Perisai bersegi empat lonjong ke bawah, bagian atas datar bertuliskan Serdang
Bedagai dengan warna dasar kuning gading dan hijau muda berbingkaikan
warna hitam.
KETERANGAN GAMBAR
Satu buah persegi tujuh melambangkan tanggal 7 hari jadi Kabupaten Serdang
Bedagai.
Satu buah lingkaran di dalam segi tujuh melambangkan bulan 1 (Januari) bulan
hari jadi Kabupaten Serdang Bedagai.
Topi tradisional melayu dan keris melambangkan keanekaragaman dan etnis dan
budaya yang ada di Kabupaten Serdang Bedagai
Dua helai daun padi dan empat tangkai padi melambangkan hasil-hasil pertanian
yang dimiliki oleh Kabupaten Serdang Bedagai, dua helai daun padi
melambangkan awal tahun 2004, dan empat tangkai padi melambangkan tahun
jadinya Kabupaten Serdang Bedagai.
Pohon sawit, karet dan coklat melambangkan hasil-hasil perkebunan yang ada di
Kabupaten Serdang Bedagai.
Laut, sampan dan pulau melambangkan potensi kelautan dan objek wisata
bahari di Kabupaten Serdang Bedagai.
Roda gigi dan pabrik melambangkan industri dan tenaga kerja modern, dinamis
dan kompetitif.
Masyarakat yang Religius adalah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai nilai
kepercayaan yang dianutnya dan saling menghargai antar sesama. Bertindak
atas dasar kebaikan dan toleransi yang tinggi, bekerja atas dasar keikhlasan dan
prinsip prinsip kemanusiaan sehingga akan tercapai kerukunan antar umat ber
agama secara rasional.
MISI
Untuk mencapai visi disusun misi Kabupaten Serdang Bedagai sebagai berikut:
Melihat perlawanan yang begitu kuat, akhirnya Belanda pada Agustus 1865
menurunkan ribuan pasukannya di Batubara dan Tanjung Balai. Penyerangan ini diberi
sandi Ekspedisi Militer melawan Serdang dan Asahan. 30 September, pasukan Belanda
sampai di Serdang dan langsung mengejar Sultan Basyaruddin yang bertahan di
pedalaman, hingga akhirnya perlawanan tersebut dipatahkan pada 3 Oktober dan
Sultan Basyaruddin ditawan Belanda. Belanda kemudian merampas tanah-tanah
jajahan Serdang seperti Padang, Bedagai, Percut dan Denai. 20 Desember 1879,
Sultan Basyaruddin mangkat di Istana Bogak, Rantau Panjang dan dimakamkan di
dekat Stasiun Araskabu. Kesultanan Serdang diteruskan pada Tengku Sulaiman yang
saat itu masih dibawah umur, 13 tahun. Ia ditabalkan menjadi Paduka Sri Sultan Tuanku
Sulaiman Syariful Alam Shah. Untuk menghindari kekosongan kekuasaan pamannya
Tengku Mustafa bergelar Raja Muda Sri Maharaja diangkat sebagai Wali Sultan.
Penabalan ini dilaksanakan di Istana Tanjung Puteri, Bogak, Rantau Panjang.
Pengangkatan ini tidak serta merta diakui oleh Residen Belanda. Mereka memberi 3
syarat jika Sultan Sulaiman ingin diakui yakni: Serdang tidak menuntut daerah-daerah
yang telah dirampas Belanda, penetapan tapal batas antara Deli dan Serdang serta
Sultan harus tunduk pada kekuasaan Belanda. Namun Sultan Sulaiman tidak perduli.
Tahun 1882, Belanda memaksa agar sebagian wilayah Senembah diserahkan kepada
Deli dengan imbalan Deli akan menyerahkan kembali Negeri Denai. Sultan Sulaiman
baru diakui pada tahun 1887 walau ia tetap tidak setuju atas tapal batas dengan Deli
yang ditentukan Belanda.
Tahun 1891 Kontrolir Belanda, Douwes Dekker memindahkan ibukota Kesultanan
Serdang ke Lubuk Pakam karena Rantau Panjang selalu mengalami banjir. Namun
Sultan Sulaiman tidak mau. Ia yang telah membangun istana Kota Galuh dan mesjid
Sulaimaniyah di Persimpangan Tiga Perbaungan pada tahun 1886 justru pindah ke
istana tersebut. Kota ini menjadi tandingan kota Lubuk Pakam karena sultan kemudian
membangun kedai, pasar dan pertokoan sehingga ramai. Daerah-daerah taklukan
Serdang yang dikuasai Belanda dijadikan perkebunan seperti di Denai, Bedagai,
Senembah dan Percut. Seluruh perkebunan ini mengikat kontrak dengan Sultan Deli.
Walau diakui namun kekuasaan sultan pelan-pelan dibatasi Belanda. Bahkan ketika
pulang bertemu dengan Kaisar Jepang Tenno Heika Meiji Mutshuhito, tapal batas
dengan Bedagai telah diperkecil Belanda. Belanda juga menghapus jabatan-jabatan
penting kesultanan setelah yang menyandangnya meninggal dunia.
Di bawah pimpinan Sultan Sulaiman, kesultanan Serdang membangun 2.000 bahu
lahan persawahan lengkap dengan irigasinya. Kemudian di tahun 1903 didatangkan
transmigran masyarakat Banjar untuk mengolahnya. Sultan juga membuka pabrik
belacan dan sabun di Pantai Labu serta membuka perkebunan tembakau di Kuala Bali.
Bank Batak dibangun Sultan di Bangun Purba sebagai penunjang roda perekonomian
di Serdang. Di bidang pendidikan Sultan mendirikan sekolah Syairussulaiman di
Perbaungan. Dalam buku Kronik Mahkota Kesultanan Serdang yang ditulis Tuanku
Luckman Sinar Basarsyah, Sultan Sulaiman digambarkan orang yang anti Belanda.
Misalnya Sultan Sulaiman adalah orang yang memperjuangkan agar rakyat yang
tinggal di sekitar perkebunan tembakau konsesi dibenarkan mengerjakan lahan untuk
tanaman padi saat areal perkebunan dibelukarkan. Untuk memastikannya ia membuat
kodefikasi tentang Hak Adat Rakyat Penunggu di tahun 1922, hak ini membenarkan
siapa saja yang memenuhi syarat untuk memperoleh hak jaluran. Sultan Sulaiman juga
dikenal akrab dengan kesenian dan kebudayaan. Ia mendirikan teater Indera Ratu
yang membawakan cerita-cerita Melayu, India dan Barat. Sekali setahun teater ini
menggelar pertunjukan ke berbagai pelosok Serdang untuk menghibur rakyat secara
gratis. Sultan juga menghidupkan teater tradisional Makyong dan wayang kulit jawa
yang dihadiahkan oleh Sultan Hamengkubowono VIII. Biasanya kesenian ini digelar
pada tiap hari raya di depan Istana Perbaungan.
Saat perang dunia kedua, Jepang yang masuk ke Serdang melalui Pantai Perupuk
Tanjung Tiram, Batubara. Namun pasukan ini terkejut ketika masuk ke istana
menemukan gambar Tenno Heika Meiji tergantung di dinding istana. Sejak itu
hubungan Sultan Sulaiman dengan tentara pendudukan Jepang terjalin baik. Bahkan
Sultan diberikan mobil dengan plat no. 1. jepang juga berjanji tidak akan mengambil
pekerja paksa dari Serdang dengan syarat Serdang harus menyuplai beras ke markasmarkas Jepang. Sultan Sulaiman juga segera mengibarkan bendera merah putih ketika
mendengar proklamasi 17 Agustus 1945 melalui gubernur Sumatera Timur, TM Hassan,
Sultan mengirimkan sebuah telegram kepada Presiden Soekarno yang menyatakan
kesultanan Serdang serta seluruh daerah taklukannya mengakui kekuasaan pemerintah
Republik Indonesia dan dengan segala kekuatan akan mendukungnya. Dalam masa
pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS), keadaan Sumatera Timur mengalami
pergolakan yang dilakukan oleh rakyat secara spontan menuntut agar Negara
Sumatera Timur (NST) yang dianggap sebagai prakarsa Van Mook (Belanda)
dibubarkan dan wilayah Sumatera Timur kembali masuk negara Republik Indonesia.
Para pendukung NST membentuk permusyawaratan Rakyat se Sumatera Timur
menentang kongres Rakyat Sumatera Timur yang dibentuk oleh Front Nasional
Negara-negara bagian dan daerah-daerah istimewa lain di Indonesia kemudian
bergabung dengan negara Republik Indonesia (NRI), sedangkan Negara Indonesia
Timur (NIT) dan Negara Sumatera Timur tidak bersedia. Akhirnya pemerintah NRI
meminta kepada Republik Indonesia Serikat untuk mencari kata sepakat dan mendapat
mandat penuh dari NST dan NIT untuk bermusyawarah dengan NRI tentang
pembentukan Negara Kesatuan dengan hasil antara lain UUDS Kesatuan yang
berdasar dari UUD RIS diubah sehingga sesuai dengan UUD 1945. Atas dasar itu
kesultanan Serdang masuk dalam kabupaten Deli Serdang. Karena Sumatera Timur
dibagi atas 5 afdeling, salah satu diantaranya adalah Deli dan Serdang. Afdeling ini
dipimpin oleh seorang Asisten Residen serta terbagi atas 4 (empat) onder Afdeling yaitu
Beneden Deli beribukota di Medan, Bovan Deli beribukota di Pancur Batu, Serdang
beribukota di Lubuk Pakam, Padang Bedagai beribukota di Tebing Tinggi dan masingmasing dipimpin oleh seorang kontrolir.