP;
melakukan pembayaran yang dananya berasal dari UP berdasarkan perintah KPA/PPK;
menolak perintah pembayaran apabila tagihan tidak memenuhi persyaratan untuk dibayarkan;
melakukan pemotongan/pemungutan dari pembayaran yang dilakukannya atas kewajiban
kepada Negara (seperti pemotongan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas
pembayaran belanja Negara kepada pihak ketiga); menyetorkan pemotongan/pemungutan
kewajiban kepada Negara ke Rekening Kas Umum Negara; menatausahakan transaksi UP;
menyelenggarakan pembukuan transaksi UP; mengelola rekening tempat penyimpanan UP;
menyampaikan laporan pertanggungjawaban bendahara kepada Badan Pemeriksa Keuangan
dan Kuasa BUN (Bendaharawan Umum Negara); dan menjalankan tugas kebendaharaan
lainnya.
Pejabat Perbendaharaan Negara untuk melaksanakan pengelolaan keuangan di satuan kerja
yang ideal tidak hanya terbatas pada pejabat seperti yang diuraikan diatas. Masih ada
Pejabat/Panitia/Unit Layanan Pengadaan Barang/Jasa, yang melaksanakan proses pemilihan
penyedia barang/jasa. Pejabat/Panitia Penerimaan barang/Jasa untuk menerima (termasuk
didalamnya unsur memeriksa) penyerahan barang/jasa dari pihak ketiga. Bendahara
Penerimaan, yang diangkat apabila ada penerimaan negara bukan pajak fungsional di satker
yang bersangkutan. Pejabat/petugas yang menangani administrasi gaji, barang persediaan dan
sebagainya. Pejabat Perbendaharaan Negara minimal yang harus ada di setiap satker agar
terjadi mekanisme check and balance adalah KPA, PPK. PP-SPM dan Bendahara
Pengeluaran.
Permasalahan muncul apabila dalam satker yang bersangkutan jumlah PNS yang ada kurang
dari jumlah minimal pejabat perbendaharaaan Negara yang harus ada. Sebagai contoh hanya
terdapat 3 atau 2 PNS, seperti yang terjadi di KP2KP, sedangkan satker tersebut menerima
alokasi dana dalam bentuk DIPA. Bagaimana langkah yang harus diambil, agar tidak
bertentangan dengan peraturan yang ada.
Untuk permasalahan tersebut dapat dicarikan jalan pemecahan sebagai berikut:
1. Apabila jumlah PNS termasuk KPA ada 3 orang, maka KPA merangkap sebagai PPK
atau PP-SPM (sesuai pasal 9 PP 45 tahun 2013, dinyatakan bahwa Dalam kondisi
tertentu, jabatan PPK atau PPSPM dapat dirangkap oleh KPA). Sedangkan 2 PNS
dibawah kepala satker diangkat sebagai PPK/PP-SPM dan Bendahara Pengeluaran
(pasal 22 ayat (6) PP 45 tahun 2013, Jabatan Bendahara Pengeluaran tidak boleh
dirangkap oleh KPA atau Kuasa BUN). Pemilihan perangkapan jabatan sebagai PPK
atau PP-SPM oleh KPA disesuaikan dengan kondisi di satker yang bersangkutan.

Contoh:
Apabila ada PNS dibawah KPA yang memiliki sertifikat keahlian pengadaan
barang/jasa, maka sebaiknya KPA merangkap sebagai PP-SPM, dalam rangka
meningkatkan pengendalian internal yang handal di satker yang bersangkutan, karena
PP-SPM merupakan gerbang pengujian terakhir. Sedangkan apabila PNS dibawah
KPA tidak ada yang memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa, maka KPA
merangkap sebagai PPK (pasal 12 ayat 2b Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang telah diubah terakhir dengan
Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012, Dalam hal tidak ada personil yang
memenuhi persyaratan untuk ditunjuk sebagai PPK, persyaratan memiliki sertifikat
keahlian pengadaan barang/jasa dikecualikan untuk PA/KPA yang bertindak sebagai
PPK).
2. Apabila jumlah PNS termasuk KPA ada 2 orang, maka jika mengacu kepada
Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012, pasal 12, ayat (1) disebutkan bahwa PPK
merupakan Pejabat yang ditetapkan oleh PA/KPA untuk melaksanakan Pengadaan
Barang/Jasa, dan ayat (2) point f dinyatakan bahwa Untuk ditetapkan sebagai PPK
harus memenuhi persyaratan tidak menjabat sebagaiPejabat Penanda Tangan Surat
Perintah Membayar (PPSPM) atau Bendahara, serta pada ayat (2a), Persyaratan tidak
menjabat sebagai PPSPM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
f,
dikecualikan untuk PA/KPA yang bertindak sebagai PPK, maka KPA dapat
merangkap sebagai PPK dan PP-SPM sekaligus sedangkan 1 PNS yang ada di bawah
KPA diangkat sebagai Bendahara Pengeluaran.
Yang menjadi pertanyaan adalah:
Apakah susunan struktur Pejabat Perbendaharaan Negara tersebut sudah benar jika dikaitkan
dengan peraturan perundang-undangan yang lainnya?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, marilah kita buka Peraturan Pemerintah Nomor 45
Tahun 2013 pada:

Pasal 9: Dalam kondisi tertentu, jabatan PPK atau PPSPM dapat dirangkap oleh KPA.

Pasal 11 ayat (5): Jabatan PPK tidak boleh dirangkap oleh PPSPM dan bendahara.

Pasal 14 ayat (5): Jabatan PPSPM tidak boleh dirangkap oleh PPK dan bendahara.

Melihat pada pasal-pasal yang ada dalam PP 45 tahun 2013 tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa KPA hanya boleh merangkap salah satu dari PPK atau PP-SPM bukan kedua-duanya
(sekaligus).
Dengan adanya 2 pengaturan yang berbeda tersebut, bagaimana langkah yang seharusnya kita
tempuh? Sesuai dengan struktur perundang-undangan di negara kita, maka peraturan yang
dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang ada di atasnya, sehingga kita
mengambil dasar peraturan yang lebih tinggi. Dalam hal ini, kita mengacu kepada pengaturan
yang ada di Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013, sehingga KPA tidak dapat
merangkap sebagai PPK dan PP-SPM sekaligus, hanya boleh memilih salah satu.
Penutup
Jika KPA tidak dapat merangkap sebagai PPK dan PP-SPM sekaligus, hanya boleh memilih
salah satu, begitu juga KPA tidak dapat merangkap sebagai Bendahara Pengeluaran,

sedangkan PNS yang tersedia hanya ada 2, maka ada beberapa alternati yang dapat
dilaksanakan:
1. KPA merangkap sebagai PPK atau PP-SPM, disesuaikan dengan kondisi yang ada.
PNS yang ada dibawahnya diangkat sebagai Bendahara Pengeluaran, sedangkan
Pejabat yang satunya (PPK atau PP-SPM) diminta untuk dijabat oleh pejabat yang ada
di satker induknya/satker diatasnya (Kantor Pelayanan Pajak/Kantor Wilayah Ditjen
Pajak). Kelemahan yang ada, proses pencairan dananya relative lama, karena
melibatkan 2 satker yang kemungkinan jaraknya bisa puluhan kilo meter.
2. Jika syarat minimal jumlah Pejabat Perbendaharaan Negara tidak terpenuhi, maka
seyogyanya, satker tersebut belum dapat diberikan dokumen pelaksanaan anggaran
(DIPA) tersendiri. Untuk pendanaan pelaksanaan tugas dan fungsinya, kepala satker
dapat diangkat sebagai PPK dan PNS dibawahnya sebagai Bendahara Pengeluaran
Pembantu (BPP) untuk mengelola dana uang persediaan (UP), sedangkan alokasi
dana ada di DIPA satker induknya. BPP melakukan pembayaran atas perintah dari
PPK berdasarkan SPBy (Surat Perintah Bayar). Laporan pertanggungjawaban dari
BPP diberikan kepada Bendahara Pengeluaran yang ada di satker induknya, sehingga
dana UP akan terisi kembali (revolving).
3. Kepala satker dapat meminta tambahan PNS kepada satker induknya (Kantor
Wilayah/Kantor Pusat Ditjen Pajak), agar syarat minimal Pejabat Perbendaharaan
Negara terpenuhi, dan pelaksanaan tugas dan fungsinya dapat berjalan dengan lancer.

Anda mungkin juga menyukai