Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kewenangan Klinis (Clinical Privilege)


2.1.1 Pengertian
Pada dasarnya semua pelayanan kesehatan yang terjadi di sebuah
rumah sakit dan akibatnya menjadi tanggung jawab institusi rumah sakit
itu sendiri, hal ini sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang perumahsakitan. Oleh karenanya rumah sakit
harus mengatur seluruh pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh tenaga
keperawatan sedemikian rupa agar aman bagi pasien.
Dengan demikian, bila seorang perawat telah diizinkan melakukan
pelayanan kesehatan dan prosedur klinis lainnya di sebuah rumah sakit
berarti yang bersangkutan telah diistimewakan dan diberikan hak khusus
(privilege) oleh rumah sakit. Hak perawat tersebut disebut sebagai
kewenangan klinis (clinical privilege).
Kewenangan klinis (clinical privilege) tenaga keperawatan adalah
kewenangan yang diberikan oleh kepala rumah sakit kepada tenaga
keperawatan untuk melakukan asuhan keperawatan dalam lingkungan
rumah sakit untuk suatu periode tertentu yang dilaksanakan berdasarkan
penugasan klinis. Penugasan klinis adalah penugasan kepala/direktur
rumah sakit kepada tenaga keperawatan untuk melakukan asuhan

10

keperawatan atau asuhan kebidanan di rumah sakit tersebut berdasarkan


daftar kewenangan klinis yang telah ditetapkan baginya.
Kewenangan klinis diberikan kepada perawat dengan tujuan agar
tidak menimbulkan konflik di antara tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan
lain dapat merasa bahwa lahan pekerjaan yang dimilikinya dicampuri atau
diambil alih oleh pihak lain. Konflik yang timbul tentunya akan
mempengaruhi kualitas pelayanan dari perawat dan rumah sakit yang
bersangkutan.
Dengan diaturnya kewenangan klinis tersebut maka setiap perawat
akan mempunyai batas yang jelas dalam memberikan asuhan keperawatan
kepada pasien. Pemberian kewenangan klinis juga bertujuan untuk
melindungi keselamatan pasien dengan menjamin bahwa tenaga
keperawatan yang memberikan asuhan keperawatan dan kebidanan
memiliki kompetensi dan kewenangan klinis yang jelas (Permenkes,
2011).

2.1.2 Kredensial
Pemberian kewenangan klinis (clinical privilege) kepada seorang
perawat dilakukan dengan melakukan suatu proses yang disebut
kredensial. Kredensial adalah proses evaluasi terhadap tenaga keperawatan
untuk menentukan kelayakan pemberian kewenangan klinis. Proses
kredensial mencakup tahapan review, verifikasi dan evaluasi terhadap

11

dokumen dokumen yang berhubungan dengan kinerja tenaga


keperawatan.
Proses kredensial dilakukan oleh sub komite kredensial di komite
keperawatan rumah sakit. Komite keperawatan adalah wadah nonstruktural rumah sakit yang mempunyai fungsi utama mempertahankan
dan

meningkatkan

profesionalisme

tenaga

keperawatan

melalui

mekanisme kredensial, penjagaan mutu profesi dan pemeliharaan etika dan


disiplin profesi sehingga pelayanan asuhan keperawatan dan asuhan
kebidanan kepada pasien diberikan secara benar (ilmiah) sesuai standar
yang baik (etis) sesuai kode etik profesi serta hanya diberikan oleh tenaga
keperawatan yang kompeten dengan kewenangan yang jelas (Permenkes,
2011).
Komite
keperawatan

Keperawatan
yang

secara

merupakan
struktur

kelompok

fungsional

profesi

berada

di

tenaga
bawah

kepala/direktur rumah sakit dan bertanggungjawab langsung kepada


kepala/direktur rumah sakit. Komite Keperawatan dibentuk melalui
mekanisme yang disepakati dan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku (Permenkes, 2011).
Komite Keperawatan hendaknya dapat memberikan jaminan
kepada kepala/direktur rumah sakit, bahwa tenaga keperawatan memiliki
kompetensi kerja yang tinggi sesuai standar pelayanan dan berperilaku
baik sesuai etika profesinya. Komite Keperawatan bertugas membantu
kepala/direktur rumah sakit dalam melakukan kredensial, pembinaan

12

disiplin dan etika profesi tenaga keperawatan serta pengembangan


profesional berkelanjutan (Permenkes, 2011).
Kredensial secara umum merupakan istilah yang memayungi
lisensi, sertifikasi, akreditasi dan pendaftaran/registrasi yaitu :
a. Sertifikasi
Sertifikat kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap
kompetensi seorang tenaga kesehatan untuk dapat menjalankan
praktik dan/atau pekerjaan profesinya di seluruh Indonesia setelah
lulus uji kompetensi (PMK 1796, pasal 1).
Untuk

memperoleh

sertifikat

kompetensi,

sebelumnya

dilakukan uji kompetensi. Uji kompetensi adalah suatu proses untuk


mengukur pengetahuan, keterampilan dan sikap tenaga kesehatan
sesuai dengan standar profesi (PMK 1796, pasal 1).
Pelaksanaa uji kompetensi dilaksanakan oleh MTKP (Majelis
Tenaga Kesehatan Propinsi). Setelah dinyatakan lulus, yang
bersangkutan

akan

memperoleh

Sertifikat

Kompetensi

yang

ditetapkan oleh ketua MTKP.


b. Registrasi
Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap tenaga kesehatan
yang telah memiliki sertifikat kompetensi dan telah memenuhi
kualifikasi tertentu serta diakui secara hukum untuk menjalankan
praktik dan/atau pekerjaan profesinya (PMK 1796, pasal 1).

13

Surat Tanda Registrasi (STR) adalah bukti tertulis yang


diberikan oleh pemerintah kepada tenaga kesehatan yang diregistrasi
setelah memiliki sertifikat kompetensi. Penjelasan tersebut tertuang
dalam Permenkes RI No. 1796 tahun 2011, pasal 9.
c. Akreditasi
Aspek kredensial yang terkait dengan akreditasi meliputi ijasah
yang dikeluarkan oleh institusi pendidikan. Hal ini berhubungan
dengan persyaratan untuk memperoleh STR dimana salah satu
syaratnya memiliki ijasah. Ijasah tersebut akan diberikan atau
dikeluarkan oleh institusi pendidikan yang telah terakreditasi oleh
Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT).

2.1.3 Tahapan Pemberian Kewenangan Klinis


Secara garis besar tahapan pemberian kewenangan klinis yang
harus diatur lebih lanjut oleh rumah sakit adalah sebagai berikut :
a. Tenaga keperawatan mengajukan permohonan kewenangan klinis
kepada kepala atau direktur rumah sakit dengan mengisi formulir
daftar rincian kewenangan klinis yang telah disediakan rumah sakit
dengan dilengkapi bahan-bahan pendukung.
b. Berkas permohonan tenaga perawat yang telah lengkap disampaikan
oleh kepala atau direktur rumah sakit kepada komite keperawatan.
c. Kajian terhadap formulir daftar rincian kewenangan klinis yang telah
diisi oleh pemohon.

14

d. Dalam melakukan kajian subkomite kredensial dapat membentuk


panel atau panitia ad-hoc dengan melibatkan mitra bestari dari disiplin
yang sesuai dengan kewenangan klinis yang diminta berdasarkan buku
putih (white paper).
e. Subkomite kredensial melakukan seleksi terhadap anggota panel atau
panitia ad-hoc dengan mempertimbangkan reputasi, adanya konflik
kepentingan, bidang disiplin dan kompetensi yang bersangkutan.
f. Pengkajian oleh subkomite kredensial meliputi elemen :
1) Kompetensi
a) berbagai area kompetensi sesuai standar kompetensi yang
disahkan oleh lembaga pemerintah yang berwenang untuk itu
b) kognitif
c) afektif
d) psikomotor
2) Kompetensi fisik
3) Kompetensi mental/perilaku
4) Perilaku etis (ethical standing)
g. Kewenangan klinis yang diberikan mencakup derajat kompetensi dan
cakupan praktik.
h. Daftar rincian kewenangan klinis (delineation of clinical privilege)
diperoleh dengan cara :
1) menyusun daftar kewenangan klinis dilakukan dengan meminta
masukan dari setiap Kelompok Staf Medis.

15

2) mengkaji

kewenangan

klinis

bagi

Pemohon

dengan

menggunakan daftar rincian kewenangan klinis (delineation of


clinical privilege).
3) mengkaji ulang daftar rincian kewenangan klinis bagi tenaga
perawat dilakukan secara periodik.
i. Rekomendasi pemberian kewenangan klinis dilakukan oleh komite
keperawatan berdasarkan masukan dari subkomite kredensial.
j. Subkomite kredensial melakukan rekredensial bagi setiap perawat
yang mengajukan permohonan pada saat berakhirnya masa berlaku
surat penugasan klinis (clinical appointment), dengan rekomendasi
berupa :
1) kewenangan klinis yang bersangkutan dilanjutkan
2) kewenangan klinis yang bersangkutan ditambah
3) kewenangan klinis yang bersangkutan dikurangi
4) kewenangan klinis yang bersangkutan dibekukan untuk waktu
tertentu
5) kewenangan klinis yang bersangkutan diubah/dimodifikasi
6) kewenangan klinis yang bersangkutan diakhiri
k. Bagi perawat yang ingin memulihkan kewenangan klinis yang
dikurangi atau menambah kewenangan klinis yang dimiliki dapat
mengajukan permohonan kepada komite keperawatan melalui
kepala/direktur rumah sakit.

Selanjutnya, komite keperawatan

16

menyelenggarakan pembinaan profesi antara lain melalui mekanisme


pendampingan (proctoring).
l. Kriteria yang harus dipertimbangkan dalam memberikan rekomendasi
kewenangan klinis :
1) Pendidikan
a) lulus dari sekolah keperawatan yang terakreditasi atau dari
sekolah keperawatan luar negeri dan sudah diregistrasi
b) menyelesaikan program pendidikan konsultan.
2) Perizinan (lisensi)
a) memiliki surat tanda registrasi yang sesuai dengan bidang
profesi
b) memiliki izin praktek dari dinas kesehatan setempat yang
masih berlaku.
3) Kegiatan penjagaan mutu profesi
a) menjadi anggota organisasi yang melakukan penilaian
kompetensi bagi anggotanya
b) berpartisipasi aktif dalam proses evaluasi mutu klinis.
4) Kualifikasi personal
a) riwayat disiplin dan etik profesi
b) keanggotaan dalam perhimpunan profesi yang diakui
c) keadaan sehat jasmani dan mental, termasuk tidak terlibat
penggunaan obat terlarang dan alkohol, yang dapat
mempengaruhi kualitas pelayanan terhadap pasien

17

d) riwayat keterlibatan dalam tindakan kekerasan


e) memiliki asuransi proteksi profesi (professional indemnity
insurance).
5) Pengalaman dibidang keprofesian
a) riwayat tempat pelaksanaan praktik profesi
b) riwayat tuntutan medis atau klaim oleh pasien selama
menjalankan profesi.
m. Berakhirnya kewenangan klinis
Kewenangan klinis akan berakhir bila surat penugasan klinis
(clinical appointment) habis masa berlakunya atau dicabut oleh kepala
atau direktur rumah sakit. Surat penugasan klinis untuk setiap tenaga
perawat memiliki masa berlaku untuk periode tertentu, misalnya dua
tahun. Pada akhir masa berlakunya surat penugasan tersebut rumah
sakit harus melakukan rekredensial terhadap tenaga perawat yang
bersangkutan. Proses rekredensial ini lebih sederhana dibandingkan
dengan proses kredensial awal sebagaimana diuraikan di atas karena
rumah sakit telah memiliki informasi setiap staf medis yang
melakukan pelayanan medis di rumah sakit tersebut.
n. Pencabutan,

perubahan/modifikasi

dan

pemberian

kembali

kewenangan klinis.
Pertimbangan pencabutan kewenangan klinis tertentu

oleh

kepala atau direktur rumah sakit didasarkan pada kinerja profesi di


lapangan,

misalnya

perawat

yang

bersangkutan

terganggu

18

kesehatannya, baik fisik maupun mental. Selain itu, pencabutan


kewenangan klinis juga dapat dilakukan bila terjadi kecelakaan kerja
yang diduga karena inkompetensi atau karena tindakan disiplin dari
komite keperawatan. Namun demikian, kewenangan klinis yang
dicabut tersebut dapat diberikan kembali bila tenaga perawat tersebut
dianggap telah pulih kompetensinya. Dalam hal kewenangan klinis
tertentu seorang perawat diakhiri, komite medik akan meminta
subkomite mutu profesi untuk melakukan berbagai upaya pembinaan
agar kompetensi yang bersangkutan pulih kembali.

Komite

keperawatan dapat merekomendasikan kepada kepala/direktur rumah


sakit pemberian kembali kewenangan klinis tertentu setelah melalui
proses pembinaan.

2.2 Perawat
2.2.1 Pengertian
Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang
merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu
dan kiat keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, dan
masyarakat baik sehat maupun sakit yang mencakup seluruh proses
kehidupan manusia. Pelayanan keperawatan adalah bentuk pelayanan
fisiologis, psikologis, sosial, spiritual dan kultural yang diberikan kepada
klien

karena ketidakmampuan, ketidakmauan dan ketidaktahuan klien

19

dalam memenuhi kebutuhan dasar yang terganggu baik aktual maupun


potensial.
Fokus keperawatan adalah respons klien terhadap penyakit,
pengobatan dan lingkungan. Tanggung jawab perawat yang sangat
mendasar

adalah

meningkatkan

kesehatan,

mencegah

penyakit,

memulihkan dan mengurangi penderitaan. Tanggung jawab ini bersifat


universal.
Perawat adalah seseorang yang telah menyelesaikan program
pendidikan keperawatan baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui
oleh Pemerintah Republik Indonesia, teregister dan diberi kewenangan
untuk melaksanakan praktik keperawatan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Perawat profesional adalah tenaga profesional

yang mandiri,

bekerja secara otonom dan berkolaborasi dengan yang lain dan telah
menyelesaikan program pendidikan profesi keperawatan, terdiri dari ners
generalis, ners spesialis dan ners konsultan. Jika telah lulus uji kompetensi
yang dilakukan oleh badan regulatori yang bersifat otonom, selanjutnya
disebut Registered Nurse (RN). Menurut PPNI perawat profesional adalah
tenaga keperawatan yang berasal dari jenjang pendidikan tinggi
keperawatan (ahli madya, ners, ners spesialis, ners konsultan).
Perawat

vokasional

adalah

seseorang

yang

mempunyai

kewenangan untuk melakukan praktik dengan batasan tertentu dibawah


supervisi langsung maupun tidak langsung oleh perawat profesional

20

dengan sebutan

Licensed Vocational Nurse (LVN). Menurut PPNI

perawat vokasional adalah seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan


Diploma III Keperawatan yang diakui pemerintah dan diberi tugas penuh
oleh pejabat yang berwenang.

2.2.2 Standar Kompetensi Perawat Indonesia


Standar diartikan sebagai ukuran atau patokan yang disepakati,
sedangkan kompetensi dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang yang
dapat terobservasi mencakup atas pengetahuan, keterampilan dan sikap
dalam menyelesaikan suatu pekerjaan atau tugas dengan standar kinerja
(performance) yang ditetapkan.
Standar kompetensi perawat merefleksikan atas kompetensi yang
diharapkan dimiliki oleh individu yang akan bekerja di bidang pelayanan
keperawatan. Menghadapi era globalisasi, standar tersebut harus
ekuivalen dengan standar-standar yang berlaku pada sektor industri
kesehatan di negara lain serta dapat berlaku secara internasional. Standar
kompetensi disusun dengan tujuan :
a. Bagi lembaga pendidikan dan pelatihan keperawatan
1) Memberikan informasi dan acuan pengembangan program dan
kurikulum pendidikan keperawatan
2) Memberikan informasi dan acuan pengembangan program dan
kurikulum pelatihan keperawatan

21

b. Bagi dunia usaha/industri kesehatan dan pengguna, sebagai acuan


dalam
1) Penetapan uraian tugas bagi tenaga keperawatan.
2) Rekruitmen tenaga perawat.
3) Penilaian unjuk kerja
4) Pengembangan program pelatihan yang spesifik
c. Bagi institusi penyelenggara pengujian dan sertifikasi perawat
1) Sebagai acuan dalam merumuskan paket-paket program
sertifikasi sesuai dengan kualifikasi dan jenis.

2.2.3 Struktur Organisasi Perawat di Ruangan


Berdasarkan model praktek keperawatan profesional (MPKP),
pengorganisasian di ruangan menggunakan pendekatan sistem atau metode
penugasan tim. Tenaga perawat diorganisasikan dengan menggunakan
metode penugasan perawat primer dan tim keperawatan yang dimodifikasi.
Perawat dibagi dalam tim sesuai dengan jumlah pasien di ruangan. Jumlah
pasien untuk tiap tim 8-10 orang dan jumlah perawat antara 6-10 orang,
untuk itu akan dibuat struktur organisasi daftar dinas dan daftar pasien.
Struktur organisasi ruang MPKP menggunakan sistem penugasan
tim-primer keperawatan. Ruang MPKP dipimpin oleh kepala ruang yang
membawahi dua atau lebih ketua tim. Ketua tim berperan sebagai perawat
primer membawahi beberapa perawat pelaksana yang memberikan asuhan
keperawatan secara menyeluruh kepada sekelompok klien.

22

Uraian tugas masing masing perawat di ruangan menurut MPKP


antara lain :
a. Kepala ruangan
1) Membuat rencana tahunan, bulanan, mingguan dan harian.
2) Mengorganisir pembagian tim dan pasien.
3) Memberi pengarahan kepada seluruh kegiatan yang ada di
ruangannya.
4) Melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan yang ada di
ruangannya.
5) Memfasilitasi kolaborasi tim dengan anggota tim kesehatan
yang lainnya.
6) Melakukan audit asuhan dan pelayanan keperawatan di
ruangannya, kemudian menindak lanjutinya.
7) Mewakili MPKP dalam koordinasi dengan unit kerja lainnya.
b. Wakil Kepala Ruangan
1) Sebagai pembantu utama di ruangan dalam melaksanakan tugas
ketatausahaan, mengawasi serta mengendalikan keperawatan
diruangan yang menjadi tanggung jawabnya
2) Mewakili Kepala ruangan bila kepala ruangan berhalangan
c. Perawat Primer (Primary Nurse)
1) Membuat rencana tahunan, bulanan, mingguan dan harian.
2) Mengatur jadwal dinas timnya yang dikoordinasikan dengan
kepala ruangan.

23

3) Melakukan pengkajian, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi


asuhan keperawatan bersama-sama anggota timnya.
4) Memberi

pengarahan

pada

perawat

pelaksana

tentang

pelaksanaan asuhan keperawatan.


5) Melakukan kolaborasi dengan tim kesehatan lainnya dalam
pelaksanaan asuhan keperawatan.
6) Melakukan audit asuhan keperawatan yang menjadi tanggung
jawab timnya.
7) Melakukan perbaikan pemberian asuhan keperawatan.
d. Perawat Asosiet (Associate Nurse)
1) Membuat rencana harian asuhan keperawatan yang menjadi
tanggungjawabnya.
2) Melaksanakan asuhan keperawatan dengan melakukan interaksi
dengan pasien dan keluarganya.
3) Melaporkan perkembangan kondisi pasien kepada ketua tim.

2.3 Implementasi Kebijakan


2.3.1 Pengertian
Terdapat beberapa konsep mengenai implementasi kebijakan yang
dikemukakan oleh beberapa ahli. Secara etimologis, implementasi menurut
kamus Webster yang dikutib oleh Solichin Abdul Wahab adalah sebagai
berikut :

24

Konsep implementasi berasal dari Bahasa Inggris yaitu to


implement.

Dalam

kamus

besar

Webster,

to

implement

(mengimplementasikan) yang berarti to provide the means for carrying out


(menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu) dan to give practical
effect to (untuk menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu) (Wahab,
2006).
Pengertian implementasi selain menurut Webster di atas dijelaskan
juga menurut Van Meter dan Van Horn dalam Wahab bahwa implementasi
adalah

tindakan-tindakan

yang

dilakukan

baik

oleh

individu-

individu/pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta


yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan
dalam keputusan kebijakan (Wahab, 2006).
Definisi lain juga diutarakan oleh Daniel Mazmanian dan Paul
Sabatier yang menjelaskan makna implementasi dengan mengatakan
bahwa hakikat utama implementasi kebijakan adalah memahami apa yang
seharusnya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau
dirumuskan.

Pemahaman

mengadministrasikannya

tersebut
dan

mencakup

menimbulkan

usaha-usaha

dampak

nyata

untuk
pada

masyarakat atau kejadian-kejadian (Widodo, 2010).


Berdasarkan beberapa definisi yang disampaikan para ahli di atas,
disimpulkan bahwa implementasi merupakan suatu kegiatan atau usaha
yang dilakukan oleh pelaksana kebijakan dengan harapan akan

25

memperoleh suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran dari suatu
kebijakan itu sendiri.

2.3.2 Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan


Untuk mengkaji lebih baik suatu implementasi kebijakan publik
maka perlu diketahui variabel dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Untuk itu, diperlukan suatu model kebijakan guna menyederhanakan
pemahaman konsep suatu implementasi kebijakan. Terdapat banyak model
yang dapat dipakai untuk menganalisis sebuah implementasi kebijakan,
salah satunya adalah model implementasi yang dikemukakan oleh George
Edward III.
Edward melihat implementasi kebijakan sebagai suatu proses yang
dinamis, dimana terdapat banyak faktor yang saling berinteraksi dan
mempengaruhi implementasi kebijakan. Faktor-faktor tersebut perlu
ditampilkan guna mengetahui bagaimana pengaruh faktor-faktor tersebut
terhadap implementasi. Faktor faktor tersebut yaitu komunikasi
(communications), sumber daya (resources), sikap (dispositions atau
attitudes) dan struktur birokrasi (bureucratic structure).
a. Komunikasi (communications)
Implementasi akan berjalan efektif apabila ukuran-ukuran dan
tujuan-tujuan kebijakan dipahami oleh individu-individu yang
bertanggungjawab dalam pencapaian tujuan kebijakan. Kejelasan
ukuran dan tujuan kebijakan dengan demikian perlu dikomunikasikan

26

secara tepat dengan para pelaksana. Konsistensi atau keseragaman


dari ukuran dasar dan tujuan perlu dikomunikasikan sehingga
implementors mengetahui secara tepat ukuran maupun tujuan
kebijakan itu.
Komunikasi dalam organisasi merupakan suatu proses yang
amat kompleks dan rumit. Sumber informasi yang berbeda dapat
melahirkan interpretasi yang berbeda pula. Agar implementasi
berjalan efektif, siapa yang bertanggungjawab melaksanakan sebuah
keputusan harus mengetahui apakah mereka dapat melakukannya.
Sesungguhnya implementasi kebijakan harus diterima oleh
semua personil dan harus mengerti secara jelas dan akurat mengenai
maksud dan tujuan kebijakan. Jika para aktor pembuat kebijakan
telah melihat ketidakjelasan spesifikasi kebijakan sebenarnya mereka
tidak mengerti apa sesungguhnya yang akan diarahkan. Para
implementor kebijakan bingung dengan apa yang akan mereka
lakukan sehingga jika dipaksakan tidak akan mendapatkan hasil yang
optimal. Tidak cukupnya komunikasi kepada para implementor
secara serius mempengaruhi implementasi kebijakan.
b. Sumber Daya (resources)
Komponen sumberdaya ini meliputi jumlah staf, keahlian dari
para

pelaksana,

informasi

yang

relevan

dan

cukup

untuk

mengimplementasikan kebijakan dan pemenuhan sumber-sumber


terkait dalam pelaksanaan program, adanya kewenangan yang

27

menjamin bahwa program dapat diarahkan sebagaimana yang


diharapkan, serta adanya fasilitas-fasilitas pendukung yang dapat
dipakai untuk melakukan kegiatan program seperti dana dan sarana
prasarana.
Sumberdaya manusia yang tidak memadai (jumlah dan
kemampuan) berakibat tidak dapat dilaksanakannya program secara
sempurna karena mereka tidak bisa melakukan pengawasan dengan
baik. Jika jumlah staf pelaksana kebijakan terbatas maka hal yang
harus

dilakukan

meningkatkan

kemampuan/ketrampilan

para

pelaksana untuk melakukan program.


Untuk itu perlu adanya manajemen SDM yang baik agar dapat
meningkatkan kinerja program. Informasi merupakan sumber daya
penting bagi pelaksanaan kebijakan. Ada dua bentuk informasi yaitu
informasi

mengenai

bagaimana

cara

menyelesaikan

kebijakan/program serta bagi pelaksana harus mengetahui tindakan


apa yang harus dilakukan dan informasi tentang data pendukung
kepada peraturan pemerintah dan undang-undang.
Sumberdaya lain yang juga penting adalah kewenangan untuk
menentukan bagaimana program dilakukan, kewenangan untuk
membelanjakan/mengatur

keuangan,

baik

penyediaan

uang,

pengadaan staf, maupun pengadaan supervisor. Fasilitas yang


diperlukan untuk melaksanakan kebijakan/program harus terpenuhi
seperti kantor, peralatan, serta dana yang mencukupi.

28

c. Sikap (dispositions atau attitudes)


Salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas implementasi
kebijakan adalah sikap implementor. Jika implementor setuju dengan
bagian-bagian isi dari kebijakan maka mereka akan melaksanakan
dengan senang hati tetapi jika pandangan mereka berbeda dengan
pembuat kebijakan maka proses implementasi akan mengalami
banyak masalah. Disamping itu dukungan dari pejabat pelaksana
sangat dibutuhkan dalam mencapai sasaran program.
Wujud dari dukungan pimpinan ini diantaranya adalah
menempatkan kebijakan menjadi prioritas program dan penyediaan
dana yang cukup guna memberikan insentif bagi para pelaksana
program agar mereka mendukung dan bekerja secara total dalam
melaksanakan kebijakan/program.
d. Struktur Birokrasi (bureucratic structure)
Membahas badan pelaksana suatu kebijakan, tidak dapat
dilepaskan

dari

struktur

birokrasi.

Struktur

birokrasi

adalah

karakteristik, norma-norma dan pola-pola hubungan yang terjadi


berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai
hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka
miliki dalam menjalankan kebijakan. Kebijakan yang kompleks
membutuhkan kerjasama banyak orang. Unsur yang mungkin
berpengaruh terhadap suatu organisasi dalam implementasi kebijakan

29

diantaranya tingkat pengawasan hierarkhis terhadap keputusankeputusan sub unit dan proses-proses dalam badan pelaksana.

Anda mungkin juga menyukai