Anda di halaman 1dari 6

STRATEGI UMUM AUDIT PENGADAAN BARANG/JASA BAGI APIP

Oleh: Nirwan Ristiyanto*)


Abstrak
Belakangan ini semakin banyak kasus korupsi terungkap di Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), kepolisian, dan kejaksaan. Kasus-kasus tersebut cenderung berlatar
belakang penggelembungan harga pengadaan barang/jasa (PBJ). Namun, APIP yang
secara terjadwal melakukan audit atas instansi di lingkungan institusinya hampir belum
mampu mengungkap adanya kasus korupsi yang modusnya seperti itu. Mengapa APIP
belum mampu mengungkap kasus-kasus tersebut? Penulis mencoba memberikan saran
solusi untuk meningkatkan kinerja APIP sebagai sumbangsih untuk dapat
dipertimbangkan dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya.

Pendahuluan
Belakangan ini semakin banyak kasus korupsi terungkap di Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), kepolisian, dan kejaksaan. Kasus-kasus tersebut cenderung berlatar belakang
penggelembungan harga pengadaan barang/jasa (PBJ). Ratusan kepala daerah, baik daerah
tingkat provinsi, kabupaten, maupun kota terkena kasus korupsi. Pihak yang terlibat juga sangat
bervariasi, mulai dari aparat intern kementerian, lembaga, kalangan legislatif, dan bahkan
kalangan yudikatif.
Namun sangat sedikit terungkapnya kasus korupsi yang informasi awalnya berasal dari
lembaga pengawasan intern pemerintah atau APIP (aparat pengawasan intern pemerintah).
Sering kita saksikan, terungkapnya kasus-kasus tersebut berawal dari tertangkap tangan para
pelaku pada saat melakukan transaksi suap-menyuap. Setelah didalami, terungkap bahwa suapmenyuap dilatarbelakangi oleh adanya proyek pemerintah, yakni adanya pengadaan barang/jasa.

Permasalahan
Untuk keperluan pengawasan, di setiap kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah
telah dibentuk APIP. Tujuan utama dibentuknya APIP, sebagaimana diatur dalam pasal 4 huruf g
Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah
adalah untuk: (1) memberikan keyakinan yang memadai atas ketaatan, kehematan, efisiensi, dan
efektivitas pencapaian tujuan penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah;
(2) memberikan peringatan dini dan meningkatkan efektivitas manajemen risiko dalam
1

penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah; dan (3) memelihara dan meningkatkan
kualitas tata kelola penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah.
Untuk tujuan pertama tersebut, yakni untuk memeroleh keyakinan yang memadai atas
ketaatan, kehematan, efisiensi, dan efektivitas pencapaian tujuan penyelenggaraan tugas dan
fungsi instansi pemerintah, APIP selalu melakukan audit. Namun, permasalahannya mengapa
hasil audit APIP belum mampu mengungkap kasus yamg bermuara pada peradilan? Padahal
dengan adanya korupsi, jelas unsur kehematan, efisiensi, dan efektivitas pencapaian tujuan
pemerintahan tidak atau belum tercapai. Bukankah di instansi-instansi yang terungkap adanya
korupsi setiap tahunnya diaudit oleh APIP yang bersangkutan?

Modus Korupsi dalam Pengadaan Barang/Jasa


Modus yang umum dilaksanakan dalam pengadaan barang/jasa dewasa ini adalah
penggelembungan harga. Dari segi pencairan keuangan negara/daerah, modus ini memang
sangat memungkinkan dan lebih aman bagi pelakunya. Untuk pengadaan barang/jasa bagi
instansi pemerintah, pembayaran kepada penyedia barang dilakukan secara LS (langsung),
yakni dari kas negara/daerah ditransfer langsung ke rekening penyedia barang/jasa. Dengan
demikian maka status uang tersebut telah menjadi milik perusahaan yang secara akuntansi
dilindungi rahasianya. APIP tidak lagi mengaudit uang yang telah berada pada penyedia barang.
Penggunaan uang sepenuhnya menjadi kewenangan perusahaan penyedia barang sebagai
pemiliknya.
Karena penyedia barang telah memiliki kewenangan penuh terhadap uang hasil
pembayaran proyek pemerintah, maka perusahaan berhak untuk menggunakan uang sesuai
keinginannya. Termasuk jika uang tersebut digunakan untuk memberikan suap kepada pihakpihak yang dinilai berjasa dalam pemenangan pelelangan. Pengeluaran uang untuk suap seperti
ini pun secara bisnis dianggap wajar, sebagai biaya pemasaran.
Pada awalnya, kewenangan perusahaan untuk menggunakan uang hasil proyek untuk
memberi kepada pihak terkait ini hanya dianggap sebagai uang terima kasih. Namun
belakangan pemberian tersebut dijadikan modus untuk bisa membagi-bagi uang negara kepada
pihak-pihak terkait yang tidak bertanggung jawab. Untuk dapat membagi-bagi uang secara tidak
bertanggung jawab ini maka harga proyek dimahalkan. Semakin banyak pihak yang terkait
dengan pengadaan barang dan semakin agresif pihak-pihak terkait, akan semakin besar pula
harga yang harus ditanggung oleh negara/daerah. Modus tersebut bahkan semakin menjadi
2

trend. Inisiatif penggelembungan harga tidak hanya berasal dari oknum calon penyedia barang,
melainkan dapat berkolusi antara oknum pengusaha dan oknum penguasa proyek.

Menghabiskan Anggaran
Penggelembungan harga dilakukan dengan meninggikan harga proyek hingga dapat
menyerap hampir seluruh anggaran yang tersedia. Karena anggaran proyek umumnya relatif
longgar, maka dengan menghabiskan anggaran berarti selisihnya dapatdimanfaatkan bersama.
Tentang penggelembungan harga dibandingkan dengan anggaran yang tersedia, terdapat dua
kemungkinan yang terjadi. Pertama, anggaran yang relatif sudah tinggi. Untuk ini kualitas
barang/jasa yang dibeli relatif standar sesuai dengan keinginan pengguna barang.
Penggelembungan harga seperti ini dimaksudkan untuk menghabiskan anggaran. Kedua,
anggaran yang tersedia relatif rendah atau pas-pasan. Dalam kindisi seperti ini
penggelembungan harga masih dapat dilakukan dengan menetapkan kualitas/spesifikasi barang
yang lebih rendah. Jadi sama saja, apakah anggaran yang terlalu longgar atau pas-pasan, jika
diniatkan, kolusi antara oknum pengusaha dengan oknum penguasa proyek masih dapat
menggelembungkan harga.

Kegagalan Audit APIP


Penyebab mengapa APIP yang secara rutin melakukan audit tetapi kurang dapat
mengungkap terjadinya penggelembungan harga, antara lain karena lingkup audit yang terlalu
luas. Umumnya penugasan audit dilakukan untuk satu objek audit secara lengkap yang meliputi
seluruh anggaran yang dimiliki auditi. Anggaran tersebut meliputi anggaran pendapatan,
anggaran belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, dan belanja lain yang ada. Dalam satu
obyek audit, sangat mungkin terdapat banyak kontrak pengadaan barang/jasa yang dananya
berasal dari belanja barang dan belanja modal.
Dengan waktu audit yang terbatas, maka auditor tidak dapat melakukan audit secara
mendalam. Apalagi jika audit terhadap kontrak pengadaan barang/jasa hanya difokuskan pada
prosedur pelelangan, maka dapat dipastikan auditor tidak akan memiliki waktu untuk mengecek
kewajaran harga kontrak yang daudit. Di sinilah APIP tidak dapat mengungkapkan adanya
penggelembungan harga. Dalam hal audit terhadap pengadaan barang/jasa hanya difokuskan
pada kesesuaian harga, hasilnya dapat dipastikan akan menyimpulkan bahwa pengadaan telah
sesuai dengan Perpres yang bersangkutan. Bukankah para pihak yang terkait dengan
3

penggelembungan harga juga selalu menjaga agar secara formal pengadaan barang/jasa sesuai
Perpres?

Perlu Strategi Audit


Untuk dapat memeroleh keyakinan yang memadai atas ketaatan, kehematan, efisiensi,
dan efektivitas auditi yang berarti APIP yakin bahwa auditi tidak melakukan penggelembungan
harga, APIP hendaknya melakukan dua strategi. Pertama strategi yang sifatnya umum, yakni
yang bersifat makro. Strategi ini dilakukan oleh manajemen APIP dalam perencanaan audit.
Untuk ini APIP mengalokasikan waktu dan auditor secara khusus/serentak untuk mengecek
kewajaran harga. Alokasi waktu dan auditor ini ditunagkan dalam Program Kerja Pemeriksaan
Tahunan (PKPT). Sebelum melakukan penugasan yang serentak ini, APIP terlebih dahulu
membentuk satu tim audit untuk melakukan survei pendahuluan. Survei dimaksudkan untuk
mengidentifikasi satuan kerja mana yang melakukan pengadaan barang/jasa, barang/jasa apa
yang dibeli, berapa nilainya, siapa PPK (pejabat pembuat komitmen)-nya, dan sebagainya.
Hasil survei pendahuluan dijadikan acuan bagi APIP untuk membuat perencanaan audit,
penugasan tim, alokasi waktu, dan kalkulasi biaya audit. Sasaran audit kewajaran harga ini
adalah khusus melakukan pengecekan harga pasar dan membandingkannya dengan harga yang
tercantum dalam kontrak. Dengan demikian auditor hanya akan melaporkan seberapa tinggi
harga kontrak pengadaan barang/jasa dibandingkan dengan harga wajarnya.
Kedua, strategi audit investigasi atas kontrak-kontrak pengadaan barang/jasa yang
harganya dinilai terlalu tinggi atau tidak wajar. Terhadap laporan hasil audit yang
mengindikasikan harga yang tidak wajar, APIP menugaskan kepada tim audit untuk mengecek
apakah tingginya harga tersebut terdapat indikasi kesengajaan dan atau kolusi yang memenuhi
unsur-unsur tindak pidana korupsi. Uraian lebih lanjut tentang audit investigasi terhadap
ketidakwajaran harga akan dikemukakan pada tulisan lain.

Prosedur Audit Kewajaran Harga


Prosedur audit merupakan langkah yang harus dilakukan oleh auditor untuk memeroleh
bukti guna menyimpulkan apakah kegiatan telah atau tidak dilaksanakan sesuai dengan tolok
ukur yang telah ditetapkan. Untuk menilai kewajaran harga, auditor harus membandingkan
barang/jasa yang sama, antara harga yang tercantum di dalam kontrak pengadaan dengan harga

wajar menurut pasaran umum. Harga pasaran umum dapat diidentifikasi dengan melakukan
survei harga. Survei harga dapat dilakukan sebagaimana penyusunan harga perkiraan sendiri
(HPS) yang diatur dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2010.
Pasal 66 (7) Perpres Nomor 54 Tahun 2010 menyebutkan bahwa penyusunan HPS
didasarkan pada data harga pasar setempat yang diperoleh berdasarkan hasil survei dengan
mempertimbangkan informasi yang meliputi: (a) informasi biaya satuan yang dipublikasikan
secara resmi oleh Badan Pusat Statistik (BPS); (b) informasi biaya satuan yang dipublikasikan
secara resmi oleh asosiasi terkait dan sumber data lain yang dapat dipertanggungjawabkan;
(c) daftar biaya/tarif Barang/Jasa yang dikeluarkan oleh pabrikan/distributor tunggal; (d) biaya
kontrak sebelumnya atau yang sedang berjalan dengan mempertimbangkan faktor perubahan
biaya; (e) inflasi tahun sebelumnya, suku bunga berjalan dan/atau kurs tengah Bank Indonesia;
(f) hasil perbandingan dengan kontrak sejenis, baik yang dilakukan dengan instansi lain maupun
pihak lain; (g) perkiraan perhitungan biaya yang dilakukan oleh konsultan perencana
(engineers estimate); (h) norma indeks; dan/atau (i) informasi lain yang dapat
dipertanggungjawabkan.

Pasal

66

(8)

menyebutkan

bahwa

HPS

disusun

dengan

memerhitungkan keuntungan dan biaya overhead yang dianggap wajar.


Dalam survei harga, auditor juga harus memertimbangkan unsur-unsur harga kontrak
yang harus dipenuhi oleh penyedia barang/jasa. Unsur-unsur tersebut harus dimasukkan ke
dalam unsur harga pada waktu melakukan survei agar harga menurut hasil survei memang layak
untuk diadu dengan harga kontrak. Misalnya unsur lokasi penyerahan barang/jasa, pajak
pertambahan nilai (PPN), dan sebagainya. Jika dalam kontrak menyebutkan bahwa barang harus
diterima di lokasi proyek, maka auditor yang melakukan survei di toko harus memertimbangkan
apakah pihak toko telah memasukkan harga pengiriman sampai ke lokasi proyek. Jika toko
belum memasukkan biaya pengiriman, maka auditor harus memasukkan biaya pengiriman ke
dalam harga barang yang disurvei. Demikian juga unsur PPN harus diyakinkan apakah hasil
survei di toko sudah termasuk unsur PPN yang akan dipotong oleh bendaharawan instansi
pemerintah.
Indikasi adanya kemahalan harga kontrak yang diketahui dari hasil audit kewajaran
harga belum dapat dinyatakan sebagai dugaan kerugian negara/daerah. Hasil audit tersebut baru
bernilai bagi manajemen APIP untuk menentukan perlu atau tidaknya audit lanjutannya, yakni
audit investigatif. Jika hasil audit investigatif menyimpulkan bahwa kemahalan harga ternyata
disebabkan oleh adanya unsur melawan hukum, maka selisihnya baru dapat diduga sebagai
kerugian negara/daerah.
5

Buat Daftar Peringkat Kemahalan Harga


Dari hasil audit kewajaran harga, di mana dalam laporan hasil audit disebutkan
persentase seberapa tinggi tingkat harga kontrak dibandingkan dengan harga wajar atau harga
pasaran setempat, maka APIP dapat membuat daftar peringkat kemahalan harga kontrak. Atas
dasar daftar peringkat tersebut, APIP dapat mengambil kebijakan, kontrak-kontrak mana yang
harus ditindaklanjuti dengan audit investigatif. Urutan dari yang tertinggi atas ketidakwajaran
harga kontrak pada dasarnya merupakan urutan risiko yang dihadapi Pengguna Anggaran (PA)
atau Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Karena APIP adalah Instansi Pemerintah yang
mempunyai tugas pokok dan fungsi melakukan pengawasan yang sifatnya membantu
manajemen, maka APIP harus menindaklanjuti hasil audit kewajaran harga tersebut.

Referensi:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah
2. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah

Ciawi, 4 Juni 2013

*) Nirwan Ristiyanto, Widyaiswara Utama Pusdiklatwas BPKP

Anda mungkin juga menyukai