Anda di halaman 1dari 28

CRITICAL JOURNAL RIVIEW

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Dosen Pengampu: Dr. Nurmayani, M.Ag.

Disusun Oleh :

Kelompok 4

Icha Maulidha (7193510044)

Tri Ayyu Hamdillah (7193510048)

M. Ali Dirham (7191210013)

Siti Nurhaliza (7193210003)

Farhan Radifan (7193510036)

PRODI MANAJEMEN B 19

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas kasih dan
karuniaNya kami masih dapat membuat tugas Critical Journal Review (CJR) ini tepat pada
waktunya. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada ibu Dr. Nurmayani., M.Ag. selaku
dosen pengampu mata kuliah pendidikan agama Islam yang mengarahkan kami dalam
mengerjakan tugas ini.

Penulis berharap makalah ini menjadi salah satu referensi bagi pembaca dan agar
penulis serta pembaca mengetahui kelebihan dan kekurangan dari jurnal. Kritik dan saran
yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan supaya makalah ini menjadi lebih baik.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih atas perhatiannya.

Medan, Maret 2021

Kelompok 4

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
BAB I..........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................................1
1.1 Rasionalisasi Pentingnya CJR...............................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan CJR...........................................................................................................1
1.3 Manfaat CJR.........................................................................................................................1
1.2 Identitas Jurnal......................................................................................................................1
BAB II RINGKASAN JURNAL................................................................................................4
2.1 RINGKASAN JURNAL UTAMA.......................................................................................4
A. RINGKASAN JURNAL UTAMA 1.....................................................................................4
B. RINGKASAN JURNAL UTAMA 2...................................................................................11
2.2 RINGKASAN JURNAL PEMBANDING........................................................................14
A. RINGKASAN JURNAL PEMBANDING 1.......................................................................14
B. RINGKASAN JURNAL PEMBANDING 2.......................................................................18
BAB III.....................................................................................................................................21
PEMBAHASAN......................................................................................................................21
3.1 KELEBIHAN DAN KEKURANGAN JURANL UTAMA...............................................21
3.2 KELEBIHAN DAN KEKURANGAN JURNAL PEMBANDING...................................22
BAB IV.....................................................................................................................................23
PENUTUP................................................................................................................................23
4.1 Kesimpulan.........................................................................................................................23
4.2 Saran...................................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................24

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Rasionalisasi Pentingnya CJR

Disaat kita membutuhkan sebuah referensi, yaitu jurnal sebagai sumber bacaan kita selain
buku dalam mempelajari mata kuliah “Pendidikan Agama Islam”, sebaiknya kita terlebih dahulu
mengkritisi jurnal tersebut agar kita mengetahui jurnal mana yang lebih relevan untuk dijadikan
sumber bacaan.

1.2 Tujuan Penulisan CJR

1. Untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Pendidikan Agama Islam.

2. Meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam meringkas, menganalisa, dan


membandingkan serta memberi kritik pada jurnal.

1.3 Manfaat CJR

• Sebagai rujukan bagaimana untuk menyempurnakan sebuah junal dan mencari sumber
bacaan yang relevan.
• Membuat saya sebagai penulis dan mahasiswa lebih terasah dalam mengkritisi sebuah
jurnal.
• Untuk menambah pengetahuan tentang Pendidikan Agama Islam.

1.2 Identitas Jurnal

A. Identitas Jurnal Utama

Jurnal Utama 1
Judul Jurnal : Dinamika Penerapan Hukum Jinayat Sebagai
Wujud Rekonstruksi Syari’at Islam Di Aceh

Nama Jurnal : jurnal media pembinaan hukum nasional

Tahun Terbit : 2016

1
Pengarang : Zaki uya

Penerbit : Universitas Samudra

Kota Terbit : langsa, Aceh

Volume dan Nomor : Vol 5 No 1

Halaman : 136 – 148

Jurnal Utama 2

Judul Jurnal : Politik Penerapan Syari’at Islam Dalam Hukum Positif di


Indonesia (Pemikiran MAHFUD MD)

Nama Jurnal : Jurnal Al-‘Adalah

Tahun Terbit : Juli 2012

Pengarang : Siti Mahmudah

Volume dan Nomor : Vol. X, No. 4

Halaman : 403-414

B. Identitas Jurnal Pembanding

Jurnal Pembanding 1
Judul Jurnal : Penerapan Syariat Islam Terhadap Peraturan Daerah dalam
sistem hokum nasional indonesia

Nama Jurnal : jurnal studia islamika

Tahun Terbit : Desember 2015

Pengarang : Nur Rohim Yunus

Kota Terbit : Jakarta

Volume dan Nomor : Vol. 12 No. 2

Halaman : 253-279

2
Jurnal Pembanding 2

Judul Jurnal : Perbandingan Sumber Hukum Islam

Nama Jurnal : Jurnal Peradaban dan Hukum Islam

Tahun Terbit : 2018

Pengarang : Siska Lis Sulistiani

Kota Terbit : Bandung

Volume dan Nomor : Vol. 1 No. 1

Halaman : 102 - 116

3
BAB II RINGKASAN JURNAL

2.1 RINGKASAN JURNAL UTAMA

A. RINGKASAN JURNAL UTAMA 1

PENDAHULUAN

Aceh adalah daerah provinsi dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
mendapatkan status keistimewaan dan juga kekhususan bidang otonomi. Keistimewaan Aceh
yang dimaksud di atur dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan bagi Daerah Istimewa Aceh. Cakupan nilai keistimewaan yang diatur dalam
undang-undang tersebut mencakup 4 (empat) hal yaitu bidang syari’at Islam, bidang adat
istiadat, bidang pendidikan dan bidang peran ulama dalam struktur pemerintahan.

Atas keberlakuan undang-undang tersebut juga berdampak atas terbentuknya beberapa lembaga
keistimewaan di Aceh seperti Dinas Syari’at Islam-Mahkamah Syar’iyah, dan Wilayatul Hisbah
(WH) dalam konteks kelembagaan syari’at Islam. Kemudian dibentuk juga Majelis Adat Aceh
(MAA) sebagai representasi lembaga adat istiadat, Majelis Pendidikan Aceh sebagai bagian
bidang pendidikan, dan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) sebagai kelembagaan ulama di
Aceh. Keistimewaan Aceh dalam bidang agama dan juga adat sangat mempengaruhi nilai
tatanan kehidupan masyarakat. Sebagaimana disebutkan dalam hadih maja bahwa “Adat bak
Poteu Meureuhom, Hukum bak Syiah Kuala, Kanun bak Putroe Phang, Reusam bak Laksamana,
Hukum ngon Adat Lagee Zat ngon Sifeut”.1 Keberadaan hadih maja Aceh tersebut disebutkan
oleh Yusi Amdani dalam tulisannya bahwa Hadih Maja “Adat bak Poteu Meureuhom”
mengandung makna simbolis atau perlambang mengenai isi dan pelaksanan Adat Aceh.

Adapun tujuan Pemerintahan Aceh sebagaimana diamanahkan dalam undang- undang


adalah mengaktualisasikan syari’at Islam di Aceh secara khaffah. Guna mewujudkan hal
tersebut, Pemerintah Aceh telah menetapkan sejumlah qanun (peraturan daerah) dalam bidang
syari’at Islam, bahkan sebelum Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2006 disahkan. Adapun
cakupan qanun syari’at Islam yang akan dikaji dalam pembahasan ini diantaranya: Peraturan
Daerah Provinsi DI Aceh Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam, Qanun

4
Provinsi NAD Nomor 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya, Qanun
Provinsi NAD Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (perjudian), dan Qanun Provinsi NAD
Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (mesum).

KAJIAN PUSTAKA

A. Definisi dari hukum islam


Hukum Islam atau syariat islam adalah sistem kaidah-kaidah yang didasarkan
pada wahyu Allah SWT dan Sunnah Rasul mengenai tingkah laku mukalaf (orang yang
sudah dapat dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini, yang mengikat bagi semua
pemeluknya. Dan hal ini mengacu pada apa yang telah dilakukan oleh Rasul untuk
melaksanakannya secara total. Syariat Islam menurut istilah berarti hukum-hukum yang
diperintahkan Allah SWT untuk umat-Nya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik yang
berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun yang berhubungan dengan
amaliyah.Syariat Islam menurut bahasa berarti jalan yang dilalui umat manusia untuk
menuju kepada Allah Ta’ala. Dan ternyata Islam bukanlah hanya sebuah agama yang
mengajarkan tentang bagaimana menjalankan ibadah kepada Tuhannya saja. Keberadaan
aturan atau sistem ketentuan Allah SWT untuk mengatur hubungan manusia dengan
Allah Ta’ala dan hubungan manusia dengan sesamanya. Aturan tersebut bersumber pada
seluruh ajaran Islam, khususnya Al-Quran dan Hadits.

B. Ruang Lingkup Hukum Islam


Ruang Lingkup Hukum Islam adalah objek kajian hukum Islam atau bidang-
bidang hukum yang menjadi bagian dari hukum Islam. Hukum Islam di sini meliputi
syariah dan fikih. Hukum Islam sangat berbeda dengan hukum Barat yang membagi
hukum menjadi hukum privat (hukum perdata) dan hukum publik. Sama halnya dengan
hukum adat di Indonesia, hukum Islam tidak membedakan hukum privat dan hukum
publik. Pembagian bidang-bidang kajian hukum Islam lebih dititikberatkan pada bentuk
aktivitas manusia dalam melakukan hubungan. Dengan melihat bentuk hubungan ini,
dapat diketahui bahwa ruang lingkuphukum Islam ada dua, yaitu hubungan manusia
dengan Tuhan (hablunminallah) dan hubungan manusia dengan sesamanya (hablun

5
minannas). Bentuk hubungan yang pertama disebut ibadah dan bentuk hubungan yang
kedua disebut muamalah.[2]

C. Sumber hukum-hukum islam

Hukum Islam bukan hanya sebuah teori saja namun adalah sebuah aturan-aturan
untuk diterapkan di dalam sendi kehidupan manusia.Untuk itulah diperlukan sumber
hukum Islam sebagai solusinya, yaitu sebagai berikut:

1.Al-Quran

Sumber hukum Islam yang pertama adalah Al-Quran, sebuah kitab suci umat
Muslim yang diturunkan kepada nabi terakhir, yaitu Nabi Muhammad SAW melalui
Malaikat Jibril. Al-Quran memuat kandungan-kandungan yang berisi perintah, larangan,
anjuran, kisah Islam, ketentuan, hikmah dan sebagainya

2.Al-Hadist

Sumber hukum Islam yang kedua adalah Al-Hadist, yakni segala sesuatu yang
berlandaskan pada Rasulullah SAW. Baik berupa perkataan, perilaku, diamnya beliau. Di
dalam Al-Hadist terkandung aturan-aturan yang merinci segala aturan yang masih global
dalam Al-quran. Kata hadits yang mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan
dengan sunnah,

3.Ijma’

Kesepakatan seluruh ulama mujtahid pada satu masa setelah zaman Rasulullah
atas sebuah perkara dalam agama.” Dan ijma’ yang dapat dipertanggung jawabkan adalah
yang terjadi di zaman sahabat, tabiin (setelah sahabat), dan tabi’ut tabiin (setelah tabiin).
Karena setelah zaman mereka para ulama telah berpencar dan jumlahnya banyak, dan
perselisihan semakin banyak,sehingga tak dapat dipastikan bahwa semua ulama telah
bersepakat.

4.Qiyas

6
Sumber hukum Islam yang keempat setelah Al-Quran, Al-Hadits dan Ijma’ adalah
Qiyas. Qiyas berarti menjelaskan sesuatu yang tidak ada dalil nashnya dalam Al quran
ataupun hadis dengan cara membandingkan sesuatu yang serupa dengan sesuatu yang hendak
diketahui hukumnya tersebut.

METODE PENELITIAN

Adapun kajian ini menggunakan metode yuridis normatif, yaitu suatu metode analisa
yang menggunakan norma-norma hukum, peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam
mengkaji permasalahan.8 Oleh karena itu, data yang digunakan adalah data sekunder yang
merupakan kajian kepustakaan, dan mencakup tiga bahan hukum yaitu bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Selain itu pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan kualitatif yang mengacu pada peraturan perundang-undangan dan norma-norma yang
hidup dalam masyarakat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Implikasi Pengesahan Qanun Tentang Hukum Jinayat Dikaitkan Dengan Aspek


Keadilan dan HAM bagi masyarakat di Aceh

Regulasi peraturan perundang-undangan merupakan salah satu alat negara


dalam mencapai tujuan dan menentukan arah negara. Baik-buruknya suatu kebijakan
regulasi tersebut ditentukan kebijaksanaan dari pemerintah sendiri selaku cerminan
negara. Tujuan utama adalah menjamin keamanan dan memberikan kepastian hukum
bagi masyarakat dalam lingkup negara yang berdaulat. Konsepsi pertahanan muncul
karena adanya kepentingan nasional dan tujuan nasional. Kepentingan nasional NKRI
adalah tetap tegaknya NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta terjaminnya
kelancaran dan keamanan pembangunan nasional yang berkelanjutan guna
mewujudkan tujuan pembangunan dan tujuan nasional. Sementara itu tujuan nasional
adalah tujuan yang sesuai UUD 1945, dimana membentuk

pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan


seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan
kehidupan bangsa; serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
7
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Keamanan nasional merupakan
elemen yang melekat dalam tujuan penyelenggaraan negara. Terwujudnya negara
yang aman dan damai merupakan upaya menciptakan suatu kondisi yang bebas dari
bahaya dan segala bentuk gangguan atau ancaman baik dari dalam negeri maupun
luar negeri. Rasa aman dan damai tercermin dari keadaan tenteram, tidak ada rasa
takut ataupun khawatir, tidak terjadi konflik antar individu atau kelompok, tidak ada
kerusuhan, serta hidup rukun dalam suatu sistem hukum. Agar kondisi tersebut dapat
terwujud, harus ada aktivitas yang dilakukan oleh pemerintahan. Aktivitas ini
merupakan fungsi pemerintahan yang disebut sebagai fungsi keamanan nasional.
Dalam hal ini, keamanan nasional dapat dipahami sebagai kondisi dan juga fungsi
keamananan. Keamanan nasional sebagai fungsi bertujuan memberikan perlindungan
keamanan yang perlindungan keamanan negara, keamanan publik dan keamanan
warga negara dari segala bentuk ancaman dan atau tindakan yang dipengaruhi faktor
eksternal atau internal. Keamanan nasional sebagai kondisi merujuk pada situasi yang
bebas dari berbagai bentuk ancaman dan gangguan.

Aceh dengan julukan “serambi mekkah” yang merupakan identitas


kekhususan Aceh sendiri dalam bingkai keistimewaan menjalankan syari’at Islam.
Hal tersebut juga didukung dengan faktor mayoritas pemeluk agama di Aceh adalah
Islam. Keberadaan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Aceh merupakan payung hukum utama yang melekat bagi Aceh
sebagai aturan hukum yang khusus, yang kemudian dikuatkan kembali dengan
disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Pemerintah Aceh telah berupaya dalam mengaktualisasikan syariat Islam dalam
program legislasi daerah dengan disahkannya Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014
tentang Hukum Jinayat. Proses pengesahan qanun tersebut yang mana diawali dari
pembahasan rancangan qanun diketengahi perdebatan yang cukup alot, baik dari
pihak pemerintah Aceh maupun Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
Munculnya argumentasi penguatan sanksi dan penambahan jenis jinayat juga diawali
dengan perdebatan yang sangat panjang.

8
2. Upaya Pemerintah Aceh Dalam Mengaktualisasikan Hukum Jinayat Agar
Meminimalkan Kontradiksi Yang Terjadi Dalam Masyarakat

Ketika berbicara penegakan hukum, maka harus dipahami lebih dahulu apa yang
dimaksud dengan penegakan hukum dan faktor yang mempengaruhi untuk menganalisisnya.
Dalam konstelasi negara modern, hukum dapat difungsikan sebagai sarana rekayasa sosial (law
as a tool of social engineering).Pada tataran hukum di Indonesia, fungsi hukum oleh Mochtar
Kusumaatmadja diartikan sebagai sarana pendorong pembaharuan masyarakat. Sebagai sarana
untuk mendorong pembaharuan masyarakat, penekanannya terletak pada pembentukan peraturan
perundang-undangan oleh lembaga legislatif, yang dimaksudkan untuk menggagas konstruksi
masyarakat baru yang ingin diwujudkan di masa depan melalui pemberlakuan peraturan
perundang-undangan itu.

Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto dipengaruhi oleh lima
faktor. Pertama, faktor hukum atau peraturan perundangundangan. Kedua, faktor aparat penegak
hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam peroses pembuatan dan penerapan hukumnya,
yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung
proses penegakan hukum. Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan social di mana hukum
tersebut berlaku atau diterapkan; berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang
merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan
rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Selanjutnya, berdasarkan
kriteria kedekatan tersebut, maka Satjipto Rahardjo membedakan tiga unsur utama yang terlibat
dalam proses penegakan hukum. Pertama, unsur pembuatan undang- undang (lembaga legislatif).
Kedua, unsur penegakan hukum (polisi, jaksa dan hakim). Dan ketiga, unsur lingkungan yang
meliputi pribadi warga negara dan sosial.

Berdasarkan konsep yang telah dijelaskan di atas, dipahami bahwa Qanun Nomor 6 Tahun 2014
merupakan sebuah wahana baru dalam system politik di Aceh yang berorientasikan syari’at
Islam. Proses pengesahan qanun tersebut menuai perdebatan yang panjang dan selalu
diperdebatkan secara yuridis oleh banyak pihak. Disatu sisi, qanun tersebut juga disahkan
disebabkan amanah dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.
Adapun komponen dari legal structur yang dimaksud dapat dilihat dari keberadaan instansi

9
penegak hukum di Aceh baik Wilayatul Hisbah, Kepolisian, Kejaksaan, hingga hakim di
MahkamahSyar’iyah.sementaralegalsubstance, yaitu segala aturan hukum dalam lingkup syari’at
Islam, termasuk Qanun Nomor 6 Tahun 2014. Dan, legal culture, dapat dimaknai sebagai budaya
dalam masyarakat yang kecendrungan Aceh mayoritas berbudayakan syari’at Islam. Menyimak
dari klasifikasi yang telah diuraikan maka seharusnya keberlakuan hukum jinayat di Aceh
bukanlah sebuah permasalahan, hal tersebut diyakini karena masyarakat Aceh sendiri telah hidup
dengan budaya berbasis syari’at Islam. Sehingga pemerintah Aceh sendiri mapun penegak
hukum tidak kesulitan dalam mengaktualisasikan ketentuan qanun tersebut.

KESIMPULAN

Ketentuan hukum jinayat yang diatur dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014
merupakan manifestasi dari konsep keamanan negara di dalam negara yang berdaulat. Dimana
qanun tersebut merupakan salah satu tindakan pemerintah secara regulatif untuk menjamin
tujuan kepastian hukum bagi masyarakat. Selain itu, Qanun Nomor 6 Tahun 2014 merupakan
revitalisasi dari semua aturan qanun sebelumnya yang mengatur jinayat secara terpisah.
Substansi yang diatur dalam qanun jinayat juga dinilai telah mengakomodir prinsip keadilan dan
melindungi hak asasi masyarakat Aceh, sungguhpun dalam qanun tersebut juga mengatur prihal
sanksi dan denda yang jauh lebih berat dari qanun sebelumnya. Tujuannya adalah untuk menjadi
pembelajaran bagi masyarakat dan dapat berperan serta dalam menjaga syari’at Islam secara
kaffah di Aceh.

Penegakanhukumsyari’atIslamsebagaimana diatur dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014


dapat terealisasi dengan baik ke seluruh lapisan masyarakat apabila Pemerintah Aceh berikut
seluruh jajaran penegak hukumnya melakukan sosialisasi berkala. Selain itu, pemerintah Aceh
juga dapat meminta atau berkoordinasi denganMajelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh
dalam mengaktualisasikan ketentuan hukum jinayat. Kemudian segala bentuk pelatihan dan
pendidikan kepada law enforcement patut dilakukan oleh pemerintah Aceh agar dalam
pelaksanaan tugas penegak hukum tidak berlaku diskriminatif.

Atas dasar kajian di atas maka disarankan kepada Pemerintah Aceh dalam melaksanakan
ketentuan hukum jinayat yang termuat dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014, agar dapat

10
memperhatikan ketentuan yang lebih tinggi, khususnya penyesuaian aturan hukum dengan
KUHP dan KUHAP. Serta melakukan koordinasi dengan Majelis Permusyawaratan Ulama
(MPU) dalam sosialisasi secara berkala kepada masyarakat, dan memberikan bimbingan,
pelatihan, serta pendidikan kepada seluruh aparat penegak hukum yang telah ditentukan dalam
Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014. Sehingga penegak hukum dalam menjalankan tugas dan
kewenangannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

B. RINGKASAN JURNAL UTAMA 2

PENDAHULUAN

Belum adanya kesepakatan antara kelompok yang pro dan kontra adanya negara kebangsaan
Indonesia yang berdasar pada Pancasila, padahal Pancasila sama sekali tidak bertentangan
dengan ajaran Islam. Adanya kelompok-kelompok tertentu yang terus berjuang mewujudkan
Islam dan hukumnya menjadi simbol formal di negara kebangsaan Indonesia walaupun harus
menempuh jalan kekerasan dan pemberontakan sekalipun atau mengubah sebuah negara yang
mereka pandang sekular menjadi negara Islam. Saat ini berkembang kecenderungan untuk
memberlakukan hukum Islam, termasuk dalam beberapa Peraturan Daerah. Di sisi lain, umat
Islam juga sangat menghendaki hukum Islam menjadi hukum formal di negara yang mereka
akui sebagai negara kebangsaan Pancasila. Sistem hukum yang dianut di Indonesia merupakan
mix law system yang mana di samping berlakunya hukum perundang-undangan juga berlaku
hukum Islam. Penulis ingin menemukan jawaban sebagai solusi yang tepat dari pemikiran
MahfudMD, apalagi dengan adanya dukungan data yang telah disajikan oleh Mahfud MD dalam
karya-karyanya yang menurut penulis layak dijadikan sumber data. Mahfud MD dipilih sebagai
bahan kajian karena beliau disamping ahli dalam bidang hukum, politik, pemikiran hokum, juga
banyak mengkaji dalam karya-karyanya tentang hukum Islam dan politik hukum Islam di
Indonesia. Mahfud MD dianggap sebagai tokoh hukum yang cukup berpengaruh di Indonesia
yang telah menawarkan sebuah solusi tentang politik penerapan hukum Islam dengan konsep
substansial nilai-nilai ajaran Islam yang bersifat universal, melalui pemencaran energi politik
umat Islam melalui lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif sebagai lembaga pembuat hukum
sekaligus lembaga politik. Dengan membawa aspirasi nilai-nilai substantif ajaran Islam dalam
mewujudkan sebuah hokum

11
KAJIAN PUSTAKA

Azizy, Qadri, Eklektisisme Hukum Nasional: Kompetensi Antara Hukum Islam dan Hukum
Umum, Yogyakarta: Penerbit Gama Media, 2004. ____, Reformasi Bermazhab: Sebuah
IkhtiarMenuju Ijtihad Sesuai Saintifik Modern, Jakarta: Teraju, 2003. Benda, H.J., Bulan Sabit
dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, Jakarta: Pustaka Jaya,
1980. Ebrahem, Islam Progresif: Refleksi Dilematis tentang HAM, Modernitas dan Hakhak
Perempuan di dalam Hukum Islam, Jakarta: ICIP, 2004. Gunaryo, Achmad, Pergumulan Politik
dan Hukum Islam: Reposisi Peradilan Agama dari Peradilan “Pupuk Bawang” Menuju Peradilan
yang Sesungguhnya, Semarang: Pustaka Pelajar dan PPS IAIN Walisongo, 2006. Indrayana,
Denny, Negara antara Ada dan Tiada: Reformasi Hukum Ketatanegaraan, Jakarta: Kompas,
2008.

METODE PENELITIAN

Teori Mahfud MD yang paling populer adalah teori ‘konfigurasi politik’. Dengan teori ini
Mahfud menawarkan sebuah solusi penerapan hukum Islam ke dalam hukum formal (hukum
positif ) dengan konsep substansial nilai-nilai ajaran Islam. Sebuah hasil penelitian tentang
politik hukum, beliau telah menemukan sebuah kesimpulan bahwa produk hukum itu sangat
dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang ada di belakangnya. Jika konfigurasi politiknya
bersifat demokratis, maka produk hukumnya berkarakter responsif; dan jika konfigurasi politik
bersifat otoriter, maka produk hukumnya berwatak konservatif. Dengan kata lain, bahwa produk
hukum itu akan sangat diwarnai oleh kekuatan politik yang dominan atau oleh mereka yang
paling banyak menguasai lembaga legislatif.3 Dengan demikian, nilai-nilai substantif Islam
bukan nilai simboliknya, sebagai sumber hukum materiil memang bisa dimasukkan untuk
dijadikan hukum positif, karena Indonesia menganut legal realism. Nilai-nilai substantif atau
doktrin hukum Islam dapat dipositifisasikan dan digabungkan secara eklektik dengan doktrin-
doktrin hukum Barat dan hukum Adat untuk dijadikan sebagai hukum nasional atau hukum
Indonesia. Dengan teori ‘konfigurasi politik’ maka umat Islam harus mampu duduk dalam
lembaga-lembaga pemerintahan, baik lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Inilah yang
dikatakan oleh Mahfud sebagai pemencaran energi politik untuk dapat memasukkan nilai-nilai
substantif ajaran Islam ke dalam hukum formal (hukum positif) yang berlaku di Indonesia.
Dalam menelaah, mencermati dan menulis hal yang berkaitan dengan hukum dan politik hukum

12
Islam di Indonesia, Mahfud MD menggunakan metode komparatif. Pemikirannya telah bertolak
dari sebuah perbandingan antara hukum sekuler (hukum Barat) dan hukum Islam kemudian
upaya membumikannya di dalam realitas politik dan sistem hukum yang berlaku di Indonesia.
Menurutnya, adanya perpaduan antara hukum Barat, hukum Adat dan hukum Islam akan lebih
memperkaya dan menyempurnakan hukum, dalam rangka menghindari terjadinya kekosongan
hukum di Indonesia

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bila dicermati apa yang telah dinyatakan oleh Mahfud MD, maka dapat dikatakan bahwa
pemikiran Mahfud dalam hal ini sangat dipengaruhi oleh ide-ide Gus Dur yang tidak pernah
setuju dengan adanya formalisasi Syari’at Islam di Indonesia. Gus Dur dalam sebuah seminar
tentang Islam dan politik di Indonesia yang dilaksanakan di Cornell University, 12 April 1992,
mengemukakan: Bahwa NU akan selalu menghindari formalisasi ajaran Islam di dalam
peraturan perundang-undangan negara. Setiap upaya memformalkan ajaran Islam ke dalam
peraturan perundang-undangan negara akan bersifat diskriminatif terhadap kelompok lain.15
Dalam arus global sekularisasi, Gus Dur telah berjuang untuk menjebol struktur religiopolitik
organik Islam (yang menempatkan syari’at pada posisi yang paling tinggi untuk mengatur segala
urusan yang ada) yang masih banyak dianut kaum Muslim Indonesia, termasuk kalangan
Nahdiyîn. Inilah problem besar yang cukup pelik di Indonesia. Sekian lama ulang tahun
kemerdekaan di Indonesia diperingati, problem kemanusian dan agama di Indonesia malah
semakin bertambah. Belum adanya kesadaran dari kelompok-kelompok tertentu mau mengakui
negara Indonesia sebagai negara kebangsaan yang sudah menjadi keputusan final sejak pertama
kali Indonesia terbentuk sebagai sebuah negara yang merdeka dari jajahan asing.Bahkan sampai
hari ini masih ada gerakan-gerakan yang ingin memperjuangkan untuk kembali pada piagam
Jakarta dan menjadikan Islam sebagai wadah formal bagi penerapan syari’at Islam di Indonesia.
Sebagai wujud lain dengan lahirnya perda-perda syariah di daerah-daerah di Indonesia, seperti
di Aceh, Padang dan daerah sekitar Jawa Barat. Perjuangan Gus Dur harus dilanjutkan dan
diperjuangkan. Dalam realitas politik, Indonesia secara konstitusional adalah “Religious Nation
State”, sehingga secara formal kelembagaan tidak memungkinkan bagi umat Islam untuk
mewujudkan seutuhnya prinsip-prinsip Islam tentang hukum terutama dalam bentuknya yang
resmi pula. Namun demikian, umat Islam masih tetap bertahan untuk mewujudkan hukum

13
agamanya menjadi hukum formal di Indonesia.Inilah yang perlu diberikan solusi terbaik sebagai
jalan keluarnya.

KESIMPULAN

Sebagai kesimpulan akhir dapat dikatakan bahwa hukum yang berlaku dalam sebuah negara
merupakan hukum hasil cipta dan karya manusia, apapun wujud hukumnya, baik hukum positif
maupun hukum Islam. Bedanya, dalam hukum Islam sebagai rujukannya adalah Alquran dan
hadis, namun produk hukum yang dihasilkannya tetap saja merupakan ciptaan manusia sebagai
hasil ijtihad.

2.2 RINGKASAN JURNAL PEMBANDING

A. RINGKASAN JURNAL PEMBANDING 1

PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara muslim terbesar di seluruh dunia. Namun di mata negara-negara
Islam, Indonesia sering diposisikan sebagai negara sekuler, sehingga hubungan Indonesia
dengan negara-negara Arab atau negara Islam lain tidak seakrab negara- negara lainnya,
seperti Malaysia, Mesir, Pakistan dan lain-lain. Bahkan di tingkat warga negarapun
dirasakan pengaruhnya. Hal itu terlihat manakala mereka berada di negara-negara Arab,
mereka tidak dipandang sejajar dengan warga Muslim lainnya. Tetapi ketika dijelaskan
kepada mereka bahwa Islam telah masuk ke Indonesia sejak abad I Hijriyah, barulah
mereka sadar dan memahami kedudukan kaum muslimin di Indonesia. Sejak masuknya
Islam ke Nusantara pada abad I Hijriah dan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, maka
yang berlaku sebagai hukum nasional pada waktu itu adalah hukum syariat. Sedang
sistem peradilan yang dipakai adalah juga sistem peradilan Islam. Hal ini tidak hanya
sebatas kasus-kasus perdata, tetapi juga menyangkut masalah-masalah pidana. pasca
reformasi, isu pelaksanaan syariat Islam semakin merebak di beberapa daerah di
Indonesia. Hal ini seiring semangat otonomi daerah3yang memberi peluang setiap daerah
untuk mengatur dirinya sendiri. Didahului oleh Aceh yang secara gencar menuntut

14
perwujudan syariat Islam di daerahnya, yangFenomena ini tak pelak menimbulkan pro
dan kontra, bahkan dalam masyarakat Islam sendiri. Kelompok yang pro mengatakan,
sudah sewajarnya syariat Islam menjadi landasan hukum kehidupan berbangsa dan
bernegara, karena umat Islam adalah mayoritas penduduk Indonesia. Mereka menyerukan
umat Islam untuk kembali pada Alquran dan al-Sunah, agar berbagai problema sosial
politik yang sekarang melanda bangsa Indonesia dapat diatasi. Tidak semua masyarakat
Islam sepakat dengan kelompok pro, akan tetapi ada kelompok kontra yang tentunya
bukan tidak setuju dengan syariat Islam, tetapi hanya menolak pemahaman keagamaan
kelompok pertama. Demikianlah, isu syariat Islam selalu menawarkan perdebatan
menarik, bak tabir misteri yang tak kunjung usai dibicarakan. Dalam konteks nation-
building kita, perdebatan di seputar isu syariat Islam bisa dikatakan setua umur republik
ini. Hanya saja, kini kalangan yang terlibat dalam perdebatan isu syariat Islam tidak lagi
terpaku pada narasi-narasi besar. Tak ada lagi oposisi biner antara kalangan Islam vis-à-
vis nasionalis dalam menerima atau menolak syariat Islam.

METODE PENELTIAN

Metode penelitian yang digunakan yaitu dengan metodo kualitatif dimanamerupakan


metode riset yang Bersifat deskriptif dan analitis. Hasil penelitian yang ditonjolkan
adalah prosesnya. Terkait dengan landasan teori yang dapat digunakan adalah rasa
subjektifitas peneliti.

HASIL DAN PEMBAHSAN

Penerapan Syariah Islam adalah suatu upaya untuk menjadikan Syariah Islam sebagai
Konstitusi (dustūr) dan undang-undang negara). Konstitusi Syariah adalah upaya untuk
menjadikan Syariah Islam sebagai Undang-undang negara, sedangkan undang–undang
negara adalah seluruh aturan yang lahir dari konstitusi negara. Sejatinya sebagai
konsekuensi keimanan kepada Allah, seorang muslim wajib mengkaitkan diri pada
Syariah Islam. Oleh karena itu, Syariah Islam harus diterapkan pada semua lini
kehidupan, baik dalam konteks kehidupan individu, kelompok, maupun dalam kehidupan

15
bermasyarakat dan bernegara. Semestinya hal ini tidak perlu diperdebatkan dan diperumit
lagi, mengingat semua itu merupakan perkara yang telah jelas kewajibannya dalam
Syariah Islam. penerapan syariah di negeri ini mempunyai akar sejarah yang sangat kuat,
bahkan mendahului sejarah hukum Eropa itu sendiri. Jadi tuntutan penerapannya
bukanlah sesuatu yang mengada-ada atau tuntutan baru yang tidak ada landasannya, akan
tetapi akar sejarahnya sangat kokoh seumur dengan bangsa ini.
Hal ini tercermin dalam sejarah perjuangan bangsa, khususnya Sarekat Islam. Sedang
secara resmi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia tercantum pada tahun 1945 dalam
Piagam Jakarta. Membicarakan tentang sistem hukum, maka hukum tidak dapat
ditempatkan sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan sebagai suatu sistemyang
saling berkaitan. Untuk memahami makna “sistem” dikatakan bahwa sistem merupakan
suatu totalitas yang tersusun atas sejumlah komponen yang saling berhubungan, dan
sama-sama mewujudkan suatu keutuhan untuk mencapai tujuan tertentu, diantara
komponen itu ada yang mempunyai fungsi terhadap yang lain. Dari pendapat-pendapat
mengenai hukum Djuhaendah Hasan menyimpulkan bahwa sistem hukum adalah suatu
totalitas yang tersusun atas sejumlah komponen yang saling berhubungan dan sama-sama
mewujudkan suatu keutuhan untuk mencapai tujuan hukum, sehingga dalam
pembangunan hukum perlu keutuhan sistem hukum yang bukan hanya berintikan materi
hukum saja, namun juga seluruh komponen hukum (materi hukum, budaya hukum,
lembaga dan aparatur hukum, sarana dan prasarana hukum
Hal ini serupa dengan pandangan Lawrence M. Friedman yang membagi sistem hukum
kedalam tiga komponen yaitu struktur, substansi dan kultur. Menurutnya struktur adalah
salah satu dasar dan elemen nyata dari sistem hukum. Struktur sebuah sistem bagaikan
kerangka dari badannya, ia adalah bentuk permanennya, tubuh institusional dari sistem
berupa tulang- tulang keras yang kaku yang menjaga agar proses dapat mengalir. dalam
batas-batasnya. Setelah mengetahui makna dari sistem hukum lalu apakah yang dimaksud
dengan sistem hukum nasional? Seperti yang telah diutarakan diatas bahwa sistem hukum
tersusun atas sejumlah komponen yang saling berhubungan dan sama-sama mewujudkan
suatu keutuhan untuk mencapai tujuan hukum tertentu, maka sistem hukum nasional
merupakan susunan sejumlan komponen hukum yang saling berhubungan dalam suatu
negara untuk mencapai tujuan hukum nasional. Dalam sistem hukum nasional Indonesia

16
tidak menutup peluang adanya upaya penerapan syariat Islam di Indonesia. Karena pada
dasarnya secara historis, sosiologis dan filosofis, sistem hukum Indonesia bersumber
pada Hukum Islam, selain hukum barat (Belanda) dan juga hukum adat. lebih lanjut lagi
penerapan syariat Islam sebagai konkritisasi dari sila pertama Pancasila tetap harus
memperhatikan asas-asas lain dalam Pancasila seperti asas semangat kerukunan, asas
kepatutan, dan asas keselarasan. Sedang penerapan perda syariah harus tetap menjaga
keharmonisan sistem hukum nasional yang berdasar pada Pancasila dan UUD 1945.
Dalam artian misalnya pelaksanaan Syariat Islam di Aceh tetap dalam kerangka NKRI,
terutama dalam pembentukan perda syariat, baik secara materil maupun formil tetap
mengacu pada peraturan perundang-undangan nasional. Dengan demikian Perda syariah
tersebut mempunyai kedudukan di dalam sistem hukum nasional. Selain itu, dalam proses
pembentukan perda syariah tersebut harus selalu memperhatikan perundang-undangan
nasional, penerapan asas-asas dalam syariat Islam dapat diterapkan secara eklektis dalam
artian harus dipilah- pilah nilainya yang tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan
perundang-undangan lainnya. Jangan sampai penerapan perda syariah itu justru
menyebabkan ketidakteraturan sistem hukum nasional yang jauh dari tujuan hukum
nasional, sehingga menyebabkan kekacauan dalam masyarakat.

KESIMPULAN

Upaya penerapan syariat Islam merupakan dakwah yang dilakukan oleh para nabi dan
rasul. Mengajak manusia dengan berdakwah kepada Allah adalah jalan menuju saling
menguatkan sesama kaum muslimin dan merapatkan barisan mereka, yang tentunya
dilakukan dengan akhlak yang mulia untuk menjalankan apa yang diperintahkan Allah
dan menjauhi segala larangan-Nya.
Sudah selayaknya hukum Islam dapat diterapkan, sehingga hukum inilah yang akhirnya
mengatur kehidupan manusia. Karena hukum ini bersumber dari agama umat Islam
Indonesia sendiri, selain syariat dirasakan sebagai hukum yang paling adil dalam
memandang manusia. Selain itu, syariat Islam adalah hukum yang bersumber dari wahyu
Allah SWT, sang Pencipta manusia. Sudah tentu, hukum yang berasal dari Allah SWT
adalah hukum yang paling adil dan sempurna. Hukum yang dibuat manusia, pasti

17
mengandung unsur ketidakadilan, kecurangan dan keberpihakan kepada kelompok
tertentu. Perjalanan panjang bangsa ini dengan hukum produk penjajah dengan segala
ekses yang ditimbulkannya –seperti kezaliman, hilangnya rasa kemanusiaan,
mempertuhan materi dan hawa nafsu, tidak adanya keadilan- semakin memperkuat kita,
sebagai bangsa Indonesia untuk menerapkan kembali hukum syariat yang pernah hilang.

B. RINGKASAN JURNAL PEMBANDING 2

PENDAHULUAN

Kata-kata “Sumber Hukum Islam” merupakan terjemahan dari lafazh Masâdir al- Ahkâm.
Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang ditulis oleh
ulama-ulama fikih dan ushul fikih klasik. Untuk menjelaskan arti sumber hukum Islam,
mereka menggunakan al-adillah al-Syariyyah. Penggunaan mashâdir al-Ahkâm oleh
ulama pada masa sekarang ini, tentu yang dimaksudkan adalah se-arti dengan istilah al-
Adillah al-Syar’iyyah. Dan yang dimaksud Masâdir al-Ahkâm adalah dalil-dalil hukum
syara’ yang diambil (diistimbathkan) daripadanya untuk menemukan hukum. Sumber
hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih
dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama
adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Para jumhur Ulama juga sepakat dengan
urutan dalil-dalil tersebut di atas (Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas), namun dari
kalangan Mu’tazilah menempatkan akal dalam urutan pertama sebelum Al-Qur’an,
sunnah, ijma dan qiyas. Maka penulis akan membahas dalam makalah ini mengenai
pengertian, klasifikasi dan kehujahan sumber utama hukum Islam tersebut.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang di pakai di dalam jurnal ini menggunakan metode penelitian
berdasarkan sumber-sumber dan dengan analisis atau yang biasa disebut dengan metode
kualitatif.

18
HASIL DAN PEMBAHASAN

“ hukum Islam” sebagai suatu rangkaian kata telah menjadi bahasa Indonesia yang hidup
dan terpakai. Dalam bahasa Indonesia kata ‘hukum’ menurut Amir Syarifuddin adalah
seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat,
disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu, berlaku dan mengikat
untuk seluruh anggotanya.. Bila kata ‘hukum’ menurut definisi di atas dihubungkan
kepada ‘Islam’ atau ‘syara’, maka ‘hukum Islam’ akan berarti: “ seperangkat peraturan
berdasarkan wahyu Allah dan sunah Rasul tetang tingkah laku manusia mukalaf yang
diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam. Sedangkan hukum
dalam pengertian hukum syara’ menurut istilah ulama ushul adalah khitob (doktrin) syar’i
yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan atau
ketetapan. sesuatu. Pada hakekatnya yang dimaksud dengan sumber hukum adalah
tempat kita dapat menemukan atau menggali hukumnya. Sumber hukum Islam adalah
asal (tempat pengambilan) hukum Islam. Sumber hukum Islam disebut juga dengan
istilah dalil hukum Islam atau pokok hukum Islam atau dasar hukum Islam. Berdasarkan
penelitian menurut Abdul Wahab Khalaf telah ditetapkan bahwa dalil syara’ yang
menjadi dasar pengambilan hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia itu ada
empat: al-Qur’an, as-sunah, ijma dan qiyas. Berbeda dengan pandangan jumhur ulama,
diantara ulama Mu’tazilah mendasari pandangannya dalam istinbath al-ahkam pada dalil
akal sebagai urutan pertama,sebelum al-Quran, Sunah, dan ijma. Pandangannya yang
demikian ini tidak lepas dari pandangan teologi Mu’tazilah yang dianutnya. Dalam
teologi ini peranan akal begitu penting untuk menyelesaikan berbagai persoalan teologi
dan memberikan corak tersendiri terhadap persoalan hukum dan metoda istinbat al-
ahkam yang digunakannya. ditetapkan bahwa Al-qur’an itu sumber utama bagi hukum
Islam, sekaligus juga sebagai dalil utama fiqh. Al-Quran itu membimbing dan
memberikan petunjuk.Untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung dalam
sebagian ayat-ayatnya. Para sahabat dan para jumhur ulama telah menetapkan dua hadits

19
di atas sebagai dalil atas urutan penggunaan dalil. Kata ‘sumber’ dalam hukum fiqh
adalah terjemah dari lafadz
lafadz tersebut terdapat dalam sebagian literatur kontemporer sebagai ganti dari sebutan
dalil ( ‫ ) الدليل‬atau lengkapnya “ adillah syar’iyyah” ( ‫ )األدلة الشرعية‬. Sedangkan dalam
literatur klasik, biasanya yang digunakan adalah kata dalil atau adillah syar’iyyah, dan . )
‫” ( مصادر األحكام الشرعية‬tidak pernah kata “ mashadir al-ahkam al-syar’iyyah. Bila dilihat
secara etimologis, maka akan terlihat bahwa kedua kata itu tidaklah sinonim, setidaknya
bila dihubungkan kepada ‘syariah’. Kata sumber ( ‫) مصادر‬, atau dengan jamaknya ‫ مصادر‬,
dapat diartikan suatu wadah yang dari wadah itu dapat ditemukan atau ditimba norma
hukum. Sedangkan ‘dalil hukum’ berarti sesuatu yang memberi petunjuk dan menuntun
kita dalam menemukan hukum Allah. Kata “sumber” dalam artian ini hanya dapat
digunakan untuk Al-Qur’an dan sunah, karena memang keduanya merupakan wadah
yang dapat ditimba hukum syara’ tetapi tidak mungkin kata ini digunakan untuk ‘ijma
dan qiyas karena keduanya bukanlah wadah yang dapat ditimba norma hukum. ijma dan
qiyas itu, keduanya adalah cara dalam menemukan hukum. Kata ‘dalil’dapat digunakan
untuk Al-Qur’an dan sunah, juga dapat digunakan untuk ijma dan qiyas, karena memang
semuanya menuntun kepada penemuan hukum Allah7. 2 sumber utama hukum, yaitu:
Al-Qur’an dan As-Sunah.

KESIMPULAN

Sumber hukum dalam Islam sangat penting, karena ia merupakan sumber utama dalam
menentukan sebuah hukum yang melandasi kehidupan seorang muslim. Perbedaan cara
pandang tentang akal menjadikan perbedaan pendapat dikalangan jumhur fuqaha dengan
kelompok mu’tazilah sehingga jelas menjadikannya berbeda dalam memandang tentang
sebuah permasalahan hukum karena berbeda dalam memandang sumber utama hukum
Islam. Dari permasalahan tersebut, menjadikan umat Islam harus memperlajari Al-Qur’an
dan sunnah sebagai sumber utama hukum Islam agar tidak hanya meyakini tentang
sumber utama hukum Islam namun juga memahaminya dengan baik.

20
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 KELEBIHAN DAN KEKURANGAN JURANL UTAMA

1. Jurnal Utama 1

a. Kelebihan jurnal utama

 Materi yang dipaparkan sangat jelas, sehingga pembaca menjadi paham tentang
pengetahuan yang ada didalam jurnal.

 Refresnsi yang digunakan sangat jelas dan banyak.

 Menggunakan bahasa yang mudah dipahamai dan dibaca.

 Materi yang dipaparkan berurut sehingga sangat menambah wawasan.

b. Kekurangan Jurnal Utama

 Tidak terdapat ISSN

 Terdapat beberapa paragraf penggunaan spasi yang salah.

 Tidak ada tujuan yang spesifik dalam jurnal.

2. Jurnal Utama 2

a. Kelebihan jurnal

 Sudah menggunakan Bahasa yang baku


 penyampaian nya mudah di pahami
 Jurnal ini membahas mengenai hukum syariat islam yang akan di terapkan di Indonesia
yang masih akan dirundingkan karna ada beberapa kelompok yang tidak setuju.

21
b. Kekurangan jurnal

 Tidak di paparkan secara jelas mengenai mengenai ke dua kelompok tersebut kenapa
masih tetap berbeda pandangan
 Tidak memiliki no isbn
 Tidak memiliki jumlah halaman

3.2 KELEBIHAN DAN KEKURANGAN JURNAL PEMBANDING

1. Jurnal Pembanding 1

a. Kelebihan Jurnal

 memaparkan secara jelas dan lengkap mulai dari pendahuluan atau latar belakang
dari permasalahan mengenai hukum Islam yang ada di Indonesia dan banyak
mengemukakan pendapat-pendapat dari para ahli
 kalimat dalam jurnal ini mudah di pahami dan sudah sesuai dengan Kamus EYD
bahasa Indonesia

b. Kekurangan Jurnal

 jurnal ini tidak memiliki isbn atau issn

2. Jurnal Pembanding 2

a. Kelebihan Jurnal

 Dalam penulisan jurnal ini sudah tepat menggunakan kaidah kebahasaan yang
sesua dengan bahasa Indonesia.
 Dalam jurnal ini memaparkan dan menjelaskan mulai dari pendahuluan lengkap
hingga pembahasannya di sertai dengan ayat-ayat yang lebih mempermudah
pembaca memahami jurnal tersebut

b. Kekurangan Jurnal

22
 Tidak terdapat issn
 Terdapat beberapa paragraf penggunaan spasi yang salah.
 Tidak ada tujuan yang spesifik dalam jurnal.

23
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil adalah dalam jurnal baik yang utama dan pembanding
memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing diberbagai aspek. Dan dengan adanya
tugas critical jurnal ini kita menjadi memiliki pengetahuan dan wawasan yang lebih dan kita
dapat membandingkan jurnal satu dengan jurnal lainnya.

Dan didalam keempat jurnal masing-masing yang telah di review juga memuat materi
tentang Hukum Islam sehingga dapat memberikan kita pengetahuan yang melimpah.

4.2 Saran

Setelah mereview jurnal utama dan pembanding memiliki kekurangan dan kelebihan
diberbagai aspek sehingga disarankan untuk meningkatkan kekurangan yang ada dan
mempertahankan kelebihan yang ada yang mana agar dapat menjadikan jurnal yang sempurna
dan bagus untuk para pembaca kedepannya.

Saran lainnya untuk pembaca tugas ini adalah semoga dapat memberikan pengetahuan yang
lebih kepada pembaca dan dapat menjadi dorongan untuk melakukan pengerjaan tugas yabg
lebih baik lagi kedepannya. Akhir kata penulis mengucapkan terima lasih dan meminta maaf
apabila ada kata kata yang terlalu berlebihan dan lainnya.

24
DAFTAR PUSTAKA

Ali Muhammad, Rusjdi, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh, Problem, Solusi dan Implementasi
Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, Cet. I, (Jakarta: Logos,
2003)

Ali, H. Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika), 2009

Anonimous, Buku Putih Pertahanan Indonesia, (Jakarta: Departemen Pertahanan Republik

Indonesia, 2008)

Anonimous, Pedoman Umum Adat Aceh, (Banda Aceh: Lembaga Adat dan Kebuadayaan Aceh,

1990)

Aen, I. N. (1998). Disertasi Konsep Mushawwibat Al-Qadhi ‘Abd Al-Jabbar dan

Relevansi dengan Dasar Teologinya. Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah.

Chaniago, A. Y. (1995). Kamus Bahasa Indonesia. Bandung: Pustaka Setia.

Khalaf, A. W. (2003). Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Pustaka Amani.

Nasution, H. (1986). Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI Press.

Abdillah, Masykuri, dkk.Formalisasi Syariat Islam di Indonesia, Jakarta: Renaisan, 2005.

Benda, H.J., Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan

Jepang, Jakarta: Pustaka Jaya, 1980.

25

Anda mungkin juga menyukai