Anda di halaman 1dari 11

Jurnalisme Lingkungan: Sebuah

Pengenalan Singkat
Oleh : Muh. Irfan Handeputra *

Pengenalan

Menurut John Palen dari Department of Journalism, Universitas Michigan Tengah, dalam papernya
mengenai membentuk masyarakat jurnalisme lingkungan, Jurnalisme Lingkungan muncul ketika
para jurnalis harus mengemukakan permasalahan-permasalahan berkaitan dengan lingkungan
seperti dioxin, kabut asap, satwa terancam punah serta pemanasan bumi.

Definisi & Ciri-ciri

Definisi tentang Jurnalisme lingkungan berakar dari komunikasi lingkungan, komunikasi


lingkungan ini sendiri dalam penafsiran saya terhadap uraian Robert Cox dalam
bukunya Environmental Communication and the Public Sphere
adalah berbagai studi dan penerapan tentang bagaimana berbagai
individu, lembaga, masyarakat serta budaya membentuk, menyampaikan,
menerima, memahami dan menggunakan pesan tentang lingkungan itu
sendiri, serta hubungan timbal-balik antara manusia dengan lingkungan.

Apabila dikaitkan dengan jurnalistik, maka kita bisa menarik kesimpulan bahwa Jurnalisme
Lingkungan adalah
pengumpulan, verifikasi, produksi, distribusi dan pertunjukan informasi
terbaru yang berkaitan dengan berbagai peristiwa, kecenderungan,
permasalahan dan masyarakat, serta berhubungan dengan dunia non-manusia
dimana manusia berinteraksi didalamnya.

Atau, singkatnya, menurut IGG Maha Adit, dalam blognya bertajuk GreenPRess
(http://greenpressnetwork.wordpress.com/2008/02/21/jurnalistik-lingkungan-
tantangan-dan-kiat/),Jurnalistik
Lingkungan adalah Kegiatan pemberitaan [mengumpulkan, memproses dan
menerbitkan informasi yang bernilai berita] masalah-masalah seputar
lingkungan hidup.

Berita-berita seputar ingkungan hidup ini memiliki beberapa ciri, antara lain:
menunjukkan interaksi saling memengaruhi antar- komponen lingkungan
berorientasi dampak lingkungan
pemberitaan dapat dari level gen hingga level biosfer
Apa Itu Berita Lingkungan ?

Berita lingkungan hidup sering tidak dapat dibedakan dari berita-berita


masalah sosial seperti kesehatan, kemiskinan, bahkan kriminalitas.
Masalah dampak lingkungan hampir selalu berkaitan dengan persoalan lain
yang kompleks.
Kisi-kisi: interaksi antarkomponen lingkungan. Patokan yang fleksibel
diperlukan
Dampak lingkungan yang merupakan isu sosial, ditulis dalam rubrik
lingkungan.

Sikap dan kecakapan yang harus dumiliki Jurnalis Lingkungan

Dalam artikel Joseph L Bast yang berjudul Environmental Journalism: A Little Knowledge is
Dangerous
(2000), seorang jurnalis lingkungan harus mengerti bahasa keilmuan
serta penerapannya, pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa berkaitan
dengan lingkungan di masa lalu, kemampuan mengikuti kepuytusan
kebijakan mengenai lingkungan dan kerja organisasi lingkungan,
pemahaman umum tentang persitwa-peristiwa lingkungan muktahir, dan
kemampuan menyampaikan informasi tersebut pada khalayak umum dengan
cara yang mudah dipahami.

Sementara itu, masih menurut IGG Maha Adit dalam blognya bertajuk
GreenPRess
(http://greenpressnetwork.wordpress.com/2008/02/21/jurnalistik-
lingkungan-tantangan-dan-kiat/), dalam interaksi antarkomponen
lingkungan (hayati & non hayati),
wartawan harus memihak kepada proses-proses yang meminimalkan dampak
negatif kerusakan lingkungan hidup. Oleh sebab itu, wartawan lingkungan
perlu menumbuhkan sikap:

Pro Keberlanjutan:Lingkungan
Hidup yang mampu mendukung kehidupan berkelanjutan, kondisi lingkungan
hidup yang dapat dinikmati oleh generasi sekarang tanpa mengurangi
kesempatan generasi mendatang
Biosentris:
Kesetaraan spesies, mengakui bahwa setiap spesies memiliki hak terhadap
ruang hidup, sehingga perubahan lingkungan hidup (pembangunan) harus
memperhatikan dan mempertimbangkan keunikan setiap spesies dan
sistem-sistem di dalamnya.
Pro Keadilan Lingkungan:
Berpihak pada kaum yang lemah, agar mendapatkan akses setara terhadap
lingkungan yang bersih, sehat dan dapat terhindar dari dampak negatif
kerusakan lingkungan.
Profesional: Memahami materi dan isu-isu lingkungan hidup, menjalankan
kaidah-kaidah jurnalistik, menghormati etika profesi, dan menaati hukum.

Ruang Lingkup Jurnalisme Lingkungan

Dalam buku The Reporters Environmental Handbook karya Peter


M. Sandman dkk,topic-topik yang diangkat jurnalisme lingkunga, misalnya
pencemaran udara atau pengaturan sampah, dengna pengkhususan
masalah-masalah yang terjadi di ranah lokal.

Selain hal-hal diatas, jurnalisme lingkungan juga mencakup topic-topik seperti:

Polusi udara,

Manajemen Pembuangan Binatang Ternak

Keragaman fauna

Lahan tak terpakai

Kanker dan penyebab penyakit-penyakit lainnya

Bahaya kimiawi

Pelucutan senjata kimia

Kesehatan Anak-anak (Asma, kandungan timah dalam lingkungan udara lokasi industri)

Isu lingkungan antar Negara tetangga

Dioxin

Pembuangan materi hasil kerukan

Bahan kimiawi yang menganggu hormone

Keadilan lingkungan dan sampah berbahaya

Radiasi makanan

Tanaman yang genetikanya dimodifikasi

Perubahan iklim dan pemanasan global

Bencana alam yang disebabkan teknologi maupun yang terjadi secara alami

Kesehatan kerja

Berkurangnya lapisan ozone

PEstisida
Pencegahan polusi

Pertumbuhan penduduk

Kesehatan lingkungan & kedudukannya

Kualitas air permukaan

Ketersediaan air

Tips & petunjuk praktis

(http://greenpressnetwork.wordpress.com/2008/02/21/jurnalistik-lingkungan-tantangan-dan-kiat/)

Kiat Menulis Masalah Lingkungan Hidup


Dalam
mendefinisikan berita lingkungan, Pembahasan yang mendalam sebaiknya
difokuskan pada interaksi antarkomponen lingkungan (hayati dan non
hayati). Dampak dari interaksi tersebut biasanya kompleks dan menyentuh
isu-isu di bidang lain.

Tips:

Jurnalis
harus mampu mempopulerkan masalahnya dengan menggunakan peristilahan
yang tepat dan pengalihan gagasan/konsep yang populer, sehingga
dimengerti oleh pembaca/pemirsa.

Jurnalis harus berhati-hati terhadap penerjemahan istilah asing,dan meminta


pertimbangan para pakar. Istilah-istilah ilmiah [nama spesies, zat
kimia, Dll] harus ditulis dengan kesepakatan dari komunitas yng
bersangkutan.

Jurnalis
harus bisa mendekatkan persoalan pada khalayak dengan menjadikan
masalah itu sebagai masalah lingkungan di tingkat lokal dan tingkat
pengaruhnya.

Menampilkan drama dalam reportase, yakni drama tentang manusia

Meletakkan manusia sebagai pusat berita

Menggunakan
foto, gambar,dan ilustrasi untuk menarik perhatian pembaca/pemirsa
terhadap berita, seperti foto manusia dengan lingkungannya atau essay
dengan foto,
Menggunakan verifikasi berlapis menggunakan bahan pustaka, riset,
narasumber/para pakar.

Contoh Jurnalisme Lingkungan:

Berita tentang banjir akibat meluapnya sungai bengawan solo, PLTN Nuklir di Semenanjung
Muria, Kabupaten Jepara, berita Lumpur Lapindio. Semuanya beserta investigasi akar
permasalahannya, drama tentang korban dan memasukkan komentar ahli lingkungan tentang
masalh tersebut dan cara menanggulangi / mengatasinya

Kritik tentang Jurnalisme Lingkungan

Dalam
artikel Kematian Jurnalisme Lingkungan? di Suara Pembaruan oleh
Triyono Lukmantoro, pengajar Sosiologi Komunikasi pada Jurusan Ilmu
Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro Semarang, jurnalisme lingkungan
kurang mendapatkan tempat yang baik dalam pemberitaan-pemberitaan
media. Sebabnya adalah jurnalisme lingkungan lebih banyak menyoroti
aspek-aspek non-manusia, seperti air, udara, serta tanah yang dilihat
dari segi nilai berita memang rendah.

Padahal, semua hal yang diposisikan seakan-akan sebagai benda-benda mati itu berinteraksi
dengan kehidupan manusia.Jurnalisme
lingkungan membahas persoalan-persoalan yang seolah-olah tidak memiliki
pengaruh langsung terhadap manusia itu ke hadapan publik. Sehingga,
publik diharapkan mengetahui dan menyadari bahwa kehidupan mereka
berada dalam ancaman. Hanya saja memang terdapat persoalan yang sangat
serius ketika jurnalisme lingkungan sedang diterapkan.

Gejala ini pernah diungkapkan Joseph L Bast dalam artikelnya yang berjudul Environmental
Journalism: A Little Knowledge is Dangerous (2000). Menurut Bast, pengetahuan tentang
lingkungan serba sedikit yang dimiliki jurnalis justru membahayakan.

Mengutip hasil pengamatan yang dijalankan Alan Caruba, seorang jurnalis ilmu pengetahuan
dan pekerja pengawasan media, Bast kemudian menunjukkan empat hal utama yang disajikan
media dalam meliput persoalan-persoalan lingkungan:

pertama,
selama lebih dari 25 tahun, kalangan reporter lingkungan mengabaikan
pendapat-pendapat ilmiah yang sebenarnya sangat berbeda dengan
pemikiran kalangan penganut environmentalisme;

kedua,
sangat sedikit jurnalis yang memiliki latar belakang pengetahuan
ilmiah, sehingga mereka gampang dimanipulasi oleh kalangan aktivis
lingkungan;
ketiga,
kelompok-kelompok aktivis atau pemerhati lingkungan meningkatkan
kampanye kehumasan yang efektif dan didanai secara baik yang dimulai
sejak tahun 1970 dan terus berlanjut hingga sekarang, dan;

keempat,

desakan media untuk meningkatkan sirkulasi dan rating acapkali

menjadikan media menghadirkan laporan-laporan ekologis sedramatis

mungkin.

Jurnalisme Lingkungan
NOVEMBER 11, 2008
Jurnalisme lingkungan dapat didefinisikan sebagai proses kerja jurnalisme
melalui pengumpulan, verifikasi, distribusi dan penyampaian informasi
terbaru berkaitan dengan berbagai peristiwa, kecenderungan, dan
permasalahan masyarakat, yang berhubungan dengan dunia non-manusia
di mana manusia berinteraksi didalamnya.
Dalam interaksi antarkomponen lingkungan, wartawan diharapkan harus
memihak kepada proses-proses yang meminimalkan dampak negatif
kerusakan lingkungan hidup. Oleh sebab itu, wartawan lingkungan perlu
menumbuhkan sikap:
Pro Keberlanjutan: Lingkungan Hidup yang mampu
mendukung kehidupan berkelanjutan, kondisi lingkungan hidup
yang dapat dinikmati oleh generasi sekarang tanpa mengurangi
kesempatan generasi mendatang
Biosentris: Kesetaraan spesies, mengakui bahwa setiap spesies
memiliki hak terhadap ruang hidup, sehingga perubahan
lingkungan hidup (pembangunan) harus memperhatikan dan
mempertimbangkan keunikan setiap spesies dan sistem-sistem di
dalamnya.
Pro Keadilan Lingkungan: Berpihak pada kaum yang lemah,
agar mendapatkan akses setara terhadap lingkungan yang bersih,
sehat dan dapat terhindar dari dampak negatif kerusakan
lingkungan.
Profesional: Memahami materi dan isu-isu lingkungan hidup,
menjalankan kaidah-kaidah jurnalistik, menghormati etika profesi,
dan menaati hukum.
Topik-topik yang diangkat jurnalisme lingkungan, misalnya
pencemaran udara atau pengaturan sampah, dengna
pengkhususan masalah-masalah yang terjadi di ranah lokal. Selain
itu, jurnalisme lingkungan juga mencakup topic-topik seperti: Isu
lingkungan antarnegara, perubahan iklim dan pemanasan global,
illegal logging, kualitas air, kebakaran hutan, pencemaran industri,
nuklir, kekeringan, banjir, longsor, kabut asap, limbah
rumahtangga, limbah rumahsakit, limbah industri, kepunahan
fauna, modifikasi generika, dan sebagainya.

Lukmantoro dalam tulisan Kematian Jurnalisme Lingkungan? (Suara


Pembaruan, 3 Juli 2007 dan dikutip Greenpress, 13 April 2008)
mempertanyakan, apa yang dapat dijalankan institusi media massa untuk
memberikan respon terhadap bumi manusia yang semakin mengalami
kerusakan? Seharusnya kalangan pekerja media (jurnalis) lebih intensif
untuk menyoroti akar persoalan degradasi ekologis. Gejala yang tampak
selama ini menunjukkan bahwa lembaga media kurang memberikan
kepedulian pada masalah-masalah lingkungan. Bahkan, jurnalisme
lingkungan terasa asing bagi lembaga media.
Fenomena ini dapat disimak pada pemberitaan-pemberitaan yang disajikan
media terhadap masalah lingkungan. Ekspose yang lazim disajikan pihak
media hanya mengungkapkan akibat-akibat kerusakan lingkungan, seperti
rob (limpasan air laut ke wilayah daratan), banjir bandang, gelombang
pasang, tanah longsor, angin puting beliung, atau suhu udara yang
memanas. Pihak media jarang menyoroti sebab-sebab terjadinya bencana
alam. Problem fundamental yang menyebabkan degradasi ekologis sangat
langka dijadikan prioritas agenda pemberitaan. Boleh dikatakan bahwa
pihak media lebih dominan menunjukkan sikap reaktif yang bersifat sesaat,
dan bukan karakter antisipatif, terhadap persoalan lingkungan.
Ketika tidak ada bencana alam menerjang yang mengakibatkan korban-
korban manusia berjatuhan dan harta benda mengalami kehancuran, media
lebih banyak memilih sikap diam dan kurang tanggap. Simaklah
bagaimana isu pemanasan global ditanggapi secara kurang berarti.
Padahal, kehancuran ekologis pada level global memiliki dampak serius
pada kerusakan lingkungan secara keseluruhan. Dalam situasi ini, media
seharusnya meningkatkan intensitas pemberitaan dengan menggunakan
perspektif jurnalisme lingkungan. Artinya, jurnalisme lingkungan harus
direvitalisasi (dihidupkan kembali) oleh kalangan wartawan.
Greenpress (13 April 2008) mengutip Kompas mengungkapkan, media
lebih banyak memberi tempat terhadap berita-berita ekonomi dan politik
dibanding berita lingkungan. Kalaupun ada berita isu lingkungan dalam
sebuah media, hanya menempati ruang kecil saja. Padahal media sangat
berpengaruh untuk menyadarkan publik agar mereka segera peduli
terhadap lingkungannya, untuk bersama-sama menyelamatkan bumi, dan
mencegah kiamat yang dipercepat oleh kerusakan-kerusakan lingkungan.
Media, juga di Indonesia, lebih merasa gemerlap dengan mengangkat isu-
isu politik dan ekonomi. Halaman-halaman media maupun jam tayang
televisi ataupun jam siar radio melulu banyak diisi kedua persoalan itu.
Kesadaran untuk memberi tempat terhadap lingkungan sebenarnya
mengemuka dari para jurnalis.
Persoalan-persoalan internal media adalah sedikitnya pengelola media
memberi halaman atau ruang yang memadai untuk isu lingkungan. Selain
itu, kepemilikan sejumlah politisi atau pengusaha dalam usaha media juga
sering kali mempersulit jurnalis atau media yang bersangkutan memuat
isu-isu lingkungan yang menyangkut kepentingan pemilik. Seorang
wartawan dari Brasil mencontohkan, persoalan itu terjadi ketika sebuah isu
lingkungan terjadi di sebuah provinsi negerinya.
Namun media setempat tidak bisa melakukan apa-apa atau
memberitakannya karena pemilik koran itu, yang kebetulan seorang
gubernur, tidak mau persoalan itu dipublikasikan di medianya. Sebenarnya
kejadian serupa pernah terjadi di Indonesia, ketika sebuah kasus reklamasi
pantai mengusik perhatian masyarakat, namun sebuah media tidak berkutik
karena pemilik saham media mereka, tidak lain dari pemilik pengembang
yang melakukan proyek reklamasi yang belakangan terbukti menyebabkan
banjir semakin parah itu.
Tantangan Pers
Mengutip Surya Pagi, Greenpress (13 April 2008), menyatakan bahwa
intensitas pemberitaan media kerap meredup ketika sudah tak ada bencana
alam menerjang yang mengakibatkan korban-korban manusia berjatuhan
dan harta benda mengalami kehancuran. Responsi terhadap pemanasan
global, misalnya, hingga kini tampak masih kurang memperoleh
penyikapan yang, bermakna dan mendalam dari sebagian besar media di
lndonesia. Padahal, kehancuran ekologis pads level global memiliki
dampak serius pada kerusakan lingkungan secara keseluruhan.
Dalam situasi ini, media seharusnya meningkatkan intensitas pemberitaan
dengan menggunakan perspektf. jurnalisme linqkungan. Artinya,
jurnalisme lingkungan harus direvitalisasi (dihidupkan kembali) oleh
kalangan wartawan. Kemasan berita seakan-akan masalah lingkungan
tidak bersentuhan langsung dengan kehidupan manusia tentu harus diubah.
Sebab lazimnya, publik akan tertarik terhadap isu-isu yang dampaknya
langsung dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari.
Jika selama ini ada mitos mapan bahwa kekuatan watchdog media hanya
dapat dijalankan untuk menyoroti problem-problem politis, seperti isu
korupsi maupun demokratisasi, selayaknya harus diubah secara radikal.
Masalah lingkungan pun bermuatan politis. Kerusakan ekologis tidak lepas
dari bagaimana kekuasaan dijalankan oleh elite politik dan elite ekonomi
yang bergandengan tangan menumpuk gengsi sosial dan profit financial.
Apabila isu lingkungan mengandung muatan politis, sesungguhnya ada
beberapa faktor penyebab sehingga media tidak dapat berperan
sebagaimana mestinya, yakni Pertama, kepemilikan modal media
terkonsentrasi pada segelintir pihak. Kedua, nilai-nilai tabloidisme telah
menggerus standar dan keputusan pemberitaan. Ketiga, kebiasaan-
kebiasaan ruang pemberitaan dalam dewan redaksi menggerogoti
perbincangan publik yang sehat.
Problem ekonomi politik media menjadikan wartawan tidak memiliki
kekuatan untuk mengungkapkan kasus-kasus kerusakan lingkungan,
karena kemungkinan ada pemilik media yang memiliki perusahaan-
perusahaan non-media yang mendapatkan proyek dari pemerintah.
Jalinan erat birokrasi dan korporasi ini menyulitkan para wartawan
mengungkap skandal degradasi ekologis yang melibatkan aparat
pemerintah dan pengusaha. Kebiasaan wartawan menonjolkan
sensasionalisme dalam pemberitaan dan menjalankan liputan yang sekadar
berpatokan pada peristiwa, semakin menjadikan jurnalisme lingkungan
sulit direalisasikan.
4 hal yang sering disajikan media dalam meliput persoalan-persoalan
lingkungan:
Kalangan reporter lingkungan sering mengabaikan pendapat-
pendapat ilmiah yang sebenarnya sangat berbeda dengan
pemikiran kalangan penganut environmentalisme.
Sangat sedikit jurnalis yang memiliki latar belakang
pengetahuan ilmiah, sehingga mereka gampang dimanipulasi oleh
kalangan aktivis lingkungan;
Kelompok-kelompok aktivis atau pemerhati lingkungan
meningkatkan kampanye kehumasan yang efektif dan didanai
secara baik yang dimulai sejak tahun 1970 dan terus berlanjut
hingga sekarang.
Desakan media untuk meningkatkan sirkulasi dan rating
acapkali menjadikan media menghadirkan laporan-laporan
ekologis sedramatis mungkin.
Kiat Menulis Masalah Lingkungan Hidup:
Jurnalis harus mampu mempopulerkan masalahnya dengan
menggunakan peristilahan yang tepat dan pengalihan gagasan/
konsep yang populer, sehingga dimengerti oleh pembaca/ pemirsa.
Jurnalis harus berhati-hati terhadap penerjemahan istilah
asing,dan meminta pertimbangan para pakar. Istilah-istilah ilmiah
nama spesies, zat kimia, dll, harus ditulis dengan kesepakatan dari
komunitas yng bersangkutan.
Jurnalis harus bisa mendekatkan persoalan pada khalayak
dengan menjadikan masalah itu sebagai masalah lingkungan di
tingkat lokal dan tingkat pengaruhnya.
Menampilkan drama dalam reportase, yakni drama tentang
manusia.
Meletakkan manusia sebagai pusat berita
Menggunakan foto, gambar, dan ilustrasi untuk menarik
perhatian pembaca/ pemirsa terhadap berita, seperti foto manusia
dengan lingkungannya atau esi foto,
Menggunakan verifikasi berlapis menggunakan bahan
pustaka, riset, narasumber/ para pakar. (Diolah dari
greenpressnetwork dan berbagai sumber lainnya)

Anda mungkin juga menyukai