Anda di halaman 1dari 10

Peran Dexmedetomidine pada Extubasi Dini

terhadap Pasien Intensive Care Unit


Shikha Gupta, Dupinder Singh, Dinesh Sood, Suneet Kathuria
Department of Anaesthesiology, Dayanand Medical College and Hospital, Ludhiana, Punjab, India

ABSTRAK
Latar Belakang dan Fokus: Pasien dengan bantuan alat ventilasi di ruang ICU
membutuhkan sedasi dan analgesik untuk membantu proses ventilasi dan toleransi
endotracheal tube. Dalam pemilah agen sedasi harus sedemikian rupa agar tidak mengganggu
extubasi pasien. Kami membandingkan penggunaan dexmedetomidine dengan midazolam
untuk membantu pasien dalam proses extubasi dari ventilasi mekanik, hal yang diperhatikan
adalah sifat sedative, respon kardiovaskular, ventilasi ,sifat dan keamanan extubasi.
Bahan dan Metode: Total 40 pasien dewasa yang menggunakan ventilasi mekanik dari
kedua jenis kelamin, usia 18 sampai 60 tahun, memenuhi standar untuk menghentikan yang
secara acak dibagi menjadi 2 grup masing masing dengan 20 orang. Setiap grup mendapatkan
dexmedetomidine IV (0.2-0.7 mcg/kg/jam) atau midazolam (0.04-0.2 mg/kg/jam) yang
dibutuhkan dalam skala sedasi Ramsay 2-4. Lalu dilakukan extubasi secara protokol.
Hasil: Waktu yang dibutukan dalam extubasi dengan dexmedetomidine secara signifikan
lebih rendah daripada midazolam. Nadi dan tekanan darah juga lebih rendah pada
dexmedetomidine daripada midazolam.
Kesimpulan: Dexmedetomidine secara klinis memiliki manfaat yang lebih dibanding
midazolam dalam proses extubasi karena waktu lebih singkat, hemodinamik yang lebih stabil
dan kurangnya dari depresi nafas.
PENDAHULUAN
Proses penghentian dari ventilator mekanik merupakan tatalaksana utama dalam
menghadapi pasien dengan kondisi kritis. Dalam proses penghentian, yang harus dilepas
secepat mungkin setelah kondisi pasien memungkinkan. Penghentian yang diperlama dapat
memperpanjang durasi inap di ICU, meningkatkan ongkos kesehatan, mengurangi jumlah
ICU dan secara drastic membahayakan kondisi pasien. Tetapi, terlalu cepat melepas ventilator
1

juga memiliki masalah tersendiri yaitu kesulitan dalam membuat jalan nafas, terhambatnya
pertukaran gas dll.
Kebanyakan pasien ICU dengan bantuan nafas memerlukan sedasi and analgesik
secara IV untuk membantu proses ventilasi, meningkatkan toleransi terhadap endotracheal
tube, prosedur yang bersifat invasive, fisioterapi, penghisapan trakea, penggantian perban,
menurunkan ansietas dan menghambat hemodinamika yang berlebih.
Dua kelas obat yang digunakan di ICU sebagai agen hypnotic dan opioid.
Benzodiazepines merupakan obat yang sering digunakan sebagai sedasi di ICU. Pemberian
Lorazepam secara bolus intermiten atau secara IV telah direkomendasi oleh Society of
Critical Care Medicine pada tahun 2002 sebagai obat sedative utama pada pasien ICU yang
membutuhkan ventilasi mekanik jangka panjang. Midazolam hanya di rekomendasi dalam
penggunaan jangka pendek (dibawah 48 jam) dikarena terdapat beberapa kasus pasien
terbangun setelah penggunaan jangka panjang. Midazolam menyebabkan masalah di tahan
vascular yang lebih terlihat pada pasien hipertensi. Midazolam juga menunjukan depresi
nafas dan juga apnue jika diberikan bersama opiod. Proses eliminasinya juga memanjang
pada pasien dengan kondisi kritis yang menyebabkan perpanjangan efek obat tersebut dan
kegagalan dari proses ekstubasi.
Agonis Alpha 2 dexmedetomidine merupakan sedatif dan analgesic terbaru yang
digunakan dalam waktu 24 jam setelah operasi. Agen tersebut memberikan stabilitas
hemodinamika dan secara klinis tidak menimbulkan efek samping pada system pernafasan.
Sifat sedasi yang unik hanya memberikan efek samping berupa gangguan kognitif ringan,
yang membantu dalam hal komunikasi antar pasien dan staf kesehatan. Agen tersebut tidak
menggangu system pernafasan dan tidak mengganggu penghentian dari ventilator mekanik.
Dalam studi ini, kami membandingkan efek dari dexmedetomidine dengan midazolam
dalam membantu proses ekstubasi pasien dari penggunaan ventilator mekanik dalam perihal
sifat sedatif, respons kardiovaskuler ,ventilasi serta keamanan pasien.
Bahan dan Metode
Penelitian ini dilakukan secara acak sebanyak 40 orang yang berumur dari 18-60
tahun. Semua pasien ini adalah pasien post operasi abdominal yang telah di ventilasi selama
96 jam sebelum dilakukan studi dan di perkirakan dilakukan pemberhentian dari ventilasi
mekanik dalam waktu 24 jam kedepan. Semua pasien telah menyutujui informed consent
yang telah diwakilkan oleh anggota keluarga pasien. Pasien dengan gangguan hati atau
ginjal,gangguan neurologis berat,miokardial infark akut, denyut nadi dibawah 60x/menit,
2

tekanan sistol dibawah 90mmhg walaupun dengan pemberian vasopresor jangka panjang,
menerima sedatif dan obat antikonfulsan, wanita hamil dan menyusui, dan pasien alergi
dengan midazolam dan dexmedetominide telah di ekslusi dari studi.
Sesuai dengan protokol institusi, semua pasien telah menerima morfin atau fentanil
sebagai analgesik dan midazolam atau lorazepam sebagai sedasi tergantung pilihan dari
tenaga kesehatan yang menangani. Persiapan dari pemberhentian telah di tentukan dengan
berbagai faktor yaitu ; terbangun, batuk, Pa02> 60mmhg, saturasi oksigen >90%, fraksi
oksigen inhalasi < 0,4, tekanan positif oksigen ekspirasi < 10cm H2O, RR <35/min, ventilasi
<15 L/min, tidak ada infusi inotropic atau vasopresor, rata rata tekanan arteri >60mmgh, adn
tidak ada bukti miokardiak infark akut (seperti sakit dada, elektriodogram yang statis,
peningkatan level biomarker atau aritmia baru). Untuk melihat kesiapan untuk pemberhentian
semua pasien tersebut telah di berikan dosis pemberhentian, dan dinilai setiap jam untuk
kesadaran, yang disebut skala sedasi Ramsay (RSS) score 1-4 dan dapat melakukan minmal 3
hal yaitu mata terbuka, meremas tangan, dan pergerakan jempol kaki. Pasien diberikan
spontaneous breathing trial (SBT). Pasien yang telah menyelesaikan 2 jam pernafasan
spontan dilanjutan dengan percobaan

pemberhentian ventilasi mekanis dan ektubasi

dipengaruhi dari kemampuan mereka untuk melindungi jalan nafas, batuk dan membersihkan
sisa sekresi. Sementara itu, SBT diberhentikan jika ada tanda takipnue (RR>35/min selama 5
menit), hipoksia (Sp02 < 90%) , perubahan di denyut jantung dan pernafasan lebih dari 20%
atau terjadi ansietas dan diaphoresis. Pasien yang gagal SBT dilakukan randomisasi menjadi
2 grup masing masing 20 pasien yang akan menerima salah satu dari obat penelitan
menggunakan bantukan progam komputer yang di randomisasi.

Grup 1 : Pasien menerima Infus IV dexmedetomidine dengan kecepatan 0,2-0,7

mcg/kg/jam (disesuaikan dengen kebutuhan sedasi , RSS 2-4).


Grup 2 :pasien menerima infusi IV midazolam dengan kecepatan 0,04 0,2
mg/kg/jam (disesuaikan dengen kebutuhan sedasi , RSS 2-4).
Sedasi dibagi berdasarkan 3 kategori berdasarkan RSS :
1. Insufficient : jika level sedasi adalah grade 1 di RSS
2. Adequate : jika level sedasi adalah grade 2-4 di RSS
3. Excessive : jika level sedasi adalah grade 5-6 di RSS
Saat memulai proses pemberhentian ventilasi, analgesi yang di berikan bersama

dengan parasetamol diberikan ke seluruh pasien. Obat yang digunakan dalam studi diberikan
dalam jangka waktu maksimal selama 24 jam. Perubahan hemodinamik direkam setiap 4 jam
sekali dan setiap 2 jam sekali setelah penghentian dari infusi obat. Setiap pasien secara teratur
3

di nilai untuk obat yang digunakan dalam studi diberikan dalam jangka waktu maksimal
selama 24 jam. Setiap pasien secara teratur di nilai untuk kemungkinan dilakukan ektubasi.
Setelah kriteria ekstubasi di penuhi, proses ekstubasi dilakukan berdasarkan protokol
ekstubasi dan waktu dilakukan ekstubasi (dari mulai infusi obat sampai ekstubasi) dan durasi
waktu pemberian obat. Pasien yang dapat mempertahankan pernafasan spontan tanpa bantuan
ventilasi selama 24jam setelah ekstubasi dinyatakan berhasil proses pemberhentian ventilasi
dan pada pasien yang dinyatakan tidak lulus dieksluasi dari studi dan dinyatakan gagal proses
ekstubasi. Sampel gas darah ateri diambil pada saat proses pemberhentian ventilsasi, sebelum
ekstubasi dan 1 jam setelah ekstubasi.
Analisa statistik
Data kualitatif dijelaskan dalam standart deviasi rata-rata dan dibandingkan
menggunakan Students test atau Mann Whitney test. Data katagori dideskripsi dengan
menggunakan frekusensi absolut dan persentase dan dibandingkan dengan Chi-Square.
Perbedaan dinyatakan signifikan jika P<0,05.
HASIL
Pasien dalam 2 grup dibandingkan secara usia, jenis kelamin, indeks masa tubuh ,
indikasi untuk dilakukan ventilasi dan durasi ventilasi sebelum dilakukan infusi obat
penelitian (tabel 1).
TABEL
Level sedasi berdasarkan RSS diantara tiap pasien dalam 2 grup tersebut dinyatakan
dapat dibandingkan dalam berbagai waktu yang berbeda (tabel 2). Kebanyakan pasien dalam
kedua kelompok di sedasi secara cukup selama dilakukan sedasi. Sedasi berlebih hanyai
ditemukan ada kelompok midazolam (2 pasien dalam 12 jam, 2 pasien dalam 16 jam dan 1
pasien dalam 20 jam). Tidak ditemukan sedasi berlebih pada kelompok dexmedetimidine.
Waktu proses extubasi pada kelompok dexmedetominide dinyatakan lebih pendek
(24,210 +- 1,6651 jam) dibandingkan kelompok midazolam (31,350 +- 3,3447 jam) (tabel 3).
Pasien pada kedua kelompok tetap dinyatakan stabil secara hemodinamik sepanjang
waktu penelitian. Perbedaan detak jantung pada kedua kelompok bisa dibandingkan dan
secara statistik signifikan dalam waktu 0-12 jam. Pada 16,20 dan 24 jam setelah infusi obat,
denyut jantung pada kelompok dexmedetomidine secara signifikan lebih rendah daripada
kelompok midazolam. Pada perbandingkan intra kelompok, rata-rata penuruan denyut nadi
4

dari garis baseline lebih signifikan pada kelompok dexmedetomidine pada 16, 20 dan 24 jam.
Setelah ekstubasi, denyut nadi pada kelompok dexmedetomidine lebih rendah daripada
kelompok midazolam ketika dibandikan sampai waktu 12 jam postekstubasi. (tabel 4 dan
figur 1).
Tabel 1. Profil Demografi

Tabel 2. Level Sedasi

Tabel 3. Waktu Proses Extubasi


5

Tabel 4. Kecenderungan Heart Rate Sebelum dan Setelah Extubasi

Figur 1. Kecenderungan Hemodinamik

Figur 1. Kecenderungan Saturasi Oksigen (SpO2)


6

Nilai garis dasar pada tekanan sistolik di kelompok dexmedetomidine dan kelompok
midazolam dinyatakan tidak signifikan. Perubahan rata rata tekanan darah sistolik dari garis
sampai 16 jam dari dimulaina penelitian pada kedua kelompok dinyatakan tidak signifikan.
Namun, terjadi penurunan tekanan sistolik yang signifikan ditemukan pada jam 20 hanya
pada kelompok dexmedetomidine dan penurunan pada jam 24 pada kedua kelompok obat.
Pada perbandingan antar kelompok, dexmedetomidine dan midazolam dinyatakan secara
statistik dapat dibandngan pada penilaian tekanan sistol terendah, extubasi dan waktu durasi
waktu sebeum dan setelah esktubasi.
Nilai Garis dasar saturasi oksigem (SpO2) pada kelompok dexmedetomidine dan
midazolam dinyatakan tidak signifikan secara statisik. Pada 24 jam setelah pemberian obat ,
kelompok mizadolam

ditemukan SpO2 yang lebih rendah dibanding kelompok

dexmedetomidine. Setelah ekstubasi, Saturasi oksigen pada kelompok dexmedetomidne


secara signifikan lebih tinggi dari pada kelompok midazolam.
DISKUSI
Salah satu obat ideal untuk sedasi di ICU adalah obat yang memiliki sifat OOA yang
cepat, DOA yang lambat dan yang menghasilkan sedasi tanpa mempengaruhi sistem
kardiovaskular atau pernafasan. Obat-obat ini harus memiliki waktu paruh eliminasi yang
singkat sehingga tidak terjadi akumulasi akibat pemberian yang terus-menerus dan berulang,
dan harus dimetabolisme oleh jalur yang tidak bergantung pada ginjal, hati, atau fungsi paru.
Etomidate, opioid, benzodiazepin, thiopentone, dan ketamin adalah beberapa contoh obat
yang tidak memiliki manfaat yang diinginkan dan oleh sebab itu, obat-obat tersebut tidak
menjadi obat pilihan.

Dalam praktek sehari-hari di ICU, tren telah menggunakan kombinasi opioid dan
benzodiazepin. Opioid dengan dosis yang cukup bisa bersifat sedatif, analgesia, euphoria dan
mengantuk dengan sedikit berpengaruh pada tekanan darah. Namun, opiat tidak baik untuk
penggunaan jangka panjang, sedasi terus menerus karena jumlah efek samping seperti
penurunan usus motilitas, toleransi, penarikan setelah penghentian obat, dan kemungkinan
pengaruh pada status kekebalan.
Benzodiazepin seperti diazepam atau lorazepam bertindak cepat, namun keberadaan
metabolit aktif memperpanjang pemulihan.
Midazolam adalah golongan benzodiazepin yang larut dalam air dengan obat
penenang, anxiolytic, antikonvulsan dan relaksan otot, dengan toksisitas rendah telah
digunakan sebagai obat penenang di ICU, tapi menghasilkan depresi pernapasan, pemulihan
tertunda dan hipotensi. Sebuah "sindrom infus midazolam", dihasilkan dari dosis tinggi,
ditandai dengan gairah tertunda setelah penghentian, yang mengarah ke peningkatan panjang
dukungan ventilasi.
Dexmedetomidine baru, alpha-2 agonis yang ampuh dapat berperan di locus ceruleus,
menghambat stimulasi simpatis, dan menyediakan analgesia dan sedasi tanpa depresi
pernafasan dan ketidakstabilan hemodinamik. Hanya menghasilkan penurunan kognitif
ringan yang memungkinkan komunikasi yang mudah antara kesehatan penyedia dan pasien di
ICU.
Dalam penelitian

ini, kami membandingkan efektivitas dexmedetomidine dan

midazolam pada ekstubasi dini terhadap pasien dengan dukungan ventilasi mekanik.
Mengikuti mulai dari dexmedetomidine infus, tidak ada perbedaan di persentase waktu dalam
kisaran target RSS (96,6% dalam kelompok dexmedetomidine vs 87,6% pada kelompok
midazolam (P> 0,05). Ada 3,3% dan 8,3% pasien yang tidak cukup dibius di
dexmedetomidine dan midazolam kelompok masing-masing. Ada 4,2% pasien over-dibius
kelompok midazolam dan tidak ada di dexmedetomidine. Studi kami adalah sesuai dengan
yang Riker et al., yang melaporkan bahwa ada tidak ada perbedaan dalam hasil efikasi primer
dalam hal dari persentase waktu dalam target Richmond agitasi skala sedasi (Rass) Kisaran
(77,3% untuk dexmedetomidine - Pasien yang diobati dan 75,1% untuk midazolam - pasien
yang diobati; Perbedaan, 2,2% [95% confidence interval (CI), -3.2-7.5%]; P = 0,18). [29]
MIDEX percobaan membandingkan midazolam dengan dexmedetomidine sehubungan
dengan proporsi waktu di tingkat sedasi sasaran (diukur dengan Rass) di ICU dari 44 pusat di
sembilan negara Eropa menyimpulkan bahwa rasio dexmedetomidine / midazolam dalam
waktu target sedasi adalah 1,07 (95% CI, 0,97-1,18).
8

Dalam penelitian kami, waktu untuk ekstubasi di dexmedetomidine yang kelompok


(24,210 1,6651 h) ditemukan menjadi signifikan lebih rendah (7.14 h) dibandingkan pada
kelompok midazolam (31,350 3,3447 h). Venn et al. [18] pada tahun 2000 dibandingkan
dengan dexmedetomidine propofol untuk sedasi di ICU. Mereka menunjukkan bahwa kali
ekstubasi adalah serupa dan cepat dengan penggunaan kedua agen obat penenang (median
[berbagai] 28 [20-50] dan 29 [15-50] min [P = 0.63] untuk propofol dan dexmedetomidine
kelompok, masing-masing). Shehabi dkk. pada tahun 2004 menunjukkan bahwa berarti
waktu untuk ekstubasi lebih pendek di dexmedetomidine kelompok (24,21 h [22-28 h])
daripada kelompok midazolam (31,35 h [26-38 h] [P <0,05]).
Meskipun tingkat yang sama dari target yang dicapai dengan sedasi pasien yang
diobati dengan dexmedetomidine dan midazolam, beberapa perbedaan penting dicatat. Darah
sistolik rata-rata tekanan menurun 17% pada kelompok dexmedetomidine dan 5% dalam
kelompok midazolam (P <0,05), sedangkan diastolik berarti Tekanan darah berkurang
13,97% di dexmedetomidine kelompok dan 9.26% pada kelompok midazolam (P <0,05). Di
periode preextubation, denyut jantung rata-rata tetap rendah di kelompok dexmedetomidine
dari kelompok midazolam setiap saat, tapi itu secara statistik signifikan pada 16, 20, dan h 24
mulai infus. Pada periode postextubation, denyut jantung secara signifikan lebih rendah pada
kelompok dexmedetomidine dibandingkan dengan kelompok midazolam. Penurunan 28%
denyut jantung dari dasar terlihat dalam kelompok dexmedetomidine, sedangkan itu 7%
kelompok pengurangan midazolam (P <0,05).
Venn et al. juga melaporkan denyut jantung secara signifikan lebih rendah di
Kelompok dexmedetomidine (Figur 2). Namun, tidak ada perbedaan yang signifikan
ditemukan di tekanan arteri antara kelompok. Shehabi et al. pada tahun 2004 juga
melaporkan penurunan 16% dalam mean sistolik tekanan darah dan 21% penurunan denyut
jantung lebih dari yang pertama 4 h diikuti oleh minimal ( 10%) perubahan seluruh infus.
Pada tahun 2008, Arpino et al. juga menemukan bahwa denyut jantung cenderung terus turun
setelah inisiasi dexmedetomidine pada sebagian besar pasien, namun tidak mengakibatkan
penghentian tersebut dari dexmedetomidine di setiap pasien. Penambahan dexmedetomidine
dikaitkan dengan perubahan minimal dalam berarti tekanan arteri.
Dalam penelitian kami, tingkat SpO2 berarti dalam periode postextubation tetap
secara signifikan lebih tinggi pada kelompok dexmedetomidine (98,7%) dibandingkan
dengan kelompok midazolam (97,7%). Pasien dibius dengan dexmedetomidine yang mudah
arousable dan koperasi dengan prosedur seperti fisioterapi radiologi, penyedotan, posisi, dll,
tanpa menunjukkan gangguan. Dexmedetomidine pasien yang diobati menunjukkan cepat
9

pemulihan di tingkat kesadaran setelah penghentian infus obat dibandingkan dengan


midazolam mana 10% dari pasien over-dibius. Semua pasien yang berhasil diekstubasi tanpa
kegagalan penyapihan
Meskipun skor sedasi dasar berikut sedasi harian gangguan pada kedua kelompok
adalah sebanding, tapi masih infus midazolam diberikan sebelum memulai studi infus obat
juga bisa mengakibatkan waktu tertunda ekstubasi dalam kelompok midazolam. Keterbatasan
lain studi adalah ukuran sampel yang kecil dan kami juga tidak membandingkan keparahan
penyakit dan jenis, durasi dan tingkat keparahan operasi dalam dua kelompok. Studi masa
depan ICU sedasi keharusan melihat melampaui kualitas sedasi untuk fokus pada tambahan
hasil klinis penting seperti delirium dan jangka panjang fungsi kognitif, dll.
Kami dengan ini menyimpulkan bahwa dexmedetomidine memiliki klinis manfaat
yang relevan dibandingkan dengan midazolam dalam memfasilitasi ekstubasi karena waktu
yang lebih pendek untuk ekstubasi, lebih stabilitas hemodinamik, gairah mudah dan
kurangnya pernafasan depresi; oleh karena itu, dapat digunakan sebagai efektif, dan aman
agen penenang untuk memfasilitasi ekstubasi di ICU.

10

Anda mungkin juga menyukai