Anda di halaman 1dari 19

IDENTITAS DAERAH KOTA DENPASAR

NAMA : NI PUTU AYU CRISMAYANI


NIM : 17/408833/FA/11283
I. PENDAHULUAN
Identitas nasional merupakan ciri khas suatu bangsa yang salah satunya dibentuk oleh
kebudayaan nasional. Indonesia adalah suatu negara yang sangat kaya akan kebudayaan
nasionalnya. Wilayah Indonesia tersebar dari Sabang sampai Merauke dengan berbagai
keunikan budaya di dalamnya. Ada berbagai suku, adat, tradisi, bahasa, dan lain-lain yang
menjadikan Indonesia sangat kaya akan keberagaman. Identitas nasional bangsa Indonesia
merupakan puncak dari kebudayaan daerah yang ada di Indonesia.
Salah satu daerah yang memiliki keunikan budaya adalah Kota Denpasar yang merupakan
ibu kota Provinsi Bali. Sejak dahulu Pulau Bali terkenal dengan keindahan alam dan
kebudayaannya bahkan hingga ke mancanegara. Kota Denpasar yang meskipun merupakan
suatu kota modern hingga kini masih menjaga dengan baik berbagai tradisi, adat, dan
bangunan-bangunan yang bersejarah lainnya.
Kota Denpasar terletak antara 08º 35º 31º - 08º 44º 49º Lintang Selatan dan 115º 10º 23º -
115º 16º 27º Bujur Timur. Batas wilayah Kota Denpasar sebagian besar berbatasan dengan
Kabupaten Badung yaitu sebelah utara, barat dan selatan, sedangkan sebelah timur adalah
Kabupaten Gianyar dan Selat Lombok. Secara umum Kota Denpasar merupakan daratan
rendah dengan ketinggian berkisar antara 0-75m diatas permukaan laut.
Kota Denpasar pada awalnya merupakan pusat Kerajaan Badung yang tetap menjadi pusat
pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II Badung setelah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dideklarasikan pada tahun 1945. Sejak tahun 1958, Kota Denpasar menjadi pusat
pemerintahan Provinsi Daerah Tingkat I Bali. Sejak menjadi pusat pemerintahan, Kota
Denpasar mengalami pertumbuhan yang pesat, baik lingkungan fisikal maupun lingkungan
sosial dan budaya.
Saat ini Kota Denpasar dikenal sebagai ibukota Provinsi Bali. Ada berbagai modernisasi
yang terjadi di Kota Denpasar, namun hal tersebut tidak melunturkan adat-istiadat dan tradisi
masyarakat lokak. Bahkan Kota Denpasar juga merupakan salah satu daerah destinasi wisata
utama di pulau dewata, Bali. Berbagai keunikan ada di Kota Denpasar, mulai dari keunikan
tradisi, makanan, pakaian daerah, dan juga tempat wisata.
II. PEMBAHASAN
a. Profil Daerah
 Nama Resmi:Kota Denpasar
 Ibukota:Denpasar
 Provinsi :Bali
 Batas Wilayah:
Utara: Kabupaten Badung
Selatan: Selat Badung
Barat: Kabupaten Badung
Timur: Kabupaten Gianyar
 Luas Wilayah: 127,78 Km²
 Jumlah Penduduk:576.443 Jiwa
 Wilayah Administrasi:Kecamatan: 4, Kelurahan : 16, Desa : 27
 Website:http://www.denpasarkota.go.id
(Permendagri No.66 Tahun 2011)

b. Makna Lambang Daerah

1. Lambang Daerah Kota Denpasar berbentuk segi lima sama sisi dengan warna dasar
biru laut dengan garis pinggir putih hitam
2. Motto "PURRADHIPA BHARA BHAVANA" , artinya: Kewajiban Pemerintah
adalah meningkatkan kemakmuran Rakyat.

3. Di dalam segi lima sama sisi tersebut terdapat lukisan-lukisan yang merupakan unsur-
unsur lambang sebagai berikut :

a. Segi lima sama sisi


Dasar dengan bentuk Segi Lima Sama Sisi berarti mencerminkan bahwa Dasar Negara
Republik Indonesia adalah Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia. Warna
Dasar Biru Laut melambangkan Keagungan. Garis pinggir berwarna putih dan hitam
berarti: Warna putih melambangkan kesucian/budhi luhur dan warna hitam
melambangkan kekuatan.
b. Padmasana Jagatnatha
Melambangkan alam semesta tempat suci untuk pemujaan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa. Jagatnatha dapat pula diartikan sebagai tempat Pemerintah atau Penguasa. Jadi
dengan demikian Jagatnatha disini dapat diartikan bahwa Denpasar adalah merupakan
Pusat Pemerintahan.Warna Kuning Emas pada Pura Jagatnatha adalah merupakan
tempat suci untuk Pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
c. Keris
Keris melambangkan jiwa/mentalitas keperwiraan yang lazim disebut Jiwa Kesatria.
Keris disini melambangkan bahwa Kota Denpasar adalah juga merupakan Kota
Perjuangan.Warna Hitam dalam Keris tersebut melambangkan ketegasan.
d. Candi Bentar
Candi Bentar melambangkan Kebudayaan, ini berarti bahwa Kota Denpasar
mempunyai Kebudayaan yang sifatnya khas.Candi Bentar juga dapat diartikan bahwa
Kota Denpasar merupakan pintu gerbangnya Propinsi Bali.
e. Tangga yang Jumlahnya Tiga Buah :
Ini melambangkan bahwa Konsep pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah
Kota Denpasar selalu berlandaskan konsep TRI KAYA PARISUDHA.
f. Lingkaran Bunga Teratai Yang Jumlahnya 8 (Delapan) Helai, melambangkan Astha
Dala atau Astha Beratha.
g. Padi Kapas Serta Rantai (Gelang) Dua Buah melambangkan :
Padi yang jumlahnya 27 buah melambangkan tanggal 27. Rantai (Gelang) dua buah
yang melambangkan bulan dua (Pebruari). Kapas yang bunganya berjumlah 9
(Sembilan) buah dan daunnya dua helai melambangkan tahun 92. Jadi dengan
demikian Padi Kapas serta rantai (Gelang) sebagai pengikat Padi Kapas
melambangkan bahwa Kota Denpasar lahir pada tanggal 27 Pebruari 1992.

c. Sejarah Pembentukan Kota Denpasar secara Administratif


Nama Denpasar berasal dari kata 'den' (utara) dan 'pasar' sehingga secara
keseluruhan bermakna "Utara Pasar". Denpasar pada mulanya adalah sebuah taman.
Namun taman tersebut tidak seperti taman pada umumnya, karena merupakan taman
kesayangan dari Raja badung pada waktu itu, Kyai Jambe Ksatrya. Pada waktu itu, Kyai
Jambe Ksatrya tinggal di Puri Jambe Ksatrya, yang kini menjadi Pasar Satria. Taman ini
unik, karena dilengkapi dengan tempat untuk bermain adu ayam. Hobi Kyai Jambe
Ksatrya adalah bermain adu ayam, oleh karena itu tidak jarang sang raja mengundang
raja-raja lainnya di Bali untuk bermain adu ayam di taman tersebut.
Pembentukan Kota Denpasar pada mulanya berupa Kota Administratif. Kota
Administratif merupakan sebuah wilayah administratif di Indonesia yang dipimpin oleh
Walikota Administratif. Kota Administratif bukanlah daerah otonom sebagaimana
Kotamadya atau kota, dan karena tidak memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999, di
Indonesia tidak dikenal lagi istilah Kota Administratif karena pembagian Provinsi hanya
terdiri atas Kabupaten dan kota. Akibatnya Kota Administratif harus berubah status
menjadi kota atau bergabung kembali dengan Kabupaten induknya.
Kota Denpasar yang merupakan Ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan
sekaligus merupakan Ibukota Provinsi Daerah Tingkat I Bali mengalami pertumbuhan
demikian pesatnya. Pertumbuhan penduduknya rata-rata 4,05% pertahun dengan
pertumbuhan diberbagai sektor, sehingga memberi pengaruh besar terhadap Kota
Denpasar, pada akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan yang harus diselesaikan
oleh pemerintah Kota Administratif. Berdasarkan kondisi objektif dan berbagai
pertimbangan antara Tingkat I Bali dan Tingkat II Badung telah dicapai kesepakatan
untuk meningkatkan status Kota Administratif Denpasar menjadi Kota Denpasar.
Kota Denpasar lahir tanggal 15 Januari 1992 berdasarkan UndangUndang Nomor
I Tahun 1992 tentang pembentukan Kota Denpasar dan telah diresmikan oleh Menteri
Dalam Negeri pada tanggal 27 Februari 1992. Provinsi Daerah Tingkat I Bali merupakan
pengembangan yang dulunya terdiri atas 8 (delapan) Daerah Tingkat II sekarang menjadi
9 (Sembilan) Daerah Tingkat II. Bagi Kota Denpasar merupakan babak baru dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang merupakan Daerah Tingkat II
terbungsu diwilayah Provinsi Daerah Tingkat I Bali.

d. Kondisi Geografis Kota Denpasar


Kota Denpasar terletak antara 08º 35º 31º - 08º 44º 49º Lintang Selatan dan 115º
10º 23º - 115º 16º 27º Bujur Timur. Kota Denpasar terletak di tengah-tengah Pulau Bali,
selain merupakan ibu kota Provinsi, sekaligus menjadi pusat pemerintahan, pendidikan,
perekonomian, 3 pariwisata, dan pusat-pusat kegiatan lainnya. Letak tersebut sangat
strategis, baik dari segi ekonomi maupun kepariwisataan karena merupakan titik sentral
berbagai kegiatan, sekaligus sebagai penghubung antara kabupaten lainnya. Berikut
adalah perbatasan Kota Denpasar:
 Sebelah Utara : Kecamatan Mengwi dan Abiansemal (Kabupaten Badung)
 Sebelah Timur : Kecamatan Sukawati (Kabupaten Gianyar) dan Selat Badung
 Sebelah Selatan : Kecamatan Kuta Selatan (Kabupaten Badung) dan Teluk Benoa
 Sebelah Barat : Kecamatan Kuta Utara dan Kuta (Kabupaten Badung)
Kota Denpasar berada pada ketinggian 0-75 meter dari permukaan laut, terletak pada
posisi 8°35’31” sampai 8°44’49” Lintang Selatan dan 115°00’23” sampai
115°16’27” Bujur Timur. Sementara luas wilayah Kota Denpasar 127,78 km² atau
2,18% dari luas wilayah Provinsi Bali. Dari penggunaan tanahnya, 2.768 Ha
merupakan tanah sawah, 10.001 Ha merupakan tanah kering dan sisanya seluas 9 Ha
adalah tanah lainnya. Tingkat curah hujan rata-rata sebesar 244 mm per bulan,
dengan curah hujan yang cukup tinggi terjadi pada bulan Desember. Sedangkan suhu
udara rata-rata sekitar 29.8 °C dengan rata-rata terendah sekitar 24.3 °C.
Secara umum Kota Denpasar merupakan daratan rendah dengan ketinggian
berkisar antara 0-75m diatas permukaan laut. Akses jalan di Kota Denpasar hingga Tahun
2013 jalan utama kota sangat baik dan terawat dengan bagus. Dimana sebagian besar jalan
utama sudah di aspal dengan tujuan mempermudah warga masyarakat untuk mengakses
berbagai tempat tujuan mereka.

e. Sejarah Kota Denpasar


Badan Perencanaan Daerah (Bappeda) Kota Denpasar (2011) mengklasifikasikan
sejarah Denpasar menjadi tiga bagian sebagai berikut; Kota Denpasar dalam periode
pra-kolonial; Kota Denpasar di era modern; dan pada periode pasca-modern.
1. Periode Pra Kolonial
(Pendirian Kerajaan Badung)
Pada jaman pra-kolonial ini beberapa bukti berupa prasasti dan tempat suci,
menyebutkan tentang Kerajaan Badung (1350) diantaranya prasasti Blanjong Sanur
(913), Pura Maospahit di Banjar Gerenceng dan Desa Tonja yang dibangun pada
abad ke -14. Artefak-artefak menyebutkan kehidupan pada saat itu teroganisisr
cukup baik yang ditandai dengan pertanian dengan sistem subaknya, pengaturan
pesisir untuk kegiatan perdagangan di daerah Kuta dan Sanur. Hal ini juga
menunjukkan adanya interaksi antara masyarakat setempat dengan pedagang asing
sehingga tumbuhnya berbagai komunitas etnis yang juga membentuk struktur desa-
desa di Bali. Pada masa ekspedisi Patih Gajah Mada pada tahun 1343, dikenal
dengan seorang panglima Arya Kenceng pendiri Kerjaan Badung dan Kerajaan
Tabanan, yang menyerang Kerajaan Bedahulu kemudian dia menetap di Desa
Buahan Kabupaten Tabanan, dan melahirkan keturunan-keturunan di Puri Alang
Badung, Puri Pamecutan dan Puri Gelogor di Denpasar dan tetap menjalin
kerjasama dengan kerajaan pusat di Kerajaan Sweca Linggarsapura Gelgel di Jawa.
Pada pemerintahan Kyai Agung Di Made, Kerajaan Badung bekerjasama dengan
VOC di bidang perdagangan dengan membangun kantor di pelabuhan Kuta sekitar
abad ke-17 (Bappeda, 2011). Hubungan kekerabatan antara Raja Badung, di Puri
Alang Badung dan I Dewa Agung Anom di Puri Sukawati, berjalan sangat baik dan
ini berhubungan dengan warisan kewenangan dari Raja I Gusti Ngurah Pukulbe
Ketewel. Salah satu putra mereka, I Gusti Pukulbe Aeng, adalah reinkarnasi dari I
Dewa Agung Anom di Puri Sukawati, dan ia menjadi pewaris tahta Puri Alang
Badung. I Gusti Pukulbe Aeng kemudian memindahkan tahtanya dan membangun
sebuah istana di Puri Satria pada tahun 1750. Selama pemerintahan I Gusti Gde Rai
di Puri Pamecutan, Raja Gusti Pukulbe Aeng di Puri Satria menguasai Kerajaan
Badung. Kedua raja membentuk kemitraan yang solid yang memungkinkan
stabilitas, dan pembentukan kebesaran dan integritas kerajaan Badung.

Pembentukan Puri Denpasar (1788-1906)


Puri Denpasar terbentuk secara resmi dengan raja pertama I Gusti Ngurah
Made Pamecutan (1788 - 1813) yang berasal dari keturunan Puri Pamecutan. Pada
masanya, beliau berhasil menguasai Kerajaan Jembrana (1805-1818).
Kepemimpinan kemudian dilanjutkan oleh putra beliau yaitu I Gusti Gde Ngurah,
sedangkan putra keduanya I Gusti Gde Kesiman menjadi raja pertama di Puri
Kesiman (1813-20 Nov 1865). Puri Denpasar selanjutnya diperintah oleh raja kedua
yaitu I Gusti Ngurah Pukulbe (1813-1817). Raja ketiga, I Gusti Made Ngurah yang
masih muda sehingga mudah terpengaruh oleh pamannya di Puri Kesiman dan pada
era ini Kerajaan Badung merupakan pusak bisnis dan kota yang sibuk di bidang
perdagangan. Pada masa pemerintahan raja Denpasar ke empat, I Gusti Gde
Ngurah, beliau mendapat gelar Cokorda Denpasar yang dipercaya sebagai raja yang
unggul di Kerajaan Badung meskipun Puri Kesiman tetap merupakan kerajaan yang
memegang andil yang cukup penting di bidang politik dan ekonomi. Setelah raja
Kesiman I Gusti Gde Kesiman meninggal tahun 1865, otoritas Kerajaan Badung
pindah ke Puri Denpasar. Ada tiga raja yang memerintah sebelum terjadinya
Puputan Badung yaitu I Gusti Gde Ngurah (raja Denpasar V, 1863 - I Gusti Alit
Ngurah yang juga disebut I Gusti Ngurah Pukulbe Pamecutan (raja Denpasar VI,
1883-1902); dan I Gusti Made Agung (raja Denpasar VII, 1902-20 September
1906) yang meninggal bersama-sama dengan Raja Pamecutan VIII, I Gusti Ngurah
Pamecutan (Desember 1890-1820 September 1906), terbunuh oleh Dewata ring
Keris pada awal September 1906 (Bappeda, 2011).
Periode Puputan Badung (1900-1906)
Selama periode Puputan Badung (1906), Badung Raja, I Gusti Alit Ngurah
(Raja Denpasar VI) meninggal pada tahun 1902 dan digantikan oleh adiknya, I
Gusti Ngurah Made Agung (Raja Denpasar VII). Raja Denpasar yang baru diakui
sebagai pemimpin yang baik, dengan perilakunya didasarkan pada nilai-nilai yang
benar dari agama Hindu, seperti yang ditunjukkan dalam Puputan Badung melawan
agresi Belanda, di mana ia membela dan mempertahankan kedaulatan wilayah
Badung sampai kematiannya. Pertempuran bermula dari informasi yang salah pada
tahun 1904 dimana tongkang Sri Kumala, yang dimiliki oleh kapten Cina, Kwee
Tek Tjiang, terdampar di pantai Sanur. Orang-orang Sanur berusaha untuk
membantu menyelamatkan tongkang dan muatannya, dan aturan tradisional Bali
menentukan bahwa pemilik tongkang harus membayar orang Sanur yang
memberikan bantuan. Namun Kwee Tek Tjiang mengeluh kepada Belanda di
Singaraja dengan alasan bahwa tongkang itu disita oleh orang Sanur. Gubernur
Belanda, Van Hentz, menggunakan insiden ini untuk langsung campur tangan
dalam Kerajaan Badung memblokade pelabuhan dan perdagangan dari Kerajaan
Badung utara, di Singaraja. Belanda juga dibantu oleh Gianyar dan Karangasem
memblokade sisi timur Bali. Pertempuran ini dimulai pada tanggal 12 September
1906 dimana Belanda mengirim ekspedisi militer ke Selat Badung. Pelabuhan
Sanur itu kemudian diduduki oleh Belanda. Karena benteng yang hanya 5 km dari
Puri Denpasar, perkelahian pun terjadi antara pasukan Badung dan militer Belanda
di daerah Sanur sampai Belanda menduduki Puri Kesiman, Denpasar, dan
Pamecutan. Selama pertempuran, raja-raja Denpasar dan Pamecutan
menginstruksikan staf mereka untuk membakar istana dan menghancurkan segala
sesuatu di istana untuk mencegah Belanda melakukan kontrol dan menguasai
tempat-tempat ini dan atribut mereka. Raja dan orang-orang Badung melakukan
tradisi Bali mesatya; dalam pertempuran itu berarti mereka melakukan perang
dengan ketulusan dan dengan kekudusan untuk mempertahankan bumi mereka.

2. Periode Modern (Kolonial-Republik)


Sejak Puputan tahun 1906, Kerajaan Badung dikuasai oleh Belanda dan
Belanda memulai pembangunan di segala bidang termasuk konstruksi,
permukiman, museum, sekolah, perkantoran, pasar, pelabuhan serta infrastruktur
lainnya seperti jalan raya, jembatan dan lainnya. Pada masa ini Denpasar tumbuh
dengan beberapa desa tradisional serta adanya multikultrs seperti adanya
permukiman Kampung Jawa. Pola catuspatha/pempatan agung sebagai nol
kilometer kota Denpasar, sebagai pusat pemerintahan pada masa itu.
Kedatangan artis, antroplog ke Bali juga ikut memberikan warna pada
perkembangan Kota Denpasar yang secara tidak langsung ikut mempromosikan
budaya Bali, seperti Charlie Chaplin, Margaret Mead, Le Mayeur yg tinggal di Bali
sejak 1932. Sejak kemerdekaan, Denpasar menjadi bagian dari Sunda Kecil pada
tanggal 24 Desember 1946 di bawah NIT (Negara Indonesia Timur) dan juga
menjadi bagian dari Kabupaten Badung. Berdasarkan pertimbangan antara Provinsi
Bali dan Kabupaten Badung, kesepakatan dibuat untuk meningkatkan status Kota
Administratif Denpasar menjadi Kota Denpasar berdasarkan Peraturan No. 1/1992,
15 Januari 1992, yang memungkinkan pembentukan Kota Denpasar, dan
diresmikan oleh Menteri dalam Negeri tanggal 27 Februari 1992.

3. Periode Post Modern


Dalam era ini, Kota Denpasar telah dikembangkan dari basis pertanian ke
basis pariwisata dan ini telah mempengaruhi kinerja kota termasuk pengenalan
arsitektur post-modern meskipun perubahan ini belum secepat kota-kota lain di
Indonesia. Pariwisata adalah pengaruh yang signifikan dalam pertumbuhan Denpasar.
Ini dimulai dengan pembangunan Bali Beach Hotel (sekarang dikenal sebagai The
Grand Bali Beach) yang didirikan sebelum peraturan pada tinggi bangunan itu
diberlakukan. Perkembangan bandara internasional juga telah dipengaruhi
perkembangan lain dalam Denpasar dan sekitarnya. Sebagai konsekuensinya,
pemerintah Bali mengeluarkan aturan untuk menjaga dan melestarikan arsitektur
tradisional Bali melalui peraturan (Perda no 5/2005) termasuk arsitektur bangunan
didefinisikan dalam tiga warna, yaitu Heritage Architecture, Arsitektur Tradisional
Bali, dan Non-arsitektur tradisional Bali.
f. Stratifikasi Sosial
Masyarakat berstratifikasi adalah masyarakat yang penduduknya terbagi
menjadi dua kelompok atau lebih dan kedudukan kelompok yang satu lebih tinggi atau
lebih rendah kalau dibandingkan dengan yang lain, kelihatan adanya perbedaan jelas
dalam hal hak, penghasilan, pembatasan, dan kewajiban. Di Bali sistem kemasyarakatan
terdiri dari Banjar dan Sekaa-sekaa dalam satu lingkungan desa adat. Disamping
kelompok-kelompok kerabat patrineal yang mengikat orang Bali berdasarkan atas
prinsip keturunan, ada pula bentuk kesatuan-kesatuan sosial yang didasarkan atas
kesatuan wilayah, ialah desa. kesatuan yang diperkuat oleh kesatuan adat dan upacara-
upacara keagamaan keramat.
Pada umumnya tampak beberapa perbedaan-perbedaan antara desa-desa adat di
pegunungan biasanya sifatnya lebih kecil dan anggotanya terbatas pada orang asli yang
lahir di desa itu juga. Sesudah kawin, orang itu langsung menjadi warga desa adat
(Krama Desa) dan mendapat tempat duduk yang khas dibalai desa yang disebut Bale
Agung, serta berhak mengikuti rapat-rapat desa yang diadakan teratur pada hari-hari.
Hak para anggota kelompok yang dinilai lebih tinggi. Di samping itu, ada kecenderungan
bahwa mereka tidak mendapat penghargaan yang sama, dan pembatasan serta kewajiban
mereka kemungkinan besar sedikit lebih berat, meskipun para anggota kelompok yang
dinilai tinggi juga memiliki pembatasan dan kewajiban sendiri yang khas untuk ditaati.
Stratifikasi sosial pada hakikatnya adalah ketidaksamaan yang dilembagakan, tanpa
peringkat, tinggi melawan rendah, tidak ada stratifikasi. Perbedaan-perbedaan sosial
tanpa peringkat bukanlah stratifikasi.
Penggolongan stratifikasi sosial berikutnya melalui sistem warna. Pengertian
warna sesungguhnya amat bertolak belakang dengan pengertian kasta di India, dan
wangsa di Bali. Masing-masing istilah tersebut memiliki pengertian sendiri-sendiri
dengan sumber yang berbeda-beda. Catur Warna adalah landasan konsepsi ajaran
kemasyarakatan Hindu yang bersumber pada kitab suci Hindu. Kata warna (aslinya
varna) berasal dari Bahasa Sansekerta dari urat kata Vri artinya memilih lapangan kerja.
Catur Warna membagi masyarakat Hindu menjadi empat kelompok profesi secara
paralel horizontal Warna ditentukan oleh guna dan karma. Guna adalah sifat, bakat dan
pembawaan seseorang sedangkan karma artinya perbuatan atau pekerjaan. Guna dan
karma inilah yang menentukan warna seseorang (Wiana, 1993:12).
Kota Denpasar dalam satu grup terdiri dari beberapa personil yang berasal dari
berbagai kelas atau kasta warna pada masing-masing individu. Adanya perpaduan kasta
ini dapat dilihat dari kolaborasi antara kasta sudra, waisya dengan kstaria dan brahmana.
mereka bersatu dengan bagian atau posisi masing-masing yang berkaitan saling
membantu dan melengkapi satu sama lain. Persatuan antara kasta sudra, waisya, ksatria
dan brahmana ini terjadi secara alami dengan mengutamakan keahliannya masing-
masing bukan asal usul dari kasta itu.
Di Bali penduduknya sejak awal mayoritas beragama Hindu. Di Pulau Bali,
termasuk juga di Kota Denpasar ini, sistem pelapisan sosial masyarakat Bali yang
beragama Hindu disebut Wamsa, yang oleh masyarakat luas disebut Wangsa. Walaupun
Wangsa dan kasta itu sama-sama bukan ajaran Hindu, namun di Bali Wangsa pada
kenyataannya 38 tidak setajam kasta di India. Persamaannya, Wangsa di Bali membeda-
bedakan masyarakat berdasarkan keturunannya. Dalam sistem Wangsa ada satu
keturunan yang dipandang lebih tinggi dan ada yang dipandang lebih rendah. Demikian
pula ada kelompok keturunan yang secara tradisional mendapatkan hak-hak istimewa
terutama dalam pergaulan adat. Timbulnya sistem wangsa ini, semenjak pemerintahan
Dalem di Bali pada abad ke- XV.
Umat Hindu di Bali menurut sumber tradisional sebagian besar berasal dari
Jawa. Kedatangan umat Hindu dari Jawa ke Bali diawali oleh Dang Hyang Markandya
yang membawa petani-petani dari Gunung Rawung di Jawa Timur. Masyarakat Bali
dalam kenyataannnya dewasa ini di bagi menjadi tiga jenis golongan. Golongan pertama,
yang dikatakan golongan Pendeta, ini diyakini sebagai cikal bakal Wangsa Brahmana
Siwa dan Brahmana Budha di Bali. Umumnya rumah tinggal kedua Brahmana ini disebut
Griya atau Geria. Golongan tinggal kedua, adalah golongan yang berasal dari Kediri dan
Majapahit. Keturunan ini disebut Ksatria Wangsa. Tempat tinggal golongan ini disebut
Jero atau Puri. Golongan ketiga adalah golongan yang bertempat tinggal diluar Jero, Puri,
Geria. Mereka disebut orang Jaba. Jadi, ada tiga golongan Brahmana Wangsa, Ksatria
Wangsa, Jaba Wangsa.
g. Sistem Kemasyarakatan
Kota Denpasar memiliki jati diri sebagai sebuah kota yang secara hakiki
merefleksikan citra kota berbasis budaya lokal Bali. Identifikasi diri masyarakat Kota
Denpasar tampak dalam komunitas kecil seperti menjadi anggota banjar maupun sebagai
krama desa pekraman. Tidak seperti daerah lain di Indonesia yang menggunakan sistem
RT/RW di lingkungannya, di Bali ataupun juga di Kota Denpasar menggunakan system
yang disebut dengan Banjar. Banjar sendiri mirip dengan RW. Biasanya di lingkungan
masyarakat terdapat balai Banjar yang digunakan sebagai tempat melaksanakan berbagai
kegiatan kemasyarakatan. Balai Banjar ini jika di daerah Jawa disebut sebagai balai
dukuh. Dalam pergaulan sehari-hari, masyarakat Kota Denpasar sendiri menggunakan
bahasa Bali dan bahasa Indonesia sebagai pengantarnya.
Masyarakat kota Denpasar sendiri yang mayoritas merupakan suku Bali
menganut system kekerabatan patrilineal, dimana pihak laki-laki yang menjadi penentu
(garis keturunan berdasarkan pihak laki-laki). Sistem kekerabatan dalam hal ini adalah
erat kaitannya dengan perkawinan. Menurut anggapan adat lama yang amat dipengaruhi
oleh sistem klen-klen (dadia) dan sistem kasta (wangsa), maka perkawinan itu sedapat
mungkin dilakukan diantara warga se-klen, atau setidak-tidaknya antara orangorang
yang dianggap sederajat dalam kasta. Demikian, perkawinan adat di Bali itu bersifat
endogami klen, sedangkan perkawinan yang dicita-citakan oleh orang Bali yang masih
kolot adalah perkawinan antara anak-anak dari dua orang saudara laki-laki. Keadaan ini
memang agak menyimpang dari lain-lain masyarakat yang berklen (tunggal kawitan,
tunggal dadia, tunggal sanggah) di Bali itu, adalah orang-orang yang setingkat
kedudukannya dalam adat, agama, dan demikian juga kasta, sehingga dengan berusaha
untuk kawin dalam batas klen-nya, terjagalah kemungkinan-kemungkinan akan
ketegangan-ketegangan dan noda-noda keluarga yang akan terjadi akibat perkawinan
antar kasta yang berbeda derajatnya. Dalam hal ini terutama harus dijaga agar anak
wanita dari kasta tinggi jangan sampai kawin dengan pria yang rendah derajat kastanya,
karena suatu perkawinan serupa itu akan membawa malu pada keluarga, serta
menjatuhkan gengsi seluruh kasta dari anak wanita itu. Dahulu bila terjadi perkawinan
campuran yang demikian, maka wanita itu akan dinyatakan keluar dari dadia-nya, dan
secara fisik suamiistri akan dihukum buang (maselong) untuk beberapa lama, ke tempat
yang jauh dari tempat asalnya. Semenjak Tahun 1951, hukum semacam itu tidak pernah
dijalankan lagi dan pada waktu ini perkawinan campuran antar kasta lebih banyak
dilaksanakan.
Meskipun Kota Denpasar telah berkembang dalam dinamika interaksi yang
mengglobal, tetapi citra tradisi masih kental mewarnai penampilan Kota Denpasar
sebagai kota budaya. Paling tidak hal ini dapat dilihat dari pilar-pilar warisan budaya
yang terdapat pada bangunan Puri, Pura, Artefak kuno dan pemeliharaan bangunan-
bangunan yang mengandung nilai historis, merupakan satu bukti bahwa masyarakat Kota
Denpasar masih tetap mencintai tradisi-tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang
pendahulunya. Warisan budaya berupa institusi tradisional seperti banjar, desa adat,
subak, Sekaa-sekaa, merupakan kearifan lokal (local genius) yang telah diakui oleh dunia
internasional. Meskipun institusi-institusi itu mengalami pasang surut 29 sebagai akibat
adanya faktor-faktor internal dan eksternal, tetapi hingga saat ini masih tetap memainkan
peran penting dalam pembangunan Kota Denpasar sebagai kota budaya.
Demikian juga halnya dengan filosofi Tri Hita Karana, desa, kala, patra, karma
phala, jengah, paras paros, dan nilai kearifan lokal lainnya dipandang sebagai budaya
unggul dan menjadi inspirasi dan kreasi bagi masyarakat Kota Denpasar sesungguhnya
secara historis merupakan perkembangan dari kota kerajaan (Puri) menjadi kota budaya
yang dengan kental telah mengusung kearifan-kearifan lokal dalam membangun Kota
Denpasar.

h. Wisata dan Peninggalan Sejarah di Kota Denpasar


a. Prasasti Blanjong

Prasasti Blanjong (atau Belanjong) adalah sebuah prasasti yang memuat sejarah
tertulis tertua tentang Pulau Bali. Pada prasasti ini disebutkan kata Walidwipa, yang
merupakan sebutan untuk Pulau Bali. Prasasti ini bertarikh 835 çaka (913 M), dan
dikeluarkan oleh seorang raja Bali yang bernama Sri Kesari Warmadewa.

Prasasti Blanjong ditemukan di dekat banjar Blanjong, desa Sanur Kauh, di


daerah Sanur, Denpasar, Bali. Bentuknya berupa pilar batu setinggi 177 cm, dan
bergaris tengah 62 cm. Prasasti ini unik karena bertuliskan dua macam huruf; yaitu
huruf Pra-Nagari dengan menggunakan bahasa Bali Kuno, dan huruf Kawi dengan
menggunakan bahasa Sanskerta.

Isi prasasti tersebut adalah “Pada tahun 835 çaka bulan phalguna, seorang raja yang
mempunyai kekuasaan di seluruh penjuru dunia beristana di keraton Sanghadwala,
bernama Çri Kesari telah mengalahkan musuh-musuhnya di Gurun dan di Swal.
Inilah yang harus diketahui sampai kemudian hari.”

Berdasarkan isi prasasti tersebut dipastikan prasasti Blanjong dikukuhkan pada


tahun 835 Caka (913 M) atas Raja Adipatih Cri Kesari Warmadewa sebagai tanda
kemenangan. Situs prasasti ini termasuk dalam lingkungan pura kecil, yang
melingkupi pula tempat pemujaan dan beberapa arca kuno.

b. Pura Maospahit
Pura Maospahit adalah sebuah pura Hindu Bali atau pura yang terletak
di Denpasar, Bali. Pura ini dikenal dengan arsitektur bata merah, mengingatkan pada
arsitektur dari abad ke-13, Kerajaan Majapahit, sesuai dengan namanya. Pura
Maospahit adalah satu-satunya pura di Bali yang dibangun dengan menggunakan
konsep yang dikenal sebagai Panca Mandala di mana daerah yang paling suci
terletak di pusat bukan di arah gunung.

Sejarah Pura Maospahit tercatat dalam Babad Wongayah Dalem, sebuah


batu prasasti yang menyebutkan kisah Sri Kbo Iwa, seorang arsitektur religius asal
Bali. Sri Kbo Iwa membangun sebuah struktur pura yang dikenal sebagai Candi
Raras Maospahit, pada 1200 tahun Saka (atau 1278 kalender Gregorian). Candi
Raras Maospahit disebutkan sebagai "pelinggih (tempat suci) dalam bentuk
bangunan bata merah besar dengan dua patung terakota yang mengapit pintu masuk
utama". Hingga kini, bangunan bata merah Candi Raras Maospahit masih ada dan
menjadi pura utama dari kompleks candi Pura Maospahit.[1]

Selama masa pemerintahan kerajaan Badung di kota Denpasar, seorang


arsitek I Pasek diperintahkan untuk membangun candi lain yang akan digunakan
untuk pertunjukan wayang. Sebelum pembangunan dimulai, I Pasek pergi
ke Majapahit untuk mempelajari proporsi yang tepat untuk pura baru. Setelah I Pasek
menyelesaikan desain pura baru, ia kembali ke Denpasar dan membangun pura baru
tersebut pada 1475 Tahun Saka (atau tahun 1553) yang dikenal sebagai Candi Raras
Majapahit. Bangunan tersebut berdiri di samping Candi Raras Maospahit
sebelumnya.

Pura Maospahit merupakan satu-satunya pura di Bali yang dibangun dengan


menggunakan konsep Panca Mandala. Tidak seperti kebanyakan umat Hindu Bali
yang menyusun dengan tempat yang paling suci di dalam (jero) ke arah
gunung,[2][3] konsep Panca Mandala menempatkan area yang paling suci jero di pusat
kompleks candi. Bentuk susunan ini mirip dengan pura-pura kuno
dari Majapahit atau kratonistana Jawa kuno. Pura Maospahit dikelilingi oleh lima
mandala atau halaman (panca mandala secara harfiah berarti "lima mandala").
Mandala pertama terletak di sebelah barat pura utama, akses ke mandala ini ditandai
dengan gerbang bata merah kori agung yang menghadap Jalan Sutomo, dikenal
sebagai Candi Kusuma. Sebuah bale kulkul (drum tower) terletak di mandala
pertama. Mandala kedua di selatan pura utama ditandai dengan gerbang kori agung
yang disebut sebagai Candi Renggat, yang menyediakan akses ke mandala kedua.[1]

Mandala ketiga, yang dikenal sebagai jaba sisi terletak di sebelah barat pura
dan dapat diakses melalui sebuah gerbang yang dikenal sebagai Candi Rebah.
Mandala ketiga adalah di mana dapur kompleks candi ini berada, yang digunakan
untuk mempersiapkan persembahan ke pura.[1]

Mandala keempat dikenal sebagai jaba tengah atau madya mandala, dapat
diakses melalui sebuah gerbang candi bentar melalui sisi timur dari halaman mandala
ketiga. Mandala keempat digunakan untuk menampilkan kesenian sakral yang hanya
ditampilkan selama festival di Pura Maospahit. Mandala keempat adalah di mana
beberapa bale berada misalnya bale pesucian, bale tajuk, dan bale sumanggen.[1]

Mandala kelima dikenal sebagai jero atau utamaning mandala ("mandala


utama") adalah pusat mandala yang paling suci di mana candi utama berada: candi
bata merah Candi Raras Maospahit dan Candi Raras Majapahit. Masing-masing pura
yang didedikasikan untuk Ratu Ayu Mas Maospahit dan Ida Bhatara Lingsir Sakti.
pelinggih pura Lainnya sama dibangun dengan batu bata merah dan atap yang dihiasi
utamaning mandala, masing-masing didedikasikan kepada dewa lokal

c. Monumen Perjuangan Bajrasandhi


Monumen Bajra Sandhi merupakan Monumen Perjuangan Rakyat Bali untuk
memberi hormat pada para pahlawan serta merupakan lambang pesemaian
pelestarian jiwa perjuangan rakyat Bali dari generasi ke generasi dan dari zaman ke
zaman serta lambang semangat untuk mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari 17 anak tangga yang ada di pintu utama,
8 buah tiang agung di dalam gedung monumen, dan monumen yang menjulang
setinggi 45 meter. Lokasi monumen ini terletak di depan Kantor Gubernur Kepala
Daerah Provinsi Bali yang juga di depan Gedung DPRD Provinsi Bali Niti Mandala
Renon persisnya di Lapangan Puputan Renon. Monumen ini dikenal dengan nama
“Bajra Sandhi” karena bentuknya menyerupai bajra atau genta yang digunakan oleh
para Pendeta Hindu dalam mengucapkan Weda (mantra) pada saat upacara
keagamaan. Monumen ini dibangun pada tahun 1987, diresmikan oleh Presiden
Megawati Sukarno Putri pada tanggal 14 Juni 2003. Tujuan pembangunan monumen
ini adalah untuk mengabadikan jiwa dan semangat perjuangan rakyat Bali, sekaligus
menggali, memelihara, mengembangkan serta melestarikan budaya Bali untuk
diwariskan kepada generasi penerus sebagai modal melangkah maju menapak dunia
yang semakin sarat dengan tantangan dan hambatan.

d. Pantai Sanur

Pantai Sanur adalah sebuah tempat pelancongan pariwisata yang terkenal di


pulau Bali. Tempat ini letaknya adalah persis di sebelah timur
kota Denpasar, ibukota Bali. Sanur berada di Kotamadya Denpasar.

Karena memiliki ombak yang cukup tenang, maka pantai Sanur tidak bisa dipakai
untuk surfing layaknya Pantai Kuta. Tak jauh lepas Pantai Sanur terdapat juga lokasi
wisata selam dan snorkeling. Oleh karena kondisinya yang ramah, lokasi selam ini
dapat digunakan oleh para penyelam dari semua tingkatan keahlian.
Pantai Sanur juga dikenal sebagai Sunrise beach (pantai Matahari terbit) sebagai
lawan dari Pantai Kuta. Karena lokasinya yang berada di sebelah timur pulau Bali,
maka pantai Bali ini menjadi lokasi yang tepat untuk menikmati sunrise atau
Matahari terbit. Hal ini menjadikan tempat wisata ini makin menarik, bahkan ada
sebuah ruas di pantai Sanur ini yang bernama pantai Matahari Terbit karena
pemandangan saat Matahari terbit sangat indah jika dilihat dari sana.

Sepanjang pantai Bali ini menjadi tempat yang pas untuk melihat Matahari terbit.
Apalagi sekarang sudah dibangun semacam sanderan yang berisi pondok-pondok
mungil yang bisa dijadikan tempat duduk-duduk menunggu Matahari terbit. Selain
itu, ombak di pantai ini relatif lebih tenang sehingga sangat cocok untuk ajang
rekreasi pantai anak-anak dan tidak berbahaya.

Selain itu, pengunjung bisa melihat Matahari terbit dengan berenang di pantai.
Sebagian kawasan pantai ini mempunyai pasir berwarna putih yang eksotis.
Dilengkapi dengan pohon pelindung, pengunjung bisa duduk-duduk sambil
menikmati jagung bakar ataupun lumpia yang banyak dijajakan pedagang kaki lima.

Sepanjang tempat wisata pantai Bali ini sekarang sudah dilengkapi dengan
penunjang wisata berupa hotel, restoran ataupun kafe-kafe kecil serta art shop. Salah
satu hotel tertua di Bali dibangun di pantai ini. Hotel ini bernama Ina Grand Bali
Beach yang terletak persis di tepi pantai. Selain itu, sepanjang garis pantai juga
dibangun semacam area pejalan kaki yang seringkali digunakan sebagai jalur jogging
oleh wisatawan ataupun masyarakat lokal. Jalur ini terbentang ke arah selatan
melewati pantai Shindu, pantai Karang hingga Semawang sehingga wisatawan bisa
berolahraga sekaligus menikmati pemandangan pantai di pagi hari.

e. Lapangan Puputan Badung dan Catur Muka Kota Denpasar

Anda mungkin juga menyukai