struktur keruangan, perkembangan desa dan kota, pola desa dan kota, serta faktorfaktor yang mempengaruhi interaksi antara desa dan kota. Selain itu, siswa juga
diharapkan mampu menganalisis usaha-usaha pemerataan pembangunan di desa dan
kota, serta dampak perkembangan kota terhadap masyarakat di desa dan kota. KD ini
menuntut siswa untuk memahami konsep-konsep dalam geografi, terutama yang
berkaitan dengan struktur keruangan di desa dan kota, serta merumuskan
permasalahan-permasalahan yang terjadi di desa dan kota untuk selanjutnya dicari
solusi dari permasalahan-permasalahan tersebut sebagai bagian dari usaha
pemerataan pembangunan di Indonesia.
Selanjutnya untuk keterampilan dalam KD, siswa membuat makalah tentang
usaha pemerataan pembangunan di desa dan kota. Dalam makalah tersebut, siswa
menyajikan permasalahan yang telah dianalisis ke dalam sebuah karya tulis yang
terstruktur dan sistematis sesuai dengan kaidah-kaidah tertentu. Makalah tersebut
harus dilengkapi dengan peta, bagan, tabel, grafik, dan/atau diagram yang dibuat
berdasarkan data-data yang telah diperoleh untuk mempermudah penyajian data
dalam makalah. Pembuatan makalah ini diharapkan bisa menjadi acuan dalam
menilai hasil belajar siswa, sehingga dapat dilihat apakah KD tercapai dengan baik
atau tidak.
Pembelajaran Geografi di sekolah sering kali menemui berbagai macam
kendala. Kendala-kendala tersebut terkait dengan pemahaman siswa yang rendah
terhadap materi ajar (Sumarmi, 2012:5). Banyak siswa yang cenderung terpaku pada
kegiatan menghafalkan konsep-konsep, baik konsep konkret maupun konsep abstrak,
namun mereka mengalami kesulitan dalam memahami makna dari konsep-konsep
tersebut. Mereka tidak mampu menghubungkan antara apa yang telah mereka
pelajari di sekolah dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan diterapkan dan
dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini tentu saja akan menghambat
proses pembelajaran siswa dan ketercapaian tujuan pembelajaran pun menjadi
kurang maksimal.
Kendala lainnya yang juga sering ditemui adalah rendahnya kemampuan
analisis siswa. Menurut Anderson dan Krathwohl (2001:66-88), menganalisis
merupakan memecahkan suatu permasalahan dengan memisahkan tiap-tiap bagian
3
dari permasalahan dan mencari keterkaitan dari tiap-tiap bagian tersebut dan mencari
tahu bagaimana keterkaitan tersebut dapat menimbulkan permasalahan. Sebagian
besar siswa kurang mampu dalam menganalisis suatu fenomena geografi yang sering
ditemui di sekitar, sehingga mereka sulit merumuskan permasalahan terkait
fenomena geografi tersebut dan menemukan solusi atau pemecahannya. Padahal
kemampuan berpikir analisis seperti itu sangat dibutuhkan dalam kehidupan seharihari, terutama untuk menghadapi era globalisasi pada saat ini. Akibatnya,
Kompetensi Dasar (KD) dan Kompetensi Inti (KI) menjadi tidak tercapai dengan
baik dan pembelajaran di sekolah pun menjadi kurang bermakna bagi siswa.
Kendala-kendala di atas harus dicari penyelesaiannya. Guru sebagai fasilitator
dalam pembelajaran hendaknya membuat strategi yang tepat, salah satunya dengan
menggunakan model pembelajaran yang sesuai dengan KD dan KI. Keahlian guru
dalam memilih model pembelajaran yang sesuai dengan kompetensi yang akan
dicapai, strategi pembelajaran yang berpusat pada siswa, dan penciptaan suasana
belajar yang menyenangkan, sangat diperlukan (Perdana, 2011). Model pembelajaran
yang digunakan tidak hanya sekedar meningkatkan pemahaman siswa, tetapi juga
harus meningkatkan kemampuan siswa dalam menganalisis dan menyajikan
permasalahan terkait dengan materi yang diajarkan. Model pembelajaran numbered
heads together (NHT) dan problem based learning (PBL) bisa menjadi solusi yang
tepat untuk mengatasi kendala-kendala dalam pembelajaran geografi tersebut.
mengacungkan tangan terlebih dahulu untuk kemudian ditunjuk oleh guru sebelum
menjawab pertanyaan (Ibrahim, 2000:28). Model pembelajaran ini melatih siswa
untuk saling berbagi informasi, mendengarkan dengan cermat serta berbicara dengan
penuh perhitungan, berpikir secara kritis sehingga siswa lebih produktif dalam
pembelajaran.
Model pembelajaran NHT memberikan kesempatan untuk saling
membagikan ide-ide dan berfikir secara kritis untuk mempertimbangkan jawaban
yang paling tepat dari suatu pertanyaan, serta meningkatkan kemampuan siswa
dalam bekerja sama. Model pembelajaran ini mengedepankan interdependensi
posistif siswa dalam kelompok, tetapi juga memperdalam pemahaman siswa
terhadap materi secara individu (Kagan, 1982). Interdependensi positif muncul
ketika setiap anggota kelompok paham bahwa keberadaan seorang anggota akan
mempengaruhi anggota lainnya dalam kelompok, sehingga mereka akan saling
membantu demi keberhasilan kelompoknya. Kemampuan individu siswa juga
dikembangkan karena masing-masing anggota kelompok bertanggungjawab apabila
guru menyebutkan nomornya secara acak untuk menyampaikan jawabannya di depan
siswa-siswa lain.
Menurut Cruikshank (dalam Rusmiati, 2016), ada empat karakteristik utama
dari model pembelajaran kooperatif, termasuk NHT. Keempat karakteristik tersebut
adalah: (1) pembentukan kelompok-kelompok heterogen untuk melatih siswa bekerja
dalam tim; (2) pemilihan tugas untuk didiskusikan bersama kelompok yang
disesuaikan dengan kemampuan siswa; (3) siswa dilatih untuk tidak hanya
membentuk pemahamannya terhadap materi, tetapi juga mempentuk kepribadiannya
untuk mengelola kelompok dan meningkatkan akuntabilitasya secara individual; dan
(4) adanya penghargaan atau reward, sehingga siswa menjadi lebih termotivasi untuk
berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan pembelajaran.
Langkah-langkah dalam model pembelajaran NHT antara lain: (a)
penomoran, yaitu guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok atau tim yang
beranggotakan 4 5 orang dan memberi nomor siswa sehingga setiap siswa dalam
kelompok mempunyai nomor yang berbeda sesuai dengan siswa di dalam kelompok,
(b) pengajuan pertanyaan, yaitu guru mengajukan pertanyaan kepada siswa yang
5
dambil dari yang memang sedang dipelajari, (c) berpikir bersama, yaitu siswa
berpikir bersama kelompoknya untuk menemukan jawaban dan menjelaskan
jawaban kepada anggota dalam kelompoknya masing-masing sehingga semua
anggota mengetahui jawaban dari masing-masing pertanyaan, dan (d) pemberian
jawaban, yaitu guru menyebut salah satu nomor dan setiap siswa dari masing-masing
kelompok yang bernomor sama mengangkat tangan dan menyiapkan jawaban untuk
seluruh kelas, kemudian kelompok lain dengan nomor yang sama menanggapi
jawaban tersebut.
Ada beberapa kelebihan model pembelajaran NHT yang menjadikannya layak
untuk diterapkan. Kelebihan-kelebihan tersebut antara lain: (1) siswa mudah
memahami materi pelajaran karena menggunakan bahasa teman sebaya, (2) suasana
proses belajar mengajar bebas tidak ada rasa tertekan, (3) siswa mendapatkan
tingkah laku yang bertanggung jawab secara sosial, (4) setiap anggota kelompok
memiliki kesempatan yang cukup untuk mengemukakan ide, (5) menumbuhkan rasa
kerjasama untuk mencapai tujuan, (6) memberikan kesempatan kepada setiap
anggota untuk berpartisipasi aktif (Paito, 2013:25). Model pembelajaran NHT
mengarahkan siswa untuk aktif dalam kegiatan pembelajaran dan membangun
pengetahuannya secara mandiri sesuai dengan pengalaman yang dimiliki.
KESIMPULAN
Penggunaan strategi pembelajaran yang tepat oleh guru sangat diperlukan
agar kegiatan pembelajaran di kelas bisa berjalan dengan baik. Salah satunya adalah
dengan memilih model pembelajaran yang efektif dan sesuai dengan Kompetensi
Dasar (KD). Penerapan model pembelajaran Numbered Heads Together (NHT) dan
Problem Based Learning (PBL) diharapkan dapat meningkatkan tingkat pemahaman
siswa terhadap materi dan kemampuan analisis siswa, sehingga tujuan KD 3.2 bisa
tercapai dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, Nancy E. 2015. Blooms Taxonomy of Cognitive Learning Objectives.
Journal of The Medical Library Association. 103(3): 152-153.
Anderson, L.W., dan Krathwohl, D.R. 2001. A Taxonomy for Learning, Teaching,
and Assesing: A Revision of Blooms Taxonomy of Educational Objectives.
New York: Addison Wesley Longman, Inc.
Hmelo-Silver, C. E. 2004. Problem-Based Learning: What and How Do Students
Learn. Educational Psychology Review. 16(3).
Ibrahim, M, dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: University Press.
Kagan, Spencer. 1989. The Structural Approach to Cooperative Learning.
Association for Supervision and Curriculum Development.
Liu, Min. 2005. Motivating Students Through Problem Based Learning. National
Educational Computing Conference. University of Texas.
11
12