Pendahuluan
Belakangan ini semakin banyak kasus korupsi terungkap di Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), kepolisian, dan kejaksaan. Kasus-kasus tersebut cenderung berlatar belakang
penggelembungan harga pengadaan barang/jasa (PBJ). Ratusan kepala daerah, baik daerah
tingkat provinsi, kabupaten, maupun kota terkena kasus korupsi. Pihak yang terlibat juga sangat
bervariasi, mulai dari aparat intern kementerian, lembaga, kalangan legislatif, dan bahkan
kalangan yudikatif.
Namun sangat sedikit terungkapnya kasus korupsi yang informasi awalnya berasal dari
lembaga pengawasan intern pemerintah atau APIP (aparat pengawasan intern pemerintah).
Sering kita saksikan, terungkapnya kasus-kasus tersebut berawal dari tertangkap tangan para
pelaku pada saat melakukan transaksi suap-menyuap. Setelah didalami, terungkap bahwa suapmenyuap dilatarbelakangi oleh adanya proyek pemerintah, yakni adanya pengadaan barang/jasa.
Permasalahan
Untuk keperluan pengawasan, di setiap kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah
telah dibentuk APIP. Tujuan utama dibentuknya APIP, sebagaimana diatur dalam pasal 4 huruf g
Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah
adalah untuk: (1) memberikan keyakinan yang memadai atas ketaatan, kehematan, efisiensi, dan
efektivitas pencapaian tujuan penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah;
(2) memberikan peringatan dini dan meningkatkan efektivitas manajemen risiko dalam
1
penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah; dan (3) memelihara dan meningkatkan
kualitas tata kelola penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah.
Untuk tujuan pertama tersebut, yakni untuk memeroleh keyakinan yang memadai atas
ketaatan, kehematan, efisiensi, dan efektivitas pencapaian tujuan penyelenggaraan tugas dan
fungsi instansi pemerintah, APIP selalu melakukan audit. Namun, permasalahannya mengapa
hasil audit APIP belum mampu mengungkap kasus yamg bermuara pada peradilan? Padahal
dengan adanya korupsi, jelas unsur kehematan, efisiensi, dan efektivitas pencapaian tujuan
pemerintahan tidak atau belum tercapai. Bukankah di instansi-instansi yang terungkap adanya
korupsi setiap tahunnya diaudit oleh APIP yang bersangkutan?
trend. Inisiatif penggelembungan harga tidak hanya berasal dari oknum calon penyedia barang,
melainkan dapat berkolusi antara oknum pengusaha dan oknum penguasa proyek.
Menghabiskan Anggaran
Penggelembungan harga dilakukan dengan meninggikan harga proyek hingga dapat
menyerap hampir seluruh anggaran yang tersedia. Karena anggaran proyek umumnya relatif
longgar, maka dengan menghabiskan anggaran berarti selisihnya dapatdimanfaatkan bersama.
Tentang penggelembungan harga dibandingkan dengan anggaran yang tersedia, terdapat dua
kemungkinan yang terjadi. Pertama, anggaran yang relatif sudah tinggi. Untuk ini kualitas
barang/jasa yang dibeli relatif standar sesuai dengan keinginan pengguna barang.
Penggelembungan harga seperti ini dimaksudkan untuk menghabiskan anggaran. Kedua,
anggaran yang tersedia relatif rendah atau pas-pasan. Dalam kindisi seperti ini
penggelembungan harga masih dapat dilakukan dengan menetapkan kualitas/spesifikasi barang
yang lebih rendah. Jadi sama saja, apakah anggaran yang terlalu longgar atau pas-pasan, jika
diniatkan, kolusi antara oknum pengusaha dengan oknum penguasa proyek masih dapat
menggelembungkan harga.
penggelembungan harga juga selalu menjaga agar secara formal pengadaan barang/jasa sesuai
Perpres?
wajar menurut pasaran umum. Harga pasaran umum dapat diidentifikasi dengan melakukan
survei harga. Survei harga dapat dilakukan sebagaimana penyusunan harga perkiraan sendiri
(HPS) yang diatur dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2010.
Pasal 66 (7) Perpres Nomor 54 Tahun 2010 menyebutkan bahwa penyusunan HPS
didasarkan pada data harga pasar setempat yang diperoleh berdasarkan hasil survei dengan
mempertimbangkan informasi yang meliputi: (a) informasi biaya satuan yang dipublikasikan
secara resmi oleh Badan Pusat Statistik (BPS); (b) informasi biaya satuan yang dipublikasikan
secara resmi oleh asosiasi terkait dan sumber data lain yang dapat dipertanggungjawabkan;
(c) daftar biaya/tarif Barang/Jasa yang dikeluarkan oleh pabrikan/distributor tunggal; (d) biaya
kontrak sebelumnya atau yang sedang berjalan dengan mempertimbangkan faktor perubahan
biaya; (e) inflasi tahun sebelumnya, suku bunga berjalan dan/atau kurs tengah Bank Indonesia;
(f) hasil perbandingan dengan kontrak sejenis, baik yang dilakukan dengan instansi lain maupun
pihak lain; (g) perkiraan perhitungan biaya yang dilakukan oleh konsultan perencana
(engineers estimate); (h) norma indeks; dan/atau (i) informasi lain yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Pasal
66
(8)
menyebutkan
bahwa
HPS
disusun
dengan
Referensi:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah
2. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah