Anda di halaman 1dari 23

KEBIJAKAN DAN IMPLEMENTASI K3 NASIONAL BAGI TENAGA KERJA INDONESIA

BAB I

PENDHULUAN

1.1 Latar Belakang


Badan Pusat Stastistik (BPS) mencatat jumlah penduduk yang bekerja di Indonesia pada

Agustus 2013 mencapai 188,80 juta orang. Menteri Ketenagakerjaan M. Hanif Dhakiri (as

citied in Pos Kota 2016) dalam Bulan K3 tahun 2016 di kantor Kemnaker, Gatot Subroto ,

Jakarta, Selasa (12/1) mengatakan bahwa UU No1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja,

genap berusia 45 tahun, namun pelaksanaan UU tersebut masih belum diterapkan secara

maksimal. Angka kecelakaan kerja terjadi di beberapa sektor usaha masih tinggi. (Pos Kota

2016)
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan mencatat, secara nasional

BPJS Ketenagakerjaan telah menangani 105.383 kasus kecelakaan kerja hingga tahun 2014

lalu. Dari jumlah itu, tercatat kasus cacat fungsi berjumlah 3.618 kasus, cacat sebagian

berjumlah 2.616 kasus, cacat total berjumlah 43 kasus, dan meninggal dunia sebanyak 2.375

kasus. Adapun hingga Maret 2015, BPJS Ketenagakerjaan telah menangani sebanyak 38

kasus JKK-RTW (Return To Work). Salah satu penyebab kejadian ini adalah pelaksanaan dan

pengawasan K3 yang belum maksimal, sekaligus perilaku masyarakat industri pada

khususnya dan masyarakat pada umumnya, belum optimal. Peristiwa kecelakaan tersebut

harus dijadikan pelajaran yang sangat berharga agar tidak terulang kejadian yang sama.
Untuk itu, peningkatan upaya-upaya K3 masih terus dibutuhkan dalam mencegah

kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. (BPJS Ketenagakerjaan)


Data tersebut hanya menyebutkan angka kecelakaan kerja yang berupa cidera fisik seperti

tertimpa, terpotong, luka, terbakar dan lain sebagainya. Data yang disebabkan oleh kondisi

kerja yang tidak aman dan bersifat kronis yang baru dapat diketahui dalam jangka panjang

belum disebutkan.
Meskipun demikian, setidaknya telah mencerminkan bahwa manejemen K3 yang ada di

indonesia masih lemah, baik dari segi pengawasan oleh pemerintah, kebijakan yang

dikeluarkan perusahaan maupun dari segi implementasinya.

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kebijakan
Menurut Lasswell (1970): Kebijakan adalah sebagai suatu program pencapaian tujuan,

nilai-nilai dan praktik-praktik yang terarah (a projected program of goals values and

practices). Menurut Anderson (1979): kebijakan adalah serangkaian tindakan yang

mempunyai tujuan tertentu yang mesti diikuti dan dilakukan oleh para pelakunya untuk

memecahkan suatu masalah (a purposive corse of problem or matter of concern).


Menurut Heclo (1977): kebijakan adalah cara bertindak yang sengaja dilaksanakan untuk

menyelesaikan masalah-masalah. Menurut Eulau (1977): kebijakan adalah keputusan tetap,

dicirikan oleh tindakan yang bersinambung dan berulang-ulang pada mereka yang membuat

dan melaksanakan kebijakan. Menurut Amara Raksasa Taya (1976): kebijakan adalah suatu

taktik atau strategi yang diarahkan untuk mencapai tujuan.


Menurut Friedrik (1963): kebijakan adalah serangkaian tindakan yang diajukan

seseorang, group, dan pemerintah dalam lingkungan tertentu dengan mencantumkan kendala-

kendala yang dihadapi serta kesempatan yang memungkingkan pelaksanaan usulan tersebut

dalam upaya mencapai tujuan.


Menurut Budiardjo (1988): kebijakan adalah sekumpulan keputusan yang diambil oleh

seorang pelaku atau kelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-cara

untuk mencapai tujuan tersebut.


Menurut Carter V. Good (1959): kebijakan adalah sebuah pertimbangan yang didasarkan

atas suatu nilai dan beberapa penilaian terhadap faktor-faktor yang bersifat situasional, untuk

mengoperasikan perencanaan yang bersifat umum dan memberikan bimbingan dalam

pengambilan keputusan demi tercapainya tujuan.


Menurut Indrafachrudi (1984): kebijakan adalah suatu ketentuan pokok yang menjadi

dasar dan arah dalam melaksanakan kegiatan administrasi atau pengelolaan.


Menurut Carl Friedrich: Kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan

dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya

mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan.
Menurut PBB: Kebijakan adalah suatu deklarasi mengenai dasar pedoman (untuk)

bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktivitas-aktivitas tertentu

atau suatu rencana.


Menurut KBBI: Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis dan

dasar rencana dalam pelaksanaan pekerjaan, kepemimpinan, serta cara bertindak (tetang

perintah, organisasi, dan sebagainya).


Menurut Anderson: Kebijakan adalah suatu tindakan yang mempunyai tujuan yang

dilakukan seseorang pelaku atau sejumlah pelaku untuk memecahkan suatu masalah.
Menurut Mustopadidjaja: Kebijakan adalah keputusan suatu organisasi yang

dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan tertentu sebagai keputusan atau untuk mencapai

tujuan tertentu, berisikan ketentuan-ketentuan yang dapat dijadikan pedoman perilaku dalam:
1. pengambilan keputusan lebih lanjut, yang harus dilakukan baik kelompok sasaran

ataupun (unit) organisasi pelaksana kebijakan.


2. penerapan atau pelaksanaan dari suatu kebijakan yang telah ditetapkan baik dalam

hubungan dengan (unit) organisasi pelaksana maupun dengan kelompok sasaran yang

dimaksudkan.
Menurut pendapat berberapa ahli mengenai kebijakan diatas dapat disimpulkan bahwa

kebijakan adalah serangkaian tindakan atau keputusan yang mempunyai tujuan yang terarah

dalam suatu organisasi dalam ruang lingkup tertentu yang menjadi dasar untuk memecahkan

suatu permasalahan.

2.2 Pengertian K3
Menurut Mangkunegara, keselamatan dan kesehatan kerja adalah suatu pemikiran dan

upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmaniah maupun rohaniah tenaga

kerja pada khususnya, dan manusia pada umumnya, hasil karya dan budaya untuk menuju

masyarakat adil dan makmur.


Menurut Sumamur (1981), keselamatan kerja merupakan rangkaian usaha untuk

menciptakan suasana kerja yang aman dan tentram bagi para karyawan yang bekerja di

perusahaan yang bersangkutan.


Menurut Simanjuntak (1994), keselamatan kerja adalah kondisi keselamatan yang bebas

dari resiko kecelakaan dan kerusakan dimana kita bekerja yang mencakup tentang kondisi

bangunan, kondisi mesin, peralatan keselamatan, dan kondisi pekerja.


Mathis dan Jackson, menyatakan bahwa keselamatan adalah merujuk pada perlindungan

terhadap kesejahteraan fisik seseorang terhadap cidera yang terkait dengan pekerjaan.

Kesehatan adalah merujuk pada kondisi umum fisik, mental dan stabilitas emosi secara

umum.
Menurut Ridley, John (1983), mengartikan kesehatan dan keselamatan kerja adalah suatu

kondisi dalam pekerjaan yang sehat dan aman baik itu bagi pekerjaannya, perusahaan

maupun bagi masyarakat dan lingkungan sekitar pabrik atau tempat kerja tersebut.
Pengertian keselamatan dan kesehatan kerja menurut Keputusan Menteri:
Tenaga Kerja R.I. No. Kep. 463/MEN/1993 adalah keselamatan dan kesehatan kerja

adalah upaya perlindungan yang ditujukan agar tenaga kerja dan orang lainnya di tempat

kerja /perusahaan selalu dalam keadaan selamat dan sehat, serta agar setiap sumber produksi

dapat digunakan secara aman dan efisien.


Lalu Husni, 2003: 138, ditinjau dari sudut keilmuan, kesehatan dan keselamatan kerja

adalah ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya

kecelakaan dan penyakit akibat kerja di tempat kerja.


Dari beberapa pendapat para ahli diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Kesehatan dan

Keselamatan Kerja adalah ilmu dan penerapannya untuk menciptakan dan menjamin kondisi

dalam pekerjaan yang sehat baik jasmani maupun rohani, efisien dan terkendali bagi pekerja,

peralatan, perusahaan, dan lingkungan untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja dan

penyakit akibat kerja ditempat kerja.

2.3 Pengertian Kebijakan K3


Berdasarkan simpulan-simpulan diatas dapat disimpulkan bahwa Kebijakan Kesehatan

dan Keselamatan Kerja adalah serangkaian tindakan dan keputusan yang bertujuan

menciptakan dan menjamin kondisi dalam pekerjaan yang sehat baik jasmani maupun

rohani,efisien dan terkendali bagi pekerja, peralatan,perusahaan dan lingkungan untuk

mencegah terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja di tempat kerja.
Oleh sebab itu, Kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja sangat penting dan menjadi

landasan utama perusahaan yang diharapkan dapat menggerakkan semua warga perusahaan

sehingga program Kesehatan dan Keselamatan Kerja yang diinginkan dapat berjalan dengan

baik.
Walaupun demikian, suatu kebijakan harusnya tidak hanya hitam diatas putih saja tanpa

implementasi dan komitmen yang berkelanjutan sehingga kebijakan tersebut hanya akan sia-

sia tanpa memberi suatu manfaat, karena tanpa komitmen yang kuat suatu kebijakan tidak

akan berhasil dengan baik.

2.4 Peran Pimpinan Terhadap Kebijakan K3


Tanpa komitmen dari semua warga perusahaan khususnya para pimpinan, pelaksanaan

Kesehatan dan Keselamatan Kerja tidak akan berjalan dengan baik. Semboyan bahwa

keselamatan harus mulai dari atas menunjukkan secara tegas pentingnya peranan

pemimpin perusahaan bagi keberhasilan program keselamatan. Pimpinan atau pengawas

kelompok tenaga kerja, ahli kesehatan dan staf lainnya tidak pernah berhasil banyak apabila

pimpinan perusahaan tidak mengambil tugas kepemimpinan dalam meningkatkan dan

mempertahankan standar keselamatan yang tinggi. (sumamur, 1981).


Berbagai bentuk komitmen yang dapat diimplementasikan oleh pimpinan dalam tindakan

dan sikap sehari-hari adalah


1. Dengan memenuhi semua ketentuan Kebijakan dan Keselamatan Kerja yang telah diatur

dalam undang undang, seperti prosedur penggunaan alat, standarisasi Alat Pelindung

Diri, dan berbagai persyaratan lainya.


2. Menjadi contoh bagi semua warga perusahaan perilaku sehari-hari yang mencerminkan

kebijakan K3 yang diterapkan.

3. Memasukkan Kesehatan Dan Keselamatan kerja dalam setiap kesempatan, rapat, apel

pagi, Monitoring, dan berbagai pertemuan lainya.

4. Secara berkala dan konsisten mengkomunikasikan keinginan dan harapannya mengenai

Kesehatan dan Keselamatan Kerja kepada semua warga perusahaan.

5. Melibatkan diri dalam setiap kegiatan yang berkaitan dengan Kesehatan dan Keselamatan

Kerja seperti audit Keselamatan dan Kesehatan kerja dan kampanye pentingnya

Kesehatan dan Keselamatn Kerja.

6. Memberi dukungan nyata dalam bentuk sumberdaya yang diperlukan untuk

terlaksananya Kesehatan dan Keselamatan Kerja di perusahaan.

7. Menyediakan Fasilitas pendukung seperti unit kesehatan dan pengecekan kondisi

kesehatan warga perusahaan yang dilakukan dengan interval waktu tertentu.

2.5 Pembuatan Kebijakan K3


Kebijakan Kesehatan dan Keselamatan kerja seharusnya dibuat berdasarkan konsultasi

antara pengurus dan wakil tenaga kerja dengan berlandaskan undang undang yang mengatur

tentang pembuatan Kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja yang kemudian harus

disebarluaskan kepada semua warga perusahaan. Kebijakan Kesehatan dan Keselamatan

Kerja harus selalu ditinjau ulang dalam interval waktu tertentu dalam rangka peningkatan

kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Maka dari itu Kebijakan Kesehatan dan
Keselamatan kerja harus tertulis agar mudah dalam melakukan peninjauan ulang dan alasan

lain Kebiajakan K3 harus tertulis karena :


1. Kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja sebagai pedoman kerja sehari-hari.

2. Mempermudah dalam pelaksanaan dan pengawasan

3. Kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja menjadi pedoman dalam penyusunan

peraturan Kesehatan dan keselamatan kerja perusahaan.

4. Mempermudah pekerja untuk mengikuti ketentuan dan peraturan kesehatan dan

Keselamatan kerja

Dalam membuat sebuah kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja perlu

memperhatikan berbagai aspek berikut seperti :

1. Singkat dan menggunakan diksi yang mudah dipahami. Hal ini dimaksudkan agar

pembaca dapat secara mudah memahami apa yang menjadi tujuan dari kebiajakan yang

dibuat.

2. Menetapkan bagaimana mengatur pelayanan kesehatan kerja.

3. Mengalokasikan berbagai tanggung jawab terhadap Kesehatan dan Keselamatan Kerja

dalam perusahaan.

4. Memastikan agar kebijakan yang dibuat dapat diketahui semua warga perusahaan.

5. Menetapkan tindakan-tindakan yang dapat diambil ketika terjadi kecelakaan kerja.


6. Kebijakan dapat dinyatakan dalam bentuk pernyataan visi dan misi sebagai suatu

dokumen yang mencerminkan nilai Kesehatan dan Keselamatan Kerja perusahaan.

7. Menegaskan tugas dan tanggung jawab pimpinan departemen/bagian Kesehatan dan

Keselamatan kerja sebagai penggerak utama dalam proses mensosialisasikan tujuan-

tujuan kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja.

8. Dicetak alam bahasa atau media yang mudah dipahami dan dapat diberi gambar-gambar

untuk memepermudah pemahaman.

9. Harus di sosialisasikan ke berbagai sudut perusahaaan agar semua warga perusahaan

mempunyai kesempatan yang sama dalam mengetahui Kebijakan Kesehatan dan

Keselamatan Kerja perusahaan.

10. Dalam pemasangannya harus diperhatikan faktor ergonomi dan penempatannya dapat

dibaca dengan mudah agar tujuan kebijakan yang dimaksud dapat dimengerti secara

maksimal.

2.6 Kriteria Kebijakan K3


Sebuah kebijakan yang baik harus memenuhi beberapa kriteria antara lain :
1. Sesuai dengan resiko yang ada dalam perusahaan.

Kebijakan K3 tentu berbeda antara satu perusahaan dengan perusahaan lain, tergantung

jenis bahaya yang ada dalam sebuah perusahaan tersebut. Sebagai contoh perusahaan yang

bergerak dibidang kontraktor instalasi listrik akan mempunyai kebijakan yang berbeda

dengan perusahaan/instansi pelayanan kesehatan masyarakat. Jika pada perusahaan kontaktor

instalasi listrik akan membuat kebijakan tentang bahaya instalasi di gedung bertingkat maka

pada perusahaan pelayanan kesehatan masyarakat tidak membuat kebijakan seperti itu, akan
tetapi membuat kebijakan mengenai bahaya terhadap penularan penyakit tertentu oleh pasien.

Kebijakan yang sesuai dengan resiko yang ada akan membuat kebijakan tersebut efektif dan

bermanfaat.

2. Menyesuaikan perkembangan teknologi.

Teknologi yang digunakan disebuah perusahaan semakin berkembang dewasa ini,

sehubungan dengan itu kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja perlu mengikuti

teknologi yang ada. Sebuah inovasi teknologi baru akan mempunyai resiko yang berbeda

dengan teknologi sebelumnya maka perusahaan harus selalu menyesuaikan kebijakan

kesehatan dan keselamatan kerja seiring dengan berkembangnya teknologi yang dipakai

dalam suatu perusahaan.

3. Didokumentasikan, diimplementasikan dan dipelihara.

Kebijakan yang dibuat seharusnya didokumentasikan, artinya kebijakan tersebut dikemas

dalam sebuah poster ataupun prosedur-prosedur penggunaan suatu alat yang dapat

memberikan informasi kepada pembaca bahwa diperusahaan tersebut terdapat kebijakan

yang harus diimplementasikan dan ditaati dalam setiap kegiatannya oleh semua warga

perusahaan. Selain itu semua warga perusahaan wajib mempelihara kebijakan-kebijakan

tersebut demi keselamatan dan kesehatan kerja semua warga perusahaan.

4. Dikomunikasikan dengan baik.

Kebijakan yang dibuat telah dikomunikasikan kepada seluruh warga perusahaan dengan

tujuan seluruh warga perusahaan memahami maksud dan tujuan kebijakan kesehatan dan

keselamatan kerja tersebut. Hal ini dapat dilakukan oleh pimpinan ataupun lembaga terkait
yang bertanggung jawab atas kesehaatan dan keselamatn kerja di perusahaan tersebut dengan

cara mengingatkan setiap apel pagi ataupun monitoring secara langsung saat karyawan

bekerja.

5. Telah disosialisasikan.

Kebijakan yang telah dibuat seharusnya telah disosialisasikan kepada seluruh warga

perusahaan sehingga mereka tidak hanya mengetahui saja namun telah mempunyai

kompetensi untuk mengimplementasikan secara baik dan benar dalam kegiatan setiap

harinya. Ini dapat dicapai dengan adanya pelatihan dan sosialisasi singkat terhadap kebijakan

yang ada.

6. Kebijakan yang dibuat mencakup Kesehatan dan Keselamatan kerja pihak lain yang

terlibat.

Kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja yang dibuat harus mengatur pihak lain yang

terlibat seperti mitra bisnis, masyarakat sekitar, pemasok, pelanggan dan lain-lain yang tak

jarang terlibat dalam perusahaan. Selain itu memastikan juga untuk mensosialisasikannya

kepada pihak tersebut agar mereka mengetahui dan dapat mengimplementasikannya.

7. Ditinjau ulang dengan interval waktu tertentu.

Kebijakan yang dibuat perlu ditinjau ulang dengan interval waktu tertentu untuk melihat

apakah kebijakan tersebut masih relevan. Peninjauan ini penting untuk memastikan bahwa

kebijakan yang ada masih sesuai dengan teknologi dan kondisi yang ada. Sehingga kebijakan
tersebut dapat diimplementasikan dengan tepat dan efisien. The main objectives of such

monitoring are to:

a. identify real hazards;

b. determine the level of workers exposure to harmful agents;

c. prove compliance with regulatory requirements;

d. assess the need for control measures; and

e. ensure the efficiency of control measures in use. (Benjamin O. Alli, 2008)

8. Berlandaskan perundang-undangan yang berlaku.

Sebuah kebijakan seharusnya dibuat dengan pedoman Undang-undang yang berlaku di

indonesia. Hal ini dimaksudkan agar kebijakan yang dibuat sesuai dan sejalan dengan

undang-undang, serta kebijakan yang dibuat tidak menyalahi undang-undang, tidak

menyalahi disini dalam artian kebijakan yang dibuat benar-benar mementingkan kesehatan

dan keselamatan kerja seluruh warga perusahaan.

2.7 Perundang-undangan dalam Keselamatan Kerja


Undang- Undang Dasar 1945 menerangkan hak setiap warga negara atas pekerjaan dan

penghasilan yang layak bagi setiap warga negara. Apabila keselamatan tenaga kerja sebagai

pelaksanaannya adalah terjamin maka akibat kecelakaan kerja seperti cacat, kematian dan

penyakit akibat kerja bertentangan dengan undang-undang dasar 1945. Atas dasar Undang-

Undang Dasar 1945 maka lahirlah berbagai undang-undang dan peraturan yang mengatur

tentang keselamatan tenaga kerja di Indonesia. Pembangunan ketenagakerjaan berdasarkan


Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia. ( Bab II Pasal 2 UU No.

13 Th. 2003).
Terdapat undang-undang khusus yang memang sengaja dibuat untuk membahas

menegenai kesehatan dan keselamatan kerja. Setidaknya terdpat 5 landasan dasasr undang-

undang yang mengatur kesehatan dan keselamatan kerja, diantara undang- undang tersebut

adalah :
1. Undang- Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

2. Undang- Undang No. 3 Tahun 1969 Tentang Persetujuan Konvensi ILO Nomor 120

Mengenai Higiene Dalam Perniagaan dan Kantor-Kantor.

3. Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja

4. Undang- Undang No. 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja

5. Undang- Undang No. 3 Tahun 1992 Tentang Kesehatan dan undang-undang lainnaya.

2.8 Pentingnya Perundang-undangan Keselamatan Kerja


Keberadaan dan ditaati nya sebuah undang-undang beserta peraturan peraturan dalam

pelaksanaanya menjadi hal yang sangat penting dan wajib dalam penyelenggaraan kesehatan

dan keselamatan kerja. Tanpa undang undang yang mengatur maka suatu kebijakan yang

dibuat perusahaan tidak akan tepat sasaran dan bahkan bisa berpihak kepada perusahaan

bukan berpihak kepada kesehatan dan keselamatan kerja tenaga kerja.


Selain dalam pembuatan, dalam implementasi suatu kebijakan juga memperlukan

undang-undang untuk mengatur tentang pengawasan dan tindak lanjut jika terjadi

pelanggaran. Maka dari itu perlu adannya undang undang yang mengatur tentang segala hak

dan kewajiban tenaga kerja untuk mendapatkan perlindungan terhadap keselamatan kerja.
Seperti yang diatur dalam undang undang No. 14 Tahun 1969 tentang ketentuan ketentuan

pokok mengenai tenaga kerja.


1. Tiap tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatan, kesehatan,

kesusilaan, pemeliharaan moral kerja serta perlakuan yang sesuai dengan martabat

manusia dan moral agama (Pasal 9)

2. Pemerintah membina perlindungan tenaga kerja yang mencakup :

3. Norma kesehatan dan higiene perusahaan

4. Norma keselamatan kerja

5. Norma kerja

6. Pemberian ganti kerugian, perawatan dan rehabilitasi dalam hal kecelakaan kerja (Pasal

10)

Meski undang- undang No. 14 tahun 1969 ini telah dicabut dan digantikan oleh undang-

undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan namun perlu digaris bawahi jika

ketentuan dasar dari undang- undang No. 14 Tahun 1969 ini menjelaskan bahwa kesehatan,

keselamatan, kesehatan moral dan kesusilaan tenaga kerja adalah hak seluruh tenaga kerja

serta pemerintah berperan dalam melindungi seluruh hak tenaga kerja. Dengan ini dapat

disimpulkan bahwa keberadaan undang- undang sangat perlu dan penting dalam proses

penyelenggaraan kesehatan dan keselamatan kerja untuk melindungi segala hak tenaga kerja

yang berkaitan dengan kesehatan dan keselamtan kerja baik fisik maupun moral, serta untuk

mengatur dalam pembuatan kebijakan K3 diperusahaan maupun dalam implementasi dan

pengawasannya.
2.9 Faktor-faktor penyebab kecelakaan kerja di Perusahaan
Penyebab kecelakaan kerja di berbagai bidang perusahaan sangat beragam, namun secara

umum faktor penyebab kecelakaan kerja disebabkan oleh


1. Manusia

Manusia yang dimaksud adalah semua orang yang ikut berperan atau bekerja pada suatu

area kerja. Ruang lingkup manusia disini adalah manajer sebagai pembuat kebijakan,

engginer sebagai perencana alat dan ruangan, pelaksana maupun supervisor yang

bertanggung jawab terhadap para pelaksana. Dalam kenyataannya manusia banyak yang

menjadi penyebab utama kecelakaan dan bahkan menjadi korban dari kcelakaan yang mereka

buat sendiri yang tak jarang sampai mengakibatkan kematian. Hal ini disebabkan oleh faktor

internal perseorangan yang bersangkutan, antara lain :

a. Kurangnya kemampuan
Secara fisik : Tinggi, berat, jangkauan, kekuatan, pengelihatan, pendengaran,

pernafasan dan lain sebagainya, maka dari itu perusahaan wajib mengadakan

tes kesehatan pada penerimaan tenaga kerja untuk mengetahui kondisi fisik

calon karyawan.
Secara mental : Bakat dan kecerdasan, daya ingat, ketangkasan, permasalahan

yang sedang dialami dan lain sebagainya.


b. Kurangnya pengetahuan : kurang memahami pekerjaan, kondisi area kerja dan

resiko yang ada di tempat kerja. Pengalaman sangat berpengaruh pada kecelakaan

kerja sehingga pelatihan tenaga kerja baru sangat berguna bagi pengantisipaian

kecelakaan kerja.
c. Kurang keterampilan : skill bekerja, bekerja tidak sesuai prosedur yang benar,

tidak sesuai dengan bakat.


d. Stress
Secara fisik : beban tugas yang berat, kurang istirahat, temperatur yang

ekstrim, kelembaban, oksigen di tempat kerja dll. Stress yang dialami oleh

para karyawan menurut Sukmawati dapat disebabkan antara lain karena :


Frustasi, yaitu apabila ada halangan yang menghambat maksud dan tujuan

yang diinginkan,
Konflik, yaitu terjadi jika tidak dapat memilih antara dua atau lebih kebutuhan

/ tujuan yang diinginkan,

Tekanan/ krisis, yaitu beban kerja mental dan fisik sehari-hari meskipun kecil

tetapi menumpuk dapat menyebabkan stres yang hebat.

Secara mental : emosi, lelah pikiran, penyakit, frustasi.

Kelelahan (kelesuan), adalah perasaan subjektif, akan tetapi berbeda dengan

kelemahan dan memiliki sifat bertahap (wowo sunaryo kuswono, 2015: 155)

e. Kurang motivasi : bekerja tidak sesuai prosedur agar cepat selesai, pengejaran

target agar mendapat bonus, hal yang lucu menggunakan APD yang sesuai

prosedur dll.
f. Alat
Kondisi peralatan yang sudah tidak layak
Penyedian Alat Pelindung Diri
Kurangnya perawatan alat
2. Lingkungan
Faktor lingkungan atau biasa disebut (unsafe condition) yaitu kondisi tidak aman

dari mesin, peralatan, lingkungan kerja, proses kerja, sistem kerja, ergonomi, dampak dari

proses produksi seperti temperatur ekstrim, bahan kimia, debu, serbuk besi dan lain

sebagainya. Ergonomi merupakan studi bersifat multidisiplin ilmu yang berakar mulai

dari neurologi, anatomi, fisiologi,kinesiologi dan biomekanika tubuh manusia, psikologi,


higiene, antropometri, matematika komputasi, tempat (alam/buatan, rekayasa,

pemrograman dan seni yang berorientasi pada proses dan produk secara sinergi dengan

alat atau mesin yang dimanfaatkan secara aman, nyaman dan memberikan kepercayaan

adanaya keselamatan kerja yang tinggi, melalui medote tertentu (Wowo Sunaryo

Kuswono, 2014).
Dari penyelidikan-penyelidikan, ternyata faktor manusia dalam timbulnya

kecelakaan kerja sangat tinggi, selalu ditemui dari hasil-hasil penelitian bahwa 80%

sampai 85% kecelakaan kerja disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan manusia

(Sumamur, 1985). Menurut sumamur faktor penyebab kecelakaan kerja tertinggi adalah

faktor manusia dengan berbagagai penyebab seperti kelelahan, beban kerja yang tinggi,

kelelaian dan kesalahan prosedur.

KESIMPULAN

Manajemen K3 yang ada di Indonesia masih lemah, baik dari segi pengawasan oleh

pemerintah dan perusahaan, kebijakan yang dikeluarkan perusahaan maupun dari segi

implementasinya. Undang undang yang ada di Indonesia sebenarnya sudah baik hanya saja ada

beberapa pasal yang sudah tidak relevan dan perlu adanya revisi. Untuk mencapai tujuan K3
yaitu melindungi, menjamin dan meningkatkan keselamatan, kesejahteraan dan produktifitas

setiap tenaga kerja di berbagai bidang pekerjaan dapat tercapai maka dapat dilakukan dengan :

1. Merevisi UU No. 13 Tahun 1970 terkait sanksi bagi perusahaan yang melanggar undang

undang kesehatan dan keselamatan kerja. Dengan merevisi UU ini dimaksudkan agar

perusahaan lebih serius dalam mengupayakan kesehatan dan keselamatan kerja bagi

tenaga kerjanya.

2. Meningkatkan pengawasan ditingkat nasional. Pada dasarnya undang undang

keselamatan dan kesehatan kerja di indonesia sudah bagus meskipun beberapa sudah

tidak relevan dan perlu direvisi namun pengawasan ditingkat nasional belum maksimal

maka perlu ditingkatkan dalam hal pengawasan.

3. Menindak tegas perusahaan yang memiliki angka kecelakaan kerja tinggi. Pemerintah

dinilai kurang dalam penindakan perusahaan yang memiliki angka kecelkaan tinggi,

angka kecelakaan yang tinggi ini menunjukkan bahwa implementasi Keselamatan dan

Kesehatan Kerja diperusahaan tersebut masih lemah. Penindakaan dimaksudkan agar

perusahaan memperbaiki standar dan implementasi Kesehatan dan Keselamatan Kerjanya

sehingga angka kecelakaan kerja menurun.


4. Meningkatkan pengawasan ditingkat perusahaan. Dengan pengawasan ditingkat nasional

digencarkan dan penindakan terhadap perusahaan yang memiliki angka kecelakaan kerja

tinggi ditindak tegas maka pengawasan ditingkat perusahaan oleh manajer atau bagian

yang berwenang secara tidak langsung akan meningkat.

5. Meningkatkan pengawasan ditingkat tenaga kerja secara langsung oleh penaggung jawab

bagian atau supervisor. Peningkatan pengawasan dari tingkat nasional sesungguhnya

dimaksudkan agar bermuara di pengawasan secara langsung kepada tenaga kerja juga

meningkat. Jika tenaga kerja merasa terawasi maka tenaga kerja akan selalu mentaati

kebijakan dan peraturan peraturan yang ada di perusahaan tersebut serta akan

mengimplementasikannya kedalam pekerjaanya sehari-hari. Dengan ini maka lambat

laun tenaga kerja/seluruh warga perusahaan akan terbiasa dan karna terbiasa maka

budaya K3 akan terbentuk dan tertanam disetiap warga perusahaan. Budaya perusahaan

adalah pola terpada perilaku manusia di dalam organisasi/perusahaan, termasuk

pemikiran, tindakan pembicaraan yang dipelajari dan diajarkan kepada genarasi

penerusnya (Qomariatus Sholihah & Wahyudi Kuncoro, 2011: 22).

Jadi jika budaya di perusahaan sudah merupakan budaya K3 maka pada generasi penerusnya

juga akan berbudaya K3, namun jika seniornya saja tidak berbudaya K3 dalam bekerja maka

para generasi penerusnya/juniornya juga tidak berbudaya K3.


6. Memberikan sosialisasi pentingnya K3 kepada tenag kerja. Memberikan sosialisasi juga

hal yang sangat penting agar tenaga kerja dapat mengetahui pentingnya K3 dan

mengetahui pencapaian yang perusahan inginkan dilingkup K3.

7. Perusahaan lebih mementingkan kesehatan dan keselamatan tenaga kerjanya dari pada

pencapaian target produksi. Karena perusahaan yang lebih mementingkan target produksi

menjadi kurang memperhatikan kesehatan dan keselamatan kerja tenaga kerjanya.

8. Perusahaan harus mentaati perundang-undangan yang berlaku tentang ketenagakerjaan

dan keselamatan kerja, serta dalam membuat kebijakan harus berdasarkan UU serta

menjamin keselamatan kerja tenaga kerja.

9. Kesadaran tenaga kerja untuk berperilaku safety first dalam setiap pekerjaanya pada

saat diawasi maupun tidak diawasi karena kecelakan kerja dapat menimpa siapapun dan

dimanapun.

10. Tenaga kerja harus sadar bahwa kesehatan dan keselamatan kerja adalah hak mereka

sehingga jika kesehatan dan keselamatan mereka tidak terpebuhi mereka harus protes
atau meminta perusahaan memenuhi hak mereka. Karena sebesar apapun gaji jika

kesehatan dan keselamatan kerja tidak terpenuhi adalah hal yang percuma. Gaji tersebut

akan habis mereka gunakan untuk berobat dihari tua.

Selain itu dalam melakukan pengawasan pemerintah juga mengalami kesulitan. Kesulitan

kesulitan itu antara lain :

1. Jumlah pengawas tak sebanding dengan perusahaan dan objek yang diamati.

2. Keterbatasan anggaran.

3. Keterbatasan lapangan kerja terhadap tenaga kerja sehingga tenaga kerja kurang

merespon jika hak-hak K3 nya tidak terpenuhi.

Seorang pekerja yang berada pada lingkungan yang aman dan memiliki kesehatan yang baik

akan cenderung lebih produktif dan memberikan keuntungan jangka panjang bagi perusahaan.

Dengan memberikan aspek Kesehatan dan Keselamatan kerja maka perusahaan secara tidak

langsung telah mempunyai investasi dalam jangka panjang ( Nurhening Yuniarti, 2014: 255)

Agar kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat diminimalisir perlu kesadaran dan peran aktif

dari semua warga perusahaan karena sebaik-baik nya kebijakan yang dibuat tanpa kesadaran dan

peran aktif dari semua warga perusahaan tidak akan berjalan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

Sumamur (1981). Keselamatan kerja & pencegahan kecelakaan. Jakarta: PT Gunung Agung.

Wowo sunaryo kuswana (2015). Mencegah Kecelakaan Kerja. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

Wowo sunaryo kuswono (2014). Ergonomi dan K3. Bandung. PT Remaja Rosdakarya.

Sumamur (2014). Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes). Jakarta: CV Sagung

seto.

Qomariyah Sholihah & Wahyudi Kuncoro (2011) Keselamatan dan Kesehatan Kerja Konsep

Perkembangan Dan Implementasi Budaya Keselamatan. Jakarta: penerbit buku kedokteran EGC.
Nurhening Yuniarti (2014). Urgensi Pendidikan Kesehatan dan Keselamatan Kerja pada

Pendidikan Kejuruan. Yogyakarta. STTN Batan.

Benjamin O. Alli (2008). Fundamental principles of occupational health and safety. International

Labour Office Geneva. ILO Cataloguing in Publication Data.

Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Undang-undang No. 1 thun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.

http://www.bpjsketenagakerjaan.go.id/page/Laporan-Kinerja/Laporan-Tahunan-.html

http://poskotanews.com/2016/01/12/menaker-angka-kecelakaan-kerja-masih-tinggi/

https://aplikasiergonomi.wordpress.com/2011/12/21/beban-kerja-mental-pada-karyawan/

https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/973

http://www.kspi.or.id/kspi-minta-pengawasan-k3-diperketat.html

http://hsecenter-id.com/seperti-apa-pengawasan-k3-perusahaan-di-jogja/

Anda mungkin juga menyukai