Anda di halaman 1dari 16

PENAFSIRAN IRADAH DAN MASYIAH (Menurut Tafsir Al-Manar, Al-

Maraghi, Al-Misbach)

Oleh : Muhammad Yusri

A. Pendahuluan
Al-Quran yang secara harfiah berarti "bacaan sempurna" merupakan suatu nama pilihan Allah
yang sungguh tepat, karena tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal baca tulis lima
ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi Al-Quran Al-Karim, bacaan sempurna lagi mulia
itu. Tiada bacaan seperti Al-Quran yang dipelajari bukan hanya susunan redaksi dan
pemilihan kosa katanya, tetapi juga kandungannya yang tersurat, tersirat bahkan sampai
kepada kesan yang ditimbulkannya. Semua dituangkan dalam jutaan jilid buku, generasi demi
generasi. Kemudian apa yang dituangkan dari sumber yang tak pernah kering itu, berbeda-
beda sesuai dengan perbedaan kemampuan dan kecenderungan mereka, namun semua
mengandung kebenaran.
Al-Quran diyakini oleh umat Islam sebagai kalamullah yang mutlak benar, berlaku
sepanjang zaman dan mengandung ajaran dan petunjuk tentang berbagai hal yang berkaitan
dengan kehidupan manusia di dunia dan di akhirat. Ajaran dan petunjuk al-Quran tersebut
berkaitan dengan berbagai konsep yang amat dibutuhkan oleh manusia dalam mengarungi
kehidupannya di dunia ini dan di akhirat kelak.
Namun demikian, al-Quran bukanlah kitab suci yang siap pakai, dalam arti berbagai konsep
yang dikemukakan al-Quran tersebut tidak langsung dapat dihubungkan dengan berbagai
masalah tersebut. Ajaran al-Quran tampil dalam sifatnya yang global, ringkas, dan general.
Untuk dapat memahami ajaran al-Quran tentang berbagai masalah tersebut mau tidak mau
seseorang harus melewati jalur tafsir sebagaimana telah dilakukan para ulama. (Nata, 2002:
2)
Tulisan ini secara khusus akan mengungkapkan tema tentang ayat-ayat Iradah dan
Masyiah. Al-Masyiah merupakan kehendak Allah yang bersifat umum. Tidak ada
sesuatupun di langit maupun di bumi melainkan terjadi dengan iradat/masyiah
(kehendak/keinginan) Allah SWT. Maka tidak ada dalam kekuasaannya yang tidak
diinginkannya selamanya. Baik yang berkaitan dengan apa yang dilakukan oleh zat Allah
atau yang dilakukan oleh makhluk-Nya.
Jadi masyiah (kehendak) manusia tidak boleh berdiri sendiri dan terlepas dari Masyiah
Allah. Allah menghendaki/menentukan supaya manusia memilih salah satu dari dua yaitu
jalan petunjuk yang benar atau jalan sesat. Sifat Iradah dan Masyiah yaitu Allah Maha
Berkehendak dan Maha melakukan apa yang dikehendaki-Nya seperti yang telah ditegaskan
dalam al-Quran Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya. (al-Buruuj: 16)
Kesimpulannya jika manusia itu memilih jalan yang diberi petunjuk oleh Allah, maka
termasuklah ia ke dalam kalangan Masyiah Allah dan sekiranya manusia memilih jalan yang
sesat itupun tergolong dikalangan Masyiah Allah.
Demikian sedikit pengantar tentang materi yang akan penulis uraikan, namun mengingat
luasnya pembahasan dan keterbatasan pengetahuan serta kurangnya pemahaman penulis,
maka tulisan ini hanya difokuskan pada Q.S. Al-Baqarah ayat 26 untuk ayat iradah dan Al-
Baqarah ayat 253 dan 284 untuk ayat Masyiah.

B. PEMBAHASAN
1. AYAT-AYAT MASYIAH
a. Tafsir Al-Manar

Q.S. AL-Baqarah ayat 284









Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. dan jika kamu
melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan
membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa
yang dikehandaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu.

Segala sesuatu adalah milik Allah, Allah mengampuni siapapun yang dikehendaki dengan
ampunan-Nya dan menyiksa siapapun yang dikehendaki dengan siksa-Nya. Allah
mengampuni dan menyiksa sesuai kecenderungan terhadap apa yang manusia usahakan.
Kehendak Allah mengandung rahmah, keadilan dan kebijaksanaan. Dasar keadilan adalah
memberi balasan keburukan sesuai kadar keburukan dengan menimpakan kesesatan jiwa
orang yang melakukan keburukan. Balasan kebaikan juga sesuai dengan kadar kebaikan dan
Allah menganugerahkan kebaikan pula dalam jiwa orang-orang yang berbuat kebaikan
(muhsinin). Dengan rahmah-Nya, Allah melipatgandakan balasan kebaikan 10 kali lipat dan
menambah sesuai kehendak-Nya. Adapun terhadap perbuatan buruk, balasannya tidak
dilipatgandakan. Banyak dijumpai ayat Al-Qur`an yang mengandung maksud seperti ini
dengan keterangan lengkap dan jelas.
Dosa yang diampuni oleh Allah [ / al-dzanbu al-maghfur] adalah dosa yang karena
taufik Allah, si pelaku dosa tersebut menutupnya dengan amal shalih yang membekas atau
memberi pengaruh dalam jiwanya.
Ada pendapat yang bodoh terhadap petunjuk al-Kitab yaitu yang mengatakan bahwa
cukuplah urusan-urusan itu diukur atau ditakar secara sembarangan (sewenang-wenang)
dengan mengedepankan ampunan secara kacau tanpa menggunakan aturan yang ditetapkan.
Apakah dia tidak membaca doa para malaikat untuk orang-orang mukmin :
-
-
(6-8: )
Al-Ustadz Al-Imam (Muhammad Abduh) berkata: Allah berkepentingan dalam penghitungan
untuk mengingatkan manusia dengan bertanya: Apakah kamu tidak melakukan? Maka
sesudah manusia mengetahui perbuatan-perbuatannya baik yang lahiriah maupun batiniah
diampuni atau disiksa, sebagian manusia yang belum sampai tahap melaksanakan
kemungkaran maka Allah mengampuni dosanya. Dan sebagian lagi menerima akibat dari apa
yang dia kerjakan dan dia kehendaki untuk memilihnya.
Allah telah menetapkan hal-hal yang berkaitan dengan urusan kehendak-Nya dengan
berfirman [ ] wa Allahu `ala kulli syai`in qodir yaitu dengan ketetapan-Nya
dia memutuskan hal-hal yang terkait kehendak-Nya (Ridha, 1935: 119).

Q.S. Al-Baqarah ayat 26

Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih
rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, Maka mereka yakin bahwa perumpamaan
itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: "Apakah maksud Allah
menjadikan ini untuk perumpamaan?." dengan perumpamaan itu banyak orang yang
disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya
petunjuk. dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik.

b. Menurut Ahmad Mustafa Al-Maraghi dalam tafsir Al- Maraghi

.
"Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?."
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, ayat ini sengaja diturunkan untuk menyucikan Al-Quranul-
Karim dari tuduhan Yahudi yang meragukan secara khusus mengenai contoh-contoh
peribahasa yang ada di dalam Al-Quran dalam hal yang sepele. Misalnya mengumpamakan
sesuatu dengan latar atau laba-laba. Hal ini dalam salah satu ayat Al-Quran dikatakan :



"Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka disengarkanlah olehmu perumpamaan itu.
Sesungguhnya segala Yang kamu sere selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor
lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas
sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah
yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah". (Al-Hajj, 22:73).

Juga firman Allah dalam Q.S. Al-Ankabut ayat 41 yang berbunyi:






"Perumpamaan orang-orang yang mengendalikan pelindung-pelindung selain Allah adalah
seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah
rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.

Allah sengaja menurunkan ayat ini setelah turunnya ayat yang menyucikan Al-Qur'an dari
prasangka buruk mereka secara umum, Karena, Allah menantang mereka untuk
mendatangkan yang semisal dengan Al-Qur'an. Allah mengemukakan masalah ini setelah
menjawab tuduhan mereka pada ayat-ayat sebelum ini. Dengan adanya tantangan Allah ini
semakin kelihatan bahwa adanya misal seperti itu tidak menunjukkan kelemahan Al-Qur'an.
Bahkan hal tersebut merupakan suatu bukti bahwa Al-Qur'an itu benar-benar dari Allah Yang
Maha Kuat dan Kuasa. Jadi, permasalahan yang diungkapkan merupakan suatu keagungan,
maka di dalam membuat misal pun harus dibarengi dengan ungkapan yang agung juga. Jika
permasalahan yang diungkapkan itu tidak seberapa, maka perumpamaannya pun harus
disesuaikan.
Jadi, maksud kata-kata misal itu hanya memperagakan makna yang dimaksud dalam bentuk
contoh yang dapat diindra. Sebab, tabiat jiwa selalu cenderung kepada hal yang itu, sekaligus
agar akal membayangkan yang tidak benar. Yang Maha bijaksana dan Maha mengetahui
masalah-masalah gaib akan lebih mengetahui hikmah yang terkandung dalam pengungkapan
cara ini. Jadi, sekalipun contoh itu merupakan hal yang paling kecil misalnya sebesar
nyamuk atau bahkan lebih kecil, Allah takkan meninggalkan misal itu jika dibutuhkan.
Dalam hal ini terdapat dua kelompok pendapat . (1) orang-orang beriman, mengatakan
bahwa sesungguhnya Allah-lah yang menciptakan semuanya itu, baik kecil maupun besar
yang di hadapan Allah sama tak ada bedanya. (2) Orang-orang kafir, mereka mengejek misal
yang tersebut di dalam ayat-ayat tersebut. Karenanya, mereka pasti akan mendapat murka
Allah. Sekarang, mereka adalah orang-orang yang rugi.

PENJELASAN




Allah Yang Maha Kuasa memandang bahwa mendatangkan contoh dengan sesuatu yang
sebesar nyamuk-bahkan lebih kecil, bukan merupakan kekurangan. Sebab, Allah-lah yang
menciptakan semuanya itu baik yang kecil maupun yang besar.

Kaum beriman mengatakan bahwa tidak sekali-kali Allah mendatangkan misal seperti itu
selain hikmah dan maslahat yang terkandung di dalamnya. Yaitu menetapkan semua yang
benar dan mengamalkan kebenaran itu.

Dalam hal ini Allah bermaksud mengungkapkan hal-hal yang samar supaya menjadi lebih
jelas, yaitu dengan cara mengungkapkan hal-hal maknawi dengan hal-hal yang dapat diindra.
Atau memperinci masalah yang ijmal (global) untuk menjelaskan masalah tersebut.
Orang yang kafir ialah kaum Yahudi dan orang musrik. Mereka sudah terbiasa menentang
kebenaran yang telah dijelaskan dengan hujjah dan bukti kebenaran. Mereka
mempertanyakan, apa yang dikehendaki Allah dengan mendatangkan misal yang "rendah" ini
yakni dengan memasukkan hal-hal remeh seperti lalat dan nyamuk ? Jika mereka ini
menyadari hikmah yang terkandung di dalam misal tersebut, jelas mereka itu tidak akan
perpaling atau menentang. Tetapi, memang demikianlah tabiat manusia itu sebagaimana yang
diungkapkan di dalam firman Allah SWT.

"Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah" (Al-Kahfi,: 54).
Kemudian, Allah menjawab pertanyaan mereka dengan firman berikut ini :


Seseorang yang akalnya diselimuti dengan kebodohan, ketika mendengar hal seperti ini
akan timbul rasa takaburnya, keras kepala dan menentang masalah. Dan itulah sebab utama
mereka tersesat dari kebenaran.
Kemudian, mengenai orang-orang yang sudah terbiasa melakukan kebaikan, sadar dan
mempunyai pandangan secara seksama, maka ketika mendengar misal tersebut mereka justru
mendapatkan suatu petunjuk dan inspirasi. Sebab, mereka akan selalu menghargai sesuatu
sesuai dengan kemanfaatannya masing-masing.
Merupakan suatu kenyataan bahwa perkataan paling baik adalah yang dapat mengungkapkan
kenyataan sesuatu. Dengan demikian, pihak pendengar akan mengetahui dan memahami cara
baik, di samping mengambil sebagai petunjuk ke arah kebenaran.
Dan di antara bentuk-bentuk pengungkapan tersebut yang paling baik adalah firman Allah
SWT.


"Dan perumpamaan-perumpamaan ini kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang
memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu". (Al-Ankabut, 29:43).
Yang dimaksud dengan orang berilmu ialah orang-orang beriman yang meniti jalan petunjuk
sebagai pedoman hidupnya, di samping sebagai prinsip di dalam hidup.
Kemudian, Allah SWT. memperlengkap jawaban sebagai tambahan penjelasan dengan
firman yang berbunyi :

."... Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik".
Maksudnya, tidak akan menyeleweng dari perumpamaan-perumpamaan yang ada di dalam
Al-Qur'an, kecuali orang-orang yang menyimpang dari Sunnatullah yang berlaku untuk
makhluk, dan menyimpang dari pemikiran sehat, perasaan jujur dan mengingkari kitab-kitab
yang diturunkan kepada mereka (ahli kitab).
Di dalam ayat tersebut terkandung suatu isyarat yang menunjukkan bahwa sebab kesesatan
mereka adalah ingkarnya mereka terhadap Sunnatullah yang ada pada dirinya, yang
seharusnya digunakan akal pikiran untuk merenungkan hikmah yang terkandung di dalam
perumpamaan-perumpamaan yang ada di dalam Al-Qur'an, sekalipun tampaknya remeh.
Hal inilah yang menyeret mereka ke alam kebodohan hingga mereka semakin tersesat dari
kebenaran. Kerena itulah mereka tetap mengingkari hal tersebut.
c. Menurut M. Quraish Shihab dalam tafsir Al- Mishbah
Thahir Ibn Asyur menulis bahwa secara lahiriah ayat ini tidak memiliki hubungan yang
serasi dengan ayat-ayat sebelumnya yang berbicara tentang keistimewaan al-Quran serta
sanksi atas pembangkang dan ganjaran buat yang taat. Lalu di sini tiba-tiba muncul
pernyataan bahwa Allah tidak malu membuat perumpamaan. Ibn Asyur menulis bahwa
sebenarnya bila diteliti akan ditemukan keserasian hubungannya. Menurut ulama asal Tunisia
ini ayat-ayat sebelumnya mengandung tantangan kepada sastrawan untuk menyusun walau
satu surah yang semisal al-Quran. Tetapi ketika mereka gagal, mereka menempuh cara lain
berupa kritik terhadap kandungannya dengan menyatakan bahwa ada kandungan yang tidak
sesuai dengan kebesaran dan kesucian Allah Swt. Ini guna menanamkan benih keraguan ke
hati orang-orang yang beriman atau ke hati mereka yang memiliki kecenderungan untuk
beriman.
Upaya mereka itu menurut Ibn Asyur lebih jauh, semakin menjadi-jadi setelah turunnya
ayat-ayat 17-20 yang memperupamakan orang-orang munafik dengan dua perumpamaan
yang buruk. Sebagian besar orang-orang munafik yang dimaksud adalah orang Yahudi yang
tidak mahir dalam sastra Arab. Mereka ingin juga mengkritik al-Quran, maka cara yang
dapat mereka lakukan adalah dengan berusaha menampilkan kelemahan kandungannya,
antara lain menyangkut perumpamaan-perumpamaan yang ditampilkan al-Quran.
Menurut al-Biqai, setelah terbukti ketidakmampuan mereka melayani tantangan al-Quran,
sehingga terbukti bahwa apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad adalah firman-firman-
Nya, maka setelah sebelum ini dinyatakan-Nya bahwa buah-buahan surgawi, tidak sama
dengan yang terdapat di dunia, walaupun dari segi penanamannya sama dengan yang
duniawi, walau dari segi nama dan bentuknya serupa, maka pada ayat ini diisyaratkan-Nya
bahwa matsal (perumpamaan) yang disajikan al-Quran, walau dari segi lahiriah sama dan
namanya pun sama dengan yang dikenal manusia, namun dari segi hakikat, ketepatan dan
kebenarannya sungguh berbeda, dan karena itu tidaklah tepat mengkritik dan menilainya
tidak wajar, karena sesungguhnya Allah tiada malu yakni tidak enggan membuat
perumpamaan contoh dan misal yang dapat mengesankan yaitu contoh berupa kutu atau yang
melebihinya yakni lebih rendah atau besar dari itu, dan yang boleh jadi diremehkan atau
dianggap tidak wajar dan tepat oleh orang-orang kafir. Adapun orang-orang yang beriman
dengan iman yang benar, maka mereka mengetahui dengan pasti bahwa itu adalah kebenaran
sempurna yang bersumber dari Allah, Tuhan Pemelihara mereka yang melimpahkan aneka
bimbingan untuk memelihara mereka, sedang orang-orang kafir yang kekufurannya terang-
terangan maupun yang sembunyi-sembunyi maka mereka akan terus berkata: Apakah
maksud Allah menjadikan sesuatu yang hina ini, satu perumpamaan? Pertanyaan mereka
dijawab: Dengan perumpamaan itu banyak orang yang menutup mata dan telinganya yang
terus menerus disesatkan Allah, karena mereka tidak mau mengerti dan banyak pula yang
terus menerus diberi-Nya tambahan petunjuk, karena keyakinan mereka akan ke-Maha
sempurnaan Allah; Allah tidak berbuat aniaya kepada yang Dia sesatkan karena Tidak ada
yang disesatkan Allah kecuali orang-orang fasiq yakni yang sebelumnya memang telah
mendarah daging dalam jiwanya kefasikan.
Malu ada mukadimahnya, yaitu perasaan yang meliputi jiwa akibat kekhawatiran dinilai
negatif oleh fihak lain, dan ada pula akibatnya yaitu meninggalkan, membatalkan, atau
menjahui perbuatan yang melahirkan perasaan itu. Akibat itulah yang dimaksud dengan
malu bagi Allah, yakni Allah tidak meninggalkan member perumpamaan walau
perumpamaan itu berupa ba`udhah. Ba`udhah dalam Tafsir al-jalalain diartikan sebagai
bentuk tunggal dari kata ba`udh, yakni kutu kecil. Kutu yang dimaksud, dijelaskan dalam
Hasyiat al-jamal ala al-jalalain sebagai binatang yang sangat kecil, menggigit dengan
menyakitkan, dan berbau sangat busuk. Memang tulisan lebih jauh kata yang digunakan
al-Qur`an itu dapat juga berarti nyamuk, tetapi bukan itu yang dimaksud di sini. Lebih jauh
al-jamal mengutip dari tafsir al-Khazin bahwa kutu itu sangat kecil, berkaki enam dan
bersayap empat, berekor dan berbelalai. Kendati ia kecil, belalainya dapat menembus kulit
gajah, kerbau dan unta, serta menggigitnya sampai-sampai unta dapat mati akibat gigitannya
itu.
Allah tidak malu memberi perumpamaan tentang kutu kecil yang diremehkan oleh kaum
musyrik dan dianggap tidak wajar untuk disebutkan oleh Allah, bahkan walau lebih besar dari
kutu itu pada nilai kerendahannya dalam pandangan kaum musyrik (yakni walau yang lebih
tidak bermutu darinya), atau lebih kecil dari kutu itu pada bentuk badannya atau bagian dari
bentuk badannya, misalnya hanya disayapnya saja. Hal ini seperti disabdakan Nabi saw:
Seandainya dunia ini memiliki nilai sebesar sayap kutu di sisi Allah, niscaya Dia tidak
menganugerahkan setetes airpun kepada seorang kafir. Ini karena tujuan memberi
perumpamaan adalah menjelaskan yang abstrak dalam bentuk konkret, sehingga menjadi
jelas adanya.
Kefasikan merupakan sifat yang menjadikan manusia keluar dan menjauh dari kebenaran dan
keadilan. Buah yang busuk ditunjuk dengan menggunakan akar kata fasiq, karena kulit buah
yang busuk terkelupas dengan sendirinya atau amat mudah dikelupas kulitnya sehingga ia
terpisah dari isinya. Demikian juga seorang fasiq. Ia keluar dengan kemaunnya sendiri dari
tuntunan Illahi, atau dengan mudah dikeluarkan dari kebenaran yang tadinya telah melekat
pada dirinya.
Kefasikan bermacam-macam dan bertingkat-tingkat, puncaknya adalah kekufuran. Al-qur`an
pun menggunakannya untuk makna-makna itu. Namun demikian dari segi pandangan hukum,
dan setelah para pakar mengamati sekian banyak dalil, maka pakar-pakar dari kelompok Ahl
as-Sunnah menyimpulkan bahwa kefasikan bukan kekufuran. Walaupun kefasikan sering
dilakukan, tetapi itu tidak menjadikannya seorang kafir selama ia tetap mengakui walau
dengasn lidahnya saja keesaan Allah dan kerasulan Nabi Muhammad saw.
Ucapan orang-orang kafir itu lahir dari kepribadian mereka yang buruk. Mereka dinilai Allah
memiliki tiga sifat buruk sehingga mengakibatkan kerugian dan bencana buat diri mereka
sendiri. Ayat ini dijadikan salah satu dasar untuk membuktikan bahwa ada kesesatan yang
menimpa seseorang karena keburukan amal perbuatannya selain kesesatan yang sejak semula
telah mengendap akibat kebejatan sifatnya. Ini difahami dari penegasan ayat di atas yang
menyatakan Dan tidak ada yang disesatkan kecuali orang-orang yang fasik.
Perlu dicatat bahwa hidayah dan kesesatan merupakan dua istilah yang mengandung makna-
makna menyeluruh mencakup semua jenis anugerah Allah untuk istilah hidayah dan
aneka kecelakaan dan kerugian bagi kata kesesatan.
Sementara ulama berpendapat bahwa ayat ini turun sebagai tanggapan atas orang-orang kafir
menyangkut firman-Nya tentang lalat ( Q.S. al-Hajj 73), dan laba-laba (al-Ankabut 41) yang
telah turun jauh setelah turunnya ayat ini. Jika demikian timbul pertanyaan yaitu, mengapa
bantahan tersebut baru dikemukakan sekarang di Madinah, jauh setelah turunnya ayat
tersebut?
Thahir Ibn Asyur menjawab bahwa hal ini dapat diserupakan dengan seorang dermawan
yang tidak member bantuan kepada musuhnya, sehingga sang musuh menuduhnya kikir atau
serupa dengan seorang pemberani yang menunda keterlibatannya dalam perang, berdasarkan
suatu siasat tertentu sehingga diduga oleh musuhnya bahwa ia takut. Tetapi kemudian yang
menuduh kikir datang dan memberi bantuan oleh sang dermawan, sipemberanipun sesaat
kemudian tampil menghancurkan musuhnya. Demikian juga al-Qur`an yang sebelum ini telah
tampil dengan perumpamaan-perumpamaan yang dikritik kaum kafir tetapi didiamkan dan
tidak ditanggapi. Setelah itu berlalu al-Qur`an tampil dengan ayat di atas yang mengandung
perumpamaan yang sangat indah, tetapi kini sambil membantah kritik mereka. Tidak ubahnya
dengan dermawan dan pemberani di atas.
2. AYAT-AYAT MASYIAH
Q.S. Al-Baqarah ayat 253














Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka etas sebagian yang lain. Di antara
mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) den sebagiannya Allah
meninggikannya beberapa derajat. Dan Kami berikan kepada Ise putra Maryam beberapa
muyizat serta Kami perkuat did dengan Ruhu 7-Qudus. Dan kalau Allah menghendaki,
niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah Rasul-rasul itu,
sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih,
make ada di antara mereka yang beriman den ada (pule) di antara mereka yang kafir.
Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah
berbuat ape yang dikehendaki-Nya.
Menurut Ahmad Mustafa Al-Maraghi dalam tafsir Al- Maraghi

Kebenaran Pasti Menang Terhadap Kebatilan.


Yakni, bahwa kebenaran pasti akan menumbangkan kebatilan. Kebenaran, pasti akan
menerima dukungan, yang akhirnya menang atas kebatilan, kendati kebatilan itu sudah
mengakar dan mempunyai kekuatan yang maha kokoh
Dalam hal tersebut, ayat di atas memberikan contoh konkret, seperti yang terjadi pada Jalut
orang kuat keturunan Palestina. Ia adalah penjajah bangsa Israel (Bani Israil) dengan
merampas sumber daya kehidupan dan negara milik Bani Israil.
Kemudian, kelompok ahlur-ra'yi kalangan Bani Israil mengadakan musyawarah, yang salah
satunya dihadiri oleh nabi" Samuel. Agenda musyawarah mereka ini adalah memilih
seorang raja yang akan memimpin Bani Israil. Di samping itu, raja tersebut akan diberi tugas
mempersiapkan bala tentara untuk melawan musuh mereka.
Pada akhirnya, mereka mengambil kata sepakat memilih salah seorang dari mereka sebagai
raja, yakni Thalut. Thalut, sudah mempersiapkan diri untuk maju ke medan perang
menghadang musuh. Dan mereka berhasil memenangkan peperangan itu karena izin Allah.
Daud, yang ketika itu adalah salah seorang prajurit tentara Thalut, berhasil membunuh Jalut.
Semua musuh pun, akhirnya lari terbirit. Kemenangan didapat kalangan Mu'min, dan kaum
watsani (penyembah berhala) menderita. kekalahan.
Kemenangan ini adalah lantaran kesigapan Daud yang oleh Allah dianugerahi pangkat
kerajaan dan kenabian. Di samping itu, diajari oleh Allah hal-hal yang mengandung manfaat
untuk tujuan mereka, seperti alat-alat perang, tameng, dan peralatan lainnya.
Selanjutnya, ayat tersebut menegaskan bahwa jika tidak ada kemurahan Allah, rahmat dan
kebijaksanaan-Nya yang mahatepat, yakni dengan dikalahkannya kelompok yang suka
melahirkan kerusakan, kejahatan dan kelakuan-kelakuan dosa oleh orang yang ahli dalam
bidang kebaikan dan suka melakukan kebaikan di bumi, maka tanaman yang ada di alam ini
akan musnah dan tidak menentu.
Setelah itu, ayat di atas juga memberikan penjelasan bahwa kisah yang dikemukakan kepada
Rasul-Nya itu merupakan kisah kaum terdahulu, yang sebelumnya sama sekali belum
diketahui oleh Rasul (Muhammad). Seperti biasanya, Rasulullah saw. akan mengetahui
cerita-cerita seperti itu melalui wahyu Ilahi. Dialah Yang Maha Bijak & Maha segalanya. Di
samping itu, ini adalah suatu tanda bahwa beliau adalah benar-benar salah seorang dari Rasul
Allah.
Dalam ayat di atas juga disebutkan bahwa para Rasul itu masing-masingnya diberi suatu
keistimewaan yang tidak dimiliki lainnya. Karenanya, dalam ayat di atas dijelaskan mengenai
sebagian dari keistimewaan dan sejarah hidup para Rasul, yang tidak dimiliki oleh sebagian
Rasul lainnya. Penjelasan mengenai hal ini sudah dikhususkan oleh ayat di atas, yang
menjelaskan perihal sebagian utusan (Rasul) yang keberadaan pengikutnya masih tetap ada,
di samping penyebutan tentang para pengikut para Rasul yang lain yang juga masih ada
dan di antara mereka saling berselisih dan saling membunuh.

PENJELASAN






Mereka, para utusan (Rasul) itu, yang juga telah diisyaratkan di dalam ayat:

Sesungguhnya kamu salah seorang dari rasul-rasul, (Yasin :3).
Kami (Allah) utamakan sebagian dari mereka atas lainnya dalam beberapa derajat
kesempurnaan dan keutamaan. Sebagian mereka ada yang Kami khususkan dengan beberapa
jejak yang agung, yang tidak dimiliki oleh Rasul yang lainnya. Sekalipun, tugas mereka ini
pada dasarnya adalah sama: dipilih oleh Allah untuk menyampaikan hidayah-Nya kepada
semua makhluk (manusia). Hidayah tersebut akan mengantarkan manusia kepada
kebahagiaan dunia akhirat.
Kesimpulan pengertian ayat ini : Mereka, pada dasarnya adalah para Rasulullah. Mereka
layak dijadikan sebagai panutan, dan hidayah mereka harus dijadikan sebagai pedoman,
meski di antara mereka mempunyai berbagai keistimewaan masing-masing, baik yang berkait
dengan diri mereka, syariat yang dibawa, dan kondisi umat yang menjadi sasaran dakwah.
Di dalam ayat berikutnya, dijelaskan mengenai berbagai keistimewaan yang dimiliki para
Rasul yang sudah diistimewakan Allah. Karenanya, Allah berfirman:

Di antara Rasul itu ada yang mendapatkan keutamaan dari Allah dengan berbicara langsung-
dengan izin Allah dengan Allah, tanpa utusan atau perantara. Beliau ini adalah Nabi Musa
as., sebagaimana telah dijelaskan di dalam firman Allah :


Dan (kami telah mengutus) Rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka
kepadamu dahulu, dan Rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. dan
Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.(An-Nisa: 164)


Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami
tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya (Al-Araf : 143)




Allah berfirman: "Hai Musa, Sesungguhnya aku memilih (melebihkan) kamu dan manusia
yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku,
.(Al-Araf : 144).

Keutamaan Nabi Muhammad saw. atas Rasul-rasul lainnya


Sebagian mereka ada yang diutamakan Allah di atas Rasul-rasulnya, dengan anugerah derajat
yang lebih sempurna dan utama dibanding Rasul lainnya. Dan yang dimaksud di dalam ayat
ini adalah Nabi Muhammad saw., sebagaimana dikuatkan dengan riwayat Ibnu Jarir dan
Mujahid, di samping diperkuat oleh hubungan ayat yang menunjukkan pengertian seperti itu.
Ayat ini memberi pelajaran tentang ihwal orang-orang terdahulu yang mengikuti para Rasul
dengan konsisten, agar dijadikan sebagai teladan. Ayat ini (sekaligus) mengecam secara keras
atas kejadian yang menimpa umat para Rasul yang saling bertengkar dan membunuh,
menyusul wafatnya para Rasul itu. Padahal, pada dasrnya agama mereka itu adalah satu. Dan
yang sampai sekarang masih ada, adalah pengikut agama Yahudi, Nasrani dan Islam.
Bahasan yang dikemukakan dalam ayat ini, adalah member penjelasan tentang keistimewaan-
keistemewaan para Rasul tersebut. Pertama, disebut mengenai Nabi Musa dan akhirnya
adalah Nabi Isa. Sedang Nabi Muhammad saw. disebutkan dipertengahan. Penyebutan Nabi
Muhammad saw. dipertengahan ini memberikan petunjuk bahwa syariat yang dibawa Nabi
Muhammad adalah bersifat pertengahan (artinya seimbang). Begitu pula umatnya.
Berbagai keistimewaan yang dimiliki oleh para Rasul itu, di antaranya adalah penonjolan di
bidang Akhlak pada seorang Rasul, seperti yang diisyaratkan oleh firman Allah:

Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (Al-Qalam:4)
Di antara Rasul pula, ada yang diberi keistimewaan Kitab yang dibawa syariatnya, seperti
diisyaratkan sebuah ayat yang membicarakan keutamaan Al-Qur`an:
..
Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih Lurus
.(Al-Isra: 9)





.
Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-
ayatnya) lagi berulang-ulang [1312], gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada
Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat
Allah.. ( Az-Zumar : 23)

..

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah( Ali Imran : 110)

Dan dari keistemewaan lainnya adalah keistimewaan yang ada pada umat seorang Rasul,
yang berpegang teguh pada agama yang dibawanya, meski Rasul itu telah wafat. Hal ini
seperti dijelaskan di dalam firman Allah berikut ini:


"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
maruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah (Imran, :110).

Andaikan Nabi Muhammad saw. hanya diberi mu'jizat Al-Qur'an saja, maka sudah cukup
mengangkat beliau untuk lebih utama dibanding apa yang dianugerahkan kepada para rasul
lainnya. Sebab, Al-Qur`an merupakan mu`jizat yang kedudukannya abadi sepanjang masa,
yang lain dengan mu'jizat-mu'jizat lainnya.
Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
"Tiada seorang Nabi pun melainkan telah diberi anugerah ayat-ayat (mu'jizat) yang pada
masa itu orang-orang mau percaya dengan hal seperti itu. Namun, apa yang sudah
dikaruniakan kepadaku, adalah wahyu yang telah disampaikan Allah kepadaku. Karenanya
aku berharap agar aku adalah yang (mempunyai) pengikut paling banyak di antara mereka
(para Rasul) esok di hari kiamat".

Juga riwayat lain dari beliau saw., bahwa Nabi saw. bersabda:
"Aku diberi keutamaan di atas para Nabi lainnya nnya sebanyak enam hal : (1) Aku diberi
Jawami 'u I-Kalim (Al-Qur'an); (2) Diberi pertolongan dengan takutnya musuh (sebelum
menyerang,); (3) dihalalkannya ghanimah (rampasan perang); (4) semua permukaan bumi
bisa dijadikan sebagai masjid dan suci; (5) aku diutus untuk semua umat manusia; (6) para
Nabi diakhiri dengan diriku.

Al-Bayyinat, adalah ayat-ayat dan dalil yang jelas dan benar, seperti Allah firmankan:

... Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka Musa dengan (membawa bukti-bukti)
keterangan-keterangan yang nyata. . . . "
(Al-Ankabut : 39).

Wa ayyadnahu, artinya Kami (Allah) perkuat dia. Sedang Ruhul Quds adalah malaikat
pembawa wahyu yang dikhususkan oleh Allah untuk memperkuat para Rasul-Nya, seperti
firman Allah kepada Nabi Muhammad saw.:


"Katakanlah, 'Ruhu Y-Qudus (Jibril) menurunkan Al-Qur'an itu dari Tuhanmu dengan benar,
untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, clan menjadi petunjuk serta kabar
gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah). " (An-Nahl : 102).

Allah swt. mengkhususkan kepada Nabi Isa dengan memberi ayat dan dalil-dalil (bukti) yang
tegas sebagai celaan atas kaum Yahudi yang secara keterlaluan melakukan penghinaan
padanya. Mereka ini menolak kehadiran Isa, meski didukung dengan berbagai bukti nyata
yang mendukung kenabiannya. Di samping itu, untuk mencela kaum Nasrani yang terlalu
mengagung-agungkan diri. Mereka ini tidak memandang Isa sebagai Nabi (Rasul), tetapi
justru merrandangnya sebagai "tuhan" dengan mengambil penguat tanda-tanda kebesaran
Allah.
Firman Allah yang berbunyi min ba'dihim, (setelah para Rasul itu tiada/wafat), artinya adalah
nasib para umatnya yang bermacam-macam. Maksud ayat ini apabila Allah swt. tidak
menghendaki mereka saling membunuh, mereka pun tidak akan melakukan hal itu.
Mereka jugs akan sepakat mengikuti para Rasul yang datang kepada mereka dengan
membawa kebenaran dari Allah.
Firman Allah yang berbunyi, min ba'di ma jaat humul-bayyinat, artinya : setelah mereka
didatangi para Rasul yang membawa berbagai mu'jizat, ayat-ayat yang terang dan
menunjukkan atas kebenaran yang wajib diikuti ayat-ayat tersebut merupakan
peringatan bagi mereka agar jangan berpaling dari sunnah yang telah disampaikan Rasul
mereka.
Sedang firman Allah yang berbunyi walakin ikhtalafu, artinya: Allah menghendaki untuk
saling membunuh karena di antara mereka sama-sama mengalami perselisihan pandangan.
Sebagian dari mereka memang ada yang beriman kepada apa yang didatangkan kepada para
Rasul, dan sebagian lagi kafir dan mengingkari hal tersebut. Mereka ini sudah tidak bisa
diharapkan lagi menerima hidayah.

Hidayah Menerima Agama Berdasarkan Kemauan - Bukan Ilham


Sebagai penjelasan terhadap sub judul ini adalah : Allah swt. telah membekali umat manusia
dengan kesempurnaan akal. Dengan akal tersebut, manusia mampu mengatur semua
perasaannya, dan mampu berpikir dalam rangka mencari jalan kehidupan, di samping untuk
mengetahui kemaslahatan yang berkait dengan kebutuhan jasmani ataupun ruhani.
Kemudian, Allah swt. menjadikan pengembangan dan kemajuan pemikiran sebagai suatu
halyang mungkin bisa diupayakan sendiri oleh yang bersangkutan. Artinya, pada
pertumbuhan awal, manusia mempunyai daya tanggap yang lemah. Lalu, manusia bisa
memiliki daya tanggap yang cukup kuat setelah melalui proses pendidikan dan pengajaran, di
samping berbagai pengalaman yang telah dilaluinya.
Allah juga menjadikan hidayah agama yang berada di dalam diri manmusia sebagai sesuatu
yang bisa diupayakan oleh yang bersangkutan. Ia bisa tanggap dengan masalah-masalah
agama sesuai dengan bakat dan alam pikirannya. Keadaannya sama ketika ia menggunakan
akalnya dalam rangka menyerap berbagai kemaslahatan yang ada di alam ini.
Karena itulah, masalah ini yang menyebabkan mereka berbeda pandangan dalam masalah
agama. Seandainya Allah menghendaki masalah agama ini merupakan sebagian dari ilham
yang Allah berikan secara umum, dan insting dalam hal agama ini sama dengan insting yang
ada di dalam hewan atau ilham Allah kepada binatang sudah tentu semua manusia,
akan sama dalam menerima hidayah, juga sama dalam hal kebahagiaan yang mereka
peroleh. Juga tidak akan ada seorang pun yang berbeda pandangan dalam hal agama, yang
menyebabkan mereka saling membunuh.
Tetapi, manusia itu diciptakan oleh Allah tidak seperti hewan; dan hal inilah yang merupakan
sebab timbulnya perselisihan antarpemeluk agama. Inilah penyebab kalangan pemeluk agama
saling berbeda pendirian. Sebagian mereka ada yang beriman secara benar, dan kelompok
inilah yang memahami agama secara benar dan sempurna. Sebagian lain ada yang dikuasai
hawa nafsu. Mereka adalah orang-orang yang pada prinsipnya mengingkari agama, karena
mereka berupaya menafsirkan pengertian-pengertian agama berdasar hawa nafsu.
Inilah pangkal terjadinya persengketaan dan penyebab permusuhan, di samping terjadinya
pertumpahan darah di antara mereka. Orang-orang Yahudi telah berselisih paham dalam
masalah agama, sehingga mereka saling menumpahkan darah antar sesama.
Namun, situasi yang melanda kaum Nasrani lebih dari itu. Mereka terpecah menjadi berbagai
sekte, yang setiap sekte mempunyai berbagai aliran, yang antara sekte dan aliran lain,
mereka saling bunuh.
Allah swt. melarang secara keras kepada Kaum Muslimin melakukan perbuatan seperti di
atas. Allah memerintahkan kepada umat Islam untuk membina persatuan. Hanya patut
disayangkan, umat Islam mampu membina persatuan ini hanya dalam beberapa saat saja : di
masa Nabi saw. dan beberapa periode sepeninggal beliau, yang mereka sebagai umat paling
utama dibanding umat lainnya.
Pada perkembangannya, mereka terpecah dalam masalah agama dalam berbagai madzhab
dan aliran, bahkan di antara mereka pun terjadi insiden saling membunuh. Situasi seperti ini
masih terus rawan, sehingga mereka menjadi umat yang paling jauh dari kesatuan yang sulit
dipadukan kembali.
Sudah merupakan Sunnatullah yang berlaku kepada makhluk-Nya, bahwa di kalangan
pemeluk agama, biasa ada kejadian saling membunuh di lingkungannya sendiri dengan dalih
agama. Juga dengan alasan untuk mempertahankan dan memelihara agama dari bahaya
atheisme. Masalah ini, hanya Allah-lah yang mengetahui hikmah yang terkandung di
dalamnya.

Seandainya Allah menghendaki peleraian di antara mereka, sehingga sebagian mereka merasa
senang memenangkan pendiriannya berdasarkan hujjah dan argumentasi, mereka tentu tidak
akan sampai saling membunuh.
Tetapi, Allah telah membekali kepada manusia dengan insting yang cenderung
mempertahankan kemaslahatan dengan segala daya yang mereka miliki, baik pemikiran atau
kekuasaan. Di antaranya ada yang meladeni dengan beradu argumentasi, dan sebagian lagi
menggunakan kekuatan untuk melawan kekuatan lainnya.
Perbedaan pendapat dan tiadanya kesadaran dari kedua belah pihak ini yang menyebabkan
timbulnya pertumpahan darah yang tidak dapat dielakkan lagi.

Sesungguhnya, manusia diberi keistimewaan dengan berbagai bakat, merupakan kehendak
dan kekuasaan Allah yang tak dapat dielakkan. Jika Allah berkehendak memberi taufik
kepada hambahamba-Nya, maka Allah akan membuat mereka itu menjadi beriman dan tact
pada-Nya. Dan apabila A11ah menghendaki menghinakan sebagian perang yang lain, maka
Dia akan menjadikan mereka sebagai kaum kafir yang mengingkari-Nya.
a. Menurut M. Quraish Shihab dalam tafsir Al- Mishbah
Setelah dalam ayat yang lalu dijelaskan, bahwa Nabi Muhammad Saw adalah salah seorang
rasul yang diutus Allah, di sini dijelaskan kedudukan para rasul di sisi-Nya dan keadaan umat
mereka setelah kepergian para rasul itu.
Kata ( ) tilka/itu, merupakan kata penunjuk sesuatu yang jauh yang sengaja dipilih di sini
untuk mengisyaratkan betapa jauh dan tingginya kedudukan para rasul itu, dan menunjukkan
bahwa mereka adalah satu kelornpok yang kedudukannya - dari segi ketakwaan dan
kedekatan kepada Allah - sunggah jauh berbeda dengan manusia-manusia biasa. Ada
pendapat lain yang wajar dicatat di sini, tetapi bukan untuk dianut, namun sekadar untuk
menunjukkan salah satu contoh bias sementara ulama rnenyangkut pandangan mereka
tentang wanita.
Abu al-'Iasan Ali Ibn Ahmad ibn Hasan al-Harrali (637 H), setelah mernbandingkan redaksi
yang digunakan oleh QS. al-An'am ayat 90 yang menunjuk para rasul dengan kata ()
ulaika/lmereka itulah dengan redaksi surah al-baqarah ini berpendapat, bahwa yang
dibicarakan oleh ayat al-Baqarah adalah perselisihan kelompok-kelonipok yang terjadi
setelah kepergian para rasul itu, sedangkan uraian surah al-An'am adalah tentang kernantapan
para rasul dalam perolehan hidayah serta keteladanan mereka. Maka kata tilka di sini dipilih
untuk mengisyaratkan sekaligus mengantar uraian tentang kelompok-kelompok yang
berselisih itu. Kelompok yang berselisih itu adalah kelompok yang tidak wajar diteladani,
karena itu dipilih kata tilka yang biasa digunakan untuk menunjukkan kelompok rendah
(mu'annats/feminim), yang mengandung berita-berita rendah dan tidak mantap. Sekali lagi,
pandangan ini tentu saja tidak tepat. Bukan saja karena merendahkan kaum wanita, tetapi
juga karena sekian banyak ayat al-Qur'an yang menggunakan kata tilka justru menunjuk hal-
hal yang yang, seperti pada ayat sebelunnnya (ayat 252) yang menunjuk kepada ayat-ayat
Allah dengan kata tilka.
Kelanjutan ayat di atas berbunyi: Kami lebihkan sebagian mereka atas yang lain. Kelebihan
yang dianugerahkan Allah bukannya tanpa dasar atau pilih kasih, tetapi atas dasar hikmah
kebijaksanaan sesuai dengan tugas dan fungsi yang akan diemban oleh setiap rasul. Memang
tidak ada satu ketetapan Allah swt. yang tanpa hikmah dan kemaslahatan untuk makhluk.
Kelebihan-kelebihan itu bermacarn-macam, ada rasul yang membawa syariat, ada juga
sekadar pendukung rasul lain - seperti Nabi Harun terhadap Musa as. Ada yang hanya
memiliki satu-dua keistimewaan, dan ada juga yang menghimpun banyak keistimewaan,
seperti Nabi Ibrahim as. dan Nabi Muhammad saw. Ada yang keliru lalu diluruskan, seperti
Nabi Yunus as, ada juga yang tidak keliru, sikap dan perbuatannya sudah baik dan benar, tapi
diluruskan untuk mencapai kedudukan yang lebih tinggi. Ada yang mendapat kitab suci, ada
juga yang tidak. Ada yang diutus untuk satu wilayah atau desa tertentu, seperti Nabi Luth, ada
juga untuk keseluruhan anggota suku dan waktu tertentu seperti Nabi Isa as. untuk Bani
lsra'il, daan juga untuk seluruh manusia dan sepanjang masa seperti halnya Nabi Muhammad
saw.
Dalam ayat ini disebutkan dua contoh rnenyangkut kelebihan yang dianugerahkan Allah,
yaitu Allah berkata-kata langsung dengan rasul. Ini jelas, antara lain menunjuk kepada Nabi
Musa as., karena al-Qur'an secara tegas menyatakan bahwa beliau mendapat keistimewaan itu
(QS. an-Nisa ayat 164). Walaupun ayat ini tidak menafikan adanya yang memperoleh
keistimewaan ini selain beliau, seperti Rasulullah Muhammad saw.
Kita tidak tahu persis, bagaimana Allah berkata-kata dengan Nabi agung itu. Yang pasti,
percakapan itu bukan seperti percakapan yang kita kenal, yakni menggunakan alat atau suara
dan semacamnya, karena tidak ada sesuatupun yang sama dengan Allah, Allah berbeda
dengan segala yang terbayang dalam benak. Paling tinggi kita dapat berkata, bahwa kata-kata
Allah tersebut merupakan informasi yang benar dan penting yang ditangkap Nabi Musa as.
dengan satu cara yang berbeda dengan cara yang diterima rasul-rasul yang lain. Bagaimana
cara beliau menangkapnya, kita juga sulit menduga.
Contoh kedua yang dikemukakan ayat di atas adalah Nabi Isa putra Maryam. Allah
menganugerahkan bukti-bukti yang jelas kepadanya, sehingga tidak ada yang nengingkarinya
kecuali yang keras kepala. Beliau juga dianugerahi keistirnewaan, yaitu Kami perkuat dia
dengan Rub al-Qudus. Rujuklah ke ayat 87 surah ini untuk menemukan penjelasan makna
memperkuat beliau dengan Ruh al-Qudus.
Hanya dua rasul yang disebut di sini, yaitu Nabi Musa secara tersirat dan Nabi 'Isa as. secara
tersurat. Ini karena yang dihadapl oleh rnasyarakat rnuslirn di Madinah ketika ayat-ayat surah
ini turun adalah Bani Isra'il, bahkan kandungan surah ini banyak berbicara tentang mereka.
Di sisi lain, hanya Nabi 'Isa as. yang disebut secara khusus, karena beliau adalah rasul
terakhir Bani Israil yang antara lain dating memperje1as dan membatalkan sebagian ajaran
Musa as. Di sisi lain, kerasulan beliau diingkari oleh Bani Isra'il yakni orang-orang Yahudi.
Mengapa Nabi Muhammad tidak disebut? Banyak yang menjawab, "Siapa bilang beliau tidak
disebut? Bahkan oleh ayat ini beliau diisyaratkan memperoleh kelebihan yang amat agung,
melebihi yang diberikan kepada rasul selain beliau." Nabi Muhammad saw. -menurut banyak
ulama itu -adalah yang dimaksud dengan firrnan-Nya: ( ) wa rafaa
badhahum darajat/ sebagian mereka, Allah tinggikan beberapa derajat. Yang Allah tinggikan
itu pastilah salah seorang di antara rasul-rasul itu, bukan sekelompok dari mereka dan
beberapa derajat itu adalah keutamaankeutamaan yang diraih oleh rasul yang satu itu. Sebab
apabila yang dirnaksud adalah sekelompok dari mereka, dan derajat itu untuk sebagian
mereka atas sebagian yang lain, maka kalimat itu menjadi pengulangan atas kalimat pada
awal ayat ini, yaitu, "Kami lebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain.
Memang nama Nabi Muhammad saw tidak disebut secara tersurat, tetapi itu justru
menunjukkan kelebihan dan keagungan beliau, seakan-akan tanpa disebut namanyapun
orang telah tahu.
Kalaulah tidak ada keistirnewaan beliau selain al-Qur'an atau diutus kepada sernua makhluk,
maka hal ini sudah cukup menjadi bukti betapa besar kelebihan beliau atas rasul-rasul yang
lain.
Allah SWT di sini secara tegas menyatakan, bahwa ada rasul yang dilebihkan atas rasul yang
lain. Tetapi di tempat yang lain dalam QS. al Baqarah ayat 136, Allah mengajarkan umat
Islam untuk menyatakan, "kami tidak membeda-bedakan seorang (rasul pun) diantara mereka
(para rasul itu). Ini tidak bertentangan dengan itu, karena yang pertama berbicara tentang
kelebihan yang Allah anugerahkan, dan merupakan kenyataan yang tidak dapat dielakkan,
sedangkan yang kedua adalah tidak membeda-bedakan dalam mempercayai mereka sebagai
rasul-rasul pilihan Allah, walau pada saat yang sama kita percaya bahwa Allah meninggikan
derajat sebagian yang lain.
Kelanjutan ayat di atas berbunyi: Seandainya Allah menghendaki niscaya tidaklah berbunuh-
bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah mereka.
Kata berbunuh-bunuhan adalah terjemahan dari kata ( ) iqtalu. Kata ini terambil dari kata
( ) qatala yang tidak selalu berarti membunuh. Tetapi ia juga dapat berarti bertengkar,
mengutuk, mernbunuh. Karena itu yang dimaksud berbunuh-bunuhan adalah puncak
perselisihan mereka, namun ini tidak menutup kemungkinan bahwa sebagian mereka saling
bertengkar, kutuk mengutuk, dan berkelahi, sebagaimana terlihat dalam kenyataan umat
beragama. Yang lebih buruk lagi bahwa perselisihan mereka justru terjadi sesudah datang
krterangan-keterangan kepada mereka. Keterangan-keterangan tersebut mereka putar
balikkan, atau salah pahami, baik oleh rayuan nafsu dan dengki, atau ulah setan menyesatkan
mereka. Ada yang gairah keagamaannya sedemikian besar dan menggebu sehingga
menyalahkan pihak lain yang tidak sependapat dengannya, ada juga yang menduga kebenaran
dalam rincian agama hanya satu, sehingga ijtihad atau pemahaman kelompok lain
dianggapnya salah, bahkan sesat, dan lain-lain penyebab: sehingga pada akhirnya mereka
berelisih dan perselisihan ini mengantar mereka bertengkar, kutuk-mengutuk, berkelahi, dan
atau bunuh-membunuh. Perselisilian itu juga mengakibatkan ada di antara mereka yang
beriman dan ada (pula) yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, niscaya umat para rasul
itu tidak akan bunub membunuh sesudah mereka, yakni sesudah para rasul - itu seperti
Yahudi
Memerangi orang Nasrani setelah datangnya `Isa as, atau orang-orang Nasrani memerangi
kaum muslimin setelah datangnya Nabi Muhammad saw, seperti misalnya perang salib dan
lain-lain. Atau sesudah mereka, yakni sesudah kepergian setiap rasul mereka. Ini berarti tidak
akan bunuh-membunuh umat setiap rasu yang satu dengan yang lainnya sesudah dating
kepada mereka keterangan agama yang bersifat pasti. Makna ini tidak menjadikan bunuh-
membunuh antar pemeluk dua agama. Tetapi antara satu agama, masing-masing mengaku
bahwa dia atau kelompoknyalah pengikut setia nabi, sedang aliran atau kelompok yang lain
kafir dan sesat, seperti bunuh-membunuh yang terjadi antara kerajaan Yahuza dan Israil,
sedang keduanya mengaku pengikut ajaran Musa as., atau antara. Protestan dan Katolik yang
masing-masing mengakui Isa as., namun saling mengkafirkan.
Ayat ini mengandung peringatan kepada kaum muslimin agar tidak saling bermusuhan atau
kafir mengkafirkan. Nabi saw pun mengingatkan kaum muslimin bahwa, "Siapa yang berkata
kepada saudaranya seagama, wahai si kafir, maka ia yang wajar memikulnya" karena bila ia
menuduh demikian maka dia telah menanamkan benih pertengkaran dan permusuhan
sehingga wajar pula ia yang memikul dosanya. Peringatan itu beliau sampaikan berkali-kali,
bahkan merupakan salah satu peringatan beliau pada haji wada' (haji perpisahan).

Kembali kepada ayat di atas seandainya Allah menghendaki mereka tidak saling bunuh-
membunuh. Tetapi mereka berselisih sehingga, mereka saling bunuh-membunuh. Seandainya
mereka tidak berselisih, tentulah mereka tidak saling bunuh-membunuh. Seandainya Allah
menghendaki maka Allah menciptakan mereka tanpa memiliki kemampuan berpikir memilih
dan rnemilah, dan tidak menjadikan mereka memiliki nafsu dan potensi baik dan buruk. Dan
bila manusia, diciptakan-Nya demikian pasti mereka tidak berselisih sehingga tidak akan
saling membunuh. Akan tetapi Allah rnenciptakan mereka memiliki kemampuan memilih dan
memilah yang dapat menjadikan mereka berbeda-beda sehingga dapat tercipta kompetisi
demi kemajun. Memang perbedaan itu dapat rnengantar kepada perselisihan, tetapi
seharusnya tidak sampai kepada tingkat bunuh-membunuh, karena Allah telah mengutus para
rasul serta telah menjelaskan keterangan-keterangan baik melalui kitab suci atau melalui para
nabi yang seharusnya menjadi rujukan mereka untuk penyelesaian setiap perselisihan.
Demikian kalau Allah menghendaki tidak terjadi perselisihan itu, tetapi Allah tidak
menghendaki itu, Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya, sesuai hikmah dan
kebijaksanaan-Nya.

C. KESIMPULAN
Dari uraian ayat-ayat iradah dan masyi`ah diatas dapat penulis simpulkan bahwa segala
sesuatu yang berada di alam ini kesemuanya adalah kehendak dari Allah SWT (Masyiah
Allah). Karena kehendak-Nya adalah suatu yang pasti akan terjadi dan Takdir-Nya berlaku
bagi segenap makhluk. Beriman akan iradat/masyiah (kehendak/keinginan) Allah ini adalah
beriman bahwa segala yang Allah kehendaki pasti akan terwujudkan dan yang Allah
kehendaki tidak akan terwujudkan, dan segala sesuatu yang ada dilangit dan dibumi baik itu
yang bergerak maupun yang diam kesemuanya dibawah kehendak Allah .
Seperti yang penulis paparkan di atas bahwa sifat Iradah dan Masyiah yaitu Allah Maha
Berkehendak dan Maha melakukan apa yang dikehendaki-Nya telah ditegaskan dalam al-
Quran seperti yang tertuang dalam firman-Nya:
1. "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?." Hal ini mengandung
maksud bahwa Allah menghendaki suatu isyarat yang menunjukkan bahwa sebab kesesatan
mereka adalah ingkarnya mereka terhadap Sunnatullah yang ada pada dirinya, yang
seharusnya menggunakan akal pikirannya untuk merenungkan hikmah yang terkandung di
dalam perumpamaan-perumpamaan yang ada di dalam Al-Qur'an, sekalipun tampaknya
remeh. Dan Ayat ini juga dijadikan salah satu dasar untuk membuktikan bahwa ada
kesesatan yang menimpa seseorang karena keburukan amal perbuatannya selain kesesatan
yang sejak semula telah mengendap akibat kebejatan sifatnya. Ini difahami dari penegasan
ayat di atas yang menyatakan Dan tidak ada yang disesatkan kecuali orang-orang yang fasik.
2. Apa yang Allah kehendaki pasti akan terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak
akan terjadi, seperti tertuang dalam firman Allah Seandainya Allah menghendaki, tidaklah
mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehandakinya. Tetapi
mereka berselisih sehingga, mereka saling bunuh-membunuh. Seandainya Allah
menghendaki maka Allah menciptakan mereka tanpa memiliki kemampuan berpikir memilih
dan memilah, dan tidak menjadikan mereka memiliki nafsu dan potensi baik dan buruk.
Memang perbedaan itu dapat mengantar kepada perselisihan, tetapi seharusnya tidak sampai
kepada tingkat bunuh-membunuh, karena Allah telah mengutus para rasul serta telah
menjelaskan keterangan-keterangan baik melalui kitab suci atau melalui para nabi yang
seharusnya menjadi rujukan mereka untuk penyelesaian setiap perselisihan. Ayat ini
mengandung peringatan kepada kaum muslimin agar tidak saling bermusuhan atau kafir
mengkafirkan
Demikian kalau Allah menghendaki tidak terjadi perselisihan itu, tetapi Allah tidak
menghendaki itu, Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya, sesuai hikmah dan
kebijaksanaan-Nya.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, penulis menyadari akan kekurangan dalam
menganalisa untuk itu kritik dan saran sangat diharapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. 1986. Terjemah Tafsir Al-Maraghi. Semarang: CV. Toha Putra
Nata, Abuddin. 2002. Tafsir ayat-ayat al-Quran. Edisi 1 cet. 1 Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Shihab, M Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an, Jakarta:
Lentera Hati.
Ridho, Said Imam Muhammad Rasyid, 1935. Tafsir al-Qur`an al-Hakim, Beirut: Dar al-
Kuthub al-Ilmiah
Diposkan oleh Mr. USE di 08.53

Anda mungkin juga menyukai