Perspektif pragmatis jelas sulit untuk dilukiskan dalam model komunikasi yang
berbentuk gambar. Setelah mengetahui bahwa kompleksitas waktu lebih relevan bagi
perspektif pragmatis daripada kompleksitas ruang. Tetapi, sekalipun kita tahu bahwa
perspektif interaksional tidak dapat disesuaikan dengan lebih tidak dapat lagi. Seperti
yang telah dikemukakan di bagian pertama, beberapa perspektif memang lebih mudah
untuk diuraikan dalam model yang berbentuk gambar daripada perspektif yang lainnya.
Konsep ruang mencakup tiga dimensi: tinggi, lebar, dan dalam. Apabila kita
cukup berumur, tentu dapat mengingat kembali film 3-D (tiga dimensi; kita harus
menggunakan kacamata khusus untuk menontonnya), Kita tentu dapat mengingat
kesan kedalaman yang baru (dimensi ketiga) dalam gambar film yang diproyeksikan.
Dimensi itu tidak ada dalam film lainnya. Kamera dan lensa proyeksi yang baru, berikut
kemajuan teknologis lainnya dan sinematografi, menyebabkan tidak perlu lagi memakai
kacamata untuk film tiga dimensi dan menunjukkan persepsi kedalaman secara visual
tanpa memakai kacamata.
Dewasa ini gambar televisi masih tetap "datar", yakni, tanpa adanya persepsi
kedalaman; dan selembar kertas atau halaman buku di mana model komunikasi itu
akan disajikan "datar" juga (2-D), walaupun kedalamannya dapat dinyatakan dalam
gambar.
Waktu, pada sisi yang Iain, hanya memiliki satu dimensi seringkali disebut
"dimensi yang keempat". Dan bagaimanakah gambar 2-D pada sehelai kertas dapat
menyajikan dimensi yang keempat dari waktu itu? la sama sekali tidak dapat
melakukannya secara memadai. Model ini hanya dapat mengisyaratkan adanya
dimensi waktu tersebut.
Komponen-Komponen Khas
Lokus komunikasi dalam persepektif pragmatis secara jelas adalah perilaku, tindakan
yang dijalankan oleh para individu yang menjadi anggota sistem komunikasi.
Dengan mengingat kembali faham Birdwhistell bahwa komunikasi bukanlah sesuatu
yang "dilakukan" oleh seseorang tetapi merupakan peristiwa atau sistem di mana
seseorang "berpartisipasi" atau "menjadi bagian dari" maka tempat komunikasi dalam
urutan perilaku itu seharusnya menjadi agak jelas. Teori informasi menyatakan bahwa
redundansi merupakan kendala (pada pilihan), dan kendala itu merupakan struktur. Dan
struktur adalah organisasi yang teratur negentropi. Makin banyak redundansi atau
struktur, makin stabil sistem, dan makin mampu sistem itu untuk bertahan terhadap
proses kerusakan atau kehancuran. Akan tetapi itu hanya benar sampai batas tertentu.
Tetapi bahwa terlalu banyak struktur dapat pula merugikan sistem sosial seperti juga
terlalu sedikit. Makin terstruktur, sistem itu, makin berkurang kemampuan sistem itu
untuk menyesuaikan diri pada perubahan lingkungan, misalnya, organisasi yang
birokratis. Suatu contoh yang lain adalah redundansi yang melemahkan pembentukan
pola perilaku kelompok kerja "ban berjalan" dalam suatu pabrik. Kolaja (1969: 76)
menunjukkan bahwa suatu jumlah redundansi yang demikian telah meyuburkan
keadaan yang monoton dan cenderung untuk menjadi "tidak berarti secara manusiawi".
Keadaan itu menimbulkan kemunduran dalam hubungan sosial." Selanjutnya Kolaja
menyatakan hal yang telah jelas bahwa masalah berapa banyak redundansi atau
pola itu dikatakan optimal belum terpecahkan, bahkan secara teoretis sekalipun. Dan
memang, jumlah pemolaan yang optimal dapat saja berbeda dari satu jenis sistem
sosial pada jenis yang lainnya.
Tetapi gejala vitalitas tampak pada jumlah masalah yang begitu banyak yang telah
diajukan dalam cara yang benar-benar heuristik, yakni, para penganut faham
pragmatisme dalam masyarakat ilmiah komunikasi tidak memiliki jawaban untuk semua
permasalahan, akan tetapi mereka memang mempunyai gagasan yang baik tentang
pertanyaan-pertanyaan apa yang seyogyanya ditanyakan.