PENDAHULUAN
1
Kemudian semprit dan jarum bekas, harus dimasukkan ke dalam wadah dan
dihancurkan dengan prosedur terjtentu untuk mencegah digunakan ulang
2. Semprit dan jarum sekali pakai (disposable) bukan AD
Semprit ini banyak digunakan untuk penyuntikan obat dan vaksinasi. Beberapa
merek yang sering dlgunakan antara lain Terumo dan BD. Sebaiknya semprit jenis ini
hanya digunakan untuk mencampur vaksin dan pelarutnya. Kemudian semprit dan
jarum bekas harus dimasukkan ke dalam wadah dan dihancurkan dengan prosedur
tertentu, untuk mencegah digunakan ulang. Penyuntikan pada bayi dan anak
sebaiknya dengan semprit AD.
3. Prefilled syringe (PFS) auto disable (AD)
Alat suntik ini sudah terpasang jarum dan sudah diisi vaksin oleh pabrik sebanyak 1
dosis untuk satu kali penyuntikan. setelah disuntikan tidak bisa diisi ulang sehingga
tidak bisa dipakai lagi. Karena sudah diisi dengan 1 dosis dari pabriknya maka tidak
perlu menghisap vksin dan botol atau ampul sehingga menghemat waktu, dan
dosisnya sudah tepat. Contoh vaksin Hepatitis B Uniject produksi Biofarma.
Kemudian semprit bekas harus dimasukkan ke dalam kotak Iimbah dan dihancurkan
dengan prosedur tertentu, untuk mencegah melukai dan mengkontaminasi orang lain.
2
perubahan wama VVM sama atau lebih gelap dari tepinya (kondisi C dan D), atau
label pernah terendam air, vaksin tidak boleh digunakan.
3. Tanyakan identitas bayi/anak apakah sesuai dengan nama yang terdapat dalam
KMS, kartu atau buku imunisasi, untuk menghindari pemberian vaksin yang tidak
sesuai.
4. Tanyakan kondisi bayi/anak sekarang dan beberapa hari sebelumnya, imunisasi
yang telah didapat, jarak dengan imunisasi sekarang, KIPI yang pernah tejadi, dan
informasi yang berkaitan dengan indikasi kontra untuk vaksin yang akan diberikan.
Sebaiknya disertai pertanyaan singkat rutin pediatrik :asupan nutrisi, pola tidur, miksi,
defekasi dan tumbuh kembang.
5. Berikan penjelasan vaksin yang akan diberikan, teknik penyuntikan manfaat,
kemungkinan KIPI yang bisa terjadi, cara mencegah dan pertolongan pertama bila
terjadi KIPI (informed consent).
6. Lakukan pemeriksaan fisik rutin untuk memeriksa kesehatan bayi/anak secara
umurn, sambil mencari indikasi kontra imunisasi dan memeriksa bagian tubuh yang
akan disuntik
7. Sebelum membuka bungkus semprit atau jarum perhatikan apakah kemasannya
masih utuh dan rapat. Bila kemasanya sobek, tidak utuh atau rusak, sebaiknya jarum
atau semprit tidak digunakan.
8. Jangan menyentuh jarum sedikitpun. Buang jarum yang telah tersentuh benda
tidak steril kedalam kotak limbah kemudian dihancurkan.
9. Baca nama vaksin dan ambil pelarut yang khusus untuk vaksin tersebut. Campur
vaksin dengan pelarutnya, boleh menggunakan semprit dan jarum bukan AD. tetapi
semprit dan jarum yang telah digunakan untuk melarutkan tidak boleh untuk
menyuntik Kocok vaksin sehinnga larut homogen. Tulis tanggal dan jam melarutkan
vaksin.
10. Baca nama vaksin, ambil 1 dosis vaksin untuk 1 kali penyuntika, Jangan
menghisap lebih dari 1 dosis vaksin ke dalam semprit. Jangan meninggalkan Jarum
pada botol atau ampul vaksin untuk pengambilan vaksin benikutnya.
11. Jangan menggunakan semprit bekas untuk menghisap vaksin atau menyuntikkan,
walaupun sudah disterilkan ulang atau mengganti dengan jarum baru yang steril.
12. Jangan mencampur sisa vaksin dari 2 botol atau ampul, walaupun vaksinnya
sama.
13. Posisi bayi dan anak yang akan diimunisasi untuk bayi kecil lebih baik dalam
gendongan orangtua/pengasuh dipeluk dengan posisi dada bayi menempel di dada
orangtua/pengasuh. Untuk bayi/anak yang sudah bisa duduk sebaiknya duduk dan
dipeluk dipangkuan orangtua dengan dada dan wajah menghadap ke dada
orangtua/pengasuh. Salah satu tangan bayi/anak dikepit oleh ketiak orangtua/
pengasuh agar tidak mudah berontak, kedua kaki dikepit diantara kedua paha
orangtua/pengasuh, atau dipegang oleh orangtua/ pengasuh. Bagian yang akan
disuntik (paha, lengan) dipegang oleh penyuntik. Bila anak cenderung berontak,
penyuntik dapat meminta bantuan orangtua/pengasuh, paramedis atau orang lain
untuk membantu memegang siku atau lutut dekat bagian yang akan disuntik. Cara
memegang jangan membuat bayi/anak kesakitan atau ketakutan.
3
14. Untuk mengurangi ketakutan, alihkan perhatian anak dengan mengajak bicara,
atau bermain dengan mainan.Jangan diancam atau dipaksa sehingga membuat anak
ketakutan.
15. Untuk mengurangi rasa nyeri dapat diberikan krim EMLA (eutelic mixture of
local anesthesia) 1 jam sebelumnya, lidokain topikal 10 menit sebelumnya, etil klorid
spray beberapa detik sebelumnya,atau ditekan dibagian yang akan disuntik selama 10
detik sebelum disuntikan. Pada bayi baru lahir dapat diberikan sukrosa.
16. Bersihkan bagian yang akan di suntik dengan desinfektan/antiseptik tunggu
sampai mengering
17. Untuk mengurangi rasa nyeri otot harus dalam keadaan lemas, dengan mengatur
posisi lengan sedikit fleksi pada sendi siku. atau posisi tungkai sedikit rotasi ke
dalam. Selain itu kulit sebaiknya diregangkan kesamping kulit untuk mengurangi rasa
nyeri.
18. Penyuntikan menggunakan semprit dan jarum AD yang belum pernah digunakan
sama sekali. Penyuntikan menggunakan semprit yang sudah diisi vaksin (PFS) dan
pabrik vaksin (bukan AD), hanya sekali pakai langsung dimasukkan ke kotak limbah
kemudian dihancurkan.
19. Sudut penyuntikan disesuaikan dengan prosedur tiap vaksin: intradermal (sekitar
15 derajat), subkutan (45 derajat) atau intra muskular (60 90 derajat). Kedalaman
penyuntikan subkutan dan intra muskular harus disesuaikan dengan ketebalan lemak
dan otot bayi /anak.
20. Untuk mencegah vaksin keluar lagi setelah disuntikan, sebelum penyuntikan kulit
bayi/anak digeser kesamping (metode Z-tract), setelah penyuntikan kulit dilepaskan
lagi ke posisi semula sehingga vaksin yang telah masuk ke dalam otot atau subkutan
tidak dapat keluar lagi.
21. Luka bekas suntikan ditekan agak kuat dengan kapas dan desinfektan agar darah
tidak keluar lagi. Dan akan mengurangi rasa nyeri jangan menekan luka berdarah
dengan jari atau bahan tidak steril. Luka bekas suntikan sebaiknya ditutup dengan
plester.
22. Catat vaksin yang telah disuntikan dan tanggal penyuntikan dalam KMS atau
buku imunisasi dan laporan imunisasi. Lebih baik bila dilengkapi dengan nama
dagang vaksin, nomor batch/lot/serie, produsen, dosis, bagian tubuh yang disuntik,
paraf dokter/paramedis yang bertanggung jawab.
23. Setelah penyuntikan lebih baik bila bayi/anak tidak Iangsung pulang, menunggu
sekitar 15 menit untuk deteksi kemungkinan terjadinya KIPI yang segera.
24. Sisa vaksin multidosis di pelayanan Puskemas, Klinik, Rumah Sakit:
1. BCG setelah dilarutkan dapat dipakai dalam 3 jam
2. Campak dan meningokokus ACW135Y setelah dilarutkan dapat dipakai dalam 8
jam.
3. Polio bisa dipakai dalam 2 minggu.
4. DPT, DT, TT, hepatitis B, DPT-HepB, bisa dipakai dalam 4 minggu.
Sisa vaksin yang dibawa ke lapangan (Posyandu, PIN, crash program), tetapi belum
dibuka segera dipakai pada kegiatan berikutnya. Vaksin yang sudah dibuka/dilarutkan
harus dimusnahkan hari itu juga. Sisa vaksin tersebut di atas masih bisa dipakai dengan
syarat-syarat vaksin belum kadaluwarsa, disimpan dalam suhu 2C - 8C, VVM warna
4
segi empat lebih muda (kondisi VVM A atau B), tidak pernah terendam air dan sterilitas
terjaga.
5
melalui pipa besi tanpa dibakar. Cara ini masih kurang aman, bila banjir ada
kemungkinan mengkontaminasi lingkungan.
PENDAHULUAN
Keamanan vaksin sudah menjadi perhatian sejak lama, dan masalah mediko legal
vaksin di Indonesia mulai mencuat di tahun 1990 , sehingga mulai dibentuk Komda
KIPI / KN KIPI yang merupakan Badan independen dibentuk Departemen kesehatan
yang anggotanya terdiri IDAI, Subdit Imunisasi Depkes, BPOM, dll . Pembentukan itu
kemudian diikuti oleh organisasi tingkat propinsi bahkan di tingkat kabupaten. Seiring
dengan kewaspadaan terhadap aspek medikolegal , imunisasi telah diakui sebagai upaya
pencegahan penyakit yang paling efektif yang berdampak terhadap peningkatan
kesehatan masyarakat.
Faktor terpenting yang harus dipertimbangkan dalam pembuatan vaksin adalah
keseimbangan antara imunogenisitas (daya membentuk kekebalan) dengan
reaktogenisitas (reaksi simpang vaksin). Untuk mencapai imunogenisitas yang tinggi
vaksin harus berisi antigen yang efektif untuk merangsang respons imun resipien
sehingga tercapai nilai antibodi di atas ambang pencegahan untuk jangka waktu yang
cukup panjang. Vaksin harus diupayakan agar tidak menimbulkan efek simpang yang
berat, dan jauh lebih ringan dibandingkan dengan gejala klinis penyakit secara alami.
Pada kenyataannya tidak ada vaksin yang benar-benar ideal, namun dengan kemajuan
bioteknologi saat ini telah dapat dibuat vaksin yang efektif dan relatif aman.
Seiring dengan cakupan imunisasi yang tinggi maka penggunaan vaksin juga
meningkat , sebagai akibatnya kejadian yang berhubungan dengan imunisasi juga
meningkat. Dalam menghadapi hal tersebut penting diketahui apakah kejadian tersebut
berhubungan dengan vaksin yang diberikan ataukah terjadi secara kebetulan.
Reaksi simpang yang dikenal sebagai kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) atau
adverse events following immunization (AEFI) adalah kejadian medik yang berhubungan
dengan imunisasi baik berupa efek vaksin ataupun efek samping, toksisitas, reaksi
sensitivitas, efek farmakologis; atau kesalahan program, koinsidensi, reaksi suntikan, atau
hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan.
Perlu juga dipertimbangkan adanya efek tidak langsung dari vaksin yang disebabkan
Kesalahan teknik pembuatan, pengadaan dan distribusi vaksin, kesalahan prosedur,
kesalahan teknik imunisasi, atau kebetulan.
Untuk mengetahui hubungan antara imunisasi dengan KIPI diperlukan pencatatan
dan pelaporan dari semua reaksi simpang yang timbul setelah pemberian imunisasi (yang
merupakan kegiatan dari surveilans KIPI). Surveilans KIPI tersebut sangat membantu
6
program imunisasi, khususnya untuk memperkuat keyakinan masyarakat akan pentingnya
imunisasi sebagai upaya pencegahan penyakit yang paling efektif.
DEFINISI KIPI
Untuk kepentingan operasional maka Komnas Komnas KIPI menentukan bahwa
kejadian ikutan pasca imunisasi adalah Reaksi simpang yang dikenal sebagai kejadian
ikutan pasca imunisasi (KIPI) atau adverse events following immunization (AEFI) adalah
kejadian medik yang berhubungan dengan imunisasi baik berupa efek vaksin ataupun
efek samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek farmakologis; atau kesalahan program,
koinsidensi, reaksi suntikan, atau hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan.
Pada keadaan tertentu lama pengamatan KIPI dapat mencapai masa 42 hari
(artritis kronik pasca vaksinasi rubela), atau bahkan sampai 6 bulan (infeksi virus campak
vaccine-strain pada pasien imunodefisiensi pasca vaksinasi campak, dan polio paralitik
serta infeksi virus polio vaccine-strain pada resipien non imunodefisiensi atau resipien
imunodefisiensi pasca vaksinasi polio).
Pada umumnya reaksi terhadap obat dan vaksin dapat merupakan reaksi simpang
(adverse events), atau kejadian lain yang bukan terjadi akibat efek langsung vaksin.
Reaksi simpang vaksin antara lain dapat berupa efek farmakologi, efek samping (side-
effects), interaksi obat, intoleransi, reaksi idiosinkrasi, dan reaksi alergi yang umumnya
secara klinis sulit dibedakan satu dengan lainnya. Efek farmakologi, efek samping, serta
reaksi idiosinkrasi umumnya terjadi karena potensi vaksin sendiri, sedangkan reaksi
alergi merupakan kepekaan seseorang terhadap unsur vaksin dengan latar belakang
genetik. Reaksi alergi dapat terjadi terhadap protein telur (vaksin campak, gondong,
influenza, dan demam kuning), antibiotik, bahan preservatif (neomisin, merkuri), atau
unsur lain yang terkandung dalam vaksin.
Kejadian yang bukan disebabkan efek langsung vaksin dapat terjadi karena
kesaiahan teknik pembuatan, pengadaan dan distribusi serta penyimpanan vaksin,
kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan imunisasi, atau semata-mata kejadian yang
timbul secara kebetulan.
Persepsi awam dan juga kalangan petugas kesehatan biasanya menganggap semua
kelainan dan kejadian yang dihubungkan dengan imunisasi sebagai reaksi alergi terhadap
vaksin. Akan tetapi telaah laporan KIPI oleh Vaccine Safety Comittee, Institute of
Medicine (IOM) USA menyatakan bahwa sebagian besar KIPI terjadi secara kebetulan
saja (koinsidensi). Kejadian yang memang akibat imunisasi tersering adalah akibat
kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan (programmatic errors).
EPIDEMIOLOGI KIPI
Kejadian ikutan pasca imunisasi akan timbul setelah pemberian vaksin dalam
jumlah besar. Penelitian efikasi dan keamanan vaksin dihasilkan melalui fase uji klinis
yang lazim, yaitu fase 1, 2, 3, dan 4. Uji klinis fase 1 dilakukan pada binatang percobaan
sedangkan fase selanjutnya pada manusia. Uji klinis fase 2 untuk mengetahui keamanan
vaksin (reactogenicity and safety), sedangkan pada fase 3 selain keamanan juga
dilakukan uji efektivitas (imunogenisitas) vaksin.
7
Pada jumlah penerima vaksin yang terbatas mungkin KIPI belum tampak, maka
untuk menilai KIPI diperiukan uji klinis fase 4 dengan sampel besar yang dikenal sebagai
post-marketing surveilance (PMS), Tujuan PMS adalah untuk memonitor dan mengetahui
keamanan vaksin setelah pemakaian yang cukup luas di masyarakat (dalam hal ini
program imunisasi). Data PMS dapat memberikan keuntungan bagi program apabila
semua KIPI (terutama KIPI berat) dilaporkan, dan masalahnya segera diselesaikan.
Sebaliknya akan merugikan apabila program tidak segera tanggap terhadap masalah KIPI
yang timbul sehingga terjadi keresahan masyarakat terhadap efek samping vaksin dengan
segala akibatnya.
KLASIFIKASI KIPI
Sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan teknik
pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program penyimpanan,
pengelolaan, dan tata laksana pemberian vaksin. Kesalahan tersebut dapat terjadi
pada berbagai tingkatan prosedur imunisasi, misalnya
dosis antigen (terlalu banyak)
8
lokasi dan cara menyuntik
sterilisasi semprit dan jarum suntik
jarum bekas pakai
tindakan aseptik dan antiseptic
kontaminasi vaksin dan peralatan suntik
penyimpanan vaksin
pemakaian sisa vaksin
jenis dan jumlah pelarut vaksin
tidak memperhatikan petunjuk produsen (petunjuk pemakaian, indikasi
kontra, dll.)
Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila
terdapat kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang sama.
b. Reaksi suntikan
Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik langsung
maupun tidak langsung dan harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi suntikan
langsung misalnya rasa sakit, bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan,
sedangkan reaksi suntikan tidak langsung misalnya rasa takut, pusing, mual,
sampai sinkope. Reaksi ini tidak berhubungan dengan kandungan yang terdapat
pada vaksin, sering terjadi pd vaksinasi masal yaitu :
Syncope /fainting
sering pada anak > 5 tahun ,
terjadi beberapa menit post imunisasi ,
tidak perlu penanganan khusus.
Hindari stress saat anak menunggu,
Hindari trauma akibat jatuh/ posisi sebaiknya duduk.
Hiperventilasi akibat ketakutan
beberapa anak kecil terjadi muntah, breath holding spell, pingsan.
Kadang menjerit ,lari , bahkan reaksi seperti kejang( Penderita ini
perlu diperiksa)
Beberapa anak takut jarum, gemetar, histeria.
9
Penting penjelasan dan penenangan
Pencegahan reaksi KIPI Reaksi suntikan dengan :
Teknik penyuntikan yang benar
Suasana tempat penyuntikan yang tenang
Atasi rasa takut yg muncul pd anak yg lebih besar
Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat diprediksi
terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan secara klinis biasanya
ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebat seperti reaksi anafilaktik
sistemik dengan risiko kematian. Reaksi simpang ini sudah teridentifikasi dengan baik
dan tercantum dalam petunjuk pemakaian tertulis oleh produsen sebagai indikasi kontra,
indikasi khusus, perhatian khusus, atau berbagai tindakan dan perhatian spesifik lainnya
termasuk kemungkinan interaksi dengan obat atau vaksin lain. Petunjuk ini harus
diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana imunisasi.
2. Reaksi Sistemik :
o panas pada sekitar 10%, kecuali DPT hampir 50%, juga reaksi lain spt
iritabel, malaise, gejala sistemik..
o MMR dan Campak , reaksi sistemik disebabkan infeksi virus vaksin.
Terjadi panas dan atau rash dan konjunctivitis pada 5-15% dan lebih
ringan dibandingkan infeksi campak tetapi berat pada penderita
imunodefisiensi.
o Pada Mumps terjadi reaksi vaksin pembengkaan parotis gland, rubella
terjadi rasa sakit sendi 15 % dan pembengkaan limponodi.
o OPV kurang dari 1% diare, pusing dan sakit otot.
10
Pencegahan terhadap reaksi vaksin
2. Klasifikasi kausalitas
Vaccine Safety Committee 1994 membuat klasifikasi KIPI yang sedikit berbeda dengan
laporan Comittee Institute of Medicine (1991) dan menjadi dasar klasifikasi saat ini, yaitu
Tidak terdapat bukti hubungan kausal ( unrelated )
Bukti tidak cukup untuk menerima atau menolak hubungan kausal ( unlikely)
Bukti memperkuat penolakan hubungan kausal ( possible)
Bukti memperkuat penerimaan hubungan kausal ( probable)
Bukti memastikan hubungan kausal ( very like/certain)
11
Tabel 1. : KIPI pada vaksin DT/Td/TT, Campak , OPV/IPV, DPT. Hepatitis
B dan HiB berdasarkan hubungan kausalitas
12
M GB akut
neuritis Ranjatan
Brakial dan keadaan
mirip
ranjatan
yang tak
biasa
(unusual
shock like
state)
Dikutip dengan modifikasi dari laporan Vaccine Safety Comittee, Division of Health
Promotion and Disease Prevention, Institute of Medicine, National Academy of Science
USA, dalam Stratton KR, Hows CJ, Johnston RB Jr, 1994.
Keterangan :
KIPI=kejadian ikutan pasca imunisasi SSPE=Subacute sclerosing panencephalitis
IDDM=Insulin-dependent diabetes mellitus
DT=vaksin difteri dan Td=vaksin tetanus untuk TT=vaksin tetanus untuk anak dan
Polio = vaksin polio Hepatitis B=vaksin Campak=vaksin campak
SSP=Susunan saraf Kejang=Residual seizure SIDS=Sudden infant death syndrome
E. GEJALA KLINIS KIPI
Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat dibagi
menjadi gejala lokal, sistemik, reaksi susunan syaraf pusat, serta reaksi lainnya .Pada
umumnya makin cepat terjadi KIPI makin berat gejalanya.
Baku keamanan suatu vaksin dituntut lebih tinggi daripada obat. Hal ini
disebabkan oleh karena pada umumnya produk farmasi diperuntukkan orang sakit
sedangkan vaksin untuk orang sehat terutama bayi. Karena itu toleransi terhadap efek
samping vaksin harus lebih kecil daripada obat obatan untuk orang sakit. Mengingat tidak
13
ada satupun jenis vaksin yang aman tanpa efek samping, maka apabila seorang anak telah
mendapat imunisasi perlu diobservasi beberapa saat, sehingga dipastikan bahwa tidak
terjadi KIPI (reaksi cepat). Berapa lama observasi sebenarnya sulit ditentukan, tetapi
pada umumnya setelah pemberian setiap jenis imunisasi harus dilakukan observasi
selama 15 menit.
Untuk menghindarkan kerancuan maka gejala klinis yang dianggap sebagai
KIPI dibatasi dalam jangka waktu tertentu timbulnya gejala klinis (Tabel 2. )
Tabel 2 : Gejala Klinis menurut jenis vaksin dan saat timbulnya KIPI
ANGKA KEJADIAN
KIPI yang paling serius pada anak adalah reaksi anaflaktoid. Angka kejadian
reaksi anafilaktoid pada DPT diperkirakan 2 dalam 100.000 dosis , tetapi yang
benar-benar reaksi anafilaktik hanya 1-3 kasus diantara 1 juta dosis. Anak yang
lebih besar dan orang dewasa lebih banyak mengalami sinkope, segera atau
14
lambat. Episode hipotonik-hiporesponsif juga tidak jarang terjadi, secara umum
dapat terjadi 4-24 jam setelah imunisasi. Kasus KIPI polio berat dapat terjadi pada
1 per 2,4 juta dosis vaksin (CDC Vaccine Information Statement 2000), sedangkan
kasus KIPI hepatitis B pada anak dapat berupa demam ringan sampai sedang
terjadi 1/14 dosis vaksin, dan pada dewasa 1/100 dosis (CDC Vaccine Information
Statement 2000). Kasus KIPI campak berupa demam terjadi pada 1/6 dosis, ruam
kulit ringan 1/20 dosis, kejang yang disebabkan demam 1/3000 dosis, dan reaksi
alergi serius 1/1.000.000 dosis.
Tabel berikut dapat digunakan :
untuk antisipasi reaksi imunisasi
Identifikasi kejadian yang tidak berhubungan dengan immunisasi
Perbandingan dengan kejadian /rates untuk kepentingan pelaporan
dan penyelidikan bila ternyata lebih besar kejadiannya
15
Dikutip dari : Background rates of adverse events following
immunization, supplementary information on vaccine
safety.. Part 2 tahun 2000; WHO
Keterangan :
(a) Reaksi (kecuali syok anafilaktik) tidak terjadi bila anak sudah kebal ( 90
% anak yang menerima dosis kedua); anak umur diatas 6 tahun jarang
mengalami kejang demam.
(b)Risiko VAPP lebih tinggi pada penerima dosis pertama (1 per 1,4--3,4 juta
dosis), sedangkan risiko pada penerima dosis-dosis selanjutnya 1 per 6,7
juta dosis.
(c) Kejang umumnya diawali dengan demarn, frekuensinya tergantung pada
riwayat kejang sebelumnya, riwayat dalam keluarga serta umur, dengan risiko
Untuk mengurangi risiko timbulnya KIPI maka harus diperhatikan apakah resipien
termasuk dalam kelompok risiko. Yang dimaksud dengan kelompok risiko adalah:
3. Pasien Imunokompromais
Pada pasien imunokompromais dapat
terjadi sebagai akibat penyakit dasar atau sebagai akibat perigobatan
imunosupresan (kemoterapi, kortikosteroid jangka panjang). Jenis
vaksin hidup merupakan indikasi kontra untuk pasien
16
imunokompromais, untuk polio dapat diberikan IPV bila vaksin tersedia.
Imunisasi tetap diberikan pada pengobatan kortikosteroid dosis kecil
dan pernberian dalarn waktu pendek. Tetapi imunisasi harus ditunda
pada anak dengan pengobatan kortikosteroid sistemik dosis 2 mg/kg
berat badan/hari atau prednison 20 mg/hari selama 14 hari. Imunisasi
dapat diberikan setelah 1 bulan pengobatan kortikosteroid dihentikan
atau 3 bulan setelah pemberian kemoterapi selesai
17
(imunisasi dapat dilakukan)
Berlaku umum untuk semua vaksin
DPT, Polio, Campak, dan Hepatitis B
Indikasi kontra Bukan indikasi kontra
Ensefalopati dalam 7 hari pasca DPT
sebelumnya
Perhatian khusus
Demam >40,5 C dalam 48 jam pasca DPT Demam < 40,5 C pasca DPT sebelumnya
sebelumnya, yang tidak berhubungan Riwayat kejang dalam keluarga
dengan penyebab lain Riwayat SIDS dalam keluarga
Kolaps dan keadaan seperti syok (episode Riwayat KIPI dalam keluarga pasca DPT
hipotonik-hiporesponsif) dalam 48 jam
pasca DPT sebelumnya
Kejang dalam 3 hari pasca DPT
sebelumnya
Menangis terus>3 jam dalam 48 jam pasca
DBT sebelumnya
Sindrom guillain-barre dalam 6 minggu
pasca vaksinasi
Vaksin polio
Indikasi kontra Bukan indikasi kontra
Infeksi HIV atau kontak HIV serumah Menyusui
Imunodefisiensi (keganasan hermatelogi Sedang balam terapi anti biotik
atau tumor padat, imuno-defisiensi Diare ringan
kongenital, terapi imunosupresan jangka
panjang)
Imunodefisiensi penghuni serumah
Perhatian khusus
Kehamilan
Campak
Perhatian khusus
Mendapat transfusi darah/produk darah
atau imunoglobulin (dalam 3-11 bulan,
tergantung produk darah dan dosisnya)
Trambositopenia
Riwayat purpura trombositopenia
Hepatitis B
Indikasi kontra Bukan indikasi kontra
Reaksi anafilaktoid terhadap ragi Kehamilan
18
tetanus, B. Neuritis brakialis 0-28 hari 2-28 hari
DTaP, DTP, C. Semua komplikasi akut atau Tak Tak terbatas
DT, Td, TT sekuele (termasuk kematian) akibat terbatas
kejadian diatas
Belum dapat
D. Semua indikasi kontra yang telah Tak diaplikasi
dicantumkan produsen dalam terbatas
kemasan vaksin
II. pertusis, A. Anafilaksis atau syok anafilaksis 0-7 hari 0-4 jam
DtaP, P, B. Ensefalopati (atau ensefalitis) 0-7 hari 2-72 jam
DTP/Hib C. Semua komplikasi akut sekuele Tak Tak terbatas
(termasuk kematian) akibat terbatas
kejadian diatas Belum dapat
D. Semua indikasi kontra yang telah Tak diaplikasi
dicantumkan produsen dalam terbatas
kemasan vaksin
III. MMR, A. Anafilaksi atau syok anafilaksis 0-7 hari 0-4 jam
MR, M, R B. Ensefalopati (atau ensefalitis) 0-15 hari 5-15 jam
C. Semua komplikasi akut sekuele Tak Tak terbatas
(termasuk kematian) akibat terbatas
kejadian diatas Belum dapat
D. Semua indikasi kontra yang telah Tak diaplikasi
dicantumkan produsen dalam terbatas
kemasan vaksin
IV. MMR, A. Artritis kronik 0-42 hari 7-42 hari
MR, R B. Semua komplikasi akukt /sekuele Tak Tak terbatas
(termasuk kematian) akibat terbatas
kejadian diatas Belum dapat
C. Semua indikasi kontra yang telah Tak diaplikasi
dicantumkan prodisen dalam terbatas
kemasan vaksin
19
-kasus dalam lingkungan yang Tak Tak terbatas
berhubungan dengan vaksin terbatas
20
XI. Varisela A. Tak ada kondisi spesifik untuk Belum Belum dapat
kompensasi dapat diaplikasi
diaplikasi Belum dapat
B. Semua indikasi kontra yang telah Tak diaplikasi
dicantumkan produsen dalam terbatas
kemasan vaksin
XIII. Semua A. tak ada kondisi spesifik untuk Belum Belum dapat
vaksin baru kompensasi dapat diaplikasi
rekomendasi diaplikasi Belum dapat
CDC B. semua indikasi kontra yang telah Tak diaplikasi
(imunisasi dicantumkan produsen dalam terbatas
rutin) kemasan vaksin
Dikutip dari Reporting and Compensation Tables, National Childhood Vaccine Injury Act
1986, Comittee from IOM, National Academyof Science USA, dalam Atkinson W, Wolfe
CS, Humiston S, Nelson R, 2000.
Keterangan :
KIPI=kejadian ikutan pasca imunisasi Polio = Vaksin polio hidup (OPV) dan
mati (IPV) T= vaksin tetanus untuk anak Td=
vaksin tetanus untuk dewasa DT= vaksin difteri dan tetanus P= pertusis whole cell
aP=pertusis aselular MMR=vaksin campak, gondong, dan rubela.
PRP=vaksin Hib non konyugasi berupa purifikasi poliribosilribitol fosfat saja
Daftar Pustaka
21
1. Comittee Institute of Medicine, National Academy of Science USA (1991).
Dalam: Stratton KR, Howe CJ, Johnston RB Jr, penyunting. Institute of Medicine
1994. Z.
8. Cody CL, Barraff LJ, Cherry JD. Nature and rates of adverse reactions
associated with DTP and DT immunizations in infants and children. Pediatrics
1981-; 68: 650-60.
22