Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH GASTROENTEROLOGI

ASKEP GANGGUAN PENCERNAAN ANAK

( KEP, Labiopalatoskizis, Atresia Esophagus, SPH).

Disusun Oleh :

Kelompok 4

Moh. Gifari (C12114318) Anesia Anggun Kinanti (C12114036)

Nuraevina M (C12114304) Rimaruliani Marali (C12114047)

Nur Ayuana Andini (C12114045) Miftahul Jannah (C12114016)

Siti Hadrianti (C12114303) Andi Suriani (C12114301)

Nurmiyanti Nur (C12114032) Nurfifi Sofiana (C12114043) Lusiana


(C12114034)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2016

KATA PENGANTAR
Assalamu Alaikum Wr. Wb
1
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga
Makalah kelompok kami dapat terselesaikan. Pokok bahasan makalah ini
disesuaikan dengan materi dan kompetensi yang diajarkan pada Pendidikan
Tinggi Keperawatan. Makalah ini berisi tentang materi respirasi telah diberikan
kepada kelompok kami yaitu mencakup materi Askep Gangguan Pencernaan
Anak ( KEP, Labiopalatoskizis, Atresia Esophagus, SPH).

Atas terselesaikannya makalah ini, penulis mengucapkan terima kasih


kepada teman-teman dari kelompok kami yang telah terlibat, baik secara langsung
maupun tidak dalam penyusunan makalah ini. Dan semua pihak yang telah
mendukung terselesaikannya penyusunan makalah ini.

Kami menyadari masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan dalam


makalah ini. Kami mengharapkan masukan yang membangun dari pembaca agar
makalah ini terus menjadi lebih baik. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
mahasiswa keperawatan.

Wassalam

Penyusun

Kelompok 4

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................3
A. Latar Belakang.....................................................................................................3
B. Rumusan Masalah................................................................................................4
C. Tujuan...................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................5
A. Kekurangan Energi Protein (Kep)......................................................................5
B. LABIOPALASTOKIZIS....................................................................................20
C. Atresia Esofagus dan Fistula Trakeoesofagus..................................................28
D. Stenosis Pilorus Hiperatrofi (SPH)...................................................................37
BABIII PENUTUP..........................................................................................................41
A. KESIMPULAN...................................................................................................41
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................42

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap manusia memerlukan makanan untuk pertumbuhan dan perkembangannya.
Makanan tersebut akan diolah dan diubah menjadi energi melalui proses pencernaan.
Proses pencernaan pada manusia dibedakan menjadi dua, yaitu pencernaan mekanik dan
pencernaan kimiawi. Pencernaan mekanik terjadi di rongga mulut. Pada proses ini
memerlukan bantuan lidah dan gigi. Sedangkan pada pencernaan kimiawi terjadi di
rongga mulut, lambung, dan usu. Proses ini memerlukan bantuan zat kimiawi yang
disebut enzim. Semua makhluk hidup memerlukan makanan untuk mempertahankan
hidupnya.
Fungsi utama makanan bagi tubuh adalah untuk pertumbuhan dan menjaga tubuh agar
tetap sehat. Makanan yang masuk ke dalam tubuh kita akan diolah melalui proses
pencernaan. Proses pencernaan adalah proses penghancuran makanan menjadi zat-zat
makanan yang dapat diserap tubuh. Alat yang berfungsi untuk menghancurkan makanan
ini disebut alat pencernaan. Agar makanan yang dicerna dapat diserap oleh tubuh dengan
baik, maka alat pencernaan haruslah dalam keadaan sehat. Melalui alat pencernaan itulah
zat-zat makanan diolah terlebih dahulu, baru kemudian diserap oleh tubuh.
Dan didalam tubuh juga terdapat kelenjar pencernaan, serta dalam proses pencernaan
makanan tidaklah semulus yang kita bayangkan , dalam mencerna makanan saluran
pencernaan makanan ekerja sangat ekstrim dalam mencerna makanan. Dengan hal itu
terkadang pula kita merasakan akibat dari sistem pencernaan makanan yang kurang baik,
yaitu terdapat gangguan pada sistem pencernaan, akibatnya muncullah berbagai macam
penyakit dengan segala penyebab .untuk itu disini kita juga akan membahas itu serta
hubngan pencernaan makanan dengan pencernaannya yang akan mengakibatkan
kegemukan atau hal-hal yang dapat mengakibatkan seseorang menjadi gemuk atau kurus.
Pencernaan pada anak memiliki peran penting yaitu untuk membentuk daya tahan
tubuh. Anak yang memiliki pencernaan yang sehat maka akan mempengaruhi pada
kesehatan anak. Dengan memiliki kesehatan yang sehat maka tumbuh kembang anak
akan optimal. Selain itu anak yang memiliki pencernaan yang sehat akan mempengaruhi
kebutuhan nutrisi yang optimal. Sistem pencernaan sangat mempengaruhi nutrisi yang
dibutuhkan oleh anak, pada sistem pencernaan anak yang sehat maka akan mampu
menyerap gizi dari makanan dan minuman yang dikonsumsi sesuai dengan kebutuhan
tubuh anak apabila mengalami gangguan maka kebutuhan nutrisi terhambat apalagi
diusia anak 0-5 tahun yang termasuk masa emas anak.
Anak yang mengalami gangguan pencernaan akan menghambat tumbuh kembang
anak. Kondisi ini dikarenakan pencernaan berfungsi sebagai pembentukan daya tahan
tubuh, proses penyerapan nutrisi dan mengganggu kecerdasan anak apabila terjadi
ketidakseimbangan gizi karena terhambatnya penyerapan nutrisi pada proses pencernaan.
Gangguan pencernaan pada anak disebabkan karena sistem pencernaan yang belum
sempurna atau konsumsi makanan dan minuman yang memicu terjadinya ganguan
pencernaan. Oleh sebab itulah anak anak membutuhkan waktu penyesuain untuk dapat
beradaptasi dengan makanan yang dikonsumsinya. Gangguan pencernaan tidak dapat
dianggap sepele dikarenakan akan berlangsung terus menerus dan memerlukan
perawatan medis untuk menghindari gangguan kesehatan lainnya. Pada makalah ini
kelompok akan membahas mengenai gangguan apa saja yang terjadi pada pencernaan
anak.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari KEP, Labiopalatoskizis, Atresia Esophagus, SPH?
2. Apa saja etiologi KEP, Labiopalatoskizis, Atresia Esophagus, SPH?
3. Bagaimana patofisiologi dari KEP, Labiopalatoskizis, Atresia Esophagus, SPH?
4. Bagaimana penatalaksanaan dari KEP, Labiopalatoskizis, Atresia Esophagus, SPH?
5. Bagaimana ASKEP dari KEP, Labiopalatoskizis, Atresia Esophagus, SPH?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari KEP, Labiopalatoskizis, Atresia Esophagus, SPH?
2. Mengetahui KEP, Labiopalatoskizis, Atresia Esophagus, SPH?
3. Memahami patofisiologi dari KEP, Labiopalatoskizis, Atresia Esophagus, SPH?
4. Mengetahui penatalaksanaan dari KEP, Labiopalatoskizis, Atresia Esophagus, SPH?
5. Memgetahui ASKEP dari KEP, Labiopalatoskizis, Atresia Esophagus, SPH?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kekurangan Energi Protein (Kep)


1. Pengertian Kekurangan Energi Protein (KEP)
Kurang Energi Protein (KEP) adalah seseorang yang kurang gizi yang disebabkan
oleh rendahnya komsumsi energi dan protein dalam makanan sehari -hari sehingga
tidak memenuhi angka kecukupan gizi (pudjiani, 2000). Seorang anak dapat disebut
Kurang Energi Protein (KEP) apabila berat badanya kurang dari 80 % indeks berat
badan/umur baku standar,WHO NCHS, (Depkes RI,1997).

Sedangkan Almatsier (2004) mengatakan KEP


adalahsindroma gabungan antara dua jenis kekurangan energi dan protein,
dimana sindroma ini merupakan salah satu masalah gizi di indonesia.

2. Klasifikasi KEP
Menurut Departement Kesehatan RI tahun 1999 :
a. KEP Ringan : BB/U 70 80 % Median WHO-NCHS
b. KEP Sedang: BB/U 60 70 % Median WHO-NCHS
c. KEP Berat : BB/U < 60 % Median WHO-NCHS

3. Jenis-jenis KEP
Beberapa tipe Kurang Energi Protein (KEP) dapat disebutkan bahwa KEP atau
gizi buruk pada tingkat ringan atau sedang belum menunjukkan gejala sakit. Masih
seperti anak-anak lain, masih bermain dan sebagainya, tetapi bila diamati dengan
seksama badannya mulai kurus. Sedangkan bagi KEP yang tingkat berat yang disertai
dengan gejala klinis disebut marasmus atau kwashiorkor, dimasyarakat lebih dikenal
sebagaibusung lapar.
KEP merupakan keadaan tidak cukupnya asupan protein dan kalori yang
dibutuhkan oleh tubuh atau dikenal dengan nama marasmus dan kwasiorkor.
Kwasiorkor disebabkan oleh kekurangan protein, baik dari segi kualitas maupun segi
kuantitas. Sedangkan marasmus disebabkan oleh kekurangan kalori dan protein.
Pada semua derajat maupun tipe KEP ini terdapat gangguan pertumbuhan
disamping gejala-gejala klinis maupun biokimiawi yang khas bagi tipenya. Klasifikasi
KEP digunakan untuk menentukan prevalensi KEP disuatu daerah dengan melihat
derajat beratnya KEP, hingga dapat ditentukan persentase gizi kurang dan berat di
daerah tersebut (Pudjiadi, 2005).

4. Etiologi
a. Pola makan
Anak kurang mendapat asupan protein dan asam amino. Pada bayi yang
masih menyusui umumnya protein diperoleh dari asi. Kurangnya pengetahuan ibu
dalam mengkonsumsimakanan cukup protein untuk dirinya yang masih menyusui
ataupun asupan anak balitanya sangat berpengaruh terhadap terjadinya
kwashiorkor, terutama saat peralihandari asi ke makanan pengganti asi. Menurut
konsep klasik, diet yang mengandungcukup energi tetapi kurang protein akan
menyebabkan anak menjadi penderitakwashiorkor, sedangkan diet kurang energi
walaupun zat-zat gizi esensialnya seimbangakan menyebabkan anak menjadi
menderitamarasmus.
b. Faktor sosial dan ekonomi
Anak yang hidup di negara berkembang dan negara miskin umunya
mengalami masalahkep karena kemiskinan keluarga membuat kebutuhan anak
akan nutrisi yang adekuattidak terpenuhi. Dalam world food conference di roma
1974 telah dikemukakan bahwameningkatnya jumlah penduduk yang cepat tanpa
diimbangi dengan bertambahnyapersediaan bahan makanan yang memadai
merupakan sebab utama krisis pangan.
c. Faktor infeksi dan penyakit lain
Infeksi dapat menurunkan derajat gizi anak, begitupun sebaliknya, kep,
walaupun dalamderajat ringan akan menurunkan imunitas tubuh terhadap infeksi.
5. Manifestasi klinis
a. Kwashiorkor

Kwashiorkor adalah satu bentuk malnutrisi yang disebabkan oleh defisiensi


protein yang berat bisa dengan konsumsi energy dan kalori tubuh yang tidak
mencukupi kebutuhan. Kwashiorkor atau busung lapar adalah salah satu bentuk
sindroma dari gangguan yang dikenali sebagai Kekurangan Energi Protein (KEP)
dengan beberapa karakteristik berupa edema dan kegagalan pertumbuhan,
depigmentasi, dan hyperkeratosis. (Nurarif A, 2015)
b. Marasmus

Marasmus ialah suatu bentuk kurang kalori protein yang berat.keadaan ini
merupakan hasil akhir dari interaksi antara kekurangan makanan dan penyakit
infeksi. Selain faktor lingkungan, ada beberapa faktor lain pada diri anak sendiri
yang dibawa sejak lahir, diduga berpengaruh terhadap terjadinya marasmus.
(Nurarif A. 2015).
c. Kwashiorkor marasmus

Kwashiorkor marasmus merupakan suatu KEP yang temuan klinisnya


terdapat tanda kwashiorkor dan marasmus, anak mengalami edema, kurus berat,
dan berhenti tumbuh. (Wong. 2008).
Pada kekurangan energi marasmus kwashiorkor terdapat kekurangan energi
kalori maupun protein. Mengapa ada anak yang jatuh ke dalam keadaan
kwashiorkor, marasmus, atau marasmus kwashiorkor masih belum jelas dan
masih membutuhkan penelitian yang lebih lanjut. Namun semua bentuk
kekurangan energi protein pada anak-anak ini disebabkan oleh asupan makanan
bergizi yang tidak adekuat atau adanya kondisi fisik tubuh yang mengakibatkan
makanan yang dikonsumsi tidak dapat diserap dan digunakan oleh tubuh selain
adanya keadaan metabolisme yang meningkat yang disebabkan mungkin oleh
penyakit kronis atau penyakit keganasan.
Ekonomi rendah, Kegagalan menyusul ASI,
6. Patofisiologi
pendidikan kurang, terapi puasa karena
7. hygiene rendah. penyakit

KEP

Gangguan hipotrof Resiko jatuh


keseimbangan
8.

Penurunan
Energi menurun
jumlah protein
tubuh

MARASMUS
Terjadi perubahan
biokimia dalam tubuh
Cadangan protein (otot)
terpakai terus menerus untuk
memperoleh asam amino
KWASHIORKOR

Perbandingan asam amino


Gangguan absorbsi yang berbeda dengan protein
Produksi albumin
dan transportasi zat- jaringan
oleh hepar rendah
zat gizi
Gangguan Salah satu jenis asam amino
pembentukan rendah konsentrasinya
Pengambilan energi Tekanan osmotik
selain dari protein plasma menurun hipoprotein (lemak)
(otot) dari hati
Asam amino tidak berguna
Cairan dari bagi sel
Penyusutan otot dan intravaskuler ke Penurunan
penurunan berat intersisiel detokfkasi Tubuh mengalami kehilangan
badan energi secara terus menerus
Edema Resiko infeksi

Nutrisi kurang dari


kebutuhan tubuh
Gangguan
integritas kulit
9. Komplikasi
10. Pada penderita gangguan gizi sering terjadi gangguan asupan vitamin dan
mineral. Karena begitu banyaknya asupan jenis vitamin dan mineral yang terganggu
dan begitu luasnya fungsi dan organ tubuh yang terganggu maka jenis gangguannya
sangat banyak. Pengaruh kep bisa terjadi pada semua organ sistem tubuh. Beberapa
organ tubuh yang sering terganggu adalah saluran cerna, otot dan tulang, hati,
pankreas, ginjal, jantung, dan gangguan hormonal.
11. Anemia gizi adalah kurangnya kadar hemoglobin pada anak yang disebabkan
karena kurangnya asupan zat besi (fe) atau asam folat. Gejala yang bisa terjadiadalah
anak tampak pucat, sering sakit kepala, mudah lelah dan sebagainya. Pengaruh sistem
hormonal yang terjadi adalah gangguan hormon kortisol, insulin, growht hormon
(hormon pertumbuhan) thyroid stimulating hormon meninggi tetapi fungsi tiroid
menurun. Hormon-hormon tersebut berperanan dalam metabolisme karbohidrat,
lemak dan tersering mengakibatkan kematian.
12. Mortalitas atau kejadian kematian dapat terjadi pada penderita kep,khususnya
pada kep berat. Beberapa penelitian menunjukkan pada kep berat resiko, kematian
cukup besar, adalah sekitar 55%. Kematian ini seringkali terjadi karena penyakit
infeksi (seperti tuberculosis, radang paru, infeksi saluran cerna) atau karena gangguan
jantung mendadak. Infeksi berat sering terjadi karena pada kep sering mengalami
gangguan mekanisme pertahanan tubuh. Sehingga mudah terjadi infeksi atau bila
terkena infeksi beresiko terjadi komplikasi yang lebih berat hingga mengancam jiwa.
13.
14. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorik : Hb, albumin-globulin, serum ferritin, darah, air kemih, tinja, ekg, x-
foto paru dan uji tuberculin
b. Antropometri : BB menurut umur, TB menurut umur, LLA(lingkar lengan atas)
menurut umur, BB menurut TB, LLA menurut TB
c. Analisis diet
15.
16. Penatalaksanaan
17.Petunjuk dari WHO tentang pengelolaan kep berat dirumah sakit dengan
menetapkan 10 langkah tindakan pelayanan melalui 3 fase (stabilisasi, transisi dan
rehabilitasi) dan dilamjutkan dengan fase follow up sebagai berikut:
18.
a. Fase stabilisasi
Porsi kecil, sering, rendah serat dan rendah laktosa
Energi: 100kkal/kgbb/hari
Protein: 1-1,5 g/kgbb/hari
Cairan : 130 ml/kgbb/hari (bila sembab berat: 100ml/kgbb.hari)
Teruskan asi pada anak menetek
Bila selera makan baik dan tidak sembab pemberian makan bisa
dipercepat
Pantau dan catat : jumlah cairan yang diberikan, yang tersisa; jumlah
cairan yang keluar seperti muntah, frekuensi buang air, timbang bb/hari
b. Fase transisi
Pemberian energi masih sekitar 100 kkal/kgbb/hari
Pantau frekuensi nafas dan denyut nadi
Bila nafas meningkat > 5 kali/menit dan nadi >25 kali/menit dalam
pemantauan tiap 4 jam berturutan, kurangi volume pemberian formula
Setelah normal bias naik kembali
c. Fase rehabilitasi
Beri makan/formula who, jumlah tidak terbatas dan sering tktp
Energi : 150-220 kkal/kgbb/hari
Protein: 4-6g/kgbb/hari
Asi diteruskan, tambahkan makanan formula; secara perlahan kepada
keluarga
Pemantauan : kecepatan pertambahan bb setiap minggu (timbang bb setiap
hari sebelum makan)
19.
20. Pencegahan

21.Pencegahan dari KEP pada dasarnya adalah bagaimana makanan yang


seimbang dapat dipertahankan ketersediannya di masyarakat. Langkah- langkah nyata
yang dapat dilakukan untuk pencegahan KEP adalah :

Mempertahankan status gizi anak yang sudah baik tetap baik dengan
menggiatkan kegiatan surveilance gizi di institusi kesehatan terdepan
(puskesmas, puskesmas pembantu).
Mengurangi resiko untuk mendapat penyakit, mengkoreksi konsumsi pangan
bila ada yang kurang, penyuluhan pemberian makanan pendamping asi.
Memperbaiki/mengurangi efek penyakit infeksi yang sudah terjadi supaya
tidak menurunkan status gizi.
Merehabilitasi anak yang menderita kep pada fase awal/bagaimana.
Meningkatkan peran serta masyarakat dalam program keluarga berencana.
Meningkatkan status ekonomi masyarakat melalui pemberdayaan segala
sektor ekonomi masyarakat (pertanian, perdagangan, dan lain-lain).
22.
23. Asuhan Keperawatan KEP
1. Pengkajian
a. Anamnesis susunan diet sejak lahir, umur
b. factor-faktor penunjang/penyebab medis dan non medis
c. Pemeriksaan fisik; rambut, kulit, hepar, TB BB, LLA
d. Pemeriksaan lab/penunjang
2. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
a. Gangguan keseimbangan cairan berhubungan dengan edema
b. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan peningkatan kebutuhan
protein. DO : kulit dan membrane mukosa kering, edema, anemia, rambut
mudah tercabut, tipis dan kusam,
c. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan edema (perpindahan cairan
dari intravaskuler ke intertisial). DO:kulit kering bersisik, rambut dan kuku
mudah patah, pruritis,kulit kemerahan
d. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan penurunan kondisi tubuh yang
lemah. DO : feses encer, kulit kendor, anoreksia
e. Resiko keterlambatan perkembangan berhubungan dengan gangguan motorik
24. 25. Diagnosa 26. NOC 27. NIC
N Keperawatan

28. 29. Gangguan 30. Setelah dilakukan 32. Manajemen cairan


1 keseimbang asuhan keperawatan Observasi nilai elektrolit
an cairan selama 3 x 24 jam klien serum abnormal
berhubunga dapat mempertahankan Observasi lokasi dan

n dengan keseimbangan cairan perluasan edema


Observasi peningkatan berat
edema dalam tubuh dengan
badan tiba-tiba
kriteria :
Observasi bunyi paru :
Klien bebas dari
adanya bunyi crackles,
edema status respirasi dan tentukan
Klien dapat
adanya ortopnea dan
mempertahankan
keparahannya
bunyi paru bersih Observasi adanya distensi
Berat badan stabil
Turgor kulit normal venas jugularis dengan
Tidak ada oliguria posisi kepala ditinggikan 30
hingga 45 derajat.
31. f. Klien Observasi hasil laboratorium
melaporkan yang sesuai dengan
adanya keseimbangan cairan
kemudahan (hematokrin, BUN, albumin,
dalam bernapas
dan berat jenis urin)
Observasi tanda dan gejala
retensi cairan
Observasi tanda-tanda vital
sesuai kebutuhan

33. Observasi cairan


Observasi asupan dan
haluaran
Observasi albumin serum
dan protein total
Observasi tekanan darah,
denyut nadi, dan status
respirasi
Observasi membrane
mukosa dan turgor kulit
Observasi adanya distensi
vena jugularis, bunyi
crackles pada paru, edema
perifer, dan penambahan
berat badan
Kelola cairan sesuai
kebutuhan
Batasi asupan cairan sesuai
kebutuhan
Pertahankan kecepatan
pemberian cairan intravena
Kelola pemberian obat-
obatan yang meningkatkan
haluaran urin sesuai
kebutuhan
Observasi efek samping
diuretic seperti ortostatik
dan ketidakseimbangan
metabolik
Observasi berat badan
34.
35.
36.
37.
38. 39. Nutrisi Nutritional status 42. Nutrition
2 kurang dari Nutritional status : management
kebutuhan food & fluid Kaji adanya alergi makanan
Intake Kolaborasi dengan ahli gizi
berhubunga
Nutritional status :
n untuk menentukan jumlah
nutrien intake
peningkatan Weight control kalori dan nutrisi yang
kebutuhan dibutuhkan pasien.
40.
Anjurkan pasien untuk
protein 41. Kriteria hasil
meningkatkan intake Fe
Adanya peningkatan Anjurkan pasien untuk
berat badan sesuai meningkatkan asupa protein
dengan tujuan dan vit c
Berat badan ideal Berikan substansi gula
susuai dengan tinggi Yakinkan diet yang

badan dimakan tinggi serat untuk


Mampu mencegah konstipasi
mengidentifikasi Berikan makanan yang

kebutuhan nutrisi terpilih sudah di


Tidak ada tanda-tanda konsultasikan dengan ahli
malnutrisi gizi
Menunjukan Ajarkan klien bagaimana
peningkatan fungsi catatan makanan harian
pengecapan dari Monitor jumlah kalori
Berikan informasi
menelan
Tidak terjadi kebutuhan tentang nutrisi
Kaji kemampuan klien
penurunan berat
untuk mendapatkan nutrisi
badan
yang dibutuhkan.
43. Nutrition monitoring
BB pasien dalam batas
normal
Monitor adanya enurunan
BB
Monitor jumlah dan tipe
ekatifitas yang bisa
dilakukan
Monitor interaksi anak dan
orang tua selama makan
Monitor lingkungan selama
makan
Jadwalkan obat dan
tindakan selama jam makan
Monitor kulit kering dan
pigmntasi
Monitor turgor kulit
Monitor kekeringan rambut
kusam dan mudah patah
Monitor mual dan muntah
Monitor kadar albumin,
total protein Hb dan Ht
Monitor pertubuhan dan
perkembangan
Monitor pucat, kemerahan
dan kekeringan jaringan
konjungtifa
Monitor kalori dan intake
nutrisi
Catat adanya edema
hiperemik
Catat lidah jika berwarna
magenta
44.
45. 46. Gangguan 47. NOC 50. Pressure management
3 integritas Tissue integrity: skin Hindari kerutan pada
kulit and mucous tempat tidur
berhubunga Anjurkan pasien untuk
membranes
n dengan Hemodialisis akses menggunakan pakaian yg
edema 48. longgar
Jaga kebersihan kulit agar
49. Kriteria hasil
tetap kring
Integritas kulit yang
baik bisa Mobilisasi pasien setiap 2
dipertahankan jam sekali
Tidak ada luka atau Monitor kulit akan adanya
lesi pada kulit kemerahan
Perfusi jaringan baik Oleskan lotion atau minyak
Mampu melindungi
pada daerah yang tertekan
kulit dan Monitor aktifitas dan
mempertahankan mobilisasi pasien
kelembaban kulit dan Monitor status nutrisi

perawatan alami pasien


Mandikan pasien dengan
sabun dan air hangat
51.
52. 53. Resiko 54. NOC 57. NIC
4 tinggi Immune status 58. Infection Control
infeksi Knowledge : infection Bersihkan lingkungan
berhubunga control setlahdipakai pasien lain
Risk control Pertahankan teknik isolasi
n dengan
55. Batasi pengunjung bila
penurunan
56. Kriteria hasil perlu
kondisi
Instruksikan pada
Klien bebas dari
tubuh yang
pengunjung untuk cuci
lemah tanda dan gejala
tangan saat akan
infeksi
Mendeskripsikan berkunjung dan setelah
penularan penyakit, berkunjung
Gunakan sabun anti
faktor yang
mikroba untuk mencuci
mempengaruhi
tangan
penularan serta penata
Cuci tangan setiap sbelum
laksanaannya
dan sesudah perawatan
Menunjukan
Gunakan APD
kemampuan untuk Pertahankan lingkungan
mencegah timbulnya aseptik selam pemasangan
infeksi alat
Jumlah leukosit Ganti IV perifer dan line
dalam batas normal central dan dressing sesuai
Menunjukan perilaku
dengan petujnuk umum
hidup sehat Tingkatkan intake nutrisi
Berik terapi antibiotik bila
perlu
Monitor tanda dan gejala
sistemik dan lokal
Monitor dan hitung
granulasit dan WBC
Monitor kerentanan
terhadap infeksi
Batasi pengunjung
Saring pengunnjung
terhadap penyakit menular
Pertahan kan telnik asepsis
pada pasien yang beresiko
Ajarkan keluarga dan
pasien tanda dan gejala
infeksi
Lpaorkan kecurigaan
infeksi
Ajarkan cara menghindari
infeksi
59. 60. Resiko 61. NOC 65. NIC
5 keterlamaba Growth & 66. Pendidikan orang tua
tan development delayed Ajarkan kepada orang tua
perkemban Family coping tentang penanda
Breastfeeding
gan perkembangan normal
ineffectif Demonstrasikan aktifitas
Nutritional intake :
yang menunjang
nutriten intake
Parenting perkembangan
Tekankan pentingnya
performance
perawatan prenatal sejak
62.
dini
63. Kriteria Hasil Ajarkan cara-cara
Recovery adanya memberikan rangsangan
kekerasan yang berarti untuk ibu dan
Performence orang
bayi
tua : pola asuh Ajarkan tentang perilaku
prenatal yang sesuai usia anak
Pengetahuan orang Ajarkan tentang benda-
tua tentang benda dan mainan sesuai
perkembangan anak usia anak
Diskusikan hal-hal
meningkat
BB=IMT mengenai kerjasama orang
Perkebamngan akan tua dan anak
usia 1 bulan, 2 bulan
4 bulan : penenda
perkembangan fisik,
kognitif, psikososial
paa usia 1,2 dan 4
bulan
Penuaan fisik :
perubahan normal
fisik yang sering
terjadi seiring
penuaan
Kematangan fisik
wanita dan pria yang
normal terjadi dengan
transisi dari masa
kanak-kanak dan
dewasa.
Fungsi
gastrointestinal anaka
dekuat
Makanan dan supan
cairan bergizi
Kondisi gizi adekuat
64.
B. LABIOPALASTOKIZIS
1. Definisi
67.Labiopalatoskisis merupakan kongenital abnormal yang berupa adanya
kelainan bentuk pada struktur wajah.

68.
69.
70.
71. Labiopalatoskisis biasa juga disebut dengan bibir sumbing
adalah malformasi yang disebabkan oleh gagalnya prosesus nasal median dan
maksilaris untuk menyatu selama perkembangan embrionik.
72.
2. Klasifikasi bibir sumbing
a. Berdasarkan organ yang terlibat
1) Celah di bibir (labioskizis)
2) Celah di gusi (gnatoskizis)
3) Celah di langit (palatoskizis)
4) Celah dapat terjadi lebih dari satu organ misal terjadi di bibir dan langit-langit
(labiopalatoskizis)
b. Berdasarkan lengkap/tidaknya celah terbentuk
1) Unilateral Incomplete. Apabila celah sumbing terjadi hanya di salah satu sisi
bibir dan tidak memanjang hingga ke hidung.
2) Unilateral complete. Apabila celah sumbing terjadi hanya di salah satu bibir
dan memanjang hingga ke hidung.
3) Bilateral complete Apabila celah sumbing terjadi di kedua sisi bibir dan
memanjang hingga ke hidung
73.

74.

75.

76.

77.

78.

3. Etiologi
a. Faktor genetik atau keturunan
79. Dimana material genetic dalam kromosom yang
mempengaruhi / dimana dapat terjadi karena adaya adanya mutasi gen ataupun
kelainan kromosom. Pada setiap sel yang normal mempunyai 46 kromosom yang
terdiri dari 22 pasang kromosom non-sex ( kromosom 1 s/d 22 ) dan 1 pasang
kromosom sex ( kromosom X dan Y ) yang menentukan jenis kelamin. Pada
penderita bibir sumbing terjadi Trisomi 13 atau Sindroma Patau dimana ada 3
untai kromosom 13 pada setiap sel penderita, sehingga jumlah total kromosom
pada tiap selnya adalah 47. Jika terjadi hal seperti ini selain menyebabkan bibir
sumbing akan menyebabkan gangguan berat pada perkembangan otak, jantung,
dan ginjal. Namun kelainan ini sangat jarang terjadi dengan frekuensi 1 dari
8000-10000 bayi yang lahir.
b. Kegagalan fase embrio yang penyebabnya belum diketahui
c. Kekurangan nutrisi contohnya defisiensi Zn dan B6, vitamin C pada waktu hamil,
kekurangan asam folat.
d. Akibat gagalnya prosessus maksilaris dan prosessus medialis menyatu
e. Beberapa obat (korison, anti konsulfan, klorsiklizin).
f. Mutasi genetic atau teratogen (agen/faktor yang menimbulkan cacat pada
embrio).
g. Infeksi pada ibu yang dapat mempengaruhi janin, contohnya seperti infeksi
Rubella dan Sifilis, toxoplasmosis dan klamidia
h. Radiasi
i. Stress emosional
80.
4. Patofisiologi
a. kegagalan penyatuan atau perkembangan jaringan lunak dan atau tulang selama
fase embrio pada trimester I.
b. Terbelahnya bibir dan atau hidung karena kegagalan proses nasal medial dan
maksilaris untuk menyatu terjadi selama kehamilan 6-8 minggu.
c. Palatoskisis adalah adanya celah pada garis tengah palato yang disebabkan oleh
kegagalan penyatuan susunan palato pada masa kehamilan 7-12 minggu.
d. penggabungan komplit garis tengah atas bibir antara 7-8 minggu masa kehamilan
5. Manifestasi Klinik
a. Deformitas pada bibir
b. Kesukaran dalam menghisap/makan
c. Kelainan susunan archumdentis.
d. Distersi nasal sehingga bisa menyebabkan gangguan pernafasan.
e. Gangguan komunikasi verbal
f. Regurgitasi makanan
1) Pada Labioskisis
a) Distorsi pada hidung
b) Tampak sebagian atau keduanya
c) Adanya celah pada bibir
2) Pada Palatoskisis
a) Tampak ada celah pada tekak (uvula), palato lunak, keras dan foramen
incisive.
b)Ada rongga pada hidung.
c)Distorsi hidung
d)Teraba ada celah atau terbukanya langit-langit saat diperiksa dengan jari
e)Kesukaran dalam menghisap/makan
81.
6. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1) Identitas klien; nama, umur, dan alamat
2) Keluhan utama; alasan masuk ke rumah sakit
3) Riwayat Kesehatan
a) Riwayat Kesehatan Dahulu
82. Mengkaji riwayat kehamilan ibu, apakah ibu pernah mengalami
trauma pada kehamilan Trimester I. bagaimana pemenuhan nutrisi ibu saat
hamil, obat-obat yang pernah dikonsumsi oleh ibu dan apakah ibu pernah
stress saat hamil.
b) Riwayat Kesehatan Sekarang
83. Mengkaji berat/panjang bayi saat lahir, pola pertumbuhan,
pertambahan/penurunan berat badan, riwayat otitis media dan infeksi
saluran pernafasan atas.
c) Riwayat Kesehatan Keluarga
84. Riwayat kehamilan, riwayat keturunan, labiopalatoskisis dari
keluarga, penyakit sifilis dari orang tua laki-laki..
4) Pemeriksaan Fisik
a) Inspeksi kecacatan pada saat lahir untuk mengidentifikasi karakteristik
sumbing.
b) Kaji asupan cairan dan nutrisi bayi
c) Kaji kemampuan hisap, menelan, bernafas.
d) Kaji tanda-tanda infeksi
e) Inspeksi dan palpasi palatum dengan menggunakan jari
f) Kaji tingkat nyeri pada bayi
b. Diagnosa dan Intevensi Keperawatan
1) Nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan
2) Resiko aspirasi berhubungan dengan gangguan menelan
3) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan menelan atau kesukaran dalam makan sekunder dari
kecacatan dan pembedahan
4) Resiko infeksi berhubungan dengan kecacatan (sebelum operasi) dan atau
insisi pembedahan
5) Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kelainan anatomis
85. 86. Diagnosa 87. NOC 88. NIC
N

89. 90. Nyeri Pain level Kaji perilaku dan


1 berhubungan Paincontrol tanda-tanda vital
Comfort level
dengan insisi untuk adanya bukti
93. Kriteria Hasil :
pembedahan nyeri
Bayi tampak Berikan analgesic dan
91. Batasan
karakteristik : nyaman dan atau/ sedative sesuai
92. istirahat dengan instruksi
tenang Lepaskan restrein
secara periodic sambil
diawasi
Beri stimulasi belaian
dan taktil
Libatkan orang tua
dalam perawatan bayi
Terapkan intervensi
perkembangan yang
sesuai dengan tingkat
dan toleransi bayi
94.
95. 96. Resiko aspirasi 98. Tidak akan Pantau tanda-tanda
2 berhubungan mengalami aspirasi aspirasi selama proses
dengan gangguan 99. Kriteria Hasil : pemberian makan dan
menelan Menunjukkan pemberian
97. Batasan peningkatan pengobatan.
Karakteristik : Tempatkan pasien
kemampuan
menelan. pada posisi semi-
Bertoleransi fowler atau fowler.
terhadap asupan Sediakan kateter
oral dan sekresi penghisap disamping
tanpa aspirasi. tempat tidur dan
Bertoleransi
lakukan penghisapan
terhadap
selama makan, sesuai
pemberian
dengan kebutuhan.
perenteral tanpa
aspirasi.
100.
101. 102. Ketidaksei 105. Setelah 106. Untuk
3 mbangan nutrisi dilakukan tindakan praoperatif :
Beri diet sesuai usia
kurang dari keperawatan
Bantu Ibu dalam
kebutuhan tubuh selama 2x 24 jam,
menyusui, bila ini
berhubungan status nutrisi pasien
adalah keinginan
dengan seimbang dengan 107. 1. posisikan
ketidakmampuan kriteria hasil : dan stabilkan putting
menelan atau Bayi dengan baik didalam
kesukaran dalam mengkomsumsi rongga mulut
makan sekunder jumlah nutrisi yang 108. 2. stimulasi
dari kecacatan dan ade kuat refleks ejeksi ASI
pembedahan Bayi menunjukkan secara manual atau
103. Batasan penambahan berat dengan pompa
karakteristik : badan yang tepat payudara sebelum
Keluarga
Berat badan tidak menyusui
mendemonstrasika Modifikasi teknik
ideal
Kelemahan otot yang n kemampuan pemberian asi untuk

digunakan untuk untuk menjalankan menyesuaikan dengan

menelan/ mengunyah perawatan defek


pascaoperasi Gunakan alat makan
104.
khusus
109. 1. cobalah
untuk menyusui bayi
dengan putting
110. 2. posisikan
putting di antara lidah
bayi dan palatum
111. 3. bila
menggunakan alat
tanpa putin (ex. dot
atau spuit asepto)
letakkan formula
dibelakang lidah
Sendawakan dengan
sering
Dorong ibu untuk
mulai menyusui bayi
sesegera mungkin
Pantau berat badan
112.
113. Untuk
pascaoperatif :
Pantau cairan IV
Beri diet sesuai usia
dan ketentuan selama
periode pasca operasi
Libatkan keluarga
dalam menentukan
pemberian makan
yang terbaik
Beri makan dalam
posisi duduk
Sendawakan dengan
sering
Ajarkan teknik
pemberian makan dan
penghisapan pada
keluarga
114. 115. Resiko 116. Mencegah Berikan posisi yang
4 infeksi infeksi :Terbebas tepat setelah makan,
berhubungan dari tanda atau miring kekanan,
dengan insisi gejala infeksi kepala agak sedikit
pembedahan 117. Kriteria tinggi supaya
Hasil : makanan tertelan dan
Menunjukkan mencegah aspirasi
higiene pribadi yang dapat berakibat
yang adekuat. pneumonia.
Menggambarkan Kaji tanda-tanda
faktor yang infeksi, termasuk
menunjang drainage, bau dan
penularan infeksi. demam.
118. 119. Kerusakan 120. Menunjukk Anjurkan pasien
5 komunikasi verbal an kemampuan untuk berkomunikasi
berhubungan komunikasi secara perlahan dan
dengan kelainan 121. Kriteria mengulangi
anatomis Hasil : permintaan.
Menggunakan Sering berikan pujian

bahasa tertulis, positif pada pasien

berbicara atau yang berusaha untuk

nonverbal. berkomunikasi.
Mengguanakan Menggunakan kata

bahasa isyarat. dan kalimat yang


Pertukaran pesan singkat.
dengan orang lain
122.
123.
124.
125.
126.
127.
128.
129.
130.
131.
132.
133.
134.
135.
136.
137.
138.
139.
140.
141.
C. Atresia Esofagus dan Fistula Trakeoesofagus
1. Definisi Atresia Esofagus
142.Atresia esofagus adalah malformasi yang disebabkan oleh kegagalan esofagus
untuk mengadakan pasase yang kontinu : esofagus mungkin saja tidak membentuk
sambungan dengan trakea (fistula trakeostomi). Atresia Esofagus terjadi pada sekitar
satu dari setiap 4000 kelahiran hidup; sekitar sepertiga dari bayi-bayi ini dilahirkan
secara prematur. Atresia esofagus biasanya disertai dengan fistula trakeoesofagus.

2. Penyebab
143. Gangguan ini merupakan anomali kongenital yang sering ditemukan pada bayi
dengan anomali lain seperti :

a. Penyakit jantung kongenital


b. Anus imperforata
c. Abnormalitas urogenital
d. Atresia intestinal

144. Secara embriologis anomali ini terjadi akibat :


a. Diferensiasi usus depan yang tidak sempurna dalam memisahkan diri masing-
masing untuk menjadi esofagus dan trachea.
b. Perkembangan sel entodermal yang tidak lengkap sehingga menyebabkan
terjadinya atresia.
c. Perlekatan dinding lateral usus depan yang tidak sempurna sehingga terjadi fistula
trecheoesofagus.
d. Faktor genetik tidak berperan dalam patogenesis kelainan ini.
145.
146.
3. Tipe Atresia Esofagus
a. Tipe A (5 % - 8 %) kantong buntu disetiap ujung esofagus, terpisah jauh dan

tanpa hubungan dengan trakea.


b. Tipe B (jarang) kantong buntu disetiap ujung esofagus dengan fistula dari trakea

ke segmen esofagus bagian atas.


c. Tipe C (80 % - 95 %) segmen esofagus proksimal beakhir pada kantong buntu

dan segmen distal dihubungkan ke trakea atau bronkus primer dengan fistula

pendek pada atau dekat bifurkasi.


d. Tipe D (jarang) kedua segmen esofagus atas dan bawah dihubungkan ke rakea.
e. Tipe E (jarang di banding A atau C) sebaliknya trakea dan esofagus normal

dihubungkan dengan fistula umum.

147.
148.
149.
150.
151.
152.
153.
154.
155.
156.
157.
158.
4. Patofisiologi
159. Atresia esofagus dan Fistula trakeoesofagus terjadi karena kegagalan
esofagus dan trakea untuk berkembang serta terpisah dengan benar pada masa
embrio. Perkembangan sistem respiratorius dimulai pada usia gestasi sekitar 26 hari.
Perkembangan septum yang abnormal pada saat ini dapat mengakibatkan fistula
trakeoesofagus. Abnormalitas yang paling sering ditemukan adalah fistula
trakeoesofagus tipe C berupa atresia esofagus, yakni segmen esofagus sebelah atas
berakhir sebagai kantung yang buntu sementara bagian bawahnya berjalan naik dari
lambung dan berhubungan dengan trakea melalui saluran fistula yang pendek.

160. Pada atresia tipe A, kedua segmen esofagus tersebut merupakan


kantung buntu dan tidak ada satupun di antara kedua segmen ini bersambung dengan
jalan napas. Pada fistula trakeoesofagus tipe E (atau tipe H) yang tidak disertai
atresia, fistula tersebut dapat terjadi di mana saja di antara level kartilago krikoideus
dan midesofagus tetapi biasanya terletak lebih tinggi pada trakea dibandingkan pada
esofagus. Fistula tersebut mungkin berukuran kecil sekali dan sebesar mata jarum.
Pada tipe B dan D, esofagus bagian atas bermuara ke dalam trakea. Bayi dengan
anomali ini dapat mengalami aspirasi saliva atau makanan yang mengancam nyawa.

5. Tanda dan Gejala


161. Bayi baru lahir dengan fistula trakeoesofagus tipe C yang disertai
atresia esofagus tampak mampu menelan dengan normal. Akan tetapi, setelah
menelan, bayi tersebut batuk-batuk , meronta-ronta, terlihat sianosis dan berhenti
bernapasa karena mengalami aspirasi cairan yang mengalir balik dari kantung
esofagus yang buntu melalui hidung serta mulutnya. Distensi lambung dapat
menimbulkan distres pernapasan; udara dan isi lambung (getah empedu dan sekret
lambung) dapat mengalami refluks melalui fistula ke dalam trakea sehingga terjadi
pneumonitis kimiawi.

162. Bayi dengan astresia esofagus tipe A tampak normal pada saat lahir.
Bayi ini menelan makanannya secara normal, namun setelah memenuhi kantung
esofagus dan melimpah ke dalam orofaring, bayi tersebut akan menghasilkan mukus
dalam orofaring serta menghasilkan mukus dalam orofaringnya serta mengeluarkan
liurnya secara berelebihan (ngiler). Ketika diberi susu akan terjadi regurgitasi dan
distres respirasi yang mengikuti aspirasi. Tindakan pengisapan untuk mengisap
mukus dari sekret dan gejala ngiler yang berlebihan pada bayi baru lahir memberi
kesan kuat atresia esofagus.

163. Kejadian pneumonitas, infeksi paru, dan distensi abdomen yang


berulang dapat menandai fistula trakeoesofagus tipe E (atau tipe II). Ketika anak
yang menderita gangguan ini minum, ia akan batuk-batuk, tersedak, dan mengalami
sianosis. Mukus yang berlebihan menumpuk di dalam orofaringnya. Menangis
memaksa udara keluar dari trakea untuk masuk ke dalam esofagus sehingga terjadi
distensi abdomen. Karena anak tersebut mungkin tampak normal pada saat
dilahirkan, maka tipe fistula trakeaesofagus ini mungkin terlewatkan dan
diagnosisnya baru diketahui satu tahu kemudian. Baik tipe B (fistula proksimal)
maupun tipe D ( fistula pada kedua segmen) segera menyebabkan aspirasi saliva ke
dalam jalan napas dari pneumonitis bakterialis.

164.

6. Komplikasi
165. Komplikasi dapat meliputi :

a. Aspirasi sekret ke dalam paru-paru sehingga terjadi distress pernapasan,


penghentian napas, atau pneumonia.
b. Kematian, bila gangguan ini tidak ditangani.
166.
7. Penanganan
167. Atresia esofgus yang disertai fistula esofagus memerlukan
pembedahan untuk mengoreksinya dan biasanya kedua anomali ini merupakan
keadaan kedaruratan bedah. Tipe prosedur bedah dan waktu pelaksanaanya
bergantung pada sifat anomali, keadaan umum pasien dan adanya cacat kongenital
lain yang menyertai.

a. Pada bayi prematur (hampir 33% bayi dengan anomali ini dilahirkan prematur)
dengan risiko bedah yang buruk, koreksi kombinasi fistula trakeoesofagus dengan
atresia esofagus dikerjakan dalam dua tahap : pertama, gastrotomi (untuk
dekompresi lambung,pencegahan refluks, serta pemberian nutrisi) dan penutupan
fistula; selanjutnya pada waktu bayi sudah berusia satu atau dua bulan dilakukan
anastomosis esofagus. Sebelum dan sesudah pembedahan, pengaturan posisi
tubuh bayi bergantung pada filosofi dokter dan anotomi bayi. Bayi atau anak ini
dapat dibaringkan telentang dengan letak kepala rendah untuk memudahkan
drainase (pengalihan sekret), atau dengan kepala ditinggikan untuk mencegah
aspirasi. Anak harus mendapat cairan infus jika diperlukan dan terapi antibiotik
yang tepat untuk mengatasi infeksi yang menyertai.
b. Koreksi esofagus saja memerlukan pembuatan anastomosis segmen proksimal
dan distal esofagus dalam satu atau dua tahap operasi.Anastomosis end to end
umunya menimbulkan komplikasi ini. Jika kedua ujung esofagus terpisah jauh,
penanganan dapat berupa interposisi kolon (pencangkokan sepotong kolon) atau
elongasi (pemanjangan) segemn proksimal esofagus dengan bougienage. Pada
hari ke-10 sesudah pembedahan dan sekali lagi setelah satu dan tiga bulan
kemudian diperlukan pemeriksaan radiologi untuk mengevaluasi keberhasilan
pembedahan. Penanganan pasca bedah meliputi pemasangan kateter persiapan
dalam kantung esofagus sebelah atas untuk megendalikan sekresi serta mencegah
aspirasi, tindakan mempertahankan tubuh bayi pada posisi tegak untuk
menghindari refluks getah lambbung ke dalam trakea, pemberian cairan infus
(bayi harus dipuasakan), tindakan gastrotomi untuk mencegah refluks serta untuk
memungkinkan pemberian nutrisi, dan terapi antibiotik yang tepat untuk
mengatasi pneumoniaa.
168.
8. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1. Lakukan pengkajian bayi baru lahir pada bagian mulut dan tenggorokan
2. Observasi manifestasi atresia esofagus dan fistula trakeoesofagus (FTE) :
- Salifa berlebihan dan mengiler
- Tersedak
- Sianosis
- Apnea
- Peningkatan distres pernapasan setelah pemberian makan
- Distensi abdomen
3. Bantu dengan prosedur diagnostik seperti:
- Radiografi dada dan abdomen
- Kateter dengan perlahan di masukkan ke dalam esofagus yang membentur

tahanan bila lumen tersebut tersumbat.


4. Pantau dengan sering tanda-tanda distres pernapasan.
b. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan lubang abnormal antara

esofagus dan trakea atau obstruksi untuk menelan sekresi.


2. Kerusakan atau kesulitan menelan berhubungan dengan obstruksi mekanis.
3. Resiko tinggi cedera berhubungan dnegan prosedur pembedahan.
4. Ansietas berhubungan dengan kesulitan menelan , ketidak nyamanan karena

pembedahan.
5. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan anak dengan defek fisik.

169. 170. Diagnos 171. Hasil 172. Intervensi


N a Keperawatan yang
diharapkan
173. 174. Bersihan Jalan napas tetap Lakukan penghisapan
1 jalan napas paten sesuai kebutuhan untuk
tidak efektif Bayi tidak menghilangkan
berhubungan teraspirasi sekresi penumpukan sekresi di
Pernapasan tetap
dengan lubang orofaring.
dalam batas Beri posisi telentang
abnormal antara
normal dengan kepala ditempatkan
esofagus dan
trakea atau pad asandaran yang
obstruksi untuk ditinggikan (sedikitnya 30
menelan sekresi derajat) untuk menurunkan
tekanan pada rongga
torakal dan meminimalkan
refluks sekresi lambung ke
esofagus distal dan
kedalam trakea dan bronki.
Beri oksigen jika bayi
menjadi sianotik untuk
membantu menghilangkan
distres pernapasan.
Jangan gunakan tekanan
positif (mis., kantong
resusitasi /masker ) karena
dapat memasukkan udara
kedalam lambung dan
usus, yang menimbulkan
tekanan tambahan pada
rongga torakal.
Puasakan untuk mencegah
aspirasi
Pertahankan penghisapan
segmen esofagus secara
intermiten atau kontinu
bila dipesankan pada masa
praoperasi untuk menjaga
agar kantong buntu
tersebut tetap kosong.
Tinggalkan selang
gastrotomi, bila ada,
terbuka untuk drainase
gravitasi, sehingga udara
dapat keluar,
meminimalkan regurgitas
isi lambung kedalam
trakea.
175. 176. Kerusak 177. Anak Beri makan melalui
2 an atau mengkonsumsi gastrotomi sesuai
kesulitan jumlah nutrisi ketentuan
menelan yang adekuat untukmemberikan nutrisi
berhubungan dan tidak sampai pemberian makan
dengan menunjukan oral memungkinkan.
obstruksi penolakan Lanjutkan pemberian
mekanis terhadap makan oral sesuai
makan, ketentuan, sesuai kondisi
malnutrisi, bayi dan perbaikan
atau displasia. pembedahan.
Observasi dengan ketat
untuk memastikan bayi
mampu menelan tanpa
tesedak.
Pantau masukan, keluaran,
dan berat badan untuk
mengkaji keadekuatan
masukan nutrisi.
Beri empeng pada bayi
untuk memberikan
penghisapan non nutrisi.
Ajarkan keluarga tentang
teknik pemberian makan
yang tepat untuk
mempersiapkan diri
terhadap pemulangan.
178. 179. Resiko 180. Anak Hisap hanya dengan
3 tinggi cedera tidak kateter yang diukur
berhubungan menunjukan sebelumnya sampai ke
dnegan bukti-bukti jarak yang tidak mencapai
prosedur cedera pada sisi pembedahan untuk
pembedahan sisi mencegah trauma pada
pembedahan mukosa.
181.182. Ansietas Bayi istirahat Beri stimilasi taktil (mis.,
4 berhubungan dengan dengan tenang, membelai, mengayun)
kesulitan menelan , sadar bila terjaga, untuk memudahkan
ketidak nyamanan dan melakukan perkembangan optimal dan
karena pembedahan. penghisapan non meningkatkan
183. nutrisi kenyamanan.
Mulut tetap Beri perawatan mulut
bersih dan untuk menjaga agar mulut
lembab tetap bersih dan membran
Nyeri yang mukosa lembab.
dialami anak Beri empeng dengan sering
minimal atau untuk memberikan
tidak ada. penghisapan non nutrisi.
Beri analgesik sesuai
dengan ketentuan
Dorong orang tua untuk
berpartisipasi dalam
perawatan anak untuk
memberi rasa nyaman dan
aman.
184. 185. Perubah Keluarga 186. Ajarkan pada keluarga
5 an proses menunjukkan tentang keterampilan dan
keluarga kemampuan observasi kebutuhan
berhubungan untuk perawatn dirumah:
dengan anak memberikan beri posisi untuk mencegah
dengan defek perawatan pada aspirasi
fisik bayi , memahami tanda-tanda distres untuk

tanda-tanda mencagah keterlambatan

komplikasi dan tindakan


tanda-tanda komplikasi
tindakan yang
(menolak makan, disfagia,
tepat.
peningkatan batuk)
sehingga praktis dapat
diberitahu.
Kebutuhan alat dan bahan
yang diperlukan
Perawatan gastrotomi bila
bayi telah dioperasi,
termasuk teknik-teknik
seperti penghisapan,
pmberian makan,
perawaan sisi operasi,
penggantian balutan, untuk
menjamin perawatan
setelah pulang
187.
188.
189.
190.
191.
192.
193.
194.
D. Stenosis Pilorus Hiperatrofi (SPH)
1. Definisi SPH (Stenosis Pilorus Hiperatrofi)
195. Hipertropi pylorius stenosis (HPS) merupakan suatu kondisi yang
terjadi pada bayi dengan lambung bagian pilorus mengalami penebalan yang
abnormal. Stenosis pilorik adalah penyempitan di bagian ujung lambung tempat
makanan keluar menuju ke usus halus. Akibat penyempitan tersebut, hanya
sejumlah kecil isi lambung yg bisa masuk ke usus, selebihnya akan dimuntahkan
sehingga anak akan mengalami penurunan berat badan. Gejala tersebut biasanya
muncul pada usia 2-6 minggu.

196.
2. Etiologi
197. Etiologi HPS sampai saat ini belum diketahui. HPS bisa merupakan
kejadian kongenital maupun didapat. Teori yang menjelaskan etiologi ini antara lain
hiperaktifitas lambung yang menyebabkan spasme, hipertropi muskulus dan inervasi
pilorus yang abnormal. Adanya predisposisi genetik disertai faktor lingkungan
merupakan penjelasan yang paling banyak diterima.
198.
3. Patofisiologi
199. Suatu hipertropi dan hyperplasia otot polos antrum lambung yang difus
akan menyempitkan lumen sehingga mudah tersumbat. Bagian antrum akan
memanjang, menebal menjadi 2 kali ukurn normal dan berkonsistensi seperti tulang
rawan. Penebalan otot tidak hanya terbatas pada suatu kumpulan serabut otot
sirkuler yang terpisah yaitu sfingter pylorus, tetapi meluas ke bagian proksimal ke
dalam antrum dan ke bagian distal berakhir pada permulaan duodenum. Sebagai
respons terhadap obstruksi lumen dan paristalik yang kuat otot lambung akan
menebal (hipertrofi) dan mengembang (dilatasi).
200.
4. Manifestasi klinik
201. Manifestasi klinis HPS terjadinya obstruksi yang menyebabkan
muntah proyektil sesudah pemberian minuman formula atau ASI. Muntah yang terus
menerus menyebabkan terjadinya pengosongan lambung. Frekuensi dan volume
muntah sering kuat dan berkepanjangan, sehingga produk muntah bisa berupa darah
karena gastritis.
202.
5. Pemeriksaan penunjang
203. Untuk menegakkan diagnosis HPS diperlukan pemeriksaan penunjang
yang meliputi pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium.
a. Pemeriksaan fisik
204. Pameriksaan fisik pada bayi bisa dilakukan Inspeksi, auskultasi,
palpasi dan perkusi. Pada palpasi tampak massa bentuk bulat telur dan
didapatkan perut buncit pada hipokondrium, dan tampak peristaltic meningkat
di dinding perut yang tipis. Bayi sering dating dengan tanda dehidrasi berupa
berat badan rendah dan nafsu makan yang tidak terpenuhi sehingga tampak
kening muka berkerut dan keriput.
b. Pemeriksaan Laboratorium
205. Pemeriksaan ultrasonografi (USG) pilihan untuk diagnosis HPS,
karena ultrasonografi bebas dari radiasi dan dapat mengikuti visualisasi dari
muskulus pylorus secara langsung.
206.
6. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1) Biodata
207. Nama :
208. Umur :
209. Jenis kelamin :
2) Keluhan pasien
3) Riwayat keluarga
210.
b. Diagnosa
1) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif
2) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan mual, muntah
211.
c. Intervensi
212.
213. Diagnosa 214. Tujuan dan
N 216. Intervensi
Keperawatan 215. Kriteria Hasil

217. 218. Kekurang 221. NOC : 223. NIC


1 an volume cairan 1. Fluid Balace 224. Fluid
2. Nutritional Status :
berhubungan management
Food and Fluid
dengan 1. Pertahankan catatan
Intake
kehilangan cairan intake dan output
222. Kriteria Hasil
aktif ditandai yang akurat.
1. Tekanan darah, nadi, 2. Monitor vital sign
dengan
3. Monitor masukan
suhu tubuh dalam
219. DO:
makanan/cairan dan
batas normal
Suhu tubuh 38 C 0
2. Tidak ada tanda- hitung intake kalori
220. DS:
Muntah tanda dehidrasi, harian.
4. Monitor status
elastisitas turgor
nutrisi
kulit baik, membran
5. Dorong keluarga
mukosa lembab,
untuk membantu
tidak ada rasa haus
pasien makan
yang berlebihan 6. Tawarkan snack (jus
buah, buah segar)
7. Kolaborasi dengan
dokter
225.
226.
227. Hypovolemia
Management
1. Monitor status cairan
termasuk intake dan
output cairan
2. Monitor respon pasien
terhadap penambahan
cairan.
3. Monitor berat badan
228. 229. Ketidak Lakukan pemberian
2. Rasional : untuk
seimbangan nutrisi makanan pasca
mencegah muntah
kurang dari operasi sesuai
232.
kebutuhan tubuh ketentuan
Rasional :
berhubungan dengan Mulai dengan
untuk menentukan jumlah
mual, muntah pemberian makan
dan frekuensi pemberian
230. sedikit tapi sering
makan selanjutnya
Observasi dan catat
233.
respon bayi terhadap Rasional :
pemberian makan untuk menyiapkan
Lakukan kembali pemulangan dan
menyusui atau pemberian nutrisi yang
dorong keluarga berkelanjutan
untuk memberi
makan bayi
231.

234.
235.
236. BABIII
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Pencernaan pada anak memiliki peran penting yaitu untuk membentuk daya tahan
tubuh. Anak yang memiliki pencernaan yang sehat maka akan mempengaruhi pada
kesehatan anak. Dengan memiliki kesehatan yang sehat maka tumbuh kembang anak
akan optimal. Selain itu anak yang memiliki pencernaan yang sehat akan mempengaruhi
kebutuhan nutrisi yang optimal. Sistem pencernaan sangat mempengaruhi nutrisi yang
dibutuhkan oleh anak, pada sistem pencernaan anak yang sehat maka akan mampu
menyerap gizi dari makanan dan minuman yang dikonsumsi sesuai dengan kebutuhan
tubuh anak apabila mengalami gangguan maka kebutuhan nutrisi terhambat apalagi
diusia anak 0-5 tahun yang termasuk masa emas anak.
Kurang Energi Protein (KEP) adalah seseorang yang kurang gizi yang disebabkan
oleh rendahnya komsumsi energi dan protein dalam makanan sehari -hari sehingga tidak
memenuhi angka kecukupan gizi (pudjiani, 2000). Seorang anak dapat disebut Kurang
Energi Protein (KEP) apabila berat badanya kurang dari 80 % indeks berat badan/umur
baku standar,WHO NCHS, (Depkes RI,1997).

Labiopalatoskisis merupakan kongenital abnormal yang berupa adanya kelainan


bentuk pada struktur wajah.Labiopalatoskisis biasa juga disebut dengan bibir sumbing
adalah malformasi yang disebabkan oleh gagalnya prosesus nasal median dan maksilaris
untuk menyatu selama perkembangan embrionik.

Atresia esofagus adalah malformasi yang disebabkan oleh kegagalan esofagus


untuk mengadakan pasase yang kontinu : esofagus mungkin saja tidak membentuk
sambungan dengan trakea (fistula trakeostomi). Atresia Esofagus terjadi pada sekitar
satu dari setiap 4000 kelahiran hidup; sekitar sepertiga dari bayi-bayi ini dilahirkan
secara prematur. Atresia esofagus biasanya disertai dengan fistula trakeoesofagus.

Hipertropi pylorius stenosis (HPS) merupakan suatu kondisi yang terjadi pada
bayi dengan lambung bagian pilorus mengalami penebalan yang abnormal. Stenosis
pilorik adalah penyempitan di bagian ujung lambung tempat makanan keluar menuju ke
usus halus.
DAFTAR PUSTAKA

Arisman. (2004). Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC.


Depkes RI. (1999). Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010.
Jakarta.
Hidayat, A. (2006). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba Medika.
Kowalak, J., Welsh, W., & Mayer, B. (2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Mansjoer, A. (2001). Kapita Selekta Kedokteran Edisi ketiga Jilid 1. Jakarta: EGC.
Marmi, & Rahardjo, K. (2012). Asuhan Neonatus Bayi Balita dan Anak Prasekolah.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nurarif, A., & Hardhi, K. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan NANDA NIC NOC Jilid 2.
Jakarta: Mediaction.
Price, S. (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC.
Pudjiadi, S. (2000). Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Jakarta: FK UI.
Smeltzer, S., & dkk. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner & Suddarth
Edisi VIII Vol.2. Jakarta: EGC.
Umiyarni. (2011, Maret). Retrieved Agustus 2016, from
http://unsoed.ac.id/files/2011/03/kurang-energi-protein-pdf.pdf
Wilkinson, & Judith M & Nancy R. (2015). Buku Saku Diagnosa Keperawatan dengan NIC
dan NOC Edisi 9. Jakarta: EGC.
Wong, D. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Edisi 6 Vol. 1. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai