PAPER
b.
c.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Audit Forensik
Audit forensik terdiri dari dua kata yaitu audit dan forensik. Audit adalah tindakan
untuk membandingkan kesesuaian antara kondisi dan kriteria. Sementara forensik adalah
segala hal yang bisa diperdebatkan di muka hukum/pengadilan. Dengan demikian, audit
forensik bisa didefinisikan sebagai tindakan menganalisa dan membandingkan antara kondisi
di lapangan dengan kriteria, untuk menghasilkan informasi atau bukti kuantitatif yang bisa
digunakan di muka pengadilan.
Menurut Charteji (2009), audit forensik (forensic auditing) dapat didefinisikan
sebagai aplikasi keahlian mengaudit atas suatu keadaan yang memiliki konsekuensi hukum.
Audit forensik umumnya digunakan untuk melakukan pekerjaan investigasi secara luas.
Pekerjaan tersebut meliputi suatu investigasi atas urusan keuangan suatu entitas dan sering
dihubungkan dengan investigasi terhadap tindak kecurangan (fraud), oleh karena itu audit
forensik sering juga diartikan sebagai audit investigasi. Di indonesia lembaga yang berhak
untuk melakukan audit forensik adalah auditor BPK, BPKP, dan KPK yang memiliki
sertifikat Certified Fraud Examiners (CFE).
Tugas Auditor Forensik
Auditor forensik bertugas memberikan pendapat hukum dalam pengadilan (litigation).
Disamping tugas auditor forensik untuk memberikan pendapat hukum dalam pengadilan
(litigation), ada juga peran auditor forensik dalam bidang hukum di luar pengadilan (non
pengadilan), misalnya dalam membantu merumuskan alternatif penyelesaian perkara dalam
sengketa, perumusan perhitungan ganti rugi dan upaya menghitung dampak pemutusan /
pelanggaran kontrak.
Audit forensik dibagi ke dalam dua bagian : jasa penyelidikan (investigative services)
dan jasa litigasi (litigation services). Jenis layanan pertama mengarahkan pemeriksa penipuan
atau auditor penipuan, yang mana mereka menguasai pengetahuan tentang akuntansi
mendeteksi, mencegah dan mengendalikan penipuan. Jenis layanan kedua mempresentasikan
kesaksian dari seorang pemeriksa penipuan dan jasa-jasa audit forensik yang ditawarkan
untuk memecahkan isu-isu valuasi, seperti yang dialami dalam kasus perceraian. Tim audit
harus menjalani pelatihan dan diberitahu tentang pentingnya prosedur audit forensik di dalam
praktek audit dan kebutuhan akan adanya spesialis forensik untuk membantu memecahkan
masalah.
Profesi Akuntan Forensik
1.
2.
3.
4.
5.
6.
d.
e.
Akuntan Forensik Akuntan forensik digunakan di sektor publik maupun privat, akan
tetapi penggunaan akuntan forensik di sektor publik lebih menonjol dibandingkan di sektor
privat. Hal tersebut disebabkan karena penyelesaian sengketa di sektor privat cenderung
diselesaikan di luar pengadilan. Akuntan forensik memiliki ciri-ciri yang sama dengan
akuntan dan auditor, yaitu harus tunduk pada kode etik profesinya. Sikap independen,
objektif dan skeptis juga harus dimiliki oleh akuntan forensik (Howard, 2007).
Tuanokota (2005) kualitas yang harus dimiliki oleh akuntan forensik adalah :
Kreatif : kemampuan untuk melihat sesuatu yang orang lain menganggap situasi bisnis
normal dan mempertimbangkan interpretasi lain, yakni bahwa itu tidak perlu merupakan
situasi bisnis yang normal.
Rasa ingin tahu : keinginan untuk menemukan apa yang sesungguhnya terjadi dalam
rangkaian peristiwa dan situasi.
Tidak menyerah : kemampuan untuk maju terus pantang mundur walaupun fakta (seolaholah) tidak mendukung, dan ketika dokumen ayau informasi sulit diperoleh.
Akal sehat : kemampuan untuk mempertahankan perspektif dunia nyata. Ada yang
menyebutnya perspektif anak jalanan yng mengerti betul kerasnya kehidupan.
Business sense : kemampuan untuk memahami bagaimana bisnis sesungguhnya berjalan,
dan bukan sekedar memahami bagaimaa transaksi dicatat.
Percaya diri : kemampuan untuk mempercayai diri dan temuan kita sehingga kita dapat
bertahan di bawah cross examination (pertanyaan silang dari jaksa penuntut umum dan
pembela). Akuntan forensik sering disebut juga sebagai auditor forensik atau auditor
investigasi. Di Indonesia terlihat peran-peran akuntan forensik, seperti BPKP, BPK, dan
aparat pengawasan internal pemerintah menghitung kerugian keuangan negara dalam tindak
pidana korupsi.
Peran BPK dalam Audit Forensik
Perkembangan positif dalam pemberantasan korupsi di Indonesia membuat Badan
Pemeriksa Keuangan yang selama era orde baru dikerdilkan menjadi pulih, dengan
terbitnya Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keungan Negara yang menegaskan
tentang kewenangan BPK sebagai Pemeriksa Keuangan Negara yang kemudian di dukung
dengan Undang-Undang No 15 Tahun 2006 yang memberikan kemandirian dalam
pemeriksaan Keuangan Negara baik yang tidak dipisahkan maupun yang dipisahkan seperti
BUMN dan BUMD sekaligus penentu jumlah kerugian Negara.
Oleh karena itu BPK harus mendefinisikan dirinya untuk menjadi garda terdepan
dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, dengan cara meningkatkan metodologi auditnya
dan meningkatnya kinerja pegawainya dalam melakukan pemeriksaan keuangan negara
termasuk didalamnya keahlian tehnis dalam mendeteksi fraud yaitu mempunyai kemampuan
mengumpulkan fakta-fakta dari berbagai saksi secara fair, tidak memihak, sahih, akurat serta
mampu melaporkan fakta secara lengkap.
Salah satu pendekatan yang bisa diambil dalam upaya pemberantasan korupsi adalah
dengan menerapkan Audit Forensik atau sebagian orang menyebutnya Audit Investigatif.
Sebenarnya BPK sebagai Pemeriksa Keuangan Negara memiliki prestasi yang layak
diapresiasi dalam melakukan audit forensik, dengan melakukan audit investigasi terhadap
Penyaluran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia maupun aliran Dana Bank Indonesia ke
sejumlah pejabat, dengan bantuan software khusus audit.
Pelaksanaan Audit Forensik
Proses pelaksanaan audit forensik, dalam banyak hal, sama dengan proses
pelaksanaan audit, tetapi dengan tambahan beberapa pertimbangan. Berikut adalah langkahlangkah audit forensik secara umum dan singkat.
Langkah I : Menerima tugas
f.
g.
h.
i.
Objek audit forensik adalah informasi keuangan yang mana mungkin (diduga)
mengandung unsur penyimpangan. Penyimpangan yang dimaksud bisa berupa tindakan
merugikan keuangan perusahaan, seseorang, atau bahkan negara. Temuan audit dari hasil
pemeriksaan ini bisa dijadikan salah satu alat bukti bagi penyidik, pengacara, atau jaksa
untuk memutuskan suatu kasus hukum perdata. Tidak menutup kemungkinan hasil audit juga
akan memberikan bukti baru untuk tindakan yang menyangkut hukum pidana, seperti
penipuan.
Tujuan Audit Forensik
Tujuan dari audit forensik adalah mendeteksi atau mencegah berbagai jenis
kecurangan (fraud). Penggunaan auditor untuk melaksanakan audit forensik telah tumbuh
pesat. Beberapa contoh dimana audit forensik bisa dilaksanakan termasuk :
Kecurangan dalam bisnis atau karyawan.
Investigasi kriminal.
Perselisihan pemegang saham dan persekutuan.
Kerugian ekonomi dari suatu bisnis.
Perbedaan Audit Forensik dan Audit Konvensional
Perbedaan utama Audit Forensik dengan Audit maupun audit konvensional lebih
terletak pada mindset (kerangka pikir). Metodologi kedua jenis Audit tersebut tidak jauh
berbeda. Audit forensik lebih menekankan pada keanehan (exception, oddities, irregularitas)
dan pola tindakan (pattern of conduct) daripada kesalahan dan keteledoran seperti pada audit
umum.
Prosedur utama dalam Audit forensik menekankan pada analytical review dan teknik
wawancara mendalam (in depth interview) walaupun seringkali masih juga menggunkana
teknik audit umum seperti pengecekan fisik, rekonsiliasi, konfirmasi dan lain sebagainya.
Audit forensik biasanya fokus pada area-area tertentu (misalnya penjualan, atau pengeluaran
tertentu) yang ditengarai telah terjadi tindak kecurangan baik dari laporan pihak dalam suatu
atau orang ketiga (tip off) atau ptunjuk terjadinya kecurangan (red flags) petunjuk lainnya.
Data menunjukkan bahwa sebagian besar tindak kecurangan terbongkar karena tip off
dan ketidaksengajaan. Agar dapat membongkar terjadinya fraud (kecurangan) maka seorang
akuntan forensik harus mempunyai pengetahuan dasar audit dan audit yang kuat, pengenalan
perilaku manusia dan organisasi (human dan organization behaviour), pengetahuan tentang
aspek yang mendorong terjadinya kecurangan (incentive, pressure, attitudes, rationalization,
opportunities) pengetahuan tentang hukum dan peraturan (standar bukti keuangan dan bukti
hukum), pengetahuan tentang kriminologi dan viktimologi (profiling) pemahaman terhadap
pengendalian internal, dan kemampuan berpikir seperti pencuri (think as a theft).
Alasan Diperlukannya Audit Forensik
Mencoba menguak adanya tindak pidana korupsi dengan audit biasa (general audit
atau opinion audit) sama halnya mencoba mengikat kuda dengan benang jahit. BPK perlu alat
yang lebih dalam dan handal dalam membongkar indikasi adanya korupsi atau tindak
penyelewengan lainnya di dalam Pemerintahan ataupun dalam BUMN dan BUMD salah satu
metodologi audit yang handal adalah metodologi yang dikenal sebagai Akuntansi Forensik
ataupun Audit Forensik.
Audit forensik dahulu digunakan untuk keperluan pembagian warisan atau
mengungkap motif pembunuhan. Bermula dari penerapan akuntansi dalam persoalan hukum,
maka istilah yang dipakai adalah akuntansi (dan bukan audit) forensik. Perkembangan sampai
dengan saat ini pun kadar akuntansi masih kelihatan, misalnya dalam perhitungan ganti rugi
baik dalam pengertian sengketa maupun kerugian akibat kasus korupsi atau secara sederhana
forensik menangani fraud khususnya dalam pengertian corruption dan missaprociation of
asset.
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo menyebut total kerugian
negara akibat Proyek Hambalang sebesar Rp 463,67 miliar. Hal itu disampaikan dalam
paparan laporan hasil audit Hambalang Jilid II di ruang pimpinan DPR, Senayan, Jakarta,
Jumat (23/8).
Pelanggaran tersebut terletak pada beberapa tahapan. Pertama, proses pengurusan hak
atas tanah. Kedua, proses pengurusan izin pembangunan. Ketiga, proses pelelangan.
Keempat, proses persetujuan RKA-KL dan persetujuan Kontrak Tahun Jamak. Kelima,
pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan keenam, pembayaran dan aliran dana yang diikuti
rekayasa akuntansi.
Terkait proses persetujuan RKA-KL dan persetujuan Kontrak Tahun Jamak, BPK juga
menemukan
adanya
pencabutan
Peraturan
Menteri
Keuangan
(PMK)
Nomor:56/PMK.02/2010 yang diganti dengan PMK Nomor: 194/PMK.02/2011 tentang Tata
Cara Pengajuan Pesetujuan Kontrak Tahun Jamak Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
yang diduga mengalami penurunan makna substantif dalam proses persetujuan Kontrak
Tahun Jamak. Hal ini dapat melegalisasi penyimpangan semacam kasus hambalang untuk
tahun-tahun berikutnya.
Hasil Audit Forensik Pembangunan Fisik Hambalang
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Purnomo memaparkan sejumlah hasil
audit terhadap kasus Hambalang ke DPR. Menurutnya laporan audit investigasi kasus
Hambalang dilakukan dua tahap. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) kasus Hambalang tahap I
dilakukan pada 30 Oktober 2012.
Hasilnya telah disampaikan ke DPR. Dalam LHP tahap I, BPK menyimpulkan ada
indikasi penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan atau penyalahgunaan
wewenang dalam proses persetujuan tahun jamak, proses pelelangan, proses pelaksanaan
konstruksi, dan dalam proses pencarian uang muka yang dilakukan pihak terkait dalam
pembangunan Hambalang yang mengakibatkan timbulnya indikasi kerugian negara sekurangkurangnya Rp 263,66 miliar.
Dalam LHP tahap II, terang Hadi, BPK menyimpulkan terdapat indikasi
penyimpangan dan/atau penyalahgunaan wewenang yang mengandung penyimpangan yang
dilakukan pihak-pihak terkait dalam pembangunan proyek hambalang. Penyimpangan
wewenang itu terjadi pada proses pengurusan hak atas tanah, proses izin pembangunan,
proses pelelangan, proses persetujuan RAK K/L dan persetujuan tahun jamak, pelaksanaan
pekerjaan konstruksi, pembayaran, dan aliran dana yang diikuti dengan rekayasa akuntansi
dalam proyek Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON),
Hambalang. Dalam LHP tahap II ini BPK kembali menemukan adanya penyimpangan dalam
proses pengajuan dna kerugian negara mencapai Rp 471 miliar.
Berikut kesimpulan LHP tahap II BPK soal Hambalang:
Permohonan persetujuan kontrak tahun jamak dari Kemenpora kepada Menteri Keuangan
atas proyek pembangunan P3SON Hambalang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
yang ditetapkan dalam peraturan yang berlaku, sehingga selayaknya permohonan tersebut
tidak dapat disetujui Menteri Keuangan.
Pihak-pihak terkait secara bersama-sama diduga telah melakukan rekayasa pelelangan
untuk memenangkan rekanan tertentu dalam proses pemilihan rekanan pelaksanaan proyek
pembangunan P3SON Hambalang.
Pihak Kemenpora selaku pemilik proyek tidak pernah melakukan studi amdal maupun
menyusun DELH (Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup) terhadap proyek pembanguna
P3SON Hambalang sebagaimana yang diamanatkan UU Lingkungan Hidup. Persyaratan
adanya studi amdal terlebih dahulu sebelum mengajukan izin lokasi, site plan, dan IMB
kepada Pemkab Bogor tidak pernah dipenuhi oleh Kemenpora.
Terkait dengan persetujuan RAK K/L dan pesetujuan tahun jamak, BPK juga
menemukan adanya pencabutan Peraturan Menteri Keuangan No 56/2010 yang diganti
dengan Peraturan Menteri Keuangan No 194/2011 tentang Tata Cara Pengajuan Persetujuan
Kontrak Tahun Jamak dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Peraturan Menteri Keuangan No 194/2011 patut diduga bertentangan dengan Pasal 14
UU No I/2004. Peraturan tersebut diduga untuk melegalisasi dugaan penyimpangan yang
telah terjadi. Pencabutan Permenkeu No 56/2010, mengindikasikan adanya pembenaran atas
ketidakbenaran atau penyimpangan atas Pasal 14 UU No 1/2004. Berbagai indikasi
penyimpangan yang dimuat dalam LHP tahap I dan II mengakibatkan kerugian sebesar Rp
463,67 miliar yaitu senilai total dana yang telah dikeluarkan oleh negara untuk pembayaran
proyek pada 2010 dan 2011 sebesar Rp 471,71 miliar. Dikurangi dengan nilai uang yang
masih berada pada KSO AW sebesar Rp 8,03 miliar.
Kesimpulan tersebut didasarkan pada fakta-fakta sebagai berikut. Kemenpora tidak
pernah memenuhi persyaratan untuk melakukan studi amdal sebelum mengajukan izin lokasi.
Kemudian, setplant dan izin mendirikan bangunan kepada Pemkab Bogor atau menyusun
dokumen evaluasi lingkungan hidup mengenai proyek Hambalang.
Permohonan persetujuan tahun jamak dari kemenpora kepada menteri keuangan atas
proyek Pembangunan Hambalang, kata hadi, tidak memenuhi persyaratan sebagai mana yang
ditetapkan dalam peraturan yang berlaku. Sehingga sudah seharusnya permohonan tersebut
ditolak.
KESIMPULAN
Audit forensik dapat didefinisikan sebagi aplikasi keahlian mengaudit atas suatu
keadaan yang memiliki konsekuensi hukum. Tujuan dari audit forensik adalah mendeteksi
atau mencegah berbagai jenis kecurangan. Peran akuntan forensik di indonesia yang masih
terbatas dan keberadaannya masih terdapat di pusat menjadi faktor utama korupsi masih
dapat berkembang di seluruh Indonesia. Salah satu pendekatan yang bisa diambil dalam
upaya pemberantasan korupsi adalah dengan menerapkan Audit Forensik. Audit forensik
mampu menekan kasus kriminal yang berkaitan dengan keuangan di Indonesia seperti
korupsi, pencucian uang, transaksi ilegal dan sebagainya. Terlebih kasus tersebut sering
terjadi di lingkungan pemerintahan sehingga menghambat pemerintah baik pusat maupun
daerah untuk mewujudkan pemerintahan yang baik.
Dalam praktik audit forensik pada pembangunan fisik di Hambalang, Audit Forensik
dibutuhkan untuk mengungkap kecurangan yang terjadi dalam kasus tersebut. Hal tersebut
juga penting untuk pengembangan kasus dugaan korupsi Hambalang yang tengah ramai
dibicarakan saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anita, Arles Leardo. 2013, Akuntansi Forensik dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
di Indonesia. Jurnal.
Effendi, Rovinur Hadid, dkk. 2013, Pengaruh Profesionalisme Akuntan Forensik terhadap
Kompetensi Bukti Tindak Pidana Korupsi. Jurnal.
Fajar, Ajat M. Inilah Hasil Audit Tahap II BPK Soal Hambalang.http://nasional.inilah.com. 2013
Fauzan, Isam Ahmad, dkk. 2014. Pengaruh Akuntansi Forensik dan Audit Investigasi terhadap
Pengungkapan Fraud. Prosiding Akuntansi ISSN:2460-6561.
Hoopwood, William S, Jay J. Leiner & George R. Young (2008). Forensic Accounting, MC GrawHill Irwin Companies
Lediastuti, Vita, dkk. 2014, Audit Forensik terhadap Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan
Negara. Jurnal Volume 1 Nomor 1.
Novita, Dyah Ratna Meta. Berikut Hasil Audit BPK Soal Hambalang.http://Republika.co.id. 2013
Tirta,
Dwi.
Audit
Forensik
untuk
Mendeteksi
Risiko
Fraud
atau
Kecurangan.http://mediainformasi.org. 2013
Tuanokota, Theodorus M. 2010. Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif edisi 2. Salemba Empat :
Jakarta
____________________. 2012. Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif. Jakarta: Salemba Empat.
Umar Haryono, 2012. Pengawasan Untuk Pemberantasan Korupsi. Jurnal Akuntansi dan Auditing.
Volume 8/No. 2/Mei 2012: 95-189. Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan Nasional
dan Kebudayaan
Wiradmaja, I Dewa Nyoman. 2000, Akuntansi Forensik dalam upaya Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Jurnal.
Wiwied, Akuntansi Forensik dan Peran BPK. http://angkringanmaswied.blogspot.com, 2005