Anda di halaman 1dari 155

PERNIKAHAN DINI; PERMASALAHAN, DAMPAK DAN

SOLUSINYA DALAM PERSPEKTIF BIMBINGAN


KONSELING KELUARGA ISLAMI
(Studi Kasus di Desa Kluwih Kec. Bandar Kab. Batang Tahun
2008 - 2010)

SKRIPSI

untuk memenuhi sebagian persyaratan


mencapai derajat Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)

Jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI)

FATKHURI
051111021

FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
ii
iii
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya
sendiri dan di dalamnya tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk
memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi di lembaga
pendidikan lainnya. Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penerbitan maupun
yang belum/tidak diterbitkan, sumbernya dijelaskan di dalam tulisan dan
daftar pustaka

Semarang, 15 Desember 2011


Tanda tangan,

FATKHURI
NIM: 051111021

iv
MOTTO


          
 
      !"  #
(56 :3) $ %& '$ (  ) &* ) &+ ,  ) &*  - .  /01,

Artinya: Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu,


dan orang-orang yang layak (bernikah) dari hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha
luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui (Q.S.An-Nuur':
32) (Depag RI, 1986: 549).

v
vi
vii
KATA PENGANTAR
Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang yang
senantiasa telah menganugerahkan rahmat, dan hidayah-Nya kepada penulis
dalam rangka menyelesaikan karya skripsi dengan judul PERNIKAHAN DINI;
PERMASALAHAN, DAMPAK DAN SOLUSINYA DALAM PERSPEKTIF
BMBINGAN KONSELING KELUARGA ISLAMI (Studi Kasus di Desa Kluwih
Kec. Bandar Kab. Batang Tahun 2008 - 2010)". Karya skripsi ini disusun untuk
memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)
bidang jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam di Fakultas Dakwah Institut Agama
Islam Negeri Walisongo Semarang. Shalawat serta salam semoga selalu
terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, para
sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti jejak perjuangannya.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis merasa bersyukur atas bantuan dan
dorongan, bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak yang telah membantu
terselesaikannya skripsi penulis dengan baik. Oleh karena itu penulis
menyampaikan banyak terima kasih kepada yang terhormat:
1. Bapak Rektor IAIN Walisongo, yang telah memimpin lembaga tersebut
dengan baik
2. Bapak Dr. Muhammad Sulthon, M. Ag. selaku Dekan Fakultas Dakwah IAIN
Walisongo Semarang.
3. Ibu Dra. Hj. Jauharotul Farida, M.Ag selaku Dosen pembimbing I dan Bapak
H. Sattar S Ag, M.Pd selaku Dosen pembimbing II yang telah berkenan
membimbing dengan keikhlasan dan kebijaksanaannya meluangkan waktu,
waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan pengarahan-pengarahan hingga
terselesaikannya skripsi ini.
4. Seluruh dosen, staf dan karyawan di lingkungan civitas akademik Fakultas
Dakwah IAIN Walisongo Semarang yang telah memberikan pelayanan yang
baik serta membantu kelancaran penulisan skripsi ini.

viii
5. Kepala perpustakaan IAIN Walisongo Semarang serta pengelola perpustakaan
Fakultas Dakwah yang telah memberikan pelayanan kepustakaan dengan baik.
6. Bapak dan Ibu yang tercinta, kakak dan adikku.
7. Teman-temanku mahasiswa IAIN Walisongo Semarang, khususnya kepada
mahasiswa Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang. Terutama ditujukan
kepada teman-temanku di jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam.
Pada akhirnya penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini belum
mencapai kesempurnaan yang ideal dalam arti sebenarnya, namun penulis
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan bagi para
pembaca pada umumnya.
Nasrun Minallah Wafathun Qorieb
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Penulis

ix
x
xi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pernikahan merupakan kebutuhan fitri setiap manusia yang

memberikan banyak hasil yang penting (Amini, 1999: 17). Pernikahan amat

penting dalam kehidupan manusia, perseorangan maupun kelompok, dengan

jalan pernikahan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan menjadi

terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan.

Pergaulan hidup berumah tangga dibina dalam suasana damai, tenteram, dan

rasa kasih sayang antara suami dan istri. Anak keturunan dari hasil pernikahan

yang sah menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus merupakan

kelangsungan hidup manusia secara bersih dan berkehormatan (Basyir, 2004:

1).

Firman Allah SWT:

% 8 9:;  -%   <


=> ?;@ #   <
A B #  C  D &E
" # ) F G   

0* B= IH  1> K
J  L M  N O,
* P? Q R 3  S?   
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (Depag RI,1978: 644).
] :-+:8 TU V&( )%& W &X Z Y Y [X#  0B
V # \# 
b&, ,0a,#] IX# :-+:8 TU ,I# ] OV&X# :-+:8 TU ,^Y_F#
OY d d U IU# T8 ":T1, V&( )%& W &X Z Y Y MN
1
\%&, OY=(  ef3 Q, /<Y ^Y_F# ,I# OV&X# ,0a,# IX#
.()%& DB=) ."OY
Artinya : Dari Anas, Sesungguhnya beberapa orang dari sahabat Nabi SAW
sebagian dari mereka ada yang mengatakan: Aku tidak akan
menikah. Sebagian dari mereka lagi mengatakan: Aku akan selalu
shalat dan tidak tidur. Dan sebagian dari mereka juga ada yang
mengatakan: Aku akan selalu berpuasa dan tidak akan berbuka.
Ketika hal itu di dengar oleh Nabi SAW beliau bersabda: apa
maunya orang-orang itu, mereka bilang begini dan begitu? Padahal
di samping berpuasa aku juga berbuka. Di samping sembahyang aku
juga tidur. Dan aku juga menikah dengan wanita. Barang siapa yang
tidak suka akan sunnahku, maka dia bukan termasuk dari
golonganku. (Muttafaqun A'laih) (Syaukani, , tth: 171).

Hadis di atas mengisyaratkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak

menyukai seseorang yang berprinsip anti menikah. Dalam pasal 1 Bab I

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 (Tentang Perkawinan) dinyatakan (Suma,

2004: 203); "Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".

Menurut Thalib (1986: 47) pernikahan ialah perjanjian suci membentuk

keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Sementara

Hamid (1978: 1) merumuskan nikah menurut syara ialah akad (ijb qabl)

antara wali calon istri dan mempelai laki-laki dengan ucapan tertentu dan

memenuhi rukun serta syaratnya.

Dari berbagai pengertian di atas, meskipun redaksinya berbeda akan

tetapi ada pula kesamaannya, karena itu dapat disimpulkan perkawinan ialah

suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-

laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup

2
berkeluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara

yang diridhai Tuhan.

Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ayat (1) menyatakan

bahwa "perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19

(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam

belas) tahun". Ketentuan batas umur ini, seperti disebutkan dalam Kompilasi

Hukum Islam pasal 15 ayat (1) didasarkan kepada pertimbangan kemaslahatan

keluarga dan rumah tangga perkawinan. Ini sejalan dengan prinsip yang

diletakkan UU Perkawinan, bahwa calon suami isteri harus telah masak jiwa

raganya, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa

berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk

itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih di

bawah umur (Rofiq, 1997: 76-77).

Pernikahan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan

karena pernikahan usia dini bagi seorang wanita untuk nikah mengakibatkan

tingginya laju kelahiran. Berhubung dengan itu, maka undang-undang ini

menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun wanita

(Penjelasan umum UU Perkawinan, nomor 4 huruf d) (Rofiq, 1997: 76-77).

Oleh karenanya mempelai lelaki dan mempelai perempuan, keduanya tidak

diperkenankan melakukan akad nikahnya manakala umur mereka belum

mencapai angka tersebut karena dipandang belum dewasa dan tidak cakap

bertindak (ghaira ahliyatil ada) (Kuzari, 1995: 35).

3
Diteliti secara seksama, ajaran Islam tidak pernah memberikan batasan

yang definitif pada usia berapa seseorang dianggap dewasa. Berdasarkan ilmu

pengetahuan, memang setiap daerah dan zaman memiliki perbedaan dengan

daerah dan zaman yang lain. Di sisi lain, masalah pernikahan merupakan

urusan hubungan antar manusia (mu'malah) yang oleh agama hanya diatur

dalam bentuk prinsip-prinsip umum. Tidak adanya ketentuan agama tentang

batas usia minimal dan maksimal untuk menikah dapat dianggap sebagai suatu

rahmat, kedewasaan untuk menikah termasuk masalah ijtihdiah, dalam arti

kata diberi kesempatan untuk berijtihad pada usia berapa seseorang pantas

menikah (T Yanggo dan Anshari, 1996: 80). Hal ini sebagaimana

diungkapkan Rofiq bahwa masalah penentuan umur dalam undang-undang

perkawinan maupun dalam kompilasi, memang bersifat ijtihdiah, sebagai

usaha pembaharuan pemikiran fiqh yang lalu, meskipun demikian, apabila

dilacak referensi syar'inya mempunyai landasan kuat (Rofiq, 1997: 77).

Pernikahan usia dini menimbulkan permasalahan dan dampak.

Permasalahannya:

a. Pernikahan usia dini ada kecenderungan sangat sulit mewujudkan tujuan

perkawinan secara baik.

b. Pernikahan usia dini ada kecenderungan berakhir pada perceraian

c. Pernikahan usia dini sulit mendapat keturunan yang baik dan sehat.

d. Pernikahan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan.

4
e. Dampaknya: ternyata bahwa batas umur yang rendah bagi seorang wanita

untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran lebih tinggi (Data dari KUA

Kec. Bandar Tahun 2008-2010).

Bertitik tolak dari permasalahan dan dampak tersebut, problem

pernikahan usia dini mempunyai kaitan yang erat dengan dakwah. Berbicara

problem dan penanggulangan pernikahan usia dini dalam kehidupan keluarga

maka perlu penanggulangan melalui pesan-pesan dakwah. Dengan dakwah

dapat diharapkan, kesalahan persepsi dan pandangan para orang tua, remaja

dan masyarakat dapat diluruskan, karena dakwah itu sendiri adalah mengajak

orang kepada kebenaran, mengerjakan perintah, menjauhi larangan agar

memperoleh kebahagiaan di masa sekarang dan yang akan datang (Umary,

1980: 52). Sejalan dengan itu, Sanusi (1980: 11) menyatakan, dakwah adalah

usaha-usaha perbaikan dan pembangunan masyarakat, memperbaiki

kerusakan-kerusakan, melenyapkan kebatilan, kemaksiatan dan ketidak

wajaran dalam masyarakat. Dengan demikian, dakwah berarti

memperjuangkan yang ma'ruf atas yang munkar, memenangkan yang hak atas

yang batil. Esensi dakwah adalah terletak pada ajakan, dorongan (motivasi),

rangsangan serta bimbingan terhadap orang lain untuk menerima ajaran agama

dengan penuh kesadaran demi untuk keuntungan pribadinya sendiri, bukan

untuk kepentingan juru dakwah/juru penerang (Arifin, 2000: 6).

Dalam pengertian yang integralistik, dakwah merupakan suatu proses

yang berkesinambungan yang ditangani oleh para pengemban dakwah untuk

mengubah sasaran dakwah agar bersedia masuk ke jalan Allah, dan secara

5
bertahap menuju perikehidupan yang Islami (Hafidhuddin, 2000: 77). Dakwah

adalah setiap usaha rekonstruksi masyarakat yang masih mengandung unsur-

unsur jahili agar menjadi masyarakat yang Islami (Rais, 1999: 25). Oleh

karena itu Zahrah (1994: 32) menegaskan bahwa dakwah Islamiah itu diawali

dengan amar ma'ruf dan nahi munkar, maka tidak ada penafsiran logis lain

lagi mengenai makna amar ma'ruf kecuali mengesakan Allah secara

sempurna, yakni mengesakan pada zat sifat-Nya. Lebih jauh dari itu, pada

hakikatnya dakwah Islam merupakan aktualisasi imani (teologis) yang

dimanifestasikan dalam suatu sistem kegiatan manusia beriman dalam bidang

kemasyarakatan yang dilaksanakan secara teratur untuk mempengaruhi cara

merasa, berpikir, bersikap dan bertindak manusia pada dataran kenyataan

individual dan sosio kultural dalam rangka mengusahakan terwujudnya ajaran

Islam dalam semua segi kehidupan dengan menggunakan cara tertentu

(Achmad, 1983: 2).

Demikian pentingnya dakwah dalam mengantisipasi dan

menanggulangi pernikahan usia dini, karena masih banyak keluarga yang

meminggirkan peranan usia perkawinan dalam kehidupan keluarga.

Kenyataan menunjukkan bahwa masih terdapat kesenjangan antara tujuan

perkawinan yang seharusnya membawa kebahagiaan dengan realita yang ada

di masyarakat yaitu perkawinan justru menimbulkan sejumlah masalah.

Urgensi dakwah dengan konsep pernikahan yaitu dakwah dapat

memperjelas dan memberi penerangan pada mad'u tentang bagaimana

6
pernikahan yang sesuai dengan al-Qur'an dan hadits. Dengan adanya dakwah

maka kekeliruan dalam memaknai pernikahan dapat dikurangi.

Memperhatikan keterangan di atas menunjukkan bahwa pernikahan

usia dini harus diantisipasi dan penting upaya penerangan untuk menghindari

pernikahan usia dini yang menimbulkan sejumlah problem. Problem-problem

pernikahan dan keluarga amal banyak sekali, dari yang kecil-kecil sampai

yang besar-besar. Dari sekedar pertengkaran kecil sampai keperceraian dan

keruntuhan kehidupan rumah tangga yang menyebabkan timbulnya "broken

home".

Penyebabnya bisa terjadi dari kesalahan awal pembentukan rumah

tangga, pada masa-masa sebelum dan menjelang pernikahan, bisa juga muncul

di saat-saat mengarungi bahtera kehidupan berumah tangga. Dengan kata lain,

ada banyak faktor yang menyebabkan pernikahan dan pembinaan kehidupan

berumah tangga atau berkeluarga itu tidak baik, tidak seperti diharapkan, tidak

dilimpahi "mawaddah dan rahmah," tidak menjadi keluarga "saknah."

Kenyataan akan adanya problem yang berkaitan dengan pernikahan

dan kehidupan keluarga, yang kerap kali tidak bisa diatasi sendiri oleh yang

terlibat dengan masalah tersebut, menunjukkan bahwa diperlukan adanya

bantuan konseling dari orang lain untuk turut serta mengatasinya. Selain itu.

kenyataan bahwa kehidupan pernikahan dan keluarga itu selalu saja ada

problemnya, menunjukkan pula perlunya ada bimbingan Islami mengenai

pernikahan dan pembinaan kehidupan berkeluarga. Demikian pula masih

banyaknya fenomena pernikahan dini di Desa Kluwih Kec. Bandar Kab.

7
Batang menunjukkan perlunya bimbingan Islami mengenai pernikahan dan

pembinaan kehidupan berkeluarga (Data dari Desa Kluwih Kec. Bandar

Tahun 2008-2010)

Berdasarkan uraian tersebut, penulis memilih tema penelitian dengan

judul Pernikahan Dini; Permasalahan, Dampak dan Solusinya dalam

Perspektif Bimbingan Konseling Keluarga Islami (Studi Kasus di Desa Kluwih

Kec. Bandar Kab. Batang Tahun 2008-2010)

1.2. Perumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang sebagaimana telah

dikemukakan, maka yang menjadi rumusan masalah:

1.2.1. Bagamana praktek pernikahan dini di Desa Kluwih Kec. Bandar Kab.

Batang Tahun 2008-2010 ditinjau dari segi dakwah?

1.2.2. Bagaimana praktek pernikahan dini di Desa Kluwih Kec. Bandar Kab.

Batang Tahun 2008-2010 ditinjau dari bimbingan dan konseling

Islam?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian sebagai berikut:

1.3.1.1. Untuk mengetahui praktek pernikahan dini di Desa Kluwih

Kec. Bandar Kab. Batang Tahun 2008-2010 ditinjau dari segi

dakwah

8
1.3.1.2. Untuk mengetahui praktek pernikahan dini di Desa Kluwih

Kec. Bandar Kab. Batang Tahun 2008-2010 ditinjau dari

bimbingan dan konseling Islam.

1.3.2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian dapat ditinjau dari dua aspek :

1.3.2.1. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat

menambah wawasan dan mengembangkan khazanah ilmu

pengetahuan, terkait dengan keilmuan Dakwah Jurusan

Bimbingan dan Konseling Islam

1.3.2.2. Secara praktis hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat

bagi masyarakat pembaca secara luas agar dapat membangun

keluarga sejahtera dan bahagia.

1.4. Tinjauan Pustaka

Penelitian dengan judul: Pernikahan Dini; Permasalahan, Dampak

dan Solusinya dalam Perspektif Dakwah (Studi Kasus di Desa Kluwih Kec.

Bandar Kab. Batang Tahun 2008-2010) belum banyak dibahas. Beberapa

hasil penelitian yang terkait dan ada relevansinya dengan penelitian ini. Hasil-

hasil penelitian tersebut antara lain adalah:

Suwardi Tahun 2004 dalam penelitian yang berjudul: Bimbingan

Pernikahan Keluarga Bahagia dan Sejahtera Kepada Pasangan Remaja Pra

Nikah (Studi Kasus di BP 4 KUA Kec. Guntur Kab Demak). Fokus penelitian

pasangan remaja pra nikah. Adapun metode yang digunakan yaitu metode

wawancara, observasi dan studi lapangan. Temuan penelitian tersebut

9
menunjukkan bahwa untuk membangun keluarga bahagia dan sejahtera perlu

adanya bimbingan pernikahan kepada pasangan remaja pra nikah..

Kenyataan menunjukkan bahwa cukup banyak keluarga yang

mengalami keretakan akibat kurang adanya pengertian antara suami isteri,

yang dapat berakibat cukup jauh antara lain terlantarnya anak-anak, putusnya

hubungan antara suami isteri, dan bentuk-bentuk yang lain. Untuk menjaga

agar hal-hal seperti tersebut tidak berkembang dengan subur, maka dengan

bimbingan dan konseling perkawinan diharapkan akan dapat memperkecil

ataupun meniadakan hal-hal yang tidak diharapkan dalam kehidupan keluarga,

sehingga kebahagiaan dalam keluarga dapat dicapainya.

Kesimpulan bahwa untuk membangun keluarga bahagia dan sejahtera

maka sangat besar peran dan fungsi BP 4 KUA Kec. Guntur Kab Demak.

Sri Hartatik Tahun 2007 dalam skripsi yang berjudul: Metode

Bimbingan Penyuluhan Islam dalam Membina Keluarga Sakinah di BP-4 Kua

Kecamatan Pedurungan Kota Semarang Tahun 2006 2007. Fokus penelitian

keluarga sakinah. Menyikapi kondisi dan fenomena di atas maka bila

dicermati bahwa krisis dalam rumah tangga bukan hanya terjadi dikalangan

orang biasa melainkan juga banyak terjadi pada lapisan atas tidak terkecuali

kalangan publik figur atau selebritis. Dari sini mereka sebetulnya sangat

memerlukan ada pihak yang dapat menengahi yang bersikap netral tanpa ada

unsur vested interest (kepentingan pribadi). Mereka yang dilanda krisis rumah

tangga sangat membutuhkan adanya upaya bimbingan dan penyuluhan

keluarga. Itulah sebabnya BP-4 Kecamatan Pedurungan kota Semarang telah

10
menempuh berbagai cara untuk membangun keluarga sakinah yang dalam hal

ini melakukan dengan metode bimbingan dan penyuluhan Islam. Pelaksanaan

metode itu membawa hasil yang menggembirakan, namun di samping itu

masih ada pula yang berakhir dengan perceraian, atau kemelut yang lain

(Dokumentasi Rekapitulisi KUA BP 4).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dan

observasi. Metode yang dipakai dalam pelaksanaan bimbingan dan

penyuluhan di BP-4 KUA Kecamatan Pedurungan adalah metode ceramah;

metode diskusi atau tanya jawab; dan metode individual atau perorangan. Dari

data yang diperoleh melalui wawancara, maka materi bimbingan dan

penyuluhan di BP-4 KUA Kecamatan Pedurungan meliputi: hak dan

kewajiban sebagai suami isteri; pemahaman tentang seks; memperhatikan

menu makanan; secara sungguh-sungguh melaksanakan hak dan kewajiban.

Menurut analisis peneliti bahwa pelaksanaan bimbingan dan penyuluhan Islam

di BP-4 KUA Kecamatan Pedurungan sangat tepat yaitu dengan diterapkannya

pemberian dan penanaman materi yang menyangkut munakahat, maka jika

mereka melaksanakannya dengan penuh kesadaran dan ketulusan maka rumah

tangga yang sakinah bisa diraihnya.

Metode bimbingan dan penyuluhan Islam di BP-4 KUA Kecamatan

Pedurungan meliputi metode ceramah, metode diskusi atau tanya jawab, dan

metode individual. Metode-metode tersebut sangat efektif dalam membimbing

pasangan suami isteri yang belum, dan sedang kena masalah. Jika dilihat dari

metode dakwah, maka metode yang dikembangkan itu tidak berbeda dengan

11
metode yang dipakai dalam dakwah. Dalam dakwah, ceramah misalnya

adalah suatu teknik atau metode dakwah yang banyak diwarnai oleh ciri

karakteristik bicara oleh seorang dai/mubaligh pada suatu aktivitas dakwah.

Ceramah dapat pula bersifat propaganda, kampanye, berpidato (retorika),

khutbah, sambutan, mengajar dan sebagainya.

Ary Cahyani Tahun 2006 dalam skripsi yang berjudul Analisis

Pemikiran Ali Akbar tentang Perawatan Cinta Kasih dalam Keluarga Ditinjau

dari Bimbingan dan Konseling Islam. Fokus penelitian bimbingan dan

konseling Islam. Metode penelitian ini menggunakan metode dokumentasi.

Hasil temuan menunjukkan bahwa untuk mempertahankan rumah tangga,

cinta kasih suami istri harus dipelihara, itulah sebabnya Ali Akbar

mengembangkan pemikirannya tentang cara merawat cinta kasih suami istri

perspektif Islam. Ali Akbar menyadari bahwa pendidikan seks bukan jaminan

mutlak dalam melestarikan sebuah rumah tangga, namun dalam kenyataannya,

pendidikan seks sangat mempengaruhi kelangsungan rumah tangga.

Pendidikan seks di sini harus didasarkan iman, itulah sebabnya pembinaan

agama harus diberikan bersama-sama dengan pendidikan seks (Akbar, 1977:

81).

Konsep yang ditawarkan Ali Akbar mengandung materi dakwah,

karena ia mengajak kepada umat Islam, khususnya suami Istri untuk

memahami pendidikan seks yang bernuansa Islam dan memahami ajaran

Islam. Oleh karena itu konsep Ali Akbar tentang merawat cinta kasih suami

istri merupakan materi dakwah, sebab di dalamnya mengandung ajakan atau

12
menyeru kepada umat Islam agar melihat dan berpedoman kepada al-Qur'an

dan hadis.

Dengan beberapa hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya

perbedaan dengan penelitian yang akan penulis lakukan.

1.5.Metodologi Penelitian

1.5.1 Jenis dan Pendekatan Penelitian

1.5.1.1 Jenis Penelitian

Sesuai rumusan masalah yang ada, maka jenis

penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yaitu suatu

metode penelitian yang digunakan untuk berupaya

memecahkan atau menjawab permasalahan yang sedang

dihadapi ditempuh dengan langkah-langkah pengumpulan,

klasiflkasi dan analisis atau pengolahan data, membuat

kesimpulan dan laporan dengan tujuan utama untuk membuat

penggambaran tentang sesuatu keadaan secara obyektif dari

suatu deskriptif (Ali, 1995 : 120).

1.5.1.2 Pendekatan Penelitian

Berkaitan dengan judul yang diangkat, maka

diperlukan pendekatan dalam melakukan penelitian kualitatif.

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan psikologi

Islam dan bimbingan dan konseling keluarga Islam.

1.5.1.3 Definisi Konseptual

Untuk dapat memperjelas penelitian ini, maka penulis

13
mendefinisikan judul secara konseptual sebagai berikut: yang

dimaksud pernikahan dini yaitu sebuah ikatan suami istri yang

dilakukan pada saat kedua calon suami dan istri masih usia

muda di bawah usia yang ditentukan dalam Undang-Undang

No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

1.5.2 Data dan Sumber Data

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini,

penulis menggunakan sumber data lapangan dan kepustakaan yang

digunakan untuk memperoleh data teoritis yang dibahas. Untuk itu

sebagai jenis datanya sebagai berikut:

a. Sumber Data Primer yaitu data yang langsung yang segera diperoleh

dari sumber data oleh penyelidik untuk tujuan yang khusus itu

(Surahmad, 989: 134). Data yang dimaksud adalah hasil wawancara,

observasi dan dokumen dari KUA dan dari Desa Kluwih Kec.

Bandar Kab. Batang

b. Data Sekunder yaitu data yang telah lebih dahulu dikumpulkan oleh

orang diluar diri penyelidik sendiri, walaupun yang dikumpulkan itu

sesungguhnya adalah data yang asli (Surahmad, 2008: 135). Dengan

demikian sebagai data sekunder yaitu buku-buku lain yang ada

hubungannya dengan penelitian ini.

14
1.5.3. Populasi dan Sampel

1.5.3.1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian yang akan

diteliti (Arikunto, 2002: 109). Dalam hal ini populasinya adalah

seluruh keluarga dari pernikahan dini Desa Kluwih Kec.

Bandar Kab. Batang yang berjumlah 20 keluarga (diketahui

berdasarkan pra penelitian). Macam atau varian pernikahan dini

yang terjadi di Desa Kluwih Kec. Bandar Kab. Batang yaitu

(pernikahan antara pria dini dengan wanita yang cukup umur,

pernikahan antara pria cukup umur dengan wanita dini,

pernikahan antara pria dini dengan wanita dini).

1.5.3.2.Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang akan diteliti

(Arikunto, 2002: 109). Meskipun demikian, penelitian ini tidak

menggunakan sampel karena populasinya berjumlah sedikit.

Dengan perkataan lain bahwa seluruh keluarga dari pernikahan

dini Desa Kluwih Kec. Bandar Kab. Batang hanya berjumlah

20 keluarga (diketahui berdasarkan pra penelitian dari tahun

2008 - 2010). Karena jumlahnya sedikit maka penelitian ini

menggunakan populasi terbatas.

1.5.4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang penulis lakukan dalam penelitan

ini adalah field research atau penelitian lapangan. Metode ini penulis

15
gunakan untuk mendapatkan data tentang pernikahan dini di Desa

Kluwih Kec. Bandar Kab. Batang Tahun 2008-2010 yang meliputi:

permasalahan, dampak dan solusinya.

Untuk memperoleh data dilakukan langkah-langkah sebagai

berikut:

1. Observasi

Metode Observasi yaitu metode pengumpulan data yang

dilakukan dengan jalan mengadakan pengamatan dan pencatatan

secara sistematis fenomena-fenomena yang diselidiki (Hadi, 1986:

70). Metode ini digunakan untuk meneliti dan mengobservasi secara

langsung gejala-gejala yang ada kaitannya dengan pokok masalah

yang ditemukan di lapangan untuk memperoleh keterangan tentang

Pernikahan Dini, Permasalahan, Dampak dan Solusinya dalam

Perspektif Dakwah (Studi Kasus di Desa Kluwih Kec. Bandar Kab.

Batang Tahun 2008-2010)

2. Wawancara

Metode wawancara yaitu suatu metode pengumpulan data

dengan mengajukan pertanyaan secara langsung kepada seseorang

yang berwenang tentang suatu masalah (Arikunto, 1993 : 104).

Dalam hal ini penulis melakukan wawancara secara langsung

kepada pasangan pernikahan dini, KUA, tokoh masyarakat dan

Kepala Desa Kluwih Kec. Bandar Kab. Batang.

16
3. Dokumentasi

Dokumentasi yaitu cara pengumpulan data melalui

peninggalan tertulis (dokumen) yang berupa arsip-arsip yang ada

hubungannya dengan penelitian ini (Hadi, 1973 : 133). Metode

dokumentasi ini digunakan untuk memperoleh data yang ada

kaitannya dengan pernikahan dini, permasalahan dan dampaknya.

1.5.5. Teknik Analisis Data


Analisis data adalah proses mengatur urutan data,

mengorganisasikannya dalam suatu pola, dan satuan uraian dasar

setelah data terkumpul kemudian di kelompokkan dalam satuan kategori

serta di analisis secara kualitatif (Moleong, 1993 : 103) Adapun metode

yang digunakan adalah metode analisis kualitatif dan deskriptif analisis

dengan tujuan melukiskan secara sistematik fakta, karakteristik dan

bidang-bidang tertentu secara faktual serta cermat dengan

menggambarkan keadaan atau status fenomena (Arikunto, 1998 : 245).

1.6. Sistematika Penulisan

Penulisan ini menggunakan sistematika sebagai berikut:

Bab kesatu pendahuluan, memuat: latar belakang, perumusan masalah,

tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritik, metode

penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab kedua berisi pernikahan dini, bimbingan dan konseling pernikahan

islami yang meliputi pernikahan dini (pengertian pernikahan dini, dasar-dasar

pernikahan, syarat dan rukun pernikahan) bimbingan dan konseling

17
pernikahan dan keluarga islami (pengertian bimbingan dan konseling

pernikahan dan keluarga Islami, tujuan bimbingan dan konseling pernikahan

dan keluarga islami, azas bimbingan dan konseling pernikahan dan keluarga

Islami.

Bab ketiga berisi gambaran umum pernikahan dini di Desa Kluwih

Kecamatan Bandar Kabupaten Batang yang meliputi sekilas letak geografis

Desa Kluwih Kecamatan Bandar, deskripsi pernikahan dini, permasalahan dan

dampak di Desa Kluwih Kecamatan Bandar.

Bab keempat berisi analisis pernikahan dini permasalahan dan

dampaknya yang meliputi permasalahan dan dampak pernikahan dini di Desa

Kluwih Kecamatan Bandar, solusi terhadap permasalahan dan dampak

pernikahan dini di Desa Kluwih Kecamatan Bandar.

Bab kelima merupakan penutup yang berisi: kesimpulan; saran-saran

dan penutup yang dianggap penting.

18
BAB II

PERNIKAHAN DINI, BIMBINGAN KONSELING

DAN KELUARGA ISLAMI

2.1 Pernikahan Dini dan Keluarga Islami

2.1.1 Pengertian Pernikahan

Menurut Hawari (2006: 58) pernikahan adalah suatu ikatan

antara pria dan wanita sebagai suami isteri berdasarkan hukum (UU),

hukum agama atau adat istiadat yang berlaku. Yunus (1990: 1)

menegaskan, pernikahan ialah akad antara calon suami istri untuk

memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syariat. Menurut

Daradjat (1995: 38), perkawinan adalah suatu aqad atau perikatan untuk

menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam

rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa

ketenteraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhai Allah SWT.

Menurut Hamid (1978: 1), yang dinamakan perkawinan menurut syara'

ialah akad (ijab qabul) antara wali colon isteri dan mempelai laki-laki

dengan ucapan-ucapan tertentu dan memenuhi rukun dan syaratnya.

Dari segi pengertian ini maka jika dikatakan: "Si A belum

pernah nikah atau belum pernah nikah", artinya bahwa si A belum

pernah mengkabulkan untuk dirinya terhadap ijab akad nikah yang

memenuhi rukun dan syaratnya. Jika dikatakan: "Anak itu lahir diluar

nikah", artinya bahwa anak tersebut dilahirkan oleh seorang wanita yang

19
tidak berada dalam atau terikat oleh ikatan perkawinan berdasarkan akad

nikah yang sah menurut hukum.

Dalam pasal 1 Bab I Undang-Undang Perkawinan Nomor 1

Tahun 1974 tanggal 2 Januari 1974 dinyatakan;

"Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan


seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa" (Effendi, 1977: 76).

Pencantuman berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah

karena negara Indonesia berdasarkan kepada Pancasila yang sila

pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Sampai di sini tegas

dinyatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali

dengan agama, kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai

unsur lahir/jasmani tetapi juga memiliki unsur batin/rohani (Ramulyo,

1999: 2).

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan

bahwa pernikahan adalah suatu akad yang menyebabkan kebolehan

bergaul antara seorang laki-laki dengan seorang wanita dan saling

menolong di antara keduanya serta menentukan batas hak dan kewajiban

di antara keduanya.

2.1.2 Landasan Pernikahan

Pada dasarnya pernikahan merupakan suatu hal yang

diperintahkan dan dianjurkan oleh Syara'. Beberapa firman Allah yang

bertalian dengan disyari'atkannya pernikahan ialah:

1) Firman Allah ayat 3 Surah 4 (An-Nisa'):

20
/<C  C  [
 h  " , =%" O, "a< A 1" F ]* #  =B" E
" 
(5 :/<) p. ..S? i R , "i : F ]* #  =B" E
" j , k
 83 lmn o"

Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan berlaku adil, maka (nikahlah) seorang saja
(Q.S.An-Nisa': 3) (Depag RI, 1986: 115).

2) Firman Allah ayat 32 Surah 24 (An-Nur):


          
 
      !"  #
(56 :3) $ %& '$ (  ) &* ) &+ ,  ) &*  - .  /01,

Artinya: Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu,


dan orang-orang yang layak (bernikah) dari hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha
luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui (Q.S.An-Nuur':
32) (Depag RI, 1986: 549).

3) Firman Allah ayat 21 Surah 30 (Ar-Rum):

9:;  -%   <


=> ?;@ #   <
A B#  C  D &E
" # ) F G   
(6q :I0)
0* B= IH  1> K J  L M  N O,
* P? Q R 3  S?    % 8

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia


menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dari
dijadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir (Q.S.Ar-Rum: 21) (Depag RI, 1986:
644).

Beberapa hadis yang bertalian dengan disyari'atkannya

pernikahan ialah:

21
V&X W T(3 TU :TU ) s:F W Ot3 r:< 8 
^Y_=%&, S/  ka=(  [Yv 0v:  ":V&( )%& W
) )Yj, IY8 )%&:, 'a=< w  ^0B& R# 0& x Y f# )Yj,
.PQy z3 ."/;
Artinya: Dari Ibnu Mas'ud ra. dia berkata: "Rasulullah saw. bersabda:
"Wahai golongan kaum muda, barangsiapa diantara kamu
telah mampu akan beban nikah, maka hendaklah dia
menikah, karena sesungguhnya menikah itu lebih dapat
memejamkan pandangan mata dan lebih dapat menjaga
kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu (menikah),
maka hendaklah dia (rajin) berpuasa, karena sesungguhnya
puasa itu menjadi penahan nafsu baginya". (HR. Al-Jama'ah)
(Asy Syaukani, 1973: 171).

V&( )%& W V&X W T(3 Y 3 " :TU {VU |# 8 i:( 


~3 z3) "%=E] )
N#  9Y=Y=
:} 8
Qo &
(&<
Artinya: Dari Saad bin Abu Waqqash, dia berkata: Rasulullah saw.
pernah melarang Utsman bin mazh'un membujang. Dan
kalau sekiranya Rasulullah saw. mengizinkan, niscaya kami
akan mengebiri". (HR. Al Bukhari dan Muslim) (Asy
Syaukani, 1973: 171).

,] :&U ;Y_F 9 :Y 8 TU :TU ; 8 i%:( 


(~
Y 3 i# z3 )./< 0o# PY zd E
V , ^Y_F :TU
Artinya: Dari Sa'id bin Jubair, dia berkata: "Ibnu Abbas pernah
bertanya kepadaku: "Apakah kamu telah menikah?". Aku
menjawab: "Belum". Ibnu Abbas berkata: "Menikahlah,
karena sesungguhnya sebaik-baiknya ummat ini adalah yang
paling banyak kaum wanitanya". (HR. Ahmad dan Al-
Bukhari) (Asy Syaukani, 1973: 171).

22
 V&( )%& W V&X Z Y Y
V # " :S0  <  S=U 
 -  &" : ;  M
 & U C m
? ( 3 &" ( 3 # i 1) :S=U #0U ,"9Y=Y= 
.(); 8 ~ Y d0= z3) .(5 :i0) (P?  3C N  ?;@ #
Artinya: dari Qatadah dari Al Hasan dari Samurah: "Sesungguhnya
Nabi saw. melarang membujang. Selanjutnya Qatadah
membaca (ayat): "Dan sesungguhnya kami telah mengutus
beberapa orang Rasul sebelum kamu dan kami berikan
kepada mereka beberapa istri dan keturunan". (HR. Tirmidzi
dan Ibnu Majah) (Asy Syaukani, 1973: 171).

Menurut At Tirmidzi, hadis Samurah tersebut adalah hadis

Hasan yang gharib (aneh). Al Asy'ats bin Abdul Mulk meriwayatkan

hadis ini dari Hasan dari Sa'ad bin Hisyam dari Aisyah dan ia dari Nabi

saw. Dikatakan bahwa kedua hadis tersebut adalah shahih.

Hadis senada diketengahkan oleh Ad Darimi dalam Musnad Al

Firdaus dari Ibnu Umar, dia mengatakan: "Rasulullah saw. bersabda:

"Berhajilah nanti kamu akan kaya. Bepergianlah nanti kamu akan sehat.

Dan menikahlah nanti kamu akan banyak. Sesungguhnya aku akan dapat

membanggakan kamu dihadapan umat-umat lain". Dalam isnad hadis

tersebut terdapat nama Muhammad bin Al Hants dari Muhammad bin

Abdurrahman Al Bailamni, keduanya adalah perawi yang sama-sama

lemah.

Hadis senada juga diketengahkan oleh Al Baihaqi dari Abu

Umamah dengan redaksi: "Menikahlah kamu, karena sesungguhnya aku

akan membanggakan kalian dihadapan ummat-ummat lain. Dan

janganlah kalian seperti para pendeta kaum Nasrani". Namun dalam

23
sanadnya terdapat nama-nama Muhammad bin Tsabit, seorang perawi

yang lemah.

Hadis senada lagi diriwayatkan oleh Daraquthni dalam Al

Mu'talaf dari Harmalah bin Nu'man dengan redaksi: "Wanita yang

produktif anak itu lebih disukai oleh Allah ketimbang wanita cantik

namun tidak beranak. Sesungguhnya aku akan membanggakan kalian di

hadapan ummat-ummat lain pada hari kiamat kelak". Namun menurut

Al Hafizh Ibnu Hajar, sanad hadis ini lemah.

2.1.3 Syarat dan Rukun Pernikahan

Syarat dan rukun nikah sebagai berikut: sebagaimana diketahui

bahwa menurut UU No 1/1974 Tentang Pernikahan Bab: 1 pasal 2 ayat

1 dinyatakan, bahwa pernikahan adalah sah apabila dilakukan menurut

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya (Sosroatmodjo

dan A.Wasit Aulawi, 1975: 80)

Bagi ummat Islam, pernikahan itu sah apabila dilakukan menurut

Hukum Pernikahan Islam, suatu akad pernikahan dipandang sah apabila

telah memenuhi segala rukun dan syaratnya sehingga keadaan akad itu

diakui oleh Hukum Syara'.

Rukun akad pernikahan ada lima, yaitu:

1. Calon suami, syarat-syaratnya:

a. Beragama Islam

b. Jelas ia laki-laki

c. Tertentu orangnya

24
d. Tidak sedang berihram haji/umrah

e. Tidak mempunyai isteri empat, termasuk isteri yang masih

dalam menjalani iddah thalak raj'iy

f. Tidak mempunyai isteri yang haram dimadu dengan mempelai

perempuan, termasuk isteri yang masih dalam menjalani iddah

thalak raj'iy

g. Tidak dipaksa

h. Bukan mahram calon isteri

2. Calon Isteri, syarat-syaratnya:

a. Beragama Islam, atau Ahli Kitab

b. Jelas ia perempuan

c. Tertentu orangnya

d. Tidak sedang berihram haji/umrah

e. Belum pernah disumpah li'an oleh calon suami

f. Tidak bersuami, atau tidak sedang menjalani iddah .dari lelaki

lain

g. Telah memberi idzin atau menunjukkan kerelaan kepada wali

untuk menikahkannya

h. Bukan mahram calon suami (Abidin dan Aminuddin, 1999: 64).

3. Wali. Syarat-syaratnya:

a. Beragama Islam jika calon isteri beragama Islam.

b. Jelas ia laki-laki.

c. Sudah baligh (telah dewasa).

25
d. Berakal (tidak gila).

e. Tidak sedang berihram haji/umrah.

f. Tidak mahjur bissafah (dicabut hak kewajibannya).

g. Tidak dipaksa.

h. Tidak rusak fikirannya sebab terlalu tua atau sebab lainnya.

i. Tidak fasiq.

4. Dua orang saksi laki-laki. Syarat-syaratnya:

a. Beragama Islam.

b. Jelas ia laki-laki.

c. Sudah baligh (telah dewasa).

d. Berakal (tidak gila)

e. Dapat menjaga harga diri (bermuruah)

f. Tidak fasiq.

g. Tidak pelupa.

h. Melihat (tidak buta atau tuna netra).

i. Mendengar (tidak tuli atau tuna rungu).

j. Dapat berbicara (tidak bisu atau tuna wicara).

k. Tidak ditentukan menjadi wali nikah.

l. Memahami arti kalimat dalam ijab qabul (Hamid, 1978: 24-28).

5. Ijab dan Qabul.

Ijab akad pernikahan ialah: "Serangkaian kata yang

diucapkan oleh wali nikah atau wakilnya dalam akad nikah, untuk

menerimakan nikah calon suami atau wakilnya".

26
Syarat-syarat ijab akad nikah ialah:

a. Dengan kata-kata tertentu dan tegas, yaitu diambil dari "nikah"


atau "tazwij" atau terjemahannya, misalnya: "Saya nikahkan
Fulanah, atau saya nikahkan Fulanah, atau saya perjodohkan -
Fulanah"
b. Diucapkan oleh wali atau wakilnya.
c. Tidak dibatasi dengan waktu tertentu, misalnya satu bulan, satu
tahun dan sebagainya.
d. Tidak dengan kata-kata sindiran, termasuk sindiran ialah tulisan
yang tidak diucapkan.
e. Tidak digantungkan dengan sesuatu hal, misalnya: "Kalau
anakku. Fatimah telah lulus sarjana muda maka saya
menikahkan Fatimah dengan engkau Ali dengan masnikah
seribu rupiah".
f. Ijab harus didengar oleh pihak-pihak yang bersangkutan, baik
yang berakad maupun saksi-saksinya. Ijab tidak boleh dengan
bisik-bisik sehingga tidak terdengar oleh orang lain. Qabul akad
pernikahan ialah: "Serangkaian kata yang diucapkan oleh calon
suami atau wakilnya dalam akad nikah, untuk menerima nikah
yang disampaikan oleh wali nikah atau wakilnya (Abidin dan
Aminuddin, 1999: 65).

Syarat-syarat Qabul akad nikah ialah:

a. Dengan kata-kata tertentu dan tegas, yaitu diambil dari kata


"nikah" atau "tazwij" atau terjemahannya, misalnya: "Saya
terima nikahnya Fulanah".
b. Diucapkan oleh calon suami atau wakilnya.
c. Tidak dibatasi dengan waktu tertentu, misalnya "Saya terima
nikah si Fulanah untuk masa satu bulan" dan sebagainya.
d. Tidak dengan kata-kata sindiran, termasuk sindiran ialah tulisan
yang tidak diucapkan (Hamid, 1978: 24-25).
e. Tidak digantungkan dengan sesuatu hal, misalnya "Kalau saya
telah diangkat menjadi pegawai negeri maka saya terima
nikahnya si Fulanah".
f. Beruntun dengan ijab, artinya Qabul diucapkan segera setelah
ijab diucapkan, tidak boleh mendahuluinya, atau berjarak waktu,
atau diselingi perbuatan lain sehingga dipandang terpisah dari
ijab.
g. Diucapkan dalam satu majelis dengan ijab (
h. Sesuai dengan ijab, artinya tidak bertentangan dengan ijab.
i. Qabul harus didengar oleh pihak-pihak yang bersangkutan, baik
yang berakad maupun saksi-saksinya. Qabul tidak boleh dengan
bisik-bisik sehingga tidak didengar oleh orang lain (Hamid,
1978: 24-25).

27
Contoh ijab qabul akad pernikahan

1). Wali mengijabkan dan mempelai laki-laki meng-qabulkan.

a. Ijab: Ya Ali, ankahtuka Fatimata binti bimahri alfi rubiyatin


halan". Dalam bahasa Indonesia: "Hai Ali, aku nikahkan
(nikahkan) Fatimah anak perempuanku dengan engkau dengan
masnikah seribu rupiah secara tunai".
b. Qabul: "Qabiltu nikahaha bil mahril madzkurihalan". Dalam
bahasa Indonesia: "Saya terima nikahnya Fatimah anak
perempuan saudara dengan saya dengan masnikah tersebut
secara tunai"(Hakim, 2000: 59).

2). Wali mewakilkan ijabnya dan mempelai laki-laki meng-qabulkan.

a. Ijab: "Ya Ali, ankahtuka Fathimata binta Muhammadin


muwakili bimahri alfi rubiyatinhalan". Dalam bahasa
Indonesia: "Hai Ali, aku nikahkan (nikahkan) Fatimah anak
perempuan Muhammad yang telah mewakilkan kepada saya
dengan engkau dengan masnikah seribu rupiah secara tunai".
b. Qabul: "Qabiltu nikahaha bimahri alfi rubiyatin halan".
Dalam bahasa Indonesia: "Saya terima nikahnya Fatimah anak
perempuan Muhammad dengan saya dengan masnikah seribu
rupiah secara tunai".

3). Wali mengijabkan dan mempelai laki-laki mewakilkan kabulnya.

a. Ijab: "Ya Umar, Ankahtu Fathimata binti Aliyyin muwakkilaka


bimahri alfi rubiyatin halan". Dalam bahasa Indonesia: "Hai
Umar, Aku nikahkan (nikahkan) Fathimah anak perempuan
saya dengan Ali yang telah mewakilkan kepadamu dengan
masnikah seribu rupiah secara tunai".
b. Qabul: "Qabiltu nikahaha li Aliyyin muwakkili bimahri alfi
rubiyatin halan", Dalam bahasa Indonesia: "Saya terima
nikahnya Fatimah dengan Ali yang telah mewakilkan kepada
saya dengan masnikah seribu rupiah secara tunai" (Abidin dan
Aminuddin, 1999: 66)

4). Wali mewakilkan Ijabnya dan mempelai laki-laki mewakilkan

Qabulnya

a. Ijab: "Ya Umar, Ankahtu Fathimata binta Muhammadin


muwakkilii, Aliyyan muwakkilaka bimahri alfi Rubiyyatin
halan". Dalam bahasa Indonesia: "Hai Umar, Aku nikahkan

28
(nikahkan) Fathimah anak perempuan Muhammad yang telah
mewakilkan kepada saya, dengan Ali yang telah mewakilkan
kepada engkau dengan masnikah seribu rupiah secara tunai".
b. Qabul: "Qabiltu Nikahaha lahu bimahri alfi rubiyatin halan".
Dalam bahasa Indonesia: "Saya terima nikahnya (Fathimah
anak perempuan Muhammad) dengan Ali yang telah
mewakilkan kepada saya dengan masnikah seribu rupiah
secara tunai" (Kuzari, 2000: 40).

2.1.4 Bentuk-Bentuk Pernikahan

Di atas telah dijelaskan rukun dan syarat nikah yang keduanya

harus dipenuhi dalam suatu pernikahan. Bila salah satu rukun dari

rukun-rukun nikah itu tidak terpenuhi, maka nikahnya dinyatakan tidak

sah. Bila yang tidak terpenuhi itu adalah salah satu syarat dari syarat

yang terdapat pada rukun itu, maka nikahnya termasuk nikah yang fasid

(rusak) dan dengan sendiri hukumnya haram atau terlarang.

Di antara bentuk-bentuk pernikahan yang terdapat dalam

berbagai literatur sebagai berikut:

a. Nikah Mut'ah

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, nikah mut'ah

disebut juga dengan nikah sementara atau nikah terputus oleh karena

laki-laki yang menikahi wanita itu untuk sehari atau seminggu atau

sebulan saja (Nur, 1993: 40).

Nikah mut'ah atau nikah muwaqqat atau nikah munqathi

adalah nikah untuk jangka waktu tertentu. Lamanya bergantung

pada pemufakatan antara laki-laki dan wanita yang akan

melaksanakannya, bisa sehari, seminggu, sebulan, dan seterusnya.

Para ulama menyepakati keharaman nikah mi pada masa sekarang.

29
Kata mut'ah berasal dari kata mata'a yang berarti bersenang-senang.

Perbedaannya dengan pernikahan biasa, selain adanya pembatasan

waktu adalah:

a. Tidak saling mewarisi, kecuali kalau disyaratkan

b. Lafaz ijab yang berbeda.

c. Tidak ada talak, sebab sehabis kontrak, pernikahan itu putus

d. Tidak ada nafkah 'iddah (Hakim, 2000: 31).

Ide tentang mut'ah ini kemungkinan besar ditimbulkan oleh

hal-hal yang insidentil, yang terjadi pada suatu ketika saja, seperti

perjalanan jauh. Di wilayah Arab, jarak antara satu dan lain tempat

berjauhan, terhalang sahara yang panas dan gersang, dan bila

ditempuh melalui perjalanan darat dengan berjalan kaki atau naik

unta, membutuhkan waktu berminggu-minggu bahkan berbulan-

bulan, belum lagi kalau terjadi halangan.

Berdasarkan pertimbangan keadaan, pada awalnya

Rasulullah SAW. memberikan kelonggaran dengan memberikan

dispensasi melakukan mut'ah kepada pemuda Islam yang pergi ke

medan perang untuk membela agama. Di tempat itu mereka jauh

dari istrinya. Jauhnya jarak dan sulitnya medan dan kendala

transportasi menyebabkan perjalanan memakan waktu lama. Oleh

karena itu, mereka diberi dispensasi untuk melakukan nikah sesaat.

Setelah selesai tugas negara, mereka tidak lagi diperbolehkan

melakukan hal tersebut (Hakim, 2000: 32).

30
b. Nikah Tahlil

Secara etimologi tahlil berarti menghalalkan sesuatu yang

hukumnya adalah haram. Kalau dikaitkan kepada nikah akan berarti

perbuatan yang menyebabkan seseorang yang semula haram

melangsungkan nikah menjadi boleh atau halal. Orang yang dapat

menyebabkan halalnya orang lain melakukan nikah itu disebut

muhallil, sedangkan orang yang telah halal melakukan nikah

disebabkan oleh nikah yang dilakukan muhallil dinamai muhallallah

(Syarifuddin, 2004: 103).

Nikah tahlil dengan demikian adalah nikah yang dilakukan

untuk menghalalkan orang yang telah melakukan talak tiga untuk

segera kembali kepada istrinya dengan nikah baru. Bila seseorang

telah menceraikan istrinya sampai tiga kali, baik dalam satu masa

atau berbeda masa, si suami tidak boleh lagi kawin dengan bekas

istrinya itu kecuali bila istrinya itu telah menikah dengan laki-laki

lain, kemudian bercerai dan habis pula iddahnya. Hal ini sesuai

dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 230:

(65 :S01) z 0 % f ?; @   F  =R i : 8  )  9 F m, -1*&h


j,
Artinya: Kemudian jika suami menalaknya (setelah talak yang
kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya kecuali
bila dia telah kawin dengan suami lain. (QS. al-Baqarah:
230) (Depag RI, 1993: 56).

Yang dimaksud dengan menikah dengan laki-laki lain dalam

ayat tersebut bukan hanya sekadar melakukan akad nikah, tetapi

31
lebih jauh telah melakukan hubungan kelamin sebagaimana

layaknya kehidupan suami istri pada umumnya.

Suami kedua yang telah mengawini perempuan itu secara

biasa dan kemudian menceraikannya dengan cara biasa sehingga

suami pertama boleh kawin dengan mantan istrinya itu sebenarnya

dapat disebut muhallil. Namun tidak diperkatakan dalam hal ini,

karena nikahnya telah berlaku secara alamiah dan secara hukum

(Nur, 1993: 43 44).

Suami yang telah menalak istrinya tiga kali itu sering ingin

kembali lagi kepada bekas istrinya itu. Kalau ditunggu cara yang

biasa menurut ketentuan nikah yaitu mantan istri kawin dengan

suami kedua dan hidup secara layaknya suami istri, kemudian

karena suatu hal yang tidak dapat dihindarkan suami yang kedua itu

menceraikan istrinya dan habis pula iddahnya, mungkin menunggu

waktu yang lama. Untuk mempercepat maksudnya itu ia mencari

seorang laki-laki yang akan mengawini bekas istrinya itu secara

pura-pura, biasanya dengan suatu syarat bahwa setelah berlangsung

akad nikah segera diceraikan sebelum sempat digaulinya. Ini berarti

kawin akal-akalan untuk cepat menghentikan suatu yang

diharamkan. Atau sengaja melakukan nikah secara akal-akalan

untuk mempercepat berlangsungnya nikah suami pertama dengan

mantan istrinya. Nikah akal-akalan seperti inilah yang, disebut nikah

tahlil dalam arti sebenarnya. Suami kedua disebut muhallil dan

32
suami pertama yang merekayasa nikah kedua disebut muhallallah

(Abidin dan Aminuddin, 1999: 21).

Nikah tahlil biasanya dalam bentuk persyaratan yang

dilakukan sebelum akad atau syarat itu disebutkan dalam ucapan

akad, seperti: "Saya kawinkan engkau kepadanya sampai batas

waktu engkau menggaulinya"; atau "Saya kawinkan engkau dengan

syarat setelah engkau menghalalkannya tidak ada lagi nikah sesudah

itu"; atau "saya kawinkan engkau kepadanya dengan ketentuan

setelah engkau halalkan segera menalaknya". Dalam bentuk ini

nikah tahlil nikah dengan akad bersyarat. Nikah tahlil ini tidak

menyalahi rukun yang telah ditetapkan; namun karena niat orang

yang mengawini itu tidak ikhlas dan tidak untuk maksud

sebenarnya, nikah ini dilarang oleh Nabi dan pelakunya baik laki-

laki yang menyuruh kawin (muhallallah) atau laki-laki yang menjadi

penghalal itu (muhallil) dilaknat.

c. Nikah Syighar

Secara etimologi, dalam Kamus al-Munawwir, syigar adalah

nikah tukar menukar anak perempuan tanpa mahar (




( ) Al-

Munawwir, 1997: 727). Sedangkan dalam Kamus Arab Indonesia,

syigar (


) berarti kawin-mengawinkan kepada perempuan

tanpa mas kawin (Yunus, 1973: 199). Menurut Ahmad asy-

Syarbashi, asal kata syighar di dalam bahasa Arab berarti "anjing

mengangkat sebelah kakinya untuk kencing". Kata ini juga berarti

33
"kosong dan tidak berpenghuni". Sebagai contoh, kata-kata baladun

syaghirun, yang berarti negeri yang jauh dan tidak berpenghuni.

Islam menyebut kata di atas (syighar) untuk menunjukkan satu

bentuk nikah yang diharamkan dan tidak layak untuk dilakukan

(asy-Syarbashi, 1997: 248). Ada riwayat yang sahih bahwa

Rasulullah saw melarang nikah syigar, artinya pernikahan model

Jahiliyah. Sebagai contoh seorang laki-laki berkata kepada lelaki

lain, nikahkan aku dengan puterimu atau siapapun wanita yang ada

dalam perwalianmu, dan aku akan menikahkan kamu dengan putriku

atau siapapun wanita yang ada dalam perwalianku, tanpa ada mas

kawannya (al-Jauziyyah, 2004: 387).

Secara terminologi, dalam kitab sahih Bukhari dijumpai

rumusan kata syigar sebagai berikut:

Sabda Rasulullah saw.:

W  Ot3 0Q  8  ',   M  E# (  8 W A i  nYiR



" # 3.Yv 3.Yv   V&( ) %& W  V&X W T(3
V # ) 
z3) iX Q- %8 \ % )= 8 0EL" );Y_
" # & )= 8 9;Y0 ^Y_
(3
Artinya: Telah mengabarkan kepada Kami dari Abdullah bin Yusuf dari
Malik dari Nafi' dari Ibnu Umar ra. Sesungguhnya Rasulullah
saw. melarang nikah syigar. Nikah syigar itu ialah seseorang
mengawinkan anak perempuannya dengan syarat orang lain
(yang mengawini anaknya tadi) juga mengawinkan anak
perempuannya dengannya, di mana antara keduanya tidak
terdapat maskawin (mahar) (HR. al-Bukhari) (Bukhari, 1410
H/1990 M: 260).

34
Pengertian nikah syigar dalam hadis di atas tidak jauh

berbeda dengan rumusan Ibnu Rusyd yang menyatakan bahwa nikah

syigar ialah apabila seorang lelaki mengawinkan orang perempuan

yang di bawah kekuasaannya dengan orang lelaki lain bersyaratkan

bahwa lelaki lain ini juga mengawinkan orang perempuan yang di

bawah kekuasaannya dengan lelaki pertama tanpa ada maskawin

pada kedua nikah tersebut. Maskawinnya hanya alat vital perempuan

tersebut menjadi imbalan bagi alat kelamin perempuan lainnya

(Rusyd, 1989: 43). Definisi ini sama juga dengan Sayyid Sabiq

bahwa yang dimaksud nikah syigar adalah seorang wali menikahkan

puterinya dengan seorang laki-laki dengan syarat agar laki-laki tadi

menikahkan puterinya dengan tanpa bayar mahar (Sabiq, 1970:

130).

Islam hanya menggunakan istilah nikah syigar untuk bentuk

pernikahan yang tercela ini. Pernikahan ini disebut nikah syigar

karena tidak disertai mahar. Dengan begitu, pernikahan ini serupa

dengan sebuah negeri yang kosong dari penguasa dan bangunan-

bangunan. Ada yang mengatakan bahwa Islam menamakan

pernikahan itu sebagai pernikahan syighar karena buruknya, dan

serupa dengan buruknya anjing ketika mengangkat sebelah kakinya

untuk kencing. Pernikahan jenis ini banyak dikenal pada masa

jahiliyyah sebelum datangnya agama Islam. Ketika Islam datang,

Rasulullah saw mengharamkan pernikahan jenis ini.

35
Seandainya ada seorang laki-laki yang mengatakan kepada

laki-laki lainnya, "Nikahkanlah aku dengan anak perempuanmu atau

dengan saudara perempuanmu, maka sebagai gantinya engkau akan

aku nikahkan dengan anak perempuanku atau dengan saudara

perempuanku," dan pernikahan itu dilangsungkan tanpa mahar yang

diberikan kepada masing-masing perempuan tersebut, maka

pernikahan tersebut batal. Dalam pandangan mayoritas fukaha, akad

pernikahan itu sama sekali tidak terlaksana. Di dalam pernikahan

syigar, wanita tersebut tidak harus anak perempuan atau saudara

perempuan saja. Imam Nawawi sebagaimana dikutip Ahmad asy-

Syarbashi mengatakan bahwa para fukaha telah sepakat bahwa

selain anak perempuan sendiri, maka anak perempuan dari saudara

laki-laki atau anak perempuan dari saudara perempuan atau wanita-

wanita yang lain, juga mempunyai hukum yang sama dengan anak

perempuan atau saudara perempuan sendiri, pada pengharaman

nikah syigar (asy-Syarbashi, 1997: 248).

2.1.5 Pernikahan Dini dan Keharmonisan Keluarga

Kata "pernikahan dini" berasal dari dua kata yaitu "pernikahan"

dan "dini". Kata "nikah" menurut bahasa sama dengan kata kata, zawaj.

Dalam Kamus al-Munawwir, kata nikah disebut dengan an-nikah ( )




dan az-ziwaj/az-zawj atau az-zijah ( 


-
-)
. Secara

harfiah, an-nikh berarti al-wath'u ()


, adh-dhammu ( 
) dan al-

36
jam'u ( 
) . Al-wath'u berasal dari kata wathi'a - yatha'u - wath'an

 -! - artinya berjalan di atas, melalui, memijak, menginjak,

memasuki, menaiki, menggauli dan bersetubuh atau bersenggama (Al-

Munawwir, 1997: 1461). Adh-dhammu, yang terambil dari akar kata

dhamma - yadhummu dhamman (  - - )secara harfiah

berarti mengumpulkan, memegang, menggenggam, menyatukan,

menggabungkan, menyandarkan, merangkul, memeluk dan

menjumlahkan. Juga berarti bersikap lunak dan ramah (Suma, 2004: 42)

Sedangkan al-jam'u yang berasal dari akar kata jamaa - yajma'u

- jam'an ( $ - - ) berarti: mengumpulkan, menghimpun,

menyatukan, menggabungkan, menjumlahkan dan menyusun. Itulah

sebabnya mengapa bersetubuh atau bersenggama dalam istilah fiqih

disebut dengan al-jima' mengingat persetubuhan secara langsung

mengisyaratkan semua aktivitas yang terkandung dalam makna-makna

harfiah dari kata al-jam'u (Suma, 2004: 43).

Sebutan lain buat pernikahan ialah az-zawaj/az-ziwaj dan az-

zijah. Terambil dari akar kata zaja-yazuju-zaujan (  - -)

yang secara harfiah berarti: menghasut, menaburkan benih perselisihan

dan mengadu domba. Namun yang dimaksud dengan az-zawaj/az-ziwaj

di sini ialah at-tazwij yang mulanya terambil dari kata zawwaja-

yuzawwiju- tazwijan (  &- - )dalam bentuk timbangan

"fa'ala-yufa'ilu- taf'ilan"(*+$)& -'$) -'$( ) yang secara harfiah berarti

37
menikahkan, mencampuri, menemani, mempergauli, menyertai dan

memperistri (Suma, 2004: 43).

Adapun pernikahan dini itu adalah sebuah ikatan suami istri

yang dilakukan pada saat kedua calon suami dan istri masih usia muda

yaitu pria belum mencapai umur 19 tahun dan wanita belum mencapai

umur 16 tahun (Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ayat (1).

Dalam konteksnya dengan keharmonisan keluarga, bahwa rumah

tangga lahir karena terjadinya perkawinan. Setiap orang yang berumah

tangga termasuk rumah tangga dari pernikahan dini tentulah berharap

dapat membangun rumah tangga yang harmonis yaitu keluarga sakinah.

Yunasril Ali (2002: 200) menyatakan keluarga sakinah dalam

perspektif al-Qur'an dan hadis adalah keluarga yang memiliki

mahabbah, mawaddah, rahmah, dan amanah. Menurut M. Quraish

Shihab (2006: 136) kata sakinah terambil dari bahasa Arab yang terdiri

dari huruf-huruf sin, kaf, dan nun yang mengandung makna

"ketenangan" atau antonim dari kegoncangan dan pergerakan. Berbagai

bentuk kata yang terdiri dari ketiga huruf tersebut kesemuanya bermuara

pada makna sebagaimana telah diterangkan sebelumnya. Misalnya,

rumah dinamai maskan karena ia adalah tempat untuk meraih

ketenangan setelah penghuninya bergerak bahkan boleh jadi mengalami

kegioncangan di luar rumah.

Menurut M. Quraish Shihab (2006: 141) keluarga sakinah tidak

datang begitu saja, tetapi ada syarat bagi kehadirannya. Ia harus

38
diperjuangkan, dan yang pertama lagi utama, adalah menyiapkan kalbu.

Sakinah/ketenangan demikian juga mawadddah dan rahmat bersumber

dari dalam kalbu, lalu terpancar ke luar dalam bentuk aktivitas.

Memang, al-Qur'an menegaskan bahwa tujuan disyariatkannya

pernikahan adalah untuk menggapai sakinah. Namun, itu bukan berarti

bahwa setiap pernikahan otomatis melahirkan sakinah, mawaddah, dan

rahmat."

Pendapat M. Quraish Shihab tersebut, menunjukkan bahwa

keluarga sakinah memiliki indikator sebagai berikut: pertama, setia

dengan pasangan hidup; kedua, menepati janji; ketiga, dapat memelihara

nama baik; saling pengertian; keempat berpegang teguh pada agama.

Pernikahan sebagai perbuatan hukum antara suami dan isteri,

bukan saja bermakna untuk merealisasikan ibadah kepada-Nya, tetapi

sekaligus menimbulkan akibat hukum keperdataan di antara keduanya.

Namun demikian karena tujuan perkawinan yang begitu mulia, yaitu

membina keluarga bahagia, kekal, abadi berdasarkan ketuhanan Yang

Maha Esa maka perlu diatur hak dan kewajiban suami dan istri masing-

masing. Apabila hak dan kewajiban masing-masing suami dan isteri

terpenuhi, maka dambaan suami isteri dalam bahtera rumah tangganya

akan dapat terwujud, didasari rasa cinta dan kasih sayang (Rofiq, 2000:

181).

Suami dan istri adalah sama-sama bertanggung jawab atas segala

sesuatu dalam hidup bersama. Kebahagiaan bagi salah satu dari

39
keduanya adalah juga kebahagiaan bagi yang lain, dan kesusahan bagi

salah satunya adalah pula kesusahan bagi yang lain. Hendaknya

kerjasama antara keduanya dibangun di atas dasar cinta kasih yang

tulus. Mereka berdua bagaikan satu jiwa di dalam dua tubuh. Masing-

masing mereka berusaha untuk membuat kehidupan yang lain menjadi

indah dan mencintainya sampai pada taraf ia merasakan bahagia apabila

yang lain merasa bahagia, merasa gembira apabila ia berhasil

mendatangkan kegembiraan bagi yang lainnya. Inilah dasar kehidupan

suami isteri yang berhasil dan bahagia dan juga dasar dari keluarga yang

intim yang juga merupakan suasana di mana putera-puteri dapat dibina

dengan budi pekerti yang mulia (al-Arusy, 1994: 160).

Antara suami isteri dalam membina rumah tangganya agar

terjalin cinta yang lestari, maka antara keduannya itu perlu menerapkan

sistem keseimbangan peranan, maksudnya peranannya sebagai suami

dan peranan sebagai isteri di samping juga menjalankan peranan-

peranan lain sebagai tugas hidup sehari-hari (Rasyid, 1989: 75). Dengan

berpijak dari keterangan tersebut, jika suami isteri menerapkan aturan

sebagaimana telah diterangkan, maka bukan tidak mungkin dapat

terbentuknya keluarga sakinah, setidak-tidaknya bisa mendekati ke arah

itu..

Keluarga sakinah adalah keluarga yang penuh dengan kecintaan

dan rahmat Allah. Tidak ada satupun pasangan suami isteri yang tidak

mendambakan keluarganya bahagia. Namun, tidak sedikit pasangan

40
yang menemui kegagalan dalam perkawinan atau rumah tangganya,

karena diterpa oleh ujian dan cobaan yang silih berganti. Padahal adanya

keluarga bahagia atau keluarga berantakan sangat tergantung pada

pasangan itu sendiri. Mereka mampu untuk membangun rumah tangga

yang penuh cinta kasih dan kemesraan atau tidak. Untuk itu, keduanya

harus mempunyai landasan yang kuat dalam hal ini pemahaman

terhadap ajaran Islam.

2.1.6 Pernikahan Dini dalam Pandangan Islam

Masalah penentuan umur dalam UU Pernikahan maupun dalam

kompilasi, memang bersifat ijtihadiyah, sebagai usaha pembaharuan

pemikiran fiqh yang lalu. Namun demikian, apabila dilacak referensi

syar'inya mempunyai landasan kuat. Misalnya isyarat Allah dalam surat

al-Nisa', 4:9:

 - % & ",E ?,:t


 P?  3C N  - B &" E  " 0 F    d*
 
%"
( :/<) ?i i( ]?  U "1%" ) &V 1=%&" ,
Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak
yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)
mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada
Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang
benar.(QS. an-Nisa: 9).

Ayat tersebut memang bersifat umum, tidak secara langsung

menunjukkan bahwa pernikahan yang dilakukan oleh pasangan usia

muda di bawah ketentuan yang diatur UU No. 1 Tahun 1974 akan

menghasilkan keturunan yang dikhawatirkan kesejahteraannya. Akan

tetapi berdasarkan pengamatan berbagai pihak, rendahnya usia kawin,

41
lebih banyak menimbulkan hal-hal yang tidak sejalan dengan misi dan

tujuan pernikahan, yaitu terwujudnya ketenteraman dalam rumah tangga

berdasarkan kasih dan sayang. Tujuan ini tentu akan sulit terwujud,

apabila masing-masing mempelai belum masak jiwa dan raganya.

Kematangan dan integritas pribadi yang stabil akan sangat berpengaruh

di dalam menyelesaikan setiap problem yang muncul dalam menghadapi

liku-liku dan badai rumah tangga. Banyak kasus menunjukkan, seperti

di wilayah Pengadilan Agama di Jawa Tengah, menunjukkan bahwa

banyaknya perceraian cenderung didominasi karena akibat kawin dalam

usia muda.

Secara metodologis, langkah penentuan usia kawin didasarkan

kepada metode maslahat mursalah (Djatnika, 1991: 251). Namun

demikian karena sifatnya yang ijtihady, yang kebenarannya relatif,

ketentuan tersebut tidak bersifat kaku. Artinya, apabila karena sesuatu

dan lain hal pernikahan dari mereka yang usianya di bawah 21 tahun

atau sekurang-kurangnya 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita

undang-undang tetap memberi jalan keluar. Pasal 7 ayat (2)

menegaskan: "Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini

dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang

ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita".

Dalam hal ini Undang-undang Pernikahan tidak konsisten, Di

satu sisi, pasal 6 ayat (2) menegaskan bahwa untuk melangsungkan

pernikahan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu)

42
tahun harus mendapat izin kedua orang tua, di sisi lain pasal 7 (1)

menyebutkan pernikahan hanya diizinkan jika pihak pria sudah

mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun, dan pihak wanita sudah

mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Bedanya, 12 jika kurang dari 21

tahun, yang diperlukan izin orang tua, dan jika kurang dari 19 tahun,

perlu izin pengadilan. Ini dikuatkan pasal 15 ayat (2) Kompilasi Hukum

Islam.

a. Ulama Syafi'iyah dan Hanabilah menentukan bahwa masa dewasa

itu mulai umur 15 tahun. Walaupun mereka dapat menerima

kedewasaan dengan tanda-tanda, seperti di atas, tetapi karena tanda-

tanda itu datangnya tidak sama untuk semua orang, maka

kedewasaan ditentukan dengan umur. Disamakannya masa

kedewasaan untuk pria dan wanita adalah karena kedewasaan itu

ditentukan dengan akal. Dengan akallah terjadinya taklif, dan karena

akal pulalah adanya kewajiban.

b. Abu Hanifah berpendapat bahwa kedewasaan itu datangnya mulai

usia 19 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi wanita. Sedangkan

Imam Malik menetapkan 18 tahun, baik laki-laki maupun

perempuan. Mereka beralasan dengan "ketentuan dewasa menurut

syarak ialah mimpi", karenanya mendasarkan hukum kepada mimpi

itu saja. Mimpi tidak diharapkan lagi datangnya bila usia telah 18

tahun. Umum antara 15 sampai 18 tahun masih diharapkan

43
datangnya. Karena itu ditetapkanlah bahwa umur dewasa itu pada

usia 18 tahun (Yanggo dan Anshari, 1996: 83).

c. Yusuf Musa mengatakan bahwa usia dewasa itu setelah seseorang

berumur 21 tahun. Hal ini dikarenakan pada zaman modern orang

memerlukan persiapan yang matang, sebab mereka masih kurang

pengalaman hidup dan masih dalam proses belajar. Namun demikian

kepada mereka sudah dapat diberikan beberapa urusan sejak usia 18

tahun (Yanggo dan Anshari, 1996: 83)..

d. Sarlito Wirawan Sarwono melihat bahwa usia kedewasaan untuk

siapnya seseorang memasuki hidup berumah tangga harus

diperpanjang menjadi 20 tahun untuk wanita dan 25 tahun bagi pria.

Hal ini diperlukan karena zaman modern menuntut untuk

mewujudkan kemaslahatan (Yanggo dan Anshari, 1996: 83).

e. Marc Hendry Frank mengatakan bahwa pernikahan sebaiknya

dilakukan antara usia 20 sampai 25 tahun bagi wanita, dan antara 25

sampai 30 tahun bagi laki-laki. Tinjauan ini juga berdasarkan atas

pertimbangan kesehatan.

f. Para ahli Ilmu Jiwa Agama menilai bahwa kematangan beragama

pada seseorang tidak terjadi sebelum usia 25 tahun (Yanggo dan

Anshari, 1996: 83-84).

44
2.2 Bimbingan dan Konseling Keluarga Islami

2.2.1 Pengertian Bimbingan dan Konseling Keluarga Islami

Pengertian harfiyah bimbingan adalah menunjukkan, memberi

jalan, atau menuntun orang lain ke arah tujuan yang bermanfaat bagi

hidupnya di masa kini dan masa mendatang. Istilah bimbingan

merupakan terjemahan dari kata bahasa Inggris guidance yang berasal

dari kata kerja to guide yang berarti menunjukkan (Arifin, 1994: 1).

Secara etimologis, istilah konseling berasal dari bahasa latin

yaitu consilium yang berarti dengan atau bersama yang dirangkai

dengan menerima atau memahami. Sedangkan dalam bahasa Anglo-

Saxon, istilah konseling berasal dari sellan yang berarti

menyerahkan atau menyampaikan (Prayitno dan Amti, 2004: 99)

Menurut Walgito (1989: 4), Bimbingan adalah bantuan atau

pertolongan yang diberikan kepada individu atau sekumpulan individu

dalam menghadapi atau mengatasi kesulitan-kesulitan di dalam

kehidupannya, agar individu atau sekumpulan individu itu dapat

mencapai kesejahteraan hidupnya Dengan memperhatikan rumusan

tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa bimbingan dan konseling

merupakan pemberian bantuan yang diberikan kepada individu guna

mengatasi berbagai kesukaran di dalam kehidupannya, agar individu itu

dapat mencapai kesejahteraan hidupnya.

Dalam tulisan ini, bimbingan dan konseling yang di maksud

adalah yang Islami, maka ada baiknya kata Islam diberi arti lebih

45
dahulu. Menurut etimologi, Islam berasal dari bahasa Arab, terambil

dari asal kata salima yang berarti selamat sentosa. Dari asal kata itu

dibentuk kata aslama yang artinya memeliharakan dalam keadaan

selamat sentosa, dan berarti juga menyerahkan diri, tunduk, patuh dan

taat. Kata aslama itulah menjadi pokok kata Islam mengandung segala

arti yang terkandung dalam arti pokoknya, sebab itu orang yang

melakukan aslama atau masuk Islam dinamakan muslim (Razak, 1986:

56). Dengan demikian, kata "Islam" biasanya diterjemahkan dengan

penyerahan diri, penyerahan diri kepada Tuhan atau bahkan

kepasrahan (Arkoun, 1996: 17).

Secara terminologi sebagaimana dirumuskan oleh Harun

Nasution, Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan

kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai

Rasul (Nasution, 1985: 24). Maulana Muhammad Ali (1990: 4) dalam

bukunya The Religion of Islam menegaskan:

"Islam has a two-fold significance: a simple profession of faith


a declaration that "there is no god but Allah and Muhammad
is His Messenger" (Kalimah) and a complete submission to the
Divine will which is only attainable through spiritual
perfection". (Islam mengandung arti dua macam, yakni (1)
mengucap kalimah syahadat; (2) berserah diri sepenuhnya
kepada kehendak Allah yang ini hanya dapat dicapai melalui
penyempurnaan rohani).

Bertitik tolak dari uraian tersebut, bimbingan Islami adalah

proses pemberian bantuan terhadap individu agar mampu hidup selaras

dengan ketentuan dan petunjuk Allah sehingga dapat mencapai

kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Sedang konseling Islam

46
adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar menyadari

kembali akan eksistensinya sebagai makhluk Allah yang seharusnya

hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah sehingga dapat

mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat (Musnamar, 1992: 5).

Berdasarkan uraian tersebut, maka bimbingan pernikahan dan

keluarga Islam adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar

dalam menjalankan pernikahan dan kehidupan berumah tangganya bisa

selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga dapat mencapai

kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat (Musnamar, 1992: 70).

Sedangkan konseling pernikahan dan keluarga Islami adalah proses

pemberian bantuan terhadap individu agar menyadari kembali

eksistensinya sebagai makhluk Allah yang seharusnya dalam

menjalankan pernikahan dan hidup berumah tangga selaras dengan

ketentuan dan petunjuk-Nya, sehingga dapat mencapai kebahagiaan

hidup di dunia dan di akhirat (Faqih, 2001: 83).

2.2.2 Tujuan Bimbingan dan Konseling Keluarga Islami

Secara garis besar atau secara umum tujuan bimbingan dan

konseling Islam itu dapat dirumuskan sebagai membantu individu

mewujudkan dirinya sebagai manusia seutuhnya agar mencapai

kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Bimbingan dan Konseling sifatnya hanya merupakan bantuan,

hal ini sudah diketahui dari pengertian atau definisinya. Individu yang

dimaksudkan di sini adalah orang yang dibimbing atau diberi konseling,

47
baik orang perorangan maupun kelompok. Mewujudkan diri sebagai

manusia seutuhnya berarti mewujudkan diri sesuai dengan hakekatnya

sebagai manusia untuk menjadi manusia yang selaras perkembangan

unsur dirinya dan pelaksanaan fungsi atau kedudukannya sebagai

makhluk Allah (makhluk religius), makhluk individu, makhluk sosial,

dan sebagai makhluk berbudaya.

Dalam perjalanan hidupnya, karena berbagai faktor, manusia

bisa seperti yang tidak dikehendaki yaitu tidak menjadi manusia

seutuhnya. Dengan kata lain yang bersangkutan berhadapan dengan

masalah atau problem, yaitu menghadapi adanya kesenjangan antara

seharusnya (ideal) dengan yang senyatanya. Orang yang menghadapi

masalah, lebih-lebih jika berat, maka yang bersangkutan tidak merasa

bahagia. Bimbingan dan konseling Islam berusaha membantu individu

agar bisa hidup bahagia, bukan saja di dunia, melainkan juga di akhirat.

Karena itu, tujuan akhir bimbingan dan konseling Islam adalah

kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Bimbingan dan Konseling Islam berusaha membantu mencegah

jangan sampai individu menghadapi atau menemui masalah. Dengan

kata lain membantu individu mencegah timbulnya masalah bagi dirinya.

Bantuan pencegahan masalah ini merupakan salah satu fungsi

bimbingan. Karena berbagai faktor, individu bisa juga terpaksa

menghadapi masalah dan kerap kali pula individu tidak mampu

memecahkan masalahnya sendiri, maka bimbingan berusaha membantu

48
memecahkan masalah yang dihadapinya itu. Bantuan pemecahan

masalah ini merupakan salah satu fungsi bimbingan juga, khususnya

merupakan fungsi konseling sebagai bagian sekaligus teknik

bimbingan.( Musnamar, 1992: 33-34).

Berdasarkan rumusan pengertian konseling pernikahan dan keluarga

Islami, dapat diketahui bahwa tujuan bimbingan dan konseling keluarga

Islami di bidang ini adalah untuk:

1. Membantu individu mencegah timbulnya problem-problem yang

berkaitan dengan pernikahan, antara lain dengan jalan:

a. Membantu individu memahami hakikat pernikahan menurut Islam;

b. membantu individu memahami tujuan pernikahan menurut Islam;

c. membantu individu memahami persyaratan-persyaratan pernikahan

menurut Islam;

d. membantu individu memahami kesiapan dirinya untuk menjalankan

pernikahan.

e. membantu individu melaksanakan pernikahan sesuai dengan

ketentuan (syariat) Islam (faqih, 2001: 83-84).

2. Membantu individu mencegah timbulnya problem-problem yang

berkaitan dengan kehidupan berumah tangganya, antara lain dengan:

a. Membantu individu memahami hakikat kehidupan berkeluarga

(berumah tangga) menurut Islam;

b. membantu individu memahami tujuan hidup berkeluarga menurut

Islam;

49
c. membantu individu memahami cara-cara membina kehidupan

berkeluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah menurut ajaran

Islam;

d. membantu individu memahami melaksanakan pembinaan kehidupan

berumah tangga sesuai dengan ajaran Islam.

3. Membantu individu memecahkan masalah-masalah yang berkaitan

dengan pernikahan dan kehidupan berumah tangga, antara lain dengan

jalan:

a. Membantu individu memahami problem yang dihadapinya;

b. membantu individu memahami kondisi dirinya dan keluarga serta

lingkungannya;

c. membantu individu memahami dan menghayati cara-cara mengatasi

masalah pernikahan dan rumah tangga menurut ajaran Islam;

d. membantu individu menetapkan pilihan upaya pemecahan masalah

yang dihadapinya sesuai dengan ajaran Islam.

4. Membantu individu memelihara situasi dan kondisi pernikahan dan

rumah tangga agar tetap baik dan mengembangkannya agar jauh lebih

baik, yakni dengan cara:

a. memelihara situasi dan kondisi pernikahan dan kehidupan berumah

tangga yang semula pernah terkena problem dan telah teratasi agar

tidak menjadi permasalahan kembali;

50
b. mengembangkan situasi dan kondisi pernikahan dan rumah tangga

menjadi lebih baik (sakinah, mawaddah, dan rahmah) (Musnamar,

1992: 71-72).

2.2.3 Azas Bimbingan dan Konseling Keluarga Islami

Asas-asas bimbingan dan penyuluhan keluarga Islam adalah

landasan yang dijadikan pegangan atau pedoman dalam melaksanakan

bimbingan dan penyuluhan pernikahan dan keluarga Islam. Seperti

halnya asas bimbingan dan penyuluhan Islam yang umum, asas

bimbingan dan penyuluhan pernikahan & keluarga Islam juga

bersumber pada Al-Qur'an dan hadis. Pada prinsipnya, semua asas

bimbingan dan penyuluhan Islam yang umum berlaku untuk bimbingan

dan penyuluhan bidang ini, akan tetapi untuk lebih mengkhususkan,

asas-asas bimbingan dan penyuluhan pernikahan dan keluarga Islam

dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Asas kebahagiaan dunia dan akhirat

Bimbingan dan penyuluhan pernikahan dan keluarga Islam,

seperti halnya bimbingan dan penyuluhan Islam umum, ditujukan

pada upaya membantu individu mencapai kebahagiaan hidup di

dunia dan di akhirat. Dalam hal ini kebahagiaan di dunia harus

dijadikan sebagai sarana mencapai kebahagiaan akhirat, seperti

difirmankan Allah sebagai berikut:

3  [
 d U P? <
 R S 0 E  O, P? <
 R % i  O, FG 83
(6q :S01)
51
Artinya: Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kebaikan
di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami
dan siksa api neraka. (Q.S. Al-Baqarah, 2:201).

 d&*> 0$ % E S 0 E  3 i& $ -  e


$ :  ]* % i  S %
 " 
(56 :I:)
&1 : F m,#
1=
Artinya: Dan tidaklah kehidupan di dunia ini selain dari main-
main dan senda gurau belaka. Dan sesungguhnya
kehidupan di kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-
orang yang bertakwa, maka tidakkah kamu
memahaminya? (Q.S.Al-An'am:6:32).

Kebahagiaan dunia dan akhirat yang ingin dicapai itu bukan

hanya untuk seseorang anggota keluarga, melainkan untuk semua

anggota keluarga, seperti tercermin dari kata "kami" ("n") dalam

do'a "rabbana atina..." dan bukan aku seorang diri (Aunur Rahim,

2001: 85-86)

2. Asas sakinah, mawaddah dan rahmah

Pernikahan dan pembentukan serta pembinaan keluarga

Islam dimaksudkan untuk mencapai keadaan keluarga atau rumah

tangga yang "sakinah, mawaddah wa rahmah," keluarga yang

tenteram, penuh kasih dan sayang. Dengan demikian bimbingan dan

penyuluhan pernikahan dan keluarga Islam berusaha membantu

individu untuk menciptakan kehidupan pernikahan dan rumah

tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah tersebut (Musnamar,

1992: 73)

52
-%   <
=> ?;@ #   <
A B #  C  D &E
" # ) F G   
(6q :I0) P? Q R 3  S?    % 8 9:; 
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadlkanNya di antaranyan rasa kasih
dan sayang. (Q.S.Ar-Rum,30:21).

3. Asas komunikasi dan musyawarah

Ketentuan keluarga yang didasari rasa kasih dan sayang akan

tercapai manakala dalam keluarga itu senantiasa ada komunikasi dan

musyawarah. Dengan memperbanyak komunikasi segala isi hati dan

pikiran akan bisa dipahami oleh semua pihak, tidak ada hal-hal yang

mengganjal dan tersembunyi. Bimbingan dan penyuluhan

pernikahan dan keluarga Islam, di samping dilakukan dengan

komunikasi dan musyawarah yang dilandasi rasa saling hormat

menghormati dan disinari rasa kasih dan sayang, sehingga

komunikasi itu akan dilakukan dengan lemah lembut

e
&" 1" %&f ?}V ,      -    ) &V  C PJ Q R 3 Q ,
O,   3    -  0 B . =(   -  
  , M  R   "+B]
TG)   &>  =Q " e
  ) &V
* ) &V & 9" * =,
  _  N j, 0  
(q :
0Q
Artinya: Maka disebabkan rahmat Allahlah kamu berlaku lemah
lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras
lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan din dan.
sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan

53
bermusyawarahlah dengan mereka dalam unison itu
kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadaNya.
(Q.S. Ali Imran: 159).
(5 :3v)  - % 8 3   0  #
Artinya: ... sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarah antara mereka. (2.5. Asy-Syura, 42 : 38).

Bukan hanya dalam rangka mencegah munculnya problem,

dalam upaya memecahkan masalah pernikahan dan kehidupan

keluarga pun asas komunikasi dan musyawarah itu penting

dijalankan, bahkan kalau perlu ada pihak ketiga yang dipercaya oleh

semua pihak untuk menjadi juru damai di antara mereka.

 C ?QR ) & #  C ?QR "o: 8 , Q-  % 8


 1  =B" E
" 
?Q%&
 ) &V
* Q- % 8 ) &V D ,>  ?Rm X i 0
-& #
(5 :/<) ? E
Artinya: Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara
keduanya, maka kirimlah seorang hakim (juru damai)
dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga
perempuan. Jika kedua orang hakim itu bermaksud
mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik
kepada suami isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. An-Nisa,4:35).

4. Asas Sabar dan Tawakkal

Setiap orang menginginkan kebahagiaan dengan apa yang

dilakukannya, termasuk dalam menjalankan pernikahan dan hidup

Bimbingan dan Penyuluhan Pernikahan dan Keluarga Islam!

berumah tangga. Namun demikian, tidak selamanya segala usaha

54
ikhtiar manusia itu hasilnya sesuai dengan apa yang diinginkan.

Agar supaya kebahagiaan itu sekecil apapun tetap bisa dinikmati,

dalam kondisi apapun, maka orang harus senantiasa bersabar dan

bertawakkal (berserah din) kepada Allah, seperti tersebut dalam

firman Allah berikut. Dengan kata lain, bimbingan dan penyuluhan

pernikahan dan keluarga Islam membantu individu pertama-tama

untuk bersikap sabar dan tawakkal dalam menghadapi masalah-

masalah pernikahan dan kehidupan berumah tangga, sebab dengan

bersabar dan bertawakkal akan diperoleh kejernihan dan pikiran,

tidak tergesa-gesa terburu nafsu mengambil keputusan, dan dengan

demikian akan terambil keputusan akhir yang lebih baik.

? % "0 " F
# <: ,   Q= 0 
j,
 0: Q " 8   0 
(q :/<) ?o ?0 %E ) %, ) &V 9:  
Artinya: Dan bergaullah dengan mereka (isteri-isteri kamu) secara
patut (ma'ruf). Kemudian bila kamu. tidak menyukai
mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang ban-yak. (Q.S. An-Nisa, 4:19).

 G  d* * {6} 0H < E OB


< j"
* {q} 0  : "
:0:) 0     8  X
 F DC 
 " 8  X
 F K
  &Q  
(5rq
Artinya: Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar
berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat-
menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat-

55
menasehati supaya menetapi kesabaran. (Q. S. Al-Asr,
103 : 1-3).

Sabar dan tawakkal berlaku bagi klien (agar dalam

menghadapi problem bersikap sabar dan tawakkal), maupun bagi

pembimbing/konselor pernikahan dan keluarga Islam itu sendiri

(dalam memberikan bantuan kepada kliennya).

5. Asas Manfaat (maslahat)

Telah disebutkan bahwa perjalanan pernikahan dan

kehidupan berkeluarga ini tidaklah senantiasa mulus seperti yang

diharapkan, kerapkali dijumpai batu sandungan dan kerikil-kerikil

tajam yang menjadikan perjalanan kehidupan berumah tangga itu

berantakan. Islam banyak memberikan alternatif pemecahan

masalah terhadap berbagai problem pernikahan dan keluarga,

misalnya dengan membuka pintu poligami dan perceraian. Dengan

bersabar dan bertawakkal dulu terlebih dahulu, diharapkan pintu

pemecahan masalah pernikahan dan rumah tangga maupun yang

diambil nantinya oleh seorang, selalu berkiblatkan pada mencari

manfaat maslahat yang sebesar-besarnya, baik bagi individu anggota

keluarga, bagi keluarga secara keseluruhan, dan bagi masyarakat

secara umum, termasuk bagi kehidupan kemanusiaan.

$      o#  # 0H N  K
    9" Q :  
(q6 :/<) ?1
Q&"} ] P "
&E i  M
  !,
Artinya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap
tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi

56
keduanya mengadakan perdamaian yang sebesar-
besarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).
(Q. S. An-Nisa, 4:128).

57
BAB III

GAMBARAN UMUM PERNIKAHAN DINI DI DESA KLUWIH

KECAMATAN BANDAR KABUPATEN BATANG

3.1 Sekilas Letak Geografis Desa Kluwih Kecamatan Bandar

Desa Kluwih adalah termasuk salah satu di antara desa-desa yang

berada di wilayah kecamatan Bandar yang letaknya kurang lebih 19 kilo

meter dari Ibukota Kabupaten Batang.

Adapun batas-batas Desa Kluwih yaitu:

a. Sebelah utara dibatasi desa Manggis

b. Sebelah selatan dibatasi desa Toso

c. Sebelah barat dibatasi desa Wonokerto

d. Sebelah timur dibatasi desa Pretek

Luas tanah Desa Kluwih ialah 1.438,820 ha. Kondisi tanahnya cukup

subur untuk bercocok tanam, beternak, dan termasuk daerah dataran rendah

yang mempunyai dua musim yaitu kemarau dan penghujan, sehingga cocok

untuk tanaman baik padi maupun lainnya. Irigasi non teknis seluas 170.000

ha. Ada juga yang memakai saluran air (irigasi setengah tekhnis) seluas

92.666 ha, sedangkan tegalan atau perkebunan seluas 287.928 ha, termasuk

di dalamnya sungai, jalan kuburan, saluran dan lain-lain (Data dari buku

Monografi Desa Kluwih).

58
TABEL I
TABEL DEMOGRAFI
DESA KLUWIH

RW

Umur 1 2 3 4 5 6 7 Jumlah

Jumlah KK 671 591 490 185 327 458 156 2.878

Jumlah 2.681 2.361 1.967 740 1.308 1.832 617 11506

Penduduk

Laki - laki 1.342 1.198 979 390 664 906 303 5.782

Perempuan 1.339 1.163 988 350 644 926 314 5.724

Data Dari buku Monografi Desa Kluwih

TABEL II
PENDUDUK DESA KLUWIH

MENURUT KELOMPOK UMUR TAHUN 2011

RW

Umur 1 2 3 4 5 6 7 Total

0 < 1 Tahun 56 48 36 20 29 31 19 239

1 < 5 Tahun 166 126 118 84 102 105 91 792

5 < 14 Tahun 362 290 259 172 194 204 182 1.663

14 < 20 Tahun 541 420 370 194 279 339 257 2,400

20 < 30 Tahun 401 312 296 140 216 258 186 1.809

30 < 45 Tahun 540 420 370 194 279 339 257 2.339

59
< 60 Tahun 401 312 296 139 280 337 259 1.809

> 60 Tahun 104 85 77 385 49 60 34 447

Data Dari buku Monografi Desa Kluwih

Sedangkan Desa Kluwih ditinjau dari segi mata pencaharian adalah

terdiri dari berbagai macam pekerjaan terinci dalam tabel di bawah ini:

TABEL III

DATA MATA PENCAHARIAN

PENDUDUK DESA KLUWIH

No Mata Pencaharian Jumlah


1 Pertanian
Petani sendiri 5.482
Buruh tani 701
2 Buruh swasta 490
3 Industri kecil/rumah tangga 320
4 Bangunan dan kontruksi 26
5 Perdagangan 501
6 Angkutan dan jasa 368
7 Pegawai negeri 25
8 Peternak 60
9 Para medis 5
10 montir 6
11 Lain-lain 8
Data Dari buku Monografi Desa Kluwih

Tabel tersebut di atas memperlihatkan komposisi mata pencaharian

penduduk Desa Kluwih pada tahun 2011, lapangan pekerjaan petani

60
dominan dibandingkan dengan tenaga lapangan pekerjaan lainnya. Hal ini

disebabkan karena tanah pertanian berupa tanah sawah sehingga cocok

sekali untuk lahan pertanian.

1. Kehidupan Keagamaan dan Sosial Budaya

a. Ditinjau dari Aspek Ekonomi

Penduduk Desa Kluwih berdasarkan hasil registrasi penduduk

tahun 2011 berjumlah 11.507 jiwa, dengan kepadatan 6.196 jiwa/km,

mayoritas masyarakatnya beragama Islam (11.486 jiwa), serta

memiliki beraneka ragam pekerjaan.

Mayoritas wanita Desa Kluwih memiliki pendapatan tambahan

dengan cara menjual beras, pedagang jamu, membuat kue, dan batik

pakaian. Pembuatan batik pakaian ini dilakukan secara kolektif,

sementara pemesannya adalah pengusaha swasta. Wanita yang

tergabung dalam industri rakyat ini, bekerja dibawah perantara dan

dibayar dengan cara borongan dengan rata-rata upah yang diberikan

adalah Rp. 12.500,00 untuk sehari bekerja selama 7-8 jam. Adapun

kaum laki-laki memiliki pendapatan tambahan tunai diperoleh diluar

sektor pertanian, meliputi : sektor bangunan dan kontruksi, sopir, ojek

dan lain sebagainya, dengan rata-rata penghasilan Rp. 17.500,00/hari.

Dengan demikian bahwa kaum wanita Desa Kluwih Kecamatan

Bandar Kabupaten Batang, tidak-hanya melakukan pekerjaan sebagai

ibu rumah tangga akan tetapi juga melakukan pekerjaan diluar rumah,

dan ada juga yang melakukan pekerjaan sampai pergi keluar desa.

61
b. Ditinjau dari Aspek Agama

Dalam bidang agama masyarakat Desa Kluwih adalah

mayoritas beragama Islam. Hal itu dapat dilihat pada catatan buku

monografi Desa Kluwih yang merupakan data jumlah penduduk

pemeluk agama, yaitu sebagai berikut:

TABEL IV

PENDUDUK MENURUT AGAMA DI DESA KLUWIH

No Agama Jumlah

1 Islam 11.486

2 Katholik 4

3 Kristen Protestan 17

4 Budha -

5 Hindu -
Data Dari buku Monografi Desa Kluwih

Selanjutnya untuk menampung kegiatan bagi para penganut

agama dan kepercayaan di Desa Kluwih tersedia 23 sarana tempat

peribadatan. Rinciannya dapat dilihat pada tabel berikut:

TABEL V

BANYAKNYA TEMPAT IBADAH

DI DESA KLUWIH 2011

No Nama Tempat Ibadah Jumlah


1 Masjid 7
2 Mushalla 43
3 Gereja -

62
4 Wihara -
5 Pura -
Jumlah 50
Data Dari buku Monografi Desa Kluwih

Jumlah tempat peribadatan tersebut setiap tahun mengalami

perubahan, yaitu semakin banyak masjid dan mushalla.

c. Ditinjau dari Aspek Pendidikan

Penduduk Desa Kluwih ditinjau dari segi pendidikannya terdiri

dari beberapa tingkat, sebagaimana dalam tabel berikut ini:

TABEL VI

DATA PENDIDIKAN PENDUDUK

DESA KLUWIH TAHUN 2011

No Jenis Pendidikan Jumlah


1. Belum Sekolah 329
2. Tidak Tamat Sd 3.014
3. SD 7.484
4. SLTP 7484
5. SLTA 152
6. Perguruan Tinggi 32
Data Dari buku Monografi Desa Kluwih

Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Desa

Kluwih, apabila ditinjau dari pendidikannya, maka terlihat bahwa

jumlah yang tamat SD lebih besar yaitu 5.508 dibandingkan dengan

yang lainnya. Hal ini perlu mendapatkan perhatian dan dapat

63
digunakan sebagai acuan lebih meningkatkan taraf pendidikan

masyarakat Desa Kluwih.

d. Ditinjau dari aspek Sosial Budaya (Adat Istiadat)

Desa Kluwih termasuk desa di daerah pelosok, dan mayoritas

mata pencaharian penduduknya adalah petani dan peternak, memiliki

jarak tempuh yang relatif jauh dari pusat pemerintahan. Namun

kondisi desa ini ditunjang dengan sarana dan prasarana kegiatan

masyarakat pedesaan pada umumnya, dan memiliki kehidupan sosial

budaya yang sangat kental. Hal ini yang membedakan antara kondisi

sosial masyarakat desa dengan masyarakat kota pada umumnya, yang

terkenal dengan individualistik dan hedonis yang merupakan corak

terhadap masyarakat kota (Hasil Wawancara dengan Bapak

Sudaryanto, selaku tokoh masyarakat Desa Kluwih, wawancara

dilakukan tgl. 9-6-2011).

Di Desa Kluwih, masalah budaya, hubungan antar masyarakat

satu sama lainnya boleh dikatakan turun temurun dari tradisi

kebiasaan nenek moyang kita. Di desa ini kita saling tepo selero

(tenggang rasa) dengan sesamanya ega lepas dari rasa persaudaraan.

kepentingan ya nomor dua (Hasil Wawancara dengan Bapak Dato,

selaku tokoh masyarakat Desa Kluwih, wawancara dilakukan tgl. 10-

6-2011).

Keberhasilan dalam melestarikan dan penerapan nilai-nilai

sosial budaya tersebut karena adanya usaha-usaha masyarakat untuk

64
tetap menjaga persatuan dan persaudaraan melalui kegiatan-kegiatan

kemasyarakatan yang secara langsung maupun tidak langsung

mengharuskan masyarakat yang terlibat untuk terus saling

berhubungan dan berinteraksi dalam bentuk persaudaraan. Kegiatan-

kegiatan kemasyarakatan itu dapat dibedakan secara kelompok umur

dan tujuannya antara lain adalah sebagai berikut:

a. Perkumpulan secara arisan kelompok bapak-bapak yang diadakan

setiap RT. Dalam perkumpulan ini sangat sering dibahas tentang

segala yang bersangkutan dengan kehidupan dan kebutuhan

masyarakat ditingkat RT untuk kemudian dicari solusi secara

bersama-sama.

b. Perkumpulan Ibu-ibu PKK secara rutin, kelompok ibu-ibu yang

terdiri dari arisan RT dan perkumpulan arisan dasawisma.

Perkumpulan dan arisan ibu-ibu dilaksanakan ditingkat RT,

memiliki fungsi dan manfaat seperti pada perkumpulan arisan

bapak-bapak. Perkumpulan arisan dasawisma dan ibu-ibu PKK

diadakan di tingkat RW. Perkumpulan PKK memiliki fungsi untuk

meningkatkan kemampuan dan peran serta yang positif bagi ibu-

ibu dalam keluarga. Sedangkan arisan dasawisma merupakan

arisan kelompok yang lebih cenderung berorientasi pada nilai

ekonomi, meskipun di dalamnya juga terdapat nilai-nilai sosial

budaya juga.

65
c. Perkumpulan remaja yang ada disetiap RT/RW, dan kelurahan.

Perkumpulan remaja atau lebih dikenal dengan nama lain Karang

Taruna merupakan pertemuan yang dibentuk dan diadakan bagi

kalangan remaja dengan tujuan antara lain :

(1). Untuk menjaga persatuan dan memupuk rasa persatuan antar

remaja.

(2). Sebagai sarana pelatihan remaja untuk mengeluarkan pendapat

serta terbiasa untuk memecahkan masalah dengan jalan

musyawarah.

(3). Sarana pelatihan berorganisasi dan hidup bermasyarakat bagi

remaja.

(4). Sebagai sarana transformasi segala informasi dari pemerintah

kelurahan yang perlu diketahui oleh para remaja di Desa

Kluwih kecamatan Bandar Kabupaten Batang.

(5). Sebagai sarana untuk mengembangkan minat dan bakat para

remaja yang nantinya akan bermanfaat bagi remaja pada usia

selanjutnya sebagai penerus keberlangsungan kehidupan

bermasyarakat di Desa Kluwih (Hasil Wawancara dengan

Bapak Dasro Kepala Desa Kluwih, wawancara dilakukan

tgl. 12-6-2011 di Balai Desa Kluwih).

Sedangkan kegiatan-kegiatan ritual yang masih membudaya di

tengah-tengah masyarakat adalah

66
1) Upacara perkawinan. Sebelum di adakan upacara perkawinan

biasanya terlebih dahulu diadakan upacara peminangan (tukar

cincin menurut adat jawa), yang sebelumnya didahului dengan

permintaan dari utusan calon mempelai laki-laki atau orang tuanya

sendiri terhadap calon mempelai perempuan. Kemudian akan

dilanjutkan ke jenjang peresmian perkawinan yang diisi dengan

kegiatan yang Islami seperti Tahlilan dan Yasinan yang bertujuan

untuk keselamatan kedua mempelai, dengan dihadiri oleh seluruh

sanak keluarga, tetangga maupun para sesepuh setempat (Hasil

Wawancara dengan Bapak Suprat, Selaku tokoh masyarakat Desa

Kluwih, wawancara dilakukan tgl. 12-6-2011)..

2) Upacara anak dalam kandungan. Dalam upacara mi meliputi

beberapa tahap, di antaranya adalah: acara Anak Dalam

Kandungan a). Ngepati, yaitu suatu upacara yang di adakan pada

waktu anak dalam kandungan berumur kurang lebih 4 bulan,

karena dalam masa 4 bulan ini, menurut kepercayaan umat Islam

malaikat mulai meniupkan roh kepada sang janin. b) Mitoni atau

Tingkepan, yaitu upacara yang di adakan pada waktu anak dalam

kandungan berumur kurang lebih 7 (tujuh) bulan dan upacara ini

dilaksanakan pada waktu malam hari, yang dihadiri oleh sanak

keluarga, tetangga, para sesepuh serta para tokoh agama guna

membaca surat Taubat

67
3) Upacara Kelahiran Anak (Babaran atau Brokohan) Upacara ini

dilaksanakan ketika sang anak berusia 7 hari dari hari

kelahirannya , yaitu berupa selamatan yang biasa disebut dengan

istilah "Brokohan". Upacara ini diisi dengan pembacaan kitab Al

Barjanzi. Kemudian jika anak itu laki-laki maka harus

menyembelih dua ekor kambing sedangkan untuk anak perempuan

hanya satu ekor kambing.

4) Upacara Tudem/anak mulai jalan. Selama anak mulai lahir dan

belum bisa berjalan, setiap hari kelahirannya (selapanan,

tigalapan, limalapan. tujuhlapan dan sembilanlapan) biasanya

diadakan selamatan berupa nasi gungan dan lauk-pauk sekedamya

untuk dibagikan kepada tetangga terdekat. Sedangkan ketika sang

anak berusia 7 bulan akan diadakan selamatan lebih besar lagi.

5) Upacara Khitanan/Tetakan. Upacara ini diadakan terutama bagi

anak laki-laki. Upacara mi biasanya diadakan secara sederhana

atau besar-besaran, tergantung pada kemampuan ekonomi

keluarga. Namun kalau hanya mempunyai anak tunggal/ontang-

anting, kepercayaan dari orang jawa adalah anak tersebut harus di

"Ruwat" dengan menanggap wayang kulit yang isi ceritanya

menceritakan Batara Kala dengan memberi sesaji berupa

tumpengan atau panggang daging agar tidak dimakan rembulan.

6) Selamatan menurut Penanggalan (Kalender Jawa). Di antara

kalender-kalender umat Islam yang biasanya dilakukan selamatan

68
antara lain: 1 Syura, 10 Syura untuk menghormati Hasan dan

Husein cucu Nabi Muhammad SAW, tanggal 12 Maulud (Robi'ul

Awal) untuk merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW,

tanggal 27 Rajab untuk memperingati Isra' dan Mi'raj Nabi

Muhammad SAW, tanggal 29 Ruwah (dugderan), 17 Ramadhan

(memperingati Nuzul Qur'an), 21, 23, 24, 27 dan 29 maleman, 1

Syawal (hari raya Idul Fitri), 7 Syawal (katupatan) biasanya

diramaikan dengan membuat ketupat dan digunakan untuk

selamatan di mushala terdekat, dan dibulan Apit bagi masyarakat

mengadakan upacara sedekah bumi, dan kepala desa menanggap

gong/wayang sebagai syarat untuk mengingatkan warga

masyarakat desa untuk masak-masak. Setelah magrib menyiapkan

sebagian untuk selametan di mushala terdekat dan begitu juga

dibulan 10 Besar (Hari Raya Idul Qurban), masyarakat yang

dianggap mampu dianjurkan untuk berkorban.

7) Upacara Penguburan Jenazah. Salah satu dari upacara penguburan

jenazah adalah upacara brobosan, upacara ini dilakukan oleh

sanak saudara terdekat yang tujuannya untuk mengikhlaskan

kematiannya. Adat kebiasaan di atas merupakan nilai -nilai yang

berasal dari leluhur yang telah diimplementasikan dalam tata nilai

dan laku perbuatan sekelompok masyarakat tertentu. Akan tetapi

dengan perkembangan zaman, nilai tradisi-tradisi yang

berkembang kadang-kadang diisi dengan kegiatan yang memiliki

69
nilai-nilai keagamaan (Hasil Wawancara dengan Bapak Suprat,

Selaku tokoh masyarakat Desa Kluwih, wawancara dilakukan tgl.

12-6-2011).

3.2 Permasalahan dan Dampak Pernikahan Dini di Desa Kluwih

Kecamatan Bandar

Pada tiga tahun terakhir (tahun 2007 - 2010) bahwa di Desa Kluwih

Kecamatan Bandar yang melakukan pernikahan dini berjumlah dua puluh

keluarga. Dengan perkataan lain bahwa seluruh keluarga dari pernikahan

dini Desa Kluwih Kec. Bandar Kab. Batang berjumlah 20 keluarga.

Sedangkan yang bercerai pada tiga tahun terakhir dari pernikahan dini

berjumlah 12 keluarga.

Alasan mereka bercerai di antaranya: penuturan dari Ibu dan Bapak

Karyo (perceraian dari pernikahan antara pria belum cukup umur dengan

wanita belum cukup umur) (wawancara pada tgl 4-6-2011).

"Bayangkan saja mas, suami saya buruh bangunan, tiga bulan kerja,
sebulan nganggur. Kalau sudah nganggur, tidak berusaha cari kerjaan
lain, sedangkan saya dan anak perlu makan. Saya udah malu dengan
tetangga, hutang di warung udah malu ditagih terus-terusan. Coba mas
bayangkan siapa yang kuat ngalami kekurangan duit. Ini tidak sekali
dua kali. Kayaknya bisa seumur hidup. Suami saya malas bisanya
cuma ngomel, tapi ega bisa cari duit kayak suami-suami orang lain.
Paling-paling keluyuran pulang malam, anal istri sengsara ega
bertanggung jawab".

Alasan bercerai yang dikemukakan ibu Karyo di atas adalah

persoalan kekurangan ekonomi sehingga dihimpit utang dengan warung.

Demikian pula ketidak mampuan bapak Karyo memberi uang jajan pada

anak-anak me njadi dorong kuat bagi ibu Karyo untuk memilih bercerai.

70
Penuturan Bapak dan Ibu Sudarno (pernikahan antara pria cukup

umur dengan wanita belum cukup umur) (wawancara pada tgl 5-6-2011):

"Ya, biasa kekurangan ekonomi, maka istri saya ngomel terus.


Daripada saya tidak kuat, ya lebih baik cerai. Dipertahankan bisa
bahaya, ribut tidak habis-habisnya. Ya masalah ekonomi. Saya telah
berusaha sekuat tenaga cari duit, tapi keadaannya sulit, mau
digimanakan lagi. Saya ega malas, tapi istri ega sabar. Yang dilihat
Cuma tetangga. Saya selalu dibanding-bandingkan. Mendingan hidup
duda daripada punya istri makan ati."

Demikian pula penuturan dari Bapak dan Ibu Sudarno menunjuk

alasan bercerai adalah seputar masalah ekonomi. Persoalan ekonomi ini

yang menjadi pemicu perceraian. Bapak Sudarno sudah berupaya maksimal

untuk menafkahi keluarga. Namun pekerjaan yang sulit dan persaingan yang

ketat membuat mereka tidak berdaya hidup dalam kelayakan.

Jika memperhatikan penuturan kedua responden di atas

menunjukkan bahwa perceraian disebabkan oleh himpitan faktor ekonomi.

Mereka kurang tabah menghadapi masalah ekonomi yang sebetulnya tidak

perlu sampai bercerai.

Wawancara dengan Bapak dan Ibu Nuryanto (pernikahan antara pria

belum cukup umur dengan wanita yang cukup umur) (wawancara pada tgl

5-6-2011):

"Mertua saya sering ikut campur, ngatur inilah, ngatur itulah. Kalau
datang ke rumah, bisa hanya menghina, rumah dikatakan kotor,
kurang bersih. Emang mertua saya cerewet. Sebagai istri ya saya
ngadu pada suami tentang orang tuanya yang selalu ikut campur, tapi
suami tersinggung dan marah, tidak menerima aduan saya. Ikut
campur bukan hanya masalah rumah, sampai uang dapur saya
dianggap boros ega bisa nyimpan, kurang telaten. Yang lebih
menyakitkan sering ngadu pada tetangga sebelah. Ya suami lebih cinta
pada orang tuanya, saya sudah menasehati tapi suami ega nerima ya
lebih baik cerai".

71
Penuturan Ibu Nuryanto mengisyaratkan bahwa pertengakaran dalam

rumah tangga yang berakhir dengan perceraian adalah dipicu oleh masalah

interfensi mertua yang berusaha mewarnai rumah tangga Ibu Nuryanto.

Sebagaimana diutarakan Ibu dan Bapak Wariman (pernikahan antara

pria belum cukup umur dengan wanita yang sama-sama belum cukup umur)

(wawancara pada tgl 6-6-2011)

"Suami saya sering bohong dan yang saya tidak tahan, selingkuh
dengan janda. Ya kalau dibilang selingkuhannya biasa-biasa tidak
cantik, lebih tua dari saya dan ini saya buktikan dengan mata kepala
saya sendiri melihat suami sering boncengan dan datang kerumah
janda itu. Untung saja ada tetangga saya yang ngasih tahu, akhirnya
ketangkap basah dan sekarang sudah menjadi suami istri".

Penuturan kedua responden di atas, menjadi petunjuk bahwa

penyebab perceraiannya adalah karena faktor mertua ikut campur dan suami

selingkuh.

Wawancara dengan Ibu dan Bapak Romadhon (pernikahan antara

pria belum cukup umur dengan wanita yang sama-sama belum cukup umur)

(wawancara pada tgl 6-6-2011):

"Saya tidak menyangka sifat suami tidak sama dengan sifat orang
tuanya. Suami saya kalu melihat ada di rumah yang tidak enak,
langsung marah, saya udah jawab, suami makin marah. Akhirnya saya
coba pisah ranjang dan terakhir saya pulang ke rumah orang tua. Tapi
suami saya pintar merayu orang tua saya sehingga saya selalu
disalahkan. Pertengkaran hampir tiap hari, dan suami sering mukul
kepala saya, sampai akhirnya saya ditendang dan dicekik, kalu tidak
ada tetangga mungkin saya udah mati. Dan saya laporkan pada polisi,
ya selanjutnya saya urus perceraian".

Demikian penuturan responden di atas, yang pada prinsipnya

perceraian dengan menguasakan pada modin dan diteruskan ke pengadilan

72
agama. Adapun rumah tangga yang masih utuh dari pernikahan dini

berjumlah 8 keluarga. Mereka hidup harmonis seperti layaknya rumah

tangga yang sudah matang dan dewasa. Sebabnya harmonis adalah karena

mereka sering mendapat penerangan dari petugas Kantor Urusan agama,

demikian pula mereka mengakui sering menghadiri pengajian dan saat itu

mendapat nasihat dari kiyai dan para sesepuh. Mereka berusaha

mencurahkan masalah yang membelit rumah tangga pada kiyai dan para

sesepuh untuk dicarikan jalan keluar pemecahannya.

Macam atau varian pernikahan dini yang terjadi di Desa Kluwih

Kec. Bandar Kab. Batang yaitu (pernikahan antara pria belum cukup umur

dengan wanita yang cukup umur, pernikahan antara pria cukup umur dengan

wanita belum cukup umur, pernikahan antara pria belum cukup umur

dengan wanita yang sama-sama belum cukup umur).

Penuturan Ibu dan Bapak Karyo (pernikahan antara pria belum cukup

umur dengan wanita belum cukup umur) (wawancara pada tgl 4-6-2011).

Kami berumah tangga baru saja berjalan satu tahun setengah, dan ini
anak saya perempuan, yah sangat nakal maklum selalu dimanja oleh
bapaknya. Karena dari awal pacaran, bapaknya pengen sekali punya
anak perempuan. Al-hamdulillah dikaruniai apa yang diharapkan. Ya
kalu dipikir-pikir nikah di umur saya waktu itu baru 15 tahun dan
suami saya saat itu baru berumur 16 tahun memang terlalu terburu-
buru, tapi gimana lagi namanya hidup di kampung jadi omongan.
Memang terasa kita belum siap menghadapi masalah kesulitan-
kesulitan yang namanya rumah tangga.

Penuturan Bapak dan Ibu Sudarno (pernikahan antara pria cukup umur

dengan wanita belum cukup umur) (wawancara pada tgl 5-6-2011)

Ya saya menikah pada umur 15 dan bapak ketika itu umur 20. ya,
masih seneng main dan sebetulnya belum siap menikah, tapi ya jodoh

73
ya seperti ini. kadang-kadang masih ingin bebas seperti kawan-kawan
lainnya. Tapi sekarang sudah terikat perkawinan ya ega enaklah kalau
dilihat masyarakat masih seneng main-main. Kadang-kadang ada
perasaan ingin seperti sebelum menikah ya ada kebebasan, ega terikat
dan tidak banyak aturan. Tapi sekarang kami juga ditegur orang tua
kalu masih seperti kanak-kanak.

Berdasarkan keterangan dua informan di atas menunjukkan bahwa

pernikahan dini pada akhirnya menimbulkan perasaan tidak puas dengan

kehidupan yang sedang dijalani. Ada perasaan penyesalan karena masa-masa

bermain hilang begitu saja. Hal itu semua disebabkan masa kecil yang belum

habis dan terlewati namun tanpa sadar sudah memasuki kehidupan yang

penuh tantangan.

Wawancara dengan Bapak dan Ibu Nuryanto (pernikahan antara pria

belum cukup umur dengan wanita yang cukup umur) (wawancara pada tgl 5-

6-2011)

Mungkin juga yah rasa malu dengan omongan tetangga yang sering
menanyakan kapan menikah, padahal waktu itu saya baru berumur 18,
tua istri, ya namanya di kampung pacaran terlalu lama akan mendapat
cemooh. Biasa lah kalu di kampung ya umur seperti kami ini sudah
tidak aneh, malah orang tua juga menjodohkan. Padahal kita belum
puas dengan masa remaja dan bermain. Sudah menjadi tradisi atau
adat menikah pada umur seperti kami ini. Tapi ya kalu istri saya ini
sudah cukup umur kira-kira waktu itu sudah berumur 18 tahun.

Pernyataan di atas mengisyaratkan bahwa motivasi menikah dini

adalah untuk menghindari rasa malu dan cemoohan dari tetangga. Di sini juga

tampak ada unsur keterpaksaan karena lingkungan dan tradisi yang sudah

mendarah daging. Omongan tetangga inilah yang menggiring muda mudi usia

dini melakukan percepatan menikah tanpa mempertimbangkan kondisi

kedepan dari sebuah kehidupan rumah tangga.

74
Sebagaimana diutarakan Ibu dan Bapak Wariman (pernikahan antara

pria belum cukup umur dengan wanita yang sama-sama belum cukup umur)

(wawancara pada tgl 6-6-2011)

Kadang ya ada bahagia dan ada juga menderitanya, terutama pada saat
kekurangan ekonomi, omongan tetangga. Juga kami punya watak
sama keras kadang ya terjadi keributan. Kalu dipikir-pikir mungkin
karena kami belum siap dan belum matang ya yang terasa lebih
banyak menderitanya dari bahagianya. Sering ribut, cekcok masalah
sepele, ya juga mudah terhasut omongan tetangga. Ini salah satu pihak
kadang tidak bisa mengendalikan emosi dan mudah percaya tanpa
diselediki lebih dahulu.

Menjalani kehidupan rumah tangga tidak mudah, sesekali masalah dan

perbedaan paham menjadi pemicu konflik. Manakala usia masing-masing

belum matang maka sangat sulit menyikapi persoalan secara arif dan

bijaksana. Latar belakang kehidupan dua manusia yang berbeda tidak mudah

menyatukan persepsi, dibutuhkan komitmen dan sikap saling mengalah serta

mencari persamaan ditengah perbedaan.

Wawancara dengan Ibu dan Bapak Romadhon (pernikahan antara pria

belum cukup umur dengan wanita yang sama-sama belum cukup umur)

(wawancara pada tgl 6-6-2011)

Ya, kalau sakit itu kan biasa apalagi namanya juga bayi. Balita itu
memang mudah terserang penyakit. Makanan kotor saja bisa sakit,
pakaian kotor pun bisa kulitnya merah-merah. Tapi ya memang anak
saya sering sakit. Kami juga tidak tahu apa ada pengaruh dari
perkawinan umur kami. Tapi rasanya umur ega ada pengaruh,
mungkin karena bayi.

75
Wawancara dengan Ibu dan Bapak Arifin (pernikahan antara pria

belum cukup umur dengan wanita yang sama-sama belum cukup umur)

(wawancara pada tgl 7-6-2011)

Mungkin saja pernikahan usia dini ada pengaruh terhadap jumlah


kependudukan. Perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah
kependudukkan. Tetapi kami tidak setuju pernikahan usia dini bisa
menimbulkan peledakan penduduk. Toh ada alat kontrasepsi.

Peneliti dapat mengambil kesimpulan berdasarkan hasil wawancara

dengan para pasangan suami istri yang telah melangsungkan pernikahan dini

bahwa pernikahan dini menimbulkan menimbulkan permasalahan dan

dampak.

3.3 Solusi terhadap Permasalahan dan Dampak Pernikahan Dini di Desa

Kluwih Kecamatan Bandar

3.3.1. Preventif

Untuk menghindari pernikahan dini dan menghindari

kekacauan serta menciptakan kerukunan, kedamaian dan

kesejahteraan abadi, maka kantor urusan agama membuat langkah-

langkah preventif yaitu dengan memberikan nasihat dan penerangan

kepada para pria dan wanita yang belum pernah menikah, beberapa

orang janda yang gagal dalam membina rumah tangga dan pria wanita

yang melakukan pernikahan dini. Kepala KUA Kecamatan Bandar

Kabupaten Batang menuturkan;

Pembinaan dan nasihat kepada kaum pria dan wanita yang masih
sendirian dan ada juga beberapa orang janda. Untuk para janda ini
umumnya mereka yang gagal dalam membina rumah tangga
(Hasil Wawancara dengan Bapak Bambang Subroto Kepala KUA

76
Kecamatan Bandar Kabupaten Batang, wawancara dilakukan tgl.
13-6-2011).

Adapun waktunya 3 bulan sekali, dan masyarakat menyadari

bahwa masih banyak rumah tangga yang berakhir dengan perceraian.

Padahal tujuan berumah tangga adalah untuk memperoleh kebahagiaan

sebagai hasil rumah tangga yang harmonis.

Keterangan ini sebagaimana diutarakan Ibu Ika (wawancara tgl 4-

6-2011) menyatakan:

Ya, saya melihat ada tetangga dan kawan dekat saya yang tidak
bahagia dalam mengayuh bahtera rumah tangga. Setiap hari sering
cekcok tengkar mulut. Saya melihat sendiri dan mendengar
mereka ribut karena satu sama lain mengabaikan kewajiban
masing-masing. Mereka saling menuntut hak. Dari sini saya
merasa perlu tahu bagaimana sih berumah tangga yang islami itu.

Keterangan tersebut sejalan dengan penuturan Ibu Ratihningsih

(wawancara tgl tgl 4-6-2011) menyatakan:

Saya kira penerangan dari KUA, Kiayi dan para sesepuh sangat
bermanfaat, sehingga kami tahu tentang cara membangun rumah
tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Saya kira semua
orang bertujuan yang sama.

Kepala KUA Kecamatan Bandar Kabupaten Batang menuturkan:

Penerangan dan nasihat didasarkan atas pemahaman dan


pelaksanaan ajaran agama Islam secara benar dan baik. Oleh
karena itu, pembinaan mengenai ekonomi dan kesehatan keluarga
pada dasarnya adalah faktor yang tidak dapat dihindari dalam
mencegah terjadinya perceraian. Akan tetapi, penerangan dan
nasihat memang belum dapat menghasilkan keluarga yang sesuai
dengan harapan umat Islam secara keseluruhan, di sana-sini masih
terdapat kekurangan yang harus diperbaiki (wawancara dilakukan
tgl. 13-6-2011).

77
Lebih lanjut Kepala KUA Kecamatan Bandar Kabupaten Batang

mengatakan:

Materi yang kita sampaikan pada masyarakat yang paling utama


adalah (1) hak dan kewajiban suami istri; (2) pemahaman tentang
seks; (3) memperhatikan menu makanan; (4) secara sungguh-
sungguh melaksanakan hak dan kewajiban (Hasil Wawancara
dengan Bapak Bambang Subroto Kepala KUA Kecamatan Bandar
Kabupaten Batang (wawancara dilakukan tgl. 13-6-2011).

Pasangan ideal dari kata keluarga adalah bahagia, sehingga

idiomnya menjadi keluarga bahagia. Maknanya, tujuan dari setiap orang

yang membina rumah tangga adalah mencari kebahagiaan hidup. Hampir

seluruh budaya bangsa menempatkan kehidupan keluarga sebagai ukuran

kebahagiaan yang sebenarnya. Meski seseorang gagal karirnya di luar

rumah, tetapi sukses membangun keluarga yang kokoh dan sejahtera,

maka tetaplah ia dipandang sebagai orang yang sukses dan berbahagia.

Orang yang sukses di luar rumah, tetapi keluarganya berantakan,


maka ia tidak disebut orang yang beruntung, karena betapapun
sukses diraih, tetapi kegagalan dalam rumah tangganya akan
tercermin di wajahnya, tercermin pula pada pola hidupnya yang
tidak bahagia. Karena itulah sangat diperlukan pembinaan, nasihat
dan penerangan (Hasil Wawancara dengan Bapak Tafsir pejabat
KUA (Staf Administrasi) Kecamatan Bandar Kabupaten Batang,
wawancara dilakukan tgl. 10-6-2011).
Hidup berkeluarga memang merupakan fitrah sosial manusia.

Secara psikologis, kehidupan berkeluarga, baik bagi suami, isteri, anak-

anak, cucu-cicit atau bahkan mertua merupakan pelabuhan perasaan;

ketenteraman, kerinduan, keharuan, semangat dan pengorbanan, semuanya

berlabuh di lembaga yang bernama keluarga. Secara alamiah, ikatan

78
kekeluargaan memiliki nilai kesucian, oleh karena itu bukan hanya di

masyarakat tradisional kesetiaan keluarga dipandang mulia, pada

masyarakat liberalpun, kesetiaan keluarga masih menjadi nilai keindahan,

meski persemayaman keindahan itu di alam bawah sadar. Dibalik budaya

"pergaulan bebas" yang dinikmati masyarakat liberal, tetap saja diakui di

alam bawah sadarnya "kebenaran" nilai kesetiaan dalam hidup

berkeluarga.

Menikah tidak terlalu sulit, tetapi membangun keluarga bahagia


bukan sesuatu yang mudah. Pekerjaan membangun, pertama harus
didahului dengan adanya gambar yang merupakan konsep dan
bangunan yang diinginkan. Gambar bangunan (maket) bisa
didiskusikan dan diubah sesuai dengan konsep fikiran yang akan
dituangkan dalam wujud bangunan itu. Demikian juga
membangun keluarga bahagia, terlebih dahulu orang harus
memiliki konsep tentang keluarga bahagia (Hasil Wawancara
dengan Bapak Munazirin Wakil Kepala KUA Kecamatan Bandar
Kabupaten Batang, wawancara dilakukan tgl. 12-6-2011).

Banyak kriteria yang disusun orang untuk menggambarkan sebuah

keluarga yang bahagia, bergantung ketinggian budaya masing-masing

orang, misalnya paling rendah orang mengukur kebahagiaan keluarga

dengan tercukupinya sandang, pangan dan papan. Bagi orang yang

pendidikannya tinggi atau tingkat sosialnya tinggi, maka konsep sandang

bukan sekedar pakaian penutup badan, tetapi juga simbol dari suatu

makna. Demikian juga pangan bukan sekedar kenyang atau standar gizi,

tetapi ada "selera" non gizi yang menjadi konsepnya. Demikian seterusnya

tempat tinggal (papan), kendaraan, perabotan bahkan hiasan, kesemuanya

itu bagi orang tertentu mempunyai kandungan makna budaya. Secara

79
sosiologis psikologis, kehadiran anak dalam keluarga juga dipandang

sebagai parameter kebahagiaan.

Rumah tangga juga demikian, ada konsepnya, isteri bukan sekedar

perempuan pasangan tempat tidur dan ibu yang melahirkan anak, suami

bukan sekedar lelaki, tetapi ada konsep aktualisasi diri yang berdimensi

horizontal dan vertikal. Orang bisa saja menunaikan hajat seksualnya di

jalanan, dengan siapa saja, tetapi itu tidak identik dengan kebahagiaan.

Hubungan seksual dengan pelacur atau perselingkuhan mungkin bisa

memuaskan syahwat dan hawa nafsunya, tetapi tidak pernah melahirkan

rasa ketenteraman, ketenangan dan kemantapan psikologis. Berdasarkan

hal itu nasihat dan penerangan diharapkan dapat membangun

keharmonisan keluarga (Hasil Wawancara dengan Bapak Tafsir pejabat

KUA (Staf Administrasi) Kecamatan Batang Kabupaten Batang,

wawancara dilakukan tgl. 12-6-2011).

Dalam penuturannya, Ibu Fatonah menyatakan:

Memang rumah tangga sekarang 'banyak tantangannya, ya kita


harus kuat menghadapinya (wawancara tgl 5-6-2011).
Dalam penuturannya Ibu Anisah menyatakan:

Ya, kalau saya pikir-pikir problem paling berat membangun


keluarga harmonis di tengah masyarakat modern adalah dalam
menghadapi penyakit 'manusia modern" yaitu ingin serba instan.
Padahal rumah tangga itu harus dibina secara bertahap
(wawancara tgl 5-6-2011).

Ada tiga lingkaran lingkungan yang membentuk karakter manusia;

keluarga, sekolah dan masyarakat. Meski ketiganya saling mempengaruhi,

80
tetapi pendidikan keluarga paling dominan pengaruhnya. Jika suatu rumah

tangga berhasil membangun keluarga sakinah, maka peran sekolah dan

masyarakat menjadi pelengkap. Jika tidak maka sekolah kurang efektif,

dan lingkungan sosial akan sangat dominan dalam mewarnai keluarga.

Pada masyarakat modem, pengaruh lingkungan sangat kuat, karena ia

bukan saja berada di luar rumah, tetapi menyelusup ke dalam setiap rumah

tangga, sehingga menimbulkan penyakit tersendiri, yakni penyakit

manusia modern.

Menurut Bapak Karta selaku sesepuh menjelaskan:

Ya, saya sangat mendukung kemauan anak saya menghadiri


pengajian dan penerangan nasihat dari semua pihak. Ya harapan
saya tidak terlalu muluk asalkan nanti dalam kehidupan rumah
tangga bisa saling pengertian, rukun, damai. Ega sering cekcok.
Yang udah-udah kalau saya lihat kenyataan di masa masyarakat
banyak pengantin' yang tidak memahami hak dan kewajibannya
(wawancara tgl 6-6-2011).

M. Hafid Haris selaku pemuda menuturkan:

Menurut saya nasihat dan penerangan dari sesepuh, pemerintah


dan ustadz sangat baik manfaatnya, terlebih sebagai bekal dalam
mengarungi kehidupan rumah tangga. Jadi tahu tentang aturan
selaku suami istri karena saya kan belum pernah menikah dan
belum pernah mendapat ilmu tentang rumah tangga (wawancara
tgl 7-6-2011).

3.3.2. Kuratif

Dasar sebuah keluarga dalam Islam adalah ikatan darah dan

perkawinan. Perkawinan merupakan kebutuhan fitri setiap manusia yang

memberikan banyak hasil yang penting di antaranya untuk membentuk

81
sebuah keluarga. Perkawinan ditujukan untuk selama hidup dan

kebahagiaan bagi pasangan suami istri yang bersangkutan. Dalam

kenyataannya terkadang perkawinan tidak mampu dipertahankan dan

berakhir dengan perceraian dalam hal ini suami menjatuhkan talak.

Islam mengajarkan jika terjadi perpecahan antara suami-istri

sehingga timbul permusuhan yang dikhawatirkan mengakibatkan pisah

dan hancurnya rumah tangga, maka hendaknya diadakan hakam (wasit)

untuk memeriksa perkaranya dan hendaklah hakam ini berusaha

mengadakan perdamaian guna kelanggengan kehidupan rumah tangga dan

hilangnya perselisihan (Hasil Wawancara dengan Bapak Tafsir pejabat

KUA (Staf Administrasi) Kecamatan Bandar Kabupaten Batang,

wawancara dilakukan tgl. 10-6-2011).

Islam melarang perceraian yang bisa merobohkan sendi-sendi

keluarga dan menyebarkan aib-aibnya, melemahkan kesatuan umat dan

membuat perasaan mendendam serta mengkoyak-koyak tabir kehormatan.

Itulah sebabnya jika antara suami isteri terdapat pertentangan pendapat

dan pertengkaran yang memuncak sehingga kedua belah pihak tidak

mungkin dapat mengatasinya dan tidak mungkin pula mendamaikannya

sendiri, maka dapat diutus seorang hakam dari pihak suami dan seorang

hakam dari pihak isteri. Kasus krisis rumah tangga yang memuncak ini

dalam istilah fiqh disebut syiqaq (Hasil Wawancara dengan Bapak

Munazirin Wakil Kepala KUA Kecamatan Bandar Kabupaten Batang,

wawancara dilakukan tgl. 12-6-2011).

82
Syiqaq mengandung arti pertengkaran, kata ini biasanya

dihubungkan kepada suami istri sehingga berarti pertengkaran yang terjadi

antara suami istri yang tidak dapat diselesaikan sendiri oleh keduanya.

Syiqaq ini timbul bila suami atau istri atau keduanya tidak melaksanakan

kewajiban yang mesti dipikulnya. Bila terjadi konflik keluarga seperti ini,

Allah SWT., memberi petunjuk untuk menyelesaikannya (Hasil

Wawancara dengan Bapak Munazirin Wakil Kepala KUA Kecamatan

Bandar Kabupaten Batang, wawancara dilakukan tgl. 12-6-2011).

Yang dimaksud dengan hakam adalah seorang bijak yang dapat

menjadi penengah dalam menghadapi konflik keluarga tersebut.

Apabila terdapat perbedaan watak yang amat sukar dipertemukan,

masing-masing bertahan dan tidak ada yang bersedia mengalah sama

sekali, titik temu benar-benar jarang diperoleh sehingga kehidupan dalam

rumah tangga ada saja gangguan ketenteramannya dan ketegangan tidak

kunjung reda. Ada pula yang disebabkan hanya satu pihak, pihak suami

misalnya seorang pria tidak bertanggung jawab sebagai pelindung,

bertindak semena-mena hanya mau menang sendiri yang melekat di dalam

pikirannya sehingga perlu dinasihati tetapi nasihat orang tidak didengar.

Suasana rumah tangga demikian tentu menekan istri, dan sampai batas

tertentu beban tekanan itu tidak kuat lagi ditanggung pihak istri. Atau

sebaliknya, penyebab syiqaq justru datang dari pihak istri yang nusyuz

(durhaka) yang sekalipun diupayakan perbaikannya melalui tahapan yang

diajarkan al-Qur'an yaitu diberi nasihat, tidak berhasil lalu dipisahkan

83
tempat tidur, tidak berhasil lagi dipukul sebagai pengajaran tidak berhasil

juga (Hasil Wawancara dengan Bapak Munazirin Wakil Kepala KUA

Kecamatan Bandar Kabupaten Batang, wawancara dilakukan tgl. 12-6-

2011).

Fungsi atau tugas kedua hakam ini adalah menyelidiki dan mencari

hakikat permasalahan yang menimbulkan krisis itu, mencari sebab

musabab yang menimbulkan persengketaan, kemudian berusaha sedapat

mungkin mendamaikan kembali kedua suami isteri itu. Apabila masalah

ini tidak mungkin untuk didamaikan, maka kedua hakam berhak

mengambil inisiatif untuk menceraikannya. Atas prakarsa kedua hakam

ini mereka mengajukan permasalahannya kepada hakim dan hakim

memutuskan dan menetapkan perceraian tersebut. Perceraian dengan

kasus syiqaq ini bersifat ba'in, artinya suami istri tersebut hanya dapat

kembali melalui akad nikah yang baru (Hasil Wawancara dengan Bapak

Munazirin Wakil Kepala KUA Kecamatan Bandar Kabupaten Batang,

wawancara dilakukan tgl. 12-6-2011).

Penunjukan hakam dari kedua belah pihak ini diharapkan dapat

mengadakan perdamaian dan perbaikan untuk menyelesaikan

persengketaan di antara dua belah pihak suami dan istri. Apabila karena

sesuatu hal, hakam yang ditunjuk tidak dapat melaksanakan tugasnya,

dicoba lagi dengan menunjuk hakam lainnya, Dalam hal ini, di Indonesia

dikenal sebuah Badan Penasihat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian

(BP4) yang tugas dan fungsinya menjalankan tugas hakam (arbitrator)

84
untuk mendamaikan suami-istri yang bersengketa, atau dalam hal-hal

tertentu memberi nasihat calon suami istri yang merencanakan

perkawinan. (Hasil Wawancara dengan Bapak Munazirin Wakil Kepala

KUA Kecamatan Bandar Kabupaten Batang, wawancara dilakukan tgl.

12-6-2011).

85
BAB IV

PERNIKAHAN DINI: PERMASALAHAN DAN DAMPAKNYA

4.1 Analisis Dakwah terhadap Praktek Pernikahan Dini

Berdasarkan hasil penelitian dan keterangan/pengakuan para

responden bahwa pada intinya pernikahan dini akhirnya menimbulkan

perasaan tidak puas dengan kehidupan yang sedang dijalani. Ada perasaan

penyesalan karena masa-masa bermain hilang begitu saja. Hal itu semua

disebabkan masa kecil yang belum habis dan terlewati namun tanpa sadar

sudah memasuki kehidupan yang penuh tantangan.

Alasan bercerai yang dikemukakan para responden adalah persoalan

kekurangan ekonomi sehingga dihimpit utang dengan warung. Demikian pula

ketidak mampuan suami memberi uang jajan pada anak-anak menjadi dorong

kuat bagi istri untuk memilih bercerai.

Persoalan ekonomi ini yang menjadi pemicu perceraian. Suami sudah

berupaya maksimal untuk menafkahi keluarga. Namun pekerjaan yang sulit

dan persaingan yang ketat membuat mereka tidak berdaya hidup dalam

kelayakan.

Jika memperhatikan penuturan para responden menunjukkan bahwa

perceraian disebabkan oleh himpitan faktor ekonomi. Mereka kurang tabah

menghadapi masalah ekonomi yang sebetulnya tidak perlu sampai bercerai.

Selain itu, penyebab perceraian adalah dipicu oleh masuknya campur tangan

mertua dan suami selingkuh.

86
Motivasi menikah dini adalah untuk menghindari rasa malu dan

cemoohan dari tetangga. Di sini juga tampak ada unsur keterpaksaan karena

lingkungan dan tradisi yang sudah mendarah daging. Omongan tetangga inilah

yang menggiring muda mudi usia dini melakukan percepatan menikah tanpa

mempertimbangkan kondisi kedepan dari sebuah kehidupan rumah tangga.

Adapun rumah tangga yang masih utuh dari pernikahan dini, mereka

hidup harmonis seperti layaknya rumah tangga yang sudah matang dan

dewasa. Sebabnya harmonis adalah karena mereka sering mendapat

penerangan dari petugas Kantor Urusan agama, demikian pula mereka

mengakui sering menghadiri pengajian dan saat itu mendapat nasihat dari

kiyai dan para sesepuh. Mereka berusaha mencurahkan masalah yang

membelit rumah tangga pada kiyai dan para sesepuh untuk dicarikan jalan

keluar pemecahannya.

Menjalani kehidupan rumah tangga tidak mudah, sesekali masalah dan

perbedaan paham menjadi pemicu konflik. Manakala usia masing-masing

belum matang maka sangat sulit menyikapi persoalan secara arif dan

bijaksana. Latar belakang kehidupan dua manusia yang berbeda tidak mudah

menyatukan persepsi, dibutuhkan komitmen dan sikap saling mengalah serta

mencari persamaan ditengah perbedaan.

Dari sini menjadi isyarat bagi seorang da'i untuk menyikapi dan

mencermati materi dakwah yang hendak disampaikan, apakah sesuai dengan

kebutuhan mad'u dan apakah relevan dengan sejumlah masalah yang dihadapi

mad'u. Pengembangan materi dakwah tidak melulu hanya seputar hubungan

87
vertikal antara manusia dengan Tuhan, namun masalah yang menyangkut

aspek sosiologis menyangkut fenomena sosial, khususnya masalah pernikahan

dini yang membelit desa Kluwih menjadi tantangan sekaligus masalah yang

harus dipecahkan.

Dakwah yang mengandung pesan dan mengajak mad'u ke jalan yang

benar, sangat berhubungan dengan praktek pernikahan dini di desa Kluwih.

Menjadi tugas seorang da'i untuk menjelaskan dan mendeskripsikan sejumlah

dampak pernikahan dini. Bagi yang sudah terlanjur menikah maka seorang

da'i memiliki peran untuk menerangkan tentang hak dan kewajiban suami istri

dengan sejumlah masalah dan riak gelombang kehidupan rumah tangga.

Mad'u diberi pesan-pesan tentang bagaimana masyarakat tersebut mengatasi

konflik rumah tangga secara arif dan bijaksana.

Sejalan dengan keterangan di atas bahwa untuk menghentikan

setidaknya mengurangi frekuensi pernikahan dini, maka seorang da'i sangar

berperan memberi solusi terhadap praktek pernikahan dini di desa Kluwih.

Pernikahan dini menimbulkan permasalahan dan dampak.

Permasalahannya:

a. Pernikahan usia dini ada kecenderungan sangat sulit mewujudkan tujuan

perkawinan secara baik. Dampaknya yaitu pernikahan hanya membawa

penderitaan.

b. Pernikahan usia dini sulit mendapat keturunan yang baik dan sehat.

Dampaknya yaitu anak rentang dengan penyakit.

88
c. Pernikahan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan.

Dampaknya: ternyata bahwa batas umur yang rendah bagi seorang wanita

untuk kawin, mengakibatkan laju pertumbuhan penduduk sangat cepat.

Dampak Nikah Usia Dini

Dampak terhadap Tujuan Dampak terhadap Dampak terhadap


Nikah kualitas keturunan Kependudukan

1. Dampak Pernikahan Usia Dini terhadap Tujuan Pernikahan

Pernikahan dapat diibaratkan sebagai kontrak yang suci dan

merupakan tiang utama pembentukan suatu keluarga yang baik. Begitu

pentingnya lembaga ini, maka ada sejumlah aturan dan tindakan untuk

mengokohkan rumah tangga yang dibentuk itu. Sebagian dari tindakan itu

wajib diusahakan sejak pra pernikahan, sebagian lagi ada yang mesti

dijaga sejak selesainya akad nikah guna memudahkan jalan bagi suami

isteri untuk membina rumah tangga, sedangkan tindakan lain yang mesti

diusahakan ialah tatkala adanya gangguan dan goncangan terhadap rumah

tangga itu (Rofiq, 1997: 76).

Persoalan kehidupan rumah tangga pra pernikahan, misalnya

berupa pertanyaan: apakah kita akan dapat mewujudkan rumah tangga

yang bahagia? Barangkali semua orang akan mengatakan bahwa masalah

pernikahan bukanlah persoalan yang enteng, dan tidak semua orang dapat

mengarunginya dengan sukses. Orang yang sudah dewasa, fisik dan

89
mental, belum tentu bisa membina dan mendirikan rumah tangga secara

sempurna, apalagi orang muda yang belum dewasa (Rofiq, 1997: 76)..

Secara rasional dapat disimpulkan bahwa masalah kedewasaan

merupakan persoalan penting yang mempunyai pengaruh tidak kecil

terhadap keberhasilan rumah tangga. Memang, pada dasarnya Islam tidak

pernah mensyaratkan sahnya suatu pernikahan karena kedewasaan pihak-

pihak yang akan menikah. Artinya, suatu pernikahan tetap menjadi sah

apabila rukun dan syaratnya terpenuhi, tanpa mengharuskan usia

kedewasaan calon suami isteri. Tidak adanya persyaratan kedewasaan

suami isteri itu merupakan kemudahan yang diberikan oleh agama, karena

ada segi-segi positif lain yang ingin dituju. Akan tetapi, karena persoalan

pernikahan bukanlah hal yang sederhana, maka agama mensyaratkan

adanya beberapa rukun dan syarat guna menumbuhkan rasa tanggung

jawab(Amini, 1999: 17).

Apabila didasarkan kepada ilmu jiwa, maka tampak sekali tidak

sempurnanya suatu tanggung jawab untuk membina rumah tangga bila

hanya mengandalkan rasa cinta semata-mata. Cinta memang merupakan

modal untuk membina rumah tangga, namun cinta yang baik bukan hanya

sekadar cinta emosi, tetapi cinta yang diikuti oleh rasa tanggung jawab

untuk mengembangkan diri, yaitu diri pribadi dikembangluaskan kepada

diri yang lain sehingga pasangan hidupnya dipandang sebagai bagian dari

dirinya sendiri. Hal itu hanya bisa terwujud dalam diri orang yang

memiliki kedewasaan (Amini, 1999: 17).

90
Persoalan lain yang sangat perlu diperhatikan ialah kehidupan

rumah tangga setelah akad nikah. Rasanya cukup sulit untuk mewujudkan

suatu kehidupan rumah tangga yang baik tanpa dibarengi oleh kedewasaan

bertindak dari suami isteri. Tanpa kedewasaan, persoalan hidup berumah

tangga tidak jarang malah membangkitkan emosi yang sulit dikendalikan.

Masalah nafkah, misalnya, baik untuk isteri maupun anak-anak, bisa

terabaikan bila tidak didasari oleh kesadaran yang tinggi. Betapa sulitnya

pembinaan dan pendidikan anak-anak tanpa didasari oleh kematangan

suami isteri. Lebih jauh lagi, dapat dibayangkan betapa sulitnya kehidupan

suami isteri yang belum dewasa itu bila rumah tangga mereka digoncang

oleh perbedaan pendapat (Hamid, 1978: 1).

Disebabkan belum adanya kematangan suami isteri, aturan-aturan

agama yang memberikan pedoman untuk mengatasi perbedaan pendapat

dalam rumah tangga sering dikalahkan oleh emosi yang tidak terkontrol.

Oleh karena itu, bubarnya kehidupan rumah tangga melalui perceraian

sangat mudah menggoda suami isteri yang tidak mampu mengendalikan

emosi serta yang tidak mempunyai pandangan jauh kedepan. Pendek kata,

tujuan dan hikmah pernikahan sangat sulit terwujud apabila para

pengayuh bahtera kehidupan rumah tangga itu belum memiliki

kedewasaan. Dengan demikian, maka kedewasaan merupakan salah satu

faktor yang turut menentukan berhasil atau tidaknya suatu rumah

tangga(Hamid, 1978: 1).

91
Dari definisi pernikahan menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1974 tentang pernikahan maka dapat disimpulkan bahwa tujuan

pernikahan menurut undang-undang tersebut adalah bahwa pernikahan

bertujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Ramulyo, 1999: 28).

Akad nikah adalah wujud nyata perikatan antara seorang pria yang

menjadi suami, dengan seorang wanita yang menjadi istri, dilakukan di

depan dua orang saksi paling sedikit dengan menggunakan sigat ijab dan

qabul, ijab diucapkan pihak wanita yang dalam pelaksanaannya oleh wali

dan qabul diucapkan pihak pria. Dengan demikian menurut mazhab Syafi'i

seperti telah disebutkan unsur nikah ada lima yaitu: (1) Calon mempelai

lelaki, (2) Calon mempelai perempuan, (3) Wali (4) Dua orang saksi dan

(5) ijab qabul. Dengan yang disebutkan dalam Pasal 14 Kompilasi, unsur

nikah juga sama ada lima seperti itu (Ramulyo, 1999: 28).

Calon mempelai lelaki dan perempuan dalam kebanyakan akad,

maka pihak yang melakukan akad itu disyaratkan mempunyai sifat

kemampuan bertindak secara hukum yang sempurna yaitu telah dewasa,

berakal sehat, dan tidak overmacht (dalam keadaan terpaksa). Demikian

juga dalam akad nikah pihak yang melakukan akadnya sebagai unsur

pertama dan kedua, mempelai lelaki dan mempelai perempuan, keduanya

harus mempunyai kemampuan bertindak secara hukum yang sempurna.

Jadi anak yang belum dapat membedakan yang baik dan buruk atau orang

yang menderita sakit ingatan, tidak sah melakukan akad nikah sendiri.

92
Anak yang sudah tamyiz (mampu membedakan yang baik dan buruk)

tetapi belum dewasa dipandang tidak sempurna kecakapannya sehingga

apabila hendak melakukan akad nikah wajib dengan izin walinya. Adapun

mempelai perempuan selamanya dianggap tidak cakap melakukan akad

nikah sendiri tetapi dilakukan oleh walinya (Ramulyo, 1999: 28).

Pada suatu sisi, Undang-undang Perkawinan telah mengatur

kedewasaan dan kecakapannya mempelai lelaki dan mempelai perempuan

untuk melakukan akad nikahnya dengan aturan batasan umur memakai

angka yang tegas kapan mereka dipandang sudah dewasa sehingga cakap

melakukannya. Sisi ini mendasarkan kepada kemaslahatan agar tujuan

pernikahan membentuk rumah tangga bahagia bisa dicapai. Sekalipun

dalam sejarah di masa Rasulullah SAW., dan Abu Bakar terjadi

pernikahan kanak-kanak, tetapi perlu sekali diperhatikan bahwa pada saat

itu kemaslahatan agar tujuan pernikahan tercapai dijamin dalam figur wali

yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan menciptakan tujuan

rumah tangga yang benar (Kuzari, 1995: 35).

Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ayat (1) menyatakan

bahwa "pernikahan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur

19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16

(enam belas) tahun". Ketentuan batas umur ini, seperti disebutkan dalam

Kompilasi pasal 15 ayat (1) didasarkan kepada pertimbangan

kemaslahatan keluarga dan rumah tangga pernikahan. Ini sejalan dengan

prinsip yang diletakkan UU Pernikahan, bahwa calon suami isteri harus

93
telah masak jiwa raganya, agar dapat mewujudkan tujuan pernikahan

secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang

baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya pernikahan antara calon

suami isteri yang masih di bawah umur (Kuzari, 1995: 35).

2. Dampak Pernikahan Usia Dini terhadap Kualitas Keturunan

Akibat pernikahan muda, dapat dilihat pada catatan dibawah ini

yaitu sekitar tahun 2008. Menurut penyelidikan para ahli di Indonesia ada

kurang lebih 35.000 orang ibu-ibu tiap tahun yang meninggal di waktu

melahirkan anak dan tak kurang pula 600.000 anak-anak yang meninggal

dunia akibat kurang terpeliharanya kaum ibu dan anak tadi, dan sebagian

besar disebabkan orangnya kawin di waktu masih muda dan sampai

sekarang angka kematian itu masih tetap tinggi (Dahlan, 2009: 81)

Dapatlah digambarkan keadaan rumah tangga yang ditinggalkan

jika sang ibu meninggal dunia. Sedang ibu bercita-cita untuk keluarganya,

untuk membimbing anaknya, sedang kecintaan suami isteri diliputi oleh

bahagia rukun dan damai, tiba-tiba sang isteri meninggalkan semuanya itu

kocar-kacirlah rumah tangga, robohlah mahligai cita-cita sang suami dan

terbengkalailah keluarga dan anak-anak yang ditinggal (Dahlan, 2009:

81).

Kawin di bawah umur, mudah dihinggapi bahaya, anaknya gugur,

lemah atau meninggal dan tak jarang pula sang ibu muda itu yang menjadi

korban. Gadis yang masih muda penuh cita-cita untuk hari depan, belum

pada waktunya dibebani kewajiban-kewajiban berat, dilepas dari asuhan

94
orang tua, diserahi mengurus rumah tangga, bahkan lebih berat lagi,

dengan segala anggota tubuh yang masih muda, dengan alat kandungan

yang belum cukup matang, ia harus memelihara manusia baru dalam

badannya. Maka tidak heran jika karena itu banyak terjadi kekecewaan.

Badan yang sedang tumbuh masih membutuhkan perkembangan-

perkembangan dalam tubuhnya, tidak diberi kesempatan lebih dahulu

untuk bersiap-siap, sudah dibebani dengan beban lain yang maha berat

(Dahlan, 2009: 81).

Mengingat hal-hal tersebut tadi, rasanya cukup jelas bahwa untuk

kawin diperlukan umur cukup. Terlalu muda membahayakan, terlalu

tuapun menyebabkan luput kegairahan zaman muda.

Indonesia menghendaki rakyat kuat sehat, penuh gairah untuk hari

depan. Hanya rakyat yang cukup sempurna kepribadiannya, cukup kuat

rohani dan jasmaninya dapat memikul tanggung jawab negara, buat

keselamatan bangsa dan masyarakatnya. Agama Islam pun tidak

menyukai pemeluknya lemah tidak berdaya, tetapi Islam menghendaki

muslimin dan muslimat sehat kuat, sempurna lahir batin cakap dan

mampu mengabdi kepada Tuhan dan berbakti kepada masyarakat. Rakyat

yang kuat sehat dan sempurna lahir batinnya tidak akan diperdapat jika ia

dilahirkan dari ibu-ibu lemah. Hanya dari ibu-ibu kuat dan sehat akan lahir

rakyat yang sehat kuat pula (T Yanggo dan Anshari, 1996: 80).

Berdasarkan analisis di atas dapat disimpulkan bahwa

1. Pernikahan di bawah umur membahayakan kesehatan ibu dan anak.

95
2. Membahayakan pertumbuhan tubuh yang belum cukup matang untuk

memikul akibat-akibat pernikahan, yaitu hamil dan bersalin.

3. Tak kurang pula bahayanya bagi anak-anak yang lahir dari kandungan

ibu muda itu (T Yanggo dan Anshari, 1996: 80).

3. Dampak Pernikahan Usia Dini terhadap Kependudukan

Faktor kedewasaan merupakan kondisi yang amat penting,

kendatipun tidak termasuk ke dalam rukun dan syarat nikah. Bila diteliti

secara seksama, ajaran Islam tidak pernah memberikan batasan yang

definitif pada usia berapa seseorang dianggap dewasa. Berdasarkan ilmu

pengetahuan, memang setiap daerah dan zaman memiliki kelainan dengan

daerah dan zaman yang lain, yang sangat berpengaruh terhadap cepat atau

lambatnya usia kedewasaan seseorang (Saleh, 1982: 26).

.Di sisi lain, masalah pernikahan merupakan urusan hubungan

antar manusia (mu'amalah) yang oleh agama hanya diatur dalam bentuk

prinsip-prinsip umum. Tidak adanya ketentuan agama tentang batas usia

minimal dan maksimal untuk menikah dapat dianggap sebagai suatu

rahmat. Maka, kedewasaan untuk menikah termasuk masalah ijtihadiah,

dalam arti kata diberi kesempatan untuk berijtihad pada usia berapa

seseorang pantas menikah (Saleh, 1982: 26).

Nabi Muhammad SAW melangsungkan akad nikah dengan

A'isyah ketika ia baru berusia enam tahun, dan dalam umur sembilan

tahun telah digaulinya. Hal ini diakui sendiri oleh A'isyah umm al-

mu'minin dalam hadis:

96
Pv   )%8#   Iv  
%"B( nYiR (  8 iYQ nYiR
8 O -;Y_F V&( ) %& )V& V&X Z Y Y
V # -  )V& Ot3
: <F zi 
o ' <F 8 O ) %& &E # ( Y (
(3 z3)
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Muhmamad bin Yusuf
dari Sufyan dari Hisyam dari bapaknya dari A'isyah ra,
bahwa Nabi s.a.w. telah menikahinya ketika ia berusia enam
tahun, dan Rasulullah telah menggaulinya ketika dia berusia
sembilan tahun dan saya berumah tangga dengannya selama
sembilan tahun. (HR. Bukhari) (al-Bukhry, III, 1410
H/1990 M: 264).

Hadis ini hanyalah bersifat khabariyah (kabar) belaka tentang

pernikahan Nabi. Di dalamnya tidak dijumpai khithab (pernyataan), baik

serupa khithab al-talab yang mesti diikuti atau pun khithab al-tark supaya

ditinggalkan. Karena itu, pernyataan usia yang ada dalam hadis di atas tidak

dapat disimpulkan sebagai pernyataan batas usia terendah kebolehan

melangsungkan pernikahan bagi kaum wanita (Rofiq, 1997: 78).

Batas usia untuk menikah bagi kaum pria juga tidak ada ketentuannya.

Adanya seruan Nabi kepada kaum pemuda yang mampu melakukan

pernikahan supaya menikah bukanlah suatu kemestian pembatasan usia,

seperti hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin

Mas'ud. Kendati pun, al-syabab, jamak dari syabb, berarti pemuda yang

berusia sebelum 30 tahun (Rofiq, 1997: 78).

Menurut para ulama, masalah usia dalam pernikahan sangat erat

hubungannya dengan kecakapan bertindak. Hal ini tentu dapat dimengerti

karena pernikahan merupakan perbuatan hukum yang meminta tanggung

97
jawab dan dibebani kewajiban-kewajiban tertentu. Maka, setiap orang yang

akan berumah tangga diminta kemampuannya secara utuh (Rofiq, 1997: 78)..

Menurut bahasa Arab, "kemampuan" disebut ahlun yang berarti

"layak, pantas". Para ulama selalu mendefinisikan kemampuan itu dengan

shalahiyyatuhu liwujud al-huquq al-masyru 'ah lahu wa 'alaih, yaitu

kepantasan seseorang untuk menerima hak-hak dan memenuhi kewajiban-

kewajiban yang diberikan syarak (Yanggo dan Hafiz Anshari H.Z. (ed), 1996:

81).

Kepantasan di sini berkaitan dengan ahliyah al-wujud (kemampuan

untuk mempunyai dan menanggung hak), sedangkan kepantasan bertindak

menyangkut kepantasan seseorang untuk dapat berbuat hukum secara utuh,

yang dalam istilah fiqih disebut ahliyah al-ada' (kemampuan untuk

melahirkan kewajiban atas dirinya dan hak untuk orang lain). Oleh ulama

Ushul Fiqih kecakapan bertindak itu didefinisikan sebagai:

0 )8 i=: ); & ) 9:B 3i )=Y%RmX


Artinya: Kepatutan seseorang untuk timbulnya suatu perbuatan
(tindakan) dari dirinya menurut cara yang ditetapkan syarak
(Yanggo dan Hafiz Anshari H.Z. (ed), 1996: 82).
.
Menurut kesepakatan para ulama, yang menjadi dasar kecakapan

bertindak adalah akal. Apabila akal seseorang masih kurang, maka ia belum

dibebani kewajiban. Sebaliknya, jika akalnya telah sempurna, ia wajib

menunaikan beban tugas yang dipikulkan kepadanya. Berdasarkan hal ini,

maka kecakapan bertindak ada yang bersifat terbatas (ahliyah al-ada' al-

nuqshan) dan ada pula yang bersifat sempurna (ahliyah al-ada' al-kamilah).

98
Kalau keterangan dan pembagian ini dihubungkan dengan pernikahan, maka

timbul pertanyaan: usia berapakah seseorang dipandang cakap untuk

membangun rumah tangga?

Sebelum menjawab pertanyaan ini terlebih dahulu perlu diperhatikan

firman Allah dalam surat al-Nisa' ayat 6:

?i 3  -  C =<
G
" j ,
 C ".&8 N  =R =%" "&=8 
( :/<)  -  #  - %  ":, ,
Artinya: Dan ujilah anak-anak yatim itu olehmu sampai mereka cukup
umur untuk kawin. Kemudian, jika menurut penilaianmu
mereka telah cerdas maka serahkanlah harta bendanya
kepada mereka (QS. al-Nisa': 6).

Pada dasarnya ayat ini berisi anjuran supaya memperhatikan anak

yatim tentang keagamaannya, usaha-usahanya dan kelakuannya sehingga

mereka dapat dipercaya. Orang yang telah dapat dipercaya secara sempurna

berarti telah dapat diberi tanggungjawab secara penuh, atau dengan kata lain,

orang itu telah dewasa.

Ketika menafsirkan ayat di atas, Muhammad Rasyid Ridha

mengatakan bahwa bulugh al-nikah berarti sampainya seseorang kepada umur

untuk menikah, yakni sampai bermimpi. Pada umur ini, katanya, seseorang

telah bisa melahirkan anak dan menurunkan keturunan, sehingga tergerak

hatinya untuk nikah. Pada umur ini kepadanya telah dibebankan hukum-

hukum agama, seperti ibadah dan muamalah serta diterapkannya hudud.

Karena itu maka rusyd adalah kepantasan seseorang dalam ber-tasharruf serta

mendatangkan kebaikan. Hal mi merupakan bukti kesempurnaan akalnya.

Menurut ulama Syafi'iyah, rusyd-nya anak kecil ialah apabila telah tampak

99
kebaikan tindakannya dalam soal beragama dan harta benda (Yanggo dan

Hafiz Anshari H.Z. (Ed), 1996: 83).

Berdasarkan uraian di atas, maka kedewasaan di tentukan dengan

"mimpi" dan "rusyd". Akan tetapi umur mimpi dan rusyd kadang-kadang tidak

sama dan sukar ditentukan. Seseorang yang telah bermimpi adakalanya belum

rusyd dalam tindakannya. Hal ini dapat dibuktikan dalam perbuatan sehari-

hari. Karena itu, kedewasaan pada dasarnya dapat ditentukan dengan umur

dan dapat pula dengan tanda-tanda.

Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan dikemukakan beberapa pendapat

para ahli, sebagai berikut:

b Menentukan kedewasaan anak-anak dengan tanda-tanda ialah dengan

datangnya masa haid, kerasnya suara, tumbuhnya bulu ketiak, atau

tumbuhnya bulu kasar di sekitar kemaluan.

c Menentukan kedewasaan dengan umur, terdapat berbagai pendapat, antara

lain:

a. Ulama Syafi'iyah dan Hanabilah menentukan bahwa masa dewasa itu

mulai umur 15 tahun. Walaupun mereka dapat menerima kedewasaan

dengan tanda-tanda, seperti di atas, tetapi karena tanda-tanda itu

datangnya tidak sama untuk semua orang, maka kedewasaan

ditentukan dengan umur. Disamakannya masa kedewasaan untuk pria

dan wanita adalah karena kedewasaan itu ditentukan dengan akal.

Dengan akallah terjadinya taklif, dan karena akal pulalah adanya

hukum (Yanggo dan Hafiz Anshari H.Z. (Ed), 1996: 83).

100
b. Abu Hanifah berpendapat bahwa kedewasaan itu datangnya mulai usia

19 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi wanita. Sedangkan Imam

Malik menetapkan 18 tahun, baik laki-laki maupun perempuan.

Mereka beralasan dengan "ketentuan dewasa menurut syarak ialah

mimpi", karenanya mendasarkan hukum kepada mimpi itu saja.

Mimpi tidak diharapkan lagi datangnya bila usia telah 18 tahun.

Umum antara 15 sampai 18 tahun masih diharapkan datangnya.

Karena itu ditetapkanlah bahwa umur dewasa itu pada usia 18 tahun

(Yanggo dan Hafiz Anshari H.Z. (Ed), 1996: 83).

c. Yusuf Musa mengatakan bahwa usia dewasa itu setelah seseorang

berumur 21 tahun. Hal ini dikarenakan pada zaman modern orang

memerlukan persiapan yang matang, sebab mereka masih kurang

pengalaman hidup dan masih dalam proses belajar. Namun demikian

kepada mereka sudah dapat diberikan beberapa urusan sejak usia 18

tahun (Yanggo dan Hafiz Anshari H.Z. (Ed), 1996: 84).

d. Sarlito Wirawan Sarwono melihat bahwa usia kedewasaan untuk

siapnya seseorang memasuki hidup berumah tangga harus

diperpanjang menjadi 20 tahun untuk wanita dan 25 tahun bagi pria.

Hal ini diperlukan karena zaman modern menuntut untuk mewujudkan

kemaslahatan dan menghindari kerusakan, baik dari segi kesehatan

maupun tanggungjawab sosial.

e. Marc Hendry Frank mengatakan bahwa pernikahan sebaiknya

dilakukan antara usia 20 sampai 25 tahun bagi wanita, dan antara 25

101
sampai 30 tahun bagi laki-laki. Tinjauan ini juga berdasarkan atas

pertimbangan kesehatan (Yanggo dan Hafiz Anshari H.Z. (Ed), 1996:

84).

f. Para ahli Ilmu Jiwa Agama menilai bahwa kematangan beragama pada

seseorang tidak terjadi sebelum usia 25 tahun (Yanggo dan Hafiz

Anshari H.Z. (Ed), 1996: 83-84)

Perbedaan pendapat yang tidak terlalu tajam di atas menunjukkan

bahwa berbagai faktor ikut menentukan cepat atau lambatnya seseorang

mencapai usia kedewasaan, terutama kedewasaan untuk berkeluarga. Menurut

kondisi Indonesia sekarang, usia yang tepat bagi seseorang untuk nikah ialah

sekurang-kurangnya umur 20 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi pria.

Mengapa demikian? Sebab, sebelum usia tersebut calon suami isteri perlu

mempersiapkan diri sebaik mungkin, sehingga pada usia itu seseorang telah

matang jasmaninya, sempurna akalnya, dan dapat diterima sebagai anggota

masyarakat secara utuh.

Perlu dicatat, bahwa angka-angka usia di atas tidaklah selalu cocok

untuk setiap wilayah di dunia ini. Setiap wilayah dapat saja menentukan usia

kedewasaan untuk menikah sesuai dengan masa dan kondisi yang ada.

Pernikahan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan.

Ternyata bahwa batas umur yang rendah bagi seorang wanita untuk kawin,

mengakibatkan laju kelahiran lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka

undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria

maupun wanita (Penjelasan umum UU Pernikahan, nomor 4 huruf d).

102
Masalah penentuan umur dalam UU Pernikahan maupun dalam

kompilasi, memang bersifat ijtihadiyah, sebagai usaha pembaharuan

pemikiran fiqh yang lalu. Namun demikian, apabila dilacak referensi syar'inya

mempunyai landasan kuat. Misalnya isyarat Allah dalam surat al-Nisa', 4:9:

 - % & ",E ?,:t


 P?  3C N  - B &" E  "0 F    d*
 
%"
( :/<) ?i i( ]?  U "1%" ) &V 1=%&" ,
Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak
yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)
mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada
Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang
benar.(QS. an-Nisa: 9).

Ayat tersebut memang bersifat umum, tidak secara langsung

menunjukkan bahwa pernikahan yang dilakukan oleh pasangan usia muda di

bawah ketentuan yang diatur UU No. 1 Tahun 1974 akan menghasilkan

keturunan yang dikhawatirkan kesejahteraannya. Akan tetapi berdasarkan

pengamatan berbagai pihak, rendahnya usia kawin, lebih banyak

menimbulkan hal-hal yang tidak sejalan dengan misi dan tujuan pernikahan,

yaitu terwujudnya ketenteraman dalam rumah tangga berdasarkan kasih dan

sayang. Tujuan ini tentu akan sulit terwujud, apabila masing-masing mempelai

belum masak jiwa dan raganya. Kematangan dan integritas pribadi yang stabil

akan sangat berpengaruh di dalam menyelesaikan setiap problem yang muncul

dalam menghadapi liku-liku dan badai rumah tangga. Banyak kasus

menunjukkan, seperti di wilayah Pengadilan Agama di Jawa Tengah,

menunjukkan bahwa banyaknya perceraian cenderung didominasi karena

akibat kawin dalam usia muda (Hamid, 1978: 3)

103
. Secara metodologis, langkah penentuan usia kawin didasarkan

kepada metode maslahat mursalah (Djatnika, 1991: 251). Namun demikian

karena sifatnya yang ijtihady, yang kebenarannya relatif, ketentuan tersebut

tidak bersifat kaku. Artinya, apabila karena sesuatu dan lain hal pernikahan

dari mereka yang usianya di bawah 21 tahun atau sekurang-kurangnya 19

tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita undang-undang tetap memberi

jalan keluar. Pasal 7 ayat (2) menegaskan: "Dalam hal penyimpangan terhadap

ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat

lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita".

Dalam hal ini Undang-undang Pernikahan tidak konsisten, Di satu sisi,

pasal 6 ayat (2) menegaskan bahwa untuk melangsungkan pernikahan seorang

yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin

kedua orang tua, di sisi lain pasal 7 (1) menyebutkan pernikahan hanya

diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun, dan

pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Bedanya, 12 jika

kurang dari 21 tahun, yang diperlukan izin orang tua, dan jika kurang dari 19

tahun, perlu izin pengadilan. Ini dikuatkan pasal 15 ayat (2) Kompilasi Hukum

Islam.

Apabila coba dibandingkan dengan batasan umur calon mempelai di

beberapa negara muslim, Indonesia secara definitif belum yang tertinggi.

104
Negara Laki-Laki Perempuan
Aljazair 21 18
Bangladesh 21 18
Mesir 18 16
Indonesia 19 16
Irak 18 18
Jordania 16 15
Libanon 18 17
Libya 18 16
Malaysia 18 16
Maroko 18 15
Yaman Utara 15 15
Pakistan 18 16
Somalia 18 18
Yaman Selatan 18 16
Suriah 18 17
Tunisia 19 17
Turki 17 15
Sumber (Rofik, 2009: 79)

Penentuan batas umur, masing-masing negara tentu memiliki

pertimbangannya sendiri.

Pertimbangan problem kependudukan, seperti diungkapkan dalam

penjelasan Undang-undang Pernikahan, turut mempengaruhi perumusan batas

umur calon mempelai tersebut. Ini dimaksudkan untuk menjawab tantangan

dan kebutuhan masyarakat, sejalan dengan tujuan hukum Islam itu sendiri.

Lebih lanjut, Djatnika mengatakan "kesemuanya itu mengandung masalah

ijtihadiyah yang diselesaikan dengan ijtihad (ulama Indonesia) dengan

menggunakan metode-metode istislah, istihsan, dan al'urf dan lain-lain

metode istidlal dengan tujuan jalb al-masalih wadar'al-mafasid (memperoleh

kebaikan dan menghindari kerusakan).

Masalah kematangan fisik dan jiwa seseorang dalam konsep Islam,

tampaknya lebih ditonjolkan pada aspek yang pertama, yaitu fisik. Hal ini

105
dapat dilihat misalnya dalam pembebanan hukum (taklif) bagi seseorang, yang

dalam term teknis disebut mukallaf (dianggap mampu menanggung beban

hukum). Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW. mengatakan:

  Pv     ( !"    %08   J QR  


 *B niR
=R     l
J &n    &1" ' ,3 TU  &*(  ) % & )*& *&X OC  
z3) 91:  =R
  Q "     &=
 =R OC       1% =<

(i
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Affan dari Hammad
dari Ibrahim dari al-Aswad dari 'Aisyah dari Nabi Saw
bersabda: hukum itu tidak bisa dibebankan kepada tiga
orang, yaitu: 1). Orang tidur sehingga ia bangun 2). Anak
kecil sehingga ia dewasa, dan 3). Orang gila sehingga ia
sadar. (HR. Ahmad) (CD program Mausu'ah Hadis al-
Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software
Company).

Menurut isyarat hadis tersebut, kematangan seseorang dilihat pada

gejala kematangan seksualitasnya, yaitu keluar mani bagi laki-laki dan

menstruasi (haid) bagi perempuan. Dari segi umur, kematangan ini, masing-

masing orang berbeda-beda saat datangnya. Namun demikian, hadis ini

setidaknya dapat memberi gambaran, bahwa pada umumnya pada usia 15

tahun (Rofik, 2009: 81).

Memperhatikan kedua hadis di atas, dapat diambil pemahaman bahwa

batas usia 15 tahun sebagai awal masa kedewasaan bagi anak laki-laki. Karena

biasanya pada usia tersebut anak laki-laki telah mengeluarkan air mani melalui

mimpinya. Adapun bagi perempuan, 9 (sembilan) tahun untuk daerah

seperti Madinah telah dianggap memiliki kedewasaan.

106
Dalam kitab Kasyifah al-Saja dijelaskan: "Tanda-tanda dewasanya

(baligh) seseorang itu ada tiga, yaitu sempurnanya umur 15 tahun bagi pria

dan wanita, bermimpi (keluar mani) bagi laki-laki dan perempuan pada usia

sembilan tahun, dan haid (menstruasi) bagi wanita usia 9 (sembilan) tahun",

Ini dapat dikaitkan juga dengan perintah Rasulullah SAW. kepada kaum

muslimin agar mendidik anaknya menjalankan shalat pada saat berusia tujuh

tahun, dan memukulnya pada usia sepuluh tahun, apabila si anak enggan

menjalankan shalat.

Adanya konsesi bagi calon mempelai yang kurang dan sembilan belas

tahun, atau enam belas tahun bagi wanita, boleh jadi didasarkan kepada nash

hadis di atas. Kendatipun kebolehan tersebut harus dilampiri izin dari pejabat

untuk itu. Ini menunjukkan bahwa penanaman konsep pembaharuan hukum

Islam yang memang bersifat ijtihadi, diperlukan waktu dan usaha terus-

menerus. Ini dimaksudkan, pendekatan konsep maslahat mursalah dalam

Hukum Islam di Indonesia, memerlukan waktu agar masyarakat sebagai

subyek hukum dapat menerimanya dan menjalankannya dengan sukarela

tanpa ada unsur pemaksaan. Oleh karena itulah, pentingnya sosiologi hukum

dalam upaya mengintrodusir pemahaman hukum, mutlak diperlukan.

Disamping itu pemahaman terhadap nash, utamanya yang dilakukan

oleh Rasulullah pada saat menikah dengan 'Aisyah, juga perlu dipahami

seiring dengan tuntutan situasi dan kondisi waktu itu. Ini penting, karena

tuntutan kemaslahatan yang ada waktu itu dibanding dengan sekarang, jelas

sudah berbeda. Wa Allah 'alam bi al-sawab.

107
4.2 Analisis Bimbingan dan Konseling Islam terhadap Praktek Pernikahan

Dini di Desa Kluwih Kecamatan Bandar

Praktek Pernikahan Dini di Desa Kluwih Kecamatan Bandar

memerlukan partisipasi semua pihak, yang dalam hal ini harus dicarikan

upaya mengatasinya agar praktek tersebut hilang atau setidaknya makin

mengurang secara kuantitatif. Salah satu pihak yang kompeten mengatasi

praktek pernikahan dini adalah para konselor. Karena para konselor dapat

membantu individu untuk mencegah jangan sampai melakukan pernikahan

dini. Demikian pula para konselor dapat membantu individu yang sedang kena

masalah menyangkut keretakan atau konfliik rumah tangga yang sedang

dialami klien.

Bimbingan pernikahan dan keluarga Islam adalah proses pemberian

bantuan terhadap individu agar dalam menjalankan pernikahan dan kehidupan

berumah tangganya bisa selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah,

sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat

(Musnamar, 1992: 70). Sedangkan konseling pernikahan dan keluarga Islami

adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar menyadari kembali

eksistensinya sebagai makhluk Allah yang seharusnya dalam menjalankan

pernikahan dan hidup berumah tangga selaras dengan ketentuan dan petunjuk-

Nya, sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat

(Faqih, 2001: 83).

108
Tujuan bimbingan dan konseling Islam itu alah membantu individu

mewujudkan dirinya sebagai manusia seutuhnya agar mencapai kebahagiaan

hidup di dunia dan akhirat.

Bimbingan dan Konseling sifatnya hanya merupakan bantuan.

Individu yang dimaksudkan di sini adalah orang yang dibimbing atau diberi

konseling, baik orang perorangan maupun kelompok. Mewujudkan diri

sebagai manusia seutuhnya berarti mewujudkan diri sesuai dengan hakekatnya

sebagai manusia untuk menjadi manusia yang selaras perkembangan unsur

dirinya dan pelaksanaan fungsi atau kedudukannya sebagai makhluk Allah

(makhluk religius), makhluk individu, makhluk sosial, dan sebagai makhluk

berbudaya.

Bimbingan dan Konseling Islam berusaha membantu mencegah jangan

sampai individu menghadapi atau menemui masalah. Dengan kata lain

membantu individu mencegah timbulnya masalah bagi dirinya. Bantuan

pencegahan masalah ini merupakan salah satu fungsi bimbingan. Karena

berbagai faktor, individu bisa juga terpaksa menghadapi masalah dan kerap

kali pula individu tidak mampu memecahkan masalahnya sendiri, maka

bimbingan berusaha membantu memecahkan masalah yang dihadapinya itu.

Bantuan pemecahan masalah ini merupakan salah satu fungsi bimbingan juga,

khususnya merupakan fungsi konseling sebagai bagian sekaligus teknik

bimbingan.( Musnamar, 1992: 33-34).

Tujuan bimbingan dan konseling keluarga Islami di bidang ini

adalah untuk:

109
1. Membantu individu mencegah timbulnya problem-problem yang

berkaitan dengan pernikahan, antara lain dengan jalan:

f. Membantu individu memahami hakikat pernikahan menurut Islam;

g. membantu individu memahami tujuan pernikahan menurut Islam;

h. membantu individu memahami persyaratan-persyaratan pernikahan

menurut Islam;

i. membantu individu memahami kesiapan dirinya untuk menjalankan

pernikahan.

j. membantu individu melaksanakan pernikahan sesuai dengan

ketentuan (syariat) Islam (faqih, 2001: 83-84).

2. Membantu individu mencegah timbulnya problem-problem yang

berkaitan dengan kehidupan berumah tangganya, antara lain dengan:

a. Membantu individu memahami hakikat kehidupan berkeluarga

(berumah tangga) menurut Islam;

b. membantu individu memahami tujuan hidup berkeluarga menurut

Islam;

c. membantu individu memahami cara-cara membina kehidupan

berkeluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah menurut ajaran

Islam;

d. membantu individu memahami melaksanakan pembinaan kehidupan

berumah tangga sesuai dengan ajaran Islam.

110
3. Membantu individu memecahkan masalah-masalah yang berkaitan

dengan pernikahan dan kehidupan berumah tangga, antara lain dengan

jalan:

a. Membantu individu memahami problem yang dihadapinya;

b. membantu individu memahami kondisi dirinya dan keluarga serta

lingkungannya;

c. membantu individu memahami dan menghayati cara-cara mengatasi

masalah pernikahan dan rumah tangga menurut ajaran Islam;

d. membantu individu menetapkan pilihan upaya pemecahan masalah

yang dihadapinya sesuai dengan ajaran Islam.

4. Membantu individu memelihara situasi dan kondisi pernikahan dan

rumah tangga agar tetap baik dan mengembangkannya agar jauh lebih

baik, yakni dengan cara:

d. memelihara situasi dan kondisi pernikahan dan kehidupan berumah

tangga yang semula pernah terkena problem dan telah teratasi agar

tidak menjadi permasalahan kembali;

e. mengembangkan situasi dan kondisi pernikahan dan rumah tangga

menjadi lebih baik (sakinah, mawaddah, dan rahmah) (Musnamar,

1992: 71-72).

Melihat pada tujuan bimbingan dan konseling keluarga Islami, maka

menurut analisis peneliti bahwa materi bimbingan dan konsleling setidaknya

harus meliputi penerangan tentang (1) hak dan kewajiban suami istri; (2)

111
pemahaman tentang seks; (3) memperhatikan menu makanan; (4) secara

sungguh-sungguh melaksanakan hak dan kewajiban.

a. Hak dan Kewajiban Suami Istri

Dalam rumah tangga Islam, seseorang suami mempunyai hak dan

kewajiban terhadap isterinya, demikian pula sebaliknya. Masing-masing

pasangan hendaknya senantiasa memperhatikan dan memenuhi setiap

kewajibannya terhadap pasangannya sebelum ia mengharapkan haknya

secara utuh dari pasangannya. Laksanakanlah kewajiban dengan baik dan

penuh tanggung jawab dan akan terasalah manisnya kehidupan dalam

keluarga serta akan mendapatkan haknya sebagaimana mestinya. Adapun

yang menjadi dasar dari pembicaraan ini ialah firman Allah SWT dalam

Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 228:

:S01) P ; 3   - % & T ;0C &


 0: Q " 8  - % & ~d* 9 o"  - 
(66
Artinya: "Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para
suami, mempunyai satu tingkat daripada isterinya". (Q.S. Al-
Baqarah: 228).

Seorang wanita atau isteri yang utama telah diterangkan Allah

SWT dalam kitab suci Al-Qur'an, misalnya:

(5 :/<) e
% . &" > K
$ },R K
$ = U K
 ,
Artinya: Sebab itu maka wanita yang shalehah, ialah yang taat kepada
Allah lagi memelihara diri di balik pembelakangan
suaminya". (Q.S. An-Nisa: 34)

112
Jelaslah bahwa wanita yang salehah senantiasa mentaati kebijakan

dan keputusan yang diambil oleh suaminya, bertaqwa kepada Allah SWT

menjaga rahasia suaminya demikian pula rumah tangganya, serta menjaga

diri dan kehormatan serta harta benda suaminya bila suaminya tidak ada di

rumah.

Seorang isteri yang baik juga sangatlah perlu melakukan

kewajibannya sehari-hari dalam kehidupan keluarganya, seperti

berbelanja, memasak, mendidik dan mengajari ilmu dan akhlak yang baik

bagi anak-anaknya, serta dengan ikhlas melayani kebutuhan suaminya.

Rumah tangganya dirawat dengan baik, kamar tidur suaminya tidak

diizinkan orang lain yang tidak disukai suaminya menidurinya demikian

pula tidak diizinkannya seorang pria masuk ke dalam rumahnya di saat

suaminya tidak ada di rumah. Tidak terpuji bila seorang isteri

meninggalkan rumahnya tanpa sepengetahuan dan seizin suaminya (Basri,

2004: 29).

Bila seorang isteri telah memenuhi kewajiban maka dia akan

berhak mendapatkan hak-haknya yang diterangkan agama Islam dan

suaminya, misalnya: mendapatkan perlakuan yang lemah lembut penuh

kasih sayang, pendidikan dan tuntunan dari suami, pakaian dan makanan

yang sesuai dengan kemampuan dan keadaan ekonomi suami,

perlindungan, dipergauli dengan baik oleh suami, mendapatkan perkataan

dan sikap yang baik/terpuji dari suaminya (Basri, 2004: 30).

113
Seorang suami dalam rumah tangga Islami mempunyai kewajiban

yang harus dilaksanakannya dengan sebaik-baiknya, misalnya:

memberikan nafkah kepada isteri dan anak-anaknya, mendidik dan

menuntun isteri dan anak-anaknya agar selalu beriman, beribadah dan

bertaqwa kepada Allah SWT melindungi keluarganya dari

bahaya/ancaman dan kesukaran serta keamanan yang akan mengurangi

taraf kesejahteraan dan ketentramannya (keluarganya), demikian pula

seorang suami tetap bertahan untuk tidak membuka rahasia isteri atau

keluarganya kepada orang lain yang tidak bertanggung jawab atau tidak

diperlukan. Seorang suami yang baik hendaknya selalu menggauli

isterinya dengan cara yang pantas dan memberinya makanan serta pakaian

untuk penutup auratnya, serta jangan sekali-kali memukul wajahnya dan

menghinanya. Di samping itu seorang suami berkewajiban pula untuk

berbuat dan bertindak yang adil dan selalu berusaha guna mewujudkan

kepemimpinannya dalam rumah tangga agar dapat berlangsung dengan

baik dan teratur (Amini, 1999: 17).

Bila seorang suami telah melaksanakan kewajibannya dengan baik,

maka wajarlah bila ia mendapatkan haknya dengan sebaik-baiknya dari

isteri dan keluarganya, seperti: sikap hormat dan taat serta patuh dari isteri

dan anak-anaknya, mendapatkan pelayanan atas kebutuhan fisik dan

psikisnya; mendapatkan pemeliharaan isteri atas harta dan nama baik serta

kehormatannya dari isterinya; mendapatkan sedekah dari sebagian harta

isterinya bila keadaan sulit dihadapinya atau bersabar dalam menghadapi

114
tekanan hidup jika selagi tidak mempunyai sesuatu (harta). Di samping itu

perlu pula diingatkan oleh setiap isteri bahwa suaminya berhak atas harta

bendanya dan tidak boleh diberikannya kepada orang lain tanpa seizin

suaminya (Amini, 1999: 17).

Di dalam Islam kewajiban timbal balik antara suami dan isteri pun

telah diberikan tuntunan yang sebaik-baiknya, contoh: suami-isteri

berkewajiban mendidik anak-anak mereka secara Islam; mereka perlu

selalu menjaga kehormatan keluarga; mempercantik dan melindungi isteri

dan senantiasa pula mengupayakan sesuatu yang terbaik bagi keluarga.

Agar pelaksanaan kewajiban timbal balik tersebut dapat dilaksanakan

dengan sebaik-baiknya maka kerukunan, kedamaian, saling maaf-

memaafkan, bantu-membantu dalam kebaikan dan ketaqwaan, lapang

dada dan penuh pengertian tentang kewajiban hidup berumah tangga,

barangkali telah merupakan hal yang tidak dapat diabaikan oleh mereka

berdua (Amini, 1999: 17).

b. Pemahaman tentang Seks

Kebahagiaan keluarga merupakan salah satu tujuan yang ingin

dicapai oleh mereka yang mendirikan rumah tangga. Untuk

mendapatkannya maka tidak sedikit usaha dan pengorbanan yang ikhlas

oleh setiap suami dan isteri serta mereka selalu meningkatkan usaha agar

menambah dan melestarikan sesuatu yang telah dimilikinya (Hamid,

1978: 33).

115
Bermacam-macam nilai dan ukuran manusia tentang perasaan

bahagia itu sendiri. Ada sementara orang menilai dan memandangnya dari

segi material yang dimiliki, ada pula dari segi-segi rohaniah, serta banyak

pula yang memandangnya dari segi-segi keduanya secara utuh dan bulat.

Namun tidak sedikit pula orang menganggap dan memandang

kebahagiaan keluarganya itu sebagai suatu rahasia yang jauh terpendam di

dalam diri masing-masing penegak sebuah rumah tangga, yaitu di dalam

diri suami dan isteri yang menjadi pendukung dan penegak sebuah rumah

tangga (Hamid, 1978: 33)..

Taraf kebahagiaan seseorang sangat ditentukan oleh beberapa

keadaan dan faktor, seperti: pemilikan harta benda secukup kebutuhan,

kemampuan ekonomi guna memenuhi kebutuhan hidup dalam keluarga,

kedewasaan diri dalam setiap aspeknya, kesehatan badan dan batin, serta

keadaan seksualitas suami-isteri dalam keluarga tersebut. Peranan

keutuhan dan keteguhan kepribadian pun tidak kurang pentingnya dalam

kehidupan berumah tangga (Hamid, 1978: 33)..

Libido adalah naluri seksual yang ada pada setiap manusia. Mula-

mula timbul karena kemasakannya di waktu remaja atau masa pubertas

yang diawali dengan perasaan ketertarikan kepada jenis lawannya.

Perasaan seksual pada seseorang sebenarnya adalah ungkapan perasaan

cinta terhadap daya tarik kita untuk orang lain. Hasrat itu akan tersalurkan

dengan penuh kepuasan dan kebahagiaan jika proses selanjutnya terdapat

kerja sama yang sebaik-baiknya antara suami dan isteri yang saling

116
mencintai. Ternyata dalam pengalaman hidup sangat banyak keluhan yang

terdengar, bahwa tidak setiap orang (suami-isteri) mampu mengekpresikan

dan menyalurkan dorongan naluriah tersebut dengan sebaik-baiknya. Oleh

karena itu tidaklah mengherankan jika taraf kebahagiaan dalam kehidupan

keluarga terasa ada yang mengganjal atau ada sesuatu yang kurang dan

jika tidak mendapatkan pengatasan yang sebaik-baiknya bukan tidak

mungkin akan membuahkan akibat yang kurang baik dan yang tidak

dikehendaki (Basri, 2004: 36).

Agar kebahagiaan hidup dalam keluarga dapat dimiliki dan

berkembang dengan subur dan teguh, maka menurut penulis bahwa ilmu

pengetahuan yang berhubungan dengan hal-hal yang rahasia dalam

keluarga, yaitu permasalahan seksualitas ini kiranya perlu mendapatkan

perhatian yang secukupnya dari masing-masing penegak dan pendukung

sebuah rumah tangga, yaitu suami dan isteri. Sebenarnya pengetahuan

tersebut telah dipelajari jauh sebelum melangsungkan perkawinan, namun

karena berbagai keadaan maka mempelajarinya kembali dengan penuh

perhatian selama perkawinan pun tidak ada jeleknya, bahkan akan

menambah taraf kebahagiaan hidup dalam keluarga(Basri, 2004: 36).

c. Memperhatikan Menu Makanan

Ketenangan seorang suami di rumahnya mempunyai berbagai

sebab. Yang paling penting daripadanya adalah keteduhan nuansa rumah

tangga dan sedikitnya kegaduhan, sehingga ia mudah mendapat tidur

nyenyak yang dapat menghilangkan kelelahan dirinya, dapat

117
menjernihkan otaknya dan memperbarui keaktifannya, sehingga ia dapat

meneruskan usahanya untuk mencari sumber rezeki dan untuk memenuhi

semua kebutuhan rumah tangganya.

Seorang suami yang pulang dari tempat kerjanya dalam keadaan

lelah dan ia membutuhkan suasana rileks dan ketenangan. Karena itu, ia

wajib mendapatkan semuanya dari sang istri seperti yang ia inginkan.

Kehidupan rumah tangga merupakan salah satu tempat yang paling cocok

untuk mendapatkan rileks dan ketenangan sebelum ia meneruskan

pekerjaannya lagi. Rumah tangga itu merupakan tempat ia berteduh,

bernaung, tempat beristirahat dan tidur. Karena itu, seorang istri harus

memberi suaminya ketenangan, kedamaian dan tempat yang rileks setelah

ia pulang dari kerja dalam keadaan lelah. Janganlah ia menimbulkan

kegaduhan dan keramaian ketika sang suami sedang istirahat dan tidur.

Masalah ini merupakan masalah yang dimengerti oleh setiap orang,

sehingga tidak butuh keterangan panjang lebar (Basri, 2004: 37).

Di antara ketenangan dan kedamaian yang dibutuhkan oleh

seorang suami adalah menu makanan yang lezat di dalam rumahnya

setelah ia pulang dari tempat kerjanya dalam keadaan lelah dan lapar,

sehingga ia dapat makan dengan enak dan berselera. Masalah ini

merupakan masalah yang paling penting bagi seorang suami.

Sebagai istri yang bijaksana dan shalihah hendaknya ia dapat

menyelesaikan tugas-tugas rumah tangganya dengan baik. Di antara tugas

rumah tangga yang harus ia selesaikan adalah menyiapkan menu makanan

118
yang lezat yang beraneka ragam macamnya dan cara penyajiannya dan

tidak terlambat dalam penyajiannya, agar tidak menimbulkan emosi dalam

hati suaminya, karena ia sangat lelah dan lapar.

Adapun kalau ada suatu pekerjaan lain yang menyibukkan-dirinya,

misalnya mengurus anak-anak, maka sebaiknya ia minta bantuan

suaminya atau paling tidak minta maaf, karena ia terlambat menyajikan

hidangan makanan bagi sang suami.

d. Secara Sungguh-Sungguh Melaksanakan Hak dan Kewajiban

Rumah tangga lahir karena terjadinya perkawinan dan setiap orang

yang berumah tangga tentulah berharap rumah tangganya bahagia dan

kekal. Rasulullah Saw bersabda: "Baiti jannati," rumah tanggaku adalah

surgaku, dan orang Jawa berkata pula: "Sampai kaken-kaken sampai

ninen-ninen, bagaikan mimi dan mintuno." Salah satu di antara asas

perkawinan dalam Islam ialah asas lestari, yang dengan asas ini

perkawinan yang dilakukan oleh orang Islam haruslah dengan tujuan

untuk selamanya, tidak hanya untuk jangka waktu tertentu, misalnya

seminggu atau sebulan saja dan lain sebagainya. Kawin Mut'ah, yaitu

kawin untuk jangka waktu tertentu dilarang oleh Islam. Dalam Islam

memang juga ada cerai, tetapi pintu cerai dibuka sempit sekali oleh Islam

karena alasan-alasan darurat. Dalam Islam diakui, cerai adalah sesuatu

yang halal, tetapi paling dibenci oleh Allah (Hamid, 1978: 99).

Sebuah rumusan yang baik tentang perkawinan, disebutkan dalam

Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1974. "Perkawinan ialah ikatan lahir

119
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" (Bab I Pasal 1). Rumusan

perkawinan yang disebutkan dalam Undang-undang Perkawinan ini,

sekaligus memberi arahan, hendaknya perkawinan menghasilkan rumah

tangga yang bahagia dan kekal (Hamid, 1978: 99).

Tetapi tentu saja, supaya rumah tangga bahagia dan kekal, maka

harus dilandasi cinta. Salah satu di antara perwujudan cinta tersebut yaitu

dipenuhinya hak masing-masing dari suami dan istri dan dilaksanakannya

apa yang menjadi kewajiban, baik oleh suami maupun oleh istri. Tanpa

dipenuhinya hak, dan tanpa dihiraukannya kewajiban, maka cinta itu tidak

akan bersemi dan membuahkan hasil. Mustahil rumah tangga bisa bahagia

dan kekal, kalau suami dan istri masing-masingnya hanya pandai

mengatakan cinta tetapi tidak melaksanakan apa yang menjadi yang

menjadi hak dan kewajibannya. Cinta tanpa melaksanakan hak dan

kewajiban maka pertanda rumah tangga suami istri yang seperti ini

bukannya surga yang menyenangkan seperti yang disabdakan oleh Nabi,

tetapi neraka dunia yang menyedihkan, yang pada gilirannya tentulah akan

berakhir dengan perceraian (Kuzari, 1995: 35).

Dalam hidup berumah tangga, masing-masing suami dan istri

mempunyai beberapa hak dan beberapa kewajiban. Hak dan kewajiban

adalah dua hal yang mempunyai hubungan timbal balik antara yang satu

dengan yang lain. Apa yang menjadi kewajiban suami merupakan hak

120
istri, dan sebaliknya apa yang menjadi kewajiban istri merupakan hak

suami. Karena itu kalau suami melalaikan kewajibannya, berarti istri tidak

memperoleh haknya, dan begitu pula jika istri mengabaikan

kewajibannya, alamat suami akan gundah gulana karena tidak menikmati

apa yang menjadi haknya. Karena itu pula, kebahagiaan suami tergantung

dari istri, dan kebahagiaan istri tergantung dari suami. Keduanya tidak saja

saling memberi, tetapi juga saling menerima (Kuzari, 1995: 35).

Keluarga atau rumah tangga, oleh siapapun dibentuk, pada dasarnya

merupakan upaya untuk memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan hidup.

Keluarga dibentuk untuk menyalurkan nafsu seksual, karena tanpa tersalurkan

orang bisa merasa tidak bahagia. Keluarga dibentuk untuk memadukan rasa

kasih dan sayang di antara dua makhluk berlainan jenis, yang berlanjut untuk

menyebarkan rasa kasih dan sayang keibuan dan keayahan terhadap seluruh

anggota keluarga (anak keturunan). Seluruhnya jelas-jelas bermuara pada

keinginan manusia untuk hidup lebih bahagia dan lebih sejahtera (Kuzari,

1995: 36).

Apa yang diidam-idamkan, apa yang ideal, apa yang seharusnya,

dalam kenyataan tidak senantiasa berjalan sebagaimana mestinya.

Kebahagiaan yang diharapkan dapat diraup dari kehidupan berumah tangga,

kerap kali hilang kandas tak berbekas, yang menonjol justru derita dan nestapa

(T Yanggo dan Anshari, 1996: 83).

Problem-problem pernikahan dan keluarga amat banyak sekali, dari

yang kecil-kecil sampai yang besar-besar. Dari sekedar pertengkaran kecil

121
sampai ke perceraian dan keruntuhan kehidupan rumah tangga yang

menyebabkan timbulnya "broken home". Penyebabnya bisa terjadi dari

kesalahan awal pembentukan rumah tangga, pada masa-masa sebelum dan

menjelang pernikahan, bisa juga muncul di saat-saat mengarungi bahtera

kehidupan berumah tangga. Dengan kata lain, ada banyak faktor yang

menyebabkan pernikahan dan pembinaan kehidupan berumah tangga atau

berkeluarga itu tidak baik, tidak seperti diharapkan, tidak dilimpahi

"mawaddah wa rahmah," tidak menjadi keluarga "sakinah" (T Yanggo dan

Anshari, 1996: 80).

Kenyataan akan adanya problem yang berkaitan dengan pernikahan

dan kehidupan keluarga, yang kerap kali tidak bisa diatasi sendiri oleh yang

terlibat dengan masalah tersebut, menunjukkan bahwa diperlukan adanya

bantuan konseling dari orang lain untuk turut serta mengatasinya. Selain itu,

kenyataan bahwa kehidupan pernikahan dan keluarga itu selalu saja ada

problemnya, menunjukkan pula perlunya ada bimbingan Islami mengenai

pernikahan dan pembinaan kehidupan berkeluarga (Saleh, 1982: 26).

Demikian pula, untuk mencegah jangan sampai adanya pernikahan

dini maka perlu dibukanya bimbingan konseling pernikahan dan keluarga

Islami. Karena tujuan bimbingan dan konseling keluarga Islami di bidang ini

adalah untuk:

1. Membantu individu mencegah timbulnya problem-problem yang berkaitan

dengan pernikahan, antara lain dengan jalan

122
2. Membantu individu mencegah timbulnya problem-problem yang berkaitan

dengan kehidupan berumah tangganya

3. Membantu individu memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan

pernikahan dan kehidupan berumah tangga

4. Membantu individu memelihara situasi dan kondisi pernikahan dan rumah

tangga agar tetap baik dan mengembangkannya agar jauh lebih baik

Problem pernikahan usia dini mempunyai kaitan yang erat dengan

dakwah. Berbicara problem dan penanggulangan pernikahan usia dini dalam

kehidupan keluarga maka perlu penanggulangan melalui pesan-pesan dakwah.

Dengan dakwah dapat diharapkan, kesalahan persepsi dan pandangan para

orang tua, remaja dan masyarakat dapat diluruskan, karena dakwah itu sendiri

adalah mengajak orang kepada kebenaran, mengerjakan perintah, menjauhi

larangan agar memperoleh kebahagiaan di masa sekarang dan yang akan

datang (Umary, 1980: 52). Sejalan dengan itu, Sanusi (1980: 11) menyatakan,

dakwah adalah usaha-usaha perbaikan dan pembangunan masyarakat,

memperbaiki kerusakan-kerusakan, melenyapkan kebatilan, kemaksiatan dan

ketidak wajaran dalam masyarakat. Dengan demikian, dakwah berarti

memperjuangkan yang ma'ruf atas yang munkar, memenangkan yang hak atas

yang batil. Esensi dakwah adalah terletak pada ajakan, dorongan (motivasi),

rangsangan serta bimbingan terhadap orang lain untuk menerima ajaran agama

dengan penuh kesadaran demi untuk keuntungan pribadinya sendiri, bukan

untuk kepentingan juru dakwah/juru penerang (Arifin, 2000: 6).

123
Dalam pengertian yang integralistik, dakwah merupakan suatu proses

yang berkesinambungan yang ditangani oleh para pengemban dakwah untuk

mengubah sasaran dakwah agar bersedia masuk ke jalan Allah, dan secara

bertahap menuju perikehidupan yang Islami (Hafidhuddin, 2000: 77). Dakwah

adalah setiap usaha rekonstruksi masyarakat yang masih mengandung unsur-

unsur jahili agar menjadi masyarakat yang Islami (Rais, 1999: 25). Oleh

karena itu Zahrah (1994: 32) menegaskan bahwa dakwah Islamiah itu diawali

dengan amar ma'ruf dan nahi munkar, maka tidak ada penafsiran logis lain

lagi mengenai makna amar ma'ruf kecuali mengesakan Allah secara

sempurna, yakni mengesakan pada zat sifat-Nya. Lebih jauh dari itu, pada

hakikatnya dakwah Islam merupakan aktualisasi imani (teologis) yang

dimanifestasikan dalam suatu sistem kegiatan manusia beriman dalam bidang

kemasyarakatan yang dilaksanakan secara teratur untuk mempengaruhi cara

merasa, berpikir, bersikap dan bertindak manusia pada dataran kenyataan

individual dan sosio kultural dalam rangka mengusahakan terwujudnya ajaran

Islam dalam semua segi kehidupan dengan menggunakan cara tertentu

(Achmad, 1983: 2).

Demikian pentingnya dakwah dalam mengantisipasi dan

menanggulangi pernikahan usia dini, karena masih banyak keluarga yang

meminggirkan peranan usia perkawinan dalam kehidupan keluarga.

Kenyataan menunjukkan bahwa masih terdapat kesenjangan antara tujuan

perkawinan yang seharusnya membawa kebahagiaan dengan realita yang ada

di masyarakat yaitu perkawinan justru menimbulkan sejumlah masalah.

124
Urgensi dakwah dengan konsep pernikahan yaitu dakwah dapat

memperjelas dan memberi penerangan pada mad'u tentang bagaimana

pernikahan yang sesuai dengan al-Qur'an dan hadits. Dengan adanya dakwah

maka kekeliruan dalam memaknai pernikahan dapat dikurangi.

125
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat diambil kesimpulan sebagai

berikut:

1. Faktor-faktor yang menimbulkan pernikahan dini di Desa Kluwih Kec.

Bandar Kab. Batang Tahun 2008-2010 antara lain pertama, untuk

menghindari hubungan diluar nikah; kedua, menghindari cemooh dan

fitnah dari tetangga; ketiga, sudah menjadi tradisi; keempat, khawatir

disebut perawan tua. Pernikahan dini menimbulkan permasalahan dan

dampak. Permasalahannya: pernikahan usia dini ada kecenderungan

sangat sulit mewujudkan tujuan perkawinan secara baik. Dampaknya yaitu

pernikahan hanya membawa penderitaan. Pernikahan usia dini ada

kecenderungan berakhir pada perceraian. Dampaknya yaitu persaudaraan

menjadi pecah dan anak-anak menanggung beban psikologis. Pernikahan

usia dini sulit mendapat keturunan yang baik dan sehat. Dampaknya yaitu

anak rentang dengan penyakit. Pernikahan mempunyai hubungan dengan

masalah kependudukan. Dampaknya: ternyata bahwa batas umur yang

rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju

pertumbuhan penduduk sangat cepat.

2. Praktek Pernikahan Dini di Desa Kluwih Kecamatan Bandar memerlukan

partisipasi semua pihak, yang dalam hal ini harus dicarikan upaya

mengatasinya agar praktek tersebut hilang atau setidaknya makin

126
mengurang secara kuantitatif. Salah satu pihak yang kompeten mengatasi

praktek pernikahan dini adalah para konselor. Karena para konselor dapat

membantu individu untuk mencegah jangan sampai melakukan

pernikahan dini. Demikian pula para konselor dapat membantu individu

yang sedang kena masalah menyangkut keretakan atau konfliik rumah

tangga yang sedang dialami klien.

Bimbingan pernikahan dan keluarga Islam adalah proses

pemberian bantuan terhadap individu agar dalam menjalankan pernikahan

dan kehidupan berumah tangganya bisa selaras dengan ketentuan dan

petunjuk Allah, sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan

di akhirat. Sedangkan konseling pernikahan dan keluarga Islami adalah

proses pemberian bantuan terhadap individu agar menyadari kembali

eksistensinya sebagai makhluk Allah yang seharusnya dalam menjalankan

pernikahan dan hidup berumah tangga selaras dengan ketentuan dan

petunjuk-Nya, sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan

di akhirat

B. Saran-Saran

Untuk mendapatkan penjelasan lebih dalam tentang pernikahan dini;

permasalahan, dampak dan solusinya dalam perspektif dakwah, maka

penelitian lebih lanjut bagi para peneliti lainnya merupakan suatu keharusan.

Karena itu hendaknya peluang dan kesempatan diberi lebih luas lagi bagi para

peneliti lainnya.

127
C. Penutup

Tiada puja dan puji yang patut dipersembahkan kecuali kepada Allah

Swt yang dengan karunia dan rahmatnya telah mendorong penulis hingga

dapat merampungkan tulisan yang sederhana ini. Dalam hubungan ini sangat

disadari sedalam-dalamnya bahwa tulisan ini dari segi metode apalagi

materinya jauh dari kata sempurna. Namun demikian tiada gading yang tak

retak dan tiada usaha besar akan berhasil tanpa diawali dari yang kecil. Tiada

untaian kata yang patut dikatakan melainkan hanya secercah ungkapan:

mencipta yang tak sempurna jauh lebih baik dari pada kemandulan yang

sempurna. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca budiman.

128
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abidin, Slamet dan Aminuddin, 1999, Fiqih Munakahat, Jilid I, Bandung: CV


Pustaka Setia.

Achmad, Amrullah, 1983, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, Yogyakarta:


Primaduta

Adz-Dzaky, M. Hamdani Bakran, 2002, Konseling dan Psikoterapi Islam,


Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru

Ahmad Warson Al-Munawwir. 1997. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia


Terlengkap, Yogyakarta: Pustaka Progressif.

Ahmad, Abu dan Ahmad Rohani, 1991, Bimbingan dan Konseling di Sekolah,
Jakarta: Rineka Cipta

Akbar, Ali. 1977. Merawat Cinta Kasih. Jakarta: Pustaka Antara.

Ali, Maulana Muhammad, 1990, The Religion of Islam, USA: The Ahmadiyya
Anjuman Ishaat Islam Lahore.

Ali, Muhammad. 1995. Penelitian Pendidikan Prosedur Dan Strategi. Bandung:


Angkasa.

Al-Jazir, Abdurrrahmn, 1972, Kitab al-Fiqh al al-Mazhib al-Arbaah, Juz II,


Beirut: Dr al-Fikr

Al-Rahwi, 1315 H, Syarh al-Manar wa Khawasyih min 'Ilm al-Ushul, Mesir: Dar
al-Sa'adah,

Amini, Ibrahim, 1999, Principles of Marriage Family Ethics, Terj. Alwiyah


Abdurrahman, "Bimbingan Islam Untuk Kehidupan Suami Istri",
Bandung: al-Bayan

Arifin, M. 1977. Psikologi Dakwah. Jakarta: Bulan Bintang.

-------., 1994, Pedoman Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan Agama, Jakarta:


PT Golden Terayon Press

Arkoun, Mohammad, 1996. Rethinking Islam, Yogyakarta: LPMI bekerjasama


dengan Pustaka Pelajar.

Audah, Abdul Qadir, 1964, Al-Tasyri al-Jina'i al-Islamiy, Juz I, Kairo: Dar al-
Urubah.

129
Basyir, Ahmad Azhar, 2004, Hukum Pernikahan Islam, Yogyakarta: UII Press,

Bukhry, Imam, 1410 H/1990 M, Sahh al-Bukhar, Juz. III, Beirut: Dr al-Fikr.

Dahlan, Aisjah. 2009, Membina Rumah Tangga Bahagia dan Peranan Agama
dalam Rumah Tangga, Jakarta: Jamunu

Daradjat, Zakiah, 1995, Ilmu Fiqh, jilid 2, Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta,.

Djatnika, Rachmat, 1991, Sosialisasi Hukum Islam, dalam Abdurrahman Wahid,


(et.al.), Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung: Rosda
Karya.

Faqh, Aunur Rahim, 2001, Bimbingan dan Konseling dalam Islam, UII Press

Gunarsa, Ny.Singgih D., 1986, Psikologi Keluarga, Jakarta: BPK Gunung Mulia,

Hadi, Sutrisno. 1987. Metodologi Research I. Yogyakarta: Fak. Psikologi UGM.

Hafidhuddin, Didin, 2000, Dakwah Aktual, Jakarta: Gema Insani

Hakim, Rahmat, 2000, Hukum Pernikahan Islam, Bandung: Pustaka Setia.

Hamid, Zahry, 1978, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-


Undang Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta.

Hasjmy, A., 1994, Dustur Dakwah Menurut Al-Quran, Jakarta: Bulan bintang

Hawari, Dadang, 2006, Marriage Counseling (Konsultasi Perkawinan), Jakarta:


Fakultas Kedokteran UI.

Hilman Hadikusuma, 1990. Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut


Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung: Penerbit Manjar
Maju

Kuzari, Achmad, 1995, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: PT.Raja Grafindo


Persada

Lusikooy, W., 1983, Bimbingan dan Penyuluhan di Perguruan Tinggi, Jakarta:


PT Gunung Agung

Mappiare, Andi, AT, 1996, Pengantar Konseling dan Psikoterapi, Jakarta: PT


Raja Gravindo Persada.

Moelong, Lexy J. 1993. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja


Rosdakarya

130
Muhammad Asy Syaukani, 1973, Nail alAutar, Beirut: Daar al-Qutub al-Arabia,
Juz IV

Munsyi, Abdul Kadir, 1981, Metode Diskusi Dalam Dawah, Surabaya: al-Ikhlas

Musnamar, Thohari, (eds), 1992, Dasar-Dasar Konseptual Bimbingan Bimbingan


dan Konseling Islami, Yogyakarta: UII Press.

Natawidjaja, Rochman. 1972. Bimbingan Pendidikan dalam Sekolah


Pembangunan. Semarang: IKIP Semarang.

Pimay, Awaludin, 2005, Paradigma Dakwah Humanis, Strategi Dan Mrtode


Dakwah Prof KH. Saifudin Zuhri, Rasail, Semarang.

Prayitno dan Erman Anti, 1999, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta:
Renika Cipta

Rais, Amien. 1999. Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan

Ramayulis. 1990. Pendidikan Islam dalam Rumah Tangga, Jakarta: Kalam Mulia.

Ramulyo, Moh. Idris, 2002, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis dari
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta:
Bumi Aksara,

Ridha, Muhammad Rasyid, 1325 H, Tafsir al-Manar, Juz IV, Mesir: al-Manar.

Rofiq, Ahmad, 1977, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT.Raja Grafindo


Persada

Saekan dan Erniati Effendi, 1977, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, Surabaya: Arkola,

Saleh, K. Wancik, 1982. Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia


Indonesia,

Sanusi, Salahuddin. 1964. Pembahasan Sekitar Prinsip-prinsip Dakwah Islam.


Semarang: CV.Ramadhani.

Shiddieqy, TM.Hasbi ash, 2001, Koleksi Hadits-Hadits Hukum, Semarang:


PT.Pustaka Rizki Putra, jilid 8

--------, 2003, Mutiara Hadits, jilid 5, Semarang; PT.Pustaka Rizki Putra

Singarimbun dan Efendi S, 1989. Metode Penelitian Survey, Jakarta: LP3S.

Soekanto, Soerjono, 2004. Sosiologi Keluarga tentang Hal Ikhwal Keluarga,


Remaja dan Anak, Rineka Cipta, Jakarta

131
Suharsimi, Arikunto. 1998. Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktek),
Jakarta : Rineka Cipta

Suhendi, Hendi dan Ramdani Wahyu. 2001. Pengantar Studi Sosiologi Keluarga,
Bandung: Pustaka Setia.

Sukardi, Dewa Ketut, 1983, Bimbingan dan Penyuluhan Belajar di Sekolah,


Jakarta: Usaha Nasional

Sulthon, Muhammad, 2003, Desain Ilmu dakwah, Kajian Ontologis,


Epistimologis dan Aksiologis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Suma, Muhammad Amin, 2004, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada,

Surachmad, Winarno, 1995. Pengantar Penelitian Ilmiah; Dasar-Dasar Metode


dan Teknik, Bandung: Tarsito Rimbuan.

Syarifuddin, Amir, 2004, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta:


Prenada Media

Syaukani, Imam. tth, Nail alAutar, Juz IV, Beirut: Daar al-Qutub al-Arabia.

Syuaib ibn Ali ibn Sinan ibn Bahr, tth, Sunan an-Nasai, Juz VI, Mesir:
Tijariyah Kubra.

Thalib, Sayuti, 1986, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI Press, Cet. 5.

Umary, Barmawie. 1980. Azas-Azas Ilmu Dakwah. Semarang: CV Ramadhani.

Walgito, Bimo. 1998. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, Yogyakarta: Andi


Offset.

Yaqub, Hamzah, 1973, Publisistik Islam Seni dan Teknik Dawah, Bandung: CV.
Diponegoro
Yanggo, Huzaimah T dan Hafiz Anshari H.Z. (ed), 1996, Problematika Hukum
Islam Kontemporer, Buku Kedua, Jakarta: PT Pustaka Firdaus,

Yanggo, Huzaimah T dan Hafiz Anshari H.Z. (ed), 1996. Problematika Hukum
Islam Kontemporer, Buku Kedua, Jakarta: PT Pustaka Firdaus.

Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, 1986, Al-Quran dan


Terjemahnya, Jakarta: Depag RI

Yunus, Mahmud, 1990, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta: PT Hidakarya


Agung, Cet. 12.

Zahrah, Abu, 1994, Dakwah Islamiah, Bandung: PT Remaja Rosdakarya

132
DATA DAN WAWANCARA

Buku Monografi Desa Kluwih

Wawancara Bapak dan Ibu Sudarno (pernikahan antara pria cukup umur dengan
wanita dini)

Wawancara dengan Bapak Bambang Subroto Kepala KUA Kecamatan Bandar


Kabupaten Batang,

Wawancara dengan Bapak dan Ibu Nuryanto (pernikahan antara pria dini dengan
wanita yang cukup umur)

Wawancara dengan Bapak Dasro Kepala Desa Kluwih.

Wawancara dengan Bapak Dato, selaku tokoh masyarakat Desa Kluwih.

Wawancara dengan Bapak Kartan (Selaku orang tua peserta Suscatin)

Wawancara dengan Bapak Munazirin Wakil Kepala KUA Kecamatan Bandar


Kabupaten Batang,

Wawancara dengan Bapak Sudaryanto, selaku tokoh masyarakat Desa Kluwih.

Wawancara dengan Bapak Suprat, Selaku tokoh masyarakat Desa Kluwih

Wawancara dengan Bapak Tafsir pejabat KUA (Staf Administrasi) Kecamatan


Bandar Kabupaten Batang.

Wawancara dengan Ibu Anisah (Selaku peserta Suscatin)

Wawancara dengan Ibu dan Bapak Arifin (pernikahan antara pria dini dengan
wanita dini)

Wawancara dengan Ibu dan Bapak Karyo (pernikahan antara pria dini dengan
wanita dini) tgl 4-6-2011.

Wawancara dengan Ibu dan Bapak Romadhon (pernikahan antara pria dini dengan
wanita dini)

Wawancara dengan Ibu dan Bapak Wariman (pernikahan antara pria dini dengan
wanita dini)

Wawancara dengan Ibu Fatonah (Selaku peserta Suscatin).

133
Wawancara dengan Ibu Ika (Selaku peserta Suscatin)

Wawancara dengan Ibu Ratihningsih (Selaku peserta Suscatin)

Wawancara dengan M. Hafid Haris (Selaku peserta Suscatin )

134
PANDUAN WAWANCARA

WAWANCARA DENGAN PARA PASANGAN SUAMI ISTRI YANG

TELAH MELANGSUNcGKAN PERKAWINAN PADA USIA MUDA DESA

KLUWIH KEC. BANDAR KAB. BATANG.

1. Sudah berapa lama ibu dan bapak berumah tangga?

Kami berumah baru saja berjalan satu tahun setengah, dan ini anak

saya perempuan, yah sangat nakal maklum selalu dimanja oleh bapaknya.

Karena dari awal pacaran, bapaknya pengen sekali punya anak perempuan.

Al-hamdulillah dikaruniai apa yang diharapkan. Ya kalu dipikir-pikir nikah di

umur saya waktu itu baru 15 tahun dan suami saya saat itu baru berumur 16

tahun memang untuk saya pribadi terlalu terburu-buru, tapi gimana lagi

namanya hidup di kampung jadi omongan. Memang terasa kita belum siap

menghadapi masalah kesulitan-kesulitan yang namanya rumah tangga.

2. Pada umur berapa ibu dan bapak menikah?

Ya saya menikah pada umur 15 dan bapak ketika itu umur 20. ya,

masih seneng main dan sebetulnya belum siap menikah, tapi ya jodoh ya

seperti ini. kadang-kadang masih ingin bebas seperti kawan-kawan lainnya.

Tapi sekarang sudah terikat perkawinan ya ega enaklah kalu dilihat

masyarakat masih seneng main-main. Kadang-kadang ada perasaan ingin

seperti sebelum menikah ya ada kebebasan, ega terikat dan tidak banyak

aturan. Tapi sekarang kami juga ditegur orang tua kalu masih seperti kanak-

kanak.

135
3. Apa yang melatbelakangi ibu dan bapak menikah dalam usia yang sangat

muda?

Mungkin juga yah rasa malu dengan omongan tetangga yang sering

menanyakan kapan menikah, padahal waktu itu saya baru berumur 18, tua

istri, ya namanya di kampung pacaran terlalu lama akan mendapat cemooh.

Biasa lah kalu di kampung ya umur seperti kami ini sudah tidak aneh, malah

orang tua juga menjodohkan. Padahal kita belum puas dengan masa remaja

dan bermain. Sudah menjadi tradisi atau adat menikah pada umur seperti kami

ini. Tapi ya kalu istri saya ini sudah cukup umur kira-kira waktu itu sudah

berumur 18 tahun

4. Apakah ibu bahagia dengan pernikahan ini?

Kadang ya ada bahagia dan ada juga menderitanya, terutama pada saat

kekurangan ekonomi, omongan tetangga. Juga kami punya watak sama keras

kadang ya terjadi keributan. Kalu dipikir-pikir mungkin karena kami belum

siap dan belum matang ya yang terasa lebih banyak menderitanya dari

bahagianya. Sering ribut, cekcok masalah sepele, ya juga mudah terhasut

omongan tetangga. Ini salah satu pihak kadang tidak bisa mengendalikan

emosi dan mudah percaya tanpa diselediki lebih dahulu.

5. Apakah anak ibu sehat atau sering sakit?

Ya, kalau sakit itu kan biasa apalagi namanya juga bayi. Balita itu

memang mudah terserang penyakit. Makanan kotor saja bisa sakit, pakaian

kotor pun bisa kulitnya merah-merah. Tapi ya memang anak saya sering sakit.

136
Kami juga tidak tahu apa ada pengaruh dari perkawinan umur kami. Tapi

rasanya umur ega ada pengaruh, mungkin karena bayi.

6. Menurut bapak/ibu, apakah ada dampak pernikahan usia dini terhadap

kependudukan?

Mungkin saja pernikahan usia dini ada pengaruh terhadap jumlah

kependudukan. Perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah

kependudukkan. Tetapi kami tidak setuju pernikahan usia dini bisa

menimbulkan peledakan penduduk. Toh ada alat kontrasepsi.

137
PEDOMAN WAWANCARA

WAWANCARA DENGAN TOKOH MASYARAKAT DESA KLUWIH

KEC. BANDAR KAB. BATANG.

1. Bagaimana dampak pernikahan usia dini terhadap tujuan pernikahan?

Dampak pernikahan usia dini terhadap tujuan pernikahan. Pernikahan

usia dini ada kecenderungan sangat sulit mewujudkan tujuan perkawinan

secara baik. Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ayat (1)

menyatakan bahwa "perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah

mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai

umur 16 (enam belas) tahun". Ketentuan batas umur ini, seperti disebutkan

dalam Kompilasi pasal 15 ayat (1) didasarkan kepada pertimbangan

kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan. Ini sejalan dengan

prinsip yang diletakkan UU Perkawinan, bahwa calon suami isteri harus telah

masak jiwa raganya, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik

tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.

Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami isteri yang

masih di bawah umur.

2. Bagaimana dampak pernikahan usia dini terhadap kualitas keturunan?

Dampak pernikahan usia dini terhadap kualitas keturunan. Kawin di

bawah umur, mudah dihinggapi bahaya, anaknya gugur, lemah atau

meninggal dan tak jarang pula sang ibu muda itu yang menjadi korban. Gadis

yang masih muda penuh cita-cita untuk hari depan, belum pada waktunya

138
dibebani kewajiban-kewajiban berat, dilepas dari asuhan orang tua, diserahi

mengurus rumah tangga, bahkan lebih berat lagi, dengan segala anggota tubuh

yang masih muda, dengan alat kandungan yang belum cukup matang, ia harus

memelihara manusia baru dalam badannya. Maka tidak heran jika karena itu

banyak terjadi kekecewaan. Badan yang sedang tumbuh masih membutuhkan

perkembangan-perkembangan dalam tubuhnya, tidak diberi kesempatan lebih

dahulu untuk bersiap-siap, sudah dibebani dengan beban lain yang maha berat.

3. Bagaimana dampak pernikahan usia dini terhadap kependudukan?

Dampak pernikahan usia dini terhadap kependudukan bahwa

perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukkan. Ternyata

bahwa pernikahan usia dini bagi seorang wanita untuk nikah, mengakibatkan

laju kelahiran lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka undang-undang ini

menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun wanita

(Penjelasan umum UU Perkawinan, nomor 4 huruf d) (Rofiq, 1997: 76-77).

Oleh karenanya mempelai lelaki dan mempelai perempuan, keduanya tidak

diperkenankan melakukan akad nikahnya manakala umur mereka belum

mencapai angka tersebut karena dipandang belum dewasa dan tidak cakap

bertindak.

139
PEDOMAN WAWANCARA DENGAN KUA DESA KLUWIH KEC.

BANDAR KAB. BATANG.

1. Bagaimana peserta Kursus Calon Pengantin (Suscatin)?

Program kursus calon pengantin (Suscatin), pesertanya sebagian besar

para pria dan wanita yang belum pernah menikah dan beberapa orang janda

yang gagal dalam membina rumah tangga. Pembinaan kursus calon pengantin

(suscatin) memiliki peserta yaitu kaum pria dan wanita yang masih sendirian

dan ada juga beberapa orang janda. Untuk para janda ini umumnya mereka

yang gagal dalam membina rumah tangga.

2. Bagaimana materi program suscatin?

Materi program kursus calon pengantin (suscatin) yang bertujuan

untuk membentuk keharmonisan keluarga, maka gerakan keharmonisan

keluarga dapat dibedakan menjadi tiga: pertama, pendidikan agama. Materi

pendidikan agama dalam lingkungan keluarga lingkungan masyarakat, dan

lingkungan pendidikan (formal, nonformal, dan informal). Secara umum,

materi pendidikan agama dalam lingkungan keluarga, masyarakat, dan

pendidikan adalah:

a. Pembinaan perkawinan dan keluarga

b. Menyambut kelahiran anak: adzan, pemberian nama yang baik, menyukur

rambut, dan khitanan.

c. Tanggungjawab orang tua dalam pendidikan agama.

d. Aspek-aspek pendidikan agama dalam keluarga.

140
e. Pembentukan kepribadian.

f. Akhlak mulia.

g. Tuntunan mengenai ibadah (bersuci, shalat dan shalat berjamaah, puasa,

dan baca tulis Quran).

3. Apakah dasar suscatin itu?

Pembinaan kursus calon pengantin (suscatin) didasarkan atas

pemahaman dan pelaksanaan ajaran agama Islam secara benar dan baik. Oleh

karena itu, pembinaan mengenai ekonomi dan kesehatan keluarga pada

dasarnya adalah faktor yang tidak dapat dihindari dalam kursus calon

pengantin (suscatin). Akan tetapi, kursus calon pengantin (suscatin) memang

belum dapat menghasilkan keluarga yang sesuai dengan harapan umat Islam

secara keseluruhan, di sana-sini masih terdapat kekurangan yang harus

diperbaiki.

Materi praktik kursus calon pengantin (suscatin) yang paling utama

adalah (1) hak dan kewajiban suami istri; (2) pemahaman tentang seks; (3)

memperhatikan menu makanan; (4) secara sungguh-sungguh melaksanakan

hak dan kewajiban.

4. Apakah tujuan dari Program kursus calon pengantin (suscatin)?

Program kursus calon pengantin (suscatin) bertujuan untuk

membentuk keharmonisan keluarga. Program gerakan keharmonisan keluarga

mencakup delapan bidang garapan:

141
a. Pendidikan agama dalam keluarga. Program ini dilakukan oleh orang tua

(bapak dan ibu) dengan tujuan untuk menanamkan nilai-nilai keimanan

dan ketakwaan dan akhlak mulia dalam lingkungan keluarga.

b. Pendidikan agama di masyarakat; program mi dilaksanakan melalui

peningkatan bimbingan keagamaan di masyarakat melalui kelompok

keluarga sakinah, kelompok pengajian, kelompok majelis taklim,

kelompok dzikir, dan kelompok keagamaan lainnya.

c. Peningkatan pendidikan agama melalui pendidikan formal; program ini

dilaksanakan melalui upaya peningkatan pendidikan formal di lembaga

pendidikan agama, pendidikan umum, pendidikan kejuruan dari

pendidikan pra sekolah sampai perguruan tinggi.

d. Pemberdayaan ekonomi umat; program ini dilaksanakan melalui kegiatan

pemberdayaan ekonomi kerakyatan, seperti ekonomi masjid, kelompok

usaha produksi keluarga sakinah, koperasi majelis taklim, dan

pemberdayaan ekonomi keluarga lainnya.

e. Pembinaan gizi keluarga; program ini dilaksanakan dengan cara

memberikan motivasi dan bimbingan kepada keluarga: melalui

pendekatan agama agar masyarakat meningkatkan gizi yang baik.

f. Pembinaan kesehatan keluarga; program ini dilaksanakan dengan cara

memberikan motivasi dan bimbingan agar masyarakat memperhatikan

kesehatan ibu, bayi, anak balita dan lingkungannya.

142
g. Sanitasi lingkungan; program ini dilaksanakan dengan cara memberikan

motivasi dan bimbingan agar,; masyarakat menyediakan air bersih,

jamban, dan sanitasi lingkungan. Keluarga Sakinah.

h. Penanggulangan penyakit menular seksual; program ini dilaksanakan

dengan cara memberikan motivasi dan bimbingan agar masyarakat

mengatasi penyakit menular dengan menghindari pergaulan bebas

(berganti-ganti pasangan), bukan penggunaan kondom sebagai jalan

keluar.

143
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Fatkhuri

Tempat tanggal lahir : Batang, 19 April 1985

Pendidikan :

 SDN 1 Kluwih Bandar Batang

 MTS Assyairiyah Plumbon Limpung Batang

 MAN 3 Kota Pekalongan

 IAIN Walisongo Semarang

Alamat Lengkap : Kluwih Rt. 08 Rw. 01 Bandar Batang

144

Anda mungkin juga menyukai