Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam perkembangan peradaban manusia khususnya dalam hal bangunan,
tentu kerap mendengar cerita tentang kemampuan nenek moyang merekatkan
batu-batu raksasa hanya dengan mengandalkan zat putih telur, ketan atau lainnya.
Alhasil, berdirilah bangunan fenomenal, seperti Candi Borobudur atau Candi
Prambanan di Indonesia ataupun jembatan di Cina yang menurut legenda
menggunakan ketan sebagai perekat. Ataupun menggunakan aspal alam
sebagaimana peradaban di Mahenjo Daro dan Harappa di India ataupun bangunan
kuno yang dijumpai di Pulau Buton. Benar atau tidak, cerita legenda
tersebut menunjukkan dikenalnya fungsi semen sejak zaman dahulu. Sebelum
mencapai bentuk seperti sekarang, perekat dan penguat bangunan ini awalnya
merupakan hasil percampuran batu kapur dan abu vulkanis. Pertama kali
ditemukan di zaman Kerajaan Romawi, tepatnya di Pozzuoli, dekat
teluk Napoli, Italia. Bubuk itu lantas dinamai pozzuolana.
Sedangkan kata semen sendiri berasal dari caementum (bahasa Latin),
yang artinya kira-kira "memotong menjadi bagian-bagian kecil tak beraturan".
Meski sempat populer di zamannya, nenek moyang semen made in Napoli ini tak
berumur panjang. Menyusul runtuhnya Kerajaan Romawi, sekitar abad
pertengahan (tahun 1100-1500 M) resep ramuan pozzuolana sempat menghilang
dari peredaran.

1.2 Rumusan Masalah


1. Untuk mengetahui perkembangan semen dari zaman dulu sampai sekarang
2. Untuk mengetahui bahan baku yang digunakan dalam proses pembuatan
semen pada zaman dahulu
3. Untuk mengetahui proses pembuatan semen pada zaman sekarang

1
2

1.3 Manfaat Penulisan


Untuk mengetahui perkembangan semen dari zaman dahulu sampai zaman
modern.
3

BAB II
PERKEMBANGAN SEMEN

2.1 Kronologi Terbentuknya Semen


Semen pada awalnya dikenal di Mesir tahun 500 SM pada pembuatan
piramida, yaitu sebagai pengisi ruang kosong diantara celah-celah tumpukan batu.
Semen yang dibuat bangsa Mesir merupakan kalsinasi gypsum yang tidak murni,
sedang kalsinasi batu kapur mulai digunakan pada zaman Romawi. Kemudian
bangsa yunani membuat semen dengan cara mengambil tanah vulkanik (vulkanik
tuff) yang berasal dari pulau Santoris kemudian dikenal dengan santoris cement.

2.1.1 Terbentuknya Portland Cement (1756-1910)


Pemakaian bahan konstruksi yang bersifat seperti semen telah lama sekali
setua sejarah rekayasa konstruksi bangunan itu sendiri. Material yang bersifat
seperti semen telah digunakan orang-orang Mesir kuno, Romawi dan Indian pada
bangunan-bangunan kuno mereka. Analisis dari bahan bangunan piramid
menunjukkan bahwa sekitar 81,5% terdiri dari kalsium sulfat dan sisanya adalah
karbonat. Sedangkan orang-orang Romawi dan Yunani kuno mempergunakan
bahan yang bersifat seperti semen dengan cara membakar batu kapur. Kekerasan
dari batuan bangunan yang dipakai oleh orang-orang Roman yang sebagian
peninggalannya masih ada hingga saat ini merupakan suatu bukti perkembangan
teknologi pemakaian semen pada saat itu. Pada dekade berikutnya orang-orang
Yunani dan Romawi Kuno menaruh perhatian mereka pada batuan dan abu
vulkanik bila dicampur dengan batu kapur dan pasir akan menghasilkan suatu
material semacam beton dengan kekuatan tinggi serta tahan terhadap air garam.
Orang-orang Italia menggunakan batuan dan abu vulkanik di dekat kota Pozzuoli
sebagai bahan bangunan mereka. Akhir-akhir ini orang menyebut semua bahan
yang ada di dunia yang sifatnya seperti batuan atau abu yang ditemukan di
Pozzuoli ini sebagai bahan yang diberi nama Pozzolan.
Pada abad modern, penelitian tentang bahan yang bersifat seperti semen
saat ini tidak akan lepas dari usaha awal John Smeaton ketika diminta untuk
4

membangun suatu bangunan yang tahan terhadap air laut yang disebut dengan
Eddystone-Light-House, pada tahun 1756.

Gambar 2.1 John Smeaton


Pada saat itu dia melakukan suatu rangkaian penelitian terhadap beberapa
material yang diharapkan dapat memenuhi kriteria tahan terhadap air laut tersebut.
Akhirnya saat itu dia menemukan bahwa campuran antara batu kapur yang
mengandung tanah liat dengan kadar tertentu merupakan suatu bahan konstruksi
yang memenuhi kriteria tersebut. Pada periode itu campuran antara batu kapur dan
bahan Pozzolan menjadi terkenal hingga sekitar tahun 1850 di mana semen
portland mulai dikenal orang dengan diawali oleh hasil percobaan Louis J.Vicat
yang membakar campuran batu kapur dan tanah liat.

Gambar 2.2 Louis J.Vicat


Proses sederhana inilah yang akhirnya dikenal orang sebagai awal dari
proses pembuatan semen portland seperti saat ini. Proses seperti ini dipatenkan
5

oleh James Frost pada tahun 1811 dan didirikan pula suatu pabrik di distrik
London.

Gambar 2.3 James Frost


Namun sejarah perkembangan proses pembuatan semen portland modern
lebih mengenal Joseph Aspdin seorang berkebangsaan Inggris dari kota Leed yang
mematenkan proses pembuatan semen portland pada 21 Oktober tahun 1824.
Joseph Aspdin mencampur dan menggiling batu kapur dengan tanah liat halus
hingga membentuk lumpur dan kemudian membakarnya hingga proses kalsinasi
(pelepasan CO2) terjadi.

Gambar 2.4 Joseph Aspdin


Campuran ini akhirnya digiling hingga membentuk serbuk yang halus.
Nama portland diberikan karena kemiripan kekerasan antara semen Joseph Aspdin
tersebut dengan batuan alam yang ditemukan di sebuah kota di Inggris yaitu kota
Portland. Pada tahun 1845 Issac Charles Johson membakar campuran yang
diketemukan oleh Joseph Aspdin hingga proses terakisasi terjadi untuk
memperbaiki sifat dari semen portland tersebut.
6

Gambar 2.5 Issac Charles Johson


Pabrik pembuat semen portland dengan cara ini pertama kali dibangun
pada tahun 1851. Karena pencampuran bahan dalam keadaan lumpur, proses ini
merupakan awal dari proses pembuatan semen dengan sistem proses basah (wet
process).
Sejak saat itu pemakaian semen protland berkembang sebagai bahan beton
seperti sekarang ini dengan segala tipe campuran yang berkembang pesat. Oleh
sebab itu disusunlah standard untuk semen antara lain di Jerman pada tahun 1877,
dan di Inggris serta Amerika pada tahun 1904.

2.1.2 Sejarah Semen Portland

Tanggal 21 Oktober 1824, semen Portland Joseph mendapat hak paten dari
raja Inggris. Walau pun demikian ia tetap merahasiakan bahan campuran yang ia
temukan, dan ia tidak memproduksi nya secara masal. Setelah ia wafat,
pengembangan dan pemasaran secara masal semen ini di teruskan oleh anaknya
yang bernama William Joseph di Jerman. Pada tahun 1877, Jerman melakukan
penelitian lebih lanjut terhadap semen Portland, hingga membentuk asosiasi
pengusaha dan ahli semen. 30 tahun kemudian asosiasi tersebut menyebar hingga
ke Inggris.
Semen merupakan hasil industri yang sangat kompleks, dengan campuran
serta susunan yang berbeda-beda. Semen dapat dibedakan menjadi dua kelompok,
yaitu: Semen non-hidrolik dan semen hidrolik.
7

Semen non-hidrolik tidak dapat mengikat dan mengeras di dalam air,


akan tetapi dapat mengeras di udara. Contoh utama dari semen non hidrolik
adalah kapur. Kapur dihasilkan oleh proses kimia dan mekanis di alam.
Kapur telah digunakan selama berabad- abad lamanya sebagai bahan adukan
dan plesteran untuk bangunan. Hal tersebut terlihat pada piramida-piramida
di Mesir yang dibangun 4500 tahun sebelum masehi. Kapur digunakan sebagai
bahan pengikat selama zaman Romawi dan Yunani. Orang-orang Romawi
menggunakan beton untuk membangun Colloseum dan Parthenon, dengan
cara mencampur kapur dengan abu gunung yang mereka peroleh didekat
Pozzuoli, Italia dan mereka namakan Pozzolan.
Pondasi jalan pada zaman Romawai, termasuk jalan Ia Appia,
merupakan tanah yang distabilkan dengan kapur. Kini kapur digunakan
dalam bidang pertanian, industri kimia, industri karet, industri kayu, industri
farmasi, industri baja, industri gula, dan industri semen.
Jenis kapur yang baik adalah kapur putih, yaitu yang mengandung
kalsium oksida yang tinggi ketika masih berbentuk kapur tohor (belum
berhubungan dengan air) dan akan mengandung banyak kalsium hidroksida
ketika telah berhubungan dengan air. Kapur tersebut dihasilkan denga
membakar batu kapur atau kalsium karbonat bersama beserta bahan-bahan
pengotornya, yaitu magnesium, silikat, besi, alkali, alumina, dan belerang.
Proses pembakaran dilaksanakan dalam tungku tanur tinggi yang berbentuk
vertikal atau tungku putar pada suhu (800 1200)C. Kalsium karbonat terurai
menjadi kalsium oksida dan karbon dioksida dengan reaksi kimia sebagai
berikut.
CaCO3 CaO + CO2
Kalsium oksida yang terbentuk disebut kapur tohor, dan jika
berhubungan dengan air akan menjadi kalsium hidroksida serta panas. Reaksi
kimianya adalah:
CaO + H2O Ca(OH)2 + panas
Proses ini dinamakan proses mematikan kapur (slaking) dan hasilnya,
yaitu kalsium hidroksida, sering disebut sebagai kapur mati. Kecepatan
8

berlangsungnya reaksi terutama bergantung pada kemurnian kapur, makin


tinggi kemurnian kapur yang bersangkutan makin besar daya reaksinya
terhadap air. Kapur mati dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Dapat dimatikan dengan cepat.
2. Dapat dimatikan dengan agak lambat, dan 3). Dapat dimatikan dengan
lambat.
Kapur mati didapatkan dengan menambahkan air secukupnya (sekitar
sepertiga dari berat kapur tohor). Dempul kapur diperoleh dengan menambahkan
air yang berlebihan pada kapur tohor. Pengikatan kapur terjadi akibat
kehilangan air akibat penyerapan oleh bata atau akibat penguapan. Proses
pengerasan berlangsung akibat reaksi karbondioksida dari udara dengan kapur
mati. Reaksinya adalah sebagai berikut:
Ca(OH)2 + CO2 CaCO3 + H2O
Dari reaksi kimia diatas terlihat bahwa akan terbentuk kembali
kristal-kristal kalsium karbonat, yang mengikat massa heterogen itu menjadi
massa padat. Proses pengerasan ini berjalan lambat dan dapat berlangsung
bertahun-tahun sebelum mencapai kekuatan yang penuh. Agar dapat
berlangsung, diperlukan aliran udara bebas untuk persediaan karbondioksida
yang dapat menembus bagian terdalam dari adukan sehingga proses pengerasan
dapat berlangsung menyeluruh. Kapur putih ini cocok untuk menjernihkan
plesteran langit-langit, untuk mengapur kamar-kamar yang tidak penting dan
garasi, atau untuk membasmi kutu- kutu dalam kandang. Jika digunakan
sebagai bahan tambah campuran beton, kapur putih akan menambah
kekenyalan dan memperbaiki sifat pengerjaan beton. Dengan menggunakan
campuran.

2.1.3 Sejarah Semen Masonry


Semen masonry pertama kali diperkenalkan di USA, kemudian
berkembang ke beberapa negara. Secara tradisional plesteran untuk bangunan
umumnya menggunakan kapur padam, kemudian meningkat dengan dipakainya
9

semen portland yang dicampur dengan kapur padam. Namun karena dianggap
kurang praktis maka diperkanalkan Semen Masonry.

2.2 Sejarah Industri Semen di Indonesia


Di Indonesia sendiri pabrik semen pertama dibangun pada tahun 1910 di
Indarung Sumatra Barat yang hingga saat ini dikenal dengan PT Semen Padang.
Sejak saat itu pula dengan semakin meningkatnya kebutuhan semen di Indonesia
beberapa pabrik kemudian dibangun, mulai dari PT Semen Gresik di Jawa Tiimur,
PT Semen Tonasa di Sulawesi Selatan, PT Indocement Tunggal Prakarsa atau
lebih dikenal dengan Semen Tiga Roda yang berada di Citeureup Bogor,
Palimanan Cirebon , dan di Tarjun (Kota Baru) Kalimantan Selatan, serta PT
Semen Kujang (Cibinong) di Cibinong Bogor dan Cilacap, PT Semen Baturaja di
Palembang (Sumatra Selatan) dan Panjang (Provinsi Lampung) , PT Semen
Kupang di Nusa Tenggara Timur dan PT Semen Bosowa di Maros Sulawesi
Selatan.
Eksistensi PT Semen Padang yang kini menjadi sebuah entitas bisnis
membanggakan bagi Sumbar, berawal dari penemuan batu-batu menarik oleh
seorang perwira Belanda berkebangsaan Jerman, Carl Christophus Lau, pada
1906. Carl Christophus Lau mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia
Belanda untuk pendirian pabrik semen di Indarung. Permohonannya disetujui
lebih kurang tujuh bulan kemudian. Christophus Lau kemudian menggandeng
sejumlah perusahaan untuk bermitra, yakni Firma Gebroeders Veth, Fa.Dunlop,
dan Fa.Varman & Soon, pada 18 Maret 1910. Ia lalu mendirikan pabrik yang
bernama NV Nederlmidschhidische Portland Cement Maatschappij (NY NIPCM)
dengan akta notaris Johannes Pieder Smidth di Amsterdam.
10

Gambar 2.6 Kiln pada Tahun 1910

Kehadiran perusahaan ini menjadi tonggak sejarah berdirinya industri


semen di Indonesia, karena merupakan industri besar pertama di Indonesia yang
terdaftar di bawah Departemen Pertanian, Industri, dan Perdagangan di Hindia
Belanda. Pabrik semen di Indarung ini menjadi tonggak sejarah industri besar di
Indonesia, bahkan Asia Tenggara.

Legalitas perusahaan semen itu berdasarkan Koninklijke Bewilliging, pada 8


April 1910, No 20. Pabrik ini berkantor pusat di Prins Hendrikade 123,
Amsterdam dan kantor cabangnya di Padang.

Klin pertama pabrik semen Indarung selesai dibangun pada 1911 dengan
kapasitas produksi 76,5 ton sehari. Klin kedua dibangun setahun kemudian,
dengan kapasitas yang sama.

Gambar 2.7 Kiln pada Tahun 1911


11

Pada awalnya, sumber energi listrik yang digunakan untuk


mengoperasikan pabrik ini berasal dari pembangkit listrik Rasak Bungo, yang
memanfaatkan air Sungai Lubuk Paraku. Sementara bahan bakar pabrik
menggunakan batubara Ombilin. Batu bara didatangkan dengan kereta api dari
Sawahlunto ke Bukit Putus, tak jauh dai Teluk Bayur. Dalam perjalanannya,
pabrik ini terus mengalami perkembangan. Pada 1939, menjelang perang dunia II,
pabrik ini mampu produksi 170.000 ton setahun, merupakan produksi tertinggi di
kala itu. Waktu itu, pabrik ini memiliki kapasitas terpasang 210.000 ton.

Situasi politik pada masa lalu, amat berpengaruh kepada kepenguasaan


pabrik semen ini. Jepang yang memenangkan perang dunia kedua, mengambil alih
penguasaan pabrik dari tangan Belanda, setelah sekutu bertekuk lutut pada negeri
berjuluk matahari terbit itu .

Pada masa itu, manajemen perusahaan kemudian ditangani Asano Cement


Jepang. Semua produksi pabrik ini digunakan untuk mendukung aktivitas militer
Jepang. Penguasaan Jepang terhadap pabrik ini hanya bertahan lebih kurang dua
dua tahun (1942-1944). Pada Agustus 1944, pabrik semen ini dibom tentara
sekutu, dan mengalami kerusakan parah. Setelah zaman kemerdekaan, pabrik
Semen Padang mengalami kondisi gonjang-ganjing. Pada waktu kemerdekaan
tahun 1945, pabrik ini diambil alih karyawan dan selanjutnya diserahkan kepada
pemerintah tahun 1947. Pada agresi Belanda 1947-1949, pabrik ini relatif tidak
berfungsi. Belanda kemudian kembali menguasai alih pabrik dan pengelolaannya
diserahkan pada perusahaan yang sebelumnya menangani pabrik ini.

Pada masa itu, meski Indonesia sudah memperoleh kemerdekaan, namun


pabrik Semen Padang yang berganti nama menjadi NV Padang Portland Cement
Maatshappi (NV. PPCM), tetap berada di bawah pengelolaan Belanda. Namun
pada 1958, pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi seluruh perusahaan
Belanda di Indonesia.. Perusahaan kemudian sepenuhnya menjadi milik Indonesia
sesuai amanat Undang Undang No 86 tahun 1958 tentang Nasionalisasi. Dalam uu
ini ditegaskan bahwa semua perusahaan milik Belanda diserahkan pada Indonesia.
12

Gambar 2.8 Pabrik Semen Padang 1958

Oleh pemerintah, pengelolaan pabrik kemudian dipercayakan kepada


Badan Pengelola Perusahaan-Perusahaan Industri dan Tambang (BAPPIT), yang
dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) no. 23 Tahun 1958, pada 26
Februari 1958. BAPPIT sendiri bernaung di bawah kementerian Perindustrian.
Ketika itu, J Sadiman ditunjuk sebagai direktur utama.Pergulatan politik dalam
negeri juga mempengaruhi perjalanan sejarah Semen Padang. Produksi
perusahaan ini sempat terganggu ketika terjadi pergolakan PRRI. Imbasnya, di
akhir 1960-an itu, pabrik ini nyaris dilego menjadi besi tua. Upaya melego itu
akhirnya digagalkan Gubernur Sumbar Harun Zain. Harun menyelamatkan pabrik
tersebut, dengan meminta pemerintah pusat agar memberi kepercayaan kepada
pemerintah daerah untuk mencarikan jalan keluar.

Harun Zain kemudian meminta kepada Ir.Azwar Anas memimpin pabrik.


Azwar sukses melakukan revitalisasi pabrik, sehingga pabrik ini bisa kembali
survive.
13

Gambar 2.9 saat Peneriumaan Upah 1913

Pada masa-masa itu, status perusahaan juga mengalami perubahan.


Berdasarkan PP No 135 tahun 1961, perusahaan itu berubah menjadi Perusahaan
Negara Semen Padang. Lalu pada 1971, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7,
status Semen Padang ditetapkan menjadi PT Persero dengan akta notaris No.5
tanggal 4 Juli 1972. Pada tahun 1957, PT. Semen Gresik Jawa Timur didirikan,
tahun 1968 PT.Semen Tonasa Pangkep-Sulsel didirikan, tahun 1975 PT. Semen
Cibinong dan PT.Indocement didirikan dan pada tahun 1999 PT.Semen Bosowa
(Maros Sulsel) didirikan dan mulai berproduksi dengan kapasitas terpasang 1.8
juta ton klinker ton /tahun

Berdasarkan Surat Menteri Keuangan Republik Indonesia No.5-


326/MK.016/1995, pemerintah melakukan konsolidasi atas tiga pabrik semen
milik pemerintah yaitu, PT Semen Tonasa (PT ST), PT Semen Padang (PT SP),
dan PT Semen Gresik, yang terealisir pada 15 September 1995. Ketiga perusahaan
itu berada dalam holding PT Semen Gresik (Persero) Tbk. Sejak 7 Januari 2013,
PT Semen Gresik (Persero) Tbk berubah nama menjadi PT Semen Indonesia
(Persero) Tbk sesuai hasil Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB)
di Jakarta pada 20 Desember 2012. Dan PT Semen Padang bersama PT Semen
Gresik, PT Semen Tonasa dan Thang Long Cement Company Vietnam resmi
14

menjadi bagian dari PT Semen Indonesia, perusahaan semen terbesar di


Indonesia.

2.3 Proses Pembuatan Semen secara Umum


Dalam pengetahuan umum semen diartikan sebagai bahan perekat yang
mempunyai sifat-sifat yang mampu mengikat bahan-bahan padat menjadi satu
kesatuan yang kompak dan kuat. Singkatnya proses pembuatan semen itu ialah
Giling, Bakar, Giling.

2.3.1 Proses Pembuatan Semen secara Umum Pada Zaman Dahulu


Meski sempat populer di zamannya, nenek moyang semen made in Napoli
ini tak berumur panjang. Menyusul runtuhnya Kerajaan Romawi, sekitar abad
pertengahan (tahun 1100-1500 M) resep ramuan pozzuolana sempat menghilang
dari peredaran. Baru pada abad ke-18 (ada juga sumber yang menyebut sekitar
tahun 1700-an M), John Smeaton insinyur asal Inggris menemukan kembali
ramuan kuno berkhasiat luar biasa ini. Dia membuat adonan dengan
memanfaatkan campuran batu kapur dan tanah liat saat membangun menara suar
Eddystone di lepas pantai Cornwall, Inggris.Ironisnya, bukan Smeaton yang
akhirnya mematenkan proses pembuatan cikal bakal semen ini. Adalah Joseph
Aspdin, juga insinyur berkebangsaan Inggris, pada 1824 mengurus hak paten
ramuan yang kemudian dia sebut semen portland. Dinamai begitu karena warna
hasil akhir olahannya mirip tanah liat Pulau Portland, Inggris. Hasil rekayasa
Aspdin inilah yang sekarang banyak dipajang di toko-toko bangunan.Sebenarnya,
adonan Aspdin tak beda jauh dengan Smeaton. Dia tetap mengandalkan dua bahan
utama, batu kapur (kaya akan kalsium karbonat) dan tanah lempung yang banyak
mengandung silika (sejenis mineral berbentuk pasir), aluminium oksida (alumina)
serta oksida besi. Bahan-bahan itu kemudian dihaluskan dan dipanaskan pada
suhu tinggi sampai terbentuk campuran baru. Selama proses pemanasan,
terbentuklah campuran padat yang mengandung zat besi. Agar tak mengeras
seperti batu, ramuan diberi bubuk gips dan dihaluskan hingga berbentuk partikel-
partikel kecil mirip bedak. Lazimnya, untuk mencapai kekuatan tertentu, semen
15

portland berkolaborasi dengan bahan lain. Jika bertemu air (minus bahan-bahan
lain), misalnya, memunculkan reaksi kimia yang sanggup mengubah ramuan jadi
sekeras batu. Jika ditambah pasir, terciptalah perekat tembok nan kokoh. Namun
untuk membuat pondasi bangunan, campuran tadi biasanya masih ditambah
dengan bongkahan batu atau kerikil, biasa disebut concrete atau beton. Beton bisa
disebut sebagai mahakarya semen yang tiada duanya di dunia. Nama asingnya,
concrete diambil dari gabungan prefiks bahasa Latin com, yang artinya bersama-
sama, dan crescere (tumbuh). Maksudnya kira-kira, kekuatan yang tumbuh karena
adanya campuran zat tertentu. Dewasa ini, nyaris tak ada gedung pencakar langit
berdiri tanpa bantuan beton. Meski bahan bakunya sama, "dosis" semen
sebenarnya bisa disesuaikan dengan beragam kebutuhan. Misalnya, jika kadar
aluminanya diperbanyak, kolaborasi dengan bahan bangunan lainnya bisa
menghasilkan bahan tahan api. Ini karena sifat alumina yang tahan terhadap suhu
tinggi. Ada juga semen yang cocok buat mengecor karena campurannya bisa
mengisi pori-pori bagian yang hendak diperkuat.

2.3.2 Proses Pembuatan Semen secara Umum Pada Zaman Sekarang


Pembuatan semen terdiri dari 5 tahap proses produksi, yaitu:
1. Proses Penyiapan Bahan Baku
Bahan baku pembuatan semen yaitu:
a. Batu Kapur
Susunan batu-batuan yang mengandung 50 % CaCO3. Lebih sering disebut
Lime Stone.
b. Tanah Liat (Clay).
Tanah liat mempunyai rumus kimia 2SiO3.2H2O (kaolinite).
Bahan Korektif pembuatan semen:
a. Pasir besi (Fe2O3) atau Copper Slag (Fe.SiO3, Ca2Fe, CuO)
b. Pasir silika (SiO2)
c. Limestone High Grade (CaCO3).
16

Gambar 2.10 Bahan-Bahan untuk Proses Pembuatan Semen pada Zaman


Sekarang

a. Raw Meal Semen


Bahan baku utama semen yang berupa bahan baku akan diperoleh dari
mining atau tambang. Bahan baku berupa batu kapur dan tanah liat akan
dihancurkan untuk memperkecil ukuran agar mudah dalam proses penggilingan.
Alat untuk menghancurkan bahan baku tersebut dinamakan Crusher. Crusher
adalah equipment atau alat yang berfungsi untuk memecahkan material, seperti
batu kapur, clay, coal, dan klinker. Untuk material Limestone (batu kapur), ukuran
umpan maximum yang diperbolehkan yaitu 1.500 mm. Sedangkan ukuran produk
diharapkan maximal 75 mm. Untuk material Clay/High Silica, mesin yang
digunakan adalah Impact Roller Crusher dan Jaw Crusher. Adapun ukuran umpan
maximum sebesar 500 mm, sedangkan ukuran produk maksimal 75 mm. Setelah
itu raw material akan mengalami proses pre-homogenisasi. Tujuan pre-
homogenisasi material adalah untuk memperoleh bahan baku yang lebih
homogen.
Adapun metode pre-homogenisasi yaitu:

1. Stacking atau penumpukan atau penimbunan yaitu gerakan maju-mundur


atau kanan-kiri.
2. Reclaiming atau pengambilan atau penarikan yaitu dari samping (side
reclaiming), dari depan (front reclaiming)

b. Mineral Semen
17

Umumnya, stock pile dibagi menjadi 2 bagian yaitu sisi kanan dan siosi
kiri. Hal ini dilakukan untuk menunjang proses, jika stock pile bagian kanan
sedang digunakan masukan proses, maka sisi bagian kiri akan diisi bahan baku
dari crusher. Begitu juga sebaliknya, untuk mengatur letak penyimpanan bahan
baku, digunakan reclaimer. Reclaimer ini berfungsi untuk memindahkan atau
mengambil raw material dari stock pile ke belt conveyor dengan kapasitas
tertentu, sesuai dengan kebutuhan proses, alat ini sendiri berfungsi untuk
menghomogenkan bahan baku yang akan dipindahkan ke belt conveyor.
Selanjutnya bahan baku dikirim dengan menggunakan belt conveyor menuju
tempat penyimpanan kedua, yang bias dikatakan merupakan awalan masukan
proses pembuatan semen, yaitu bin. Umumnya ada 4 buah bin yang diisi oleh
masing-masing 4 material bahan baku, yaitu limestone, clay, pasir silica, dan pasir
besi. Semua bin dilengkapi dengan alat pendeteksi ketinggian atau level indikator
sehingga apabila bin sudah penuh, maka secara otomatis masukan material ke
dalam bin akan terhenti.

Pengumpanan bahan baku ke dalam sistem proses selanjutnya diatur oleh


weight feeder, yang diletakkan tepat di bawah bin. Prinsip kerja weight feeder ini
adalah mengatur kecepatan scavenger conveyor, yaitu alat untuk mengangkut
material dengan panjang tertentu dan mengatur jumlah bahan baku sehingga
jumlah bahan baku yang ada pada scavenger conveyor sesuai dengan jumlah yang
dibutuhkan. Selanjutnya bahan baku dijatuhkan ke belt conveyor dan dikirim ke
Vertical Roller Mill untuk mengalami proses penggilingan danan pengeringan.
Pada belt conveyor terjadi pencampuran limestone, clay, pasir silika, dan pasir
besi.

2. Proses Pengolahan Bahan


Alat utama yang digunakan dalam proses penggilingan dan pengeringan
bahan baku adalah Vertical Roller Mill (VRM). Media pengeringnya adalah udara
panas yang berasal dari siklon-preheater. Udara panas tersebut juga berfungsi
18

sebagai media pembawa bahan-bahan yang telah halus menuju alat proses
selanjutnya.

a. Vertical Roller Mill


Alat-alat yang mendukung proses ini: Cyclone, Electrostatic Precipitator
(EP), Stack dan Dust Bin. Bahan baku masuk ke dalam Vertical Roller Mill (Raw
Mill) pada bagian tengah (tempat penggilingan), sementara itu udara panas masuk
ke dalam bagian bawahnya. Material yang sudah tergiling halus akan terbawa
udara panas keluar raw mill melalui bagian atas alat tersebut.
Vertical Roller Mill memiliki bagian yang dinamakan separator yang berfungsi
untuk mengendalikan ukuran partikel yang boleh keluar dari raw mill, partikel
dengan ukuran besar akan dikembalikan ke dalam raw mill untuk mengalami
proses penggilingan kembali agar ukurannya mencapai ukuran yang diharapkan.
Sementara itu partikel yang ukurannya telah memenuhi kebutuhan akan terbawa
udara panas menuju cyclone. Cyclone berfungsi untuk memisahkan antara partikel
yang cukup halus dan partikel yang terlalu halus (debu). Partikel yang cukup
halus akan turun ke bagian bawah cyclone dan dikirim ke Blending Silo untuk
mengalami pengadukan dan homogenisasi. Partikel yang terlalu halus (debu) akan
terbawa udara panas menuju Electrostatic Precipitator (EP). Alat ini berfungsi
untuk menangkap debu-debu tersebut sehingga tidak lepas ke udara. Efisiensi alat
ini adalah 95-98%. Debu-debu yang tertangkap, dikumpulkan di dalam dust bin,
sementara itu udara akan keluar melalui stack. Kemudian material akan
mengalami proses pencampuran (Blending) dan homogenisasi di dalam Blending
Silo. Alat utama yang digunakan untuk mencamnpur dan menghomogenkan bahan
baku adalah blending silo, dengan media pengaduk adalah udara.
Bahan baku masuk dari bagian atas blending silo, oleh karena itu alat
transportasi yang digunakan untuk mengirim bahan baku hasil penggillingan
blending silo adalah bucket elevator, dan keluar dari bagian bawah blending silo
dilakukan pada beberapa titik dengan jarak tertentu dan diatur dengan
menggunakan valve yang sudah diatur waktu bukaannya. Proses pengeluarannya
dari beberapa titik dilakukan untuk menambah kehomogenan bahan baku.
19

Blending silo dilengkapi dengan alat pendeteksi ketinggian (level indicator),


sehingga jika blending silo sudah penuh, maka pengisian bahan baku terhenti
secara otomatis.

3. Proses Pembakaran
a. Pemanasan Awal (Pre-heating)

Alat utama yang digunakan untuk proses pemanasan awal bahan baku
adalah suspension pre-heater, sedangkan alat bantunya adalah kiln feed
bin. Setelah mengalami homogenisasi di blending silo, material terlebih dahulu
ditampung ke dalam kiln feed bin. Bin ini merupakan tempat umpan yang akan
masuk ke dalam pre-heater. Suspension pre-heater merupakan suatu susunan 4-5
buah cyclone dan 1 buah calciner yang tersusun menjadi 1 string. Suspension pre-
heater yang digunakan terdiri dari 2 bagian, yaitu In-Line Calciner (ILC) dan
Separate Line Calciner (SLC). Material akan masuk terlebih dahulu pada cyclone
yang paling atas hingga keluar dari cyclone kelima. Setelah itu, material akan
masuk ke dalam rotary kiln.

b. Pembakaran (Firing)
Alat utama yang digunakan adalah tanur putar atau rotary kiln. Di dalam
kiln terjadi proses kalsinasi (hingga 100%), sintering, dan clinkering. Temperatur
material yang masuk ke dalam tanur putar adalah 800900C, sedangkan
temperatur clinker yang keluar dari tanur putar adalah 1100-1400C. Kiln berputar
(rotary kiln) merupakan peralatan utama di seluruh unit pabrik semen, karena di
dalam kiln akan terjadi semua proses kimia pembentukan klinker dari bahan
bakunya (raw mix). Secara garis besar, di dalam kiln terbagi menjadi 3 zone yaitu
zone kalsinasi, zone transisi, dan zone sintering (klinkerisasi). Perkembangan
teknologi mengakibatkan sebagian zone kalsinasi dipindahkan ke suspension
preheater dan kalsiner, sehingga proses yang terjadi di dalam kiln lebih efektif
ditinjau dari segi konsumsi panasnya. Proses perpindahan panas di dalam kiln
sebagian besar ditentukan oleh proses radiasi sehingga diperlukan isolator yang
baik untuk mencegah panas terbuang keluar. Isolator tersebut adalah batu tahan
20

api dan coating yang terbentuk selama proses. Karena fungsi batu tahan api di tiap
bagian proses berbeda maka jenis batu tahan api disesuaikan dengan fungsinya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan coating antara lain:
1. Komposisi kimia raw mix
2. Konduktivitas termal dari batu tahan api dan coating
3. Temperatur umpan ketika kontak dengan coating
4. Temperatur permukaan coating ketika kontak dengan umpan
5. Bentuk dan temperatur flame
Pada zone sintering fase cair sangat diperlukan, karena reaksi klinkerisasi
lebih mudah berlangsung pada fase cair. Tetapi jumlah fase cair dibatasi 20-30 %
untuk memudahkan terbentuknya coating yang berfungsi sebagai isolator kiln.
Pada kiln tanpa udara tertier hampir seluruh gas hasil pembakaran maupun untuk
pembakaran sebagian bahan bakar di calciner melalui kiln. Karena di dalam kiln
diperlukan temperatur tinggi untuk melaksanakan proses klinkerisasi, maka
kelebihan udara pembakaran bahan bakar di kiln dibatasi maksimum sekitar 20
30%, tergantung dari bagaimana sifat rawmeal mudah tidaknya dibakar
(burnability of the rawmix). Dengan demikian maksimum bahan bakar yang
dibakar di in-line calciner adalah sekitar 20 25%. Pada umumnya calciner jenis
ini bekerja dengan pembakaran bahan bakar berkisar antara 10% hingga 20% dari
seluruh kebutuhan bahan bakar, karena pembakaran di calciner juga akan
menghasilkan temperatur gas keluar dari top cyclone yang lebih tinggi yang
berarti pemborosan energi pula. Sisa bahan bakar yang berkisar antara 80%
hingga 90% dibakar di kiln. Untuk menaksir seberapa kelebihan udara
pembakaran di kiln dalam rangka memperoleh operasi kiln yang baik akan
dilakukan perhitungan tersendiri. Kiln tanpa udara tertier dapat beroperasi dengan
cooler jenis planetary sehingga instalasi menjadi lebih sederhana dan konsumsi
daya listrik lebih kecil dibanding dengan sistem kiln yang memakai cooler jenis
grate.
Pada kiln dengan udara tertier, bahan bakar yang dibakar di kiln dapat
dikurangi hingga sekitar 40% saja (bahkan dapat sampai sekitar 35%), sedangkan
sisanya yang 60% dibakar di calciner. Dengan demikian beban panas yang
diderita di kiln berkurang hingga tinggal sekitar 300 kkal/kg klinker. Karena
21

dimensi kiln sangat bergantung pada jumlah bahan bakar yang dibakar, maka
secara teoritis kapasitas produksi kiln dengan ukuran tertentu menjadi sekitar 2,5
kali untuk sistem kiln dengan udara tertier dibanding dengan kiln tanpa udara
tertier. Sebagai contoh untuk kapasitas 4000 Ton Per Hari (TPD), kiln tanpa udara
tertier membutuhkan diameter sekitar 5,5 m. Sedangkan untuk kiln dengan ukuran
yang sama pada sistem dengan udara tertier misalnya sistem SLC dapat beroperasi
maksimum pada kapasites sekitar 10.000 TPD. Namun kiln dengan udara tertier
harus bekerja dengan cooler jenis grate cooler sehingga diperlukan daya listrik
tambahan sekitar 5 kWh/ton klinker dibanding kiln dengan planetary cooler.

c. Pendinginan (Cooling)
Alat utama yang digunakan untuk proses pendinginan clinker adalah
cooler. Selanjutnya clinker dikirim menuju tempat penampungan clinker (clinker
silo) dengan menggunakan alat transportasi yaitu pan conveyor. Laju kecepatan
pendinginan klinker menentukan komposisi akhir klinker. Jika klinker yang
terbentuk selama pembakaran didinginkan perlahan maka beberapa reaksi yang
telah terjadi di kiln akan berbalik (reverse), sehingga C 3S yang telah terbentuk di
kiln akan berkurang dan terlarut pada klinker cair yang belum sempat memadat
selama proses pendinginan. Dengan pendinginan cepat fasa cair akan memadat
dengan cepat sehingga mencegah berkurangnya C3S.
Fasa cair yang kandungan SiO2-nya tinggi dan cair alumino-ferric yang
kaya lime akan terkristalisasi sempurna pada pendinginan cepat. Laju pendinginan
juga mempengaruhi keadaan kristal, reaktivitas fasa klinker dan tekstur klinker.
Pendinginan klinker yang cepat berpengaruh pada perilaku dari oksida
magnesium dan juga terhadap soundness dari semen yang dihasilkan. Makin cepat
proses pendinginannya maka kristal periclase yang terbentuk semakin kecil yang
timbul pada saat kristalisasi fasa cair. Klinker dengan pendinginan cepat
menunjukkan daya spesifik yang lebih rendah. Hal ini disebabkan proporsi fasa
cair yang lebih besar dan sekaligus ukuran kristalnya lebih kecil.

d. Proses Penggilingan Akhir


22

Bahan baku proses pembuatan semen terdiri dari:


1. Bahan baku utama, yaitu terak/clinker.
2. Bahan baku korektif/penolong yaitu gypsum.
3. Bahan baku aditif yaitu trass, fly ash, slag, dan lain-lain.
Finish Mill atau penggilingan akhir adalah sebuah proses menggiling
bersama antara terak dengan 3% - 5% gypsum natural atau sintetis (untuk
pengendalian setting dinamakan retarder) dan beberapa jenis aditif (pozzolan,
slag, dan batu kapur) yang ditambahkan dalam jumlah tertentu, selama memenuhi
kualitas dan spesifikasi semen yang dipersyaratkan. Proses penggilingan terak
secara garis besar dibagi menjadi sistim penggilingan open circuit dan sistim
penggilingan closed circuit. Gambar dibawah menunjukkan pada gambar a
closed circuit dan gambar b open circuit. Dalam open circuit panjang shell
sekitar 4 5 kali dari diameter untuk mendapatkan kehalusan yang diinginkan.
Sedangkan dalam closed circuit panjang shell sekitar 3 kali diameter atau kurang
untuk mempercepat produk yang lewat. Separator bekerja sebagai pemisah
sekaligus pendingin produk semen.
Horizontal Tube Mill atau Ball Mill adalah peralatan giling yang sering
dijumpai di berbagai industri semen, meskipun sekarang sudah mulai dijumpai
vertical mill untuk menggiling terak menjadi semen. Material yang telah
mengalami penggilingan kemudian diangkut oleh bucket elevator menuju
separator. Separator berfungsi untuk memisahkan semen yang ukurannya telah
cukup halus dengan ukuran yang kurang halus. Semen yang cukup halus akan
dibawa udara melalui cyclone, kemudian ditangkap oleh bag filter yang kemudian
akan ditransfer ke dalam cement silo.

e. Proses Pengemasan (Packing)


Pengemasan semen dibagi menjadi 2, yaitu pengemasan dengan
menggunakan zak (kraft dan woven) dan pengemasan dalam bentuk curah. Semen
dalam bentuk zak akan didistribusikan ke toko-toko bangunan dan end user.
Sedangkan semen dalam bentuk curah akan didistribusikan ke proyek-proyek.
Tahapan proses pengemasan dengan menggunakan zak adalah sebagai
berikut:
23

Silo semen tempat penyimpanan produk dilengkapi dengan sistem aerasi


untuk menghindari penggumpalan/koagulasi semen yang dapat disebabkan oleh
air dari luar, dan pelindung dari udara ambient yang memiliki humiditas tinggi.
Setelah itu Semen dari silo dikeluarkan dengan menggunakan udara bertekanan
(discharge) dari semen silo lalu dibawa ke bin penampungan sementara sebelum
masuk ke mesin packer atau loading ke truck.

2.4 Penemuan Semen Jenis Terbaru


Jepang, sebuah negeri penuh inovasi. Mungkin sebutan itu sangat sesuai
sebagaimana Jepang menangani masalah sampah di negaranya. Setelah berhasil
membuat sebuah airport berkelas internasional di Kobe yang dibangun di atas
lapisan sampah dan menerapkan pembuatan pupuk dari sampah di berbagai hotel
di Jepang, kini Jepang telah berhasil mengubah sampah menjadi produk semen
yang kemudian dinamakan dengan ekosemen.

2.4.1 Pengertian Ekosemen


Kata Ekosemen diambil dari penggabungan kata Ekologi dan Semen.
Diawali penelitian di tahun 1992, para peneliti Jepang (yang tergabung dalam
NEDO) telah meneliti kemungkinan abu hasil pembakaran sampah, endapan air
kotor dijadikan sebagai bahan semen. Dari hasil penelitian tersebut diketahui
bahwa abu hasil pembakaran sampah mengandung unsur yang sama dengan bahan
dasar semen pada umumnya. Pada tahun 1993, proyek itu kemudian dibiayai oleh
Kementrian Perdangan Internasional dan Industri Jepang. Pada tahun 2001, pabrik
pertama di dunia yang mengubah sampah menjadi semen, resmi beroperasi di
Chiba. Pabrik tersebut mampu menghasilkan ekosemen 110,000 ton/tahunnya.
Sedangkan sampah yang diubah menjadi abu yang kemudian diolah menjadi
semen mencapai 62,000 ton/tahun, endapan air kotor dan residu abu industri yang
diolah mencapai 28,000 ton/tahun.

2.4.2 Penggunaan Abu Insinerasi untuk Semen


24

Di Jepang sampah terbagi menjadi berbagai macam, salah satunya adalah


sampah terbakar (terdiri atas sampah organik, kertas, dll) dan sampah tidak
terbakar (plastik, dll). Setiap tahunnya, penduduk Jepang membuang sekitar 37
juta ton untuk sampah terbakar. Kemudian dari 37 ton/tahun sampah terbakar
tersebut untuk kemudian akan dibakar (di-insenerasi), dan menghasilkan abu
(inceneration ash) mencapai 6 ton/tahunnya. Dari abu inilah yang kemudian
dijadikan sebagai bahan dari pembuatan ekosemen. Abu ini dan endapan air kotor
mengandung senyawa-senyawa dalam pembentukan semen biasa. Yaitu, senyawa-
senyawa oksida seperti CaO, SiO2, Al2O3, dan Fe2O3. Oleh karena itu, abu
insinerasi ini bisa berfungsi sebagai pengganti clay (tanah liat) yang digunakan
pada pembuatan semen biasa.
Tabel Perbandingan Semen biasa dengan Semen Insenerasi

CaO SiO2 Al2O3 Fe2O3 SO3 Cl


Semen Biasa 62~65 20~25 3~5 3~4 2~3 50~100 ppm
Abu Insenerasi 12~31 23~46 13~29 4~7 1~4 150.000 ppm
Sumber: Taiheyo Engineering Corp
Yang jadi masalah adalah kandungan Cl yang begitu tinggi pada abu
insinerasi dan logam berat yang masih terkandung yang dapat mengakibatkan
trouble pada sistem operasi dan mengurangi kualitas dan material safety pada
semen. Sedangkan kandungan CaO yang masih kurang pada abu insinerasi dapat
dicukupi dengan penambahan limestone (batu kapur). Dalam pembuatan
ekosemen ini, chlorine dan logam berat yang terkandung pada abu insinerasi akan
diekstrak menjadi artificial ore (Cu, Pb, dll) yang kemudian direcyle.

2.4.3 Proses Pembuatan Ekosemen


Secara umum, produksi semen biasa (Portland) meliputi drying,
pulverizing dan pencampuran limestone, clay, quartzite dan bahan raw material
lainnya dan kemudian dibakar dengan rotary klin. Pada pembuatan ekosemen,
secara prinsip sama dengan pembuatan semen biasa. Perbedaannya terletak pada
abu insinerasi, sewage sludge, dan limbah lainnya yang digunakan sebagai raw
25

material sebagai pengganti clay dan sebagian limestone (batu kapur). Adapun
Prosesnya sebagai berikut:
1. Preprocessing
Raw material (incineration ash dan endapan air kotor rumah tangga) diproses
terlebih dahulu, seperti dengan pengeringan (drying), crushing, dan logam yang
masih terkandung dalam raw material dipisahkan dan direcycle.

2. Raw Material Drying and Pulverizing


Setelah dikeringkan, raw material dihancurkan pada Raw grinding/drying mills
bersamaan dengan natural raw material (limestone).

3. Raw Material Mixing


Kemudian dimasukkan ke dalam Homogenizing Tank bersamaan dengan
fly ash (abu yang dihasilkan oleh pembangkit listrik batubara) dan blast furnace
slag (limbah yang dihasilkan industri besi). Dua Homoginezing tank ini diatur dan
ditujukan untuk pencampuran semua raw material dan kemudian mensuply ke
proses selanjutnya. Pencampuran ini dimaksudkan untuk memperoleh
predetermined chemical composition (penentuan komposisi kimia yang
diinginkan).

4. Firing
Setelah itu dimasukkan ke dalam rotary klin, untuk kemudian dibakar pada
suhu di atas 1,350C. Pada proses ini, dioksin dan senyawa berbahaya lainnya
yang terkandung pada inceneration ash akan terurai dengan aman. Gas limbah
dari rotary klin kemudian didinginkan secara cepat hingga suhu 200C untuk
mencegah terbentuknya dioksin kembali. Pada proses ini pula logam berat yg
masih terkandung dipisahkan dan dikumpulkan ke dalam bag filter sebagai debu
yang mengandung chlorine. Debu ini kemudian dialirkan ke Heavy Metal
Recovery Process. Pada proses ini, chlorine yang masih terkandung akan
dihilangkan dan menghasilkan sebuah articial ore seperti tembaga dan timbal
yang kemurniannya mencapai 35 % atau lebih.
26

Pada proses firing ini akan menghasilkan clinker (intermediate stage pada
industri semen) yang kemudian dikirim ke clinker tank.

5. Product Pulverizing Process


Gypsum ditambahkan bersama clinker dan campuran tersebut akan
dihancurkan (pulverizing) pada finish mills yang kemudian akan menghasilkan
produk ekosemen.
Hingga saaat ini terdapat dua macam tipe ekosemen (berdasarkan
penambahan alkali dan kandungan klorin) yaitu tipe biasa dan tipe pengerasan
cepat. Ekosemen tipe biasa mempunyai kualitas yang sama baiknya dengan semen
portland biasa. Tipe semen ini digunakan sebagai bahan campuran beton.
Sedangkan ekosemen tipe kedua memiliki kekuatan beton dan pengerasan yang
lebih cepat dibanding semen portland tipe high early strength. Ekosemen tipe ini
digunakan pada architectural block, exterior wall material, roof material, wave
dissipatingconcrete block, dll. Yang menjadi masalah adalah kandungan Cl yang
begitu tinggi pada abu insenerasi dan logam berat yang dikandung yang dapat
mengakibatkan masalah pada sistem operasi dan mengurangi kualitas dan
pengamanan material pada semen. Sedangkan kandungan CaO yang masih
kurang pada abu insenerasi dapat dicukupi dengan penambahan batu kapur. Dalam
pembuatan ekosemen ini, klorin dan logamm berat yang terkandung pada abu
insenerasi akan diekstrak menjadi bijih tiruan yang kemudian didaur ulang.
Plastik vinil yang terdapat dalam sampah pada proses pembakaran akan
mengakibatkan kekuatan kronkit ekosemen akan berkurang. Hal ini diakibatkan
oleh adanya gas Cl2 hasil penguraian plastik vinil yang dapat mempengaruhi
kekuatan konkrit ekosemen. Sehingga pemisahan sampah sangatlah penting,
khususnya sampah plastik.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang didapatkan pada makalah ini adalah:
27

1. Semen pada awalnya dikenal di Mesir tahun 500 SM.


2. Semen yang dibuat bangsa Mesir merupakan kalsinasi gypsum yang tidak
murni, sedang kalsinasi batu kapur mulai digunakan pada zaman Romawi.
3. Bangsa Yunani membuat semen dengan cara mengambil tanah vulkanik
(vulkanik tuff) yang berasal dari pulau Santoris kemudian dikenal dengan
santoris cement.
4. Bangsa Romawi menggunakan semen yang diambil dari material vulkanik
yang ada di pegunungan Vesuvius di Lembah Napples yang kemudian
dikenal dengan Pozzulona cement, yang diambil dari sebuah nama kota di
Italia yaitu Puzzolia.
5. Perusahaan semen pertama di Indonesia adalah PT. Semen Padang
(Perusahaan) yang didirikan pada tanggal 18 Maret 1910 dengan nama NV
Nederlandsch Indische Portland Cement Maatschappij (NV NIPCM).
6. Salah satu jenis semen terbaru yaitu ekosemen. Ekosemen adalah jenis
semen yang bahan bakunya dari abu hasil pembakaran sampah. Pada
pembuatan ekosemen, secara prinsip sama dengan pembuatan semen biasa.
Perbedaannya terletak pada abu insinerasi, sewage sludge, dan limbah
lainnya yang digunakan sebagai raw material sebagai pengganti clay dan
sebagian limestone (batu kapur).

Anda mungkin juga menyukai