Anda di halaman 1dari 35

CRITICAL JURNAL RIVIEW (CJR)

Nama Mahasiswa : Vinka Nova Tutiona Simanjuntak

NIM : 1193311011

Jurusan : Pendidikan Pra Sekolah Dasar

Program studi : Pendidikan Guru Sekolah Dasar

Kelas : G Ekstensi 2019

Dosen Pengampu : Drs.Aman Simaremare, S Psi.,M.S

Mata Kuliah : Pendidikan Luar Sekolah

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN-UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

MEDAN

OKTOBER 2019

0
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas Berkat dan rahmatnya
sehingga saya masih diberikan kesempatan untuk dapat menyelesaikan critical jurnal riview
ini dengan judul”Critical Jurnal Riview”.

Critical jurnal riview ini, saya buat guna memenuhi penyelesaian tugas pada mata kuliah Ilmu
Pendidikan , semoga critical jurnal riview ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan
bagi para pembaca.

Dalam penulisan critical jurnal riview ini, saya tentu saja tidak dapat menyelesaikannya
sendiri tanpa bantuan dari pihak lain.Oleh karena itu,saya mengucapakan terimahkasih
kepada :

1. Kedua orangtua saya yang selalu mendoakan

2. Kepada Bapak Dosen pengampu, Drs.Aman Simaremare, S Psi.,M.S

Saya menyadari bahwa critical jurnal riview ini, masih jauh dari kata sempurna
karena masih banyak kekurangan.

Oleh karena itu,saya dengan segala kerendahan hati meminta maaf dan mengharapkan kritik
dan serta saran yang membangun guna perbaikan dan penyempurnaan ke depannya.

Akhir kata,saya mengucapkan selamat membaca dan semoga materi yang ada dalam critical
jurnal riview ini, dapat bermanfaat sebagaimana semestinya bagi para pembaca.

Medan, Oktober 2019

Penyusun

Vinka Nova Tutiona Simanjuntak

1193311011

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................ 1

DAFTAR ISI............................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang.................................................................................. 3
B. Tujuan penulisan CJR....................................................................... 3
C. Manfaat JR........................................................................................ 3
D. Identitas Jurnal.................................................................................. 4

BAB II RINGKASAN ARTIKEL


Isi..................................................................................................... 6

BAB III PEMBAHASAN


A. Kelebihan dan Kekurangan Jurnal 1 ................................................10
B. Kelebihan dan Kekurangan Jurnal 2 ................................................15
C. Kelebihan dan Kekurangan Jurnal 3............................................... 30

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan..................................................................................... 33

DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 34

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Rasionalisasi pentingnya CJR

Sering kali kita bingung memilih referensi Jurnal, untuk kita baca dan pahami.
Terkadang juga, kita memilih satu buku, namun kurang memuaskan.Misalnya dari segi
informasi yang terkandung dalam buku tersebut.

Oleh karena itu, melakukan critical jurnal riview ini untuk mempermudah pembaca dalam
memilih refrensi, terkhusus pada pokok bahasan tentang Bimbingan dan konseling di siswa
dan memberikan pengetahuan kepada pembaca tentang kelebihan serta keurangan jurnal yang
dipilih.

B. Tujuan Penulisan CJR

Critical Jurnal Riview ini memiliki tujuan yaitu :

a) Menumbuh kembangkan pengetahuan dan wawasan akan ilmu pengetahuan tentang


Ilmu Pendidikan.

b) Menjelaskan tentang konsep-konsep yang penting dalam Pembelajaran Pendidikan.

c) Untuk menjelaskan bagaimana-menjelaskan metode penelitian.

C. Manfaat CJR

Manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan Critical Jurnal Riview ini adalah untuk
mengajak pembaca lebih memahami secara mendalam mengenai Pembelajaran PadaIlmu
Pendidikan.

3
IDENTITTAS JURNAL

Jurnal 1

Judul

KEMAMPUAN SUBJECT SPECIFIC PEDAGOGY


CALON GURU BIOLOGI PESERTA PROGRAM
PENDIDIKAN PROFESIONAL GURU (PPG) YANG
BERLATAR BELAKANG BASIC SAINS

PRA DAN POST WORKSHOP

Jurnal Penelitian.
Volume dan Halaman VOL (2) (2012)
Tahun 2012
Penulis
Reviewer Vinka Nova Tutiona Simanjuntak

Bulan Oktober
ISSN 157-162

Alamat situs http://journal.unnes.ac.id/index.php/jpii

Jurnal 2

Judul

LANDASAN DAN IMPLEMENTASI PENDIDIKAN


MULTIKULTURAL
DI INDONESIA

Jurnal Penelitian Pendidikan.


Volume dan Halaman Vol 12, No 1 (2012)

Tahun 2012
Penulis Rukiyati
Reviewer Vinka Nova Tutiona Simanjuntak

4
Bulan Oktober

Alamat situs http://garuda.risedikti.go.id/documents/detail/307066

Jurnal 3

Judul

MANAJEMEN KURIKULUM DALAM PENDIDIKAN


PROFESI GURU (STUDI KASUS DI UNIVERSITAS
PENDIDIKAN INDONESIA)

Jurnal Manajemen Pendidikan.


Volume dan Halaman Vol 46,No 2 November 2016

Tahun 2016
Penulis Dinn Wahyudin
Reviewer Vinka Nova Tutiona Simanjuntak

Bulan Oktober

Alamat situs http://garuda.risedikti.go.id/documents/detail/792788

5
BAB II

RINGKASAN ARTIKEL
JURNAL 1

Pendahuluan

Guru merupakan suatu profesi, yang ber- arti suatu jabatan yang memerlukan keahlian khusus sebagai
guru dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang pendidikan. Pekerjaan profesional
ditunjang oleh suatu ilmu tertentu secara mendalam yang hanya mungkin diperoleh dari lembaga-lembaga
pendidikan yang sesuai, sehingga kinerjanya didasarkan pada keil- muan yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah.
Untuk itu seorang guru yang profes- sional harus disiapkan sejak awal, yaitu ketika mereka masih
menjadi mahasiswa calon guru. Seorang calon guru harus mampu merencanakan dan menggabungkan strategi
mengajar IPA yang sesuai untuk pelajar dengan beragam latar bela- kang dan gaya belajar (NSTA, 1998).
Untuk memenuhi kebutuhan seorang guru yang profesional tersebut maka didesain suatu program
pendidikan guru melalui pende- katan konsekutif, yang tujuannya adalah mema- dukan pengetahuan materi ajar
dan pengetahuan pedagogik.

Undang no 14 tahun 2005 harus berpendidikan S1 atau DIV ditambah pendidikan profesi tanpa
mempersoalkan latar belakang dari pendidikan atau nonpendidikan, namun tetap mempertim- bangkan
kecenderungan perubahan dan tuntutan pendidikan pada masa yang akan datang. Untuk itu desain pendidikan
profesional guru dipilah menjadi pendidikan profesi guru (PPG) untuk yang berlatar belakang S1 pendidikan
dan pendi- dikan profesi guru berlatar belakang S1 atau DIV nonkependidikan. Desain program pendidikan
Profesional
Guru ini merujuk pada pembelajaran yang menekankan content-based dan content-specific pedagogy
untuk menyiapkan mahasiswa calon guru agar mampu mengajar di lingkungan para peserta didik yang
multikultural (Kartadinata, 2010). Keseluruhan program harus mendukung penyiapan calon guru yang mampu
mengemas dan mengimplementasikan pembelajarannya be- kerja sama dengan pendidik lain.

METODE

Penelitian dilakukan di Universitas Pendi- dikan Indonesia di Bandung, dengan melibatkan mahasiswa
calon guru yang sedang mengiku- ti Program Pendidikan Profesional Guru PPG (konsekutif) sebagai subjek
penelitian. Sampel di- pilih menggunakan teknik stratified random samp- ling. Setelah diperoleh hasil
penilaian pertama, akan ditentukan tingkat kemampuan siswa (ting- kat I,II,III). Mahasiswa dengan kategori
tersebut akan dijadikan sampel selanjutnya.
Penelitian ini termasuk penelitian non ek- perimental (Nonexperimental Research). Perkem- bangan ini
dilakukan dengan menggunakan me- tode longitudinal study.
Penelitian diawali dengan melakukan pe- nelusuran dokumen yang meliputi kurikulum dan silabus pada
program pendidikan profesional guru melalui pendekatan konsekutif. Selain itu partisipan diberi kuesioner
untuk mengetahui la- tar belakang pendidikan dan pengalaman menga- jar para partisipan.
Pada program dengan pendekatan konse-kutif, sebelum mengikuti program PPG partisi- pan diminta
untuk membuat CoRes dan PaP-eRs untuk topik transportasi zat melintasi membran, yang tujuannya untuk
melihat kemampuan awal mereka. Saat pengerjaan partisipan tidak diper- bolehkan bekerjasama dan tidak boleh
membu- ka buku. Pada pertengahan semester I, dan pada akhir semester I mahasiswa diminta kembali membuat
CoRes dan PaP-eRs. Beberapa hari sete- lah pelaksanaan, dilakukan wawancara terhadap partisipan, berkaitan
dengan CoRes dan PaP-eRs yang mereka buat. Data hasil penelitian diana- lisis dengan teknik deskriptif
kualitatif dan ku- antitatif dengan menggunakan desain konkuren triangulasi (Creswell, 2007).

6
JURNAL 2

Pendahuluan
Pendidikan multikultural adalah sebuah ide, pendekatan untuk perbaikan sekolah dan
gerakan kesetaraan, keadilan sosial dan demokrasi. Para ahli pendidikan multikultural
menekankan komponen dan kelompok budaya yang beragam, tetapi mereka mempunyai
konsensus berupa penghargaan pada prinsip- prinsip utama, konsep-konsep dan tujuan.
Tujuan utama pendidikan multikultural adalah untuk merestrukturisasi sekolah sehingga
semua siswa memperoleh pengetahuan, sikap dan keahlian yang dibutuhkan dalam
memfungsikan bangsa dan dunia yang secara etnis dan ras berbeda-beda. Pendidikan
multikultural menginginkan jaminan kesetaraan pendidikan bagi anggota ras yang berbeda,
etnis, budaya dan kelompok sosio-ekonomi dan untuk memfasilitasi partisipasi mereka
sebagai warganegara yang kritis dan reflektif dalam sebuah budaya nasional kebangsaan yang
inklusif ( Zamroni, 2008: 292).

Landasan ontologis pendidikan multikultural adalah pluralisme. Pluralisme sekarang


ini merupakan ide yang hampir universal di seluruh dunia. Sebagaimana dinyatakan oleh
Nikolas Gvosdev (Zamroni, 2008: 105) bahwa berbagai gelombang demokratisasi yang
terjadi di berbagai bagian dunia selama tiga puluh tahun terakhir secara mendasar telah
mengubah dialog internasional tentang hak asasi. Pluralisme menjadi mode dan sekaranglah
zaman kemenangan pluralisme terhadap otoritarianisme, zaman kemenangan kemanusiaan
dan diversifikasi sumber-sumber kreativitas. Setiap warga negara mempunyai kebebasan
memilih apa yang dipikirkannya, agama, keyakinan dan gaya hidupnya. Negara totaliter
tinggal sedikit dan terdengar kuno di dunia sekarang ini.

Seiring dengan mendunianya pluralisme, pendidikan multikultural merupakan isu


penting yang hangat diwacanakan sekarang seiring dengan meningkatnya kesadaran orang
akan persamaan derajat dan kebebasan manusia. Tidak terkecuali Indonesia, sebagai sebuah
negara yang didirikan dengan konsep modern dan secara kultural bersifat terbuka terhadap
berbagai ide dan perubahan dunia. Sejak lama telah disadari bahwa Indonesia adalah bangsa
yang multikultural, baik ditinjau dari aspek adat-istiadat dan budaya, sosial-ekonomi juga
agama. Semboyan bhinneka tunggal Ika adalah bukti yang menunjukkan adanya pengakuan
keberagaman itu. Ditinjau dari sisi ekonomi, Indonesia termasuk negara yang masih
berkembang. Sejak zaman kolonialisme Belanda, sebagaimana dikatakan oleh Burke bahwa
ekonomi Indonesia bersifat dualisme, di satu pihak ada kelompok atas yang jumlah kecil,
tetapi menguasai kegiatan sebagian besar kegiatan ekonomi dari hulu sampai hilir . Di pihak
lain ada kelompok bawah yang sangat besar, tetapi hanya menguasai kegiatan ekonomi skala
kecil dan menengah.

7
Demikian pula, ketika zaman Orde Baru, kebijakan pemerintah memang memberikan
keleluasaan dan kesempatan yang lebih besar kepada para pelaku ekonomi kelas kakap
dengan harapan akan adanya trickle down effect. Kenyataan yang terjadi justru sebaliknya,
ketika krisis moneter mengguncang Indonesia pada paruh kedua 1997, justru para pelaku
ekonomi kelas kakap atau konglomerat ini yang membebani negara dengan beban hutang
yang tak-dapat dibayar bahkan sampai sekarang.

Sedangkan para pelaku ekonomi kelas menengah ke bawah justru dapat tetap bertahan
di era krisis, walaupun tidak banyak memperoleh fasilitas dari negara. Bukti ini telah
menyadarkan pemerintah sekarang bahwa usaha kecil dan menengah adalah usaha yang dapat
diandalkan dan harus dibantu untuk dapat berkembang, tetapi realisasinya belum begitu
mengesankan.

JURNAL 3

PENDAHULUAN
Secara nasional maupun global, upaya pembenahan lembaga pendidikan tenaga
kependidikan (LPTK) terus dilakukan (UNESCO, 2005; Kemdikbud, 2013).
Hal ini antara lain dilatarbelakangi oleh peran strategis lembaga pendidikan tinggi
pencetak guru ini sebagai institusi yang secara signifikan mempengaruhi perkembangan
pendidikan nasional. Kondisi ini mengukuhkan bahwa pendidikan yang berkualitas
merupakan syarat pokok untuk melahirkan guru yang berkualitas.
Ada mata rantai yang erat antara pendidikan guru dengan kualitas pendidikan secara
umum. Guru profesional yang dibuktikan dengan kompetensi yang dimilikinya akan
mendorong terwujudnya proses dan produk kinerja yang dapat menunjang peningkatan
kualitas pendidikan (Mangkunegara & Puspitasari, 2015, p. 143). Oleh sebab itu, formula
yang diajukan Darling-Mammond dan Bransford (2007, pp. 10-11) adalah mereposisi
lembaga pendidikan guru untuk mampu menyiapkan tiga bidang utama yang patut dikuasai
oleh para calon guru. Pertama, mengembangkan knowledge of learners dengan segala
dinamikanya. Kedua, penguasaan konsep curriculum content and goals. Ketiga,
pemahaman tentang teaching in light with content and learners to be taught as informed
by assesment.
Merujuk pada hasil penelitian Darling- Hammond dan Bransford (2007, pp. 1-39)
minimal terdapat tiga elemen penting dalam desain program pendidikan guru yang harus
diperbaiki. Ketiga elemen tersebut yakni konten (learning material), proses pembelajaran
(learning process), dan konteks pembelajaran (contextual learning). Upaya yang sudah
dilakukan oleh Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) antara lain dengan
memformulasikan “Re desain Pendidikan Profesional Guru” yang merupakan salah satu
respons terhadap tuntutan kebutuhan guru secara nasional. Program ini bercirikan antara
lain penguasaan yang mendalam terhadap bidang yang diajarkan; pemahaman yang
mendalam terhadap potensi dan perkembangan peserta didik; penguasaan yang mendalam
terhadap pengetahuan dan keterampilan pedadogi (baik yang sifatnya umum maupun
khusus); serta memiliki kemampuan berkomunikasi (baik untuk tujuan interpersonal
maupun untuk membangun sikap, motivasi, kepercayaan diri, daya adaptasi, ketangguhan,
dan kepribadian peserta didik).

8
Dalam dimensi manajemen kurikulum pendidikan tinggi, untuk memastikan bahwa
adopsi atau implementasi model kurikulum yang dirancang dengan baik dan dapat
berproses sesuai dengan yang direncanakan, dibutuhkan kesiapan manajemen dan
perilaku organisasi yang dipastikan dapat memperlancar implementasi tersebut.
Dalam kaitan ini kesiapan manajemen (readiness) merujuk kepada kesiapan segenap
pemangku kepentingan mulai dari pimpinan, staf akademik dan nonakademik,
termasuk daya dukung sistem yang ada dalam mengimplementasikan suatu program
dalam bentuk kesiapan mengadopsi kebijakan baru dan melakukan institusionalisasi
sebagai bagian penting dalam menakar kesiapan manajemen (Armenakis & Harris, 2002).
Sementara itu, perilaku organisasi (organizational behavior) lebih merupakan aktivitas
seseorang ataupun kelompok dalam merespons organisasi agar yang bersangkutan
terlibat. Lebih jauh, Bauer dan Endorgan (2012, p. 40) menyebutkan bahwa perilaku
organisasi lebih merupakan kristalisasi pengetahuan dan sikap yang sistematis yang
dilakukan oleh perorangan ataupun kelompok. Perilaku organisasi juga merupakan
bagian penting dalam pengambilan keputusan organisasi (Sawyer, Houlette, & Yeagley,
2006).
Dalam telaah manajemen kurikulum, pendidikan profesional guru yang digagas oleh
UPI didasarkan pada tiga asumsi utama. Pertama, karier guru profesional sepatutnya
dipahami sebagai sebuah proses berkesinambungan, berlangsung lama, dan perlu
pembinaan yang berkelanjutan. Kedua, pembaharuan pendidikan guru profesional harus
bertolak dari upaya penciptaan koherensi dalam kurikulum pendidikannya, baik secara
struktural maupun konseptual agar dapat diperoleh program pendidikan guru yang lebih
mantap. Ketiga, manajemen kurikulum memberi pengaruh siginifikan kepada aliran
dan mata rantai pembelajaran dan budaya akademik bagi program pendidikan guru
yang berkualitas dan bermartabat. Dengan demikian, manajemen pengembangan kurikulum
berkaitan dengan derajat pengelolaan atau aspek manajemen dalam hal perencanaan,
implementasi, dan evaluasi kurikulum.
Fondasi manajemen kurikulum, termasuk kurikulum pendidikan tinggi,
direfleksikan pada spirit pengelolaan kurikulum yang ajeg, andal, sistemik,
partisipatif, transparan, dan akuntabel, baik dalam kajian kurikulum sebagai ilmu
(curriculum as science), kurikulum sebagai suatu sistem (curriculum as a system),
kurikulum sebagai rencana (curriculum as a plan), maupun kurikulum sebagai proses yang
berkesinambungan (curriculum as sustainable process). Kurikulum dapat dipandang
sebagai suatu instrumental input yang strategis dalam program pendidikan. Oliver dalam
Oliva (2016, p. 7) menegaskan bahwa kurikulum harus menjadi alat rekonstruksi
pengetahuan secara sistematis yang di- kembangkan dengan kendali manajerial dari
institusi pendidikan, curriculum as that reconstruction of knowledge and experience
systematically developed under the auspices of the school and university to enable the
learners to increase his or her control of knowledge and experience.
Bagi Unive r s i t as P en di di ka n Indonesia, dikembangkannya re desain
pendidikan profesional guru mengacu pada asumsi bahwa menjadi guru profesional adalah
proses berkesinambungan dan penilaian secara terus-menerus.

9
BAB III
PEMBAHASAN

JURNAL 1
Judul
KEMAMPUAN SUBJECT SPECIFIC PEDAGOGY CALON
GURU BIOLOGI PESERTA PROGRAM PENDIDIKAN
PROFESIONAL GURU (PPG) YANG BERLATAR
BELAKANG BASIC SAINS PRA DAN POST WORKSHOP

Jurnal Jurnal Penelitian.

Download http://journal.unnes.ac.id/index.php/jpii

Volume dan Halaman VOL (2) (2012)


Tahun 2012

Penulis Ari Widodo ,Yenny Anwar1, Nuryani & Y. Rustaman

Reviewer Vinka Nova Tutiona Simanjuntak

Tanggal 23 Oktober 2019

Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah untuk menggambarkan/mendeskripsikan


kemampuan Subjek Spesifik Pedagogi mahasiswa calon guru
biologi yang mengikuti program pendidikan profesional guru
(PPG) yang telah mengikuti matrikulasi, workshop dan peer
teaching.
Subjek Penelitian Mahasiswa Calon Guru Biologi.

Assesment Data Data Kualitatif dan Kuantitatif.

Metode Penelitian Penelitian dilakukan di Universitas Pendi- dikan Indonesia di


Bandung, dengan melibatkan mahasiswa calon guru yang sedang
mengiku- ti Program Pendidikan Profesional Guru PPG
(konsekutif) sebagai subjek penelitian. Sampel di- pilih
menggunakan teknik stratified random samp- ling. Setelah
diperoleh hasil penilaian pertama, akan ditentukan tingkat
kemampuan siswa (ting- kat I,II,III). Mahasiswa dengan kategori
tersebut akan dijadikan sampel selanjutnya.
Penelitian ini termasuk penelitian non ek- perimental
(Nonexperimental Research). Perkem- bangan ini dilakukan dengan
menggunakan me- tode longitudinal study.
Penelitian diawali dengan melakukan pe- nelusuran
dokumen yang meliputi kurikulum dan silabus pada program
pendidikan profesional guru melalui pendekatan konsekutif. Selain
itu partisipan diberi kuesioner untuk mengetahui la- tar belakang
pendidikan dan pengalaman menga- jar para partisipan.

10
Pada program dengan pendekatan konsekutif, sebelum
mengikuti program PPG partisi- pan diminta untuk membuat CoRes
dan PaP-eRs untuk topik transportasi zat melintasi membran, yang
tujuannya untuk melihat kemampuan awal mereka. Saat pengerjaan
partisipan tidak diper- bolehkan bekerjasama dan tidak boleh
membu- ka buku. Pada pertengahan semester I, dan pada akhir
semester I mahasiswa diminta kembali membuat CoRes dan PaP-
eRs.
Beberapa hari sete- lah pelaksanaan, dilakukan wawancara
terhadap partisipan, berkaitan dengan CoRes dan PaP-eRs yang
mereka buat. Data hasil penelitian diana- lisis dengan teknik
deskriptif kualitatif dan ku- antitatif dengan menggunakan desain
konkuren triangulasi (Creswell, 2007). Proses pengumpu- lan data
dan analisis data dilakukan secara terus menerus melalui proses
“cek dan recek”, analisis dan re-analisis, sehingga diperoleh hasil
perkem- bangan secara menyeluruh.
Langkah Penelitian Penelitian diawali dengan melakukan pe- nelusuran
dokumen yang meliputi kurikulum dan silabus pada program
pendidikan profesional guru melalui pendekatan konsekutif.
Selain itu partisipan diberi kuesioner untuk mengetahui latar
belakang pendidikan dan pengalaman menga- jar para partisipan.
Teknik Pengumpulan Proses pengumpu- lan data dan analisis data dilakukan secara
Data terus menerus melalui proses “cek dan recek”, analisis dan re-
analisis, sehingga diperoleh hasil perkem- bangan secara
menyeluruh.
Hasil Penelitian Mahasiswa yang telah menamatkan S1nya pada program Basic Sains
melanjutkan Program Pendidikan Profesi Guru selama tiga semester atau selama
18 bulan. Satu semester diberikan pembekalan ilmu-ilmu pedagogi (matrikulasi)
yang kemudian dilanjutkan dengan workshop pembuatan silabus dan RPP serta
peer teaching se- lama satu semester berikutnya (semester kedua). Pada semester
ketiga mahasiswa akan keseko- lah-sekolah untuk melakukan praktik mengajar
(PPL).
Pelaksanaan PPG mengikuti sistem Blok, yaitu pelaksanaan
program tersebut ditentukan satu semester. Program pada semester
pertama berupa workshop Subject Spesific Pedagogik (SSP),
sedangkan program pada semester kedua berupa Praktek
Pengalaman Lapangan (PPL). Program PPL dilaksanakan penuh
di sekolah mitra yang guru-gurunya terlibat pada semester
pertama.

Tahapan Workshop Pleno I

 Untuk peserta baru diawali dengan penjelas- an umum program PPG,


dilanjutkan dengan diskusi dan tanya jawab.

 Diskusi kelompok dibimbing oleh dosen pembimbing (DP), dosen


mata pelajaran, dan guru pamong (GP). Diskusi yang dilaku- kan untuk
membahas;
 Pemilihan tema/materi pembelajaran

11
 Sinkronisasi tema/ materi dengan SK dan KD

 Pemantapan materi sesuai bidang studi (jika diperlukan) difasilitasi


Dosen pem- bimbing dan dosen mata pelajaran
 Pemilihan pendekatan/metode/ strategi pembelajaran.
 Kerja kelompok/mandiri mengembangkan perangkat RPP
 Mengembang indikator dan tujuan pem- belajaran
 Merancang evaluasi pembelajaran
 Merancang bahan ajar ; memilih buku siswa, LKS, dan Media
pembelajaran
 Merancang skenario pembelajaran/ RPP
 Presesntasi Silabus dan RPP untuk beberapa mata pelajaran

Tahapan Workshop Pleno 2


 Presentasi hasil kerja kelompok/mandiri, berupa peerteaching

 Masukan dari Guru pamong dan teman se- jawat


 Revisi RPP
 Persetujuan RPP oleh Dosen Pembimbing dan Guru Pamong

 Peerteaching

 Refleksi dan revisi , menghasilkan RPP siap

Dari hasil nampak bahwa pada tes perta- ma hanya satu orang yang
membuat PaP-eRs, sedangkan yang lain belum dapat mengaitkan materi dengan
pedagogi. Hal tersebut diduga disebabkan calon guru baru memperoleh materi
mengenai strategi pembelajaran, dan belum bisa mengaitkannya dengan konsep
tertentu. Pada tes kedua, setelah calon guru melakukan workshop tentang silabus
dan RPP secara berkelompok dan mandiri, nampak ada peningkatan pada PaP-
eRS maupun CoResnya. Calon guru sudah bisa meng- kaitkan strategi mengajar
dengan konten terten- tu, namun semua calon guru tersebut belum bisa
mengkaitakn strategi, dengan karakteristik dari konsep/konten tersebut.

Pada tes ketiga sebagian sudah ada beberapa calon guru yang membuat
karakteristik materi kedalam PaP-eRs dan telah mengkaitkannya dengan CoRes.
Hal ini mem- perlihatkan bahwa setelah diadakan peer teaching, calon guru
menyadari bahwa karakteristik materi merupakan bagian penting dalam
menentukan metode untuk mengajarkan suatu materi.
Kemampuan mahasiswa mengenai materi spesifik menunjukkan
adanya peningkatan yang baik. Peningkatan terlihat setelah calon guru
melakukan workshop dan terjadi peningkatan kembali setelah calon guru
melakukan beberapa kali peer teaching. Peningkatan tidak hanya terjadi pada
CoRes saja tetapi pada PaP-eRs juga terjadi peningkatan yang baik. Pada tes
pertama hanya seorang calon guru yang mampu membuat bebe- rapa pedagogi
yang terkait cara mengajarkan ma- teri transportasi zat. Pada tes kedua 80 %
calon guru telah mengisi metode untuk mengajarkan materi transportasi zat
melintasi membran, wa- laupun belum ada calon guru yang menuliskan
karakteristik materinya.
Pada tes ketiga ada be- berapa calon guru yang mengaitkan antara Co-
Res dengan metode mengajar dan karakteristik materi. Para calon guru tersebut
belum terlatih untuk mengupas ide-ide atau konsep-konsep pen- ting mana yang

12
harus disampaikan kepada siswa, mereka juga belum bisa mengaitkan ide-ide
mana yang belum saatnya dipelajari oleh siswa. Calon guru juga belum bisa
mengkaitkan antara cara mengajar dengan karakteristik materi, ini terlihat dari
hasil PaP-eRs yang mereka buat, belum ada satupun calon guru yang membuat
catatan-cata- tan tentang karakteristik materi pada PaP-eRs.
Kekuatan Penelitian 1. Tata bahasa atau gaya penulisan yang dipergunakan
dalampenulisan jurnal ini cukup mudah dipahami sehingga
memudahkan pembaca untuk mengerti bagaimana
penelitian tersebut dilaksanakan dan apa hasil yang
diperoleh dengan tujuan yang ingin dicapai dari hasil
penelitian.
2. Judul. Judul penelitian cukup jelas dan rinci, akurat tidak
ambigu, dan menggambarkan apa yang akan diteliti.
Kelemahan Penelitian • Dalam jurnal ini seringkali adanya huruf yang kurang
dalam sebuah kata.
• Dalam jurnal ini tidak disebutkan jangka waktu dalam
penelitian.
• Seringkali pengulangan kata.
Kesimpulan Dari pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
Pendidikan multikultural di Indonesia didasarkan pada filsafat
bangsa yaitu Pancasila yang disepakati oleh para pendiri negara
dengan semangat multikulturalisme yang terpancar dalam rumusan
sila-silanya. Pendidikan multikultural di Indonesia yang dapat
dipandang sebagai model pendidikan terpadu dengan melakukan
proses transformasi dalam kultur sekolah, manajemen sekolah dan
proses pembelajaran. Kultur sekolah yang sehat perlu dibangun
dengan jalan menumbuhkan rasa bangga dengan sekolah, menjalin
komunikasi efektif di antara warga sekolah, mensosialisasikan visi
dan misi sekolah dengan berulang-ulang dan beragam media,
mengadakan kegiatan bersama yang melibatkan kerjasama guru dan
siswa.
Manejemen sekolah yang dilandasi tujuan pendidikan
multikultural mensyaratkan kepala sekolah sebagai pemimpin
(leader) daripada sekedar manajer, yaitu pemimpin yang peka
terhadap perubahan dan kemendesakan, menciptakan koalisi, dan
menancapkan pendekatan baru dalam budaya sekolah agar siswa
yang berasal dari latar belakang sosial, ekonomi dan budaya yang
kurang beruntung dapat mencapai kesuksesan dalam belajar. Proses
pembelajaran yang berpegang pada prinsip multikultural didasarkan
pada pedagogik transformatif, yaitu pedagogik yang
mengungkapkan kebebasan dan keterbatasan manusia sekaligus
mengakui dirinya adalah makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
Pedagogik transformatif menekankan pada kerja sama, toleransi,
saling menghormati dan sukses bersama, bukan pada persaingan
dan kemenangan individual. Guru dituntut untuk lebih peka
terhadap beragam latar belakang kultur,etnis, sosial-ekonomi
peserta didiknya sehingga dapat mengintegrasikan materi sesuai
konteks budaya dan konstruksi pengetahuan siswa yang beragam
tersebut untuk kemajuan belajar mereka.

13
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mempunyai
semangat pendidikan multikultural, karena memberikan keleluasaan
sekolah dan guru dalam implementasinya yang disesuaikan dengan
konteks sosio-budaya setempat yang arahnya pada pemberdayaan
masyarakat. Prioritas utama tujuan pendidikan multikultural di
Indonesia harus diarahkan pada upaya mengangkat peserta didik
dari kelompok miskin dan terpencil membekali mereka dengan
pengetahuan dan ketrampilan yang berguna (life skills) agar lebih
berdaya dalam hidupnya.

14
JURNAL 2
Judul
LANDASAN DAN IMPLEMENTASI PENDIDIKAN
MULTIKULTURAL DI INDONESIA

Jurnal Penelitian Pendidikan.

Download http://journal.unnes.ac.id/index.php/jpii

Volume dan Halaman Vol 12, No 1 (2012)


Tahun 2012

Penulis Rukiyati

Reviewer Vinka Nova Tutiona Simanjuntak

Tanggal 23 Oktober 2019

Tujuan Pendidikan Tujuan utama pendidikan multikultural adalah untuk


Multikultural merestrukturisasi sekolah sehingga semua siswa memperoleh
pengetahuan, sikap dan keahlian yang dibutuhkan dalam
memfungsikan bangsa dan dunia yang secara etnis dan ras
berbeda.

Subjek Penelitian Masyarakat

Assesment Data Data Kualitatif.

Hasil Penelitian
Pendidikan multikultural berlandaskan filsafat bangsa:
Pancasila
Pendidikan multikultural adalah konsep yang umum
sekarang ini, walaupun awalnya muncul sebagai idealisasi
pendidikan, karena adanya diskriminasi ras yang sangat tidak
berperikemanusiaan dan kesejangan social-politik-ekonomi yang
sangat tajam di Amerika Serikat. Sebagaimana diketahui, Amerika
Serikat yang bersuara lantang mempromosikan demokrasi dan hak
asasi manusia ke seluruh dunia, kalau perlu dengan kekuatan
senjata, justru di dalam negerinya sendiri tidak dapat
melaksanakan ide-ide besarnya secara konsekuen. Perlakuan yang
tidak manusiawi terhadap warga Negara keturunan Afro-Amerika
selama berabad-abad bahkan sampai abad XX.

15
Penelitian etnografis Jonathan Kozol (Noel, 2007)
menyimpulkan adanya ketidakadilan yang kejam dari pemerintah
AS yang didominasi orang kulit putih terhadap orang-orang kulit
hitam. Melalui bukunya yang banyak mengenai kondisi sekolah
dan komunitas kulit hitam , khususnya yang miskin, Jonathan
Kozol membawa perhatian kita pada perjuangan dan harapan dari
anak-anak yang terlewatkan di dalam masyarakat Amerika Serikat.
Ia menaruh perhatian pada segregasi rasial yang ekstrem di
sekolah-sekolah Amerika dan perbedaan yang berhubungan
dengan pengabaian dalam hal pendanaan, keselamatan dan
kualitas sekolah. Ia menggunakan pendekatan etnografis, dengan
menghabiskan waktunya bersama komunitas yang ditelitinya.
Karyanya ini langsung ditujukan pada hal-hal yang berkaitan
dengan kemiskinan, tunawisma, dan ketidaksamaan pendidikan
yang dialami kelompok masyarakat kulit hitam Amerika. Hal ini
membuktikan bahwa Amerika bersifat ambigu dalam menerapkan
ide-ide demokrasinya. Walaupun tak- dapat dinafikan sekarang ini
mereka mulai menata kembali kehidupan berbangsanya secara
lebih adil dan manusiawi dibuktikan dengan terpilihnya Barack
Obama sebagai presiden kulit hitam pertama AS.

Akan halnya Indonesia, walaupun dari sisi sosio-kultural


ada persamaannya dengan Amerika Serikat, yaitu sama-sama
multi-etnis, multi-agama dan bahasa, tetapi dari sisi lain tampak
pula perbedaan yang sangat menonjol. Amerika dikenal sebagai
negara tempat impian para imigran dari berbagai belahan dunia
yang sekarang termasuk negara maju yang telah berdiri hampir
300 tahun lamanya. Secara historis, Amerika telah mengalami
perang sipil dan diskriminasi ras yang seakan “dilegalkan” negara.
Sedangkan Indonesia adalah negara muda yang berusia hampir 64
tahun, didirikan dengan perjuangan yang menggelora dari para

16
penggerak kemerdekaan melawan kolonialisme dilandasi
semangat persatuan bangsa. Dengan demikian, tentu saja ada
perbedaan-perbedaan dalam hal pandangan-pandangan ideal dan
upaya mewujudkannya. American dream tentu tidak sama
basisnya dengan mimpi Indonesia adil dan makmur. Di samping
itu ada pula hal-hal yang dapat berlaku universal, ide-ide dasar di
Amerika Serikat dapat pula diterapkan di Indonesia apabila
memang menunjukkan adanya kemashlahatannya bagi bangsa
Indonesia sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
dasar hidup bermasyarakat dan bernegara.

Amerika Serikat mendasarkan pendidikan multikulturalnya


pada prinsip- prinsip persamaan hak asasi manusia dan
kebebasan (liberalisme) sebagai warisan sejarah peradaban barat
yang modern dan sekuler. Indonesia mendasarkan pada nilai-nilai
Pancasila yang bersifat humanis-religius sebagai nilai idealnya
dalam segenap gerak langkah kehidupan berbangsa bernegara,
termasuk dalam pendidikan.

Sebagaimana diketahui nilai-nilai Pancasila yang pertama


kali dirumuskan dan diperkenalkan oleh Ir. Soekarno sebagai salah
satu the founding fathers Indonesia pada sidang BPUPKI 1 Juni
1945 dengan rumusan: Kebangsaan (nasionalisme), kemanusiaan
(internasionalisme), musyawarah-mufakat (demokrasi),
kesejahteraan rakyat dan ketuhanan yang berkebudayaan. Setelah
itu diadakan penyesuaian rumusan dari Panitia Kecil yang
berjumlah Sembilan orang (Panitia Sembilan) sehingga pada
tanggal 22 Juni 1945 disepakati rumusan Pancasila sebagaimana
tercantum dalam Rancangan Preambule Hukum Dasar yang
popular dengan nama Piagam Jakarta yang mengeksplisitkan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
sebagai keterangan lanjut dari sila pertama (Ketuhanan). Setelah
terjadi negosiasi karena adanya keberatan dari wakil-wakil
Indonesia bagian timur, sidang PPKI tanggal 18 Agustus dengan

17
agenda pertama mengesahkan UUD RI memutuskan menghapus
tujuh kata dalam sila pertama: “Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya” dan diganti
dengan rumusan: “Ketuhanan Yang Maha Esa” sehingga rumusan
Pancasila menjadi: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang
adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
serta keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia (Risalah Sidang
BPUPKI-PPKI, 1995). Inilah nilai-nilai ideal yang harus
diwujudkan oleh segenap komponen bangsa, baik pemerintah
maupun rakyat biasa. Maka, logislah bila sebagaimana termaktub
di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional bahwa pendidikan berlandaskan pada
Pancasila.

Pernyataan tersebut bukan hanya rangkaian kata-kata yang


menjadi teks mati dalam Undang-Undang, melainkan harus
diwujudkan dalam praksis pendidikan yang sesungguhnya.
Demikian pula dalam hal pendidikan multikultural seyogyanya
ada kesejalanan antara praktik dan dasar teoritiknya (praksis) yang
berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Perlu pula dirumuskan dengan
jelas apa yang menjadi tujuan pendidikan multicultural di
Indonesia.

Sebagaimana dinyatakan oleh Tilaar (2004:192)


pendidikan multikultural di Indonesia bertujuan untuk membina
pribadi-pribadi Indonesia yang mempunyai kebudayaan sukunya
masing-masing, memelihara dan mengembangkannya, serta
sekaligus membangun bangsa Indonesia dengan kebudayaan
Indonesia sebagaimana diamanatkan di dalam Undang-Undang
Dasar 1945. Acuan untuk merumuskan pendidikan multikultural di
Indonesia adalah pertama-tama hendaknya dilihat realitas
kehidupan bangsa Indonesia yang beragam suku dan
kebudayaannya itu. Kebudayaan masing-masing suku itu
merupakan milik yang sangat berharga bagi individu dan bagi

18
bangsa Indonesia. Bagi individu, kebudayaan suku bangsanya
merupakan kekayaan rohaniah, di mana individu berkembang
sebagai seorang pribadi, dan sekaligus dijadikan pijakan untuk
membangun kebudayaan Indonesia yang dicita-citakan.

Kenyataan akan kebhinnekaan budaya dan masyarakat


Indonesia telah disadari sepenuhnya oleh para bapak bangsa ketika
hendak mendirikan Negara Indonesia. Selain Ir. Soekarno, Mr.
Soepomo juga telah berpidato di depan sidang BPUPKI pada
tanggal 31 Mei 1945 tentang Negara persatuan yang bersifat
integralistik. Ini merupakan bukti bahwa kesadaran kebhinnekaan
itu telah ada dalam diri para pemimpin bangsa tersebut. Kenyataan
akan kebhinnekaan budaya dan masyarakat Indonesia dijamin di
dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan dinyatakan semboyan
kita: Bhinneka Tunggal Ika. Inilah yang menjadi dasar perumusan
pendidikan multikultural Indonesia (Tilaar, 2004:193).

Memang semasa Orde Baru semangat kebhinnekaan agak


bergeser menjadi semangat mengindonesiakan budaya suku
tertentu, agar diterima sebagai mainstream seluruh masyarakat
Indonesia, sehingga menimbulkan rasa curiga dan ketidakpuasan
dari berbagai daerah, terutama yang merasa dianaktirikan.
Untunglah seiring dengan reformasi di berbagai bidang, hal
tersebut perlahan-lahan telah dikoreksi.

Di samping menghadapi masalah internal, Indonesia juga


menghadapi kekuatan-kekuatan global yang melanda kehidupan
umat manusia dewasa ini. Sebagaimana dinyatakan oleh John
Naisbitt bahwa globalisasi membawa kehidupan pada situasi yang
disebutnya global paradox. Di satu sisi, globalisasi dapat
memperkuat kekuatan-kekuatan global yang menghilangkan
identitas suatu bangsa, yang dalam jangka panjang berakibat
hilangnya kebudayaan yang unik dari masing- masing kelompok
manusia. Di pihak lain, globalisasi telah pula membangkitkan
sentimen-sentimen lokal dan kesukuan, yang menimbulkan rasa

19
menghargai kebudayaan lokal sebagai modal untuk memperkuat
harga diri seseorang agar tidak hanyut di dalam arus
penyamarataan global. Fenomena ini tampak juga di Indonesia,
pengaruh globalisasi telah mencengkram Indonesia terutama dari
sisi ekonomi yang menjadi salah satu sasaran utama kapitalisme
global. Di sisi lain, adanya otonomi daerah dan sentimen kepada
hal-hal yang primordial telah memunculkan penguasa- penguasa
baru di daerah dengan kekuasaan yang besar pula sehingga dapat
beresiko munculnya negara dalam Negara Indonesia. Kekuatan
global yang bersifat mondial, di satu sisi dan kekuatan lokal yang
bersifat kedaerahan di lain pihak, diprediksi akan mempersulit
terwujdnya negara bangsa yang kuat, adil, makmur dan merata.
Maka, diperlukan respons yang tepat di dalam pembinaan
generasi yang akan datang. Oleh sebab itu, pendidikan
multikultural merupakan suatu tuntutan di dalam pengembangan
sumber daya manusia Indonesia (Tilaar, 2004: 194).

Jadi, pendidikan multikultural merupakan suatu


keniscayaan, dengan bertitik tolak dari budaya bangsa yang
bhinneka tunggal ika dengan dasar Pancasila, dengan tujuan
umum untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang egaliter dan
sejahtera.

Implementasi Pendidikan Multikultural di Sekolah


Implementasi pendidikan multikultural dapat dilakukan
dalam berbagai aspek dan kelembagaan. Tilaar (2004:224)
menawarkan lima program prioritas pendidikan multikultural,
yakni lembaga-lembaga pendidikan sebagai pusat budaya,
pendidikan kewargaan, kurikulum pendidikan multikultural,
kebijakan perbukuan dan pendidikan guru. Ide-ide Tilaar tersebut
merupakan konsep makro yang bersifat menyeluruh. Tetapi, pada
kesempatan kali ini penulis membatasi hanya pada implementasi
pendidikan multikultural di sekolah, meliputi tiga hal, yaitu kultur

20
sekolah, manajemen sekolah dan proses pembelajaran.

Kultur sekolah
Kultur merupakan pandangan hidup yang diakui bersama
oleh suatu kelompok masyarakat, yang mencakup cara berfikir,
perilaku, sikap, nilai yang tercermin baik dalam ujud fisik maupun
abstrak. Kultur ini juga dapat dilihat sebagai suatu perilaku, nilai-
nilai, sikap hidup, dan cara hidup untuk melakukan penyesuaian
dengan lingkungan, dan sekaligus cara untuk memandang
persoalan dan memecahkannya. Oleh karena itu, suatu kultur
secara alami akan diwariskan oleh satu generasi kepada generasi
berikutnya. Sekolah merupakan lembaga utama yang yang
didesain untuk memperlancar proses transmisi kultural antar
generasi tersebut.

Dalam dunia pendidikan, semula kultur suatu bangsa


(bukan kultur sekolah) yang diduga sebagai faktor yang paling
menentukan kualitas sekolah. Tetapi berbagai penelitian
menemukan bahwa pengaruh kultur bangsa terhadap prestasi
pendidikan tidak sebesar yang diduga selama ini. Bukti terakhir,
hasil TIMSS (The Third international Math and Science Study)
menunjukkan bahwa siswa dari Jepang, dan Belgia sama-sama
menempati pada rangking atas untuk mata pelajaran matematika,
padahal kultur negara-negara tersebut berbeda. Oleh karena itu,
para peneliti pendidikan lebih memfokuskan pada kultur sekolah,
bukannya kultur masyarakat secara umum, sebagai salah satu
faktor penentu kualitas sekolah. Tesis ini sesuai dengan temuan-
temuan mutakhir penelitian di bidang pendidikan yang
menekankan bahwa "faktor penentu kualitas pendidikan tidak
hanya dalam wujud fisik, seperti keberadaan guru yang
berkualitas, kelengkapan peralatan laboratorium dan buku
perpustakaan, tetapi juga dalam wujud non-fisik, yakni berupa
kultur sekolah”. Secara singkat dapat dinyatakan bahwa kultur
sekolah adalah pola nilai- nilai, norma-norma, sikap, ritual, mitos

21
dan kebiasaan-kebiasaan yang dibentuk dalam perjalanan panjang
sekolah. Kultur sekolah dipegang bersama baik oleh kepala
sekolah, guru, staf administrasi maupun siswa, sebagai dasar
mereka dalam memahami dan memecahkan berbagai persoalan
yang muncul di sekolah.
Pengaruh kultur sekolah atas prestasi siswa di Amerika
Serikat telah dibuktikan lewat penelitian empiris. Kultur yang
"sehat" memiliki korelasi yang tinggi dengan:

prestasi dan motivasi siswa untuk berprestasi,


sikap dan motivsi kerja guru,
produktivitas dan kepuasan kerja guru.
Namun demikian, analisis kultur sekolah harus dilihat
sebagai bagian suatu kesatuan sekolah yang utuh. Artinya, sesuatu
yang ada pada suatu kultur sekolah hanya dapat dilihat dan
dijelaskan dalam kaitan dengan aspek yang lain, seperti, a)
rangsangan untuk berprestasi, b) penghargaan yang tinggi terhadap
prestasi, c) komunitas sekolah yang tertib, d) pemahaman tujuan
sekolah, e) ideologi organisasi yang kuat, f) partisipasi orang tua
siswa, g) kepemimpinan kepala sekolah, dan, h) hubungan akrab
di antara guru. Dengan kata lain, dampak kultur sekolah terhadap
prestasi siswa meskipun sangat kuat tetapi tidaklah bersifat
langsung, melainkan lewat berbagai variabel, antara lain seperti
semangat kerja keras dan kemauan untuk berprestasi.

Di Indonesia belum banyak diungkap penelitian yang


menyangkut kultur sekolah dalam kaitannya dengan prestasi
siswa. Tetapi, mengingat bahwa sekolah sebagai suatu sistem di
manapun berada adalah relatif sama, maka hasil penelitian di
Amerika Serikat tersebut perlu mendapatkan perhatian, paling
tidak dapat dijadikan jawaban hipotetis bagi persoalan pendidikan
kita. Artinya, kita perlu membangun kultur sekolah yang sehat
agar dapat meningkatkan prestasi belajar siswa sebagai salah satu
upaya kongkrit pelaksanaan pendidikan multikultural di Indonesia.

22
Kultur sekolah yang memungkinkan bagi tercapainya
kesuksesan belajar siswa dari berbagai latar belakang yang
berbeda perlu dirancang sedemikian rupa, sehingga sekolah
menjadi komunitas yang mencerminkan living values yang
ditetapkan bersama. Sejak lama sekolah-sekolah di Indonesia
kehilangan sense of identity, sense of belonging, sense of
community dan sense of cooperative. Sekolah hanya tempat belajar
pengetahuan yang sifatnya cenderung transaksional, di dalamnya
guru dan kepala sekolah hanya sebagai pengelola dan penyedia
ilmu yang dibeli oleh siswa sebagai konsumennya. Hilangnya
identitas diri sebagai pelajar yang sedang menuntut ilmu dan
kebersamaan sebagai warga sekolah telah membawa akibat-akibat
yang negatif seperti sikap tidak peduli, minimnya komunikasi
antara guru dan murid sehingga berakibat pada hilangnya rasa
saling memilki terhadap keberadaan sekolah dan pada gilirannya
hilang pula solidaritas dan kerja sama antar warga sekolah.
Sebaliknya, para siswa membentuk wadah komunikasi sendiri
yang bersifat liar dan destruktif dengan membentuk gank-gank.
Itulah yang terjadi di Bandung dengan gank motornya, di Pati
dengan gank Nero (Neko-neko royok), di Jakarta dan Yogya yang
terkenal dengan tawuran antar- sekolah. Jika keadaan ini tidak
segera disadari dan diperbaiki, maka para pelajar kita akan
semakin jauh dapat melaksanakan pendidikan multikultural.

Berkaitan dengan masalah di atas, hal yang dapat


dilakukan adalah membenahi dan menumbuhkan kultur sekolah
yang kondusif bagi pembelajaran multikultural adalah dengan cara
sebagai berikut: a) Tumbuhkan rasa bangsa dengan identitas
pelajar sebagai siswa di sekolah tersebut; b) Jalin komunikasi yang
efektif di antara warga sekolah, baik guru, siswa, staf sekolah
maupun orang tua dan komite sekolah; c) Sosialisasikan visi dan

23
misi sekolah berulang-ulang dengan berbagai media yang mudah
dipahami siswa, misalnya dengan tulisan-tulisan yang menyentuh
hati nurani dan kesadaran human seluruh warga sekolah; d)
Diadakan kegiatan di luar sekolah yang mengarah pada kerjasama
dan kebersamaan antara siswa dan guru. Dengan upaya-upaya
tersebut diharapkan akan terwujud kultur sekolah yang humanistik
dan menghargai keragaman.

Manajemen sekolah
Sekolah yang hendak mewujudkan tujuan kesempatan dan
kesetaraan dalam belajar sebagaimana yang menjadi fokus
pendidikan multikultural haruslah dikelola dengan kepemimpinan
kepala sekolah yang kuat. Kepala sekolah tidak hanya sebagai
manajer, melainkan lebih dari itu. Ia harus menjadi leader
(pemimpin). Pemimpin yang baik sebagaimana dinyatakan oleh
John Kotler (1996:17-32) adalah yang mempunyai kepekaan
terhadap kemendesakan (sense of urgency), menciptakan koalisi
yang memimpin perubahan, mengembangkan visi dan strategi,
mengkomunikasikan visi, memberdayakan bawahan untuk aksi
yang luas, mengakumulasikan keberhasilan demi keberhasilan,
merayakan keberhasilan dan menghasilkan keberhasilan baru,
serta menancapkan pendekatan baru dalam budaya organisasi.

Sebaliknya, kepala sekolah yang lebih cnderung bertindak


sebagai manajer sering terjebak dalam manajerialisme.
Manajerialisme dalam konteks ini diartikan sebagai perhatian
berlebihan terhadap sistem dan struktur dalam hal yang merusak
tujuan inti organisasi. Keharusan birokratis sering dicatat sebagai
salah satu sasaran utama dari strategi manajemen mutu, dan itu
mudah untuk menjelaskan alasannya. Berkas yang tebal dari
standar prosedur operasi terlihat jauh sekali dari kegembiraan
belajar dan kreativitas pengajaran. Apa yang trerjadi adalah bahwa

24
sekolah lebih mudah untuk mengelola prosedur rutin daripada
memberikan kepemimpinan untuk menciptakan kultur perubahan
yang kontinyu ( Tony Bush & Les Bell, 2006: 145).
Dengan adanya otonomi sekolah di era desentralisasi
sekarang ini, kepemimpinan kepala sekolah mempunyai peran
penting untuk mewujudkan tujuan pendidikan multikultural.
Kepala sekolah yang dapat melaksanakan delapan tahap
sebagaimana dinyatakan Kotler di atas diprediksi akan berhasil
dalam mewujudkan tujuan tersebut. Prinsip kesempatan yang sama
di satu sisi dan kesetaraan di pihak lain harus menjadi pedoman
kepala sekolah dalam membimbing para guru dan staf sehingga
siswa yang berasal dari latar belakang sosial-ekonomi dan budaya
yang terpinggirkan mendapatkan perhatian yang lebih agar dapat
mencapai standar kesuksesan yang telah ditetapkan. Sementara itu,
siswa yang telah mempunyai keberuntungan karena perbedaan
kultur dan tingkat sosial-ekonomi orang tua diberikan pengertian
dan kepekaan untuk saling memahami, saling membantu dan
saling peduli kepada teman-temannya yang kurang beruntung.

Sekolah juga hendaknya menciptakan kesempatan dan


kegiatan yang memungkinkan siswa dapat memiliki kecakapan
hidup (life skills) yang mengarah pada dikuasainya ketrampilan
tertentu (pekerjaan tangan, kerajinan) untuk dapat sebagai bekal
mencari nafkah, ketika para siswa yang kurang beruntung ini tidak
bersekolah lagi, karena keterbatasan yang dimilikinya. Bagi siswa
yang beruntung secara sosial ekonomi, life skills berguna pula bagi
hidupnya, setidaknya dengan dikuasainya ketrampilan tertentu ia
akan dapat menghargai pekerjaan tangan yang selama ini sering
dipandang rendah.

Proses pembelajaran
Dimensi penting dalam pendidikan adalah proses

25
pembelajaran. Pembelajaran yang mendukung untuk mencapai
tujuan pendidikan multikultural adalah pembelajaran yang
berdasarkan pada pedadogik transformatif. Pedagogik
transformatif adalah pedagogik yang mengungkapkan kebebasan
dan sekaligus keterbatasan manusia, serta menekankan pentingnya
partisipasi dengan sesama manusia. Partisipasi dengan sesama
manusia menuntut tindakan-tindakan atau kelakuan yang mau
menerima sesama manusia sebagaimana adanya. Tanggung jawab,
toleransi, kerja sama , saling membantu, saling menghormati
pendapat orang lain dan berbagai sikap dan serta kelakukan
manusia yang memperkuat kerja sama, merupakan nilai-nilai yang
mendapatkan prioritas di dalam proses pembelajaran yang
berlandaskan pedagogik transformatif. Di samping itu, pedagogik
transformatif juga mengungkapkan keterbatasan manusia, implisit
di dalamnya mengandung pengakuan akan kebesaran Sang
Pencipta (Tilaar, 2002:152-153).

Proses pembelajaran di Indonesia sekarang ini kurang


berdimensi sosial, karena lebih memperhatikan pada kesuksesan
individu. Persaingan dipandang sebagai hal yang sehat agar dapat
menjadi pemenang (sukses belajar). Semua itu sebenarnya adalah
cara-cara belajar yang didasarkan pada filsafat individualisme dan
liberalisme. Dalam konteks Indonesia, proses pembelajaran harus
dilandasi semangat interdependensi, saling ketergantungan dan
saling membutuhkan. Prinsip win-lose solution yang
mengutamakan persaingan dalam belajar harus diganti dengan
win-win solution yang mengutamakan keberhasilan bersama.

Guru sebagai ujung tombak dalam proses pembelajaran


dituntut untuk peka terhadap beragam latar belakang peserta didik.
Maka, proses pembelajaran yang bersifat multikultural harus
menggunakan materi yang mengintegrasikan beragam kultur dan
kondisi sosial ekonomi. Pengadopsian materi tanpa melihat
konteks dan kultur masyarakat penerimanya akan berakibat buruk

26
bagi kemajuan belajar siswa. Demikian pula, metode pembelajaran
bervariasi karena disesuaikan dengan karakteristik dan cara
berpikir (proses memperoleh pengetahuan) yang beragam. Teori-
teori multikultural menegaskan bahwa nilai-nilai, sejarah pribadi,
sikap-sikap dan keyakinan seseorang tidak dapat dipisahkan dari
pengetahuan yang dihasilkannya (Zamroni, 2008: 205). Di dalam
suatu komunitas etnik terkandung sistem pengetahuan yang
diwariskan turun-temurun yang mempengaruhi cara berpikir
mereka, baik ketika berada di komunitasnya maupun di sekolah.
Hal-hal tersebut harus dipahami betul oleh guru agar tidak mudah
berprasangka terhadap peserta didiknya yang berakibat pada
hubungan yang kurang harmonis.
Proses pembelajaran merupakan kurikulum dalam praksis.
Dengan demikian keduanya tidak dapat dipisahkan. Kurikulum di
Indonesia yang berlaku sekarang dinamakan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum ini sebenarnya sudah
bersifat multikultural. KTSP sangat berpeluang mewujudkan
tujuan pendidikan multikultural karena kurikulum ini benar-benar
berpihak kepada peserta didik dalam konteks sosial-budaya dan
kehidupan sehari-hari. Pengalaman belajar dikontekstualisasikan
dengan kebutuhan setempat.

Ditinjau dari aspek ekonomi, sebagian besar orang


Indonesia adalah orang miskin. Secara demografis mereka lebih
banyak terdapat di luar Jawa dan tinggal di pedesaan. Kemiskinan
menghambat orang untuk dapat mencapai kesetaraan pendidikan
dan peluang untuk sukses. Lingkaran kemiskinan merupakan
lingkaran setan yang sulit sekali untuk diputus rantainya. Maka,
pendidikan multikultural di Indonesia harus diprioritaskan pada
upaya mengangkat peserta didik dari kelompok miskin agar
mereka lebih berdaya dalam kehidupannya, dibandingkan keluarga
atau masyarakatnya. KTSP memberi peluang besar untuk
mencapai tujuan tersebut. Misalnya, dalam konteks suku Asmat
yang tinggal di daerah berawa-rawa, dapat dirancang pembelajaran

27
untuk pemberdayaan mereka dalam teknologi sederhana untuk
dapat menguasai alam sekitarnya, khususnya sungai serta
pengelolaan sumber daya air dan laut. Demikian pula, anak-anak
di Langsa, Aceh Timur perlu belajar mengolah hasil laut,
khususnya ikan dan rumput laut, yang selama ini belum tergarap,
sedangkan anak-anak Halmahera sangat perlu mengembangkan
kesenian tradisional dan penyelidikan flora dan fauna (Indratno,
2007:107-108). Anak-anak SMP di Turi, Sleman mengembangkan
kemampuan bertanam salak. Memang dalam kenyataannya ada
sebuah SMP di sana yang mempunyai kebun salak. Kebun ini
menjadi kebun percobaan untuk siswa-siswanya. Dari proses ini,
anak-anak mengembangkan pengalaman belajar yang sesuai
dengan kebutuhan hidup dan masyarakatnya. Di sini kreativitas
dan keberpihakan guru menjadi sangat penting. Sekolah bisa
menjadi arena anak-anak untuk membentuk habitus (kebiasaan)
baru, tanpa didominasi oleh kepentingan untuk menonjolkan
budaya yang dipandang main-stream.
Selain itu, di dalam KTSP terdapat komponen kurikulum
muatan lokal. Dikaitkan dengan tujuan pendidikan multikultural,
muatan lokal di tingkat SMP dapat dipandang sebagai suatu
antisipasi untuk anak-anak SMP yang tidak dapat melanjutkan ke
SMA atau SMK. Anak-anak SMP yang tidak dapat melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi sangat banyak di negara
kita, baik karena terkendala masalah biaya maupun faktor
geografis yang sangat sulit/terpencil. Dengan kurikulum muatan
lokal di tingkat SMP, mereka tetap memiliki kompetensi di bidang
tertentu terkait dengan kecakapan hidup yang bersifat praktis dan
bermanfaat ekonomis bagi dirinya dan masyarakatnya. Bila
budidaya rumput laut dimasukkan menjadi mata pelajaran muatan
lokal di suatu pulau terpencil di Indonesia, misalnya di pulau
Natuna, maka diasumsikan setelah lulus mereka dapat langsung
mandiri dengan menjadi petani rumput laut. Atau bila SMP berada
di daerah pegunungan, mereka dapat menjadi petani sayur-mayur

28
yang berhasil bila telah diperkenalkan budidaya pertanian yang
memenuhi standar, bila perlu standar internasional agar mereka
dapat turut serta dalam kegiatan ekspor hasil pertanian.

Selain muatan kurikulum lokal yang memberi penekanan


pada ketrampilan dan kecakapan hidup, mereka juga perlu dibekali
dengan muatan lokal yang menanamkan semangat kewirausahaan.
Para siswa perlu dibekali dengan latihan mental untuk tetap
mempunyai semangat pantang menyerah, bertindak kreatif dan
produktif dalam bekerja dengan memperhatikan efisiensi dan
efektifitas internal.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses
pembelajaran yang bersifat multikultural untuk Indonesia saat ini
lebih diprioritaskan pada upaya memberdayakan kaum
termarginalkan ini dari sisi ekonomi, tanpa melupakan sisi yang
lainnya. Proses pembelajaran diupayakan agar mencapai
paradigma aksi, bukan sekedar akumulasi pengetahuan teoritis
yang pasif. Peserta didik diajak berdialog untuk membangun
kesadaran kritis yang berujung pada aksi pemberdayaan, bukan
pembelengguan.

29
JURNAL 3

Judul MANAJEMEN KURIKULUM DALAM PENDIDIKAN


PROFESI GURU (STUDI KASUS DI UNIVERSITAS
PENDIDIKAN INDONESIA)

Jurnal Manajemen Pendidikan.

Download http://garuda.risedikti.go.id/documents/detail/307066

Volume dan Halaman Vol 46,No 2 November 2016


Tahun 2016

Penulis Dinn Wahyudin

Reviewer Vinka Nova Tutiona Simanjuntak

Tanggal 23 Oktober 2019

Tujuan Penelitian

Subjek Penelitian Mahasiswa.

Assesment Data Data Kualitatif.

Metode Penelitian Penelitian ini melibatkan segenap unsur pimpinan dari tingkat
universitas, fakultas, serta jurusan dan program studi di
lingkungan UPI yang sampelnya ditentukan secara proporsional.
Secara metodologis, studi memadukan penelitian deskriptif-
analitik dengan penelitian tindakan, melalui tahapan yang
dimodifikasi dari Hatzakis dkk. (2007), yakni tahapan diagnostik
melalui identifikasi dan analisis faktor-faktor kesiapan manajemen
dalam implementasi program pendidikan profesional guru,
tahapan perbaikan melalui penyusunan langkah tindakan
perbaikan, dan melakukan tindakan dalam bentuk pemanduan

30
implementasi.
Langkah Penelitian Secara metodologis, studi memadukan penelitian deskriptif-
analitik dengan penelitian tindakan, melalui tahapan yang
dimodifikasi dari Hatzakis dkk. (2007), yakni tahapan diagnostik
melalui identifikasi dan analisis faktor-faktor kesiapan manajemen
dalam implementasi program pendidikan profesional guru, tahapan
perbaikan melalui penyusunan langkah tindakan perbaikan, dan
melakukan tindakan dalam bentuk pemanduan implementasi.

Hasil Penelitian Hal pertama , berkaitan dengan relevansi kesiapan


manajemen UPI dalam implementasi Kurikulum. Bagian ini
dimaksudkan untuk mendapat informasi secara menyeluruh tentang
“setuju” atau “tidak setuju” tentang reformulasi kurikulum dalam
konteks re desain pendidikan profesional guru. Komposisi
responden memperlihatkan bahwa 45,14% sangat setuju dengan
implementasi kurikulum dan re desain pendidikan profesional guru,
sedangkan 42,40% menyatakan setuju. Ada sekitar 10,25%
responden menyatakan netral, dan sebanyak 2,12% responden tidak
setuju dan hanya sebanyak 0,08% responden menyatakan sangat
tidak setuju. Relevansi kesiapan manajemen dalam implementasi
kurukulum dalm konteks redesain profesional guru disajikan pada
Relevansi kesiapan manajemen dalam perubahan atau reformulasi
kurikulum merupakan hal mendasar dan berperan
sebagaimodalawalbagiuntukterbangunnnya komitmen kolektif
dalam implementasi kurikulum melalui redesign pendidikan
profesional guru. Seperti dituturkan Attaran (2000) sebagai
kebalikannya banyak suatu inisiatif perubahan yang pada akhirnya
menemui kegagalan, karena gagasan baru tersebut tidak ditopang
dan tidak didukung secara penuh oleh kesiapan organisasi dan
manajemen pengelolanya. Semakin efektif manajemen perubahan
itu dikelola, akan semakin efektif suatu organisasi, termasuk
organisasi pendidikan tinggi, dapat dibangun. It is widely accepted
that many change programmes fail and that more effective change
management would enhance organisational effectiveness .

Dalam dimensi manajemen kurikulum, diperlukan


koherensi antara kurikulum dengan pembelajaran yang dilakukan
di lembaga pendidikan. Pertama, kurikulum berpijak pada purposes
or goal of the curriculum - tujuan kurikulum yang ingin dicapai.
Ketika kurikulum dikonsepsikan sebagai alat pengembangan
berpikir reflektif anak didik (the development of reflective thinking
on the part of learner), maka kurikulum sepatutnya dimaknai
sebagai alat pengembangan berfikir reflektif bagi generasi muda.
Demikian juga ketika kurikulum dikonsepsikan sebagai transmisi
warisan budaya (the transmission of the cultural heritage), maka
kurikulum patut dimaknakan sebagai instrumen untuk merekatkan
warisan budaya bagi generasi muda berikutnya. Kedua, kurikulum
yang berpijak pada titik pandang berdasarkan konteks kurikulum
yang digunakan. Makna kurikulum yang berpijak pada sudut
pandang konteks, bagi ahli kurikulum yang beraliran esensialisme

31
dipandang sebagai transmisi warisan budaya dengan mengajarkan
generasi muda untuk persiapan kehidupan yang lebih baik di masa
mendatang. Ketiga, kurikulum bepijak pada titik pandang strategis
tentang pengembangan kurikulum yang dipilih. Pengembangan
juga tak dapat dipisahkan dengan proses, strategi pembelajaran
yang dipilih, tehnik pembelajaran yang digunakan. Itulah sisi lain
dari pandangan kurikulum sebagai proses (curriculum as a
process).
Kekuatan Penelitian 3. Tata bahasa atau gaya penulisan yang dipergunakan
dalampenulisan jurnal ini cukup mudah dipahami sehingga
memudahkan pembaca untuk mengerti bagaimana
penelitian tersebut dilaksanakan dan apa hasil yang
diperoleh dengan tujuan yang ingin dicapai dari hasil
penelitian.
4. Judul. Judul penelitian cukup jelas dan rinci, akurat tidak
ambigu, dan menggambarkan apa yang akan diteliti.
Kelemahan Penelitian • Dalam jurnal ini seringkali adanya huruf yang kurang
dalam sebuah kata.
• Dalam jurnal ini tidak disebutkan jangka waktu dalam
penelitian.
• Seringkali pengulangan kata.
Kesiapan manajemen merupakan kondisi yang
Kesimpulan menggambarkan kapasitas (organisasi) untuk memahami,
menerima, dan melaksanakan sebuah tindakan dan/ atau
pembaharuan. Kesiapan manajemen dalam implementasi kurikulum
di tingkat universitas sampai dengan jurusan ditandai antara lain
dengan adanya tim kerja yang memahami dan dapat
menerjemahkan pembaharuan yang diharapkan dalam program
kurikulum pendidikan profesional guru.
Aspek kesiapan manajemen dalam implementasi pendidikan
profesi guru, dapat diamati dari rancangan, implementasi
kurikulum, sistem evaluasi, pengendalian program, dan aspek
peraturan universitas. Tanggung jawab manajemen juga dilihat dari
aspek monitor dan evaluasi program kerja, aspek program yang
dikembangkan melalui visi dan misi, serta prioritas manajemen
sumber daya dengan memperhatikan perencanaan SDM serta
evaluasi dan jejak rekam akademik para dosen.
Relevansi kesiapan manajemen dalam implementasi
kurikulum dalam pandangan para pengambil kebijakan manajemen
sudah secara sistematis dibangun, terutama dalam pembinaan aspek
komunikasi, motivasi dan kepemimpinan. Namun demikian, studi
ini menggarisbawahi bahwa tidak ada korelasi antara kesiapan
organisasi manajemen UPI dengan perilaku organisasi yang
mengiringinya.

32
BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan yang terlampirkan dalam beberapa Jurnal diatas dapat disimpulkan melalui
beberapa perbedaan jeniis penelitian.

Jurnal 1 membahas tentang Guru Proofesional,sedangkan Jurnal kedua mengenai landasan


pendidikan, dan Jurnal ketiga Membahas tentang Manajemen Pendidikan.

Dari perbedaan beberapa Jurnal tersebut,semuanya berkaitan dengan Ilmu Pendidikan,topik


yang dibahas mencakup sub bab Ilmu Pendidikan. Subjek dari setiap Penelitian Jurnal Juga
Berbeda-beda, adda yang mengacu kepada Guru,Masyarakat Dan Mahasiswa.

33
DAFTAR PUSTAKA

Ari Widodo ,Yenny Anwar1, dkk 2012, KEMAMPUAN SUBJECT SPECIFIC PEDAGOGY
CALON GURU BIOLOGI PESERTA PROGRAM PENDIDIKAN PROFESIONAL GURU
(PPG) YANG BERLATAR BELAKANG BASIC SAINS PRA DAN POST WORKSHOP,
journal.unnes, VOL (2) (2012) .

Rukiyati,2012, LANDASAN DAN IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

DI INDONESIA, garuda.risedikti, Vol 12, No 1 (2012).

Dinn Wahyudin, 2016, MANAJEMEN KURIKULUM DALAM PENDIDIKAN PROFESI


GURU (STUDI KASUS DI UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA), garuda.risedikti,
Vol 46,No 2 November 2016

34

Anda mungkin juga menyukai