Anda di halaman 1dari 12

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN NHT DAN PBL UNTUK

MENCAPAI KOMPETENSI PEMAHAMAN DAN KEMAMPUAN ANALISIS


SISWA DALAM STRUKTUR DAN INTERAKSI DESA-KOTA SERTA
KAITANNYA DENGAN USAHA PEMERATAAN PEMBANGUNAN

Tifani Yuniar Priyandari


Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang
tifaniyuniar28@gmail.com
ABSTRAK: Salah satu Kompetensi Dasar (KD) pembelajaran geografi
dalam Kurikulum 2013 yang terbaru adalah menganalisis struktur keruangan
desa dan kota, interaksi desa dan kota, serta kaitannya dengan usaha
pemerataan pembangunan. Kompetensi Inti (KI) dalam KD ini adalah siswa
diharapkan untuk tidak hanya mampu memahami, tetapi juga dapat
menganalisis struktur keruangan, perkembangan, pola, serta faktor-faktor
interaksi desa dan kota. Selain itu, siswa juga diharapkan mampu
menganalisis usaha-usaha pemerataan pembangunan di desa dan kota, serta
dampak perkembangan kota terhadap masyarakat di desa dan kota. Guru
sebagai fasilitator dalam kelas harus bisa membuat strategi pembelajaran
yang efektif, sehingga mampu menyelesaikan permasalahan-permasalaha
yang seringkali terjadi dalam pembelajaran, seperti rendahnya pemahaman
dan kemampuan analisis siswa. Model pembelajaran numbered heads
together dan pembelajaran berbasis masalah (PBL) bisa menjadi solusi untuk
mengatasi kendala-kendala dalam pembelajaran geografi tersebut. Kedua
model pembelajaran tersebut diharapkan dapat meningkatkan tingkat
pemahaman siswa dan kemampuan siswa dalam menganalisis melalui
pembelajaran berbasis masalah.
Kata Kunci: numbered heads together, problem based learning, kemampuan
analisis, interaksi desa-kota, pemerataan pembangunan

Salah satu Kompetensi Dasar (KD) pembelajaran geografi dalam Kurikulum


2013 yang terbaru adalah menganalisis struktur keruangan desa dan kota, interaksi
desa dan kota, serta kaitannya dengan usaha pemerataan pembangunan. KD tersebut
menuntut siswa untuk mengembangkan kemampuannya dalam ranah kognitif C4,
yaitu menganalisis. Menurut Adams (2015), kemampuan menganalisis adalah
kemampuan untuk membedakan antara fakta dan opini, serta menghubungkan antara
suatu asumsi dengan asumsi yang lain. Geography Education National
Implementation Project (GENIP, 2012) mengemukakan apa yang dimaksud dengan
menganalisis, yaitu menguraikan suatu situasi kompleks ke dalam komponen-

komponen dan mencari hubungan antarkomponen tersebut. Siswa dikatakan mampu


untuk menganalisis apabila mereka dapat memisahkan suatu hal ke dalam bagianbagian tertentu dan dapat menemukan keterkaitan antara bagian-bagian tersebut serta
mengorganisasikan struktur dan komponennya masing-masing. Kemampuan ini
merupakan tipe hasil kompleks karena digolongkan sebagai kemampuan berpikir
tingkat tinggi yang menggabungkan unsur pengetahuan, pemahaman dan aplikasi
yang dimiliki siswa.
Pembangunan merupakan usaha terencana dan terprogram yang dilakukan
secara berkelanjutan oleh negara untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi
penduduknya. Pembangunan sebagai sebuah proses dinamis dilaksanakan untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat dalam rangka pengembangan ekonomi dan
peningkatan kualitas hidup masyarakat. Pembangunan adalah salah satu komponen
penting yang ikut menentukan kemajuan bangsa Indonesia. Jadi, sekolah sudah
seharusnya membimbing siswa mempelajari sebuah materi berkenaan dengan proses
pembangunan, sehingga siswa bisa memahami arti penting pembangunan bagi
Indonesia dan mampu berperan dalam proses pembangunan tersebut untuk
kedepannya.
Pembangunan nasional tidak terlepas dari struktur keruangan dan interaksi
antara desa dan kota. Hal tersebut dikarenakan desa dan kota memiliki hubungan
timbal balik yang berlangsung secara terus-menerus antara satu dengan lainnya.
Desa merupakan mitra bagi pembangunan kota, begitu pula sebaliknya, sehingga
keduanya membentuk sebuah interaksi dan ketergantungan. Dalam interaksi tersebut
terjadi pergerakan atau mobilitas manusia, barang dan jasa, gagasan, serta informasi
yang mempengaruhi proses pembangunan itu sendiri.
Indikator dalam KD 3.2 dan 4.2 untuk kelas XII adalah: (1) siswa mampu
memahami pola keruangan desa dan kota, (2) siswa mampu memahami interaksi
desa dan kota, (3) siswa mampu menganalisis struktur keruangan dan interaksi desa
dan kota, serta mengaitkannya dengan usaha pemerataan pembangunan, dan (4)
siswa mampu membuat makalah tentang usaha pemerataan pembangunan di desa
dan kota yang dilengkapi dengan peta, bagan, tabel, grafik, dan/atau diagram. KD ini
menuntut siswa untuk tidak hanya mampu memahami, tetapi juga dapat menganalisis
2

struktur keruangan, perkembangan desa dan kota, pola desa dan kota, serta faktorfaktor yang mempengaruhi interaksi antara desa dan kota. Selain itu, siswa juga
diharapkan mampu menganalisis usaha-usaha pemerataan pembangunan di desa dan
kota, serta dampak perkembangan kota terhadap masyarakat di desa dan kota. KD ini
menuntut siswa untuk memahami konsep-konsep dalam geografi, terutama yang
berkaitan dengan struktur keruangan di desa dan kota, serta merumuskan
permasalahan-permasalahan yang terjadi di desa dan kota untuk selanjutnya dicari
solusi dari permasalahan-permasalahan tersebut sebagai bagian dari usaha
pemerataan pembangunan di Indonesia.
Selanjutnya untuk keterampilan dalam KD, siswa membuat makalah tentang
usaha pemerataan pembangunan di desa dan kota. Dalam makalah tersebut, siswa
menyajikan permasalahan yang telah dianalisis ke dalam sebuah karya tulis yang
terstruktur dan sistematis sesuai dengan kaidah-kaidah tertentu. Makalah tersebut
harus dilengkapi dengan peta, bagan, tabel, grafik, dan/atau diagram yang dibuat
berdasarkan data-data yang telah diperoleh untuk mempermudah penyajian data
dalam makalah. Pembuatan makalah ini diharapkan bisa menjadi acuan dalam
menilai hasil belajar siswa, sehingga dapat dilihat apakah KD tercapai dengan baik
atau tidak.
Pembelajaran Geografi di sekolah sering kali menemui berbagai macam
kendala. Kendala-kendala tersebut terkait dengan pemahaman siswa yang rendah
terhadap materi ajar (Sumarmi, 2012:5). Banyak siswa yang cenderung terpaku pada
kegiatan menghafalkan konsep-konsep, baik konsep konkret maupun konsep abstrak,
namun mereka mengalami kesulitan dalam memahami makna dari konsep-konsep
tersebut. Mereka tidak mampu menghubungkan antara apa yang telah mereka
pelajari di sekolah dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan diterapkan dan
dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini tentu saja akan menghambat
proses pembelajaran siswa dan ketercapaian tujuan pembelajaran pun menjadi
kurang maksimal.
Kendala lainnya yang juga sering ditemui adalah rendahnya kemampuan
analisis siswa. Menurut Anderson dan Krathwohl (2001:66-88), menganalisis
merupakan memecahkan suatu permasalahan dengan memisahkan tiap-tiap bagian
3

dari permasalahan dan mencari keterkaitan dari tiap-tiap bagian tersebut dan mencari
tahu bagaimana keterkaitan tersebut dapat menimbulkan permasalahan. Sebagian
besar siswa kurang mampu dalam menganalisis suatu fenomena geografi yang sering
ditemui di sekitar, sehingga mereka sulit merumuskan permasalahan terkait
fenomena geografi tersebut dan menemukan solusi atau pemecahannya. Padahal
kemampuan berpikir analisis seperti itu sangat dibutuhkan dalam kehidupan seharihari, terutama untuk menghadapi era globalisasi pada saat ini. Akibatnya,
Kompetensi Dasar (KD) dan Kompetensi Inti (KI) menjadi tidak tercapai dengan
baik dan pembelajaran di sekolah pun menjadi kurang bermakna bagi siswa.
Kendala-kendala di atas harus dicari penyelesaiannya. Guru sebagai fasilitator
dalam pembelajaran hendaknya membuat strategi yang tepat, salah satunya dengan
menggunakan model pembelajaran yang sesuai dengan KD dan KI. Keahlian guru
dalam memilih model pembelajaran yang sesuai dengan kompetensi yang akan
dicapai, strategi pembelajaran yang berpusat pada siswa, dan penciptaan suasana
belajar yang menyenangkan, sangat diperlukan (Perdana, 2011). Model pembelajaran
yang digunakan tidak hanya sekedar meningkatkan pemahaman siswa, tetapi juga
harus meningkatkan kemampuan siswa dalam menganalisis dan menyajikan
permasalahan terkait dengan materi yang diajarkan. Model pembelajaran numbered
heads together (NHT) dan problem based learning (PBL) bisa menjadi solusi yang
tepat untuk mengatasi kendala-kendala dalam pembelajaran geografi tersebut.

Model Pembelajaran Numbered Heads Together (NHT) untuk Meningkatkan


Pemahaman Siswa
Numbered Heads Together atau yang disebut pula dengan kepala bernomor
merupakan salah satu inovasi dalam pembelajaran kooperatif. NHT pertama kali
dikembangkan oleh Spenser Kagan pada tahun 1993 dan merupakan model
pembelajaran ini menekankan pada struktur-struktur khusus yang dirancang untuk
mempengaruhi pola interaksi siswa dalam menelaah dan memahami materi yang
tercakup dalam suatu pelajaran. Struktur Kagan menghendaki para siswa untuk
bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kooperatif. Struktur tersebut
dikembangkan sebagai bahan alternatif dari struktur kelas tradisional seperti
4

mengacungkan tangan terlebih dahulu untuk kemudian ditunjuk oleh guru sebelum
menjawab pertanyaan (Ibrahim, 2000:28). Model pembelajaran ini melatih siswa
untuk saling berbagi informasi, mendengarkan dengan cermat serta berbicara dengan
penuh perhitungan, berpikir secara kritis sehingga siswa lebih produktif dalam
pembelajaran.
Model pembelajaran NHT memberikan kesempatan untuk saling
membagikan ide-ide dan berfikir secara kritis untuk mempertimbangkan jawaban
yang paling tepat dari suatu pertanyaan, serta meningkatkan kemampuan siswa
dalam bekerja sama. Model pembelajaran ini mengedepankan interdependensi
posistif siswa dalam kelompok, tetapi juga memperdalam pemahaman siswa
terhadap materi secara individu (Kagan, 1982). Interdependensi positif muncul
ketika setiap anggota kelompok paham bahwa keberadaan seorang anggota akan
mempengaruhi anggota lainnya dalam kelompok, sehingga mereka akan saling
membantu demi keberhasilan kelompoknya. Kemampuan individu siswa juga
dikembangkan karena masing-masing anggota kelompok bertanggungjawab apabila
guru menyebutkan nomornya secara acak untuk menyampaikan jawabannya di depan
siswa-siswa lain.
Menurut Cruikshank (dalam Rusmiati, 2016), ada empat karakteristik utama
dari model pembelajaran kooperatif, termasuk NHT. Keempat karakteristik tersebut
adalah: (1) pembentukan kelompok-kelompok heterogen untuk melatih siswa bekerja
dalam tim; (2) pemilihan tugas untuk didiskusikan bersama kelompok yang
disesuaikan dengan kemampuan siswa; (3) siswa dilatih untuk tidak hanya
membentuk pemahamannya terhadap materi, tetapi juga mempentuk kepribadiannya
untuk mengelola kelompok dan meningkatkan akuntabilitasya secara individual; dan
(4) adanya penghargaan atau reward, sehingga siswa menjadi lebih termotivasi untuk
berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan pembelajaran.
Langkah-langkah dalam model pembelajaran NHT antara lain: (a)
penomoran, yaitu guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok atau tim yang
beranggotakan 4 5 orang dan memberi nomor siswa sehingga setiap siswa dalam
kelompok mempunyai nomor yang berbeda sesuai dengan siswa di dalam kelompok,
(b) pengajuan pertanyaan, yaitu guru mengajukan pertanyaan kepada siswa yang
5

dambil dari yang memang sedang dipelajari, (c) berpikir bersama, yaitu siswa
berpikir bersama kelompoknya untuk menemukan jawaban dan menjelaskan
jawaban kepada anggota dalam kelompoknya masing-masing sehingga semua
anggota mengetahui jawaban dari masing-masing pertanyaan, dan (d) pemberian
jawaban, yaitu guru menyebut salah satu nomor dan setiap siswa dari masing-masing
kelompok yang bernomor sama mengangkat tangan dan menyiapkan jawaban untuk
seluruh kelas, kemudian kelompok lain dengan nomor yang sama menanggapi
jawaban tersebut.
Ada beberapa kelebihan model pembelajaran NHT yang menjadikannya layak
untuk diterapkan. Kelebihan-kelebihan tersebut antara lain: (1) siswa mudah
memahami materi pelajaran karena menggunakan bahasa teman sebaya, (2) suasana
proses belajar mengajar bebas tidak ada rasa tertekan, (3) siswa mendapatkan
tingkah laku yang bertanggung jawab secara sosial, (4) setiap anggota kelompok
memiliki kesempatan yang cukup untuk mengemukakan ide, (5) menumbuhkan rasa
kerjasama untuk mencapai tujuan, (6) memberikan kesempatan kepada setiap
anggota untuk berpartisipasi aktif (Paito, 2013:25). Model pembelajaran NHT
mengarahkan siswa untuk aktif dalam kegiatan pembelajaran dan membangun
pengetahuannya secara mandiri sesuai dengan pengalaman yang dimiliki.

Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) untuk Meningkatkan


Kemampuan Analisis Siswa
PBL pertama kali dikembangkan oleh Howard S. Barrows untuk sekolah medis
pada tahun 80-an, tetapi kemudian juga dikembangkan oleh beberapa ahli dalam
berbagai macam disiplin ilmu, termasuk geografi. PBL berorientasi pada
permasalahan-permasalahan riil dan kompleks yang terjadi di dunia nyata sebagai
konteks pembelajaran di sekolah. Menurut Barrows (dalam Hmelo-Silver, 2004),
PBL terfokus pada pembelajaran bermakna yang diorganisasikan sedemikian rupa
melalui investigasi, penjabaran, dan penyelesaian masalah. Melalui PBL, siswa
bekerja sama dalam sebuah kelompok kecil untuk mencari tahu apa yang mereka
butuhkan untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Siswa dituntut untuk berperan
aktif dalam kegiatan pembelajaran untuk menciptakan pembelajaran yang bersifat
6

student-centered, sedangkan guru bertindak sebagai fasilitator yang bertugas


membimbing siswa dalam pelaksanaan pembelajaran..
Pemberian permasalahan riil dalam PBL akan merangsang rasa ingin tahu dan
keinginan siswa untuk mengamati, serta keinginan untuk menggali informasi
sebanyak-banyaknya mengenai suatu fenomena atau permasalahan terkait dengan
materi yang diajarkan. Rasa keingintahuan akan memotivasi siswa untuk
mempelajari dan memahami konsep sebagai bahan untuk sampai pada kesimpulan
yang dapat dijadikan solusi dalam memecahkan permasalahan tersebut. Hal inilah
yang menjadi tujuan dari PBL, yaitu meningkatkan motivasi siswa dengan
menghadapkan siswa pada permasalahan riil, sehingga siswa akan tertantang untuk
membangun pengetahuannya secara mandiri serta memecahkan permasalahan yang
dihadapi dengan kemampuan menganalisis dan berpikir kritisnya.
Berdasarkan teori yang dikembangkan Barrows, Min Liu (2005)
menjelaskan menjabarkan karakteristik PBL, yaitu: (1) didasarkan pada teori
konstruktivisme di mana siswa didorong untuk dapat mengembangkan
pengetahuannya sendiri, sehingga proses pembelajaran lebih menitikberatkan kepada
siswa sebagai orang belajar; (2) masalah yang disajikan kepada siswa adalah masalah
yang kontekstual dan otentik, sehingga siswa mampu dengan mudah memahami
masalah tersebut serta dapat menerapkannya dalam kehidupan profesionalnya nanti;
(3) dalam proses pemecahan masalah, siswa didorong untuk berusaha mencari
sendiri melalui sumbernya, baik dari buku atau informasi lainnya; (4) dilaksakan
dalam kelompok kecil agar terjadi interaksi ilmiah dan tukar pemikiran dalam usaha
membangun pengetahuan secara kolaboratif, serta menuntut pembagian tugas yang
jelas dan penetapan tujuan yang jelas; dan (5) guru hanya berperan sebagai
fasilitator, tetapi harus selalu memantau perkembangan aktivitas siswa dan
mendorong siswa agar mencapai target yang hendak dicapai. Karakteristikkarakteristik tersebut menjadikan PBL sebuah model pembelajaran yang dapat
meningkatkan kemampuan berpikir analitis siswa. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Perwitasari (2016) bahwa kemampuan berpikir analitis juga dipengaruhi dan
didukung oleh pencarian informasi untuk menemukan informasi yang digunakan
dalam memecahkan suatu masalah.

Model PBL memiliki beberapa tahap pada implementasinya dalam proses


pembelajaran. Menurut Arends (dalam Rosyida, 2014), tahap-tahap PBL adalah: (1)
memberikan orientasi tentang permasalahannya kepada peserta didik, (2)
mengorganisasikan peserta didik untuk meneliti, (3) membantu investigasi mandiri
ataupun kelompok, (4) mengembangkan dan mempresentasikan hasil karya, dan (5)
menganalisa dan mengevaluasi proses mengatasi masalah. Kelima tahap tersebut
dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menganalisis permasalahanpermasalahan yang terjadi terkait dengan materi yang dimaksud dalam kegiatan
pembelajaran untuk kemudian dicari solusinya. Solusi tersebut dituangkan ke dalam
sebuah karya yang disajikan di depan kelas.
PBL adalah salah satu model pembelajaran yang disarankan untuk diterapkan
dalam Kurikulum 2013 karena kelebihan-kelebihannya. Djamarah dan Zaim (dalam
Rahmawati, 2013 menyebutkan beberapa kelebihan PBL, yaitu: (1) pembelajaran ini
merupakan pendidikan di sekolah yang relevan dengan kehidupan khususnya dunia
kerja; (2) pembelajaran ini membiasakan siswa menghadapi masalah di kehidupan
masyarakat bekerja keras dan memiliki kemampuan yang sangat bermakna bagi
kehidupan; (3) pembelajaran ini merangsang pengembangan kemampuan berpikir
siswa secara kreatif dan menyeluruh bagi berbagai segi dalam rangka solusi suatu
permasalahan. Sanjaya (dalam Alfi, 2016) juga menyebutkan kelebihan PBL, antara
lain: (a) menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk
menemukan pengetahuan baru bagi siswa; (b) membantu siswa untuk
mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggungjawab dalam pembelajaran
yang siswa lakukan; (c) memperlihatkan kepada siswa bahwa setiap mata pelajaran
pada dasarnya merupakan cara berpikir dan sesuatu yang harus dimengerti oleh
siswa; dan (d) mengembangkan minat siswa untuk secara terus-menerus belajar
sekalipun belajar pada pendidikan formal berakhir. Penerapan PBL dalam kegiatan
pembelajaran akan membantu guru untuk membimbing siswa mencapai kompetensi
dalam Kurikulum 2013 yang menghendaki pengembangan kemampuan siswa secara
lebih holistik yang bisa dimanfaatkan oleh siswa seumur hidup.

Keterkaitan Penerapan NHT dan PBL dengan Pencapaian Kompetensi Dasar


3.2 Dan 4.2 Kelas XII
Model pembelajaran NHT dapat membantu siswa dalam meningkatkan
pemahamannya akan materi struktur dan interaksi desa kota dalam KD 3.2. Siswa
dibimbing untuk menguasai materi dalam ranah kognitif C1, C2, dan C3 terlebih
dahulu, yakni kemampuan berupa pengetahuan, pemahaman dan aplikasi sebelum
melaksanakan kegiatan analisis yang menyentuh ranah kognitif C4. Dengan
demikian, siswa diharapkan memiliki kemampuan dan dasar yang cukup untuk bisa
mencapai indikator yang telah ditentukan.
Dalam meningkatkan pemahaman siswa, maka disusun langkah-langkah
pembelajaran NHT sebagai berikut: (1) guru membagi siswa menjadi beberapa
kelompok kecil beranggotakan 4-5 orang; (2) masing-masing kelompok menentukan
nomor untuk setiap anggotanya; (3) guru mengajukan pertanyaan yang berkaitan
dengan KD 3.2 untuk seluruh kelompok dan memberikan batas waktu tertentu bagi
kelompok untuk menjawab pertanyaan yang diajukan; (4) siswa berdiskusi dengan
kelompoknya untuk menjawab pertanyaan tersebut dan memastikan bahwa setiap
anggota mengetahui jawaban dari hasil diskusi kelompoknya; dan (5) guru
menyebutkan nomor secara acak dan setiap siswa dalam masing-masing kelompok
yang nomornya disebutkan berdiri untuk mengemukakan jawabannya.
Penerapan model pembelajaran NHT dalam KD 3.2 menganalisis struktur
keruangan desa dan kota, interaksi desa dan kota, serta kaitannya dengan usaha
pemerataan pembangunan mendorong siswa untuk memperdalam pemahamannya
dalam materi dan konsep-konsep, baik yang bersifat konkret maupun yang bersifat
abstrak. Pada langkah keempat, yaitu ketika siswa berdiskusi dengan kelompoknya
untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru, siswa akan bertukar pikiran
antara satu dengan yang lainnya dan mencari jawaban yang paling tepat. Siswa yang
mampu menjawab pertanyaan akan membantu siswa yang lain dalam kelompoknya,
sehingga siswa yang awalnya tidak mengetahui jawaban dari pertanyaan pun
menjadi tahu. Siswa diajak untuk berpikir secara aktif dalam menjawab pertanyaan
yang diberikan oleh guru dan menjadi termotivasi lebih untuk mencari sumbersumber sebagai referensi guna memberikan jawaban yang paling tepat.
9

PBL merupakan model pembelajaran yang menitikberatkan kepada siswa


sebagai pembelajar serta terhadap permasalahan riil dan relevan untuk dipecahkan
dengan menggunakan seluruh pengetahuan yang dimilikinya atau dari sumbersumber lainnya. Melalui PBL, siswa diarahkan untuk menciptakan sebuah
pembelajaran bermakna yang diorganisasikan melalui investigasi, penjabaran, dan
penyelesaian masalah yang berhubungan dengan materi dalam KD 3.2. Model
pembelajaran yang berbasis masalah seperti PBL baik diterapkan untuk
meningkatkan kemampuan siswa dalam menganalisis karena membimbing siswa
untuk merumuskan permasalahan yang terjadi terkait struktur keruangan dan
interaksi desa kota, mencari informasi sebanyak-banyaknya terkait materi tersebut,
sehingga akan didapatkan pemecahan beserta solusinya.
Langkah-langkah PBL untuk meningkatkan kemampuan menganalisis siswa
disusun sebagai berikut: (1) guru mengarahkan siswa untuk merumuskan
permasalahan yang terjadi terkait dengan materi dalam KD 3.2; (2) siswa melakukan
diskusi dengan kelompoknya yang beranggotakan 4-5 orang untuk: a)
mengklarifikasi dan mendefinisikan permasalahan yang akan dibahas, b) melakukan
tukar pikiran berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki, c) menetapkan hal-hal
yang diperlukan dan harus dilakukan dalam penyelesaian masalah; (3) siswa
mengkaji secara independen berkaitan dengan pernasakahan yang harus diselesaikan
dengan cara mencari sumber dan data; (4) siswa kembali ke dalam kelompoknya
untuk bertukar informasi yang didapat dan menyatukan pikiran untuk mendapatkan
solusi yang tepat; (5) siswa menyajikan solusi yang mereka temukan; dan (6) guru
membantu siswa melakukan evaluasi yang berkaitan dengan seluruh kegiatan
pembelajaran.
Penerapan PBL dalam KD 3.2 menganalisis struktur keruangan desa dan
kota, interaksi desa dan kota, serta kaitannya dengan usaha pemerataan
pembangunan akan mendorong siswa untuk bekerja secara kelompok untuk
menggali secara lebih mendalam tentang permasalahan-permasalahan mengenai
struktur keruangan dan interaksi desa dan kota. Pada langkah pertama hingga akhir,
siswa ditumbuhkan rasa ingin tahunya untuk mencari keterkaitan antara faktor satu
dengan faktor lain, mengorganisasikan berbagai konsep dan pengetahuan yang
didapatkan, sampai akhirnya mendapatkan hasil berupa pemecahan dari
10

permasalahan yang dikemukakan. Hasil tersebut kemudian dihubungkan dengan


usaha pemerataan pembangunan di Indonesia. Selain itu PBL juga dapat membantu
siswa dalam pencapaian KD 4.2 membuat makalah tentang usaha pemerataan
pembangunan di desa dan kota yang dilengkapi dengan peta, bagan, tabel, grafik,
dan/atau diagram, yaitu menghasilkan sebuah karya yang ditulis berdasarkan
investigasi yang telah dilakukan untuk selanjutnya dipresentasikan di depan kelas.

KESIMPULAN
Penggunaan strategi pembelajaran yang tepat oleh guru sangat diperlukan
agar kegiatan pembelajaran di kelas bisa berjalan dengan baik. Salah satunya adalah
dengan memilih model pembelajaran yang efektif dan sesuai dengan Kompetensi
Dasar (KD). Penerapan model pembelajaran Numbered Heads Together (NHT) dan
Problem Based Learning (PBL) diharapkan dapat meningkatkan tingkat pemahaman
siswa terhadap materi dan kemampuan analisis siswa, sehingga tujuan KD 3.2 bisa
tercapai dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA
Adams, Nancy E. 2015. Blooms Taxonomy of Cognitive Learning Objectives.
Journal of The Medical Library Association. 103(3): 152-153.
Anderson, L.W., dan Krathwohl, D.R. 2001. A Taxonomy for Learning, Teaching,
and Assesing: A Revision of Blooms Taxonomy of Educational Objectives.
New York: Addison Wesley Longman, Inc.
Hmelo-Silver, C. E. 2004. Problem-Based Learning: What and How Do Students
Learn. Educational Psychology Review. 16(3).
Ibrahim, M, dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: University Press.
Kagan, Spencer. 1989. The Structural Approach to Cooperative Learning.
Association for Supervision and Curriculum Development.
Liu, Min. 2005. Motivating Students Through Problem Based Learning. National
Educational Computing Conference. University of Texas.
11

Geography Education National Implementation Project (GENIP). 2012. Geography


for Life: National Geography Standard, Second Edition. Washington:
National Council for Geographic Education.
Paito. 2013. Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together (NHT) untuk
Meningkatkan Motivasi Dan Hasil Belajar Siswa Materi Peluang di Kelas XI
IPA-1 SMA Negeri 1 Talun. Jurnal tesis. Universitas Negeri Malang.
Perdana, T. H. 2013. Penerapan Metode Numbered Heads Together (NHT) untuk
Meningkatkan Keaktifan dan Hasil Belajar Geografi pada Kompetensi Dasar
Mengidentifikasi Jenis-jenis Sumber Daya Alam Siswa kelas XI Semester
Genap SMA Kristen Kalam Kudus Sukoharjo Tahun Ajaran 2011/2012. Jurnal
Elektronik Fakultas Ilmu Pendidikan. Universitas Negeri Semarang.
Perwitasari, V. R. S., Sumarmi, Amirudin, A. 2016. Pengaruh Group Investigation
Berbasis Outdoor Study terhadap Kemampuan Berpikir Analitis Siswa. Jurnal
Pendidikan: Teori, Penelitian dan Pengembangan Universitas Negeri Malang,
1(3): 87-93.
Rahmawati, Amirudin, A., Buranda, J. P. 2013. Pengaruh Model Pembelajaran
Problem based Learning terhadap Kemampuan Berpikir Analitis pada Mata
Pelajaran Geografi Siswa SMA. Jurnal Pendidikan Geografi Universitas
Negeri Malang, 2(2).
Rosyida, Y. N. 2014. Efektivitas Penggunaan Model Problem Based Learning
Terhadap Critical Thinking Peserta Didik pada Pembelajaran Geografi
Kelas X IS 2 di SMA Negeri 1 Banyudono. Jurnal Pendidikan Geografi UNS.
Rusmiati. 2016. An Overview of Numbered Heads Together in Language Teaching.
Getsempena English Education Journal. 3(1).
Sumarmi. 2012. Model-model Pembelajaran Geografi. Yogyakarta: Aditya Media.
Alfi, C., Sumarmi, Amirudin, A. 2016. Pengaruh Pembelajaran Geografi Berbasis
Masalah dengan Blended Learning terhadap Kemampuan Berpikir Kritis
Siswa. Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian dan Pengembangan Universitas
Negeri Malang, 1(4): 597-602.

12

Anda mungkin juga menyukai