Anda di halaman 1dari 13

TUGAS HUKUM PENGADAAN BARANG DAN/ATAU JASA

PEMERINTAH

Batasan Hukum Pertanggung Jawaban Perdata Dalam Kontrak Pengadaan Barang


Dan/Atau Jasa Pemerintah Yang Merugikan Keuangan Negara.

oleh

Raymond Armando Letidjawa 322015026


Murti Sari Dewi

322015018

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALTIGA
2016

I.

Pendahuluan
Membahas suatu Pertanggung Jawaban hukum khususnya dalam ranah hukum

Perdata maka harus diketahui terlebih dahulu Hak dan Kewajjiban yang lahir karena
adanya Hubungan Perdata antar subyek hukum. Dalam hukum Perdata suatu hak dan
kewajiban dapat terjadi karena adanya suatu perikatan antar subyek hukum, yang dimana
perikatan tersebut dapat bersumber dari suatu kesepakatan {perjanjian/kontrak} atau bisa
juga bersumber dari undang undang. apabila kita sudah mengetahui separangkat hak
dan kewajiban itu berasal maka barulah kita dapat mengetahui arah pertanggung jawaban
hukum tersebut. Berkaitan dengan kontrak Pengadaan Barang dan/atau Jasa Pemerintah
yang dilakukan oleh pihak Pihak pemerintah sebagai Pengguna barang dan/atau jasa dan
pihak swasta sebagai Penyedia barang dan/atau jasa, maka arah pertangggung
jawabannya berawal dari suatu Kontrak {pasal 1313 KUHPer}, kemudian berlanjut pada
keabsahan suatu kontrak {Pasal 1320 KUHPer} Pemenuhan suatu kesepakatan atau
prestasi, kemudian berlanjut pada pertanggung Jawaban atas cedera janji atau
wanprestasi.
Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai Pertanggung jawaban Kontrak
Pengadaaan barang dan/atau jasa Pemerintah.
II.

Lahirnya Hak dan Kewajiban beserta Akibat Hukumnya.


Pada dasarnya Pasal 1233 KUHPer mengatakan Perikatan lahir karena suatu

persetujuan atau karena undang-undang. kemudian kalau berbicara mengenai kontrak,


maka perikatan tersebut lahir atas suatu persetujuan yang diatur dalam pasal 1313
KUHPer yang berbunyi :
Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih
mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
Jadi ketika subyek hukum mengikatkan diri dengan subyek hukum lain disitulah
lahir hak dan kewajibannya. Dimana yang mejadi hak dari salah satu pihak merupakan
kewajiban dari pihak lain, begitu pula sebaliknya.
1

Setelah Perjanjian atau kontrak tersebut dibuat, maka hal selanjutnya yang harus
dilakukan oleh para pihak yang bersepakat

adalah megecek bahwa perjanjian atau

kontrak yang dibuatnya sah menurut hukum. Untuk mengetahui apakah kontrak tersebut
sah menerut hukum maka konrak tersebut haruslah memenuhi syarat syarat sahnya
suatu kontrak atau perjanjian, yang diatur dalam pasal 1320 KUHPer yang berbunyi :
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang.
Apabila dalam suatu kontrak atau perjanjian tidak memenuhi syarat angka {1}
dan/atau angka {2} maka mempunyai akibat hukum dapat dibatalkan. Jika kontrak
tersebut tidak memenuhi syarat angka {3} dan/atau angka {4} maka mempunyai akibat
hukum batal demi hukum.
Setelah mengetahui suatu kontrak telah sah maka isi dari kontrak tersebut harus
dilaksanakan oleh para pihak yang membuatnya, karena itu sudah menjadi undang
undang bagi mereka yang membuatnya. Hal ini tercermin dalam Pasal 1338 s.d. Pasal
1341 KUHPer yang isinya sebagai berikut :
Pasal 1338
Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu
tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak,
atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undangundang.
Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Pasal 1339
Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di
dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya
persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undangundang.
2

Pasal 1340
Persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.
Persetujuan tidak dapat merugikan pihak ketiga; persetujuan tidak dapat
memberi keuntungan kepada pihak ketiga selain dalam hal yang ditentukan
dalam pasal 1317.
Pasal 1341
Meskipun demikian, kreditur boleh mengajukan tidak berlakunya segala
tindakan yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh debitur, dengan nama
apa pun juga yang merugikan kreditur; asal dibuktikan bahwa ketika
tindakan tersebut dilakukan, debitur dan orang yang dengannya atau
untuknya debitur itu bertindak, mengetahui bahwa tindakan itu
mengakibatkan kerugian bagi para kreditur. Hak-hak yang diperoleh pihak
ketiga dengan itikad baik atas barang-barang yang menjadi obyek dan
tindakan yang tidak sah, harus dihormati. Untuk mengajukan batalnya
tindakan yang dengan cuma-cuma dilakukan debitur, cukuplah kreditur
menunjukkan bahwa pada waktu melakukan tindakan itu debitur
mengetahui bahwa dengan cara demikian dia merugikan para kreditur, tak
peduli apakah orang yang diuntungkan juga mengetahui hal itu atau tidak.
Apabila para pihak yang membuat kesepakatan telah memenuhi segala
kewajiban dan mendapat segala hak berdasarkan kesepakatan tadi, maka otomatis
perjanjian tersebut telah selesai dan tidak ada masalah. Namun masalah bisa timbul
apabila salah satu para pihak tidak memenuhi kewajiban atau salah satu pihak tidak
mendapatkan hak yang ia harus peroleh maka ini akan menimbulkan suatu masalah atau
lazimnya disebut sengketa. Salah satu pihak yang tidak memenuhi kewajibannya dapat
dimintai pertanggung Jawabannya oleh pihak yang merasa dirugikan atas cedera janji.
Pertanggung Jawaban atas tidak dipenuhinya suatu perikatan termuat dalam pasal
1243 KUHPerdata yang berbunyi :
Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu
perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai,
tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus
diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya
dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Pertanggung Jawaban karena
tidak terpenuhinya suatu kontrak atau perjanjjian adalah berupa :
a. Biaya;
3

b. Kerugian dan;
c. Bunga.
Tetapi dalam meminta pertanggung Jawaban suatu kontrak atau perjanjian
haruslah perlu diamati terlebih dahulu bahwa kontrak tersebut sah menurut hukum,
sehingga tidak adanya salah pengertian mengenai pertanggung Jawaban atas suatu
kontrak.

III.

Pertanggung Jawaban Perdata Pada Kontrak Pengadaan Barang


dan/atau Jasa Pemerintah.
Yang menjadi pihak dalam Kontrak pengadaan barang dan/atau Jasa

Pemerintah adalah Pemerintah sebagai pihak pengguna barang dan/atau jasa dan
swasta sebagai Penyedia barang dan/atau Jasa. Lalu yang menjadi obyek perjanjian
tersebut dapat berupa pengadaan suatu barang dan/atau jasa untuk membangun
konstruksi untuk kepentingan publik atau pemerintah dalam mejalakan fungsinya
sebagai pemegang kekuasaan.
Konsep pengadaan barang dan/atau jasa pemerintah dengan pihak swasta
merupakan salah satu bagian dari ranah hukum perdata. Yang artinya pertanggung
jawaban atas tidak terpenuhinya suatu kesepakatan dalam kontrak haruslah sesuai
atau sejalan dengan muatan pasal 1243 KUHPerdata. Dimana pertanggung jawaban
tersebut berupa Kerugian, Biaya dan bunga.
Pada undang undang Pengadaan barang dan/atau jasa pemerintah
didalamnya juga termuat pasal mengenai sanksi sanksi atas beberapa jenis
tindakan yang dianggap bertentangan dengan hukum. Sanksi tersebut termuat dalam
pasal 188 s.d. pasal 124 UU Pengadaan barang dan/Jasa Pemerintah {diubah
dengan UU no.4 tahun 2015} yang isi dari pasal 18 adalah sebagai berikut :
(1) Perbuatan atau tindakan Penyedia Barang/Jasa yang dapat dikenakan sanksi
adalah:
a. berusaha
mempengaruhi
Kelompok
Kerja
ULP/Pejabat
Pengadaan/pihak lain yang berwenang dalam bentuk dan cara
apapun, baik langsung maupun tidak langsung guna memenuhi
keinginannya yang bertentangan dengan ketentuan dan prosedur yang

b.

c.
d.

e.
f.

telah ditetapkan dalam Dokumen Pengadaan/ Kontrak, dan/atau


ketentuan peraturan perundang-undangan;
melakukan persekongkolan dengan Penyedia Barang/Jasa lain untuk
mengatur Harga Penawaran diluar prosedur pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa, sehingga mengurangi/menghambat/ memperkecil dan/
atau meniadakan persaingan yang sehat dan/atau merugikan orang
lain;
membuat dan/atau menyampaikan dokumen dan/atau keterangan lain
yang tidak benar untuk memenuhi persyaratan Pengadaan
Barang/Jasa yang ditentukan dalam Dokumen Pengadaan;
mengundurkan diri setelah batas akhir pemasukan penawaran atau
mengundurkan diri dari pelaksanaan Kontrak dengan alasan yang
tidak dapat dipertang-gungjawabkan dan/atau tidak dapat diterima
oleh Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan;
tidak dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan Kontrak secara
bertanggung jawab; dan/atau
berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
99 ayat (3), ditemukan adanya ketidaksesuaian dalam penggunaan
Barang/Jasa produksi dalam negeri.

(2) Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi


berupa:
a. sanksi administratif;
b. sanksi pencantuman dalam Daftar Hitam;
c. gugatan secara perdata; dan/atau
d. pelaporan secara pidana kepada pihak berwenang.
(3) Pemberian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dilakukan oleh
PPK/Kelompok Kerja ULP/Pejabat Penga-daan sesuai dengan ketentuan.
(4) Pemberian sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b,
dilakukan oleh PA/KPA setelah mendapat masukan dari PPK/Kelompok
Kerja ULP/Pejabat Pengadaan sesuai dengan ketentuan.
(5) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan huruf d,
dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hitam, dan
jaminan Pengadaan Barang/Jasa dicairkan dan disetorkan ke kas
Negara/daerah.
(6) Apabila ditemukan penipuan/pemalsuan atas informasi yang
disampaikan Penyedia Barang/Jasa, dikenakan sanksi pem-batalan
sebagai calon pemenang, dimasukkan dalam Daftar Hitam, dan
jaminan Pengadaan Barang/Jasa dicairkan dan disetorkan ke kas
Negara/daerah.

(7) Apabila terjadi pelanggaran dan/atau kecurangan dalam proses


Pengadaan Barang/Jasa, maka ULP:
a. dikenakan sanksi administrasi;
b. dituntut ganti rugi; dan/atau
c. dilaporkan secara pidana.
Dari muatan pasal 118 mengenai sanksi, didalamnya terkandung pertanggung
jawaban baik secara pidana, perdata maupun administrasi. Khusus untuk pertanggung
Jawaban pada ranah perdata dapat di lihat perbutan yang dilarang ada dalam angka 1
huruf e serta sanksinya ada pada angka 2 huruf e yaitu Gugatan Secara Perdata
IV.

Kesimpulan.

Jadi dari hasil bahasan diatas maka dapat disimpulakan beberapa hal sebagai
berikut :

Dalam pengadaan barang dan jasa Pemerintah hukum perdata

mempunyai beberapa peranan.


Peranannya tersebut ada pada pembuatan sampai pada kesepakatan
suatu kontrak yang sah dan sesuai dengan Undang undang yang

berlaku.
Pertanggung

Jawaban

Perdata

muncul

lahir

karena tidak

terpenuhinya perikatan dan jenis pertanggung jawabannya berupa


Kerugian, Biaya dan Bunga dengan cara mengajuka gugatan.

1. Isu hukum.
Negara Indonesia sebagai Negara yang sedang berkembang memerlukan
berbagai upaya untuk menjadi Negara yang Maju. Salah satu factor untuk mewujudkan
hal tersebut adalah dengan adanya pembangunan untuk kepentingan umum atau publik,
pembangunan gedung perkantoran yang baik, ataupun pembagunan dengan tujuan
ekonomi dan sebagainya.
Pemerintah selaku pemegang kewenangan untuk menjalakan tugas untuk
mewujudkan cita cita Negara memerlukan bantuan dari berbagai elemen masyarakat.
Contohnya dalam bidang pengadaan barang/Jasa. Pemerintah dalam melakukan
Pengadaan Barang/Jasa memerlukan bantuan dari pengusaha swasta baik itu pengusaha
berbentuk badan hukum dan non-badan hukum. Tujuan diadakan kerjasama dalam
pengadaan barang/jasa pemerintah tersebut adalah untuk menjamin bahwa setiap
elemen masyarakat dapat mewujudkan Pembangunan Negara dan pemerintah dalam hal
ini eksekutif tetap focus menjalakan fungsi utamanya dalam kegiatan administratif.
Namun pemerintah dalam mengupayakan kemajuan Negara tidaklah luput dari
masalah. Salah satu masalahnya adalah adanya suatu tindakan kontra-prestasi dari
pihak swasta atas kesepakatan pengadaan barang/jasa pemerintah. kontra-perstasi yang
dilakukan oleh pihak swasta tersebut tentu saja dapat merugikan Negara pada
umumnya

dan

merugikan

keuangan

Negara

serta

menghambat

kelancaran

pembangunan Negara. Terkait hal khusus mengenai keuangan Negara, perlu adanya
suatu dasar hukum yang mengatur mengenai penggolongan keuangan Negara, serta
akibat hukum dari perbuatan yang merugikan keuangan Negara.
Dasar hukum mengenai pengolongan keuangan Negara ada pada pasal
undang undang undang no 17/2003 tentang keuangan Negara yang berbunyi :
Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi :

a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan
melakukan pinjaman;
b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan
c.
d.
e.
f.
g.

negara dan membayar tagihan pihak ketiga;


Penerimaan Negara;
Pengeluaran Negara;
Penerimaan Daerah;
Pengeluaran Daerah;
kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain
berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai
dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/

perusahaan daerah;
h. kekayaan pihak lain

yang

dikuasai

oleh

pemerintah

dalam

rangka

penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;


Kemudian selanjutnya pengaturan megenai sanksi atas kegiatan yang merugikan
Negara dalam undang undang keungan Negara termuat dalam pasal 34 dan pasal 35.
Kemudian pengaturan mengenai sanksi perbuatan yang merugikan keungan Negara
juga diatur dalam undang - undang Tindak pidana Korupsi.
Hal yang diatur dalam tindak pidana korupsi tersebut adalah :
Pasal 2
1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonornian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Pasal 3
8

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan kouangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 20 dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Kemudian pengaturan mengenai sanksi atas kerugian yang diakibatkan dari tidak
dipenuhinya suatu perikatan itu sendiri dari segi hukum privat dalam hal ini dalam Kitab
Undang Undang Hukum Perdata yang termuat dalam pasal 1234, yang berbunyi :
Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu
perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai,
tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus
diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya
dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.
Dari penjelasan mengenai kerugian keuangan Negara diatas jelas sekali menciptakan
suatu pemikiran yang berbeda. Hal ini sungguh jelas sangat meresahkan pihak pihak yang
mempunyai kepentingan yang mengelola atau menggunakan keuangan Negara untuk
kepentingan publik khususnya bagi para pihak swasta yang menjalakan kontrak pengadaan
barang/jasa pemerintah. oleh karena itu perlu dikaji kembali mengenai batas batas
pertanggung jawaban kerugian keuangan Negara akibat ingkar janji atau perbuatan
wanprestasi baik dari sisi teori maupaun undang - undang.

Rumusan masalah
Dari isu tersebut dapat ditarik suatu rumusan masalah yaitu :
9

1. Bahwa kaburnya batasan pertanggung jawaban pihak swasta atas perbuatan


wanprestasi dalam hubungan kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah yang
merugikan keuangan Negara!

Tujuan penelitian
a. Untuk menemukan penggolongan waprestasi yang dilakukan oleh pihak
swasta yang dapat dimintai pertanggung jawaban Perdata.
b. Untuk menemukan solusi terhadap adanya isu mengenai kaburnya batasan
pertanggungjawaban pihak swasta

atas perbuatan wanprestasi dalam

hubungan kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah.


c. Untuk mencari dan memberi solusi letak kelemahan dari undang undang
yang mengatur mengenai pertanggungjawaban pihak swasta atas perbuatan
wanprestasi dalam hubungan kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah.
Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Kegunaan diangkatnya isu ini adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam
pengembangan ilmu hukum khususnya.
2. Kegunaan Praktis
Harapannya
hasil diangkatnya isu ini secara praktis dapat bermanfaat serta
memberikan gambaran yang dapat disumbangkan baik bagi pemerintah maupun bagi
aparat penegak hukum dalam penegakan terhadap pertanggungjawaban pihak swasta
atas perbuatan wanprestasi dalam hubungan kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah
yang merugikan keuangan Negara.

Pendekatan Teori.
Menurut Soerjono Soekanto dalam bukunya Pengantar Penelitian Hukum ialah :
mencari data atau bahan bahan dengan meneliti menggunakan buku buku dan jurnal,
serta peraturan perundang undangan yang berkaitan dengan cara meneliti bahan pustaka
10

untuk mengetahui dan memberikan gambaran tentang bagaimana penerapan hukum positif
terhadap suatu hal, peristiwa, atau masalah tertentu. Penulisan isu ini dalam penelitiannya
menggunakan metode pendekatan penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka untuk mengetahui atau mengenal peristiwa
tertentu dengan hukum yang berlaku. Oleh karena itu bahan bahan hukum yang akan
digunakan adalah :
1. bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat seperti peraturan perundang
undangan;
2. bahan hukum sekunder, yaitu bahan bahan yang erat hubungannya dengan bahan
hukum primer dan juga bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer yang
dapat diperoleh dari studi kepustakaan seperti buku buku, doktrin, karya ilmiah para
sarjana, makalah, surat kabar, artikel, buletin, berkas perkara dan informasi pada situs
internet.
3. bahan hukum tersier, yaitu berupa kamus , ensiklopedia, serta
majalah majalah hukum.
Sistematika Penulisan
BA B I : Pendahuluan
Berisi latar belakang permasalahan, pokok pokok permasalahan mengenai
apa yang ingin diutarakan penulis dari judul yang akan diangkat, tujuan
penelitian, kegunaan penulisan, metode penelitian, serta sistematika dalam
penulisan ini.
BAB II :dasar Hukum yang berlaku pada Kontrak Pengadaan barang/jasa
Pemerintah.Berbagai Kaidah Hukum Dalam Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah
Bab ini berisi pengertian serta dasar hukum mengenai rumusan keuangan
Negara, Pengadaan barang/jasa pemerintah, Kitab Undang Undang Hukum
Perdata serta undang undang yang terkait.
BA B III : Teori kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah
Pada bab ini berisikan pandangan pandangan dari berbagai ahli hukum yang
berkaitan dengan Kontrak pengadaan barang/ jasa pemerintah
BAB IV : Analisa batasan pertanggung jawaban pihak swasta atas perbuatan
wanprestasi dalam hubungan kontrak pengadaan barang/jasa
pemerintah.
Pada bab ini berisikan analisa dan pembahasan terhadap bab - bab sebelumnya
tentang pokok permasalahan yaitu mengenai batasan pertanggung jawaban
pihak swasta atas perbuatan wanprestasi dalam hubungan kontrak pengadaan
barang/jasa pemerintah yang merugikan keuangan Negara.
BA B V : Penutup
11

Bab ini berisi penarikan kesimpulan atas pokok permasalahan yang dibahas.
Kesimpulan diperoleh sebagai tindak lanjut dari bab I dan bab - bab
sebelumnya. Sedangkan saran merupakan sumbangan pemikiran atau gagasan
yang dapat diajukan dari hasil penelitian. Terakhir akan ditutup dengan daftar
pustaka dan lampiran

12

Anda mungkin juga menyukai