TINJAUAN PUSTAKA
3.1.1. Definisi
Trauma tumpul abdomen adalah cedera pada abdomen tanpa penetrasi ke
dalam rongga peritoneum. Trauma tumpul abdomen didefinisikan sebagai kerusakan
terhadap struktur yang terletak diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh
luka tumpul. Trauma tumpul kadang tidak memberikan kelainan yang jelas pada
permukaan tubuh tetapi dapat mengakibatkan kontusio atau laserasi jaringan atau
organ di bawahnya. Trauma tumpul abdomen dapat menimbulkan cedera pada organ
berongga berupa perforasi atau pada organ padat berupa perdarahan. 1
3.1.2. Anatomi
Abdomen adalah bagian tubuh yang terletak antara diaphragma di bagian atas
dan pintu masuk pelvis dibagian bawah. Untuk kepentingan klinik, biasanya abdomen
dibagi dalam sembilan regio oleh dua garis vertikal, dan dua garis horizontal.
Masing-masing garis vertikal melalui pertengahan antara spina iliaca anterior
superior dan symphisis pubis. Garis horizontal yang atas merupakan bidang
subcostalis, yang mana menghubungkan titik terbawah pinggir costa satu sama lain.
Garis horizontal yang bawah merupakan bidang intertubercularis, yang
menghubungkan tuberculum pada crista iliaca. Bidang ini terletak setinggi corpus
vertebrae lumbalis V. 2
Pembagian regio pada abdomen yaitu : pada abdomen bagian atas : regio
hypochondrium kanan, regio epigastrium dan regio hypocondrium kiri. Pada
abdomen bagian tengah : regio lumbalis kanan, regio umbilicalis dan regio lumbalis
kiri. Pada abdomen bagian bawah : regio iliaca kanan, regio hypogastrium dan regio
iliaca kiri. 2
Gambar 3.1 Pembagian 9 regio
abdomen.
Dinding perut membentuk rongga perut yang melindungi isi rongga perut.
Perdarahan dinding perut berasal dari beberapa arah. Dari kranikaudal diperoleh
pendarahan dari cabang aa.interkostales VI s/d XII dan a.epigastrika superior. Dari
kaudal, a.iliaka sirkumfleksa superfisialis, a.pudenda eksterna, dan a.epigastrica
inferior. Kekayaan vaskularisasi ini memungkinkan sayatan perut horizontal maupun
vertikal tanpa menimbulkan gangguan pendarahan. Persarafan dinding perut dilayani
secara segmental oleh n.torakalis VI s/d XII dan n.lumbalis I. 2
Rongga perut (cavitas abdominalis) dibatasi oleh membran serosa yang tipis
mengkilap yang juga melipat untuk meliputi organ-organ di dalam rongga abdominal.
Lapisan membran yang membatasi dinding abdomen dinamakan peritoneum
parietale, sedangkan bagian yang meliputi organ dinamakan peritoneum viscerale. Di
sekitar dan sekeliling organ ada lapisan ganda peritoneum yang membatasi dan
menyangga organ, menjaganya agar tetap berada di tempatnya, serta membawa
pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf. Bagian-bagian peritoneum sekitar
masing-masing organ diberi nama-nama khusus. 2
a. Organ Intraperitoneal
1. Hepar
Merupakan kelenjar terbesar dan mempunyai tiga fungsi dasar, yaitu : (1)
pembentukan dan sekresi empedu yang dimasukkan ke dalam usus halus; (2)
berperan pada aktivitas metabolisme yang berhubungan dengan metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein; (3) menyaring darah untuk membuang bakteri dan
benda asing lain yang masuk dalam darah dari lumen usus. Hepar bersifat lunak dan
lentur dan menduduki regio hypochondrium kanan, meluas sampai regio epigastrium.
Permukaan atas hati cembung melengkung pada permukaan bawah diaphragma.
Permukaan postero-inferior atau permukaan viseral membentuk cetakan visera yang
berdekatan, permukaan ini berhubungan dengan pars abdominalis oesophagus,
lambung, duodenum, flexura coli dextra, ginjal kanan, kelenjar suprarenalis, dan
kandung empedu.
Dibagi dalam lobus kanan yang besar dan lobus kiri yang kecil, yang
dipisahkan oleh perlekatan peritonium ligamentum falciforme. Lobus kanan terbagi
menjadi lobus quadratus dan lobus caudatus oleh adanya kandung empedu, fissura
untuk ligamentum teres hepatis, vena cava inferior, dan fissura untuk ligamentum
venosum. Porta hepatis atau hilus hati ditemukan pada permukaan postero-inferior
dengan bagian atas ujung bebas omentum majus melekat pada pinggirnya. Hati
dikelilingi oleh capsula fibrosa yang membentuk lobulus hati. Pada ruang antara
lobulus-lobulus terdapat saluran portal, yang mengandung cabang arteri hepatica,
vena porta, dan saluran empedu (segitiga portal). 2
2. Limpa
Merupakan massa jaringan limfoid tunggal yang terbesar dan umumnya
berbentuk oval, dan berwarna kemerahan. Terletak pada regio hypochondrium kiri,
dengan sumbu panjangnya terletak sepanjang iga X dan kutub bawahnya berjalan ke
depan sampai linea axillaris media, dan tidak dapat diraba pada pemeriksaan fisik.
Batas anterior limpa adalah lambung, cauda pankreas, flexura coli sinistra. Batas
posterior pada diaphragma, pleura kiri ( recessus costodiaphragmatica kiri ), paru kiri,
costa IX, X, dan XI kiri. 2
3. Lambung
Vesica Fellia adalah kantong seperti buah pear yang terletak pada permukaan
viseral hati. Secara umum dibagi menjadi tiga bagian yaitu : fundus, corpus dan
collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hati;
dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung rawan
costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan viseral hati dana arahnya
keatas, belakang dan kiri. Sedangkan collum dilanjutkan sebagai ductus cysticus yang
berjalan dalam omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus
communis membentuk ductus choledochus. Batas anterior vesica fellia pada dinding
anterior abdomen dan bagian pertama dan kedua duodenum. Batas posterior pada
colon tranversum dan bagian pertama dan kedua duodenum. 2
Bagian pertama duodenum. Panjangnya 5 cm, mulai pada pylorus dan berjalan
keatas dan ke belakang pada sisi kanan vertebra lumbalis pertama. Bagian ini terletak
pada bidang transpilorica. Batas anterior pada lobus quadratus hati dan kandung
empedu. Batas posterior pada bursa omentalis (2,5 cm pertama), arteri
gastroduodenalis, ductus choledochus dan vena porta, serta vena cava inferior. Batas
superior pada foramen epiploicum Winslow dan batas inferior pada caput pankreas. 2
Bagian kedua duodenum. Panjangnya 8 cm, berjalan ke bawah di depan hilus ginjal
kanan di sebelah vertebra lumbalis kedua dan ketiga. Batas anterior pada fundus
kandung empedu dan lobus kanan hati, colon tranversum, dan lekukan- lekukan usus
halus. Batas posterior pada hilus ginjal kanan dan ureter kanan. Batas lateral pada
colon ascenden, flexura coli dextra, dan lobus kanan hati. Batas medial pada caput
pancreas. 2
Bagian ketiga duodenum. Panjangnya 8 cm, berjalan horisontal ke kiri pada bidang
subcostalis, mengikuti pinggir bawah caput pankreas. Batas anterior pada pangkal
mesenterium usus halus, dan lekukan-lekukan jejunum. Batas posterior pada ureter
kanan, muskulus psoas kanan, vena cava inferior, dan aorta. Batas superior pada
caput pankreas, dan batas inferior pada lekukan-lekukan jejunum. 2
Bagian keempat duodenum. Panjangnya 5 cm, berjalan ke atas dan kiri, kemudian
memutar ke depan pada perbatasan duodenum dan jejunum. Terdapat ligamentum
Treitz yang menahan junctura duodeno-jejunalis. Batas anterior pada permulaan
pangkal mesenterium dan lekukan-lekukan jejunum. Batas posterior pada pinggir kiri
aorta dan pinggir medial muskulus psoas kiri. 2
6. Usus besar
Caecum terletak pada fossa iliaca, panjang 6 cm, dan diliputi oleh
peritonium. Batas anterior pada lekukan-lekukan usus halus, sebagian omentum
majus, dan dinding anterior abdomen regio iliaca kanan. Batas posterior pada m.
psoas dan m. iliacus, n. femoralis, dan n. cutaneus femoralis lateralis. Batas medial
pada appendix vermiformis. 2
Colon ascenden terletak pada regio iliaca kanan dengan panjang 13 cm.
Berjalan ke atas dari caecum sampai permukaan inferior lobus kanan hati, di mana
colon ascenden secara tajam ke kiri, membentuk flexura coli dextra, dan dilanjutkan
sebagai colon tranversum. Peritonium menutupi pinggir dan permukaan depan colon
ascenden dan menghubungkannya dengan dinding posterior abdomen. Batas anterior
pada lekukan-lekukan usus halus, omentum majus, dan dinding anterior abdomen.
Batas posterior pada m. Iliacus, crista iliaca, m. Quadratus lumborum, origo m.
Tranversus abdominis, dan kutub bawah ginjal kanan. 2
Colon descenden terletak pada regio iliaca kiri, dengan panjang 25 cm.
Berjalan ke bawah dari flexura coli sinistra sampai pinggir pelvis. Batas anterior pada
lekukan-lekukan usus halus, omentum majus, dan dinding anterior abdomen. Batas
posterior pada pinggir lateral ginjal kiri, origo m. Tranversus abdominis, m.
Quadratus lumborum, crista iliaca, m. Iliacus, dan m. Psoas kiri. 2
b. Organ Retroperitoneal
Ginjal
Ginjal dikelilingi oleh capsula fibrosa yang melekat erat dengan cortex ginjal.
Di luar capsula fibrosa terdapat jaringan lemak yang disebut lemak perirenal. Fascia
renalis mengelilingi lemak perirenal dan meliputi ginjal dan kelenjar suprarenalis.
Fascia renalis merupakan kondensasi jaringan areolar, yang di lateral melanjutkan diri
sebagai fascia tranversus. Di belakang fascia renalis terdapat banyak lemak yang
disebut lemak pararenal. 2
Batas anterior ginjal kanan pada kelenjar suprarenalis, hati, bagian kedua
duodenum, flexura coli dextra. Batas posterior pada diaphragma, recessus
costodiaphragmatica pleura, costa XII, m. Psoas, m. Quadratus lumborum, dan m.
Tranversus abdominis. Pada ginjal kiri, batas anterior pada kelenjar suprarenalis,
limpa, lambung, pankreas, flexura coli kiri, dan lekukan-lekukan jejunum. Batas
posterior pada diaphragma, recessus costodiaphragmatica pleura, costa XI, XII, m.
Psoas, m. Quadratus lumborum, dan m. Tranversus abdominis. 2
Ureter
Pada ureter kanan, batas anterior pada duodenum, bagian terminal ileum, av.
Colica dextra, av. Iliocolica, av. Testicularis atau ovarica dextra, dan pangkal
mesenterium usus halus. Batas posterior pada m. Psoas dextra.Batas anterior ginjal
kiri pada colon sigmoideum, mesocolon sigmoideum, av. Colica sinistra, dan av.
Testicularis atau ovarica sinistra. Batas posterior pada m. Psoas sinistra. 2
Pankreas
3.1.3. Insiden
3.1.5. Klasifikasi
Berdasaran jenis organ yang cedera dapat dibagi dua :6
1. Pada organ padat seperti hepar dan limpa dengan gejala utama perdarahan
2. Pada organ berongga seperti usus dan saluran empedu dengan gejala utama adalah
peritonitis
Berdasarkan daerah organ yang cedera dapat dibagi dua, yaitu :
1. Organ Intraperitoneal : Ruptur HatiRuptur LimpaRuptur Usus Halus
2. Organ Retroperitoneal. Retroperitoneal abdomen terdiri dari ginjal, ureter,
pancreas, aorta, dan vena cava. Trauma pada struktur ini sulit ditegakkan
diagnosis berdasarkan pemeriksaan fisik. Evaluasi regio ini memerlukan CT scan,
angiografi, dan intravenous pyelogram.trauma pada daerah ini menyebabkan
ruptur Ginjal, ruptur Pankreas,ruptur Ureter
5 Penatalaksanaan
Pasien dengan trauma abdomen, secara umum diklasifikasikan menjadi 2,
berdasarkan kondisi hemodinamik setelah resusitasi awal:
Hemodinamik normal
Pemeriksaan lengkap dan penatalaksanaan dapat segera direncanakan
Hemodinamik stabil
Pemeriksaan lebih terbatas dan ditujukan untuk menentukan apakah pasien dapat
ditangani secara non operatif, apakah angioembolisasi dapat digunakan ataukah
membutuhkan pembedahan
Hemodinamik tidak stabil
Membutuhkan intervensi bedah segera untuk menghentikan perdarahan
Laparotomi trauma merupakan langkah terakhir yang dilakukan untuk
menggambarkan cedera intra abdomen. Adakalanya sulit untuk menentukan sumber
perdarahan pada pasien dengan trauma multiple, dan apabila masih ada keraguan,
laparotomi dapat menjadi pilihan.
Penatalaksanaan pada pasien-pasien trauma tumpul abdomen pada dasarnya
sama dengan trauma-trauma lainnya berupa primary survey yang cepat, resusitasi,
secondary survey dan akhirnya terapi definitif.
a. Primary survey
Selama primary survey, keadaan yang mengancam nyawa harus dikenalidan
resusitasinya dilakukan pada saat itu juga. Tindakan primary survey dilakukan secara
berurutan sesuai prioritas tapi dalam praktenya hal-hal tersebut sering dilakukan
bersamaan (simultan).
Airway
Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas berupa obstruksi
jalan napas yang dapat disebabkan oleh benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur
mandibula, maksila atau trakea. Membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra
servikal dengan melakukan jaw thrust. Pada pasien yang dapat berbicara dapat
dianggap bahwa jalan napas bersih dan tetap harus dinilai ulang. Pada pasien yang
masih sadar dapat memakai nasopharingeal airway, sedanglkan pada pasien yang
tidak sadar dan tidak ada gag reflex dapat menggunakan oropharingeal airway. Pasien
dengan GCS kurang dari 8 atau adanya keraguan mengenai kemampuan menjaga
airway perlunya airway definitif.
Breathing
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik
meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada, dan diafragma. Buka dada pasien
untuk melihat ekspansi pernapasan. Auskultasi untuk memastikan masuknya udara ke
dalam paru. Perkusi untuk menilai adanya udara atau cairan dalam rongga pleura.
Inspeksi dan palpasi untuk melihat abnormalitas gerakan atau getaran dinding dada.
Jika ada gangguan ventilasi atau gangguan kesadaran diatasi dengan face mask,
intubasi endotrakeal yaitu nasopharingeal airway atau oropharingeal airway.
Kemudian pasang pulse oximetry untuk menilai saturasi O2 yang adekuat.
Circulation
Penilaian pada tahap ini meliputi volume darah, tingkat kesadaran, warna kulit
dan nadi.
1. Volume darah
Adanya hipotensi harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia sampai
terbukti sebaliknya. 3 jenis penilaian secara cepat yang dapat memberikan gambaran
keaadaan tersebut yaitu tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi.
2. Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang yang
mengakibatkan penurunan kesadaran.
3. Warna kulit
Pasien trauma yang kulitnya kemerahan, terutama pada wajah dan ekstremitas
jarang dalam keadaan hipovolemia. Sebaliknya wajah pucat keabu-abuan dan kulit
ekstremitas yang pucat sebagai tanda hipovolemia.
4. Nadi
Periksa pada nadi besar seperti arteri femoralis, arteri karotis, untuk kekuatan,
kecepatan dan irama nadi. Nadi yang tidak cepat, kuat dan teratur merupakan
normovolemia ( bila tidak minum beta bloker). Nadi yang cepat dan kecil merupakan
hipovolemia. Kecepatan nadi yang normal tidak menjamin normovolemia. Nadi yang
tidak teraur biasanya tanda gangguan jantung. Tidak ada pulsasi dari arteri besar
mengindikasikan perlunya resusitasi segera.
5. Perdarahan
Perdarahan eksternal yang tampak dihentikan dengan penekanan pada luka.
Spalk udara ( pneumatic splinting device) sebagai pengontrol perdarahan yang
tembus cahaya. Torniquet sebaiknya jangan dipakai karena merusak jaringan dan
menyebabkan iskemia distal, kecuali pada amputasi traumatik. Sedangkan pemakaian
hemostat memerlukan waktu dan dapat merusak jaringan seperti saraf dan pembuluh
darah.
Jika ada gangguan sirkulasi atau syok hipovolemia minimal pasang 2 IV line
untuk resusitasi cairan kristaloid (ringer laktat / RL) 2-3 liter. Jika tidak ada respon
diberikan tranfusi darah segolongan. Jika tidak ada darah segolongan, dapat diberikan
darah tipe O rhesus negatif atau darah tipe O rhesus positif dengan titer rendah.
Jangan memberikan vasopresor, steroid atau bikarbonas natricus. Jangan memberikan
resusitasi cairan RL atau transfusi darah secara terus menerus, karena keadaan ini
harus dilakukan resusitasi operatif untuk menghentikan perdarahan.
Sebelum resusitasi, lakukan dengan cepat pemeriksaan genitalia dan colok
dubur untuk menilai ada tidaknya tanda-tanda ruptur uretra yaitu prostat letak tinggi
atau tidak teraba. Tanda lain ruptur uretra berupa adanya darah di orifisium uretra
eksternal (metal bleeding), hematom skrotum atau di perineum. Jika tidak ada tanda-
tanda tersebut maka selama resusitasi, pasang kateter urin untuk menilai perfusi ginjal
dan hemodinamik pasien. Namun, jika diduga adanya ruptur uretra, jangan pasang
kateter urin tetapi lakukan uretrogram terlebih dahulu.
Nasogastric tube (NGT) dipakai untuk mengurangi distensi lambung dan
mengurangi kemungkinan muntah. Darah dalam lambung dapat disebabkan karena
traumatik karena pemasangan NGT atau perlukaan lambung. Jika ada dugaan patah
pada lamina kibrosa, NGT yang dipasang hanya bisa yang melaluui mulut untuk
mencegah masuknya NGT dalam rongga otak.
Disability
Pada tahap ini dilakukan penilaian neurologis secara cepat berupa tingkat
kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat cedera spinal.
Exposure
Pada tahap ini, pakaian pasien dibuka keseluruhan kemudian dinilai kelainan
yang tampak secara cepat. Selanjutnya selimuti pasien agar tidak hipotermi.
b. Secondary survey
Secondary survey adalah pemeriksaan kepala hingga kaki (head to toe)
termasuk anamnesis dan reevaluasi pemeriksaan tanda vital. Tahap ini baru dilakukan
setelah primary survey dan resusitasi selesai serta pasien dipastikan sudah membaik.
Jika kondisi hemodinamik pasien sudah stabil tanpa tanda-tanda peritonitis bisa
diperiksa lebih detail untuk menentukan apakah ada trauma spesifik atau apakah
selama observasi timbul tanda peritonitis atau perdarahan.
Anamnesis
Pada trauma tumpul abdomen terutama akibat kecelakaan lalu lintas,
Pemeriksaan fisik
Meskipun pemeriksaan fisik merupakan langkah awal untuk evaluasi perlu
tidaknya dilakukan tindakan pembedahan, tetapi validitasnya diragukan pada trauma
tumpul abdomen. Pemeriksaan fisik ini tidak dapat diandalkan terutama bila
ditemukan adanya efek dari alkohol, obat terlarang, analgesik atau narkotik, atau
penurunan kesadaran.3,4,7 Selain itu juga sulitnya akses untuk palpasi organ-organ
pelvis, abdomen atas, dan retroperitoneal menyebabkan pemeriksaan fisik ini tidak
dapat diandalkan.7 Fraktur iga bawah, fraktur pelvis, dan kontusio dinding abdomen
juga dapat menyerupai tanda-tanda peritonitis. Powell et al melaporkan bahwa
pemeriksaan fisik saja hanya memiliki tingkat akurasi sebesar 65% dalam mendeteksi
ada tidaknya perdarahan intra-abdomen.4 Pemeriksaan fisik abdomen inisial
menghasilkan 16% positif palsu, 20% negatif palsu, 29% nilai perkiraan positif, dan
48% nilai perkiraan negatif untuk menentukan perlu tidaknya laparotomi eksplorasi.3
Pemeriksaan fisik pada trauma abdomen ditujukan untuk secara cepat
mengidentifikasi pasien yang membutuhkan laparotomi. Cedera abdomen sering
menyebabkan nyeri dan kejang pada dinding perut dan membuat diagnosis menjadi
sulit . Patah tulang rusuk bawah, patah tulang panggul, atau kontusio dinding perut
dapat menyerupai tanda-tanda peritonitis. Karena manifestasi utama dari trauma
tumpul organ padat adalah perdarahan, pasien harus dipantau secara ketat selama
penilaian awal, dan adanya syok refrakter dianggap akibat perdarahan masif. Pasien
harus diperiksa dari kepala sampai kaki untuk tanda-tanda trauma tumpul dan luka
tembus. Lecet kecil atau ekimosis menunjukkan cedera intraabdominal lokal yang
signifikan. Dinding dan belakang perut harus diperiksa secara hati-hati, dan adanya
ekimosis posterior meningkatkan kemungkinan cedera retroperitoneal . Tidak adanya
bising usus berhubungan dengan ileus, dalam konteks unit gawat darurat, adanya
bising usus tidak sensitif untuk membedakan antara pasien yang memerlukan
laparotomy atau tidak.
Pada palpasi dapat ditemukan nyeri lokal, kejang, atau kekakuan dinding
perut. Temuan ini dan temuan rebound tenderness konsisten dengan peritonitis dan
perforasi organ berongga. Nyeri suprapubik dan panggul dapat menunjukkan patah
tulang panggul, dinilai pada pasien sadar. Pemeriksaan perineum dan meatus uretra
rutin dilakukan untuk mencari tanda-tanda fraktur panggul dan kemungkinan cedera
uretra. Pemeriksaan rectal toucher dilakukan dan tonus sfingter ani dievaluasi.
Integritas dinding rektum, posisi dan mobilitas prostat terkait dengan cedera uretra
juga dievaluasi. Tinja harus diperiksa untuk mencari adanya darah samar. Kateter
uretra dipasang, dan sampel urin dikirim untuk analisis adanya hematuria
mikroskopik. Jika cedera pada uretra dicurigai, urethrography retrograde ( RUG )
harus dilakukan sebelum mencoba kateterisasi. Perforasi viskus berongga mungkin
memerlukan beberapa jam sebelum peritonitis menjadi jelas . Perforasi kolon atau
lambung menyebabkan peritonitis lebih cepat.
a. Tingkat kesadaran dan tanda-tanda vital
b. Regio kepala
Pemeriksaan berupa konjungtiva anemis, dan tanda-tanda trauma kepala yang terjadi
bersamaan dengan trauma abdomen yaitu adanya luka dan kontusio pada kulit kepala,
fraktur, edema palbebra, benda asing dalam mata, perdarahan konjungtiva, ukuran
dan respon pupil.
c. Regio maksilofasial
Pada regio ini diperiksa untuk menilai adanya tanda-tanda trauma kepala yang
mungkin terjadi bersamaan dengan trauma abdomen yaitu fraktur tulang wajah yang
mungkin juga ada fraktur lamina kribosa.
d. Regio vertebra servikalis dan leher
Pada regio ini diperiksa untuk menilai adanya tanda-tanda trauma kepala yang
mungkin terjadi bersamaan dengan trauma abdomen. pasien dengan trauma kepala
atau trauma maksilofasial dianggap ada fraktur servikal. Maka dilakukan imobilisasi
hingga vertebra servikal diperiksa teliti dengan foto servikal. Melakukan pemeriksaan
neurologis untuk menilai defisit neurologis yang disesuaikan dengan penjalaran
persarafan servikal.
Pemeriksaan leher meliputi inspeksi adanya jejas, palpasi dan auskultasi pada arteri
karotis.
e. Regio toraks
Pemeriksaan toraks diutamakan jika ada trauma torakas yang juga terjadi bersamaan
dengan trauma abdomen. inspeksi dari depan dan belakang untuk menilai adanya flail
chest atau open pneumothorax, hematom pada dinding dada, distensi vena jugularis.
Palpasi pada setiap kosta dan klavikula untuk menilai adanya fraktur. Auskultasi
bising napas pada atas toraks untuk menentukan pneumotoraks dan bagian posterior
untuk menilai adanya hemotoraks. Bunyi jantung yang jauh disertai nadi yang kecil
mungkin disebabkan tamponade jantung. Suara napas yang menurun pada auskultasi
dan hipersonor pada perkusi disertai syok mengarahkan pada pneumotoraks.
f. Regio abdomen
1. Inspeksi
Baju penderita harus dibuka semua. Amati adanya :
a) Hematom, seat belt sign, vulnus ekskoriatum, vulnus laseratum, vulnus puctum,
benda asing yang tertancap
b) Keluarnya isi perut
c) Distensi abdomen, yang biasanya berhubungan dengan pneumoperitoneum, dilatasi
gaster, atau ileus akibat iritasi peritoneal.
d) Kebiruan pada regio flank, punggung bagian bawah ( grey turner sign) menandakan
adanya perdarahan retroperitoneal yang melibatkan ginjal, pankreas, atau fraktur
pelvis.
e) Kebiruan disekitar umbilikus (cullen sign) menandakan adanya perdarahan pankreas.
2. Auskultasi
Penurunan peristaltik usus dapat berasal dari adanya peritonitis kimiawi karena
perdarahan atau ruptur organ berongga. Cedera pada struktur yang berdekatan seperti
tulang iga, tulang belakang atau tulang panggul juga dapat mengakibatkan ileus
meskipun tidak ada cedera intraabdomen sehingga tidak ada peristaltik usus bukan
berarti pasti ada cedera intraabdomen. Adanya peristaltik usus pada toraks
menandakan adanya cedera pada diafragma.
3. Perkusi
Perkusi pada dinding abdomen menyebabkan pergerakan peritoneum dan dapat
menunjukkan peritonitis. Perkusi timpani pada kuadran atas akibat dari dilatasi
lambung akut atau bunyi redup bila ada hemoperitoneum.
4. Palpasi
Kecenderungan mengeraskan dinding abdomen (voluntary guarding) dapat
menyulitkan pemeriksaan. Sebaliknya, defans muskular (voluntary guarding)
merupakan tanda iritasi peritoneum.palpasi dilakukan selain menilai haltersebut juga
untuk mengetahui adanya nyeri tekan superfisial,nyeri tekan dalam. Nyeri tekan lepas
menandakan peritonitis akibat darah atau isis usus.
Pada kasus trauma tumpul ini, perlu curiga akan adanya fraktur pelvis. Oleh karena
itu, untuk menilai stabilisasi pelvis dengan cara menekankan tangan pada tulang-
tulang iliakauntuk membangkitkan gerakan abnormal atau nyeri tulang.
g. Regio penis, perineum, rektum dan vagina
Adanya darah pada meatus uretra menyebabkan dugaan kuat robeknya uretra. Adanya
ekimosis atau hematom pada inspeksi skrotum dan perineum dapat diduga kuat
robeknya uretra.
h. Regio muskuloskeletal
i. Pemeriksaan khusus neurologis
Pemeriksaan diagnostik pada trauma tumpul abdomen
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan hematokrit adalah studi darah utama nilai dalam evaluasi awal
pasien dengan trauma abdomen . Jumlah leukosit, kreatinin serum , glukosa , serum
amilase/ lipase, dan penentuan serum elektrolit sering diperoleh untuk referensi tetapi
biasanya memiliki sedikit nilai pada periode manajemen langsung, tapi sangat
penting untuk penilaian serial. Diagnosis perdarahan masif biasanya jelas dari
parameter hemodinamik, dan hematokrit hanya menegaskan diagnosis. Anemia
delusional iatrogenik umum terjadi, dengan adanya stabilitas hemodinamik,
ditoleransi dengan baik. Hematokrit serial yang mengalami penurunan terus-menerus
mengidentifikasi perdarahan yang sedang berlangsung dan membutuhkan intervensi
operasi segera. Urinalisis menegaskan kehadiran hematuria mikroskopik. Untuk
trauma tumpul, evaluasi radiografi ( biasanya dengan CT ) dari ginjal dan kandung
kemih harus dimulai pada pasien dengan gross hematuria atau hematuria mikroskopik
dan syok (tekanan darah sistolik < 90 mm Hg pada orang dewasa) pada setiap titik
selama pra-rumah sakit atau instalasi gawat darurat. Serum amilase tidak sensitif dan
spesifik sebagai penanda untuk cedera pankreas. Cedera pada kepala dan wajah
sering menyebabkan peningkatan konsentrasi amilase plasma. Tingkat lipase serum
tidak meningkat pada trauma wajah dan mungkin lebih spesifik daripada tingkat
amilase. Sensitivitas dan spesifisitas kadar lipase , bagaimanapun, terutama pada
periode postinjury awal masih relatif rendah.
Bilamana ada bukti awal ataupun bukti yang jelas yang menunjukan pasien
harus segera ditransfer, pemeriksaan yang memerlukan waktu banyak tidak perlu
dilakukan. Pemeriksaan seperti ini antara lain pemeriksaan rontgen foto dengan
kontras untuk gastrointestinal maupun urologi ,DPI,maupun CT scan (lihat tabel 1 ,
DPL Vs FAST Vs CT scan pada trauma tumpul).
Pemeriksaan Radiografi
Studi radiologis yang pernting untuk evaluasi trauma abdomen adalah rontgen dada,
uretrografi retrograde, sistografi, CT scan, USG, dan angiografi. Selain itu, semua
luka dari trauma tembus harus dievaluasi dengan radiograf polos dengan penggunaan
penanda radiodense di situs luka untuk memungkinkan evaluasi dari lintasan rudal .
Pada trauma tumpul, foto anteroposterior panggul dapat menggambarkan patah tulang
panggul yang tidak terdeteksi pada pemeriksaan fisik. Fraktur transversal dari
vertebra hrus meningkatkan pencarian cedera usus tumpul serius.
Nilai foto polos abdomen setelah trauma tumpul sangat terbatas dan tidak secara rutin
diperoleh . Nilai yang lebih besar adalah pemeriksaan CT scan, USG, dan angiografi.
CT memiliki nilai nyata dalam penilaian yang akurat tentang cedera organ padat,
terutama dari hati, ginjal, dan limpa, CT kontras memiliki akurasi yang besar dalam
penggambaran perdarahan intraabdominal. Keakuratan CT scan dalam evaluasi
cedera viskus berongga agak lebih terbatas, namun perbaikan teknolohi CT telah
menigkatkan sensitivitas CT dalam mendeteksi tanda-tanda yang lebih halus dari
cedera pada usus . CT juga sangat spesifik dalam evaluasi cedera retroperitoneal dan
merupakan studi diagnostik yang paling berguna dan informatif untuk pasien dengan
trauma abdomen.
X-ray toraks berguna untuk evaluasi trauma tumpul abdomen karena beberapa alasan.
Pertama, dapat mengidentifikasi adanya fraktur iga bawah. Bila hal tersebut
ditemukan, tingkat kecurigaan terjadinya cedera abdominal terutama cedera hepar
dan lien meningkat dan perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut dengan CT scan
abdomen-pelvis. Kedua, dapat membantu diagnosis cedera diafragma. Pada keadaan
ini, x-ray toraks pertama kali adalah abnormal pada 85% kasus dan diagnostik pada
27% kasus.3 Ketiga, dapat menemukan adanya pneumoperitoneum yang terjadi akibat
perforasi hollow viscus. Sama dengan fraktur iga bawah, fraktur pelvis yang
ditemukan pada x-ray pelvis dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya cedera
intra-abdominal sehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan dengan CT scan
abdomen-pelvis. Pyelografi intravena dan sistogram retrograd merupakan tes yang
berguna dalam evaluasi penderita dengan hematuria.3,4
Pemeriksaan Focused Assessment with Sonography for Trauma (FAST) telah diterima
secara luas sebagai alat untuk evaluasi trauma abdomen. Alatnya yang portabel
sehingga dapat dilakukan di area resusitasi atau emergensi tanpa menunda tindakan
resusitasi, kecepatannya, sifatnya yang non-invasif, dan dapat dilakukan berulang kali
menyebabkan FAST merupakan studi diagnostik yang ideal. Namun tetap didapatkan
beberapa kekurangan, terutama karena ketergantungannya terhadap jumlah koleksi
cairan bebas intraperitoneal untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang positif.
Cedera hollow viscus dan retroperitoneal sulit dideteksi dengan pemeriksaan ini.
Mengenai keuntungan dan kerugian FAST dapat dilihat pada tabel berikut ini.4
KEUNTUNGAN KERUGIAN
Dapat dilakukan pada evaluasi awal Negatif palsu : cedera retroperitoneal dan
hollow viscus
Murah
Ultrasound dapat digunakan sebagai alat diagnostik bedside dikamar resusitasi ,yang
secara bersamaan dengan pelaksanaan beberapa prosedur diagnostik maupun
terapeutik lainnya. Indikasi pemakainya sama dengan indikasi DPL. Faktor yang
mempengaruhi penggunaannya antara lain adalah obesitas , adanya udara subkutan
ataupun bekas operasi abdomen sebelumnya. Scaning dengan ultrasound bisa dengan
cepat dilakukan untuk mendeteksi hemoperitoneum. Dicari scan dari kantung
perikard ,fossa hepatorenalis ,fossa splenorenalis ataupun cavum douglas. Sesudah
scan pertama ,30 menit berikutnya idealnya dilakukan lagi scan kedua atau scan
kontrol scan kontrol ini gunanya adalah untuk melihat pertambahan
hemoperitoneum pada pasien dengan perdarahan yang berangsur-angsur.
Indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan CT scan abdomen dapat dilihat pada tabel
berikut ini. Kekurangannya adalah penderita yang harus dibawa ke ruangan CT scan
dan biayanya mahal dibandingkan dengan modalitas lainnya. CT scan pada cedera
organ padat digunakan untuk menentukan derajat cedera dan evaluasi ekstravasasi
kontras. 4
INDIKASI KONTRAINDIKASI
CT abdomen dan pelvis adalah studi diagnostik utama pada trauma abdomen dengan
hemodinamik stabil. Sensitifitasnya berkisar antara 92% dan 97,6% dengan spesifitas
yang tinggi sekitar 98,7%.1 CT dapat menyediakan informasi yang berguna berkaitan
dengan cedera organ spesifik dan lebih unggul dalam hal mendiagnosis cedera
retroperitoneal dan pelvis. Namun, CT kurang sempurna dalam mengidentifikasi
cedera hollow viscus sehingga bila timbul kecurigaan terjadinya cedera tersebut, DPL
dapat dilakukan sebagai pemeriksaan tambahan. 4
Root et al pada tahun 1965 memperkenalkan DPL sebagai tes diagnostik yang
cepat, akurat, dan murah untuk deteksi perdarahan intra-peritoneal pada trauma
abdomen. Kerugiannya adalah bersifat invasif, risiko komplikasi dibandingkan
tindakan diagnostik non-invasif, tidak dapat mendeteksi cedera yang signifikan
(ruptur diafragma, hematom retroperitoneal, pankreas, renal, duodenal, dan vesica
urinaria), angka laparotomi non-terapetik yang tinggi, dan spesifitas yang rendah.
Dapat juga didapatkan positif palsu bila sumber perdarahan adalah imbibisi dari
hematom retroperitoneal atau dinding abdomen. Adapun indikasi dan kontraindikasi
DPL dapat dilihat pada tabel berikut ini. 7
Kriteria untuk DPL positif pada trauma tumpul abdomen tercantum pada tabel 3.
Pada penderita dengan hemodinamik tidak stabil, DPL positif mengindikasikan
perlunya tindakan laparotomi segera. Namun pada penderita dengan hemodinamik
stabil, kriteria DPL terlalu sensitif dan non-spesifik. Oleh karena itu, bila DPL positif
berdasarkan aspirasi darah gross atau hitung sel darah merah (SDM) pada populasi
penderita dengan hemodinamik stabil, tidak mutlak artinya diperlukan tindakan
laparotomi segera untuk menghindari dilakukannya eksplorasi yang non-terapetik.3,7
Tabel 2. Indikasi dan Kontraindikasi DPL7
INDIKASI KONTRAINDIKASI
Pemeriksaan fisik yang meragukan Mutlak : indikasi untuk laparotomi eksplorasi
sudah jelas
Syok atau hipotensi yang tidak dapat Relatif : riwayat laparotomi eksplorasi
dijelaskan sebelumnya, kehamilan, morbid obesity
Penurunan kesadaran( cedera kepala tertutup,
obat-obatan) ,sirrhosis yang lanjut ,dan adanya koagulopati
sebelumnya .
Penderita dalam narkose umum untuk
prosedur ekstra abdominal
ATLS juga menyebutkan indikasi DPL yaitu pasien hemodinamik tidak stabi dengan:
Juga diindikasikan pada pasien dengan hemodinamik stabil bila dijumpai hal seperti
diatas, dan disini tidak kita miliki fasilitas USG ataupun CT scan.
Adanya aspirasi darah segar ,isi gastrointestinal ,sarat sayuran atau empedu yang
keluar,melalui tube DPL pada pasien dengan hemodinamik yang abnormal
menunjukan indikasi kuat untuk laparatomi . bila tidak ada darah segar (>10 cc)
ataupun cairan feces , dilakukan lavase dengan 1000 cc ringer laktat (pada anak-anak
10cc/kg) .sesudah cairan tercampur dengan cara menekan maupun melakukan log-
roll , cairan di tempung kembali dan diperiksa dilaboratorium untuk melihat isi
gastrointestinal ,serat maupun empedu.
Laparoskopi
Laparoskopi diagnostik pada trauma tumpul abdomen merupakan ilmu yang masih
dalam perkembangan dan masih terbatas penggunaannya. Bila dilakukan secara
selektif pada penderita dengan hemodinamik stabil, laparoskopi merupakan tindakan
yang aman dan secara teknis memungkinkan. Chol et al melaporkan terjadi
pengurangan angka laparotomi negatif atau non-terapetik dengan laparoskopi
diagnostik tersebut.3 Namun laparoskopi adalah tindakan yang bersifat invasif serta
mahal dan nampaknya saat ini tidak lebih unggul dari modalitas lain dalam penentuan
keputusan.4
1. RADIOGRAFI
6 Ruptur hepar
Hepar dapat mengalami laserasi dikarenakan trauma tumpul ataupun trauma tembus.
Hepar merupakan organ yang sering mengalami laserasi, sedangkan empedu jarang
terjadi dan sulit untuk didiagnosis. Pada trauma tumpul abdomen dengan ruptur hati
sering ditemukan adanya fraktur costa VII IX. Pada pemeriksaan fisik sering
ditemukan nyeri pada abdomen kuadran kanan atas. Nyeri tekan dan Defans muskuler
tidak akan tampak sampai perdarahan pada abdomen dapat menyebabkan iritasi
peritoneum ( 2 jam post trauma). Kecurigaan laserasi hepar pada trauma tumpul
abdomen apabila terdapat nyeri pada abdomen kuadran kanan atas. Jika keadaan
umum pasien baik, dapat dilakukan CT Scan pada abdomen yang hasilnya
menunjukkan adanya laserasi. Jika kondisi pasien syok, atau pasien trauma dengan
kegawatan dapat dilakukan laparotomi untuk melihat perdarahan intraperitoneal.
Ditemukannya cairan empedu pada lavase peritoneal menandakan adanya trauma
pada saluran empedu. 4
PENATALAKSANAAN NON-OPERATIF
PENATALAKSANAAN OPERATIF
Apapun mekanisme traumanya, prinsip utama pada operatif trauma adalah pemaparan
(exposure) dan hemostasis, terutama pada trauma hepar. Setelah dilakukan mobilisasi
hepar yang adekuat, laserasi simpel dapat ditangani dengan penekanan langsung,
elektrokauterisasi, koagulasi sinar argon, dan agen hemostatik topikal.3 Teknik finger
fracture dengan ligasi langsung pada pembuluh darah yang ruptur juga dapat
dilakukan.
Pada cedera yang berat akan lebih sulit untuk mencapai hemostasis. Jika teknik yang
telah disebutkan gagal, dilakukan kompresi portal triad (the Pringle maneuver) yang
akan mengontrol perdarahan yang berasal dari vena porta dan sistem arterial hepatik.
Jika manuver tersebut efektif, pada laserasi dapat dilakukan finger fractionation dan
ligasi langsung pembuluh darah yang ruptur. Setelah hemostasis tercapai, dilakukan
tampon pada laserasi dengan menggunakan flap omental. Jahitan-dalam hepar
sebaiknya tidak dilakukan lagi.3
Bila manuver Pringle tersebut gagal, perlu dicurigai adanya cedera vena hepatik atau
cedera vena cava inferior retrohepatik. Pada keadaan ini, mendapatkan kontrol
vaskuler adalah sangat menantang. Eksklusi hepatik total atau atriocaval shunt
merupakan pilihan yang tidak dapat dianggap mudah. Pada cedera seperti ini perlu
dipertimbangkan lebih dalam untuk melakukan teknik damage control, yang meliputi
abdominal packing dan penutupan abdomen sementara.3,4
Palpasi. Peritoneum parietal dipersarafi oleh nervus somatik dan viseral yang sangat
sensitif. Bagian anterior dari peritoneum parietale adalah yang paling sensitif. Palpasi
harus selalu dilakukan di bagian lain dari abdomen yang tidak dikeluhkan nyeri. Hal
ini berguna sebagai pembanding antara bagian yang tidak nyeri dengan bagian yang
nyeri. Nyeri tekan dan defans muskular (rigidity) menunjukkan adanya proses
inflamasi yang mengenai peritoneum parietale (nyeri somatik). Defans yang murni
adalah proses refleks otot akan dirasakan pada inspirasi dan ekspirasi berupa reaksi
kontraksi otot terhadap rangsangan tekanan. Pada saat pemeriksaan penderita
peritonitis, ditemukan nyeri tekan setempat. Otot dinding perut menunjukkan defans
muskular secara refleks untuk melindungi bagian yang meradang dan menghindari
gerakan atau tekanan setempat. 9
Perkusi. Nyeri ketok menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum, adanya udara
bebas atau cairan bebas juga dapat ditentukan dengan perkusi melalui pemeriksaan
pekak hati dan shifting dullness. Pada pasien dengan peritonitis, pekak hepar akan
menghilang, dan perkusi abdomen hipertimpani karena adanya udara bebas tadi. Pada
pasien dengan keluhan nyeri perut umumnya harus dilakukan pemeriksaan colok
dubur dan pemeriksaan vaginal untuk membantu penegakan diagnosis. Nyeri pada
semua arah menunjukkan general peritonitis. 9