Anda di halaman 1dari 9

PRAKTIK AUDIT FORENSIK PADA PROYEK PEMBANGUNAN FISIK

PAPER

AIRIN NOVI ARYATI


B 200 120 347
D

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016
LATAR BELAKANG
Kecurangan yang terjadi di sektor pemerintahan sudah mencapai tingkat yang
memprihatinkan. Berita tentang kasus-kasus fraud yang melibatkan oknum-oknum yang tidak
bertanggung jawab, baik dijajaran lembaga legislatif, eksekutif bahkan yudikatif. Berbagai
usaha telah dilakukan Pemerintah Indonesia baik dengan memberdayakan secara maksimal
lembaga-lembaga penegak hukum, seperti Kejaksaan, Pengadilan, dan Kepolisian.
Pemerintah juga telah membentuk dan memberdayakan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) untuk melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Audit harus dilakukan untuk mendeteksi kecurangan. Kecurangan yang tidak dapat
terdeteksi oleh suatu pengauditan dapat memberikan efek yang merugikan dan cacat bagi
proses pelaporan keuangan. Kecurangan berakibat serius dan membawa dampak kerugian
karena menyangkut citra akuntan publik terutama auditornya. Kecurangan yang dilakukan
oknum-oknum pemerintah sulit terdeteksi karena pelaku merupakan orang-orang yang
dipercaya untuk menjalankan suatu proyek. Auditor laporan keuangan harus mempunyai
keahlian untuk mendeteksi kecurangan sedangkan untuk pengungkapannya diserahkan pada
auditor forensik yang lebih berwenang. Audit forensik akan menggunakan suatu aplikasi
audit lain selain audit biasa yang digunakan para auditor laporan keuangan untuk
mengungkapkan kecurangan.
Di Indonesia kasus akuntansi forensik di sektor publik lebih menonjol dibandingkan di
sektor privat. Kasus yang berhubungan dengan akuntansi forensik akan berurusan dengan
kerugian, baik di sektor publik maupun di sektor privat. Di sektor publik tindakan melawan
hukum atau kecurangan tersebut menimbulkan kerugian bagi negara dan keuangan negara. Di
sektor privat, tindakan melanggar hukum atau kecurangan menimbulkan kerugian karena
terjadi cidera janji dalam suatu perikatan. Kasus-kasus yang berhubungan dengan

kecurangan/tindakan melawan hukum adalah korupsi, asset misappropriation, dan


kecurangan laporan keuangan (fraudulent financial statement).
Peran audit forensik dalam mengungkapkan kecurangan di Indonesia dari waktu ke
waktu semakin terus meningkat. Jumansyah dkk (2011), Akuntansi Forensik dapat membantu
para penegak hukum untuk melakukan perhitungan dan pengungkapan kos kecurangan,
meskipun di Indonesia masih terdapat banyak kendala, karena kecurangan seringkali
dilakukan secara bersama-sama (berjamaah) sehingga sulit untuk memulai darimana akan
diungkap. Akuntansi forensik dapat mendeteksi penyebab terjadinya kecurangan. Audit
forensik banyak diterapkan ketika Komisi Pemberantasan Korupsi mengumpulkan buktibukti hukum yang diperlukan untuk menangani kasus-kasus korupsi yang dilaporkan kepada
instansi tersebut. Audit forensik juga digunakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),
Kepolisian, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta Inspektorat
Jenderal Kementrian untuk menggali informasi selama proses pelaksanaan audit kecurangan
(fraud audit) atau audit investigasi. Paper ini akan memaparkan salah satu contoh praktik
audit forensik pada proyek pembangunan fisik di Hambalang, Sentul, Bogor, Jawa Barat.
a.

b.

c.

TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Audit Forensik
Audit forensik terdiri dari dua kata yaitu audit dan forensik. Audit adalah tindakan
untuk membandingkan kesesuaian antara kondisi dan kriteria. Sementara forensik adalah
segala hal yang bisa diperdebatkan di muka hukum/pengadilan. Dengan demikian, audit
forensik bisa didefinisikan sebagai tindakan menganalisa dan membandingkan antara kondisi
di lapangan dengan kriteria, untuk menghasilkan informasi atau bukti kuantitatif yang bisa
digunakan di muka pengadilan.
Menurut Charteji (2009), audit forensik (forensic auditing) dapat didefinisikan
sebagai aplikasi keahlian mengaudit atas suatu keadaan yang memiliki konsekuensi hukum.
Audit forensik umumnya digunakan untuk melakukan pekerjaan investigasi secara luas.
Pekerjaan tersebut meliputi suatu investigasi atas urusan keuangan suatu entitas dan sering
dihubungkan dengan investigasi terhadap tindak kecurangan (fraud), oleh karena itu audit
forensik sering juga diartikan sebagai audit investigasi. Di indonesia lembaga yang berhak
untuk melakukan audit forensik adalah auditor BPK, BPKP, dan KPK yang memiliki
sertifikat Certified Fraud Examiners (CFE).
Tugas Auditor Forensik
Auditor forensik bertugas memberikan pendapat hukum dalam pengadilan (litigation).
Disamping tugas auditor forensik untuk memberikan pendapat hukum dalam pengadilan
(litigation), ada juga peran auditor forensik dalam bidang hukum di luar pengadilan (non
pengadilan), misalnya dalam membantu merumuskan alternatif penyelesaian perkara dalam
sengketa, perumusan perhitungan ganti rugi dan upaya menghitung dampak pemutusan /
pelanggaran kontrak.
Audit forensik dibagi ke dalam dua bagian : jasa penyelidikan (investigative services)
dan jasa litigasi (litigation services). Jenis layanan pertama mengarahkan pemeriksa penipuan
atau auditor penipuan, yang mana mereka menguasai pengetahuan tentang akuntansi
mendeteksi, mencegah dan mengendalikan penipuan. Jenis layanan kedua mempresentasikan
kesaksian dari seorang pemeriksa penipuan dan jasa-jasa audit forensik yang ditawarkan
untuk memecahkan isu-isu valuasi, seperti yang dialami dalam kasus perceraian. Tim audit
harus menjalani pelatihan dan diberitahu tentang pentingnya prosedur audit forensik di dalam
praktek audit dan kebutuhan akan adanya spesialis forensik untuk membantu memecahkan
masalah.
Profesi Akuntan Forensik

1.
2.
3.
4.
5.
6.

d.

e.

Akuntan Forensik Akuntan forensik digunakan di sektor publik maupun privat, akan
tetapi penggunaan akuntan forensik di sektor publik lebih menonjol dibandingkan di sektor
privat. Hal tersebut disebabkan karena penyelesaian sengketa di sektor privat cenderung
diselesaikan di luar pengadilan. Akuntan forensik memiliki ciri-ciri yang sama dengan
akuntan dan auditor, yaitu harus tunduk pada kode etik profesinya. Sikap independen,
objektif dan skeptis juga harus dimiliki oleh akuntan forensik (Howard, 2007).
Tuanokota (2005) kualitas yang harus dimiliki oleh akuntan forensik adalah :
Kreatif : kemampuan untuk melihat sesuatu yang orang lain menganggap situasi bisnis
normal dan mempertimbangkan interpretasi lain, yakni bahwa itu tidak perlu merupakan
situasi bisnis yang normal.
Rasa ingin tahu : keinginan untuk menemukan apa yang sesungguhnya terjadi dalam
rangkaian peristiwa dan situasi.
Tidak menyerah : kemampuan untuk maju terus pantang mundur walaupun fakta (seolaholah) tidak mendukung, dan ketika dokumen ayau informasi sulit diperoleh.
Akal sehat : kemampuan untuk mempertahankan perspektif dunia nyata. Ada yang
menyebutnya perspektif anak jalanan yng mengerti betul kerasnya kehidupan.
Business sense : kemampuan untuk memahami bagaimana bisnis sesungguhnya berjalan,
dan bukan sekedar memahami bagaimaa transaksi dicatat.
Percaya diri : kemampuan untuk mempercayai diri dan temuan kita sehingga kita dapat
bertahan di bawah cross examination (pertanyaan silang dari jaksa penuntut umum dan
pembela). Akuntan forensik sering disebut juga sebagai auditor forensik atau auditor
investigasi. Di Indonesia terlihat peran-peran akuntan forensik, seperti BPKP, BPK, dan
aparat pengawasan internal pemerintah menghitung kerugian keuangan negara dalam tindak
pidana korupsi.
Peran BPK dalam Audit Forensik
Perkembangan positif dalam pemberantasan korupsi di Indonesia membuat Badan
Pemeriksa Keuangan yang selama era orde baru dikerdilkan menjadi pulih, dengan
terbitnya Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keungan Negara yang menegaskan
tentang kewenangan BPK sebagai Pemeriksa Keuangan Negara yang kemudian di dukung
dengan Undang-Undang No 15 Tahun 2006 yang memberikan kemandirian dalam
pemeriksaan Keuangan Negara baik yang tidak dipisahkan maupun yang dipisahkan seperti
BUMN dan BUMD sekaligus penentu jumlah kerugian Negara.
Oleh karena itu BPK harus mendefinisikan dirinya untuk menjadi garda terdepan
dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, dengan cara meningkatkan metodologi auditnya
dan meningkatnya kinerja pegawainya dalam melakukan pemeriksaan keuangan negara
termasuk didalamnya keahlian tehnis dalam mendeteksi fraud yaitu mempunyai kemampuan
mengumpulkan fakta-fakta dari berbagai saksi secara fair, tidak memihak, sahih, akurat serta
mampu melaporkan fakta secara lengkap.
Salah satu pendekatan yang bisa diambil dalam upaya pemberantasan korupsi adalah
dengan menerapkan Audit Forensik atau sebagian orang menyebutnya Audit Investigatif.
Sebenarnya BPK sebagai Pemeriksa Keuangan Negara memiliki prestasi yang layak
diapresiasi dalam melakukan audit forensik, dengan melakukan audit investigasi terhadap
Penyaluran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia maupun aliran Dana Bank Indonesia ke
sejumlah pejabat, dengan bantuan software khusus audit.
Pelaksanaan Audit Forensik
Proses pelaksanaan audit forensik, dalam banyak hal, sama dengan proses
pelaksanaan audit, tetapi dengan tambahan beberapa pertimbangan. Berikut adalah langkahlangkah audit forensik secara umum dan singkat.
Langkah I : Menerima tugas

f.

Auditor forensik pertama kali harus mempertimbangkan apakah dirinya memiliki


keahlian dan pengalaman yang dibutuhkan untuk menerima pekerjaan tersebut. Investigasi
forensik bersifat khusus, dan pekerjaan tersebut memerlukan pengetahuan tentang investigasi
fraud dan pengetahuan tentang hukum secara luas dan mendalam. Para auditor juga harus
memperoleh pelatihan di dalam melakukan teknik-teknik interviu dan interogasi, dan
bagaimana menyimpan bukti-bukti yang diperoleh secara aman. Auditor sebaiknya tidak
memberikan jasa audit umum dan investigasi forensik atas klien yang sama.
Langkah II : Perencanaan
Tim auditor harus berhati-hati dalam merencanakan pekerjaan audit forensik.
Peencanaan pekerjaan audit ini paling tidak harus mencakup hal-hal berikut :
Mengidentifikasi jenis fraud yang terjadi, seberapa lama fraud telah berlangsung, dan
bagaimana fraud telah dilakukan, siapa pelakunya dna juga termasuk mengkuantifikasi
kerugian finansial yang diderita oleh klien dan mengumpulkan bukti yang akan digunakan di
pengadilan.
Meberi saran untuk pencegahan terulangnya fraud.
Mempertimbangkan cara terbaik mendapatkan bukti.
Menggunakan teknik audit berbantuan komputer, bila diperlukan.
Langkah III : Mengumpulkan Bukti
Dalam rangka mengumpulkan bukti yang lengkap, auditor (investigator) harus
memahami jenis fraud dan bagaimana kecurangan tersebut telah dilakukan. Bukti-bukti yang
dikumpulkan harus memadai untuk membuktikan identitas pelakunya, mekanisme
pelaksanaan fraud, dan jumlah kerugian finansial yang diderita. Hal penting yang harus
dipikirkan adalah bahwa tim auditor memilki keahlian di dalam mengumpulkan bukti yang
akan digunakan dalam kasus persidangan, dan menjaga rantai pengamanan bukti-bukti
hingga dikemukakan dalam persidangan. Jika ada bukti yang belum dapat disimpulkan atau
ada kejanggalan dalam rantai prosesnya, maka bukti tersebut mungkin akan dimentahkan
dalam persidangan, atau bahkan bisa menjadi bukti yang melemahkan. Auditor juga harus
diperingatkan bahwa kemungkinan bukti-bukti akan diselewengkan (falsified), dirusak atau
dihancurkan oleh tersangka.
Bukti dapat dikumpulkan dengan menggunakan berbagai teknik, seperti :
Menguji pengendalian guna mendapatkan bukti adanya kelemahan (kemungkinan adanya
kecurangan)
Menggunakan prosedur analistis (analytical procedures) untuk membandingkan tren dari
waktu ke waktu atau untuk memberikan gambaran tentang perbandingan antara satu segmen
bisnis dengan segmen bisnis lainnya dengan menggunakan teknik-teknik audit berbantuan
komputer.
Langkah IV : Penyusunan Laporan
Pada tahap akhir, auditor melakukan penyusunan laporan hasil audit forensik. Dalam
laporan ini setidaknya ada 3 poin yang harus diungkapkan. Poin-poin tersebut antara lain
adalah :
Kondisi, yaitu kondisi yang benar-benar terjadi di lapangan
Kriteria, yaitu standar yang menjadi patokan dalam pelaksanaan kegiatan. Oleh karena itu,
jika kondisi tidak sesuai dengan kriteria maka hal tersebut disebut sebagai temuan.
Simpulan, yaitu berisi kesimpulan atas audit yang telah dilakukan. Biasanya mencakup
sebab fraud, kondisi fraud, serta penjelasan detail mengenai fraud tersebut.
Peran Penting Audit Forensik
Dalam beberapa artikel dan literatur, pembahasan audit forensik lebih kepada kasus
pembuktian penyimpangan keuangan atau korupsi. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan,
audit forensik diperlukan untuk pembuktian pada kasus-kasus penipuan.

g.

h.

i.

Objek audit forensik adalah informasi keuangan yang mana mungkin (diduga)
mengandung unsur penyimpangan. Penyimpangan yang dimaksud bisa berupa tindakan
merugikan keuangan perusahaan, seseorang, atau bahkan negara. Temuan audit dari hasil
pemeriksaan ini bisa dijadikan salah satu alat bukti bagi penyidik, pengacara, atau jaksa
untuk memutuskan suatu kasus hukum perdata. Tidak menutup kemungkinan hasil audit juga
akan memberikan bukti baru untuk tindakan yang menyangkut hukum pidana, seperti
penipuan.
Tujuan Audit Forensik
Tujuan dari audit forensik adalah mendeteksi atau mencegah berbagai jenis
kecurangan (fraud). Penggunaan auditor untuk melaksanakan audit forensik telah tumbuh
pesat. Beberapa contoh dimana audit forensik bisa dilaksanakan termasuk :
Kecurangan dalam bisnis atau karyawan.
Investigasi kriminal.
Perselisihan pemegang saham dan persekutuan.
Kerugian ekonomi dari suatu bisnis.
Perbedaan Audit Forensik dan Audit Konvensional
Perbedaan utama Audit Forensik dengan Audit maupun audit konvensional lebih
terletak pada mindset (kerangka pikir). Metodologi kedua jenis Audit tersebut tidak jauh
berbeda. Audit forensik lebih menekankan pada keanehan (exception, oddities, irregularitas)
dan pola tindakan (pattern of conduct) daripada kesalahan dan keteledoran seperti pada audit
umum.
Prosedur utama dalam Audit forensik menekankan pada analytical review dan teknik
wawancara mendalam (in depth interview) walaupun seringkali masih juga menggunkana
teknik audit umum seperti pengecekan fisik, rekonsiliasi, konfirmasi dan lain sebagainya.
Audit forensik biasanya fokus pada area-area tertentu (misalnya penjualan, atau pengeluaran
tertentu) yang ditengarai telah terjadi tindak kecurangan baik dari laporan pihak dalam suatu
atau orang ketiga (tip off) atau ptunjuk terjadinya kecurangan (red flags) petunjuk lainnya.
Data menunjukkan bahwa sebagian besar tindak kecurangan terbongkar karena tip off
dan ketidaksengajaan. Agar dapat membongkar terjadinya fraud (kecurangan) maka seorang
akuntan forensik harus mempunyai pengetahuan dasar audit dan audit yang kuat, pengenalan
perilaku manusia dan organisasi (human dan organization behaviour), pengetahuan tentang
aspek yang mendorong terjadinya kecurangan (incentive, pressure, attitudes, rationalization,
opportunities) pengetahuan tentang hukum dan peraturan (standar bukti keuangan dan bukti
hukum), pengetahuan tentang kriminologi dan viktimologi (profiling) pemahaman terhadap
pengendalian internal, dan kemampuan berpikir seperti pencuri (think as a theft).
Alasan Diperlukannya Audit Forensik
Mencoba menguak adanya tindak pidana korupsi dengan audit biasa (general audit
atau opinion audit) sama halnya mencoba mengikat kuda dengan benang jahit. BPK perlu alat
yang lebih dalam dan handal dalam membongkar indikasi adanya korupsi atau tindak
penyelewengan lainnya di dalam Pemerintahan ataupun dalam BUMN dan BUMD salah satu
metodologi audit yang handal adalah metodologi yang dikenal sebagai Akuntansi Forensik
ataupun Audit Forensik.
Audit forensik dahulu digunakan untuk keperluan pembagian warisan atau
mengungkap motif pembunuhan. Bermula dari penerapan akuntansi dalam persoalan hukum,
maka istilah yang dipakai adalah akuntansi (dan bukan audit) forensik. Perkembangan sampai
dengan saat ini pun kadar akuntansi masih kelihatan, misalnya dalam perhitungan ganti rugi
baik dalam pengertian sengketa maupun kerugian akibat kasus korupsi atau secara sederhana
forensik menangani fraud khususnya dalam pengertian corruption dan missaprociation of
asset.

CONTOH PENERAPAN AUDIT FORENSIK PADA PEMBANGUNAN FISIK DI


HAMBALANG
Pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olah Raga Nasional (P3SON)
di Hambalang, Sentul, Bogor, Jawa Barat, menuai kontroversial. Dalam audit BPK, ditulis
bahwa proyek bernilai Rp 1,2 triliun ini berawal saat Direktorat Jenderal Olahraga
Departemen Pendidikan Nasional hendak membangun Pusat Pendidikan Pelatihan Olahraga
Tingkat Nasional (National Training Camp Sport Center).
Pada tahun 2004 dibentuklah tim verifikasi yang bertugas mencari lahan yang
representatif untuk menggolkan rencana tersebut. Hasil tim verifikasi ini menjadi bahan
Rapim Ditjen Olahraga Depdiknas untuk memilih lokasi yang dianggap paling cocok bagi
pembangunan pusat olahraga tersebut. Tim verifikasi mensurvei lima lokasi yang dinilai
layak untuk membangun pusat olahraga itu. Yakni di Karawang, Hambalang, Cariu,
Cibinong, dan Cikarang. Tim akhirnya memberikan penilaian tertinggi pada lokasi desa
Hambalang, Citereup, Bogor. Tim melihat, lahan di Hambalang itu sudah memenuhi kriteria
penilaian tersebut diatas. Sehingga lokasi tersebut dipilih untuk dibangun.
Menindaklanjuti pemilihan Hambalang, Dirjen Olahraga Depdiknas langsung
mengajukan permohonan penetapan lokasi Diklat Olahraga Pelajar Nasional kepada Bupati
Bogor. Bupati Bogor menyetujui dengan mengeluarkan Keputusan Bupati Bogor nomor
591/244/Kpes/Huk/2004 tanggal 19 Juli 2004. Sambil menunggu izin penetapan lokasi dari
Bupati Bogor tersebut, pada 14 Mei 2004, Dirjen Olahraga telah menunjuk pihak ketiga yaitu
PT LKJ untuk melaksanakan pematangan lahan dan pembuatan sertifikat tanah dengan
kontrak No.364/KTR/P3oP/2004 dengan jangka waktu pelaksanaan sampai dengan 9
November 2004 senilai Rp 4.359.521.320.
Namun, ternyata lokasi Hambalang itu masuk zona kerentanan gerakan tanah
menengah tinggi sesuai dengan peta rawan bencana yang diterbitkan Pusat Vulkanologi dan
Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementrian ESDM. Sesuai dengan sifat batuannya,
PVMBG menyarankan untuk tidak mendirikan bangunan di lokasi tersebut karena memiliki
risiko bawaan yang tinggi bagi terjadinya bencana alam berupa gerakan tanah.
Selain itu, status tanah di lokasi dimaksud masih belum jelas, meskipun telah dikuasai
sejak pelepasan/pengoperan hak garapan dari para penggarap kepada Ditjen Olahraga setelah
realisasi pembayaran uang kerohiman kepada para penggarap sesuai Berita Acara Serah
terima Pelepasan/Pengoperan Hak Garapan tertanggal 19 September 2004.
Sejak itulah area tanah tersebut diakui sebagai aset Ditjen Olahraga dan Kemudian
pada tanggal 18 Oktober 2005 diserahterimakan kepada organisasi baru yaitu Kementrian
Negara Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) setalah Ditjen Olahraga berubah menjadi
Kemenpora. Menpora saat itu, Adhyaksa Dault mengakui bahwa untuk membangun pusat
olahraga pihaknya mengajukan anggaran sebesar Rp 125 miliar. Karena proyek tersebut
awalnya bukan untuk pembangunan pusat olahraga, melainkan hanya pembangunan sekolha
olahraga. Rekomendasi awalnya, di sana hanya untuk bengun sekolah olahraga dua lantai
dan saya tidak tahu bagaimana ceritanya berubah menjadi sport center. Kata Adhyaksa sat
berbincang dengan VIVAnews.
Nilai proyek ini kemudian melejit hingga Rp 2,5 triliun sat Kemenpora dipimpin oleh
Menteri Andi Mallarangeng. Hal tersebut terungkap dalam audit dalam audit Hambalang,
bahwa pada tanggal 8 Februari 2010 dalam Raker antara Kemenpora dengan Komisi X,
Menpora menyampaikan rencana Lanjutan pembangunan tahap I P3SON di Bukit
Hambalang Rp 625.000.000.000. permintaan itu diajukan karena dalam DIPA Kemenpora TA
2010 baru tersedia Rp 125 miliar. Menpora Andi Mallarangeng juga menyampaikan bahwa
usulan tersebut merupakan bagian rencana pembangunan P3SON Bukit Hambalang Sentul
yang secara keseluruhan memerlukan dana sebesar Rp 2,5 triliun.

Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo menyebut total kerugian
negara akibat Proyek Hambalang sebesar Rp 463,67 miliar. Hal itu disampaikan dalam
paparan laporan hasil audit Hambalang Jilid II di ruang pimpinan DPR, Senayan, Jakarta,
Jumat (23/8).
Pelanggaran tersebut terletak pada beberapa tahapan. Pertama, proses pengurusan hak
atas tanah. Kedua, proses pengurusan izin pembangunan. Ketiga, proses pelelangan.
Keempat, proses persetujuan RKA-KL dan persetujuan Kontrak Tahun Jamak. Kelima,
pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan keenam, pembayaran dan aliran dana yang diikuti
rekayasa akuntansi.
Terkait proses persetujuan RKA-KL dan persetujuan Kontrak Tahun Jamak, BPK juga
menemukan
adanya
pencabutan
Peraturan
Menteri
Keuangan
(PMK)
Nomor:56/PMK.02/2010 yang diganti dengan PMK Nomor: 194/PMK.02/2011 tentang Tata
Cara Pengajuan Pesetujuan Kontrak Tahun Jamak Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
yang diduga mengalami penurunan makna substantif dalam proses persetujuan Kontrak
Tahun Jamak. Hal ini dapat melegalisasi penyimpangan semacam kasus hambalang untuk
tahun-tahun berikutnya.
Hasil Audit Forensik Pembangunan Fisik Hambalang
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Purnomo memaparkan sejumlah hasil
audit terhadap kasus Hambalang ke DPR. Menurutnya laporan audit investigasi kasus
Hambalang dilakukan dua tahap. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) kasus Hambalang tahap I
dilakukan pada 30 Oktober 2012.
Hasilnya telah disampaikan ke DPR. Dalam LHP tahap I, BPK menyimpulkan ada
indikasi penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan atau penyalahgunaan
wewenang dalam proses persetujuan tahun jamak, proses pelelangan, proses pelaksanaan
konstruksi, dan dalam proses pencarian uang muka yang dilakukan pihak terkait dalam
pembangunan Hambalang yang mengakibatkan timbulnya indikasi kerugian negara sekurangkurangnya Rp 263,66 miliar.
Dalam LHP tahap II, terang Hadi, BPK menyimpulkan terdapat indikasi
penyimpangan dan/atau penyalahgunaan wewenang yang mengandung penyimpangan yang
dilakukan pihak-pihak terkait dalam pembangunan proyek hambalang. Penyimpangan
wewenang itu terjadi pada proses pengurusan hak atas tanah, proses izin pembangunan,
proses pelelangan, proses persetujuan RAK K/L dan persetujuan tahun jamak, pelaksanaan
pekerjaan konstruksi, pembayaran, dan aliran dana yang diikuti dengan rekayasa akuntansi
dalam proyek Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON),
Hambalang. Dalam LHP tahap II ini BPK kembali menemukan adanya penyimpangan dalam
proses pengajuan dna kerugian negara mencapai Rp 471 miliar.
Berikut kesimpulan LHP tahap II BPK soal Hambalang:
Permohonan persetujuan kontrak tahun jamak dari Kemenpora kepada Menteri Keuangan
atas proyek pembangunan P3SON Hambalang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
yang ditetapkan dalam peraturan yang berlaku, sehingga selayaknya permohonan tersebut
tidak dapat disetujui Menteri Keuangan.
Pihak-pihak terkait secara bersama-sama diduga telah melakukan rekayasa pelelangan
untuk memenangkan rekanan tertentu dalam proses pemilihan rekanan pelaksanaan proyek
pembangunan P3SON Hambalang.
Pihak Kemenpora selaku pemilik proyek tidak pernah melakukan studi amdal maupun
menyusun DELH (Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup) terhadap proyek pembanguna
P3SON Hambalang sebagaimana yang diamanatkan UU Lingkungan Hidup. Persyaratan
adanya studi amdal terlebih dahulu sebelum mengajukan izin lokasi, site plan, dan IMB
kepada Pemkab Bogor tidak pernah dipenuhi oleh Kemenpora.

Terkait dengan persetujuan RAK K/L dan pesetujuan tahun jamak, BPK juga
menemukan adanya pencabutan Peraturan Menteri Keuangan No 56/2010 yang diganti
dengan Peraturan Menteri Keuangan No 194/2011 tentang Tata Cara Pengajuan Persetujuan
Kontrak Tahun Jamak dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Peraturan Menteri Keuangan No 194/2011 patut diduga bertentangan dengan Pasal 14
UU No I/2004. Peraturan tersebut diduga untuk melegalisasi dugaan penyimpangan yang
telah terjadi. Pencabutan Permenkeu No 56/2010, mengindikasikan adanya pembenaran atas
ketidakbenaran atau penyimpangan atas Pasal 14 UU No 1/2004. Berbagai indikasi
penyimpangan yang dimuat dalam LHP tahap I dan II mengakibatkan kerugian sebesar Rp
463,67 miliar yaitu senilai total dana yang telah dikeluarkan oleh negara untuk pembayaran
proyek pada 2010 dan 2011 sebesar Rp 471,71 miliar. Dikurangi dengan nilai uang yang
masih berada pada KSO AW sebesar Rp 8,03 miliar.
Kesimpulan tersebut didasarkan pada fakta-fakta sebagai berikut. Kemenpora tidak
pernah memenuhi persyaratan untuk melakukan studi amdal sebelum mengajukan izin lokasi.
Kemudian, setplant dan izin mendirikan bangunan kepada Pemkab Bogor atau menyusun
dokumen evaluasi lingkungan hidup mengenai proyek Hambalang.
Permohonan persetujuan tahun jamak dari kemenpora kepada menteri keuangan atas
proyek Pembangunan Hambalang, kata hadi, tidak memenuhi persyaratan sebagai mana yang
ditetapkan dalam peraturan yang berlaku. Sehingga sudah seharusnya permohonan tersebut
ditolak.
KESIMPULAN
Audit forensik dapat didefinisikan sebagi aplikasi keahlian mengaudit atas suatu
keadaan yang memiliki konsekuensi hukum. Tujuan dari audit forensik adalah mendeteksi
atau mencegah berbagai jenis kecurangan. Peran akuntan forensik di indonesia yang masih
terbatas dan keberadaannya masih terdapat di pusat menjadi faktor utama korupsi masih
dapat berkembang di seluruh Indonesia. Salah satu pendekatan yang bisa diambil dalam
upaya pemberantasan korupsi adalah dengan menerapkan Audit Forensik. Audit forensik
mampu menekan kasus kriminal yang berkaitan dengan keuangan di Indonesia seperti
korupsi, pencucian uang, transaksi ilegal dan sebagainya. Terlebih kasus tersebut sering
terjadi di lingkungan pemerintahan sehingga menghambat pemerintah baik pusat maupun
daerah untuk mewujudkan pemerintahan yang baik.
Dalam praktik audit forensik pada pembangunan fisik di Hambalang, Audit Forensik
dibutuhkan untuk mengungkap kecurangan yang terjadi dalam kasus tersebut. Hal tersebut
juga penting untuk pengembangan kasus dugaan korupsi Hambalang yang tengah ramai
dibicarakan saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anita, Arles Leardo. 2013, Akuntansi Forensik dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
di Indonesia. Jurnal.
Effendi, Rovinur Hadid, dkk. 2013, Pengaruh Profesionalisme Akuntan Forensik terhadap
Kompetensi Bukti Tindak Pidana Korupsi. Jurnal.
Fajar, Ajat M. Inilah Hasil Audit Tahap II BPK Soal Hambalang.http://nasional.inilah.com. 2013
Fauzan, Isam Ahmad, dkk. 2014. Pengaruh Akuntansi Forensik dan Audit Investigasi terhadap
Pengungkapan Fraud. Prosiding Akuntansi ISSN:2460-6561.
Hoopwood, William S, Jay J. Leiner & George R. Young (2008). Forensic Accounting, MC GrawHill Irwin Companies
Lediastuti, Vita, dkk. 2014, Audit Forensik terhadap Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan
Negara. Jurnal Volume 1 Nomor 1.

Novita, Dyah Ratna Meta. Berikut Hasil Audit BPK Soal Hambalang.http://Republika.co.id. 2013
Tirta,
Dwi.
Audit
Forensik
untuk
Mendeteksi
Risiko
Fraud
atau
Kecurangan.http://mediainformasi.org. 2013
Tuanokota, Theodorus M. 2010. Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif edisi 2. Salemba Empat :
Jakarta
____________________. 2012. Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif. Jakarta: Salemba Empat.
Umar Haryono, 2012. Pengawasan Untuk Pemberantasan Korupsi. Jurnal Akuntansi dan Auditing.
Volume 8/No. 2/Mei 2012: 95-189. Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan Nasional
dan Kebudayaan
Wiradmaja, I Dewa Nyoman. 2000, Akuntansi Forensik dalam upaya Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Jurnal.
Wiwied, Akuntansi Forensik dan Peran BPK. http://angkringanmaswied.blogspot.com, 2005

Anda mungkin juga menyukai