Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Kolesteatoma adalah suatu kista epitelial yang berisi deskuamasi jaringan


epitel skuamous (keratin) yang terdapat di telinga tengah, epitimpani, mastoid atau
apeks petrosa. Deskuamasi terbentuk terus lalu menumpuk sehingga kolesteatoma
bertambah besar.1, 2 Meskipun bukan termasuk keganasan, namun kolesteatoma dapat
menyebabkan infeksi, otorrhea, destruksi tulang, kehilangan pendengaran, paresis
atau paralisis nervus fasialis, fistula labirin, dan juga komplikasi ke intrakranial antara
lain abses epidural dan subdural, meningitis, dan tromboflebitis sinus vena duramater.
Istilah kolesteatoma mulai diperkenalkan oleh Johannes Muller pada tahun
1858 karena disangka kolesteatoma merupakan suatu tumor, ternyata bukan.
Beberapa istilah lain yang diperkenalkan oleh para ahli antara lain adalah: keratoma
(Schucknecht), squamous epiteliosis (Birrel, 1958), kolesteatosis (Birrel. 1958),
epidermoid kolesteatoma (Friedman, 1959), kista dermoid (Fertillo, 1970),
epidermosis (Sumarkin, 1988).1
Walaupun kolesteatoma sudah dikenal sejak pertengahan abad ke 19, namun
sampai sekarang patogenesisnya masih belum jelas. Walaupun begitu penegakkan
diagnosis dan penatalaksanaan penyakit ini sudah cukup diketahui. Banyak
penelitian dilakukan terhadap kolesteatoma sehingga dari tahun ke tahun terjadi
perubahan penatalaksanaan terhadap kolesteatoma.
Kolesteatoma dapat merupakan suatu kelanjutan dari penyakit otitis media
supuratif kronis (OMSK). Penyakit ini masih cukup sering ditemukan pada praktek
sehari-hari, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Pentingnya diagnosis
dini serta penatalaksanaan kolesteatoma akan mencegah terjadinya komplikasi yang
kemudian menjaga kualitas hidup pasien-pasien dengan OMSK.

1
BAB II
PEMBAHASAN

II.1. Definisi
Kolesteatoma adalah suatu kista epitelial yang berisi deskuamasi jaringan
epitel (keratin) yang semakin menumpuk sehingga ukurannya bertambah besar.
1
Akumulasi dari keratin ini terjadi pada telinga tengah, epitimpani, mastoid dan apeks
petrosa.2 Seringkali dihubungkan dengan kehilangan pendengaran dan infeksi
telinga.3

II.2. Klasifikasi dan Patogenesis Kolesteatoma


Berdasarkan etiologi, kolesteatoma dapat diklasifikasikan menjadi dua
kategori yaitu kongenital dan didapat (akuisita). Kolesteatoma yang didapat dibagi
lagi menjadi 2 bagian, yaitu primer dan sekunder.

II.2.1. Kolesteatoma Kongenital


Kolesteatoma kongenital terjadi karena perkembangan dari proses inklusi
pada embrional atau dari sel-sel epitel embrional. Karena itu kolesteatoma ditemui di
belakang membran timpani yang utuh tanpa berlanjut ke saluran telinga luar, dengan
tidak adanya faktor-faktor yang lain seperti perforasi dari membran timpani, atau
adanya riwayat infeksi pada telinga.2
Berdasarkan teori klasik oleh Derlacki dan Clemis (1965), kolesteatoma
kongenital terjadi di belakang membran timpani yang utuh, tanpa riwayat infeksi
sebelumnya.4,5 Namun definisi ini telah berubah setelah diketahui bahwa hampir 70%
anak akan mengalami sekurang-kurangnya satu kali episode otitis media. 5 Oleh
karena itu Levenson, dkk (1989) membuat modifikasi definisi kolesteatoma
kongenital (Tabel 1).

2
Tabel 1. Kriteria Kolesteatoma Kongenital Telinga Tengah 3
1. Terdapatnya masa putih pada membran tympani yang
normal
2. Pars tensa dan flaccida yang normal
3. Tidak adanya riwayat otorrhea ataupun perforasi
sebelumnya
4. Tidak ada riwayat prosedur otologi sebelumnya
5. Riwayat otitis media sebelumnya bukan merupakan kriteria
eksklusi
1. Sumber: Underbrink M, Gadre A. Cholesteatoma. In: Quinn FB, Ryan MW; editor. Grand
Round Presentation, UTMB, Dept. Of Otolaryngology. Available at:
http://www.utmb.edu/otoref/Grnds/Cholesteatoma-020918/Cholesteatoma.pdf (last access:
July 25 th , 2006)

Tipikal kolesteatoma kongenital ditemukan pada bagian anterior mesotimpani


atau pada area sekitar tuba eustachius, dan sering terjadi pada awal kanak-kanak (6
bulan sampai 5 tahun).6 Penelitian Levenson menunjukkan bahwa rata-rata usia
terjadinya kolesteatoma kongenital adalah 4,5 tahun dengan perbandingan antara
anak laki-laki dan perempuan 3:1. Dua pertiga kasus terjadi pada kuadran
anteroposterior membran timpani.2

Gambar 1.
Sumber: http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://www.childsdoc.org/fall2001/young_figure2.j

3
Gambar 2. Gambar 3.
Gambar 2. Kolesteatoma kongenital yang kecil yang ditemukan pada anak-anak. Hanya kuadran
anterosuperior yang terlibat.
Gambar 3. Kolesteatoma kongenital yang besar yang merusak pendengaran. Kolesteatoma telah
memenuhi semua ruang telinga tengah.
sumber: http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://www.childsdoc.org/fall2001/young_figure2.j

Etiologi dan patogenesis kolesteatoma belum diketahui dengan jelas. Dua


teori yang sering digunakan adalah kegagalan involusi penebalan epitel ektodermal
yang terjadi pada masa perkembangan fetus pada bagian proksimal ganglion
genikulatum, serta teori terjadinya metaplasi mukosa telinga tengah

II.2.2 Kolesteatoma aquisita


Kolesteatoma aquisita dibagi menjadi dua, yaitu primer dan sekunder. Faktor
terpenting dari kolesteatoma aquisita, baik primer maupun sekunder, adalah epitel
skuamous keratinisasi yang tumbuh melewati batas normal. 2 Kolesteatoma aquisita
primer merupakan manifestasi dari perkembangan membran timpani yang retraksi.
Kolesteatoma aquisita sekunder sebagai konsekuensi langsung dari trauma pada
membran timpani.
Jika terjadi disfungsi tuba Eustachius, maka terjadilah keadaan vakum pada
telinga tengah. Pars flaccida membran timpani tertarik dan terbentuklah kantong
(retraction pocket). Jika kantong retraksi ini terbentuk maka terjadi perubahan

4
abnormal pola migrasi epitel timpani dan menyebabkan akumulasi keratin pada
kantong tersebut. Akumulasi ini semakin lama semakin banyak sehingga kantong
retraksi bertambah besar ke arah medial. Destruksi tulang-tulang pendengaran sering
terjadi pada kasus ini. Pembesaran dapat berjalan semakin ke posterior mencapai
aditus ad antrum menyebar ke tulang mastoid, erosi tegmen mastoid ke durameter dan
atau ke lateral kanalis semisirkularis yang dapat menyebabkan ketulian dan
vertigo.2,5,6

Gambar 4 dan 5.
Sumber: http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://www.childsdoc.org/fall2001/young_figure2.j

5
Gambar 6. Patogenesis Kolesteatoma Aquisita Primer 4

Patogenesis kolesteatoma aquisita sekunder diterangkan dengan beberapa


teori, yaitu: teori implantasi, teori metaplasia, dan teori invasi epitelial. Menurut teori
implantasi, epitel skuamous terimplantasi ke telinga tengah sebagai akibat
pembedahan, adanya benda asing, atau trauma.
Berdasarkan teori metaplasia, epitel terdeskuamasi diubah menjadi epitel
skuamos stratified keratinisasi akibat terjadinya otitis media akut berulang ataupun
kronis. Sedangkan mekanisme menurut teori invasi epitel adalah ketika terjadi
perforasi pada membran timpani, epitel squamous akan bermigrasi melewati tepi

6
perforasi dan berjalan ke medial sejajar dengan permukaan bawah gendang telinga
merusak epitel kolumnar yang ada.
Telah diyakini bahwa proses ini disebabkan infeksi kronik yang terus
berlangsung dalam cavum timpani. Pertumbuhan papiler ke dalam yang
menyebabkan perkembangan kolesteatoma bermula pada pars flaccida. Reaksi
peradangan pada ruang Prussack (Prussacks space), yang biasanya disebabkan
ventilasi yang buruk pada daerah ini, dapat merusak membran basal yang
menyebabkan pertumbuhan dan proliferasi tangkai sel epitel ke dalam.2

Gambar 7. Evolusi Kolesteatom Atik Aquisita. A. Kantong retraksi atik, dimana pada
ototskopi terlihat sebagai perforasi atik, B. Perkembangan kantong, C. Pembesaran
kantong disertai erosi osikula, D. Kantong kolesteatom yang besar
Sekali kantong atau kista epitel skuamosa terbentuk dalam rongga telinga
tengah, maka akan terbentuk lapisan-lapisan deskuamasi epitel dengan kristal
kolestrin yang mengisi kantong. Matriks epitel yang mengelilinginya meluas ke
ruang-ruang yang ada di ruang atik, telinga tengah dan mastoid. Perluasan proses ini
diikuti kerusakan tulang dinding atik, rantai osikular, dan septa mastoid untuk
memberi tempat bagi kolesteatom yang bertambah besar.
Dulu dianggap bahwa tekanan yang terjadi karena kolesteatom yang
membesar menyebabkan destruksi tulang. Kini terbukti bahwa erosi tulang

7
disebabkan karena adanya enzim osteolitik atau kolagenase yang disekresi oleh
jaringan ikat subepitel. Proses osteogenesis ini disertai osteogenesis dalam mastoid
dengan adanya sklerosis. Infeksi pada kolesteatoma bukan hanya menyebabkan
sklerosis mastoid yang cepat tetapi juga peningkatan proses osteolitik.7

II.3 Penegakan Diagnosis


Evaluasi awal harus mendapatkan informasi menyeluruh mengenai riwayat
otologi, meliputi tuli, otorrhea, otalgia, tinitus dan vertigo. Mungkin didapatkan
riwayat penyakit telingah tengah sebelumnya, seperti OMSK dan atau perforasi
membran timpani. Pasien dengan tuli unilateral disertai dengan otorrhea kronis yang
berbau harus dicurigai adanya kolesteatoma.
Tanda dan gejala kolesteatoma mungkin tidak terdeteksi sampai bertahun-
tahun pada seluruh kelompok usia, namun lebih sulit lagi pada anak-anak. Anak-anak
sangat jarang mengeluh adanya penurunan pendengaran, terutama jika unilateral.4
Pada kasus yang sudah lanjut dapat terlihat abses atau fistel retroaurikula
(belakang telinga), polip atau jaringan granulasi di liang telinga luar yang berasal dari
telinga tengah, terlihat kolesteatoma pada telinga tengah (sering terlihat di
epitimpanum), sekret berbentuk nanah dan berbau khas (aroma kolesteatoma).1

Gambar 8. Abses dan fistel retroaurikula

8
Walaupun sangat jarang, koleateatoma juga dapat diidentifikasi pertama kali
dari salah satu komplikasinya, biasanya terjadi pada anak-anak. Infeksi yang terjadi
sudah sampai ke korteks mastoid dan bermanifestasi sebagai abses di leher. Bahkan
kolesteatoma juga dapat diidentifikasi dari komplikasinya ke susunan saraf pusat:
trombosis sinus sigmoid, abses epidural, atau meningitis.6
Gejala utama adalah adanya otorrhea, baik berulang maupun tidak, tanpa
disertai rasa sakit. Karena kolesteatoma tidak mempunyai pembuluh darah, antibiotik
sistemik tidak dapat mencapai kolesteatoma, sedangkan antibiotik topikal hanya
dapat mencapai beberapa milimeter dari kesuluruhan kolesteatoma, sehingga sulit
sekali untuk mengobati otorrhea.6 Pada pemeriksaan otoskop, liang teling tengah
harus dibersihkan dari sekret ataupun debris. Kantong retraksi mungkin terlihat,
biasanya pada daerah atik ataupun pada kuadran posterosuperior membran timpani.
Akumulasi debris skuama akan terkumpul pada kantong ini. Mungkin terlihat
jaringan granulasi pada daerah yang sakit.2

Gambar 9. Kolesteatoma

Otoskopi pneumatik harus dilakukan pada pasien dengan kolesteatoma. 3


Respon fistula yang positif (otoskopi pneumatik akan menyebabkan nistagmus dan
vertigo) menunjukkan adanya erosi kanalis semisirkularis atau koklea.

9
Audiometri nada alami, ambang suara percakapan, dan pengenalan kata-kata
biasanya akan menunjukkan adanya tuli konduktif pada telinga yang sakit. Derajat
ketulian bervarasi tergantung perkembangan penyakit. Tuli konduktif sedang
menunjukkan adanya diskontinuasi tulang-tulang pendengaran, biasanya disebabkan
karena erosi dari prosesus longus incus, ataupun capitulum stapes. Tuli konduktif
ringan dapat terjadi pada kolesteatom yang membesar, karena kantong kolesteatoma
sendiri dapat berperan sebagai penghantar bunyi langsung ke stapes atau basis
stapes.3 Hasil pemeriksaan audiometri harus digabungkan dengan pemeriksaan garpu
tala.2

II.3.1 Pemeriksaan Pencitraan


Gambaran radiologi tulang temporal harus diambil pada pasien yang dicurigai
memiliki kolesteatoma.4 Beberapa hal yang harus yang harus diperhatikan, yaitu (1)
adanya destruksi tulang dengan batas tegas dan sering kali disertai dengan pinggir
yang sklerotik, (2) adanya masaa jaringan lunak pada daerah epitimpani dan atau
mesotimpani, dan (3) biasanya terlihat daerah mastoid yang sklerotik.8
CT scan merupakan modalitas pencitraan terpilih karena kemampuan
mendeteksi kerusakan tulang. Namun, terkadang sangat sulit untuk membedakan
antara jaringan granulasi dengan kolesteatoma. Beberapa kerusakan tulang yang
dapat dideteksi dengan CT scan adalah: (1)erosi daerah skutum, (2)fistula labirin,
(3)defek pada tegmen timpani, (4)gambaran erosi dan diskontinuitas osikula, serta
(5)anomali dan invasi dari kanalis Fallopi.6

10
Gambar 10. Sumber: Roland PS. Middle Ear, Cholesteatoma. Avaiable at:
th
http://www.emedicine.com/ent/topic220.htm (last access: July 25 , 2006).
Pemeriksaan MRI digunakan apabila terjadi komplikasi ke jaringan lunak
sekitar, seperti:6
- Invasi dan penyebaran ke durameter
- Abses subdural ataupun epidural
- Herniasi otak ke cavum mastoid
- Peradangan membran labirin atau saraf fasialis
- Trombosis sinus sigmoid
II.3.2 Pemeriksaan Histologis
Gambaran histologis dari kolesteatoma menunjukkan epitel skuamous yang
tipikal. 6

II.4 Pencegahan Pembentukan Kolesteatoma


Jika pada pemeriksaan telinga seorang pasien diketahui adanya kantong
retraksi, hal ini merupakan manifestasi disfungsi tuba Eustachius. Akibatnya
dibutuhkan pemasangan tuba timpanostomi jangka panjang untuk menghilangkan
tekanan negatif pada telinga tengah. Intervensi ini dapat mengembalikan membran
timpani ke posisi netral. Jika kantong retraksi menempel pada tulang pendengaran
atau adanya lipatan pada membran tersebut, atau jika kantong retraksi sudah bertahan
cukup lama, maka kantong tersebut tetap bertahan walaupun telah dipasang tube

11
timpanostomi. Jika hal ini terjadi maka diindikasikan eksplorasi dengan
pembedahan.2

II.5 Penatalaksanaan
Kolesteatoma adalah penyakit yang memerlukan tindakan bedah. Terapi
medikamentosa tidaklah banyak membantu. Pasien-pasien yang menolak untuk
dioperasi atau mempunyai kondisi umum yang buruk sehingga penggunakan anestesi
umum akan membahayakan, harus membersihkan telinga yang sakit secara teratur.
Pembersihkan secara teratur dapat membantu mengontrol infeksi dan memperlambat
pertumbuhan kolesteatoma.2,6
Pada kolesteatoma terinfeksi, hasil kultur dan resistensi dari sekret telinga
mirip dengan hasil kultur dan resistensi pada pasien-pasien dengan otitis media kronis
(OMSK); P.aeruginosa dan Proteus sp. adalah bakteri aerobik tersering yang
teridentifikasi, sedangkan bakteri anaerob yang paling sering adalah Bacteroides dan
Peptococcus-Peptostrecoccus sp.. Karma dkk. (1978) melaporkan bahwa hasil kultur
dari 18 pasien dengan kolesteatoma yang terinfeksi, hampir setengahnya
menunjukkan kolesteatoma yang terinfeksi oleh bakteri aerob dan anaerob secara
bersamaan.4 Sehingga berdasarkan penelitian ini, antibiotik topikal dan sistemik yang
terpilih adalah antibiotik broadspectrum. Namun hasil kultur dan resistensi akan
sangat membantu.
Tujuan utama terapi pembedahan adalah eradikasi total kolesteatoma untuk
mendapatkan telinga yang kering. Tujuan kedua adalah restorasi atau
mempertahankan kapasitas fungsional telinga, yaitu pendengaran. Tujuan ketiga
adalah mempertahankan gambaran anatomis telinga yang normal jika
memungkinkan.2 Penatalaksanaan komplikasi, jika ada, merupakan prioritas utama
daripada tujuan-tujuan di atas. Perluasan penyakit biasanya akan menentukan
agresifitas pendekatan bedah.4

II.5.1 Penatalaksanaan Preoperatif

12
Sebaiknya pasien diberitahukan akan keuntungan dan kerugian setiap
prosedur yang dipilih. Terdapat tiga kemungkinan hasil operasi tergantung dari
penemuan selama pembedahan. Jika kolesteatoma kecil dan dapat dibersihkan,
gendang telinga dan osikula direkonstruksi dalam satu kali operasi.
Jika kolesteatoma tidak bisa dibersihkan semuanya yang memungkinkannya
dapat tumbuh kembali, maka lebih baik dilakukan penundaan operasi beberapa bulan
lagi sampai dapat dilakukan eksisi total. Rekonstruksi osikula dilakukan pada operasi
yang kedua.
Jika kolesteatoma luas dan mengenai telinga dalam dan nervus fasialis, maka
tidak mungkin dilakukan pengangkatan kolesteatoma sehingga mastoidektomi radikal
merupakan tindakan pilihan.9
Tabel 2. Perbadingan antara prosedur bedah kolesteatoma6
Prosedur Canal-Wall-Down (CWD) Prosedur Canal-Wall-Up (CWU)
Meatus melebar Bentuk akhir yang normal
Alat bantu pendengaran tidak pas pada Alat bantu pendengaran biasanya
telinga cocok dengan MAE
Pembersihan MAE dapat dilakukan 6 Dibutuhkan pembersihan rutin
bulan sampai 1 tahun sekali
Angka persistensi dan rekurensi rendah Angka kekambuhan atau persistensi
tinggi
Biasanya jika terkena air pasien merasa Toleransi tinggi terhadap paparan air
pusing
Hanya terdiri dari satu tahap prosedur Biasanya terdiri dari beberapa
operasi tahapan operasi
Sumber : Roland PS. Middle Ear, Cholesteatoma. Avaiable at:
http://www.emedicine.com/ent/topic220.htm (last access: July 25 th , 2006)

II.5.2 Penatalaksanaan Intraoperatif


II.5.2.1 Canal-Wall-Down

13
Sebelum adanya prosedur timpanoplasti, semua pembedahan kolesteatom
dilakukan dengan prosedur Canal Wall Down (CWD).2 Prosedur ini dilakukan dengan
membuka dinding kanal posterior sampai setinggi level vertikal nervus fasialis dan
membuat hubungan mastoid dengan MAE. Daerah epitimpani diobliterasi dengan
membuang skutum, caput maleus dan inkus. Operasi CWD klasik adalah modifikasi
mastoidektomi radikal dimana ruang telinga tengah dipertahankan. Meatoplasti harus
dibuat cukup besar sehingga dapat terjadi aerasi cavum mastoid yang baik serta
membuat visualisasi yang baik untuk memfasilitasi perawatan postoperatif.
Prosedur ini diindikasikan sebagai pendekatan awal pada (1) pasien dengan
kolesteatoma pada satu-satunya telinga yang berfungsi, (2) erosi tulang yang
signifikan pada dinding posterior kanal, (3) riwayat vertigo yang menunjukkan
adanya fistula labirin, (4) kolesteatoma berulang setelah prosedur CWU, (5) fungsi
tuba Eustachius yang jelek, (6) mastoid yang sklerotik dengan akses terbatas ke
daerah epitimpani.2
Tabel 3. Beberapa tahap penting pada prosedur Canal Wall-Down (CWD)
1. Mengangkat semua sel-sel udara, termasuk sel-sel retrofasial,
retrolabirin, dan traktus subarcuata
2. Mengangkat dinding posterior dan lateral epitimpani sehingga tegmen
mastoid dan tegmen timpani menjadi halus tanpa gangguan bidang-
bidang lain.
3. Amputasi ujung mastoid, tidak selalu dilakukan
4. Saucerization batas lateral cavum tympani
5. Merendahkan dinding tulang MAE sampai setinggi n.VII
6. Menghubungkan bagian anterior resesus epitimpani dengan membuang
the cog
7. Melebarkan MAE (setidaknya dua kali dari ukuran normal) dengan
membuang kartilago konka
8. Menurunkan ujung medial sampai setinggi lantai hipotimpani.
Sumber: Roland PS. Middle Ear, Cholesteatoma. Avaiable at:
http://www.emedicine.com/ent/topic220.htm (last access: July 25 th , 2006)

II.5.2.2 Canal-Wall-Up

14
Prosedur Canal Wall-Up (CWU) dikembangkan untuk mencegah masalah
yang terjadi pada prosedur CWD. Pada CWD, tulang posterior Meatus Akustikus
Eksternus dipertahankan selama mastoidektomi dengan atau tanpa timpanostomi
posterior. Prosedur bertahap dibutuhkan sebagai operasi second look terjadwal 6-18
bulan setelah pengangkatan kolesteatoma dan rekonstruksi tulang-tulang pendengaran
jika dibutuhkan. Pendekatan ini diindikasikan pada pasien-pasien yang (1)memiliki
tulang mastoid dengan pneumatisasi yang luas, (2) cavum telinga tengah yang
teraerasi dengan baik, (3) fungsi tuba Eustachius yang baik. Prosedur ini
dikontraindikasikan pada pasien dengan fistula Labirin, penyakit telinga yang sudah
sangat lama, serta fungsi tuba yang buruk.2

Tabel 4. Beberapa tahapan penting pada prosedur Canal-Wall-Up (CWU)6


1. Membuang sel-sel udara mastoid yang terinfeksi
2. Memperbaiki fungsi tuba Eustachius
3. Mempertahankan adan memperbaiki cavum timpani
4. Membuat hubungan yang baik antara mastoid dengan telingah tengah melalui
aditus ad antrum
5. Mengangkat tulang-tulang pada defek di atik dan menggantinya dengan graf
kartilago atau tulang
Sumber: Roland PS. Middle Ear, Cholesteatoma. Avaiable at:
http://www.emedicine.com/ent/topic220.htm (last access: July 25 th , 2006)

II.5.2.3 Transcanal Anterior Atticotomy2


Prosedur ini diindikasikan pada kasus kolesteatoma tertentu yang menggangu
telinga tengah, tulang-tulang osikula, dan epitimpani. Jika perluasan kolesteatom
tidak diketahui, pendekatan ini dapat dikombinasikan dengan prosedur CWU
mastoidektomi atau prosedur CWD yang luas. Pada Atticotomy dilakukan flap
timpanomeatal melalui insisi endaural dengan membuang skutum sampai batas
kolesteatoma. Setelah prosedur tersebut, aditus diobliterasi dengan menggunakan
otot-otot, fascia, kartilago, ataupun tulang sebelum dilakukan rekonstruksi telinga

15
tengah. Beberapa prosedur rekonstruksi disarankan untuk dilakukan pada dinding
lateral atik dengan menggunakan tulang ataupun kartilago, namun hal ini dapat
mengakibatkan retraksi dan rekurensi pada pasien dengan fungsi tuba Eustachius
yang buruk.

II.5.2.4 Bondy Modified Radical Mastoidectomy3


Walaupun jarang dilakukan sekarang ini, prosedur Bondy sangat berguna pada
tipe-tipe kolesteatoma tertentu. Prosedur ini diindikasikan pada kolesteatoma atik dan
mastoid yang tidak merusak liang telinga dan lateral osikula. Prosedur ini akan sangat
baik dilakukan pada pasien dengan perkembangan aerasi mastoid buruk. Fungsi tuba
Eustachius harus adekuat, dengan pars tensa yang intak dan ruang telinga tengah yang
teraerasi. Prosedur Bondy dilakukan seperti modifikasi radikal mastoidektomi
modern tanpa adanya invasi telinga tengah.

Gambar 11. Radikal Mastoidektomi Intraoperatif

II.6 Komplikasi2
Perluasan kolesteatoma disertai dengan infeksi menyebabkan berbagai
komplikasi seperti destruksi tulang-tulang pendengaran, paparan pada membran

16
labirin, kerusakan nervus fasialis dan durameter, serta infeksi pada tulang-tulang
mastoid dan intrakranial.
Tuli konduktif adalah komplikasi tersering kolesteatoma akibat erosi tulang-
tulang pendengaran. Hal ini terjadi pada 30% kasus kolesteatom. Erosi pada prosesus
lentikular dapat menyebabkan tuli konduktif sampai 50dB. Namun, tingkat ketulian
dapat bervariasi dengan adanya perkembangan miringostapediopeksi atau transmisi
suara melalui kantung kolesteatoma ke stapes atau basis stapes. Adnya tanda-tanda
tuli sensorineural mengindikasikan adanya kerusakan pada labirin.
Setelah proses pembedahan, 3% telinga yang telah dioperasi mempunyai
kerusakan permanen akibat perluasan penyakit atau karena komplikasi proses
penyembuhan. Pasien harus diberitahukan kemungkinan tuli total pada telinga yang
sudah dioperasi serta kenyataan bahwa operasi dua tahap akan memperburuk
pendengaran.
Fistula labirin mungkin terjadi pada 10% pasien dengan penyakit telinga
tengah kronis akibat kolesteatoma. Fistula ini kebanyakan terjadi pada pasien dengan
proses penyakit yang lama disertai tuli sensorineural dan atau vertigo yang diinduksi
bising atau perubahan tekanan pada telinga tengah. Tes fistula yang negatif tidak
berarti terbebas dari komplikasi ini. Jika pasien diperkirakan terkena komplikasi ini,
maka perlu dilakukan CT scan. Tempat tersering terjadinya fistula adalah kanalis
semisirkularis horizontal, walaupun koklea mungkin saja terkena.
Paralisis n.VII pada pasien dengan kolesteatoma memerlukan tindakan
pembedahan segera. Paralisis mungkin terjadi akibat infeksi atau ekspansi kronis
kolesteatoma. CT tulang temporal harus dilakukan untuk membantu melokalisasi
saraf yang terkena. Tempat tersering kerusakan saraf ini adalah pada ganglion
genikulatum di anterior epitimpani. Pengangkatan kolesteatoma dan materi-materi
infeksius dengan dekompresi saraf biasanya akan mengembalikan fungsi saraf
fasialis. Pemberian antibiotik Intravena serta steroid dosis tinggi juga sangat
membantu. Trauma iatrogenik selama operasi harus segera diperbaiki dengan cara
dekompresi saraf pada daerah distal dan proksimal tempat trauma.

17
Komplikasi intrakranial sangat berbahaya karena dapat menyebabkan
kematian. Infeksi seperti abses subperiosteal, trombosis sinus lateral, dan abses
intrakranial terjadi pada kurang dari 1% pasien dengan kolesteatoma. Temuan-temuan
yang menunjukkan adanya kemungkinan komplikasi intrakranial adalah otorrhea
supuratif yang berbau busuk, sakit kepala kronis, nyeri dan atau demam. Perubahan
status mental disertai kekakuan nuchae atau neuropati mengindikasikan konsultasi ke
bagian bedah saraf. Abses epidural, empiema subdural, meningitis dan abses serebral
harus segera diobati sebelum penatalaksanaan otologi definitif.

II.7 Prognosis
Kolesteatoma pada anak-anak dianggap sebagai penyakit yang lebih
berbahaya dibandingkan jika terjadi pada orang dewasa. Hal ini disebabkan karena
perluasan penyakit lebih sering ditemukan pada anak-anak dibandingkan pada orang
dewasa. Alasan kedua adalah tingginya angka residual dan rekurensi pada populasi
anak-anak.5 Namun harus diperhatikan bahwa insiden terjadinya komplikasi
kolesteatoma berhubungan langsung dengan durasi penyakit, oleh karena itu orang
dewasa memiliki angka kejadian komplikasi lebih tinggi daripada anak-anak.5
Pengangkatan kolesteatoma hampir selalu berhasil dilakukan, namun mungkin
dibutuhkan beberapa kali tahapan operasi. Keberhasilan operasi biasanya diikuti
dengan penurunan komplikasi pada kolesteatoma yang tidak terkontrol. 6
Prosedur CWD timpanomastoidektomi memiliki angka rekurensi dan
persistensi yang rendah. Reoperasi kolesteatoma terjadi pada kurang dari 5% pasien
dibandingkan angka rekuransi 20-40% dengan prosedur CWU.6 Namun prosedur ini
memberikan hasil akhir anatomis yang lebih mendekati normal, sehingga penggunaan
alat bantu dengar jauh lebih mudah.
Selain itu kolesteatoma tetap merupakan penyebab utama tuli konduktif
permanen. Terkadang dibutuhkan prosedur bedah multipel untuk menghilangkan
kemungkinan rekurensi.

18
BAB III
KESIMPULAN

Kolesteatoma merupakan suatu kelanjutan dari penyakit otitis media supuratif


kronis (OMSK). Penyakit ini masih sering ditemukan terutama di negara
berkembang seperti Indonesia. Patogenesis kolesteatoma sampai saat ini masih
belum jelas namun komplikasi yang ditimbulkan sangat berbahaya. Dengan
demikian, diperlukan evaluasi yang teliti dan menyeluruh dalam menegakkan
diagnosis. Penatalaksanaan kolesteatoma adalah dengan pembedahan karena dengan
terapi medikamentosa tidak dapat membantu. Tujuan utama pembedahan adalah
eradikasi total kolesteatoma untuk mendapatkan telinga yang aman dan kering.
Pendekatan bedah harus disesuaikan dengan masing-masing pasien tergantung luas
penyakit. Terkahir dokter harus dapat memperkirakan kemungkinan terjadinya
komplikasi yang mengancam jiwa.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Djaffar Zainul A. Kelainan Telinga Tengah. In: Soepardi EA, Iskandar N;


editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher,
ed. 5. Jakarta; Fakultas Kedokteran Ilmu Indonesia; 2001.p. 49-62
2. Underbrink M, Gadre A. Cholesteatoma. In: Quinn FB, Ryan MW; editor.
Grand Round Presentation, UTMB, Dept. Of Otolaryngology. Avaiable at:
http://www.utmb.edu/otoref/Grnds/Cholesteatoma-020918/Cholesteatoma.pdf
(last access: July 25 th , 2006)
3. The National Deaf Children`s Society. Cholesteatoma. Avaiable at:
http://www.ndcs.org.uk (last access: July 25 th , 2006)
4. Bluestone CD, Klein JO. Complications and Sequelae: Intratemporal. In:
Bluestone CD, Klein JO; editor. Otitis Media in Infants and Children
Philadelphia; WB. Saunders Company: 1988.p.203-247
5. Vastola AP. Pediatric Cholesteatoma. Avaiable at:
http://www.bcm.edu/oto/grand/10793.html (last access: July 25 th , 2006)
6. Roland PS. Middle Ear, Cholesteatoma. Avaiable at:
http://www.emedicine.com/ent/topic220.htm (last access: July 25 th , 2006)
7. Ekayuda, Iwan. Peranan Radiologi dalam Menegakkan Komplikasi Otitis
Media Supuratif Kronis pada Tulang Temporal. In: Pandi PS, Djaafar ZA;
editor. Penanggulangan Otitis Media Supuratif Kronis dan Komplikasi.
Jakarta; Panitia Simposium Penanggulangan Otitis Media Supuratif Kronik
dan Komplikasi. Bagian THT/FKUI-RSCM,1983.p.58-65

20
8. Ballenger, John Jacob.Penyakit Telinga Kronis.In: Staf Ahli Bagian THT
RSCM-FKUI; editor. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan
Leher, Jilid Dua, Edisi 13.Jakarta; Binarupa Aksara:1997.p.392-403
9. Anonim. Cholesteatoma. Available at
http://www.earsite.com/tumors/cholesteatoma.html (last access: July 25 th ,
2006)

21

Anda mungkin juga menyukai