Anda di halaman 1dari 19

TUGAS PENYAKIT TUMBUHAN TERBAWA SERANGGA

VIRUS YANG BELUM MASUK KE INDONESIA


Lettute mosaic virus (LMV)

Dosen Pengampu : Dr. Ir. Sri Sulandari, S.U

OLEH :
TRISNANI ALIF
NIM 15/392198/PPN/04049

PROGRAM STUDI FITOPATOLOGI


PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

LATAR BELAKANG
Gejala Penyakit akibat infeksi virus mungkin sulit dibedakan dengan abnormalitas
genetik, gangguan fisiologi seperti kekurangan zat hara dan keracunan oleh serangga.
Namun demikian, penyakit virus tersebut selalu dapat menular pada tanaman lain sebagai
akibat kemampuannya membelah diri dan memencar dari sel satu ke sel yang lain. Dari
tumbuhan satu kepada tumbuhan lain. Akibatnya dapat terjadi endemi yang kadangkadang dapat menyebabkan kerusakan yang luas dan kerugian ekonomi yang cukup besar
(Agrios, 1997). Sejauh ini penyebaran virus pada tanaman lain masih terus dikembangkan
dan diupayakan dicari solusinya. Beberapa penularan virus yang umum adalah melalui:
mekanik, kontak, tali putri, bagian perkembangbiakan vegetatif, biji dan serbuk sari,
serangga, dan tungau, organisme penghuni tanah serta alat-alat pertanian (Wahyuni,
2005).
Kerugian yang disebabkan oleh serangan penyakit cukup tinggi dengan menurunnya
produksi tanaman. Tindakan pengendalian yang dilakukan selama ini dengan
menggunakan pestisida kimia untuk mengendalikan vektornya (Wahyuni, 2005).
Disamping harganya mahal dan susah didapat, pestisida kimia dapat berakibat pada
kerusakan lingkungan dan kesehatan petani. Hal ini menjadi tantangan besar bagi kita
untuk mencari teknik pengendalian yang lebih bersahabat dengan lingkungan dan
kesehatan petani dalam melindungi tanaman terhadap serangan berbagai penyakit pada
tanaman. Bertolak dari permasalahan tersebut maka diperlukan alternatif pengendalian
yang efektif, aman dan ramah lingkungan yaitu dengan penggunaan tanaman tahan.
Rekayasa tanaman tahan dapat dilakukan dengan penyisipan gen tahan atau strain lemah
virus ke tanaman sehat sebagai bentuk pertahanan, yang banyak dikenal dengan tanaman
transgenic (Prins, et al, 2008).
Virus yang belum masuk dikawasan Indonesia tercantum dalam daftar organisme
pengganggu tumbuhan karantina yang masuk dalam golongan A1 atau biasanya disebut
sebagai OPTK A1. Peran karantina sangatlah besar dalam melindungi agar organisme
pengganggu tumbuhan dari luar negeri atau dari daerah asing tidak menyebar didalam
negeri, sehingga kerugian akibat organisme pengganggu tumbuhan bisa diminimalkan.
Adapun salah satu contoh OPTK A1 adalah virus patogen tumbuhan yaitu virus yang
meyerang tanaman selada atau dikenal dengan Lettuce mosaic virus (LMV).

Lettuce mosaic virus (LMV) merupakan penyebab penyakit pada fmily tanaman
Asteraceae, khususnya tanaman selada. Penularan LMV bisa melalui benih dan juga bisa
melalui serangga vektor. Adapun serangga vektor yang mentransmisikan virus LMV ke
tanaman yaitu Myzus persicae. Dimana serangag inilah yang menularkan dari tanaman
sakit ketanmaan yang masih sehat. Sehingga untuk mengetahui tentang virus yang tidak
ada diIndonesaia merupakan hal yang sangat penting untuk keberlangsungan di
Indonesia. Sehingga perlu adanya pengethauan tentang virus-virus yang belum masuk di
Indonesia agar dapat menanggulangi maupun mencegah virus masuk kewilayah
Indonesia.
1.2.

TUJUAN
1. Untuk mengetahui virus yang belum masuk di Indonesia.
2. Untuk mengetahui biologi, ekologi serta pengendallian virus Lettuce mosaic virus
(LMV)

BAB II
PEMBAHASAN
2.1.

Virus tumbuhan
Virus tumbuhan adalah virus yang menginfeksi tumbuhan. Seperti virus lainnya,

susunan kimia dan struktur fisik virus tumbuhan sangat sederhana, hanya terdiri dari asam
nukleat dan protein.Virus tumbuhan berbeda dengan patogen tumbuhan lainnya, perbedaan
tersebut terdapat

pada metode infeksi, translokasi di dalam inang, perbanyakan diri,

penyebaran, dan gejala yang dihasilkan pada inang (Agrios, 1997). Secara umum tanaman
yang terinfeksi oleh virus menunjukkan beberapa gejala yang biasanya terdapat pada daun,
buah, batang, cabang, maupun akar. Gejala tersebut ditunjukkan dengan

ukuran yang

mengecil, mosaik, perubahan bentuk atau bagian tanaman, perubahan warna, kematian
jaringan tanaman (misalnya bercak bercincin), dan tanaman mengalami hambatan
pertumbuhan (Semangun, 1996).
Sumber serangan virus sangat banyak dan beragam. Bahan biakan (benih) juga
dapat menjadi sumber serangan virus. Selain itu, tanaman sakit di lapang, baik tanaman
pokok yang dibudidayakan, tanaman budidaya lain selain tanaman pokok, maupun gulma.
Bahkan ada gulma yang kadang-kadang tidak bergejala tetapi sudah tertular. Tetapi yang
sangat membahayakan adalah serangan serangga penular (vektor) virus. Apalagi saat musim
dalam kondisi yang optimal untuk perkembangan serangga penular tersebut. Manusia juga
bisa menjadi perantara penularan virus, terutama untuk tanaman budidaya melalui proses
pelukaan tanaman saat sedang melakukan perawatan (Wahyuni, 2005).
Virus patogen bersifat parasit obligat, yaitu hanya dapat hidup pada inang yang
hidup. Virus tidak menyerap cairan atau nutrisi tanaman. Akan tetapi virus menyerang
dengan cara yang lebih ganas, yaitu memasuki sel inang dan memperbanyak diri di
dalamnya. Jika inangnya mati, maka virus tersebut meninggalkan sel inangnya tersebut.
Pemberantasan virus nyaris tidak mungkin dilakukan karena virus sangat mudah bermutasi
(Wahyuni, 2005). Pengendalian virus hanya dilakukan terhadap serangga vektor
penularannya. Namun aplikasi pestisida untuk mengurangi populasi vektor sangat tidak
efektif dalam menghambat penularan virus oleh serangga vektor. Teknik lain yang sering
digunakan adalah dengan teknik budidaya, penggunaan tanaman perangkap, rouging atau
pemusnahan tanaman yang menjadi sumber inokulum, pengaturan jarak tanam dan
pembersihan lahan dari gulma-gulma (Sebayang, 2013).
Sesuai dengan peraturan menteri pertanian nomor 51 tahun 2015 daftar Organisme
Pengganggu Tumbuhan Karantina kategori A1 (khususnya virus) salah satunya yang

menyerang tanaman selada yaitu Lettuce mosaic virus (LMV). Sampai saati ini belum
ditemukan di Indonesia dan harapannya tidak masuk ke wilayah Indonesia.
2.2.

Arti penting tanaman selada (Lettuce)


Tanaman selada diduga berasal dari Asia Barat. Berawal dan kawasan Asia Barat

dan Amerika, tanaman ini kemudian meluas ke berbagai negara. Daerah penyebaran
tanaman selada di antaranya adalah Karibia, Malaysia, Afrika Timur, Tengah dan Barat, serta
Filipina. Selada (Lactuca sativa L) adalah tanaman yang termasuk dalam famili Compositae
(Sunarjono, 2014). Sebagian besar selada dimakan dalam keadaan mentah. Selada
merupakan sayuran yang populer karena memiliki warna, tekstur, serta aroma yang
menyegarkan tampilan makanan. Tanaman ini merupakan tanaman setahun yang dapat di
budidayakan di daerah lembab, dingin, dataran rendah maupun dataran tinggi. Pada dataran
tinggi yang beriklim lembab produktivitas selada cukup baik. Di daerah pegunungan
tanaman selada dapat membentuk bulatan krop yang besar sedangkan pada daerah dataran
rendah, daun selada berbentuk krop kecil dan berbunga (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998).
Kedudukan selada dalam sistematika tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom

: Plantae

Super Divisi : Spermathophyta


Divisi

: Magnoliophyta

Kelas

: Magnoliopsida

Ordo

: Asterales

Famil

: Asteraceae

Genus

: Lactuca

Spesies

: Lactuca sativa L (Saparinto, 2013).


Selada adalah tanaman semusim polimorf (memiliki banyak bentuk), khususnya

dalam hal bentuk daunnya. Tanaman ini cepat menghasilkan akar tunggang diikuti dengan
penebalan dan perkembangan cabang-cabang akar yang menyebar pada kedalaman antara
25-50 cm (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997). Batang tanaman selada selama fase vegetatif,
pendek, berbuku-buku sebagai tempat kedudukan daun. Setelah tanaman selada memasuki
masa generatif batangnya memanjang ( Rukmana, 1994). Daun selada bentuknya bulat
panjang, daun sering berjumlah banyak dan biasanya berposisi duduk (sessile), tersusun
berbentuk spiral dalam roset padat. Warna daunnya beragam mulai dari hijau muda hingga
hijau tua. Daun tak berambut, mulus, berkeriput atau kusut berlipat (Rubatzky dan
Yamaguchi, 1997)

Selada memiliki banyak manfaat antara lain dapat memperbaiki organ dalam,
mencegah panas dalam, melancarkan metabolisme, membantu menjaga kesehatan rambut,
mencegah kulit menjadi kering, dan dapat mengobati insomia. Kandungan gizi yang terdapat
pada selada adalah serat, provitamin A (karotenoid), kalium dan kalsium (Supriati dan
Herliana, 2014). Sebagian besar selada dikonsumsi mentah dan merupakan komponen utama
dalam pembuatan salad, karena mempunyai kandungan air tinggi tetapi karbohidrat dan
protein rendah (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998).
Tanaman selada merupakan salah satu tanaman yang mempunyai arti penting
dalam perekonomian masyarakat. Hal ini dikarenakan nilai jual sayuran selada cukup
menjanjikan. Sejalan dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya
nilai gizi yang terkandung dalam tanaman selada. Tanaman selada memiliki fungsi sebagai
zat pembangun tubuh, dengan kandungan zat gizi dan vitamin yang cukup banyak dan baik
bagi kesehatan masyarakat (Imam, 2001).
Permintaan komoditas selada terus meningkat, diantaranya dari pasar swalayan,
restauran-restauran besar, ataupun hotel-hotel berbintang lima. Selada berpotensi besar
untuk dikembangkan di berbagai banyak negara karena disamping kondisi iklimnya cocok
untuk tanaman selada, juga memberikan keuntungan yang memadai bagi pembudidayanya.
Seperti halnya sayuran daun lainnya selada umum dimakan mentah sebagai lalapan dan
dibuat salad atau disajikan dalam berbagai masakan Eropa maupun Cina. Selain sebagai
bahan sayuran yang cita 3 rasanya khas, selada mengandung gizi cukup tinggi, terutama
sumber mineral (Nazaruddin, 1999).
2.3.
Lettuce mosaic virus (LMV)
a. Sejarah singkat
Lettuce mosaic virus (LMV) pertama kali dilaporkan pada tahun 1921 di Florida oleh
Jagger, transmisi LMV melalui benih, kini telah dilaporkan di setidaknya 14 negara (4) atau
di mana pun selada diproduksi secara komersial. Gejala spesifik pada daun sulit untuk
dideteksi pada selada dewasa, efek keseluruhan pada produksi selada secara signifikan seperti
kerdil, tidak adanya pertumbuhan pada daun awal, dan bolting dini (gagal dalam membentuk
kepala, namun membenetuk biji). Sebanyak 50-juta dolar per tahun Industri selada di Florida
sangat terancam selama awal 1970-an oleh wabah LMV (Gail, 1985).
Lettuce mosaic virus (LMV) merupakan salah satu patogen terpenting yang
menyerang selada di seluruh dunia. LMV termasuk genus Potyvirus famili Potyviridae.
Organisasai Genom dari LMV menunjukan Potyvirus, dengan single positive-sense genomic
RNA sebesar 1080 nukleotida. Viral genom RNA dikode dengan protein yang terkait denagn

ujung 5, dan Poly-A pada ujung 3 dan berisi single open reading frame (ORF) dengan
disandikan oleh protein besar/ poly protein deng 3255 asam amino (Revers et al., 1997).
Lettuce mosaic virus (LMV) merupakan virus yang sangat potensial dalam
merusak tanaman selada, yang ditransmisikan melalui benih dan kutu daun/aphis secara non
persisten dan bisa menimbulkan epidemi penyakit. Virus ini menyebar sangat luas dan cepat
di seluruh dunia karena adanya pertukaran benih secara international.
Lettuce mosaic virus (LMV) pertama kalli dilaporkan di Florida, USA oleh Jagger
(1921), kemudian di Jerman oleh Brandenburg (1928) dan oleh Ogilvie (1928) di Bermuda.
Pertama kali dilaporkan selada dibawah kaca di Inggris oleh Ainsworth (1937). Yang mana
di deskripsikan atas dasar symptomatology, study inang yang sangat terbatas serta tersebar
sebagai lactuca virus I, marmor lactucae atau lecttuce mosaic virus oleh Smith (1931),
Holmes (!939) dan Ainsworth & Olgivie (1939). Newhall (!923) pertama kali melaporkan
lettuce mosaic ditransmisikan melalui benih. Dan dilihat dibawah elektron mikroskop untuk
pertama kalinya oleh Couch & Gold (1954) di Inggris. Pada awal tahun 1900an, LMV
dianggap sebagai virus yang utama pada selada di Eropa dan California ( S.Dinant, 1992).
Lettuce mosaic virus (LMV) tersebar secara meluas di seluruh dunia dikarenakan
adanya pertukaran benih secara terus menerus setiap tahunnya. Peta distribusi telah
dilaporkan (CMI, 1960). Pada Eropa (Austria, Denmark, Inggris, Prancis, Jerman, Belanda,
Hungaria, Italia, Portugal, Switzerland). Di Amerika Utara (Mexico, USA), Amerika selatan
Amerika Selatan (Argentina, Brazil, Uruguay) dan di Barat Hindia (Bermuda), di Afrika
(Ghana, Mauritius, Zimbabwe, Sierra Leone, Tanzania), di Asia (Cina, Jepang, Suriah) dan
Oceania (Australia, Tasmania, Selandia Baru). banyak baru-baru ini laporan menyebutkan di
Timur Tengah, misalnya Mesir (Allam & Ismail, 1972), Israel (Nitzany & Cohen. 1960),
Jordan (Al-Musa & Mansour, NS4i. Irak (Shawkat et ai. 1982), Iran (Danesh, 1981), Turki
(Erkan & Schloesser. 1984), Yaman (Alhubaishi et ai. 1987), di Eropa, misalnya Finlandia
(Lahdenpera, 1981), Norwegia (BUstad, 1989), Spanyol (Guadalupe Garca Lopez et ai.
1984). Yugoslavia (Stefanac & Mamula, 1976), Cekoslowakia (Chod & Polak, 1978), di
Malaysia (Ong, 1973) dan di Afghanistan (Lai & Singh,1988).
b. Tanaman inang
LMV merupaka patogen utama pada banyak tanaman komersial khususnya selada
di seluruh dunia. Kerugian parah pernah dilaporkan dilapangan, namun virus sangat
signifikan menyebar secara dini di greenhouse.
Berikut merupkan daftar host range dari LMV :

c. Gejala penyakit
Gejala yang ditimbulkan oleh LMV dapat dideteksi pada tanaman yang masih
muda. Pertama kali terlihat daun menggulung ke dalam ejala LMV paling mudah terdeteksi
pada tanaman muda. Pertama kali terlihat adalah bergulir ke dalam dari sepanjang tangkai
daun. Daun sejati pertama terbentuk secara tidak teratur. Dari gejala bintik-bintik atau pola
mosaik kemudian sering dengan vein clearing dan bronzing (Gail, 1985).
Gejala yang ditimbulkan oleh LMV pada tanaman selada dewasa sangat mudah
untuk dikenali yaitu pengerdilan, kegagalan dalam pembentukan kepala, mosaik maupun
mottle pada daun, distorsi daun dan vein clearing. Kadang-kadang, tergantung pada kultivar
dan strain. Bintik-bintik nekrotik atau nekrosis pembuluh dapat terjadi. Vein clearing dan

kelainan warna (warna kusam, mosaik) yang umum ditanaman muda dan tanaman dewasa,
tetapi gejala ini kurang terlihat pada kultivar mengandung pigmen antosianin. Ketika
tanaman muda terinfeksi, bagian dalam daun tetap kerdil dan tanaman gagal jantung. Pada
varietas crisphead mosaik dan vein clearing kurang mencolok, tapi blotching, pengerdilan
dan distorsi daun yang biasa terlihat, terutama ketika tanaman terinfeksi pada tahap awal.

Gambar. Gejala infeksi virus Lettuce mosaic virus (LMV) (kanan) dan tanaman
sehat (kiri) (Sumber: Marcello, 2008)

Gambar. Gejala sistemik mild mosaik Lettuce mosaic virus (LMV) (Sumber:
Seungmo, 2014)

Gambar. Gejala sistemik oleh Lettuce mosaic virus pada tanaman selada (Sumber:
Parisa, 2011)

d. Transmisi dan penyebaran


1. Transmisi virus melalui benih
Virus LMV merupakan virus yang transmisinya bisa melalui benih (1923) rata-rata
tergantung dari waktu infeksi pada tanaman indukan, varietas dan kondisi lingkungan.
Adapun, dilaporkan bahwa tingkat transimisi sangat berkurang ketika tanaman bolting.
terlihat bahwa tingkat dapat bervariasi dari 1 sampai 12% genotipe rentan, namun strain
yang resisten tidak mentransmisikan strain yang umum atau mentransmisikan dalam
jumlah yang sangat sedikit.
Transmisi virus melalui benih selada dapat terjadi pada polen dan ovul tanaman. Virus
dapat muncul pada embrio dan juga pada teguments, edosperna dan pericarp (Ryder,
1973). Transmisi benih dapat juga terjadi pada Lactuca serriola (Van Hoof, 1959).

Tabel 2. Interaksi Lettuce mosaic virus

2. Transmisi benih melalui vektor


Selain tertular melalui benih tanaman selada juga bisa ditularkan oleh vektor aphis
atau sering disebut sebagai kutu daun. Dan ditransmisikan secar non-persistent serta
tergantung dari jumlah spesies aphis (S. Dinanat, 1992).
M. persicae merupakan vektor yang paling berpengaruh: semua instar bisa melakukan
transmisi virus., transmisi fase alates kurang efisien daripada fase apterae. Transmisi
sangat efisien pada periode puasa (5-240 menit), tapi menurun dengan peningkatan
akuisisi dengan waktu aksesnya 5 sampai 120 menit (Sylvester, 1955).
Ditemukan tujuh spesies kutu daun atau aphis yang berbeda yang mana berasosiasi
dengan tanaman selada dilaha. Daintaranya: M. euphorbiae, M. pericae, A. lactucae, D.
sonchi,, A. gossypii and A. pisum. M. persicae and A. Lactucae. Dimana merupakan
spesies yang sangat berlimpah, tercatat ada 70.6 dan 52.6 individu / tumbuhan (El
Wahab, 2012).
Adapaun vektor utama dari virus Lettuce mosaik virus (LMV) adalah M. Persicae
atau kutu hijau, ditemukan di seluruh dunia, termasuk semua wilayah Amerika Utara, di
mana dipandang sebagai hama terutama karena kemampuannya untuk mengirimkan
virus tanaman. Selain menyerang tanaman di lapangan, kutu

hijau mudah infests

sayuran dan tanaman hias tumbuh di rumah kaca. Hal ini memungkinkan tingkat tinggi
kelangsungan hidup di daerah dengan cuaca buruk, dan nikmat transportasi siap pada
bahan tanaman. ketika muda tanaman penuh di rumah kaca dan kemudian
ditransplantasikan ke lapangan, bidang tidak hanya akan diinokulasi dengan kutu daun
tapi resistensi insektisida dapat mengendalikan kutu daun ini juga dapat disebarkan
jarak jauh oleh angin dan badai.

Siklus hidup dari M. Persicae tergantung pada musim dingin Emden et al. (1969)
telah mereview dari siklus hidup. Pertumbuhan bisa sangat cepat sekiar 10-12 hari untuk
generasi yang utuh, dan lebih dari 20 generasi dilaporkan pada cuaca yang ringan.
Dimana Pada tanaman inang yang cocok tidak dapat bertahan lama, pada musim
dinginkutu daun berada dalam tahap telur yaitu di Prunus spp. Pada musim semi,
segera setelah tanaman dormansi dan mulai tumbuh, telur menetas dan nimfa memakan
bunga, dedaunan muda, dan batang. Setelah beberapa generasi, dispersan bersayap dari
musim dingin, tungau Prunus spp. mendeposit nimfa pada tanaman inang di musim
panas. Di iklim dingin, orang kutu dewasa kembali ke Prunus spp. Dalam musim gugur,
di mana kawin terjadi, dan telur disimpan. Semua generasi kecuali generasi yang gugur
yang berpuncak pada produksi telur adalah partenogenesis (non-seksual). Di Florida,
populasi siklus terus menerus pada tanaman tahunan (John, 2014)

Gambar. Penampakan M. Persicae pada beberapa stadia. (Sumber: Ken gray, 2014)
Stadia telur. Telur terdeposit pada Prunus spp di pohon. Dengan ukuran telur sekitar
panjangnya 0.6 mm dan lebar 0,3 mm dalam bentuk agak bulat lonjong. Telur awalnya
berwarna hijau atau kuning, tapi setelah itu berubah menjadi warna hitam. Kematian
dalam tahap telur cukup tinggi (Jhon, 2014).
Stadia nimfa. Nimfa awalnya kehijauan, tapi dengan segera berubah menjadi
kekuningan, sangat menyerupai vivipar (partenogenesis, nymphproducing) serangga
dewasa. Horsfall (1924) mempelajari biologi perkembangan kutu daun vivipar pada
lobak di Pennsylvania. Dia melaporkan empat instar di kutu ini, dengan durasi masingmasing rata-rata 2.0, 2.1, 2.3, dan 2.0 hari, masing-masing. Betina melahirkan anak pada
hari 6-17, dengan usia rata-rata 10,8 hari pada kelahiran pertama. Panjang reproduksi
bervariasi, namun rata-rata 14,8 hari. Rata-rata waktu hidup sekitar 23 hari, tapi ini
dalam kondisi terkurung di mana predator dikeluarkan. Tingkat reproduksi harian rata-

rata 1,6 nimfa per betina. Jumlah maksimum generasi diamati setiap tahun selama studi
meningkatkan jumlah produksi menjadi 20-21, tergantung pada tahun ini. Sebaliknya,
MacGillivray dan Anderson (1958) melaporkan lima instar dengan waktu perkembangan
2,4, 1,8, 2,0, 2,1, dan 0,7 hari permasing-masing. Selanjutnya, mereka melaporkan
periode reproduksi rata-rata 20 hari, rata-rata total umur panjang 41 hari, dan rata-rata
fekunditas dari 75 keturunan.

Gambar. Stadia nimfa kutu daun, Myzus persicae (Ken Gray, 2014)
Stadia dewasa. Hingga 8 generasi dapat terjadi di Prunus spp pada musim semi,
tetapi kepadatan kutu hijau daun meningkatkan ketika produksi bersayap (allate), yang
kemudian menyebar ke tanaman inang pada musim panas. Fase Bersayap (alate) kutu
daun memiliki kepala hitam, dada, dan perut berwarna hijau kekuningan dengan patch
punggung gelap yang besar. Ukuran kutu hijau 1,8-2,1 mm. Pada fase bersayap kutu
daun yang berwarna hijau melakukan penjajahan/probing pada hampir semua tanaman
yang ada. Mereka sering menyimpan beberapa serangga muda dan kemudian terbang
lagi. Hal Inilah sangat berkontribusi secara signifikan

terhadap efektivitas mereka

sebagai vektor virus tanaman. Kutu daun bersayap (apterous) berwarna kekuningan atau
kehijauan. Dengan ukuran panjang 1.7-2.0 mm, dengan garis medial maupun lateral
berwarna hijau. Cornicles agak panjang, tidak merata dan berwarana seperti warna
tubuh. Tingakt reproduksi berkorelasi positif dengan suhu, dengan ambang
perkembangan sekitar 4.30C. Nimfe pada calon serangga betina akan menjadi berwarna
merah muda (John, 2014).

Gambar. Betina dewasa dan betina belum dewasa (Ken Gray, 2014)

Gambar. Kutu daun hijau dewasa (CABI: 2016)


Kerusakan parah dapat disebabkan oleh kutu hijau melalui transmisi virus tanaman.
Kutu hijau benyak yang beranggapan sebagai vektor virus yang paling penting pada
tanaman di seluruh dunia. Stadia Nimfa dan dewasa sama-sama mampu penularkan virus
(Namba dan Sylvester 1981), tetapi stadia dewasa, berdasarkan mobilitas yang tinggi ,
memiliki peluang yang lebih besar untuk transmisi. Transmisi virus bisa secara persisten,
yang bergerak melalui sekresi makan dari kutu, dan non-persistent virus hanya
sementara berada pada mulut kutu, yang secara efektif dapat menularkan virus.
Dapat terlihat bahwa biji selada terkontaminasi oleh virus dengan sumber inokulum
ada dilahan. Virus dapat tersebar luas oleh apis. dari biji yang telah terinfeksi kemudian
mentransmisikan dekat dengan taman sehat, dan pada gulma yang rentan. Tingkat
penyebaran snagat berkolerasi dengan sumber dan aktifitas vektor.
e. Pengendalian
Kombinasi transmisi biji dan transmisi vektor secara non-persisten merupakan cara
yang sangat menguntungkan dalam perkembangan epidemic oleh LMV pada tanaman
selada. Dengan menggunakan benih bebas virus merupakan cara yang efektif dalam

mengurangi kerusakan, namun perekembangn dengan menggunakan cultivar yang tahan


dan aplikasi beberapa metode kultur harus dipadukan untuk

pengendalian yang

terbaik.seperti yang telah dikemukakan oleh Vetten (1984):


1. Dengan menggunakan bibit bebas virus
Peran tingkat kontaminasi benih awal dalam menentukan kerugian akhir tanaman
telah dipelajari secara ekstensif di berbagai konteks ekologi dan epidemiologi
bahwa jika persentase penyebaran biji di atas 0-1%, kontrol cenderung tidak
memuaskan. Noble & Richardson (1968) menyatakan bahwa, di mana populasi
vektor kutu yang aktif, tingkat transmisi benih 0-5% mungkin menyebabkan
kerugian total tanaman. Dari hasil ini, selada-memproduksi negara bagian
Amerika Serikat seperti California dan Florida, dan negara-negara Eropa, yang
didefinisikan standar mereka sendiri untuk 'bebas virus' benih untuk menghindari
epidemi dari biji yang terinfeksi di mereka sendiri situasi budaya.
Berbagai usaha telah dilakukan untuk menonaktifkan virus atau untuk
memilih benih bebas virus dalam banyak benih yang terinfeksi, memerlukan
berbagai pertimbangan seperti biaya atau efisiensi. Panas inaktivasi menggunakan
udara kering (Howies, 1952, 1978; Rohloff, 1963; Pelet, 1971) atau air hangat
(Paludan, 1974) ditemukan untuk menghambat perkecambahan benih sangat,
tanpa benar-benar menonaktifkan virus. benih sehat dan yang terinfeksi tidak bisa
diurutkan berdasarkan pemisahan biji ringan dan berat (Grogan, 1950), bahkan
jika biji terinfeksi terkonsentrasi di bagian terang (Ryder & Johnson, 1974).
Sebuah metode treatmen dengan suhu 4O'C untuk 6-10 hari polyethylene glycolmenyerap benih selada dapat menonaktifkan virus tanpa merusak perkecambahan
benih (Walkey & Dance, 1979) namun langkah-langkah tidak digunakan pada
praktek.
Sertifikasi benih bebas virus pada tanaman selada dibutuhkan disetiap
bagian negara. Dalam hal ini dapat mempengaruhi kehidupan serangga vektor
untuk tidak mentransmisikan virus dari tanaman sakit. Selain itu penggunaan
penghalang seperti tanaman jagung diantara tanaman selada juga dapat
menginisiasi penyebaran virus karena vektor. Penggunaan insektisida adn
pengendalian gulma sangat efisien dalam mengontrol virus (Marrou, 1961).
Dalam kurun waktu yang lama pemeriksaan benih bebeas virus LMV dilakukan
dengan menggunakan grow on test yang dilakukan dalam rumah kaca dengan
kondisi lingkungan yang terkontrol. Metode ini diakui oleh ISTA (international

seed testing asociation) karena sifatnya yang nyata dan biayanya murah. Metode
ini telah digunakan di USA dan dampaknya sangat efisien dimana pengontrolan
diterapkan dengan pengindeksan pada biji.
2. Menggunakan strain lemah LMV
Benih Selada resistan pertama kali dilaporkan di Argentina pada cultivar
yaitu Gallega de Invierno (Pahlen &Crnko1965). Morrou (1969) melaporkan
bahwa ketahanan kultivar ini adalah dengan toleransi (virus multiplikasi dengan
tidak ada gejala) yang terkait dengan non-transmisi virus dan sebagai gen g
resesif. Ryder (1968) juga menemukan adanya kultivar yang resisten di Mesir L.
Sativa yang dinamakan dengan gen mo.
Dalam sebuah kajian tentang pengaruh LMV pada kultivar selada Walket
at al (1985) telah menunjukkan bahwa tingkat resistensi terhadap strain yang
umum, yang diberikan oleh gen resesif, tergantung pada 'Background' gen dan
mungkin juga interaksi lingkungan. Keparahan gejala berkolerasi dengan adanya
virus namun tidak dengan penurunan hasil. Induksi ketahanan terhadap LMV
dengan menggunakan sinar radiasi X-Ray telah dilaporkan.
3.Menggunakan musuh alami vektor
Ratusan musuh alami mampu mengendalikan virus LMV, terutama pada
lady beetles (Coleoptera: Coccinellidae), lalat bunga (Diptera: sryphidae) lace
wings(Neuroptera:sryphidae), parasit tawon (Hymenoptera:Brconidae), jamur
entomophatogen. Dilaporkan dapat menekan adanya LMV.
Penggunaan musuh alami merupakan metode pengendalian yang sangat
sederhana dan mudah untuk dilakukan. Dengan menggunakan musuh alami dari
serangga vektor diharapkan vektor penyebar LMV dapat terbunuh oleh musuh
alami.
4. Pengaruh dari penyimpanan
Beberapa virus bisa menyesuaikan diri didalalm benih hanya beberapa bulan, dan
ada juga sampai bertahun-tahun. Penyimpanan jangka panjang akan berpengaruh
terhadap benih, yang mana salah satu usaha pembebasan benih dari infeksi virus,
dan virus terbawa benih akan menjadi inaktif namun virus yang berada pada
embrio benih biasanya dalam periode waktu yang lama. Dari sudut pandang
komersial, bahwa penyimpanan benih akan memebrikan perkecambahan secara
maksimal dan juga metode untuk menghilangkan virus secara efektif
(Subramanya, 2013).

5. Dengan menggunakan desinfektan kimiawi


Metode ini digunakan untuk mengurangi adanya vektor virsu yaitu kutu daun
hijau. Kutu daun yang mentransmisikan virus ke tanaman tidak secaa berkoloni.
Sehingga insektisisda akan sangat kecil pengeruhnya terhadap kutu daun (John,
2014)

KESIMPULAN
Virus pada tumbuhan telah banyak diketahui, namun virus yang belum berada
didalam Indonesia merupakan virus yang wajib dijaga agar tidak dapat masuk kewilayah
indonesia. Salah satu virus yang belum ada di Indonesia adalah Lettuce mosaic virus yang
menyerang selada. LMV bisa ditransmisikan melalui benih dan melalui vektor secara nonpersisten, adapun pengendalaian dapat dilakukan dengan menggunakan bibit yang bebas dari
sumber patoge, menggunakan strain lemah dari LMV serta mengggunakan musuh alami dari
vektor pembawa virus LMV.

Daftar pustaka

Agrios, 1997. Plant pathology. Ed ke-4. San Diego: Academic Press.


Ainsworth G.C & Ogilvie L (1939) Uttuce mosaic. Annals of Applied Biology 26, 279 297.
Ainsworth G.C. (1937) Report of the Experimenial Research Station. Cheshunt (1936), 60 pp
Couch H.B.A. & Gold AH. (1954) Rod-shaped particles associated with lettuce mosaic.
Phytopathology 44,715-717
Gail, C. Wisler, 1985. Lettuce mosaic virus. Plant patology circular.
Holmes F.O. (1937) In: Handbook of Phylopalhogenic Viruses. Burgess Publishing Company,
Minneapolis, MN, 221 pp
Jagger l.C. (1921) A transmissible mosaic disease of lettuce. Journal of Agricultural Research
20,737-741
Marcello et al. 2008. Virus disease of lettuce in Brazil. Plant viruses, 2(1):35-41
Newhall A.G. (1923) Seed transmission of lettuce mosaic. Phytopathology 13, 104-106.
Parisa, Soleimani. Et al. 2011. Identification of some viruses causing mosaic on lettuce and
characterization of Lettuce mosaic virus from Tehran Province in Iran.
African Journal, 6(!3): 3029-3333
John, L. Capiner. 2014. Green peach aphid, Myzus persicae(Sulzer) (insecta: Hemiptera
:Aphididae). University of Florida : 1-9
Rubatzky, V. E. dan M. Yamaguchi, 1998. Sayuran Dunia 2 Prinsip, Produksi, dan Gizi. ITB,
Bandung
Rukmana, R., 1994. Bertnaman Petsai dan Sawi. Kanisius, Yogyakarta.
S.Dinant, 1992. Review Lettuce mosaik virus. Plant pathology 41(528-542)
Saparinto, Cahyo. 2013. Grow Your Own Vegetables Panduan Praktis Menanam 14 Sayuran
Konsumsi Populer di Pekarangan. Yogyakarta: ANDI OFFSET.

Sebayang, L. 2013. Teknik Pengendalian Penyakit Kuning Pada Tanaman Cabai. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara. Medan.
Semangun, 1996. Ilmu penyakit tumbuhan. Gadjah Mada University Press
K. Subramanya, Sastra. 2013. Seed-Borne Plant Virus Disease. India: Springer
Sunarjono, H. 2014. Bertanam 36 Jenis Sayuran. Penebar Swadaya. Jakarta. 204 hal.
Wahyuni, W.S. 2005. Dasar-Dasar Virologi Tumbuhan. Gadjah Mada University Press
A.S. Abd El-Wahab. 2012.

Transmission efficiency of lettuce mosaic virus (LMV)by

different aphid species and new aphid vekctors in Egypt.. Academic journal
of Entomology 5(3): 158-163
Gail, C. Wisler, 1985. Lettuce mosaic virus. Plant patology circular.

Anda mungkin juga menyukai