Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Neuropati optik toksik merupakan suatu bentuk gangguan fungsi dan
struktur serabut saraf karena badan sel saraf dan serabut-serabutnya mengalami
kerusakan primer oleh zat toksik. Gejala awal neuropati optic toksik meliputi
hilangnya penglihatan yang simetris, bilateral, tanpa disertai nyeri yang progresif,
dan tidak ditemukan tanda-tanda oftalmologi yang jelas.
Sebagian besar kasus menunjukkan tidak ada kelainan pada pemeriksaan
oftalmologi. Hasil pemeriksaan lapang pandang biasanya menunjukkan skotoma
sentrosekal yang simetris. Gambaran klinis yang mencolok adalah hilangnya
tajam penglihatan yang subakut, disertai oleh penciutan lapang pandang,
berkurangnya persepsi warna, dan diskus optic yang pucat. Penelitian
menunjukkan bahwa angka prevalensi neuropati neuropati optic pada anak
sekolah di Tanzania adalah 1%(95%CI: 0,5%-1,4%).
Diagnosis neuropati optic toksik akut ditegakkan berdasarkan gejala klinis,
pemeriksaan oftalmologis yang mendukung, dan harus ditunjang oleh riwayat
pemakaian atau paparan zat-zat toksin. Pemeriksaan laboratorium dan radiologis
dapat digunakan untuk penegakan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis
banding kausatif. Penatalaksanaan utama neuropati adalah penghentian paparan
zat toksik. Pelacakan penyebab sangat membantu dalam terapi karena beberapa
zat toksik memiliki anti dotumnya. Pemberian multivitamin dan diet yang
seimbang juga dianjurkan. Prognosisnya bervariasi mulai dari pulih sempurna
sampai hilangnya penglihatan permanen. Pada kasus-kasus awal yang segera
ditangani, prognosis penglihatan dapat pulih sempurna walaupun lambat. Pada
kasus kasus yang lanjut yang telah disertai perubahan diskus optikus (atrofi papil)
maka prognosisnya lebih buruk.
Angka morbiditas dari neuropati optik toksik tergantung pada faktor
risiko, etiologi penyebab, dan lamanya gejala sebelum dilakukan terapi. Neuropati

optik toksik biasanya dihubungkan dengan eksposure dari zat toksik yang
diperoleh di tempat kerja, konsumsi zat atau makanan yang mengandung toksin,
atau akibat penggunaan obat-obatan sitemik. Gangguan ini tidak mempunyai
predileksi ras. Semua ras dapat mengalami neuropati optik toksik serta ditemukan
seimbang antara laki-laki dan perempuan, dan dapat mengenai semua umur.1,3
Diagnosis neuropati optik dibuat dengan mempertimbangkan diagnosis
banding berbagai kemungkinan etiologi termasuk herediter, imflamasi, infiltratif,
iskemik, demielinasi (neuritis optik), toksik, dan kompresif. Pada umumnya
gambaran nervus optik (normal, edema, atau pucat) tidak spesifik dan tidak dapat
membedakan berbagai kemungkinan etiologi neuropati optik. 2,4
Untuk memastikan diagnosis dan penyebab adanya suatu neuropati optik
toksik, maka pada setiap penderita yang datang ke poliklinik harus diperiksa
secara lengkap mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisis, dan tes diagnostik untuk
menentukan adanya disfungsi nervus optik, sehingga dapat ditentukan kausa
penyebabnya.5,6
b. Rumusan masalah
1. Bagaimana anatomi dan fisiologi nervus optic?
2. Apa yang dimaksud dengan neuropati optik toksik?
3. Bagaimana patofisiologi neuropati optik toksik?
4. Apa saja etiologi yang paling sering menyebabkan neuropati optik
toksik?
5. Apa saja diagnosis banding dari neuropati optik toksik?
6. Bagaimana prognosis dari neuropati optik toksik?
c. Tujuan
1. Mengetahui anatomi dan fisiologi nervus optic?
2. Mengetahui definisi neuropati optik toksik?
3. Mengetahui bagaimana patofisiologi neuropati optik toksik?
4. Mengetahui etiologi yang paling sering menyebabkan neuropati optik
toksik?
5. Mengetahui diagnosis banding dari neuropati optik toksik?
6. Mengetahui prognosis dari neuropati optik toksik?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

a. Anatomi Dan Fisiologi Nervus Optik


Nervus Optik
Nervus optik secara anatomi dimulai pada diskus optik, tetapi secara
fisiologis dan fungsional dimulai pada lapisan sel ganglion retina. Bagian
pertama dari nervus optik mengandung 1.0- 1.2 juta akson sel ganglion yang
menembus sklera melalui lamina cribrosa. Secara topografi, nervus optik
terbagi menjadi 4 bagian, yaitu:
-

Area intraocular dari nervus optik yang disebut diskus optik yang terbagi

atas prelaminar dan laminar ( 1 mm )


Area intraorbital yang berlokasi di muscle cone ( 25 mm )
Area intra canalicular yang berlokasi di kanalis optikus ( 29 mm )
Area intracranial yang berakhir di kiasma optikus ( 16 mm )
Jadi panjang nervus optik kira-kira 40 mm. ( 5, 6). 7,8,9

Gambar 1. Topografi nervus optik.10

1. Bagian Intraokuler
Diskus Optik

Bagian intraokular nervus optik terdiri dari diskus optik. Nervus


optik meninggalkan retina sekitar 3 mm di sebelah nasal macula lutea,
tepatnya pada diskus optik. Diameternya 1,5 mm dan berwarna pink pucat,
lebih pucat dari area retina di sekitarnya. Bagian tepi diskus optik rata atau
sedikit lebih tinggi, sedangkan bagian tengahnya mengalami pencekungan,
tempat dimana pembuluh darah retina sentralis masuk ke dalam bola mata.
Diskus optik terdiri dari semua akson sel ganglion retina, dimana
akson dari sistem cone yang mendominasi bagian posterior retina
melewati bagian lateral dari diskus optik. Sedangkan akson-akson dari
lateral retina tidak bergabung dengan akson sistem cone, namun berjalan
membentuk arkuata di superior dan inferiornya. Akson-akson dari area
perifer dan sentral retina akan bersatu, tapi saat mendekati nervus optik
akson-akson retina perifer akan berada pada bagian perifer nervus optik
dan akson yang berasal dari sentral retina masuk melalui bagian tengah
nervus optik. Diskus optik tidak mengandung sel rods dan cone, sehingga
area ini tidak sensitif terhadap cahaya yang disebut sebagai blind spot.
Blind spot berada 15 dari titik fiksasi atau sekitar 4-5 mm dari fovea dan
sedikit dibawah meridian horisontal pada lapangan pandang temporal. 8,9,11
Di posterior diskus optik, serabut saraf mengalami mielinisasi,
sedangkan akson di daerah dekat diskus optik merupakan sel saraf yang
tidak bermielin. Koroid dan seluruh lapisan retina kecuali lapisan serabut
saraf, berakhir pada tepi diskus optik. Serat-serat saraf optik meninggalkan
bola mata melalui orifisium lamina kribrosa yang dibentuk oleh jaringan
ikat sklera, jaringan ikat koroid dan membrana Bruch, serta astroglia yang
berasal dari sistem septal saraf tersebut.10,12,13

Gambar 2 . struktur nervus optik (a) gambaran klinis yang tampak pada oftalmoskop, (b) potongan
longitudinal, LC : lamina cribrosa, (c) potongan melintang, P : pia; A : arachnoid; D : dura, (d)
pembungkus nervus optik dan pembuluh darah Pial. 9

2. Bagian Intraorbital
Setelah melewati lamina cribrosa, nervus optik diselubungi oleh
myelin sheath yang dibentuk oleh oligodendrosit. Adanya mielin dan
oligodendrosit ini menyebabkan diameter nervus optik meningkat menjadi
3-4 mm. Panjang nervus optik bagian orbital kira-kira 25 mm, sekitar 6
mm lebih panjang dari ukuran jarak bola mata dengan kanalis optikus.
Ukurannya yang lebih panjang memungkinkan nervus optik berjalan
berkelok-kelok dan memudahkan pergerakan nervus optik mengikuti
pergerakan bola mata. Nervus optik ini diselubungi oleh 3 lapisan
menings yaitu, lapisan padat duramater, lapisan arachnoid di bagian
tengah, dan lapisan vaskuler yang terdalam,piamater.9,11,12,14
Pada bagian anterior bagian intraorbital nervus optik dikelilingi
oleh jaringan lemak yang mengandung pembuluh darah dan nervus siliaris.
Ganglion siliaris berada di antara sisi lateral serabut saraf dan muskulus
rektus lateral . Sedangkan di bagian posterior, serabut nasosiliaris dan
arteri oftalmikus berjalan di sisi medial melintasi bagian atas nervus
optikus.7
Sekitar 12 mm di belakang bola mata, permukaan inferomedial dari
duramater ditembus oleh arteri dan vena retina sentralis. Pembuluh arteri
6

retina sentralis kemudian menembus lapisan subarachnoid secara oblik ke


anterior menuju nervus optik, pembuluh vena sentralis berjalan di
posteriornya.7
Akson serabut saraf optik membentuk kelompok-kelompok yang
dipisahkan oleh septa. Terdapat sekitar 1000 kelompok serabut saraf optik.
Septa ini juga menyelubungi pembuluh darah retina sentralis sampai ke
diskus optic.7,8
Nervus optik berjalan melewati cincin jaringan ikat annulus Zinnii
di dekat apeks orbita. Pada apeks orbita, nervus optik melewati kanalis
optik. Bersama nervus optik, dalam kanal tersebut terdapat arteri
oftalmikus, sebagian filamen plexus karotis simpatis dan perluasan
3.

menings intrakranial yang membentuk pembungkus nervus optik.7,14,15


Bagian Intracanalicular
Canalis optikus berada dalam ala parva tulang sphenoidalis dan
memiliki panjang sekitar 5 mm. Nervus optik yang berjalan dalam kanalis
optikus diselubungi 3 lapisan meningeal sheaths. Didalam orbita, nervus
optik relatif bebas bergerak namun dalam kanalis lebih terfiksasi. Hal ini
disebabkan oleh karena dalam kanalis optik, duramater dari nervus optik
dan periostium bersatu, sehingga suatu lesi kecil dalam kanalis dapat
menyebabkan neuropati kompressi.1,6,8 Selain nervus optik, di dalam
kanalis optik bagian tepi inferolateral juga berjalan arteri oftalmika
bersama dengan nervus simpatis postganglionik. 7,15
4. Bagian Intracranial
Nervus optik meninggalkan kanalis optik melewati lipatan
duramater, kemudian berlanjut ke posterior dan medial dalam rongga
subarachnoid naik 45 derajat ke kiasma optik yang terletak di dasar
ventrikel ketiga. Panjang bagian intrakranial setiap nervus optik adalah
16 mm. Diatas nervus optik terdapat permukaan inferior lobus frontalis,
traktus olfaktorius, arteri cerebralis anterior dan arteri komunikans
anterior. Dilateral, berbatasan langsung dengan arteri karotis interna yang
keluar dari sinus kavernosus. Di inferior dan medial berbatasan dengan
sinus sphenoid dan sinus ethmoid posterior.7,13,14

Nervus optik terdiri dari 1.200.000 akson bermyelin, 90 %


diantaranya berdiameter kecil (1 m) dan sisanya berdiamater antara 2-10
m. Akson-akson dengan diameter yang lebih kecil berasal dari sel-sel
ganglion midget yang membawa sinyal dari sel cone. Sedangkan akson
yang berdiameter lebih besar berasal dari sel ganglion yang meneruskan
sinyal dari sel rod.7
Vaskularisasi Nervus Optik
Bagian Intraokuler
Mendapat suplai darah dari cabang-cabang anastomosis pada circle of
Zinn di sclera yang berasal dari arteri siliaris posterior brevis.
Bagian Intraorbital
Mendapat suplai darah dari plexus pial , cabang dari pleksus yang
melewati nervus sepanjang septa pial. Pleksus Pial mendapat suplai dari
cabang-cabang arteri oftalmikus. Sebagian kecil vaskularisasi berasal dari
bagian ekstraneural arteri retina sentralis yang membentuk arteri sentralis
collateral.

Gambar 3. Vaskularisasi nervus optik.

Bagian Intracanalicular
Mendapat suplai dari cabang pleksus pial. Pleksus ini menerima cabang
rekuren dari arteri oftalmikus.
Bagian Intrakranial
Bagian ini juga mendapat suplai darah dari pleksus pial, dimana pada
bagian ini pleksus pial disuplai oleh arteri oftalmika dan arteri hipofisis
superior yang merupakan cabang dari arteri karotis interna.7,16,17
b. Patofisiologi Neuropati Optik Toksik

Pemeliharaan struktur akson sel-sel ganglion, pembersihan organel sel


yang mati, dan suplai energi ke sinaps serabut saraf terjadi melalui aliran
aksoplasmik. Gangguan pada aliran aksoplasmik dapat ditemukan pada edema
papil atau sekunder akibat elevasi akut dari tekanan intraokuler. Selain itu,
banyak proses patologik lain seperti iskemia, kompressi, inflamasi, dan toksin
juga dapat menyebabkan kegagalan aliran aksoplasmik. Oleh karena itu,
beberapa peneliti menduga bahwa gangguan pada aliran aksoplasmik ini sebagai
mekanisme utama terjadinya kerusakan nervus optik pada sebagian besar
penyakit neuropati optik.3,18
Diameter akson sel ganglion sekitar 100 x lebih besar dari badan selnya,
dan pemeliharaan akson sel ganglion tergantung pada efektifnya aliran
aksoplasmik. Aliran aksoplasmik dapat dibagi dua, yaitu aliran aksonal ortograde
dan aliran aksonal retrograde. Aliran aksonal ortograde merupakan aliran aksonal
dari badan sel ganglion ke arah korpus genikulatum lateral (KGL), sedang aliran
aksonal retrograde merupakan aliran aksonal yang menuju ke badan sel
ganglion.13,18
Aliran ortograde dapat terjadi secara cepat atau lambat, tergantung pada
sitoskeleton akson (mikrotubulus, neurofilamen, dan mikrofilamen). Zat-zat yang
dibawa termasuk protein dan neurotransmitter, dan dibawa ke dalam vesikel yang
permukaannya halus dengan kecepatan rata-rata 400 mm/hari (5 jam ke KGL).
Elemen dari sitoskeleton (mikrotubulus, neurofilamen) dialirkankan secara lambat
sekitar 1-4 mm/ hari. Aliran retrograde dari vesikel pinositik dan lisosom terjadi
dengan kecepatan rata-rata 200 mm/hari. Gerakan vesikel sepanjang sitoskeleton
ini tergantung pada aktin, kinesin, dan dinein. Proses aliran aksoplasmik
tergantung pada oksigen dan energi (ATP) yang dihasilkan oleh mitokondria.
Adanya gangguan pada aliran aksonal oleh kurangnya energi, adanya anoksia
akibat proses iskemik, atau adanya kompressi pada nervus optik akan
menyebabkan terjadinya disfungsi nervus optik.18

Gambar 4. (a dan b) aliran aksoplasmik (c dan d) hambatan pada transport aksoplasmik pada
lamina cribrosa pada edema papil. 9

Informasi dari sel ganglion ke KGL terjadi melalui proses aksi potensial.
Stimulasi cahaya pada sel-sel fotoreseptor retina menghasilkan sinyal yang akan
berjalan melalui sel horizontal, bipolar, dan sel amakrin sebelum mencapai sel
ganglion. Sel-sel fotoreseptor lebih banyak dibandingkan dengan sel ganglion
(sekitar 130 :1). Elemen- elemen neuron pada retina beserta koneksinya sangat
kompleks. Banyak tipe sel- sel bipolar, amakrin dan sel ganglion lain yang
berperan. Elemen- elemen neuron dimana lebih dari 120 juta sel rod dan 6 juta sel
cone saling berhubungan satu sama lain dan proses pengiriman sinyal antara
neurosensori retina sangat penting. Setiap satu saraf optik memiliki lebih dari 1
juta serabut saraf. Serabut- serabut saraf yang berasal dari temporal berjalan
melengkung mengelilingi makula untuk memasuki daerah superior dan inferior
diskus optik. Serabut- serabut saraf papillomakular dan fovea berjalan lurus ke
dalam diskus optik. Proses fisiologis pengiriman sinyal ke nervus optik ini dapat

10

terhambat oleh adanya kerusakan atau gangguan pada nervus optik yang dikenal
dengan neuropati optik. 19,20
Adanya neuropati optik dapat dipertimbangkan jika ditemukan :
1. penurunan penglihatan yang dihubungkan dengan anomali, edema, atau
pucat pada diskus optik.
2. Segmen posterior dalam batas normal tetapi ditemukan penurunan tajam
penglihatan, penglihatan warna, dan defek lapangan pandang yang disertai
dengan defek serabut saraf aferen pupil.
Tabel 1. Gambaran Klinik neuropati Optik. 3

Untuk membantu kemungkinan etiologi dari neuropati optik, berikut ini


beberapa kata kunci ;
1. Adanya atenuasi dan sheating arteriolar retina pada lesi iskemik (misal,
CRAO atau ION)
2. Pucat pada bagian temporal optik yang disertai defek penglihatan sentral
dan defek lapangan pandang sentral tanpa melibatkan lapangan pandang
perifer (misal pada neuritis optik dan neuropati optik toksik)
3. Pucat pada diskus optik bagian superior atau inferior pada ION. 4

11

Gambar 5. Clinical pathway neuropati optik. 4

Neuropati optik dapat dihasilkan dari eksposur zat-zat dari lingkungan,


konsumsi makanan atau dari peningkatan kadar obat dalam serum, yang bersifat
toksik terhadap serabut saraf. Banyak penyebab neuropati optik toksik,
diantaranya adalah konsumsi alkohol, hidroquinolon (obat amebisid untuk terapi

12

malaria), etambutol dan isoniazid (terapi tuberkulosis), antibiotik seperti linezolid


dan kloramfenikol, serta cimetidin, vinkristin, dan siklosporin. Tembakau juga
merupakan salah satu penyebab neuropati optik toksik. Adanya gangguan sistemik
seperti diabetes mellitus, gagal ginjal, dan penyakit tiroid dapat memperberat
penyakit neuropati optik toksik karena dapat meningkatkan kadar zat-zat toksik
dalam tubuh. 3
Tabel 2: Etiologi yang paling sering menyebabkan neuropati optik toksik.3

Umumnya penyebab neuropati toksik mengakibatkan kegagalan suplai


vaskuler jaringan atau metabolisme. Sampai saat ini masih belum ada laporan atau
keterangan mengenai mengapa agen tertentu toksik terhadap nervus optik
sementara yang lain tidak, dan mengapa sebagian dari agen tersebut memberikan
efek terhadap papillomacular bundle. Konfigurasi pembuluh darah papil nervus
optik yang abnormal dapat menjadi faktor predisposisi terhadap akumulasi agen
toksik, tetapi hal ini belum pernah dibuktikan.3,18
Penderita dengan neuropati optik toksik biasanya bilateral, tanpa ada rasa
nyeri, gangguan visual yang simetris dengan progresifitas lambat disertai edema
saraf optik yang bervariasi. Biasanya pada diskus optik ditemukan pucat di
kuadran temporal. Kadang-kadang ditemukan diskus optik yang pucat dan sedikit
hiperemis. Penderita biasanya mengalami penurunan ketajaman penglihatan

13

(20/50-20/200), defek lapangan pandang sentral (biasanya scotoma cecosentral


relatif), dan berkurangnya penglihatan warna.5,6
Alkohol dan tembakau menghasilkan efek toksik melalui efek metabolik.
Eksposur kronik alkohol menyebabkan defisiensi vitamin B12 atau folat.
Dalam jangka waktu lama, defisiensi ini menyebabkan terjadinya akumulasi
asam format. Asam format dan sianida menghambat rantai transpor elektron
dan fungsi mitokondria, mengakibatkan gangguan produksi ATP dan pada
akhirnya akan menyebabkan kegagalan sistem transpor aksonal yang
tergantung pada ATP.3
Etambutol juga telah diduga berkontribusi terhadap neurotoksisitas. Obat
ini menyebabkan peningkatan aliran kalsium ke dalam mitokondria dan
eksitotoksisitas. Mekanisme neurotoksisitas yang terjadi dari antiaritmia
amiodarone masih belum jelas. Diduga hal ini berkaitan dengan lipidosis yang
diinduksi oleh obat, yang telah dibuktikan dengan penelitian histopatologis
terhadap nervus optik pada penderita ini.4,5,6
Semua faktor risiko tersebut di atas berpengaruh kuat terhadap
fosforilasi oksidatif mitokondria. Oleh karena itu, neuropati optik toksik
sebenarnya merupakan neuropati optik mitokondria dapatan (acquired), dan
kemungkinan besar prosesnya mirip dengan neuropati optik mitokondria.
Gambaran klinik yang ditemukan juga mirip dengan neuropati optik
mitokondria kongenital. 3
3.

Diagnosis Neuropati Otik Toksik


Diagnosis neuropati optik toksik biasanya ditentukan berdasarkan

anamnesis dan pemeriksaan fisik mata serta didukung oleh pemeriksaan


penunjang. Anamnesis secara luas merupakan cara terbaik untuk mendapatkan
informasi dari lingkungan sekitar penderita dan keadaan yang terlibat dalam
neuropati optik toksik. Pemeriksaan penunjang dilakukan berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik mata. Dari semua pemeriksaan tersebut akan
dapat ditarik kesimpulan penyebab spesifik neuropati optik toksik sehingga
dapat ditentukan penangangan atau terapi yang diperlukan.18

14

a) Anamnesis
Banyak penyebab neuropati optik toksik dapat diidentifikasi melalui
anamnesis riwayat pasien. Gejala yang muncul biasanya progresif.
Umumnya pasien datang dengan keluhan hilangnya penglihatan yang bersifat
simetris bilateral tanpa disertai nyeri. Beberapa pasien awalnya datang dengan
keluhan diskromatopsia terhadap warna tertentu, seperti warna merah yang
tidak terlalu terang. Biasanya melibatkan hanya satu mata pada tahap awal,
yang kemudian memberat dan akhirnya melibatkan mata yang lainnya. Pada
neuropati optik toksik, dari anamnesis dapat diketahui riwayat eksposur zat
toksik atau obat yang dikonsumsi pasien, riwayat keluarga, dan riwayat
konsumsi makanan. Umumnya penderita mempunyai riwayat mendapat terapi
antibiotik atau agen kemoterapi, penyalahgunaan zat atau obat, atau
mengalami eksposur dari limbah industri.5,18
b) Pemeriksaan Fisik
Evaluasi sistemik
Pemeriksaan penderita dengan suspek neuropati optik dimulai
dengan evaluasi keadaan sistemik meliputi kesehatan fisik, status mental,
dan tanda vital. Hal ini sangat penting mengingat banyak penyakit
neuropati optik yang dipengaruhi oleh kelainan sistemik seperti hipertensi,
obesitas, hipertiroidisme, dan lain-lain. Pada penderita neuropati optik
toksik, kelainan sistemik perlu disingkirkan untuk memastikan kausa
neuropati optik toksik. Selain itu, kelainan sistemik seperti diabetes, gagal
ginjal, dan penyakit tiroid dapat meningkatkan kadar zat-zat toksik dalam
tubuh. 3,4,18
Pemeriksaan Okuler
Hampir semua penderita neuropati optik dapat diidentifikasi
melalui adanya penurunan tajam penglihatan, defisiensi penglihatan

15

warna, defek lapangan pandang, defek jalur aferen pupil (RAPD), dan
abnormalitas gambaran nervus optik pada funduskopi.
Tajam Penglihatan
Umumnya tajam penglihatan baik jauh maupun dekat berkurang
pada neuropati optik, meskipun penurunan tajam penglihatan tersebut
bervariasi pada setiap penderita. Pada neuropati optik toksik penurunan
tajam penglihatan dapat bersifat akut maupun kronik. Pada neuropati optik
toksik biasanya mempunyai tajam penglihatan 20/400, kecuali toksik
oleh metanol, dapat menyebabkan penurunan tajam penglihatan yang berat
hingga mencapai kebutaan. 4,5,18
Penglihatan Warna
Adanya ketidakseimbangan antara tajam penglihatan yang baik dan
penglihatan warna yang buruk merupakan indikator yang sangat penting
dan sensitif terhadap disfungsi nervus optik. Hal ini mungkin didasari
bahwa nervus optik mengandung banyak akson sel ganglion yang berasal
dari area makula, dan akson-akson ini mempunyai satu hubungan dengan
satu sel cone densitas tinggi pada area makula. Diskromatopsia yang
sering terjadi utamanya melibatkan defek warna merah dan hijau. Teknik
yang sederhana untuk mendeteksi adanya defek penglihatan warna
uniokuler yaitu dengan meminta pasien untuk membandingkan objek
warna merah antara kedua mata.Untuk penilaian yang lebih akurat dapat
digunakan tes pseudoisokromatik Ishihara atau tes Farnsworth-Munsell
100-hue. 3,18
Sensitivitas Kontras
Sensitivitas kontras yang abnormal merupakan tanda lain dari
disfungsi nervus optik. Beberapa pasien dengan neuropati optik
mempunyai tajam penglihatan yang baik, tetapi sensitivitas kontrasnya
menurun. Sensitivitas kontras diuji dengan meminta pasien untuk
mengidentifikasi secara bertahap peningkatan kontras dengan Arden plate.
Tes ini sangat sensitif terhadap hilangnya penglihatan yang tersembunyi,

16

walaupun tidak spesifik terhadap penyakit nervus optik. Sensitivitas


kontras juga dapat ditentukan dengan Pelli-Robson chart, dimana huruf
yang dibaca, dicetak dengan kontras berkurang secara bertahap.5,6,18
Pupil
Identifikasi relative afferent pupil defect (RAPD) sangat membantu
untuk menentukan lokasi hilangnya penglihatan pada nervus optik dan
merupakan tanda adanya kelainan asimetris pada lintasan penglihatan
anterior. RAPD dapat dinilai dengan test swinging flashlight. Pada
neuropati optik toksik biasanya defeknya simetris dan bilateral, maka
RAPD tidak selalu dapat ditemukan. Refleks cahaya pupil biasanya
bilateral menurun atau tidak ditemukan. Pupil sering dilatasi pada
penderita yang hampir buta atau buta total.5,18
Lapangan Pandang
Salah satu tanda penting dari neuropati optik adalah adanya defek
lapangan pandang yang ditemukan pada pemeriksaan perimetri baik
dengan perimetri statik (Humprey) atau kinetik (Goldman). Pada
neuropati optik toksik defek lapangan pandang yang paling banyak
ditemui berupa defek sentral meliputi ; skotoma sentral, defek parasentral,
dan skotoma cecosentral. Ketiga tipe ini menunjukkan kelainan terjadi
pada bagian sentral dari nervus optik. Defek lapangan pandang ini
cenderung relatif simetris. Selain itu, defek lapangan pandang sentral juga
dapat terjadi pada penderita dengan kelainan pada makula. Defek
bitemporal atau konstriksi lapangan pandang perifer kadang terjadi,
masing-masing pada penderita yang toksik terhadap etambutol atau
amiodarone. 3,5,6,18

17

Gambar 6. Defek lapangan pandang pada penyakit nervus optik (a) skotoma sentral, (b) skotoma
cecosentral (c) nerve fiber bundle (d) altitudinal. 9

Funduskopi
Pada tahap awal neuropati optik toksik, diskus optik biasanya memberi
gambaran yang normal. Edema dan hiperemia pada diskus optik sering terlihat
pada intoksikasi akut. Beratnya penyakit dan kecepatan perkembangan ke arah
atrofi papilomacular bandle dan temporal diskus optik tergantung pada jenis
toksin. 5,6,9

18

Gambar 7. Gambaran funduskopi yang atrofi pada bagian temporal diskus optik pada penderita
dengan neuropati optik toksik.21

Optical Coherence Tomography (OCT)


Saat ini OCT sering digunakan untuk mengukur ketebalan lapisan serabut
saraf terutama pada pasien dengan glaukoma. Selain itu, OCT ternyata juga dapat
menilai perubahan pada neuropati optik toksik seperti yang disebabkan oleh
etambutol. Dari beberapa penelitian, perubahan dini yang belum dapat di deteksi
secara klinis dengan funduskopi, telah dapat dideteksi dengan OCT. Dengan
menggunakan OCT, kita dapat menilai hilangnya serabut saraf retina dari nervus
optik pada penderita yang diduga mengalami toksisitas dari obat. Oleh karena itu,
OCT merupakan pemeriksaan obyektif tambahan yang mendukung pemeriksaan
lapangan pandang untuk memonitor pasien yang mendapat pengobatan seperti
etambutol.22,23

19

Gambar 8. Ketebalan lapisan serabut saraf dengan menggunakan OCT.2

c)

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Neuromaging
Walupun pemeriksaan imaging dalam penelitian memberikan
gambaran yang normal pada neuropati optik toksik, pemeriksaan ini
hampir selalu dianjurkan, kecuali jika diagnosis sudah dapat dipastikan.
Pemeriksaan imaging yang paling sering dilakukan adalah Magnetic
Resonance Imaging (MRI) dari nervus optik dan kiasma optik dengan
atau tanpa penambahan gadolinium. Apabila riwayat medis dari anamnesis
tidak khas sehingga sulit untuk menentukan penyebab dan
mengkorfirmasi diagnosis, maka dibutuhkan pemeriksaan neuroimaging
untuk menyingkirkan penyebab neuropati optik kausa kompresif dan
iskemik, dimana hilangnya penglihatan sentral bilateral dapat juga terjadi
akibat adanya lesi oksipital bilateral. MRI pada nervus optik dan kisma

20

optik juga dibutuhkan untuk menilai tanda inflamasi dan atau adanya
demielinasi pada neuritis optik. 3,5,9

Gambar 9. potongan aksial orbita dan otak pada MRI scan.9

Pemeriksaan Elektrofisiologi
Secara fisiologis, adanya persepsi dari penglihatan dihasilkan dari
adanya sinyal elektrik yang dihasilkan di retina untuk dialirkan melalui
lintasan penglihatan dan berakhir pada korteks oksipital. Visual evoked
response (VER) merupakan pemeriksaan elektrofisiologi untuk mengukur
potensial elektrik yang dihasilkan dari stimulus visual dari retina ke
korteks visual. Pemeriksaan elektrofisiologi ini juga telah digunakan pada
penderita neuropati optik toksik. Adanya hambatan dalam konduksi neural

21

akan menghasilkan penurunan amplitudo pada VER. Berkurangnya


kecepatan konduksi akan memperpanjang periode laten dari VER.
Penyakit unilateral prekiasma dapat dideteksi secara terpisah dengan
membandingkan respon antara keduanya. 3,24

Gambar 10. VER pada OS normal berlawanan dengan VER pada OD yang menunjukkan
tidak adanya respon oleh karena adanya lesi yang berat pada nervus optik. 24

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan yang diperlukan pada penderita yang kita curigai
neuropati optik toksik dan nutrisional mencakup pemeriksaan jumlah sel
darah lengkap dan apusan darah tepi. Pemeriksaan lain yang dibutuhkan
meliputi kadar folat sel darah merah, VDRL (Venereal Disease Research
Laboratory), kadar vitamin, konsentrasi protein serum, kimia darah,
urinalisis, dan skrining kadar logam berat seperti timah, talium, dan
merkuri. Identifikasi toksin yang dicurigai perlu diperiksa dalam darah dan
urine. Pemeriksaan laboratorium ini tergantung pada dugaan yang
diperoleh dari hasil pemeriksan sebelumnya. 4,5,6,18
Table 3. evaluasi neuropati optik bilateral (yang diduga neuropati optik toksik atau nutrisional). 4

22

4. Etiologi Paling Sering Menyebabkan Neuropati Optik Toksik


Tobacco-Alcohol Ambliopia
Tobacco-alkohol ambliopia khususnya mengenai peminum alkohol yang
berat dan perokok berat yang menggunakan cerutu dan pipa yang dapat
menyebabkan defisiensi protein dan vitamin B. Pada kondisi ini, umumnya
pasien mengabaikan makanannya dan mendapatkan kalorinya dari alkohol saja.5,25
Insiden hilangnya penglihatan biasanya akut, progresif, bilateral, dan
simetris yang dihubungkan dengan adanya diskromatopsia. Gambaran diskus
optik biasanya normal. Pada beberapa pasien tampak pucat di bagian temporal
diskus optik, splinter hemorrhage pada atau di sekitar diskus optik, atau adanya
edema minimal diskus optik. Defek lapangan pandang umumnya bilateral, relatif
simetris, dengan gambaran skotoma sentral. Walaupun sindrom ini
diklasifikasikan sebagai neuropati optik, tetapi lesi primernya bisa saja tidak
berlokasi pada nervus optik melainkan dapat terjadi pada retina, kiasma, dan
kadang traktus optik. Hilangnya penglihatan dapat mendahului perubahan pada
diskus optik yang dapat dideteksi dini dengan menggunakan OCT .

23

Gambar 11. Alcohol-tobacco ambliopia, (a dan b) pucat pada temporal diskus optik, (c) skotoma
cecosentral bilateral.9

Pada penderita ini, umumnya ambliopia terjadi akibat dari defisiensi


nutrisi yang berat. Oleh karena itu, perbaikan penglihatan berhubungan erat
dengan perbaikan nutrisi. Akhir-akhir ini kombinasi diet (sayuran hijau dan buah
tiap hari) dan suplemen vitamin dianggap sebagai terapi utama pada penderita ini.
Suplemen yang dimaksud dalam terapi ini adalah tiamin 100 mg dua kali sehari,
asam folat 1 mg sekali sehari, dan tablet multivitamin setiap hari. Selain
multivitamin, penderita dianjurkan untuk makan dengan diet yang seimbang dan
menghindari minuman keras dan rokok. Disamping itu, juga dapat diberikan
injeksi 1000 unit hidroksikobalamin setiap minggu selama 10 minggu. Terapi ini
dianggap berhasil dalam terapi ambliopia yang disebabkan oleh tembakau, karena
hidroksikobalamin (analog dengan vitamin B12)dipercaya mempunyai efek
protektif dengan cara menkonversi sianida bebas menjadi sianokoblamin. 3,28
Pada kasus yang dapat ditangani secara dini prognosisnya baik walaupun
perbaikan visus kemungkinan berlangsung lambat. Pada kasus yang berat dan
tidak respon terhadap pengobatan dapat mengakibatkan hilangnya penglihatan
secara permanen akibat dari adanya atrofi optik.
Metanol
Metanol merupakan cairan yang jernih, tidak berwarna, dan mudah
terbakar. Metanol biasa digunakan sebagai larutan dalam industri dan pada

24

antifreeze automotif khususnya pada negara berkembang. Namun metanol sering


disalahgunakan sebagai bahan pembuat minuman keras karena harganya relatif
lebih murah. Sedang minuman keras atau yang dikenal dengan nama minuman
beralkohol di masyarakat, bahan dasar utamanya adalah etanol.
Etanol dan metanol secara kimiawi, keduanya merupakan golongan
alkohol. Rumus kimia keduanya berbeda, jika etanol adalah C2H5OH, sedang
metanol rumus kimianya CH3OH. Etanol bisa diperoleh dari hasil fermentasi
buah-buahan atau gandum serta banyak dikonsumsi sebagai minuman beralkohol
seperti beer, wine, brandy, dan lain-lain. Sedangkan metanol, umumnya tidak
dikonsumsi sebagai minuman, karena sifatnya yang lebih toksik. Akhir-akhir ini,
sering ditemukan orang-orang menenggak minuman keras (miras) oplosan,
dimana minuman keras ini diperoleh dengan mencampur alkohol (etanol) dengan
metanol, sehingga menghasilkan minuman keras yang bersifat toksik terhadap
tubuh.
Metanol dimetabolisme oleh enzim alkohol dehidrogense (ADH) pada hati
menghasilkan formaldehida kemudian diubah menjadi asam format. Toksisitas
terjadi akibat dari kombinasi efek asidosis metabolik dan toksisitas intrinsik
anion format itu sendiri. Asam format sebagai hasil metabolisme metanol akan
memblok jalur mitokondria pada retina dan nervus optik. Gejala intoksikasi
metanol biasanya terjadi paling lambat 12 hingga 18 jam setelah komsumsi
metanol. Selama periode laten, metanol akan dioksidasi menjadi bentuk yang
lebih toksik yang akan mengakibatkan terjadinya asidosis metabolik. Hal ini
merupakan tanda pasti adanya intoksikasi metanol. Derajat asidosis tergantung
pada beratnya intoksikasi. Berat ringannya gejala akibat keracunan metanol
tergantung dari besarnya kadar metanol yang tertelan. Dosis toksik minimum
( kadar keracunan minimal ) metanol lebih kurang 100 mg / kg dan dosis fatal
keracunan metanol diperkirakan 20 240 ml ( 20 150 g ). Dari hasil penelitian
ditemukan bahwa minum sedikitnya 4-10 mL metanol dapat menyebabkan
kebutaan permanen.
Gejala sistemik yang sering muncul berupa sakit kepala, rasa mengantuk,
mual, muntah, nyeri perut, dan penglihatan kabur, serta kemungkinan akan diikuti

25

dengan kebutaan, koma, dan gagal jantung jika intoksikasinya berat. Efek metanol
terhadap sistem saraf pusat mirip dengan efek etanol walaupun dalam dosis
rendah metanol tidak mempunyai efek eforia. Kehilangan visus permanen dapat
terjadi dalam beberapa jam sampai beberapa hari setelah konsumsi metanol.3,5
Toksisitas metanol dimediasi oleh asam format, yang merupakan hasil
metabolisme metanol. Metanol dikatabolisme menjadi formaldehida di hati oleh
enzim alkohol dehidrogenase dan katalase. Formaldehid kemudian dimetabolisme
lagi menjadi asam format oleh enzim aldehid dehidrogenase di hati dan sel darah
merah. Asam format ini bisa menganggu produksi ATP dengan menghambat kerja
enzim sitokrom oksidase, yang selanjutnya akan menyebabkan kegagalan transpor
aksonal dan hilangnya konduksi dan polaritas membran sel. Keadaan ini
menyebabkan disfungsi nervus optik sehingga dapat menyebabkan penurunan
penglihatan. Adanya kompressi akson dari pembengkakan nervus optik
retrobulber juga dapat menyebabkan obstruksi aliran aksoplasmik anterograde
sehingga memperberat kerusakan nervus optik.5,6

gambar 12. Metabolisme metanol dalam tubuh.29

Asam format berakumulasi dalam nervus optik dan mengakibatkan gejala


klasik kilatan cahaya. Selanjutnya gejala ini dapat berkembang menjadi skotoma.
Skotoma sentral dan cecosentral biasanya terjadi pada penderita dengan
kehilangan penglihatan parsial. Hilangnya penglihatan terjadi akibat gangguan
fungsi mitokondria pada nervus optik yang mengakibatkan terjadinya edema,

26

hyperemia, hingga atrofi pada nervus optik. Pada tahap awal, pada diskus optik
bisa terjadi edema dan hiperemis dengan edema retina peripapil. Respon pupil
biasanya menurun, dan refleks cahaya yang negatif menunjukkan prognosis yang
buruk. Perbaikan penglihatan biasanya terjadi dalam satu minggu setelah
konsumsi metanol dihentikan. Tetapi dalam beberapa kasus, penglihatan bisa
memburuk lagi setelah membaik dalam beberapa minggu. Diskus optik secara
bertahap dapat menjadi pucat dengan gambaran glaucomatous-like cupping, dan
arteri retina dapat memberi gambaran atenuasi.
Pemeriksaan laboratorium terhadap kadar metanol dalam darah yang > 20
mg/dL, dengan anion gap besar, kadar asam format dalam darah yang tinggi, dan
menurunnya kadar bikarbonat dalam darah menjadi dasar diagnosis pasti adanya
intoksikasi metanol. Peak level terjadi dalam 60-90 menit setelah konsumsi
alkohol, tetapi kondisi ini tidak berkorelasi dengan derajat toksisitas. Oleh karena
itu peak level tidak dapat dijadikan sebagai indikator dalam prognosis. Derajat
keasaman (pH) arteri tampak berkorelasi paling baik dengan kadar asam format ,
dimana pH < 7,2 berarti telah terjadi intoksikasi berat.
Terapi suportif bertujuan dalam penanganan pertama saluran napas,
koreksi gangguan elektrolit, dan memberikan hidrasi yang adekuat. Pengosongan
lambung sangat berguna hanya dalam dua jam setelah konsumsi metanol. Terapi
dilakukan dengan buffer like sodium bicarbonate yang diberikan untuk
mengoreksi asidosis metabolik. Selain itu, diberikan juga antidote berupa etanol
untuk menghambat matabolisme metanol membentuk metabolit yang bersifat
toksik (asam format). Jika diperlukan, dapat dilakukan hemodialisis untuk
mengoreksi asidosis dan membersihkan metanol dan asam format dalam darah.
Jika terapi terlambat melewati beberapa jam setelah konsumsi metanol, maka
kehilangan penglihatan permanen dapat terjadi.
Terapi antidote lain yang dapat digunakan adalah jenis etanol lain atau
fomepizole. Etanol, seperti metanol, juga dimetabolisme oleh ADH dan enzim
dengan afinitas 10-20 kali lebih tinggi dari metanol. Fomepizole juga
dimetabolisme oleh enzim yang sama. Kelebihannya bahwa fomepizole tidak

27

menyebabkan depresi sistem saraf pusat. Namun penggunaan obat ini terbatas
karena harganya mahal dan sulit diperoleh. Etanol umumnya diberikan secara IV
dalam bentuk larutan 10 % dalam dekstrosa 5 %. Untuk loading dose diberikan
0.6 g/kg per IV infusion diikuti dengan 0.07 -0.16 g/kg/jam.
Pemberian steroid telah diuji pada beberapa pasien untuk menyelamatkan
penglihatan, dan cukup berhasil. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan efek
antiinflamasi dan imunoupressan dari steroid.
Etilene Glikol
Konsumsi etilen glikol, sebuah bahan aktif pada antifreeze automobile,
menyebabkan toksik dengan gejala yang mirip dengan toksik akibat metanol,
seperti mual, muntah, nyeri abdominal, koma, dan gagal jantung. Berbeda dengan
komplikasi akibat metanol, gagal ginjal sering terjadi pada keracunan etilen
glikol, dan frekuensi hilangnya penglihatan akibat etilen glikol biasanya lebih
rendah.5,6
Diskus optik awalnya tampak normal, kemudian diikuti dengan atrofi
optik. Berbeda dengan gejala visus pada toksik akibat metanol, edema papilyang
berasal dari peningkatan tekanan intrakranial mungkin dihubungkan dengan
adanya nistagmus dan oftalmoplegi. 5,6
Penemuan kristal-oksalat dalam urine menunjang diagnosis pasti adanya
intoksikasi akibat etilen glikol. Glikolate, sebagai hasil metabolisme etilen glikol,
juga dapat menyebabkan asidosis metabolik, dan anion gap besar. Oleh karena itu,
terapi intoksikasi ini mirip dengan intoksikasi metanol, meliputi bikarbonat,
etanol, dan hemodialisis. 6

Amiodarone
Amiodarone, derivat diiodinate benzofuran,merupakan obat yang
digunakan dalam terapi aritmia jantung seperti pada fibrilasi atrial dan ventrikuler

28

serta ventrikuler takikardia. Obat ini juga diduga dapat menyebabkan neuropati
optik toksik. Toksisitas obat ini menunjukkan gejala hilangnya penglihatan
binokuler yang bersifat progresif lambat dengan edema diskus optik yang lama
(beberapa bulan). Neuropati optik iskemik anterior (AION) unilateral dan
bilateral yang akut juga telah dilaporkan pada pasien yang menggunakan
amiodarone. Oleh karena penderita juga mempunyai faktor risiko yang sama
dengan faktor risiko pada AION yaitu penyakit kardiovaskuler dan crowded optic
disc, maka sulit untuk membedakan apakah AION merupakan manifestasi
penyakit oklusif vaskuler atau karena penggunaan obat amiodarone.6,32
Bukti yang menghubungkan amiodarone dengan kerusakan nervus optik
masih belum dapat disimpulkan. Neuropati optik toksik tidak berkembang
simultan dengan neuropati perifer toksik. Neuropati optik toksik sendiri tidak
tergantung pada dosis obat, reversibel, dan demielinasi seperti pada neuropati
perifer.5,6
Pada neuropati optik yang dihubungkan dengan amiodarone, penderita
mempunyai gejala ringan atau bahkan tidak ada keluhan gangguan penglihatan
sama sekali. Berbeda dengan AION, onset hilangnya penglihatan terjadi dari
beberapa hari hingga beberapa minggu, gejala visual biasanya progresif lambat
dan mulai dari 1 hingga 72 bulan setelah terapi awal amiodarone. Hilangnya
penglihatan biasanya simultan bilateral, dapat mencapai visus 20/200, dengan
edema diskus optik yang menetap selama beberapa bulan. Defek lapangan
biasanya ringan dan umumnya mengakibatkan konstriksi perifer atau skotoma
cecosentral.3,32
Patofisiologi terjadinya neuropati optik akibat amiodarone masih tidak
jelas. Amiodarone diduga berikatan dengan polar lipid dan terakumulasi dalam
lisosom. Menurut Garret, dkk. kapiler koroid peripapil yang berfenestra bersifat
permeabel terhadap amiodarone. Cairan interstisial koroid yang mengandung
amiodarone menginduksi terjadinya fosfolipidosis, yang berikatan dengan
membran sel dengan badan inklusi multilamelar yang berakumulasi di dalam
astrosit dan akson ganglion. Akumulasi badan inklusi ini akan menghambat aliran
aksoplasmik yang menyebabkan edema pada diskus optik. 5.6

29

Toksisitas terhadap amiodarone tergantung pada besarnya dosis,


bervariasi dari 200 mg/hari hingga 1200 mg/hari. Menurunkan dosis amiodarone
akan memperbaiki edema diskus optik dan penghentian obat akan menyembuhkan
efek toksis secara bertahap. Berbeda dengan AION, dimana defek lapangan
pandangnya menetap, pada neuropati akibat amiodarone, defek lapangan pandang
perifer akan mengalami perbaikan. Oleh karena hubungan antara amiodarone
dengan kejadian neuropati optik masih kontroversi dalam beberapa kasus, maka
pengambilan keputusan untuk menghentikan penggunaan obat amiodarone untuk
terapi aritmia jantung paling tepat jika dibuat oleh ahli jantung.2,3,4
Etambutol
Etambutol hidroklorida merupakan obat antimikroba golongan
bakteriostatik yang digunakan sebagai terapi Mycobacterium tuberculosis lapis
pertama. Obat ini diduga dapat menyebabkan neuropati optik toksik. Mekanisme
kerja etambutol menyebabkan neuropati optik belum diketahui pasti, tetapi diduga
etambutol dimetabolisme menjadi agen chelating yang dapat menganggu fungsi
enzim mitokondria yang mengandung logam, seperti enzim sitokrom c oksidase
komplek IV yang mengandung tembaga dan NADH Q-oksidoreduktase kompleks
I yang mengandung besi. Gangguan ini dapat menyebabkan kerusakan rantai
respiratorius mitokondria yang mengakibatkan terjadinya neuropati optik. Zinc
juga memainkan peranan penting dalam toksisitas etambutol terhadap sel ganglion
retina. Percobaan pada hewan membuktikan bahwa etambutol dapat
menimbullkan lesi pada kiasma optik dan nervus optik. Secara klasik dapat
digambarkan bahwa toksisitas etambutol berhubungan dengan dosis dan lamanya
pengobatan dan bersifat reversible jika terapi dihentikan. Sifat reversibilitas dari
neuritis optik ini masih kontroversial, sehingga edukasi terhadap penderita dan
penghentian konsumsi obat tidak selalu menunjukkan perbaikan terhadap
penglihatan. Gambaran dan prognosis dari toksisitas etambutol tidak dapat
diprediksi sehingga penggunaan obat ini harus mendapat pengawasan atau
control yang tepat.

30

Etambutol dapat menyebabkan neuropati optik toksik pada 1-5 %


penderita yang mengkonsumsi obat antituberkulosis. Derajat toksisitas etambutol
pada nervus optik tergantung pada dosis yang digunakan dan lamanya
penggunaan obat, dengan insiden sebanyak 6 % pada dosis 25 mg/kg BB/hari.
Penurunan tajam penglihatan lebih sering terjadi pada penderita yang menerima
dosis >25 mg/kg/hari. Sedang dosis < 15 mg/kg BB/hari dianggap sebagai dosis
yang relatif aman, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk terjadinya neuropati
optik. Penurunan tajam penglihatan terjadi minimal 1,5 bulan setelah terapi
etambutol dan paling sering terjadi setelah 5 bulan terapi. Penurunan tajam
penglihatan juga dapat terjadi lebih lambat, setelah 12 bulan dari terapi awal.
Hilangnya penglihatan yang lebih berat ditemukan pada penderita yang menderita
gagal fungsi ginjal karena etambutol dieksresikan melalui ginjal.
Dilaporkan neuropati optik etambutol pada 3 dari 304 pasiem yang
diterapi dengan etambutol pada 25 mg/kg/hari selama 60 hari diikuti dengan 15
mg/kgBB/hari. Dua tipe penurunan tajam penglihatan berkaitan dengan toksisitas
etambutol:

Toksisitas sentral ; penurunan tajam penglihatan, skotoma sentral, dan

hilangnya persepsi warna


Toksisitas periaksial ; tajam penglihatan normal atau hampir normal,
persepsi warna normal, dan skotoma kuadran perifer atau konstriksi.4
Diskromatopsia merupakan gejala dini dari adanya toksisitas oleh

etambutol, dimana defek penglihatan warna biru-kuning lebih sering terjadi


dibandingkan defek penglihatan warna merah-hijau. Penurunan tajam penglihatan
biasanya bersifat terselubung dan bilateral simetris. Defek lapangan pandang khas
menujukkan skotoma sentral atau defek bitemporal; sebagian kecil mengalami
konstriksi perifer. Abnormalitas pupil sulit terdeteksi. Pengukuran sensitivitas
kontras juga efektif dalam mendeteksi toksisitas etambutol subklinik.
Pemeriksaan Visual evoked potensial (VEP) juga dapat digunakan untuk evaluasi
dini adanya toksisitas oleh etambutol.3,36,38,39,40
Pada pemeriksaan funduskopi, diskus optik pada awalnya normal, tetapi
bisa berkembang menjadi pucat (atrofi) pada diskus optik bagian temporal, jika

31

terapi etambutol diteruskan. Diagnosis dini dan penghentian penggunaaan obat


etambutol memberikan prognosis yang baik, karena hilangnya penglihatan
biasanya bersifat reversibel. 5,6,9

Gambar 13. (a dan b) diskus optic yang pucat pada penderita wanita, 44 tahun dengan toksisitas
etambutol. (c dan d) hasil pemeriksaan perimetri Goldman yang menunjukkan skotoma cecosentral
bilateral.3

Optical cehrence tomography (OCT), yang sekarang umum digunakan


untuk mengukur ketebalan lapisan serabut saraf pada pasien glaukoma, dapat juga
digunakan untuk mengukur perubahan anatomis pada toksisitas etambutol. Alat
ini dapat mengukur besarnya kehilangan lapisan serabut saraf retina pada
penderita dengan gejala toksisitas dini, sebelum perubahan itu dapat dilihat
dengan funduskopi. Oleh karena itu, OCT dapat dijadikan sebagai pemeriksaan
obyektif tambahan untuk memonitor penderita dengan etambutol, khususnya pada
penderita dengan defek lapangan pandang. Menon V.,dkk (2009) melaporkan
ketebalan serabut saraf retina bagian temporal berkurang secara signifikan pada
pemeriksaan dengan menggunakan OCT pada 2.88 % ( 3 dari 104 penderita) yang
menkonsumsi etambutol.

3,22,37

32

Gambar 14. Foto Fundus penderita neuropati optik bilateral karena toksisitas etambutol yang
menunjukkan CDR 0.5 pada setiap mata dengan gambaran pucat pada bagian temporal diskus
optik, disertai gambaran OCT yang menunjukkan ketebalan lapisan serabut saraf retina masih
dalam batas normal, tidak mengalami penipisan.38

International guidelines untuk pencegahan dan deteksi dini toksisitas


okuler akibat etambutol telah di publikasikan. Namun, pendapat mengenai
pemeriksaan tajam penglihatan secara rutin masih efektif digunakan dalam klinik.
Tidak ada terapi lain yang spesifik dan efektif selain menghentikan konsumsi obat
etambutol. Umunya penderita akan mengalami perbaikan secara bertahap selama
beberapa minggu sampai beberapa bulan. Kadang-kadang dilaporkan penglihatan
tetap memburuk dan tidak mengalami perbaikan ketika obat terlambat dihentikan
dan sudah terlanjur menyebabkan kerusakan nervus optik yang berat. 3,40,41
Isoniazid (INH)
Obat yang biasa dikombinasikan dengan etambutol ini telah dilaporkan
juga dapat menyebabkan terjadinya neuropati optik toksik. INH biasanya diduga
sebagai etiologi jika terjadi hilangnya penglihatan bersifat menetap walaupun
etambutol telah dihentikan. Toksisitas isoniazid member gambaran edema
bilateral diskus optik. Gejala atipikal lainnya berupa defek lapangan pandang
berupa skotoma hemianopia bitemporal. Penglihatan juga dapat mengalami
perbaikan jika pemberian obat INH dihentikan. Pemberian piridoksin 25-100
mg/hari dapat membantu mengobati neuropati optik toksik akibat isoniazid
dengan syarat harus disertai penghentian penggunaan obat isoniazid.3,5,6,42

33

Oleh karena etambutol dan isoniazid diberikan secara bersama dalam


terapi tuberkulosis dan keduanya menghasilkan neuropati optik toksik, maka jika
hanya salah satu obat yang dihentikan dan obat yang lain diteruskan, penderita
tidak akan mengalami perbaikan penglihatan.3,5,43
Kloramfenikol
Penggunaaan kloramfenikol pada terapi kolitis ulseratif dan endocarditis
bakterial pada awal tahun 1950 telah menemukan kasus sporadik neuritis optik.
Pada tahun 1969 dilaporkan 40 kasus yang menderita neuritis optik setelah terapi
minimal 100 gram selama lebih dari 6 minggu. Kloramfenikol juga telah
digunakan sebagai terapi kistik fibrosis pada anak-anak hingga tahun1970 dan
ditemukan bahwa obat ini dapat menyebabkan neuropati optik toksik pada sekitar
3-5 % penderita. Anak-anak ini mengalami kehilangan penglihatan sentral
bilateral secara tiba-tiba dengan defek lapangan pandang skotoma cecosentral.
Kerusakan selektif papillomacular bundle dan pembuluh darah retina yang
berkelok-kelok sering terlihat pada pemeriksaan fundus.
Dari pemeriksaan histopatologi, tampak sel ganglion retina menghilang
terutama pada daerah papillomacular bundle dan terjadi atrofi serabut saraf serta
demielinasi nervus optik. Patogenesis neuropati optik kloramfenikol masih kurang
jelas. Beberapa peneliti membuktikan adanya hubungan antara kejadian neuropati
optik dengan defisiensi tiamin, meskipun kadar tiamin dalam darah masih dalam
batas normal. Terapi dilakukan dengan menghentikan konsumsi obat dan
pemberian vitamin B kompleks. Terapi ini biasanya dapat mengembalikan fungsi
penglihatan penderita.

5,21,44

34

Gambar 15. Pemeriksaan histopatologis dekat fovea menunjukkan hilangnya lapisan sel ganglion
retina.44

Linezolid
Antimikroba golongan linezolid merupakan golongan antibiotik yang
efektif melawan bakteri gram positif. Obat ini merupakan antibiotik yang
digunakan dalam terapi stafilococcus yang resisten terhadap meticilin,
enterococcus yang resisten terhadap vancomycin, pneumonia nosokomial, dan
infeksi kulit yang berkomplikasi. Lama terapi yang direkomendasikan adalah
maksimal 28 hari. Linezolid bekerja dengan cara menghambat translasi RNA
dengan berikatan dengan ribosom 23S RNA dari subunit ribosom 50s untuk
merusak kumpulan ribosom. Linezolid telah dilaporkan dapat menyebabkan
neuropati optik toksik dengan gejala penurunan tajam penglihatan,
diskromatopsia, dan skotoma cecosentral. Penghentian antibiotik akan
mengembalikan tajam penglihatan secara bertahap. Hampir semua penelitian
melaporkan bahwa pada penderita neuropati optik toksik akibat penggunaan
linezolid dengan tajam penglihatan awal 20/200 akan membaik hingga 20/30
setelah obat dihentikan. Defek penglihatan warna, defek lapangan pandang, dan
edema pada diskus optik juga akan mengalami perbaikan secara bertahap.5,45
Neuropati optik akibat linezolid biasanya berhubungan dengan lamanya
terapi dengan linezolid. Selama uji klinik yang dilakukan secara random
terhadap pengguna obat ini, ditemukan bahwa munculnya efek samping terjadi

35

jika obat ini digunakan hingga 28 hari terapi. Beberapa studi juga melaporkan
kejadian neuropati optik karena linezolid terjadi sekitar 8 hingga 10 bulan setelah
penggunaan obat dengan dosis standar 600 mg per hari. Telah dilaporkan juga tiga
kasus pada tahun 2005 , neuropati optik dan perifer akibat penggunaan linezolid
selama lebih dari 28 hari.45 Hal ini merekomendasikan untuk melakukan
monitoring efek samping dengan pemeriksaan mata setiap bulan jika penderita
menerima antibiotik lebih dari 28 hari. Pemeriksaan mata yang dilakukan meliputi
pemeriksaan tajam penglihatan, defek lapangan pandang, penglihatan warna, dan
funduskopi.5,6
Interferon alfa
Interferon alfa (IFN-) merupakan glikoprotein yang disekresikan oleh
sistem imun sebagai respon terhadap infeksi virus. Fungsinya memberikan sinyal
intraseluler untuk meningkatkan ekspresi gen spesifik, serta meningkatkan dan
menginduksi limfosit untuk membunuh sel target dan menghambat replikasi virus
pada sel-sel yang terinfeksi. Oleh karena IFN- mempunyai sifat antisitokin,
antiviral, immunomodulator, dan aktivitas antiproliferatif, maka IFN- digunakan
dalam terapi hepatitis kronik B dan C, kanker, dan trombositosis esensial. Selain
itu, IFN- juga diduga dapat membentuk autoantibodi dan selanjutnya dapat
menyebabkan deposit kompleks imun pada arteri kecil pada nervus optik. IFN-
dapat menstimulasi sitokin lain sehingga terjadi reaksi inflamasi pada pembuluh
darah yang selanjutnya dapat menyebabkan terjadinya iskemia.5,6
Neuropati optik iskemik anterior (AION) merupakan komplikasi yang
jarang dalam terapi IFN-. Mekanisme terjadinya AION setelah terapi dengan
IFN- masih belum jelas. Lohman dan Coll menduga bahwa IFN- dapat
menghasilkan autoantibodi yang menyebabkan terjadinya deposisi kompleks
imun pada arteri kecil pada nervus optik dan retina, sehingga mengakibatkan
terjadinya reaksi inflamasi pada pembuluh darah yang berakibat terjadinya
iskemik. Disamping itu, IFN- juga berperan sebagai imunomodulator yang dapat
menstimulasi produksi sitokin lain seperti interleukin yang juga menimbulkan

36

respon inflamasi pada pembuluh darah, sehingga memperberat kejadian iskemik


pembuluh darah pada nervus optik. 6,46
Dua pasien yang mendapat terapi IFN- mengalami neuropati optik
simultan bilateral dalam 3 bulan sejak dimulainya pengobatan. Edema diskus
optik lateral dan perdarahan pada lapisan serabut saraf (nerve fiber layer)
dihubungkan dengan adanya defek bundel serabut saraf inferior. Walaupun telah
diterapi dengan aspirin 300 mg/hari setelah pemberian IFN- dihentikan, tajam
penglihatan dan defek lapangan pandang masih tidak mengalami perubahan.
Sedang penderita lain yang diterapi dengan metilprednisolon IV 1 g/hari selama 3
hari yang kemudian dilanjutkan dengan tappering prednison oral setelah IFN-
dihentikan, visus penderita membaik tetapi defek lapang pandangnya menetap.
Derajat gambaran atrofi pada diskus optik tergantung pada beratnya iskemik.
Anemia juga dapat memperberat kejadian iskemik dengan menurunnya perfusi ke
nervus optik sehingga dapat memberi gambaran edema diskus optik. Hanya satu
pasien yang membaik setelah terapi dengan IFN- dihentikan.5,47
Infliximab
Infliksimab merupakan antibodi chimeric dari kelompok Ig G yang
menghambat tumor necrosis factor-alfa (TNF-) dan diberikan secara intravenous
untuk terapi artritis rematoid dan Crohns disease. Penghambatan terhadap TNF-
diduga berkaitan dengan eksaserbasi munculnya penyakit demielinasi seperti
multiple sklerosis (MS). Kadar TNF- yang tinggi ditemukan pada sel-sel
mononuklear dan plak MS pada pasien dengan MS.5

37

Gambar 16. Fundus fluorescein angiography penderita dengan terapi infliximab. Kapiler pada
nervus optik dilatasi dengan kebocoran vaskuler. Splinter hemorraghe tampak pada tepi diskus
optik.47

Infliksimab diduga berkaitan dengan terjadinya neuritis optik retrobulber.


Pada penelitian yang dilakukan oleh Foroozan dkk., dua wanita pada usia dekade
kelima mengalami neuritis optik retrobulber setelah diterapi dengan infliksimab
karena menderita artritis rematoid dan atau Crohns disease. Tajam penglihatan
keduanya membaik setelah obat dihentikan. Walaupun pasien tidak menderita MS,
tetapi diduga inhibisi terhadap TNF- bisa meningkatkan resiko terjadinya
penyakit demilinasi. 5,6
Terapi dengan infliksimab juga dapat berkomplikasi menjadi neuropati
optik toksik. Netherlands Pharmacovigilance Centre Lareb pada tahun 2003
melaporkan tiga kasus neuropti optik bilateral setelah menerima tiga dosis
infliksimab untuk artritis rematoid. Tiga pasien tersebut berusia dekade kelima
dan keenam mengalami edema diskus optik bilateral akut dengan skotoma
sentral, cecosentral, atau defek pada inferior. Defek lapangan pandang sentral dan
cecosentral menunjukkan adanya proses toksik pada neuropati optik anterior.
Pemeriksaan FFA menunjukkan adanya dilatasi kapiler dan kebocoran vaskuler
pada papil nervus optik. Pemberian steroid dosis tinggi, ternyata tidak
memperbaiki tajam penglihatan. Hal ini membuktikan adanya akumulasi tiga
dosis inflikasimab yang berperan dalam kejadian neuropati optik toksik bilateral
tersebut. 5,47
Klomifen Sitrat
Agen hormonal seperti klomifen sitrat sering digunakan dalam terapi
infertilitas. Obat ini diduga dapat meningkatkan risiko komplikasi
hiperkoagulabiliti. Penurunan tajam penglihatan dapat terjadi pada sekitar 5%
hingga 10 % penderita yang diterapi dengan klomifen sitrat. Neuritis optik juga
telah dilaporkan dapat terjadi selama pengobatan dengan klomifen sitrat.
Penglihatan penderita dapat menurun sementara atau spots. Kejadian neuropati
optik iskemik anterior juga telah dilaporkan pada seorang wanita, 31 tahun dengan

38

infertilitas primer setelah menerima klomifen sitrat 50 mg setiap pagi selama lima
hari. Dia mengalami penglihatan kabur akut pada mata kanan dengan visus
20/200, RAPD positif pada mata kanan, penurunan penglihatan warna merah, dan
defek altitudinal inferior pada mata kanan. Pada diskus optik mata kanan terjadi
edema dan hiperemis dengan dilatasi vena dan splinter hemorraghes. Dua bulan
kemudian visus mata kanan menjadi 20/50(-2), dan tampak pucat pada diskus
optik.48,49,50
Tamoxifen
Tamoksifen merupakan obat yang berfungsi dalam mengatur aktifitas
estrogen reseptor- dan sering digunakan sebagai adjuvan atau monoterapi pada
terapi kanker. Beberapa studi melaporkan insiden toksisitas okuler pada
penggunaan tamoxifen yaitu sekitar 12 %. Neuropati optik bilateral jarang terjadi,
tetapi deteksi dini dapat membantu mencegah kebutaan permanen. Pada suatu
penelitian prospektif, 65 wanita dengan kanker payudara pada awalnya
mempunyai penglihatan normal dan kemudian diberikan terapi tamoksifen oral 20
mg/hari, 12 % diantaranya mengalami toksisitas okuler, dimana 7 pasien
mengalami keratopati, 3 pasien retinopati pigmentari bilateral, dan 1 pasien
mengalami neuritis optik bilateral. Pasien dengan neuropati optik menunjukkan
papil nervus optik pucat dengan tajam penglihatan yang menurun. Perubahan
keratopati biasanya bersifat reversibel setelah obat dihentikan. Pemeriksaan mata
setiap tahun direkomendasikan pada penderita yang diterapi dengan tamoksifen
dalam jangka panjang. 5,51

Silenafil & Taladafil


Sildenafil biasanya diindikasikan untuk terapi disfungsi ereksi pada lakilaki. Obat ini dilaporkan dapat menyebabkan terjadinya NAION. Sildenafil
merupakan inhibitor fosfodiesterase selektif 5(PDE5) yang memfasilitasi jalur
nitrit oxide-cyclyc guanosine monophosphate (cGMP) yang merelaksasi otot
polos pada korpus kavernosum, sehingga meningkatkan aliran darah selama
39

stimulasi seksual. Sildenafil juga diduga menyebabkan inhibisi parsial


fosfodiesterase 6 pada lapisan luar fotoreseptor yang mengakibatkan penglihatan
menurun.5,6
Pomeranz dkk., melaporkan adanya hubungan sildenafil dengan NAION,
penderita dengan umur sekitar 42-49 tahun dan tiga dari lima laki-laki tanpa
faktor risiko kardiovaskuler, empat diantaranya menderita kehilangan penglihatan
akut dalam 45 menit hingga 12 jam setelah minum obat ini. Dosis sildenafil yang
dikonsumsi sekitar 50-100 mg. Satu dari penderita tersebut minum obat dengan
dosis 50 mg setiap minggu dan lapangan pandangnya memburuk selama periode
15 bulan. Gangguan penglihatan terjadi setelah konsumsi dosis pertama pada satu
pasien dan setelah dosis kedua dan ketiga pada pasien yang lain. Penurunan tajam
penglihatan sering terjadi unilateral dan kadang disertai nyeri kepala dan nyeri
intraokuler. Setelah 2-9 bulan follow-up, empat dari lima penderita mengalami
defek lapangan pandang konstriksi perifer yang permanen, dan tiga dari empat
penderita tersebut mengalami penurunan tajam penglihatan yang menetap.52,53
Gambaran struktural diskus optik pada pasien yang menkonsumsi
sildenafil dapat meningkatkan risiko berkembangnya NAION. Cup fisiologis
yang kecil dari diskus optik lebih sering ditemukan pada pasien dengan NAION
dan dipercaya bahwa kepadatan serabut saraf melalui kanal sklera yang kecil
cenderung menyebabkan kerusakan serabut saraf akibat iskemik. 5,6
Nitrit okside yang dihasilkan oleh sildenafil kemungkinan menjadi agen
toksik terhadap nervus optik dan sel ganglion retina. Sebelumnya telah diketahui
bahwa inhibisi terhadap enzim nitrit oksida sintetase dapat menurunkan jumlah
kerusakan sel ganglion retina pada hewan percobaan dengan neuropati optik
glaukomatous. Nitrit okside juga berfungsi sebagai vasodilator dan dapat
mempengaruhi autoregulasi pembuluh darah pada papil nervus optik. Perubahan
pada perfusi dari cabang arteri siliaris posterior yang menvaskularisasi papil
nervus optik telah menyebabkan terjadinya NAION. Berdasarkan teori Hayrehs
bahwa hipotensi nokturnal dapat menyebabkan iskemik pada pasien dengan cupdisc ratio (CDR) yang kecil, maka sildenafil yang juga dapat mengakibatkan

40

hipotensi nokturnal fisiologis yang cukup untuk menurunkan tekanan perfusi pada
arteri siliaris posterior.5,9
Taladafil, obat lain sejenis yang juga digunakan untuk disfungsi ereksi
spesifik dengan cara inhibisi cGMP PDE5 . Obat ini juga telah dilaporkan dapat
mengakibatkan NAION. Bollinger dan Lee, melaporkan seorang laki-laki 65
tahun dengan riwayat hiperkolesterolemi telah menkonsumsi obat ini dan
mengalami penglihatan kabur pada lapangan pandang inferior yang bersifat
sementara dalam 2 jam setelah mengkonsumsi 4 dosis taladafil. Tiga hari
kemudian dia meminum dosis kelima dan berkembang menjadi defek lapangan
pandang inferior yang permanen pada mata kanan. Pada pemeriksaan funduskopi
ditemukan adanya edema diskus optik pada mata kanan dan mempunyai rasio
cup-disk yang kecil pada mata kiri. Hilangnya lapangan pandang setelah konsumsi
obat taladafil menunjukkan bahwa PDE5 inhibitor dapat menjadi faktor risiko
berkembangnya NAION. 54
Radiasi
Neuropati optik yang diinduksi oleh radiasi merupakan suatu proses
iskemik pada nervus optik. Neuropati optik yang terjadi biasanya menunjukkan
neuropati optik iskemik posterior (retrobulber) dengan gejala hilangnya
penglihatan berat yang irreversible. Neuropati optik umumnya terjadi sekitar 18
bulan setelah radioterapi dan setelah dosis kumulatif radiasi lebih dari 50 Gy atau
single doses lebih dari 10 Gy. Ini sering terlihat sebagai komplikasi dari terapi
radiasi pada sinus paranasal dan regio basis kranii dan post operatif dari adenoma
pituitari, meningioma parasellar, glioma frontal dan temporal, kraniofaringioma,
dan tumor intraokuler. Selisih antara dosis radiasi yang aman dan tidak aman
bervariasi tergantung dari toleransi individu. Terapi sebelumnya atau kombinasi
dengan kemoterapi seperti metotrexate, ara-C, vincristine, dan kombinasi dengan
obat lain dapat meningkatkan risiko terjadinya neuropati optik akibat radiasi.
Radiasi dapat mengubah struktur seluler seperti permeabilitas blood-brain
barrier, atau granulasi arachnoid, sehingga mengubah farmakokinetik dari
distribusi dan clearance obat. Selain itu, peningkatan permeabilitas blood brain

41

barrier juga dapat mengakibatkan metotrexate dapat masuk ke SSP. Oleh karena
itu, efek toksik dari obat kemoterapi dapat memicu terjadinya efek samping dari
radiasi atau sebaliknya.5,6,18
Dosis radiasi per fraksi, dosis total, total durasi terapi, dan tipe radiasi
(proton, elektron, atau neutron) dapat mempengaruhi risiko berkembangnya
neuropati optik akibat radiasi. Ketika dosis total, ukuran fraksi, atau volume
radiasi meningkat, frekuensi komplikasi juga meningkat. Adanya penyakit
sistemik sebelumnya seperti diabetes atau gangguan endokrin yang dihasilkan dari
Cushing syndrome, atau tumor yang memproduksi hormon pertumbuhan, sebagai
faktor risiko tambahan.55,56
Neuropati optik yang diinduksi radiasi merupakan neurotoksisitas yang
mempengaruhi white matter selama beberapa bulan sampai beberapa tahun setelah
eksposur radiasi ionisasi terhadap lintasan penglihatan anterior. Ini menunjukkan
bahwa radiasi dapat menyebabkan kerusakan pada DNA jaringan normal yang
akan merangsang terbentuknya radikal bebas yang dapat merusak endotel dan sel
glia pada white matter. Jumlah sel endotel vaskuler berkurang tergantung pada
dosis dan lamanya eksposur yang dibuktikan pada eksperimen otak tikus yang
diradiasi.5,56
Gejala neuropati optik akibat radiasi umumnya berupa hilangnya
penglihatan yang bersifat akut, progresif pada satu atau kedua mata selama
beberapa minggu atau bulan. Hilangnya penglihatan biasanya bilateral dan tanpa
nyeri, dan terjadi pada tiga perempat penderita. Gangguan penglihatan umumnya
terjadi 18 bulan setelah terapi radiasi berakhir. Hilangnya penglihatan biasanya
bersifat irreversibel, tetapi kadang dapat membaik spontan pada pasien yang
dilaporkan dengan papillitis akibat radiasi. 4,5
Visus akhir pasien dengan neuropati optik radiasi umumnya 20/200.
Defek lapangan pandang menunjukkan defek altitudinal atau skotoma sentral. Jika
nervus optik bagian distal terkena, maka junctional syndrome dengan neuropati
optik dan hemianopsia temporal kontralateral dapat ditemukan. Neuropati optik
retrobular paling sering terjadipada penderita pasca radiasi. Diskus optik awalnya
tampak normal dan kemudian menjadi pucat setelah 4 sampai 6 minggu. Setelah

42

radiasi intraokuler atau orbita, kemungkinan dapat terjadi papillopati radiasi, yang
mengenai diskus optik bagian anterior. Gejalanya berupa edema papil diskus
optik dihubungkan dengan timbulnya cairan subretinal, eksudat peripapil, dan
cotton wool spots. Secara bertahap papil diskus optik akan menjadi pucat
(atrofi).4,5,6
Diagnosis neuropati optik radiasi dapat diperoleh dari gambaran klinik dan
biasanya dikonfirmasi dengan MRI. Pada neuropati optik akibat radiasi, tidak
tampak kelainan pada gambaran MRI, tetapi terkadang tampak adanya penebalan
nervus optik, kiasma, dan traktus optik pada beberapa kasus. Penebalan ini
biasanya menyembuh setelah beberapa bulan.4,5
Diagnosis banding neuropati optik radiasi yaitu tumor ganas primer
maligna, arachnoiditis, tumor parasellar yang diinduksi radiasi, secondary empty
sella syndrome dengan prolaps nervus optik dan kiasma. Biasanya diagnosis ini
dibedakan dengan neuropati optik radiasi dengan melakukan MRI otak dan
orbita.4
Tabel 4. Diagnosis banding neuropati optik radiasi.4

43

Terapi neuropati optik radiasi masih kontroversial. Pemberian


kortikosteroid dan antikoagulan memberikan hasil terapi yang minimal.
Kortikosteroid mungkin bukan terapi yang ideal karena trauma akibat radiasi tidak
mengakibatkan edema vasogenik atau inflamasi. Heparin dan warfarin cukup
efektif dalam meningkatkan aliran darah serebral pada lima dari delapan pasien
dengan radionekrosis serebral, tetapi tidak menunjukkan perbaikan visus pasien
dengan nuropati optik radiasi.57
Pada saat ini telah ditemukan bahwa terapi oksigen hiperbarik lebih efektif
dalam mengobati neuropati optik radiasi, terutama jika diberikan lebih awal
(sekitar 72 jam setelah munculnya gejala). Prinsip terapi ini yaitu mengubah
konsentrasi gradien oksigen sehingga menyebabkan terjadinya angiogenesis
kapiler. Hasil review dari Borruat dkk., dimana pasien yang menerima terapi
oksigen hiperbarik dengan tekanan 2.4 atmosfer akan memberi hasil perbaikan
visus paling baik jika dibandingkan dengan tanpa terapi dan yang menerima
terapi 2.0 atmosfer. Terapi ini sebaiknya dimulai secepat mungkin sejak onset
hilangnya penglihatan. Terapi ini terdiri atas 30 sesi, selama 90 menit setiap
sesinya sehingga pasien bernafas dengan oksigen 100 % pada tekanan minimum
2.4 atmosfer.4,5,57
5. Diagnosis Banding
Ketika seorang individu mengeluh kehilangan penglihatan bilateral yang
tajam penglihatannya tidak dapat dikoreksi dengan kacamata sedangkan
pemeriksaan lainnya dalam batas normal, maka ada beberapa kemungkinan
diagnostik termasuk neuropati optik. Makulopati dapat dipikirkan sebagai salah
satu diagnosis banding, dimana pada pemeriksaan funduskopi menunjukkan
abnormalitas pada segmen posterior.1,3
Penyakit lain yang dapat menjadi kemungkinan adalah kehilangan
penglihatan anorganik. Adanya atrofi optik merupakan tanda penting ketika
hilangnya penglihatan bersifat permanen. Pada fase akut, defek lapangan pandang
pada neuropati optik toksik bersifat khas yaitu sentral atau cecosentral. Defek
seperti ini tidak terdapat pada hilangnya penglihatan anorganik, dimana pada

44

penderita ini defek lapangan pandang biasanya konstriksi dan menunjukkan


konfigurasi spiral atau tubular.
Neuropati optik yang lain yang sangat mirip dan sering dikaitkan dengan
neuropati optik toksik adalah neuropati optik nutrisional. Neuropati optik
nutrisional dapat didefinisikan sebagai gangguan penglihatan akibat kerusakan
nervus optik yang disebabkan oleh adanya defisiensi nutrisi. Gambaran klinis dan
gejala neuropati umumnya sama dengan neuropati optik toksik. 3,6,9
Neuropati optik nutrisional terjadi utamanya berhubungan dengan adanya
defisiensi vitamin. Defisiensi tiamin (vitamin B1), sianokobalamin (vitamin B12),
piridoksin (vitamin B6), niacin (vitamin B3), riboflavin (vitamin B2), dan atau
asam folat telah dibuktikan dapat mengakibatkan terjadinya neuropati optik.
Gejala klinik dan patofisiologi dasar terjadinya penyakit hampir sama dengan
neuropati optik toksik. Umumnya neuropati optik nutrisional bermanifestasi
sebagai neuropati optik retrobulber non-spesifik. Saat ini, terapi yang dianjurkan
terbatas pada pemberian intensif vitamin dosis tinggi dengan hasil bervariasi pada
setiap kasus. 3,18
Neuropati optik mitokondria dapatan (inherited), Lebers hereditary optic
neuropathy (LHON) dan atrofi optik dominan (Kjers) merupakan neuropati optik
non-sindrom yang disebabkan oleh adanya kelainan pada mitokondria. Pada
LHON atau atrofi optik Leber terjadi degenerasi mitokondria sel-sel ganglion
retina dan akson-aksonnya yang diwariskan (dari ibu) yang mengakibatkan
hilangnya penglihatan sentral akut atau subakut. Penyakit ini biasanya mengenai
laki-laki dewasa muda. Kelainan ini tidak tergolong neuropati optik toksik, tetapi
dapat diinduksi kejadiannya oleh adanya perubahan lingkungan. Pada LHON,
onset hilangnya penglihatan bersifat akut dan jarang simetris. Pemeriksaan
genetik dibutuhkan pada beberapa kasus. 3,9,18

45

gambar 17. Leber optic neuropathy .18

Adanya lesi kompresif atau infiltratif pada kiasma optik dapat menjadi salah
satu diagnosis banding untuk penyakit neuropati optik toksik. Oleh karena itu,
harus selalu dilakukan pemeriksaan neuroimaging untuk menyingkirkan kausa ini.
Defek lapangan pandang cecosentral dan bitemporal pada penyakit kiasma optik
mirip satu sama lain dan ada banyak penyebab skotoma sentral dan cecosentral
bilateral yang berasal dari tumor. 3,5,9,18
Neuritis optik akibat demielinasi, inflamasi, atau infeksi dapat terjadi
simultan pada kedua mata, dan kadang membingungkan dengan neuropati optik
toksik. Defek lapangan pandang keduanya mirip, tetapi pada neuritis optik
biasanya disertai nyeri dan atau edema diskus optik lebih dari 90 % penderita.
Untuk memastikan biasanya dilakukan pemeriksaan cairan serebrospinal dan
pemeriksaan laboratorium khusus untuk memastikan adanya infeksi sistemik dan
inflamasi.6,9
Pada umumnya, analisis gejala dan tanda penyakit dimulai dari detail
anamnesis dan pemeriksaan fisik hingga pemeriksaan penunjang akan
menentukan diagnosis neuritis optik toksik. Sangat bijaksana jika kita
menganjurkan untuk melakukan pemeriksaan neuroimaging kecuali diagnosis
yang dibuat sudah pasti. MRI dengan kontras dan dikhususkan pada nervus optik
dan kiasma optik merupakan pemeriksaan optimal pada banyak kasus.
Pemeriksaan laboratorium mengenai level vitamin B12 dan folat dapat dipikirkan
jika neuropati optik toksik dianggap berhubungan juga dengan adanya defisiensi
nutrisi. Selain itu, ketika suatu intoksikasi spesifik disuspek, maka harus dicoba

46

untuk mengidentifikasi toksin atau metabolit pada cairan (darah atau urine) atau
jaringan penderita. 5,6,21
Tabel 5. Diagnosis banding neuropati optik toksik. 21

6. Prognosis
Langkah pertama dalam terapi neuropati optik adalah menghentikan
penggunaan agen toksik yang dicurigai sebagai penyebab. Terapi neuropati
optik toksik tergantung pada agen toksik yang menyebabkan neuropati optik
toksik tersebut. Terapi medis termasuk suplemen multivitamin yang dibutuhkan

47

pada neuropati toksik khususnya dengan ambliopia akibat alkoholtembakau.5,6,21


Penderita dengan neuropati optik toksik harus diobservasi setiap 4-6
minggu, dan selanjutnya tergantung pada proses penyembuhannya, umumnya
setiap 6-12 bulan. Tajam penglihatan, pupil, nervus optik, penglihatan warna,
dan lapangan pandang harus dinilai pada setiap kunjungan. Penglihatan akan
membaik secara bertahap lebih dari beberapa minggu, pemulihan penuh
membutuhkan waktu beberapa bulan dan selalu ada risiko defisit penglihatan
yang permanen. Tajam penglihatan biasanya membaik mendahului penglihatan
warna, berkebalikan dengan onset proses penyakit, dimana penglihatan warna
biasanya lebih dahulu memburuk dibanding tajam penglihatan.4,5,6
Kejadian morbiditas penyakit tergantung pada faktor risiko, etiologi
penyebab, dan lamanya gejala muncul sebelum mendapat terapi. Penderita
dengan atrofi optik yang berat akan mengalami kesulitan dalam perbaikan
fungsi visual dibandingkan dengan penderita yang tidak mempunyai perubahan
patologis. Prognosisnya bervariasi tergantung pada agen toksik, total eksposur
sebelum terapi, dan derajat beratnya hilangnya penglihatan pada saat diagnosis
penyakit atau sebelum mendapat terapi awal. 3,9,18

48

BAB III
KESIMPULAN

Neuropati optik toksik merupakan sindrom yang ditandai oleh kerusakan


papillomakular bundle, defek penglihatan skotoma sentral atau cecosentral dan
defisit pada penglihatan warna akibat kerusakan nervus optik yang disebabkan
oleh toksin. Insiden penyakit ini bisa terjadi pada semua ras, jenis kelamin, dan
semua umur. Angka morbiditasnya tergantung pada faktor risiko, etiologi, dan
lamanya gejala sebelum dilakukan terapi.
Mekanisme terjadi kerusakan nervus optik pada neuropati optik toksik
diduga karena adanya kegagalan aliran aksoplasmik oleh adanya gangguan pada
pembentukan energi, atau adanya hipoksia atau kompressi yang disebabkan oleh
toksin, sehingga menyebabkan terjadinya disfungsi nervus optik. Selain di nervus
optik, lesi primer bisa saja ditemukan pada retina, kiasma atau bahkan di traktus
optik.
Sebelum menentukan diagnosa neuropati optik toksik, terlebih dahulu kita
melakukan anamnesis, pemeriksaan fisis yang meliputi evaluasi sistemik dan
pemeriksaan okuler, serta pemeriksaan penunjang. Anamnesis mengarahkan kita
untuk menentukan kemungkinan toksin penyebab dari neuropati. Selanjutnya
dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk menilai kadar toksin dalam
darah atau urine sebagai dasar diagnosa pasti etiologineuropati optik toksik.
Etiologi yang paling sering menyebabkan neuropati optik toksik, yaitu
tembakau, alkohol (etanol), matanol, etilen glikol, obat-obatan seperti etambutol,
isoniazid, amiodarone, kloramfenikol, linezolid, interferon alfa, infliksimab,
klomifen sitrat, tomoksifen, sildenafil serta radiasi. Umumnya penurunan tajam
penglihatan bersifat reversibel setelah agen toksik segera dihentikan, walaupun
sebagian diantaranya dapat bersifat permanen.
Neuropati optik toksik didiagnosis banding dengan neuropati optik
lainnya, seperti neuropati optik nutrisional, neuropati optik mitokondria, neuropati

49

optik karena demielinasi, inflamasi, infeksi, atau oleh karena adanya kompresi
atau infiltrasi. Semua diagnosis banding tersebut dapat disingkirkan dengan
menilai gejala dan tanda dari penderita serta melakukan berbagai pemeriksaan
yang menunjang diagnosis.

50

DAFTAR PUSTAKA

1. Zafar A. Toxic/nutritional optic neuropathy, department of


ophthalmology : 2008 . available from : www.emedicine.com , acessed
09/04/201.
2. Sharma P. Toxic optic neuropathy, Indian journal ophthalmology . vol. 59 .
2011 : 137-141.
3. Chan JW. Nutritional adn toxic optic neuropathies in Optic nerve
disorders. 1st ed.. Springer. New york ; 2007: 150-164.
4. Miller RN, Biousse V, Newman JN, Kerrison BJ. Toxic and deficiency
optic neuropathies in Walsh and Hoyts Clinical neuroophthalmology: the
essential.2nd ed. Lippincott Wiliiam and wilkins. Philadelpia ; 2008 : 202210.
5. Park,S., Siegelman., The Anatomy and Cell Biology of The Human Retina
in Duanes Clinical Ophthalmology, on CD ROM, Lippincott and William
Wilkins.
6. Newman SA, Arnold AC, Friedman DI, Kline LB, Rizzo III JF. BCSC :
Neuro-opthalmology. Section 5. San Francisco, USA : AAO, 2008-2009;
23-28.
7. Toxic/nutritional optic neuropathy in handbook of ocular disease
management. Available from http://cms.revoptom.com. Diakses
20/08/2016.
8. Menon V. Jain D. Saxena R. Sood R. Prospective evaluation of visual
function for early detection of ethambutol toxicity. Br J ophthalmol. 2009 ;
93: 1251-4.
9. Gustianty E. Prahasta A. What are we measuring in RNFL & ONH scans ?
power point. Ophthalmology dept. Padjadjaran university. 2010.
10. Eva PR., Whitcher JP. : ophthalmologic examination in Vaughan &
Asburys general ophthalmology, 17th ed. Mc Graw hill-Lange co., New
York, 2007.
11. Kee C, Hwang JM. Optical coherence tomography in a patient with
tobacco-alcohol amblyopia.Eye (Lond) 2008;22:46970.

51

12. Chai SJ, Foroozan R. Decreased retinal nerve fibre layer thickness
detected by optical coherence tomography in patients with ethambutolinduced optic neuropathy. Br J Ophthalmol. 2007;91:8957.
13. Grace EM. Lee AG. Ethambutol toxicity & optic neuropathy ; 60 years old
female with bilateral painless central vision loss. Eyerounds.org. 2007.
14. Behbehani R. Clinical approach to optic neuropathies. Clin
Ophthalmol. 2007;1:23346.

52

Anda mungkin juga menyukai