Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH KONSEP TAKDIR DAN IKHTIAR DALAM ISLAM

Senin, 26 Maret 2012


BAB I
PENDAHULUAN
Berbicara mengenai takdir memang menarik dan selalu mengundang banyak pertanyaan.
Telah banyak buku ditulis mengenai hal ini tetapi tetap tidak dapat memuaskan semua pihak.
Kami ingin mencoba memberikan sedikit pandangan dan pendapat mengenai takdir dengan
tujuan untuk sedikit lebih dapat mengenal ilmu Allah yang satu ini. Semoga Allah tidak
menganggap ini sebagai sebuah kelancangan seorang hamba, Naudzu billah min dzalik.
Takdir adalah segala sesuatu yang telah terjadi dengan ridho Allah. Banyak pendapat
yang mengatakan bahwa takdir telah ditetapkan jauh sebelum manusia diciptakan. “Tiada suatu
bencanapun yang menimpa di bumi ini dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah
tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang
demikian itu mudah bagi Allah” (QS. Al Hadid:22). Akan tetapi ada pula sebagian pendapat
yang mengatakan bahwa takdir dijatuhkan setelah manusia berusaha. Mereka menyatakan ini
berdasarkan salah satu akan adanya ayat berikut: “...Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan
sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri... ” (QS. Ar
Ra’d:11)
Berbicara mengenai taqdir tentu tak lepas dari sebutan ikhtiar. Tetapi apakah arti ikhtiar
itu sendiri? Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefiniskan “ikhtiar” sebagai alat, syarat untuk
mencapai maksud; daya upaya; mencari daya upaya; pilihan (pertimbangan, kehendak, pendapat,
dsb). Dalam penggunaan umum, ikhtiar adalah usaha, atau sebentuk aktifitas yang diharapkan
menjadi solusi atas persoalan yang tengah membelit.
Pengertian ini tidak sepenuhnya keliru, namun mengandung masalah serius. Sebab, pada
dasarnya ikhtiar adalah istilah keagamaan yang baku. Ia memiliki pengertian dan klasifikasi
tersendiri atas persoalan-persoalan yang bisa dicakup di dalamnya.
Memahami ikhtiar seharusnya dikembalikan kepada makna Islaminya, sehingga segala sesuatu
menjadi jelas dan memiliki nilai ibadah.
BAB II
PEMBAHASAN
 1.     Pengertian Takdir
Kata takdir (taqdir) berasal dari akar kata qadara yang antara lain berarti mengukur,
memberi kadar atau ukuran, sehingga jika kita berkata, "Allah telah menakdirkan demikian,"
maka itu berarti, "Allah telah memberi kadar/ukuran/batas tertentu dalam diri, sifat, atau
kemampuan maksimal makhluk-Nya."  Takdir adalah ketentuan suatu peristiwa yang terjadi di
alam raya ini yang meliputi semua sisi kejadiannya baik itu mengenai kadar atau ukurannya,
tempatnya maupun waktunya. Dengan demikian segala sesuatu yang terjadi tentu ada takdirnya,
termasuk manusia.

a.      Takdir Dalam Agama Islam


Umat Islam memahami takdir sebagai bagian dari tanda kekuasaan Tuhan yang harus
diimani sebagaimana dikenal dalam Rukun Iman. Penjelasan tentang takdir hanya dapat
dipelajari dari informasi Tuhan, yaitu informasi Allah melalui Al Quran dan Al Hadits. Secara
keilmuan, umat Islam dengan sederhana telah mengartikan takdir sebagai segala sesuatu yang
sudah terjadi.

b.      Konsep Takdir 


Takdir adalah suatu yang sangat ghoib, sehingga kita tak mampu mengetahui takdir kita
sedikitpun. Yang dapat kita lakukan hanya berusaha, dan berusahapun telah Allah jadikan
sebagai kewajiban. “Tugas kita hanyalah senantiasa berusaha, biar hasil Allah yang
menentukan”, itulah kalimat yang sepertinya sudah tidak asing lagi di telinga kita, yang
menegaskan pentingnya mengusahakan qadha untuk selanjutnya menemui qadarnya.
Takdir itu memiliki empat tingkatan yang semuanya wajib diimani, yaitu :
a. Al-`Ilmu, bahwa seseorang harus meyakini bahwa Allah mengetahui segala sesuatu baik
secara global maupun terperinci. Dia mengetahui apa yang telah terjadi dan apa yang akan
terjadi. Karena segala sesuatu diketahui oleh Allah, baik yang detail maupun jelas atas setiap
gerak-gerik makhluknya. Sebagaimana firman Allah :
‫ا َوالَ َحبَّ ٍة فِي‬EEَ‫ ٍة إِالَّ يَ ْعلَ ُمه‬Eَ‫قُطُ ِمن َو َرق‬E‫ا ت َْس‬EE‫ ِر َو َم‬Eْ‫ ِّر َو ْالبَح‬Eَ‫ا فِي ْالب‬EE‫و َويَ ْعلَ ُم َم‬Eُ ِ ‫اتِ ُح ْال َغ ْي‬EEَ‫َو ِعن َدهُ َمف‬
َ ‫ا ِإالَّ ه‬EEَ‫ب الَ يَ ْعلَ ُمه‬
ْ ‫ض َوالَ َر‬
‫ب ُّمبِي ٍن‬ ٍ ‫س إِالَّ فِي ِكتَا‬ ٍ ِ‫ب َوالَ يَاب‬ ٍ ‫ط‬ ِ ْ‫ت األَر‬ ِ ‫ظُلُ َما‬
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya
kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun
pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya, dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan
bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang
nyata.” (QS. Al-an`am:59)

b. Al-Kitabah, Bahwa Allah mencatat semua itu dalam lauhil mahfuz, sebagaimana firman-
Nya :
‫ك َعلَى هَّللا ِ يَ ِسي ٌر‬
َ ِ‫ب إِ َّن َذل‬ ِ ْ‫أَلَ ْم تَ ْعلَ ْم أَ َّن هَّللا َ يَ ْعلَ ُم َما فِي ال َّس َماء َواأْل َر‬
َ ِ‫ض إِ َّن َذل‬
ٍ ‫ك فِي ِكتَا‬
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang
ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab.
Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hajj:70)

c. Al-Masyiah (kehendak), Kehendak Allah ini bersifat umum. Bahwa tidak ada sesuatu
pun di langit maupun di bumi melainkan terjadi dengan iradat/masyiah (kehendak /keinginan)
Allah SWT. Maka tidak ada dalam kekuasaan-Nya yang tidak diinginkan-Nya selamanya. Baik
yang berkaitan dengan apa yang dilakukan oleh Zat Allah atau yang dilakukan oleh makhluq-
Nya. Sebagaimana dalam firman-Nya :

َ ُ‫إِنَّ َما أَ ْم ُرهُ إِ َذا أَ َرا َد َشيْئا ً أَ ْن يَق‬


ُ‫ول لَهُ ُك ْن فَيَ ُكون‬
“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata
kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia” (QS. Yasin:82)

d. Al-Khalqu, Bahwa tidak sesuatu pun di langit dan di bumi melainkan Allah sebagai
penciptanya, pemiliknya, pengaturnya dan menguasainya, dalam firman-Nya dijelaskan :
ِّ ‫َاب بِ ْال َح‬
َ‫ق فَا ْعبُ ِد هَّللا َ ُم ْخلِصا ً لَّهُ ال ِّدين‬ َ ‫ك ْال ِكت‬
َ ‫إِنَّا أَن َز ْلنَا إِلَ ْي‬
“Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab dengan kebenaran. Maka sembahlah
Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya.” (QS. Az-Zumar:2).
c.       Impliksi Iman Kepada Takdir
Kesadaran manusia untuk beragama merupakan kesadaran akan kelemahan dirinya.
Terkait dengan fenomena takdir, maka wujud kelemahan manusia itu ialah ketidaktahuannya
akan takdirnya. Manusia tidak tahu apa yang sebenarnya akan terjadi. Kemampuan berfikirnya
memang dapat membawa dirinya kepada perhitungan, proyeksi dan perencanaan yang canggih.
Namun setelah diusahakan realisasinya tidak selalu sesuai dengan keinginannya. Manusia hanya
tahu takdirnya setelah terjadi.
Oleh sebab itu sekiranya manusia menginginkan perubahan kondisi dalam menjalani hidup
di dunia ini, diperintah oleh Allah untuk berusaha dan berdoa untuk merubahnya. Usaha
perubahan yang dilakukan oleh manusia itu, kalau berhasil seperti yang diinginkannya maka
Allah melarangnya untuk menepuk dada sebagai hasil karyanya sendiri. Bahkan sekiranya
usahanya itu dinilainya gagal dan bahkan manusia itu sedih bermuram durja menganggap dirinya
sumber kegagalan, maka Allah juga menganggap hal itu sebagai kesombongan yang dilarang
juga (QS. Al Hadiid:23).
Kesimpulannya, karena manusia itu lemah (antara lain tidak tahu akan takdirnya) maka
diwajibkan untuk berusaha secara bersungguh-sungguh untuk mencapai tujuan hidupnya yaitu
beribadah kepada Allah. Dalam menjalani hidupnya, manusia diberikan pegangan hidup berupa
wahyu Allah yaitu Al Quran dan Al Hadits untuk ditaati.

2 . Pengertian Ikhtiar
ْ yang berarti mencari hasil yang lebih baik.
Ikhtiar berasal dari bahasa Arab (‫ا ٌر‬EEَ‫)إختِي‬
Adapun secara istilah, pengertian ikhtiar yaitu  usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam
hidupnya, baik material, spiritual, kesehatan, dan masa depannya agar tujuan hidupnya selamat
sejahtera dunia dan akhirat terpenuhi. Maka, segala sesuatu baru bisa dipandang
sebagai ikhtiar  yang benar jika di dalamnya mengandung unsur kebaikan. Tentu saja, yang
dimaksud kebaikan adalah menurut syari’at Islam, bukan semata akal, adat, atau pendapat
umum. Dengan sendirinya, ikhtiar  lebih tepat diartikan sebagai “memilih yang baik-baik”, yakni
segala sesuatu yang selaras tuntunan Allah dan Rasul-Nya.
Ikhtiar juga dilakukan dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati, dan semaksimal mungkin
sesuai dengan kemampuan dan keterampilannya. Akan tetapi, jika usaha kita gagal, hendaknya
kita tidak berputus asa. Kita sebaiknya mencoba lagi dengan lebih keras dan tidak berputus asa.
Kegagalan dalam suatu usaha, antara lain disebabkan keterbatasan dan kekurangan yang terdapat
dalam diri manusia itu sendiri. Apabila gagal dalam suatu usaha, setiap muslim dianjurkan untuk
bersabar karena orang yang sabar tidak akan gelisah dan berkeluh kesah atau berputus asa. Agar
ikhtiar atau usaha kita dapat berhasil dan sukses, hendaknya melandasi usaha tersebut dengan
niat ikhlas untuk mendapat ridha Allah, berdoa dengan senantiasa mengikuti perintah Allah yang
diiringi dengan perbuatan baik, bidang usaha yang akan dilakukan harus dikuasai dengan
mengadakan penelitian atau riset, selalu berhati-hati mencari teman (mitra) yang mendukung
usaha tersebut, serta memunculkan perbaikan-perbaikan dalam manajemen yang professional.
Pentingnya Ikhtiar

Setiap manusia memiliki keinginan dan cita-cita untuk mendapat kesuksesan, tak ada
seorang pun yang menginginkan kegagalan. Hal ini karena Allah menganugerahkan kehendak
kepada manusia. Jika kehendak tersebut mampu dikelola dengan baik, manusia akan menemukan
kesuksesannya.

 “ (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan
harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui ” (QS.Ash-Shaff:11)

Larangan Berputus Asa


Allah telah mencontohkan kisah Nabi  Ya’qub dalam Al-Qur’an sebagai contoh nyata
pelajaran orang-orang yang ditimpa kesusahan dan larangan berputus asa. Nabi Ya'qub yang
terus berdo'a dan berharap pada Tuhannya setiap saat agar tidak termasuk orang-orang yang
berputus asa, karena berputus asa pada kebaikan Tuhan adalah sifat-sifat orang yang kafir.
Kisah itu digambarkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala dalam Al-Qur’an surah Yusuf ayat 87
َ‫افِرُون‬EEEE‫وْ ُم ْال َك‬EEEEَ‫ح هَّللا ِ إِاَّل ْالق‬
ِ ْ‫إِنَّهُ اَل يَ ْيئَسُ ِم ْن َرو‬ ِ ‫ح هَّللا‬ ُ ‫ َواَل تَ ْيئ‬ ‫ ِه‬EEEE‫فَ َوأَ ِخي‬EEEE‫ُوس‬
ِ ‫وا ِمنْ َر ْو‬8888‫َس‬ ُ ‫وا فَتَ َحس‬EEEEُ‫ي ْاذهَب‬
ُ ‫وا ِم ْن ي‬EEEE‫َّس‬ َّ ِ‫ابَن‬EEEEَ‫ي‬

”Wahai anak-anakku! Pergilah kamu, carilah (berita) tentang Yusuf dan saudaranya
dan  jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari
rahmat Allah, hanyalah orang-orang yang kafir”.  (QS: Yusuf: 87)
Tak ada cara lain, mari kita palingkan semua pada Islam. Berikhtiarlah untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan kita, yakni: dengan memilih jalan-jalan keluar yang baik-baik dan yang
diridhoi Allah Subhanahu wa-ta'ala.
BAB III
PENUTUP
Dari pembahasan yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa :
1.      Takdir diumpamakan sebuah “chip”. Bagaikan sebuah “chip” dalam komputer yang kemudian
diselipkan pada otak manusia yang akan dibawanya serta ketika manusia dilahirkan. Setiap
manusia memiliki “chip” masing-masing yang berbeda satu sama lain. Ada yang rumit dan ada
pula yang sederhana. Semua atas kehendakNya.
2.       Sesungguhnya ikhtiar bukan hanya usaha, atau semata-mata upaya untuk menyelesaikan
persoalan yang tengah membelit. Ikhtiar adalah konsep Islam dalam cara berpikir dan mengatasi
permasalahan. Dalam ikhtiar terkandung pesan taqwa, yakni bagaimana kita menuntaskan
masalah dengan mempertimbangkan – pertama-tama – apa yang baik menurut Islam, dan
kemudian menjadikannya sebagai pilihan, apapun konsekuensinya dan meskipun tidak populer
atau terasa berat.

Anda mungkin juga menyukai