Disusun Oleh :
Kelompok 4
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2016
KATA PENGANTAR
Assalamu Alaikum Wr. Wb
1
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga
Makalah kelompok kami dapat terselesaikan. Pokok bahasan makalah ini
disesuaikan dengan materi dan kompetensi yang diajarkan pada Pendidikan
Tinggi Keperawatan. Makalah ini berisi tentang materi respirasi telah diberikan
kepada kelompok kami yaitu mencakup materi Askep Gangguan Pencernaan
Anak ( KEP, Labiopalatoskizis, Atresia Esophagus, SPH).
Wassalam
Penyusun
Kelompok 4
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................3
A. Latar Belakang.....................................................................................................3
B. Rumusan Masalah................................................................................................4
C. Tujuan...................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................5
A. Kekurangan Energi Protein (Kep)......................................................................5
B. LABIOPALASTOKIZIS....................................................................................20
C. Atresia Esofagus dan Fistula Trakeoesofagus..................................................28
D. Stenosis Pilorus Hiperatrofi (SPH)...................................................................37
BABIII PENUTUP..........................................................................................................41
A. KESIMPULAN...................................................................................................41
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................42
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap manusia memerlukan makanan untuk pertumbuhan dan perkembangannya.
Makanan tersebut akan diolah dan diubah menjadi energi melalui proses pencernaan.
Proses pencernaan pada manusia dibedakan menjadi dua, yaitu pencernaan mekanik dan
pencernaan kimiawi. Pencernaan mekanik terjadi di rongga mulut. Pada proses ini
memerlukan bantuan lidah dan gigi. Sedangkan pada pencernaan kimiawi terjadi di
rongga mulut, lambung, dan usu. Proses ini memerlukan bantuan zat kimiawi yang
disebut enzim. Semua makhluk hidup memerlukan makanan untuk mempertahankan
hidupnya.
Fungsi utama makanan bagi tubuh adalah untuk pertumbuhan dan menjaga tubuh agar
tetap sehat. Makanan yang masuk ke dalam tubuh kita akan diolah melalui proses
pencernaan. Proses pencernaan adalah proses penghancuran makanan menjadi zat-zat
makanan yang dapat diserap tubuh. Alat yang berfungsi untuk menghancurkan makanan
ini disebut alat pencernaan. Agar makanan yang dicerna dapat diserap oleh tubuh dengan
baik, maka alat pencernaan haruslah dalam keadaan sehat. Melalui alat pencernaan itulah
zat-zat makanan diolah terlebih dahulu, baru kemudian diserap oleh tubuh.
Dan didalam tubuh juga terdapat kelenjar pencernaan, serta dalam proses pencernaan
makanan tidaklah semulus yang kita bayangkan , dalam mencerna makanan saluran
pencernaan makanan ekerja sangat ekstrim dalam mencerna makanan. Dengan hal itu
terkadang pula kita merasakan akibat dari sistem pencernaan makanan yang kurang baik,
yaitu terdapat gangguan pada sistem pencernaan, akibatnya muncullah berbagai macam
penyakit dengan segala penyebab .untuk itu disini kita juga akan membahas itu serta
hubngan pencernaan makanan dengan pencernaannya yang akan mengakibatkan
kegemukan atau hal-hal yang dapat mengakibatkan seseorang menjadi gemuk atau kurus.
Pencernaan pada anak memiliki peran penting yaitu untuk membentuk daya tahan
tubuh. Anak yang memiliki pencernaan yang sehat maka akan mempengaruhi pada
kesehatan anak. Dengan memiliki kesehatan yang sehat maka tumbuh kembang anak
akan optimal. Selain itu anak yang memiliki pencernaan yang sehat akan mempengaruhi
kebutuhan nutrisi yang optimal. Sistem pencernaan sangat mempengaruhi nutrisi yang
dibutuhkan oleh anak, pada sistem pencernaan anak yang sehat maka akan mampu
menyerap gizi dari makanan dan minuman yang dikonsumsi sesuai dengan kebutuhan
tubuh anak apabila mengalami gangguan maka kebutuhan nutrisi terhambat apalagi
diusia anak 0-5 tahun yang termasuk masa emas anak.
Anak yang mengalami gangguan pencernaan akan menghambat tumbuh kembang
anak. Kondisi ini dikarenakan pencernaan berfungsi sebagai pembentukan daya tahan
tubuh, proses penyerapan nutrisi dan mengganggu kecerdasan anak apabila terjadi
ketidakseimbangan gizi karena terhambatnya penyerapan nutrisi pada proses pencernaan.
Gangguan pencernaan pada anak disebabkan karena sistem pencernaan yang belum
sempurna atau konsumsi makanan dan minuman yang memicu terjadinya ganguan
pencernaan. Oleh sebab itulah anak anak membutuhkan waktu penyesuain untuk dapat
beradaptasi dengan makanan yang dikonsumsinya. Gangguan pencernaan tidak dapat
dianggap sepele dikarenakan akan berlangsung terus menerus dan memerlukan
perawatan medis untuk menghindari gangguan kesehatan lainnya. Pada makalah ini
kelompok akan membahas mengenai gangguan apa saja yang terjadi pada pencernaan
anak.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari KEP, Labiopalatoskizis, Atresia Esophagus, SPH?
2. Apa saja etiologi KEP, Labiopalatoskizis, Atresia Esophagus, SPH?
3. Bagaimana patofisiologi dari KEP, Labiopalatoskizis, Atresia Esophagus, SPH?
4. Bagaimana penatalaksanaan dari KEP, Labiopalatoskizis, Atresia Esophagus, SPH?
5. Bagaimana ASKEP dari KEP, Labiopalatoskizis, Atresia Esophagus, SPH?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari KEP, Labiopalatoskizis, Atresia Esophagus, SPH?
2. Mengetahui KEP, Labiopalatoskizis, Atresia Esophagus, SPH?
3. Memahami patofisiologi dari KEP, Labiopalatoskizis, Atresia Esophagus, SPH?
4. Mengetahui penatalaksanaan dari KEP, Labiopalatoskizis, Atresia Esophagus, SPH?
5. Memgetahui ASKEP dari KEP, Labiopalatoskizis, Atresia Esophagus, SPH?
BAB II
PEMBAHASAN
2. Klasifikasi KEP
Menurut Departement Kesehatan RI tahun 1999 :
a. KEP Ringan : BB/U 70 80 % Median WHO-NCHS
b. KEP Sedang: BB/U 60 70 % Median WHO-NCHS
c. KEP Berat : BB/U < 60 % Median WHO-NCHS
3. Jenis-jenis KEP
Beberapa tipe Kurang Energi Protein (KEP) dapat disebutkan bahwa KEP atau
gizi buruk pada tingkat ringan atau sedang belum menunjukkan gejala sakit. Masih
seperti anak-anak lain, masih bermain dan sebagainya, tetapi bila diamati dengan
seksama badannya mulai kurus. Sedangkan bagi KEP yang tingkat berat yang disertai
dengan gejala klinis disebut marasmus atau kwashiorkor, dimasyarakat lebih dikenal
sebagaibusung lapar.
KEP merupakan keadaan tidak cukupnya asupan protein dan kalori yang
dibutuhkan oleh tubuh atau dikenal dengan nama marasmus dan kwasiorkor.
Kwasiorkor disebabkan oleh kekurangan protein, baik dari segi kualitas maupun segi
kuantitas. Sedangkan marasmus disebabkan oleh kekurangan kalori dan protein.
Pada semua derajat maupun tipe KEP ini terdapat gangguan pertumbuhan
disamping gejala-gejala klinis maupun biokimiawi yang khas bagi tipenya. Klasifikasi
KEP digunakan untuk menentukan prevalensi KEP disuatu daerah dengan melihat
derajat beratnya KEP, hingga dapat ditentukan persentase gizi kurang dan berat di
daerah tersebut (Pudjiadi, 2005).
4. Etiologi
a. Pola makan
Anak kurang mendapat asupan protein dan asam amino. Pada bayi yang
masih menyusui umumnya protein diperoleh dari asi. Kurangnya pengetahuan ibu
dalam mengkonsumsimakanan cukup protein untuk dirinya yang masih menyusui
ataupun asupan anak balitanya sangat berpengaruh terhadap terjadinya
kwashiorkor, terutama saat peralihandari asi ke makanan pengganti asi. Menurut
konsep klasik, diet yang mengandungcukup energi tetapi kurang protein akan
menyebabkan anak menjadi penderitakwashiorkor, sedangkan diet kurang energi
walaupun zat-zat gizi esensialnya seimbangakan menyebabkan anak menjadi
menderitamarasmus.
b. Faktor sosial dan ekonomi
Anak yang hidup di negara berkembang dan negara miskin umunya
mengalami masalahkep karena kemiskinan keluarga membuat kebutuhan anak
akan nutrisi yang adekuattidak terpenuhi. Dalam world food conference di roma
1974 telah dikemukakan bahwameningkatnya jumlah penduduk yang cepat tanpa
diimbangi dengan bertambahnyapersediaan bahan makanan yang memadai
merupakan sebab utama krisis pangan.
c. Faktor infeksi dan penyakit lain
Infeksi dapat menurunkan derajat gizi anak, begitupun sebaliknya, kep,
walaupun dalamderajat ringan akan menurunkan imunitas tubuh terhadap infeksi.
5. Manifestasi klinis
a. Kwashiorkor
Marasmus ialah suatu bentuk kurang kalori protein yang berat.keadaan ini
merupakan hasil akhir dari interaksi antara kekurangan makanan dan penyakit
infeksi. Selain faktor lingkungan, ada beberapa faktor lain pada diri anak sendiri
yang dibawa sejak lahir, diduga berpengaruh terhadap terjadinya marasmus.
(Nurarif A. 2015).
c. Kwashiorkor marasmus
KEP
Penurunan
Energi menurun
jumlah protein
tubuh
MARASMUS
Terjadi perubahan
biokimia dalam tubuh
Cadangan protein (otot)
terpakai terus menerus untuk
memperoleh asam amino
KWASHIORKOR
Mempertahankan status gizi anak yang sudah baik tetap baik dengan
menggiatkan kegiatan surveilance gizi di institusi kesehatan terdepan
(puskesmas, puskesmas pembantu).
Mengurangi resiko untuk mendapat penyakit, mengkoreksi konsumsi pangan
bila ada yang kurang, penyuluhan pemberian makanan pendamping asi.
Memperbaiki/mengurangi efek penyakit infeksi yang sudah terjadi supaya
tidak menurunkan status gizi.
Merehabilitasi anak yang menderita kep pada fase awal/bagaimana.
Meningkatkan peran serta masyarakat dalam program keluarga berencana.
Meningkatkan status ekonomi masyarakat melalui pemberdayaan segala
sektor ekonomi masyarakat (pertanian, perdagangan, dan lain-lain).
22.
23. Asuhan Keperawatan KEP
1. Pengkajian
a. Anamnesis susunan diet sejak lahir, umur
b. factor-faktor penunjang/penyebab medis dan non medis
c. Pemeriksaan fisik; rambut, kulit, hepar, TB BB, LLA
d. Pemeriksaan lab/penunjang
2. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
a. Gangguan keseimbangan cairan berhubungan dengan edema
b. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan peningkatan kebutuhan
protein. DO : kulit dan membrane mukosa kering, edema, anemia, rambut
mudah tercabut, tipis dan kusam,
c. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan edema (perpindahan cairan
dari intravaskuler ke intertisial). DO:kulit kering bersisik, rambut dan kuku
mudah patah, pruritis,kulit kemerahan
d. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan penurunan kondisi tubuh yang
lemah. DO : feses encer, kulit kendor, anoreksia
e. Resiko keterlambatan perkembangan berhubungan dengan gangguan motorik
24. 25. Diagnosa 26. NOC 27. NIC
N Keperawatan
68.
69.
70.
71. Labiopalatoskisis biasa juga disebut dengan bibir sumbing
adalah malformasi yang disebabkan oleh gagalnya prosesus nasal median dan
maksilaris untuk menyatu selama perkembangan embrionik.
72.
2. Klasifikasi bibir sumbing
a. Berdasarkan organ yang terlibat
1) Celah di bibir (labioskizis)
2) Celah di gusi (gnatoskizis)
3) Celah di langit (palatoskizis)
4) Celah dapat terjadi lebih dari satu organ misal terjadi di bibir dan langit-langit
(labiopalatoskizis)
b. Berdasarkan lengkap/tidaknya celah terbentuk
1) Unilateral Incomplete. Apabila celah sumbing terjadi hanya di salah satu sisi
bibir dan tidak memanjang hingga ke hidung.
2) Unilateral complete. Apabila celah sumbing terjadi hanya di salah satu bibir
dan memanjang hingga ke hidung.
3) Bilateral complete Apabila celah sumbing terjadi di kedua sisi bibir dan
memanjang hingga ke hidung
73.
74.
75.
76.
77.
78.
3. Etiologi
a. Faktor genetik atau keturunan
79. Dimana material genetic dalam kromosom yang
mempengaruhi / dimana dapat terjadi karena adaya adanya mutasi gen ataupun
kelainan kromosom. Pada setiap sel yang normal mempunyai 46 kromosom yang
terdiri dari 22 pasang kromosom non-sex ( kromosom 1 s/d 22 ) dan 1 pasang
kromosom sex ( kromosom X dan Y ) yang menentukan jenis kelamin. Pada
penderita bibir sumbing terjadi Trisomi 13 atau Sindroma Patau dimana ada 3
untai kromosom 13 pada setiap sel penderita, sehingga jumlah total kromosom
pada tiap selnya adalah 47. Jika terjadi hal seperti ini selain menyebabkan bibir
sumbing akan menyebabkan gangguan berat pada perkembangan otak, jantung,
dan ginjal. Namun kelainan ini sangat jarang terjadi dengan frekuensi 1 dari
8000-10000 bayi yang lahir.
b. Kegagalan fase embrio yang penyebabnya belum diketahui
c. Kekurangan nutrisi contohnya defisiensi Zn dan B6, vitamin C pada waktu hamil,
kekurangan asam folat.
d. Akibat gagalnya prosessus maksilaris dan prosessus medialis menyatu
e. Beberapa obat (korison, anti konsulfan, klorsiklizin).
f. Mutasi genetic atau teratogen (agen/faktor yang menimbulkan cacat pada
embrio).
g. Infeksi pada ibu yang dapat mempengaruhi janin, contohnya seperti infeksi
Rubella dan Sifilis, toxoplasmosis dan klamidia
h. Radiasi
i. Stress emosional
80.
4. Patofisiologi
a. kegagalan penyatuan atau perkembangan jaringan lunak dan atau tulang selama
fase embrio pada trimester I.
b. Terbelahnya bibir dan atau hidung karena kegagalan proses nasal medial dan
maksilaris untuk menyatu terjadi selama kehamilan 6-8 minggu.
c. Palatoskisis adalah adanya celah pada garis tengah palato yang disebabkan oleh
kegagalan penyatuan susunan palato pada masa kehamilan 7-12 minggu.
d. penggabungan komplit garis tengah atas bibir antara 7-8 minggu masa kehamilan
5. Manifestasi Klinik
a. Deformitas pada bibir
b. Kesukaran dalam menghisap/makan
c. Kelainan susunan archumdentis.
d. Distersi nasal sehingga bisa menyebabkan gangguan pernafasan.
e. Gangguan komunikasi verbal
f. Regurgitasi makanan
1) Pada Labioskisis
a) Distorsi pada hidung
b) Tampak sebagian atau keduanya
c) Adanya celah pada bibir
2) Pada Palatoskisis
a) Tampak ada celah pada tekak (uvula), palato lunak, keras dan foramen
incisive.
b)Ada rongga pada hidung.
c)Distorsi hidung
d)Teraba ada celah atau terbukanya langit-langit saat diperiksa dengan jari
e)Kesukaran dalam menghisap/makan
81.
6. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1) Identitas klien; nama, umur, dan alamat
2) Keluhan utama; alasan masuk ke rumah sakit
3) Riwayat Kesehatan
a) Riwayat Kesehatan Dahulu
82. Mengkaji riwayat kehamilan ibu, apakah ibu pernah mengalami
trauma pada kehamilan Trimester I. bagaimana pemenuhan nutrisi ibu saat
hamil, obat-obat yang pernah dikonsumsi oleh ibu dan apakah ibu pernah
stress saat hamil.
b) Riwayat Kesehatan Sekarang
83. Mengkaji berat/panjang bayi saat lahir, pola pertumbuhan,
pertambahan/penurunan berat badan, riwayat otitis media dan infeksi
saluran pernafasan atas.
c) Riwayat Kesehatan Keluarga
84. Riwayat kehamilan, riwayat keturunan, labiopalatoskisis dari
keluarga, penyakit sifilis dari orang tua laki-laki..
4) Pemeriksaan Fisik
a) Inspeksi kecacatan pada saat lahir untuk mengidentifikasi karakteristik
sumbing.
b) Kaji asupan cairan dan nutrisi bayi
c) Kaji kemampuan hisap, menelan, bernafas.
d) Kaji tanda-tanda infeksi
e) Inspeksi dan palpasi palatum dengan menggunakan jari
f) Kaji tingkat nyeri pada bayi
b. Diagnosa dan Intevensi Keperawatan
1) Nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan
2) Resiko aspirasi berhubungan dengan gangguan menelan
3) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan menelan atau kesukaran dalam makan sekunder dari
kecacatan dan pembedahan
4) Resiko infeksi berhubungan dengan kecacatan (sebelum operasi) dan atau
insisi pembedahan
5) Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kelainan anatomis
85. 86. Diagnosa 87. NOC 88. NIC
N
nonverbal. berkomunikasi.
Mengguanakan Menggunakan kata
2. Penyebab
143. Gangguan ini merupakan anomali kongenital yang sering ditemukan pada bayi
dengan anomali lain seperti :
dan segmen distal dihubungkan ke trakea atau bronkus primer dengan fistula
147.
148.
149.
150.
151.
152.
153.
154.
155.
156.
157.
158.
4. Patofisiologi
159. Atresia esofagus dan Fistula trakeoesofagus terjadi karena kegagalan
esofagus dan trakea untuk berkembang serta terpisah dengan benar pada masa
embrio. Perkembangan sistem respiratorius dimulai pada usia gestasi sekitar 26 hari.
Perkembangan septum yang abnormal pada saat ini dapat mengakibatkan fistula
trakeoesofagus. Abnormalitas yang paling sering ditemukan adalah fistula
trakeoesofagus tipe C berupa atresia esofagus, yakni segmen esofagus sebelah atas
berakhir sebagai kantung yang buntu sementara bagian bawahnya berjalan naik dari
lambung dan berhubungan dengan trakea melalui saluran fistula yang pendek.
162. Bayi dengan astresia esofagus tipe A tampak normal pada saat lahir.
Bayi ini menelan makanannya secara normal, namun setelah memenuhi kantung
esofagus dan melimpah ke dalam orofaring, bayi tersebut akan menghasilkan mukus
dalam orofaring serta menghasilkan mukus dalam orofaringnya serta mengeluarkan
liurnya secara berelebihan (ngiler). Ketika diberi susu akan terjadi regurgitasi dan
distres respirasi yang mengikuti aspirasi. Tindakan pengisapan untuk mengisap
mukus dari sekret dan gejala ngiler yang berlebihan pada bayi baru lahir memberi
kesan kuat atresia esofagus.
164.
6. Komplikasi
165. Komplikasi dapat meliputi :
a. Pada bayi prematur (hampir 33% bayi dengan anomali ini dilahirkan prematur)
dengan risiko bedah yang buruk, koreksi kombinasi fistula trakeoesofagus dengan
atresia esofagus dikerjakan dalam dua tahap : pertama, gastrotomi (untuk
dekompresi lambung,pencegahan refluks, serta pemberian nutrisi) dan penutupan
fistula; selanjutnya pada waktu bayi sudah berusia satu atau dua bulan dilakukan
anastomosis esofagus. Sebelum dan sesudah pembedahan, pengaturan posisi
tubuh bayi bergantung pada filosofi dokter dan anotomi bayi. Bayi atau anak ini
dapat dibaringkan telentang dengan letak kepala rendah untuk memudahkan
drainase (pengalihan sekret), atau dengan kepala ditinggikan untuk mencegah
aspirasi. Anak harus mendapat cairan infus jika diperlukan dan terapi antibiotik
yang tepat untuk mengatasi infeksi yang menyertai.
b. Koreksi esofagus saja memerlukan pembuatan anastomosis segmen proksimal
dan distal esofagus dalam satu atau dua tahap operasi.Anastomosis end to end
umunya menimbulkan komplikasi ini. Jika kedua ujung esofagus terpisah jauh,
penanganan dapat berupa interposisi kolon (pencangkokan sepotong kolon) atau
elongasi (pemanjangan) segemn proksimal esofagus dengan bougienage. Pada
hari ke-10 sesudah pembedahan dan sekali lagi setelah satu dan tiga bulan
kemudian diperlukan pemeriksaan radiologi untuk mengevaluasi keberhasilan
pembedahan. Penanganan pasca bedah meliputi pemasangan kateter persiapan
dalam kantung esofagus sebelah atas untuk megendalikan sekresi serta mencegah
aspirasi, tindakan mempertahankan tubuh bayi pada posisi tegak untuk
menghindari refluks getah lambbung ke dalam trakea, pemberian cairan infus
(bayi harus dipuasakan), tindakan gastrotomi untuk mencegah refluks serta untuk
memungkinkan pemberian nutrisi, dan terapi antibiotik yang tepat untuk
mengatasi pneumoniaa.
168.
8. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1. Lakukan pengkajian bayi baru lahir pada bagian mulut dan tenggorokan
2. Observasi manifestasi atresia esofagus dan fistula trakeoesofagus (FTE) :
- Salifa berlebihan dan mengiler
- Tersedak
- Sianosis
- Apnea
- Peningkatan distres pernapasan setelah pemberian makan
- Distensi abdomen
3. Bantu dengan prosedur diagnostik seperti:
- Radiografi dada dan abdomen
- Kateter dengan perlahan di masukkan ke dalam esofagus yang membentur
pembedahan.
5. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan anak dengan defek fisik.
196.
2. Etiologi
197. Etiologi HPS sampai saat ini belum diketahui. HPS bisa merupakan
kejadian kongenital maupun didapat. Teori yang menjelaskan etiologi ini antara lain
hiperaktifitas lambung yang menyebabkan spasme, hipertropi muskulus dan inervasi
pilorus yang abnormal. Adanya predisposisi genetik disertai faktor lingkungan
merupakan penjelasan yang paling banyak diterima.
198.
3. Patofisiologi
199. Suatu hipertropi dan hyperplasia otot polos antrum lambung yang difus
akan menyempitkan lumen sehingga mudah tersumbat. Bagian antrum akan
memanjang, menebal menjadi 2 kali ukurn normal dan berkonsistensi seperti tulang
rawan. Penebalan otot tidak hanya terbatas pada suatu kumpulan serabut otot
sirkuler yang terpisah yaitu sfingter pylorus, tetapi meluas ke bagian proksimal ke
dalam antrum dan ke bagian distal berakhir pada permulaan duodenum. Sebagai
respons terhadap obstruksi lumen dan paristalik yang kuat otot lambung akan
menebal (hipertrofi) dan mengembang (dilatasi).
200.
4. Manifestasi klinik
201. Manifestasi klinis HPS terjadinya obstruksi yang menyebabkan
muntah proyektil sesudah pemberian minuman formula atau ASI. Muntah yang terus
menerus menyebabkan terjadinya pengosongan lambung. Frekuensi dan volume
muntah sering kuat dan berkepanjangan, sehingga produk muntah bisa berupa darah
karena gastritis.
202.
5. Pemeriksaan penunjang
203. Untuk menegakkan diagnosis HPS diperlukan pemeriksaan penunjang
yang meliputi pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium.
a. Pemeriksaan fisik
204. Pameriksaan fisik pada bayi bisa dilakukan Inspeksi, auskultasi,
palpasi dan perkusi. Pada palpasi tampak massa bentuk bulat telur dan
didapatkan perut buncit pada hipokondrium, dan tampak peristaltic meningkat
di dinding perut yang tipis. Bayi sering dating dengan tanda dehidrasi berupa
berat badan rendah dan nafsu makan yang tidak terpenuhi sehingga tampak
kening muka berkerut dan keriput.
b. Pemeriksaan Laboratorium
205. Pemeriksaan ultrasonografi (USG) pilihan untuk diagnosis HPS,
karena ultrasonografi bebas dari radiasi dan dapat mengikuti visualisasi dari
muskulus pylorus secara langsung.
206.
6. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1) Biodata
207. Nama :
208. Umur :
209. Jenis kelamin :
2) Keluhan pasien
3) Riwayat keluarga
210.
b. Diagnosa
1) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif
2) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan mual, muntah
211.
c. Intervensi
212.
213. Diagnosa 214. Tujuan dan
N 216. Intervensi
Keperawatan 215. Kriteria Hasil
234.
235.
236. BABIII
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pencernaan pada anak memiliki peran penting yaitu untuk membentuk daya tahan
tubuh. Anak yang memiliki pencernaan yang sehat maka akan mempengaruhi pada
kesehatan anak. Dengan memiliki kesehatan yang sehat maka tumbuh kembang anak
akan optimal. Selain itu anak yang memiliki pencernaan yang sehat akan mempengaruhi
kebutuhan nutrisi yang optimal. Sistem pencernaan sangat mempengaruhi nutrisi yang
dibutuhkan oleh anak, pada sistem pencernaan anak yang sehat maka akan mampu
menyerap gizi dari makanan dan minuman yang dikonsumsi sesuai dengan kebutuhan
tubuh anak apabila mengalami gangguan maka kebutuhan nutrisi terhambat apalagi
diusia anak 0-5 tahun yang termasuk masa emas anak.
Kurang Energi Protein (KEP) adalah seseorang yang kurang gizi yang disebabkan
oleh rendahnya komsumsi energi dan protein dalam makanan sehari -hari sehingga tidak
memenuhi angka kecukupan gizi (pudjiani, 2000). Seorang anak dapat disebut Kurang
Energi Protein (KEP) apabila berat badanya kurang dari 80 % indeks berat badan/umur
baku standar,WHO NCHS, (Depkes RI,1997).
Hipertropi pylorius stenosis (HPS) merupakan suatu kondisi yang terjadi pada
bayi dengan lambung bagian pilorus mengalami penebalan yang abnormal. Stenosis
pilorik adalah penyempitan di bagian ujung lambung tempat makanan keluar menuju ke
usus halus.
DAFTAR PUSTAKA