Oleh:
Universitas Trilogi
2016
PENDAHULUAN
primer yaitu industri yang mengolah kayu bulat/log menjadi berbagai sortimen kayu.
Kelompok industri pengolahan kayu hilir merupakan industri yang menghasilkan
produk-produk kayu diantaranya dowel, moulding, pintu, jendela, wood-flooring, dan
sejenisnya (Kementrian Perindustrian, 2011).
Dalam penerapan MFCA, peneliti melakukan penelitian dengan mengambil
objek penelitian pada CV. Hilal Furniture yang salah satu produknya adalah lemari
pakaian berbahan dasar kayu jati tipe A2. CV. Hilal Furniture merupakan salah satu
usaha kecil dan menengah yang dimiliki oleh Bapak H. Bahruddin yang terletak di
kawasan industri Pulogadung. Usaha ini merupakan usaha turun-temurun yang telah
berdiri selama kurang lebih 25 tahun.
LANDASAN TEORI
Material Flow Cost Analysis (MFCA) adalah salah satu alat utama untuk
pengelolaan akuntansi lingkungan dan mengajukan peningkatan transparansi dari
praktek penggunaan bahan baku dari pengembangan model aliran bahan baku yang
bisa menelusuri dan menghitung aliran dan persediaan bahan baku dalam sebuah
organisasi secara fisik dan unit moneter. MFCA bisa digunakan disemua jenis industri
yang menggunakan bahan baku dan energi, semua jenis dan ukuran, dengan atau
tanpa tempat sistem pengelolaan lingkungan.
MFCA mengukur aliran dan persediaan semua bahan baku pada proses
manufaktur baik secara moneter maupun fisik. Bahan baku termasuk bahan baku
utama/langsung,
bagian-bagian,
dan
komponen-komponen.
Analisis
MFCA
menyediakan sebuah perbandingan persamaan biaya-biaya terkait dengan produkproduk dan biaya-biaya terkait dengan kerugian bahan baku, contohnya, limbah,
emisi udara, limbah air, dsb. Pada banyak kasus, sebuah organisasi tidak memberikan
perhatian secara luas pada biaya aktual dari kerugian bahan baku karena data pada
kerugian bahan baku dan biaya-biaya terkait seringkali sulit untuk ditelusuri dari
informasi konvensional, akuntansi, dan sistem pengelolaan lingkungan. MFCA
menghubungkan organisasi untuk mengidentifikasi penggunaan bahan baku dan
aliran bahan baku dengan sebuah proses produksi dan menempatkan biaya-biaya pada
semua bahan baku.
MFCA mengidentifikasi kuantitas setiap bahan baku dan biaya-biaya
(termasuk bahan baku, proses, dan biaya penanganan limbah). Dengan informasi ini,
organisasi bisa mengidentifikasi biaya-biaya kerugian karena limbah dan emisi
lainnya, produk cacat, dan mengkalkulasi kuantitas dan sumber-sumber yang
digunakan pada setiap proses dan biaya-biaya terkait dengan proses.
KARAKTERISTIK MFCA
biaya yang terjadi telah dipulihkan dari penjualan. Hal tersebut tidak
memerlukan apakah bahan baku telah diubah menjadi produk, atau dibuang
menjadi limbah. Jika pad akuntansi biaya konvensional limbah dicatat pada
kuantitas, biaya-biaya produksi (kerugian bahan baku) termasuk sebagai
bagian dari total biaya yang dikeluarkan. Sedangkan MFCA, berfokus pada
identifikasi dan membedakan antara biaya-biaya terkait dengan produk dan
kerugian bahan baku. Dalam hal ini, kerugian bahan baku dievaluasi sebagai
kerugian ekonomi, yang mana mendorong manajemen untuk mencari jalan
MFCA menelusuri semua input bahan baku pada aliran proses produksi dan
ukuran produk dan kerugian bahan baku (limbah) secara unit fisik,
Input=Produk+ Material loss ( waste )
3. Akuntansi Biaya
MFCA, aliran dan persediaan dari bahan baku dengan sebuah organisasi telah
di telusuri dan di ukur secara unit fisik (contoh: massa, volume) dan kemudian
menempatkan biaya-biaya terkait. Pada MFCA ada 4 tipe biaya yang diukur,
yaitu:
Kompleksitas analisis MFCA akan tergantung pada ukuran organisasi, sifat kegiatan
organisasi dan produk, jumlah proses, dan pusat-pusat kuantitas yang dipilih untuk
analisis. Kondisi ini membuat MFCA sebagai alat yang fleksibel digunakan dalam
berbagai organisasi terlepas ukuran atau adanya sistem manajemen lingkungan,
namun proses pelaksanaan MFCA dapat lebih cepat dan lancar apabila organisasi
tersebut telah memiliki sistem manajemen lingkungan karena data yang terkait
dengan bahan baku dan limbah telah dikumpulkan dalam membuat sistem
manajemen lingkungan sehingga memudahkan untuk proses analisis. Penggunaan
MFCA biasanya disertai dengan pertimbangan keputusan keuangan dalam
menetapkan tujuan dan target. Pengetahuan terhadap dampak keuangan dan potensi
dampak lingkungan dapat meningkatkan kualitas evaluasi, dan juga memberikan
informasi yang berguna untuk pengambilan keputusan organisasi.
a. Implementation Step 1: Engaging Management And Determining Roles
And Responsibilities
Keberhasilan pelaksanaan MFCA dapat tercapai apabila manajemen
perusahan mengerti manfaat dari MFCA dalam mengelola lingkungan
perusahaan dan membuat target keuangan. Untuk diimplementasikan secara
efektif, sangat disarankan bahwa manajemen puncak memimpin dalam
implementasi MFCA dengan menetapkan peran dan tanggung jawab,
termasuk mendirikan tim implementasi MFCA, menyediakan sumber daya,
memantau kemajuan, meninjau hasil, dan menentukan langkah-langkah
perbaikan berdasarkan hasil MFCA. Umumnya, manajemen harus terlibat
dalam semua tahap implementasi MFCA dimana pelaksanaannya didukung
dengan pendekatan yang dikenal dengan bottom-up approach.
Selain itu, keberhasilan pelaksanaan MFCA membutuhkan kerjasama
antara departemen yang berbeda dalam organisasi. Hal ini dikarenakan
berbagai sumber informasi diperlukan dari setiap departemen untuk
kemudahan dan kelancaran analisis MFCA. Berikut ini adalah contoh khas
dari keahlian yang diperlukan untuk keberhasilan pelaksanaan MFCA:
8
yang
dihasilkan,
yang
biasanya
diabaikan
ketika
hanya
menyajikan target utama untuk insinyur: "biaya kerugian nol material," yang
dapat mendorong organisasi untuk membuat terobosan dalam pengakuan
tentang perlunya untuk perbaikan. Kerugian khas diidentifikasi oleh MFCA
meliputi berikut ini:
1. Biaya pengolahan limbah untuk kerugian material;
2. Biaya Pengadaan kerugian materi dijual ke kontraktor daur ulang
eksternal;
3. Biaya Sistem kerugian materi (tenaga kerja, penyusutan, bahan
bakar, utilitas dan biaya lainnya);
4. Biaya Sistem diperlukan untuk daur ulang internal bahan; dan
5. Bahan dan sistem biaya untuk di-saham produk, bahan kerja-inprogress, bahan yang dibuang karena beralih ke model yang lebih
baru, penurunan kualitas, atau untuk penuaan saham.
Melalui pelaksanaan MFCA di beberapa perusahaan industri dan
ukuran yang berbeda, telah ditemukan bahwa hanya beberapa perusahaan
mengontrol bahan pembantu secara korporasi. bahan pembantu dan operasi
sering dikelola pada proses atau peralatan dasar, dan jumlah bahan
masukan (rugi) untuk masing-masing model jarang diperhitungkan. Dalam
beberapa kasus, jumlah tersebut dikelola di unit lot produksi. Biaya
pengolahan limbah secara keseluruhan umumnya dikelola secara pabrik
dengan jenis sampah. Namun, beberapa perusahaan mengidentifikasi biaya
tersebut dengan jenis bahan, model produk, dan jenis proses. Selain itu,
perusahaan seringkali tidak menyadari kerugian yang terkait dengan
limbah didaur ulang karena limbah tersebut digunakan kembali sebagai
sumber daya dan kadang-kadang dijual sebagai bahan berharga untuk daur
ulang eksternal.
13
PEMBAHASAN
Pemimpin tim
implementasi yang ditunjuk bertugas memberikan pelatihan dasar kepada orang orang
dilokasi pabrik dan membimbing pelaksanaan MFCA. Penunjukan coordinator terkait
dengan keahlian yang diperlukan untuk keberhasilan pelaksanaan MFCA.
Keahlian operasional pada aliran input bahan baku dan penggunaaan energi
selama proses produksi:
a. Keahlian teknis implikasi terkait dengan material proses, termasuk
pembakaran dan reaksi kimia lainnya.
b. Keahlian kontrol kualitas, seperti frekuensi produk cacat, kegiatan
pengerjaan ulang, pemeliharaan, dan jaminan kualitas.
c. Keahlian lingkungan pada dampak lingkungan.
d. Keahlian akuntansi pada data akuntansi biaya.
Perancangan tim implementasi CV. Hilal Furniture dimana CEO ditunjuk
sebagai pemimpin puncak yang bertanggung jawab atas pelaksanaan MFCA dan
berwenang atas keputusan pelaksanaan MFCA. Berikutnya pemimpin tim
implementasi, yang bertugas memberikan pelatihan dasar kepada orang-orang
dilokasi pabrik dan membimbing pelaksanaan MFCA. Selain itu, dilakukan
penunjukan coordinator untuk perwakilan dari masing-masing keahlian yang
15
17
22cm, dan tinggi 2m. Menggunakan alat pemotong kayu berupa mesin
bubut yang menggunakan energi listrik. Energi yang diperlukan untuk
menjalankan mesin pemotong kayu sebesar 2500 watt. Lama proses
produksi pada tahap ini untuk 1 lemari sekitar 2 hari untuk mencapai
potongan kayu sesuai pola lemari, sehingga dibutuhkan waktu lebih kurang
10 jam. Proses ini dilakukan oleh 2 orang pekerja. Selama proses
pemotongan ditemukan sisa bahan baku kayu hasil dari pemotongan yang
menjadi output negative (input yang tidak terpakai/tidak menjadi produk)
yang setara dengan 3,5 papan kayu yang dapat berupa potongan-potongan
papan kayu ukuran sedang-serbuk kayu yang sebagian besar tidak dapat
digunakan lagi untuk menjadi bahan baku pembuatan lemari. Sehingga
yang menjadi input positif sebanyak 31,5 papan kayu. Penyetaraan ini
dilakukan karena adanya keterbatasan informasi dari sumber yang
berkaitan serta keterbatasan dalam penghitungan dengan menggunakan
ukuran.
c. Penghalusan Komponen Produk dengan Serut dan Gergaji
Papan kayu yang telah dipotong sesuai dengan kebutuhan/pola pada
tahap sebelumnya, selanjutnya dilakukan proses penghalusan dengan
menggunakan mesin serut dan gergaji. Mesin serut yang digunakan
merupakan mesin serut dengan tipe HITACHI P20SB yang membutuhkan
konsumsi energy sebesar 600 watt. Tahap ini dilakukan selama 3 jam.
Proses ini dilakukan oleh 2 orang pekerja. Pada proses ini dihasilkan
output negative berupa serbuk kayu hasil dari penghalusan yang setara
dengan 0,5 papan kayu yang digunakan.
d. Pengukiran
Proses untuk membuat ukiran pada bagian pintu lemari yang
dilakukan secara manual. Pada bagian ini pengukir harus teliti dan mampu
18
mengukir sesuai dengan pola yang telah didesain sebelumnya. Waktu untuk
proses pengukiran ini selama 45 menit. Pengukiran dilakukan oleh 1 orang
pekerja. Pada proses ini juga dihasilkan output negative berupa potongan
kayu kecil-kecil dari proses pembuatan ukiran pada kayu yang setara
dengan 0,5 papan kayu.
e. Perakitan Komponen Produk sesuai dengan Desain
Proses perakitan dilakukan dengan merakit komponen-komponen
yang telah di pola menjadi kerangka lemari yang telah di desain. Perakitan
dilakukan dengan menggunakan beberapa bahan pelengkap seperti paku,
engsel, sekrup, handle pintu, dan kunci. Pada tahap ini dibutuhkan 0.5 kg
paku Rp 15.000, 4 buah engsel Rp 60.000, 1 dus kecil sekrup Rp 6.000, 2
buah handle pintu Rp 150.000, dan 1 kunci lemari Rp 35.000. Perakitan
dilakukan secara manual oleh 1 orang pekerja. Proses perakitan lemari
membutuhkan waktu selama 45 menit. Pada tahap ini dihasilkan output
positif paku 0.4 kg, 1 rol engsel, 1 dus kecil sekrup, 2 handle pintu, dan 1
kunci lemari. Sehingga pada tahap ini dihasilkan output negative sebesar
0.1 dari paku.
f. Pengampelasan dengan Mesin Amplas dan Secara Manual
Setelah komponen produk dirakit kemudikan dilakukan proses
pengampelasan dengan menggunakan mesin dan secara manual. Proses
pengampelasan menggunakan mesin dilakukan oleh 1 orang pekerja
menggunakan mesin amplas tipe POLISHER KRISBOW 7IN yang
membutuhkan konsumsi daya listrik sebesar 570 watt, kemudian
dilanjutkan dengan pengampelasan secara manual oleh 1 orang pekerja.
Total waktu yang dibutuhkan pada proses ini sekitar 1 jam. Pada proses
pengampelasan kembali dihasilkan output negative berupa serbuk halus
kayu yang setara dengan 0,5 papan kayu.
19
20
Harga
Rp 150.000
Rp 35.000
Rp 10.000
Rp 15.000
Rp 6.000
Rp 60.000
Rp 60.000 (100%)
Rp 273.000
Berikut ini adalah penyajian alokasi biaya bahan baku untuk ouput
negative sesuia persentase dimana 5 papan kayu menjadi output negative dari 35
bahan baku yang tersedia untuk membuat 1 lemari, dan 0.1 paku menjadi output
negative dari 0.5 yang tersedia, sbb:
Item
Papan kayu
Paku
Total
Output
negativ
e
5/35
0.1/0.5
Harga
Alokasi biaya
Rp 1.000.000
Rp 15.000
Rp 142.857
Rp 12.000
Rp 154.857
21
Kebutuhan
energi
(kWh)
2,5
0.6
Kebutuhan
waktu
(jam/menit)
10 jam
3 jam
Harga (Rp)
1 kWh/jam
Alokasi biaya
Rp 1.486
Rp 1.486
Rp 37.150,- (2,5x10x1486)
Rp 2.675,- (0.6x3x1486)
0.57
1 jam
Rp 1.486
Rp 847,-
(0.57x1x1486)
Rp 40.672
Dengan demikian tahap awal dalam alokasi biaya output positif dan
output negative dengan menentukan persentasinya dari biaya bahan baku
yang akan digunakan untuk menghitung alokasi biaya output positif dan
negative biaya energi.
Persentase output positif:
Rp 857.143+ Rp 273.000
x 100 =88
Rp 857.143+ Rp 273.000+ Rp154.857
22
untuk
alokasi
biaya
operator
dilakukan
dengan
Operator
Rp 1.584.000
Rp 216.000
Rp 1.800.000
23
Biaya
Biaya
Total
Baku/Unit
Energi/Unit
Operator/Unit
(Rp)
(Rp)
(Rp)
(Rp)
Output
95% , 99.9%
94.5%
94.5%
94.7%
produk
2.860.133
31.287
1.701.000
4.592.420
positif
24
Output
5% , 0.1 %
5.5%
5.5%
5.3%
produk
154.867
1.821
99.000
255.688
negative
Total
3.015.000
33.108
1.800.000
4.848.108
100%
100%
100%
100%
25
Selain menjual bahan baku yang tersisa, perusahaan dapat mengurangi output
negatif dengan melakukan nesting. Nesting adalah perencanaan dalam menentukan
pola potongan. Hal itu akan menjadi acuan penempatan pengambilan tindakan
perbaikan untuk mengatur posisi dan arah letak dalam pemetaan untuk mengetahui
apakah masih terdapat bagian sisa bahan baku yang dapat digunakan kembali untuk
pembuatan produk almari 2 pintu berikutnya atau upaya pemetaan dalam hal
pengurangan jumlah kebutuhan bahan baku.
KESIMPULAN
26
27
28
DOKUMENTASI
29
30