Anda di halaman 1dari 13

Sejarah Arbitrase

PEMBAHASAN

A. Pengertian Arbitrase Internasional


Arbitrase menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 adalah cara penyelesaian
suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Blacks Law Dictionary memberikan pengertian
Arbitration. an arrangement for taking an abiding by the judgment of selected persons in some disputed
matter, instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, the
delay, the expense and vexation of ordinary litigation.

Arbitrase internasional dapat pula diberikan pengertian, yaitu arbitrase yang ruang lingkup keberadaan
dan yurisdiksinya bersifat internasional.
Suatu arbitrase dianggap internasional apabila para pihak pada saat dibuatnya perjanjian yang
bersangkutan mempunyai tempat usaha mereka (place of business) di negara-negara berbeda. Misalnya
salah satu pihak memiliki tempat usaha di Amerika, dan pihak lain memiliki tempat usaha di Indonesia.
Jika terjadi perselisihan di antara mereka, dan mereka memilih cara penyelesaian melalui arbitrase, maka
arbitrase ini tergolong arbitrase internasional.

B. Sejarah dan Dasar Pembentukan Arbitrase Internasional


Perkembangan sejarah arbitrase, sesungguhnya badan arbitrase telah lama dipraktekkan. Menurut M.
Domke, bangsa- bangsa telah menggunakan cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase sejak zaman
Yunani kuno. Praktek ini berlangsung pula pada zaman keemasan Romawi dan Yahudi (biblical times)
serta terus berkembang terutama di negara- negara dagang di Eropa, seperti Inggris dan Belanda.
Arbitrase internasional, sejarah terbentuknya, bagi masing- masing negara memiliki perbedaan yang
terlihat dalam bentuk masing- masing jenis lembaga arbitrase internasional itu sendiri.

C. Lembaga-lembaga Arbitrase Internasional


Meningkatnya kebutuhan dunia perdagangan internasional akan lembaga-lembaga arbitrase
internasional dalam menyelesaikan sengketa perdagangan mengakibatkan kebutuhan akan eksistensi
lembaga-lembaga juga meningkat. Lembaga-lembaga arbitrase internasional tersebut merupakan
lembaga-lembaga arbitrase yang bersifat resmi dan didirikan oleh badan internasional yang sudah mapan
maupun lembaga-lembaga yang bersifat regional.
Beberapa bentuk lembaga arbitrase internasional antara lain:
1. International Chamber of Commerce (ICC)
ICC berkedudukan di Paris yang didirikan atas prakarsa Asosiasi Dagang Internasional. ICC meletakkan
dasar penyelesaian sengketa perdagangan bukan hanya dalam konteks ICC (Court of Arbitration), akan
tetapi juga dalam konteks konsiliasi yang memiliki rules of conciliation tersendiri. Meskipun ICC
bermarkas di Paris, sidang ICC dapat berlangsung dimana saja dalam menerapkan hukum bagi para
pihak telah sepakat untuk menggunakan ICC.
Badan arbitrase memiliki hukum acara arbitrase tersendiri (rules of arbitration). Badan arbitrase ICC
merupakan salah satu lembaga arbitrase yang terkenal dimana setiap tahunnya terdapat hampir 400
kasus/sengketa perdagangan yang diserahkan ke ICC. Oleh karena itu sebagai sebuah badan
administratif yang bersifat formal, ICC tidak melaksanakan arbitrase secara tersendiri, akan tetapi
mendaftarkan penyelenggaraan arbitrase ke seluruh dunia.
Kasus yang diserahkan melalui ICC akan diadili oleh arbiter dengan mendasarkan pada persoalan
(kasus) yang menjadi kewenangan ICC. Dalam hal para pihak yang bersengketa tidak sepakat terhadap
beberapa isu (masalah) yang berkembangan dalam penanganan kasus tersebut seperti penetapan
tempat, dan lain sebagainya maka ICC memiliki kewenangan untuk menetapkannya.
Konteks keputusan (award) yang dihasilkan, award tersebut harus mendapat persetujuan dari ICC
(international court of arbitration) yang memiliki kewenangan untuk membuat modifikasi. Menyangkut
pembiayaan akan ditentukan oleh kedua belah pihak secara bersama-sama dan merata, dimana
sekretariat badan arbitrase akan mensyaratkan pembayaran administrasi dan biaya arbiter. Perhitungan
biaya (cost) didasarkan pada jumlah biaya yang telah ditentukan oleh ICC dan jumlah biaya yang
disengketakan. Sekretariat mensyaratkan pula biaya deposit sebelum badan arbitrase memulai
pekerjaannya. Oleh karena itu, dari segi pembiayaan, cost yang dikeluarkan sangatlah besar.
2. London Court of International Arbitration (LCIA)
London Court of International Arbitration (LCIA) merupakan lembaga arbitrase yang digagas dan didirikan
oleh the Court of Common Council of the City of London pada tahun 1891. LCIA merupakan lembaga
arbitrase tertua di dunia yang terdiri dari Chamber of Commerce, perusahaan-perusahaan yang terletak
di Kota London dan lembaga-lembaga arbitrator. Pada umumnya, LCIA juga menangani sengketa-
sengketa perdagangan pada umumnya sebagaimana yang dilakukan oleh ICC, hanya saja jumlah kasus
yang ditangani oleh LCIA relatif lebih kecil. Meskipun demikian, baik LCIA maupu ICC memiliki
tanggungjawab yang sama terhadap prosedur lembaga/organisasi dan pengangkatan arbitrator.
Arbiter arbitrase LCIA memiliki kewenangan untuk memerintahkan penjagaan, penyimpanan, penjualan,
dan bahkan membuang barang-barang (property) yang berada di bawah kendali para pihak bersengketa.
Selanjutnya, para pihak yang bersengketa bebas untuk menggunakan kompetensi pengadilan terhadap
tindakan conservatory preaward. Di samping itu, LCIA juga dapat memerintahkan para pihak untuk
menyediankan keamanan terhadap seluruh atau sebagian dari apa yang dipersengketakan dalam
arbitrase. Dalam konteks pengangkatan arbitrator, LCIA dapat mengangkat seorang arbitrator yang tidak
independent dan atau sebaliknya.
3. United Nations Commission on International Trade law (UNCITRAL)
United Nations Commission on International Trade law (UNCITRAL) adalah merupakan suatu komisi
yang didirikan pada bulan Desember 1966 dengan tujuan untuk mengharmonisasikan dan mengunifikasi
suatu hukum yang fokus ke perdagangan internasional.
Hanya negara yang dipersyaratkan menjadi anggota UNCITRAL, akan tetapi dalam
mengimplementasikan pekerjaannya, UNCITRAL bekerjasama dengan organisasi atau lembaga yang
relevant seperti ICCA untuk beberapa isu arbitrase. Beberapa instrumen prinsip yang diadopsi oleh
UNCITRAL adalah: The UNCITRAL Arbitraion Rules, 1976. The UNCITRAL Conciliation Rules, 1980.
Guidelines for Administering Arbitration, 1982. The Model Law on International Commercial Arbitration,
1985. Guidelines on Pre-Hearing Conferences.
Model hukum (the Model Law) arbitrase perdagangan internasional merupakan sebuah model untuk
negara-negara yang mengadopsi ke dalam hukum nasionalnya di bidang arbitrase perdagangan
internasional. Tujuan utama UNCITRAL adalah untuk mempersiapkan suatu model hukum yang ideal
dalam menghadapi divergensi yang ada dalam penggunaan aturan-aturan arbitrase dan hukum nasional.
Akan tetapi (the Model Law) tidak menangani setiap persoalan yang berhubungan dengan arbitrase
perdagangan internasional. Sebagai dampaknya, negara-negara sering memasukkan pasal-pasal
tambahan (additional provisions) ke dalam hukum nasional masing-masing negara yang menadopsi (the
Model Law). The Model Law dapat dimodifikasi oleh negara-negara anggota, seperti beberapa negara
telah memodifikasi (the Model Law) sehingga dapat diterapkan ke dalam hukum nasional tanpa
diskriminasi (equally). Sebelum eksisnya the Model Law, hanya ada dua instrument utama yang
menangani arbitrase perdagangan internasional dalam sistem di Perserikatan bangsa-bangsa. Kedua
instrumen tersebut adalah:
a. The United Nations Convention on the Recognition and Enforcement on Foreign Arbitral Awards, 1958
(the New York Convention);
b. The UNCITRAL Arbitration Rules, 1976.
The New York Convention menyiapkan pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase luar negeri dan
perjanjian arbitrase. Konvensi ini adalah salah satu Konvensi yang tersukses dalam hubungan
internasional yang telah ditandatangani oleh 120 negara per 16 Desember 1998. Akan tetapi, Konvensi
ini dalam prakteknya terpisah dengan ketentuan domestik masing-masing negara anggota Konvensi yang
berakibat pada interpretasi yang berbeda. Disamping itu, Konvensi ini juga tidak menangani prosedur
arbitrase.
The UNCITRAL Arbitration Rules, 1976. justru sebaliknya. Prosedur arbitrase menjadi menjadi salah satu
subject matters meskipun dalam batasan tertentu. Hal pertama yang dilakukan adalah mengunifikasi
penerapan hukum nasional dalam arbitrase. Jadi, is didesain sebagai arbitrase ad hoc.
Sebuah draf Model Law mulai diprakarsai dengan meluaskan lingkup dari instrument pada tahun 1982.
tujuan dari Model Law adalah untuk mempromosikan penyatuan prosedur arbitrase dan
mengalamatkannya pada kebutuhan mendasar dari arbitrase perdagangan internasional. Akhirnya, 21
Juni 1985 UNCITRAL diadopsi dan Majelis
Umum PBB juga mengadopsinya pada Tanggal 11 Desember 1985.
Prinsip dasar dari the Model Law adalah pengakuan terhadap kebebasan para pihak untuk
menlaksanakan arbitrase dengan batasan/larangan yang minimal. Sehingga pada kenyataannya, banyak
pasal-pasal dalam the Model law yang diderogasi oleh para pihak. The Model Law juga mengakui
peranan yang dimainkan oleh lembaga-lembaga arbitrase dalam arbitrase perdagangan internasional.
Pasal 2 huruf d disebutkan bahwa:
where a provisions of this law, except article 28 [concerning the rules applicable to the substance of the
dispute], leaves the parties free to determine a certain issues such freedom includes the right of the
parties to authorize a third party, including an institution, to make that determination.
Sehingga dapat dikatakan bahwa aturan-aturan arbitrase dapat digunakan baik arbitrase yang bersifat ad
hoc maupun permanent.
Adapun lingkup utama dari Uncitral Model Law adalah:
Bentuk dan definisi perjanjian arbitrase;
Pengangkatan Arbitrase tribunal;
Hukum yang dapat diterapkan dalam arbitrase;
Pengakuan dan pelaksaan putusan arbitrase.
Dalam konteks lingkup aplikasi, the Model law merujuk pada Pasal 1 dengan beberapa pengecualiaan
pada Pasal 8, 9, 35, dan 36. adapun perjanjain arbitrasenya dapat dilihat pada Pasal 7 the Model law.
Demikian pula jumlah arbitrase dapat ditunjuk satu atau tiga orang (Pasal 10), termasuk didalamnya
prosedur pengangkatan (Pasal 11) ayat 1 dan 3). Adapun menyangkut proceeding, para pihak diberi
kebebasan untuk menentukan prosedur yang tepat (Pasal 19), termasuk didalamnya substansi hukum
apa yang tepat untuk digunakan (Pasal 28 ayat 1 dan 2).
Dalam konteks pelaksanaan dan penerapan putusan, the Model Law menentukan bahwa putusan dapat
saja ditolak jika:
Invalid;
Salah satu pihak tidak memberikan pemberitahuan tentang pengangkatan arbitrator dan atau proses
arbitrase;
Putusan arbitrase melebihi lingkup perjanjian yang dilakukan;
Komposisi dari tribunal arbitase yang tidak sesuai dengan perjanjian para pihak;
Pengadilan menemukan bahwa persoalan yang diajukan ke arbitrase adalah bukan persoalan yang
dapat atau harus diselesaikan melalui lembaga arbitrase;
Putusan arbitrase bertentangan dengan kebijakan publik dari negara (Pasal 34 dan 36)
4. Convention on the Settlement of Investment Disputes Between States and National of Other states
(ISCID Convention)
ISCID dibuat berdasar pada Washington Convention on the settlement of Investment Disputes between
States and National of Other States, 1965 (ISCID Convention. ISCID hanya tersedi pada kasus-kasus
dimana salah satu pihak yang bersengketa adalah negara atau agency (lembaga) dari suatu negara.
Lebih dari 80 negara telah meratifikasi ISCID termasuk didalmnya Indonesia. Seluruh negara-negara
anggota telah sepakat bahwa tidak ada kemungkinan untuk menerapkan putusan ISCID sebelum adanya
penetapan pengadilan dimana tempat arbitrase ditentukan.
Negara-negara penandatangan sepakat untuk mengikat diri (consent to be bound) untuk menerapkan
dan melaksanakan putusan ISCID sebagaimana putusan final dari pengadilan nasional negara-negara
anggota.
ISCID mengawasi dan menyediakan fasilitas untuk arbitrase tetapi tidak melaksanakan arbitrase. Dalam
hal ini, ISCID memiliki kewenangan untuk hanya menyediakan fasilitas terhadap sengketa yang ada
sepanjang pihak yang bersengketa adalah negara atau agency (lembaga) dari suatu negara. Para pihak
bersepakat untuk menentukan arbitrator dan tempat pelaksanaan arbitrase termasuk didalamnya
persoalan prosedur. Secara statistik, jumlah kasus yang masuk ke ICSID sangat sedikit dalam hitungan
puluhan tahun.
Beberapa lembaga Arbitrase di Kawasan Aisa-Pasifik adalah:
1. Singapore International Arbitration Centre (SIAC) dan the Singapore Institute of Arbitration;
2. Hong Kong International Arbitration Centre (HKIAC);
3. China International Economic and Trade Arbitration Commission (CIETAC);
4. Korean Commercial Arbitration Board;
5. Japan Commercial Arbitration Association;
6. Thai Arbitration Centre;
7. Kuala Lumpur Regional Centre for Arbitration;
8. Indonesian National Arbitration Association (BANI)

D. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional


Salah satu fokus utama dalam Konvensi New York 1958, yakni Convetion on the Recognition and
Enforcement of Foreign Arbitral Awards yang ditandatangani 10 Juni 1958 di kota New York. Ketika
Konvensi ini lahir, para pakar arbitrase waktu itu mengakui bahwa Konvensi ini merupakan satu langkah
perbaikan dalam hal pengakuan dan pelaksanaan suatu keputusan arbitrase yang dibuat di luar negeri,
khususnya di antara negara anggota Konvensi.
Konvensi New York mulai berlaku pada 2 Juni 1959. Konvensi ini hanya mensyaratkan tiga ratifikasi agar
berlaku. Selanjutnya Konvensi akan berlaku tiga bulan sejak jumlah ratifikasi ketiga terpenuhi.
Pada waktu meratifikasi atau mengikatkan diri (aksesi) terhadap konvensi, negara-negara dapat
mengajukan persyaratan (reservasi) terhadap isi ketentuan Konvensi New York (pasal 1). Terdapat dua
persyaratan yang diperkenankan, yang pertama adalah persyaratan resiprositas (reciprocity-reservation).
Yang kedua adalah persyaratan komersial (commercial-reservation).
Konsekuensi dari diajukannya persyaratan pertama, yaitu bahwa negara yang bersangkutan baru akan
menerapkan ketentuan Konvensi apabila keputusan arbitrase tersebut dibuat di negara yang juga adalah
anggota Konvensi New York. Apabila keputusan tersebut ternyata dibuat di negara yang bukan anggota,
maka negara tersebut tidak akan menerapkan ketentuan Konvensi.
Persyaratan komersial berarti bahwa suatu negara yang telah meratifikasi Konvensi New York hanya
akan menerapkan ketentuan Konvensi terhadap sengketa-sengketa komersial menurut hukum
nasionalnya.
Konvensi ini mengandung 16 pasal yang dari pasal-pasal tersebut dapat ditarik 5 prinsip berikut, antara
lain:
Prinsip pertama, yakni Konvensi ini menerapkan prinsip pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase
luar negeri dan menempatkan keputusan tersebut pada kedudukan yang sama dengan keputusan
peradilan nasional.
Prinsip kedua, yakni Konvensi ini mengakui prinsip keputusan arbitrase yang mengikat tanpa perlu ditarik
dalam keputusannya.
Prinsip ketiga, yaitu Konvensi ini menghindari proses pelaksanaan ganda (double enforcement process).
Prinsip keempat, Konvensi New York mensyaratkan penyederhanaan dokumentasi yang diberikan oleh
pihak yang mencari pengakuan dan pelaksanaan Konvensi.
Prinsip kelima, Konvensi New York lebih lengkap, lebih komprehensif daripada hukum nasional pada
umumnya. Berbeda dengan hukum nasional pada umumnya yang hanya mengatur tentang pelaksanaan
(enforcement) suatu keputusan pengadilan (termasuk arbitrase), Konvensi New York juga mengatur
tentang pengakuan (recognition) terhadap suatu keputusan arbitrase.
Ketentuan utama Konvensi terdapat dalam pasal I, III dan V, yaitu:
Pasal I, bahwa Konvensi berlaku terhadap putusan-putusan arbitrase yang dibuat dalam wilayah suatu
negara selain daripada negara di mana pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase itu diminta dan
berlaku terhadap putusan-putusan arbitrase yang bukan domestic di suatu negara di mana pengakuan
dan pelaksanaannya diminta.
Pasal III, mewajibkan setiap negara peserta untuk mengakui keputusan arbitrase yang dibuat di luar
negeri mempunyai kekuatan hukum dan melaksanakannya sesuai dengan hukum (acara) nasional di
mana keputusan tersebut akan dilaksanakan. Seperti telah dikemukakan diatas, ketentuan pasal ini
hanya pokoknya saja tentang pelaksanaan keputusan arbitrase, tidak detail. Konvensi hanya
menyebutkan saja tentang daya mengikat suatu keputusan dan tentang bagaimana pelaksanaan atau
eksekusinya. Konvensi tidak mengaturnya siapa pihak yang berwenang untuk mengeksekusi keputusan
tersebut; Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung.
Pasal V, mencantumkan alasan- alasan penolakan terhadap keputusan arbitrase intenasional.
Indonesia baru meratifikasi 2 konvensi internasional yang berhubungan dengan pelaksanaan putusan
arbitrase asing yaitu :
1. Convention on the Settlement of Investment Disputes Between States and Nationals of Other States.
atau ICSID Convention, berdasarkan Undangundang Nomor 5 Tahun 1968 tentang Persetujuan atas
Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warga Negara Asing mengenai
Penanaman Modal tanggal 29 Juni 1968.
2. Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards atau New York Convention
1958 disahkan berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 34 Tahun 1981.
Sekalipun pada tahun 1981 kita sudah meratifikasi konvensi New York 1958, akan tetapi putusan
arbitrase asing belum dapat dilaksanakan secara efektif , karena menurut Mahkamah Agung belum ada
aturan pelaksanaannya. Baru pada tahun 1990, dengan terbitnya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA)
No. 1 Tahun 1990 putusan arbitrase asing dapat dilaksanakan di Indonesia, dan kemudian dikuatkan lagi
dengan lahimya Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
Lembaga yang memberikan otoritas tunggal untuk menangani masalah pengakuan (recognition) dan
pelaksanaan (enforcement) putusan arbitrase asing di Indonesia ialah Ketua Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat.
Tentang bagaimanakah putusan arbitrase asing tersebut dilaksanakan, maka dalam hal ini meliputi tiga
tahap :
a. tahap penyerahan dan pendaftaran putusan
b. tahap pemberian eksekuatur
c. tahap eksekusi putusan
Putusan arbitrase asing baru dapat dilaksanakan/ dieksekusi setelah putusan tersebut diserahkan dan
didaftarkan (deponir/deposit) oleh arbiter atau kuasanya kepada Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, dan harus dilengkapi data-data :
a. lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase asing
b. terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia
c. lembar asli atau salinan otentik perjanjian
d. terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia
e. keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia yang bersangkutan.
Putusan arbitrase asing tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, atau dari Mahkamah Agung dalam hal salah satu pihaknya
menyangkut Negara Republik Indonesia.
Ketua Pengadilan Negeri, sebelum memberikan perintah pelaksanaan (eksekuatur) terhadap putusan
arbitrase yang bersangkutan, diwajibkan terlebih dahulu untuk memeriksa secara substantif, apakah
putusan arbitrase asing tersebut:
- melebihi kewenangan arbiter,
- bertentangan dengan ketertiban umum,
- telah memenuhi syarat, bertentangan dengan kesusilaan, dalam ruang lingkup perdagangan, sengketa
yang tidak boleh didamaikan,
- tentang hak dalam kekuasaan para pihak.
Undang - undang Arbitrase menyatakan bahwa tatacara untuk melaksanakan suatu putusan arbitrase
asing tersebut berpedoman kepada Hukum Acara Perdata yang berlaku.
Menurut hukum acara perdata Indonesia, suatu putusan pengadilan dan berlaku juga terhadap putusan
arbitrase asing, dijalankan dengan tatacara sebagai berikut :
Peringatan/tegoran (aanmaning)
Sita Eksekusi (Executorial Beslag),
Penjualan/Lelang,
Pengosongan.
Pasal 66 UU no. 30 tahun 1999. Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di
wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang
dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai
pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional;
b. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang
menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan;
c. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di
Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum;
d. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan
e. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara
Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah
memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

E. Pembatalan dan Penolakan Putusan Arbitrase Internasional


Penolakan terhadap putusan arbitrase internasional, tercantum di dalam konvensi New York 1958, pada
Pasal V memuat tentang alasan-alasan yang dapat diajukan oleh para pihak untuk menolak pengakuan
dan pelaksanaan suatu keputusan arbitrase asing. Prinsipnya yaitu bahwa pihak yang mengajukan
penolakan keputusan arbitrase harus mengajukan dan membuktikan alasan-alasan penolakan tersebut.
Terdapat 7 alasan penolakan pelaksanaan suatu keputusan arbitrase internasional, yang antara lain:
1. Bahwa para pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut ternyata menurut hukum nasionalnya tidak
mampu atau menurut hukum yang mengatur perjanjian tersebut atau menurut hukum negara di mana
keputusan tersebut dibuat apabila tidak ada petunjuk hukum mana yang berlaku.
2. Pihak terhdap mana keputusan diminta tidak diberikan pemberitahuan yang sepatutnya tentang
penunjukan arbitrator atau persidangan arbitrase atau tidak dapat mengajukan kasusnya.
3. Keputusan yang dikeluarkan tidak menyangkut hal-hal yang diserahkan untuk diputuskan oleh
arbitrase, atau keputusan tersebut mengandung hal-hal yang berada di luar dari hal-hal yang seharusnya
diputuskan, atau
4. Komposisi wewenang arbitrase atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan persetujuan para pihak,
atau, tidak sesuai dengan hukum nasional tempat arbitrase berlangsung, atau
5. Keputusan tersebut belum mengikat terhadap para pihak atau dikesampingkan atau ditangguhkan oleh
pejabat yang berwenang di negara di mana keputusan dibuat.
Pasal 22 ayat 1 Undang-undang no. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa menyatakan bahwa terhadap arbiter dapat diajukan tuntutan ingkar apabila terdapat cukup
alasan dan cukup bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya
tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil putusan.
Terhadap putusan arbitrase Internasional, Pengadilan hukum di Indonesia dapat melakukan
pengingkaran pengakuan (denial of awards) akan substansi yang telah diputus oleh lembaga arbitrase
internasional, dan juga terhadap eksekusi (denial of awards) terhadap objek arbitrase yang ada di wilayah
jurisdiksi hukum Indonesia.
Pada pasal 65 Undang-undang no. 30 tahun 1999 di bawah sub judul arbitrase internasional berbunyi :
Yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional
adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dari pengertian pasal tersebut bukan saja pengadilan
berwenang untuk menolak mengeksekusi suatu putusan arbitrase, bahkan memiliki kewenangan untuk
menolak pengakuan terhadap materi yang telah diputuskan oleh lembaga arbitrase internasional.
Pengakuan atas daya ikat putusan arbitrase, diletakkan di bawan sub judul arbitrase nasional, pada pasal
60 yang berbunyi : Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat
para pihak.
Di sisi lain dalam pasal 456 RV atau Hukum Acara Perdata menyebutkan bahwa pengadilan Indonesia
tidak akan mengakui dan melaksanakan putusan pengadilan yang dibuat di negara lain. Dengan kata
lain, apabila hendak mengeksekusi suatu putusan arbitrase Internasional, pihak yang bersangkutan harus
mengajukan gugatan baru di Indonesia.

F. Contoh Kasus Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase Internasional


Penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional dapat dilihat melalui contoh kasus Pertamina
Karaha Bodas melalui arbitrase internasional.
Sengketa antara Pertamina melawan Karaha Bodas corporation (KBC) bermula dengan
ditandatanganinya perjanjian Joint Operation Contract (JOC) pada tanggal 28 November 1994. Pada
tanggal yang sama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) di satu pihak dan Pertamina serta KBC pada
pihak lain menandatangani perjanjian Energy Supply Contract (ESC). Perjanjian kersasama ini bertujuan
untuk memasok kebutuhan listrik PLN dengan memanfaatkan tenaga panas bumi yang ada di Karaha
Bodas, Garut, Jawa Barat. Dalam perjalanannya ternyata proyek kelistrikan ini ditangguhkan oleh
Pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 39 tahun 1997 tertanggal 20 September 1997.
Dampak penangguhan adalah kerjasama Pertamina dengan KBC tidak dapat dilanjutkan.
KBC pada tanggal 30 April 1998 memasukkan gugatan ganti rugi ke Arbitrase Jenewa sesuai dengan
tempat penyelesaian sengketa yang dipilih oleh para pihak dalam JOC. Pada tanggal 18 Desember 2000
Arbitrase Jenewa membuat putusan agar Pertamina dan PLN membayar ganti rugi kepada KBC, kurang
lebih sebesar US$ 261,000,000.
Atas putusan arbitrase Jenewa, Pertamina tidak bersedia secara sukarela melaksanakannya. Sebagai
upaya hukum, Pertamina telah meminta pengadilan di Swiss untuk membatalkan putusan arbitrase.
Hanya saja upaya ini tidak dilanjutkan (dismiss) karena tidak dibayarnya uang deposit sebagaimana
dipersyaratkan oleh Swiss Federal Supreme Court.
Sementara itu, KBC telah melakukan upaya hukum berupa permohonan untuk pelaksanaan Putusan
Arbitrase Jenewa di pengadilan beberapa negara di mana asset dan barang Pertamina berada, kecuali di
Indonesia. Pada tanggal 21 Pebruari 2001, KBC mengajukan permohonan pada US District Court for the
Southern District of Texas untuk melaksanakan Putusan Arbitrase Jenewa. Selanjutnya KBC mengajukan
permohonan yang sama pada pengadilan Singapura dan Hong Kong. Dalam menyikapi upaya hukum
KBC, Pertamina melakukan upaya hukum berupa penolakan pelaksanaan di pengadilan-pengadilan yang
diminta oleh KBC untuk melakukan eksekusi.
Pertamina melanjutkan upaya hukum pembatalan putusan arbitrase Jenewa di pengadilan Indonesia.
Pada tanggal 14 Maret 2002 Pertamina secara resmi mengajukan gugatan pembatalan Putusan Arbitrase
Jenewa kepada PN Jakarta Pusat. Gugatan pembatalan tersebut didasarkan pada ketentuan pasal 70
UU no. 30 tahun 1999 tentang syarat-syarat pembatalan putusan Arbitrase Internasional yang berbunyi :
Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di
pengadilan. Alasan alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan
dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau
tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim
untuk mengabulkan atau menolak permohonan.
Dalam putusannya nomor 86/PN/Jkt.Pst/2002 tanggal 9 September 2002 , pengadilan Negeri Jakarta
Pusat akhirnya mengabulkan gugatan Pertamina dengan membatalkan putusan arbitrase internasional,
UNCITRAL, di Jenewa, Swiss. Adapun beberapa alasannya antara lain pengangkatan arbiter tidak
dilakukan seperti yang telah diperjanjikan dan tidak diangkat arbiter yang telah dikehendaki oleh para
pihak berdasarkan perjanjian, sementara Pertamina tidak diberikan proper notice mengenai arbitrase ini
dan tidak diberi kesempatan untuk membela diri. Majelis arbitrase telah salah menafsirkan force majeure,
sehingga mestinya Pertamina tidak dapat dimintakan pertanggungjawab atas sesuatu yang di luar
kemampuannya. Di samping itu, Majelis Arbitrase dianggap telah melampaui wewenangnya karena tidak
menggunakan hukum Indonesia, padahal hukum Indonesia adalah yang harus dipakai menurut
kesepakatan para pihak, Majelis arbitrase hanya menggunakan hati nuraninya sendiri berdasarkan
pertimbangan ex aequeo et bono.
Di dalam kasus ini hal ketertiban umum tidak disinggung-singgung, padahal adalah sangat nyata, bahwa
alasan tidak dapatnya Pertamina memenuhi kewajiban kontraknya adalah karena larangan dari
Pemerintah Negara Indonesia yang berdaulat melalui Keppres nomor 39 tahun 1997 tanggal 20
September 1997 tentang Penangguhan/pengkajian kembali proyek Pemerintah, badan usaha milik
negara, dan swasta yang berkaitan dengan pemerintah/badan usaha milik negara pada amar
menimbangnya jelas-jelas dinyatakan bahwa Keputusan Pemerintah tersebut terkait dengan upaya
mengamankan kesinambungan perekonomian dan jalannya pembangunan nasional, serta berdasarkan
landasan konstitusional yang dimiliki oleh Presiden.
Kasus Karaha Bodas Company adalah kasus hukum perdata Internasional di bidang hukum kontrak
Internasional yang menarik. Sayangnya putusan Pengadilan di Indonesia mengenai pembatalan kasus
tersebut tidak komprehensif dari sisi legal. Menurut Hikmahanto Juwana, dalam kasus tersebut Putusan
Arbitrase Internasional tidak dapat dibatalkan oleh pengadilan nasional. Kalaupun pengadilan nasional
melakukan pembatalan, pengadilan di negara lain yang sedang dimintakan untuk melaksanakan putusan
arbitrase dapat saja tidak terikat, bahkan mengabaikannya.
Menurut pendapat kami, karena akar masalahnya adalah dari Keppres atau Pengaturan Pemerintah yang
menyebabkan Pertamina tidak dapat memenuhi kewajiban kontraktualnya, maka apabila ada
konsekuensi hukum dan klaim atau kerugian yang ditimbulkannya, seyogianya hal tersebut harus diambil
alih oleh Pemerintah. Mengikuti ketentuan Pemerintah tidak boleh mendatangkan kerugian bagi diri
sendiri.

sumber : http://www.anaksmanda.com/2011/03/arbitrase-internasional.html

http://fadlyknight.blogspot.co.id/2012/04/sejarah-arbitrase.html
ARBITRASE
PEMBAHASAN

A. Pengertian Arbitrase
Kata arbitrase berasal dari bahasa asing yaitu arbitrare. Arbitrase juga dikenal dengan
sebutan atau istilah lain yang mempunyai arti sama, seperti : perwasitan atau arbitrage (Belanda),
arbitration (Inggris), arbitrage atau schiedsruch(Jerman), arbitrage (Prancis) yang berarti
kekuasaan menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan.
Jadi arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata swasta diluar peradilan umum
yang didasarkan pada kontrak arbitrase secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dimana
pihak penyelesaian sengketa tersebut dipilih oleh para pihak yang bersangkutan yang terdiri dari
orang-orang yang tidak berkepentingan dengan perkara yang bersangkutan, orang-orang mana
akan memeriksa dan memberi putusan terhadap sengketa tersebut.
Arbitrase di Indonesia dikenal dengan perwasitan secara lebih jelas dapat dilihat dalam
Undang-undang No. 1 Tahun 1950, yang mengatur tentang acara dalam tingkat banding terhadap
putusan-putusan wasit, dengan demikian orang yang ditunjuk mengatasi sengketa tersebut adalah
wasit atau biasa disebut arbiter.
Secara harfiah, perkataan arbitrase adalah berasal dari kata arbitrare (Latin) yang berarti
kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Definisi secara terminologi
dikemukakan berbeda-beda oleh para sarjana saat ini walaupun pada akhirnya mempunyai inti
makna yang sama.
Subekti menyatakan bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh
seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau
menaati keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka pilih.
H. Priyatna Abdurrasyid menyatakan bahwa arbitrase adalah suatu proses pemeriksaan
suatu sengketa yang dilakukan secara yudisial seperti oleh para pihak yang bersengketa, dan
pemecahannya akan didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak.
H.M.N. Purwosutjipto menggunakan istilah perwasitan untuk arbitrase yang diartikan
sebagai suatu peradilan perdamaian, di mana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka
tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya diperiksa dan diadili oleh hakim yang
tidak memihak yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah
pihak.
Pada dasarnya arbitrase adalah suatu bentuk khusus Pengadilan. Poin penting yang
membedakan Pengadilan dan arbitrase adalah bila jalur Pengadilan (judicial settlement)
menggunakan satu peradilan permanen atau standing court, sedangkan arbitrase menggunakan
forum tribunal yang dibentuk khusus untuk kegiatan tersebut. Dalam arbitrase, arbitrator
bertindak sebagai hakim dalam mahkamah arbitrase, sebagaimana hakim permanen, walaupun
hanya untuk kasus yang sedang ditangani.
Menurut Black's Law Dictionary: "Arbitration. an arrangement for taking anabiding by
the judgement of selected persons in some disputed matter, instead of carrying it to establish
tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, thedelay, the expense and vexation
of ordinary litigation".Menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 Arbitrase
adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada
Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya
arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:
1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang
dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Factum de compromitendo).
2. Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Akta
Kompromis).
Sebelum UU Arbitrase berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur dalam pasal 615 s/d
651 Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain itu, pada penjelasan pasal 3 ayat(1) Undang-Undang
No.14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa
penyelesaian perkara di luar Pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase)
tetap diperbolehkan.

B. Sejarah Arbitrase di Indonesia


Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebenarnya
sudah lama dikenal meskipun jarang dipergunakan. Arbitrase diperkenalkan di Indonesia
bersamaan dengan dipakainya Reglement op deRechtsvordering (RV) dan Het Herziene
Indonesisch Reglement (HIR) ataupun Rechtsreglement Bitengewesten (RBg), karena semula
Arbitrase ini diatur dalam pasal 615 s/d 651 reglement of de rechtvordering. Ketentuan-
ketentuan tersebut sekarang ini sudah tidak laku lagi dengan diundangkannya Undang Undang
Nomor 30 tahun 1999.
Dalam Undang Undang nomor 14 tahun 1970 (tentang Pokok Pokok Kekuasaan
Kehakiman) keberadaan arbitrase dapat dilihat dalam penjelasan pasal 3 ayat 1 yang antara lain
menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui
arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan
eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari Pengadilan.

C. Objek Arbitrase
Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui
lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5
ayat 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 (UU Arbitrase) hanyalah sengketa di bidang
perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan
dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan,
keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementaraitu Pasal 5 (2) UU
Arbitrase memberikan perumusan bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat
diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan
tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III bab
kedelapan belas Pasal 1851 s/d1854.

D. Jenis-Jenis Arbitrase
Arbitrase dapat berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui badan
permanen (institusi). Arbitrase Ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang sengaja
dibentuk untuk tujuan arbitrase, misalnya UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa atau UNCITRAL Arbitarion Rules. Pada umumnya arbitrase ad-hoc
ditentukan berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta
prosedur pelaksanaan yang disepakati oleh para pihak. Penggunaan arbitrase Ad-hoc perlu
disebutkan dalam sebuah klausul arbitrase.
Arbitrase institusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai badan
arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai
aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI), atau yang internasional seperti The Rules of Arbitration dari The International
Chamber of Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The International Centre for
Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan tersebut mempunyai
peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri.
BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) memberi standar klausul arbitrase sebagai
berikut: "Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus oleh
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan- peraturan prosedur arbitrase
BANI, yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan
dalam tingkat pertama dan terakhir".
Standar klausul arbitrase UNCITRAL (United Nation Comission of International Trade
Law) adalah sebagai berikut: "Setiap sengketa, pertentangan atau tuntutan yang terjadi atau
sehubungan dengan perjanjian ini, atau wan prestasi, pengakhiran atau sah tidaknya
perjanjianakan diselesaikan melalui arbitrase sesuai dengan aturan-aturan UNCITRAL.
Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam dua bentuk, yaitu:
1. Factum de compromitendo yaitu klausa arbitrase yang tercantum dalam perjanjian tertulis yang
dibuat para pihak sebelum timbul sengketa.
2. Akta Kompromis yaitu suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul
sengketa.
Menurut Priyatna Abdurrasyid, Ketua BANI, yang diperiksa pertama kali adalah klausul
arbitrase. Artinya ada atau tidaknya, sah atau tidaknya klausul arbitrase, akan menentukan
apakah suatu sengketa akan diselesaikan lewat jalur arbitrase. Priyatna menjelaskan bahwa bisa
saja klausul atau perjanjian arbitrase dibuat setelah sengketa timbul.

E. Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase


Keunggulan arbitrase dapat disimpulkan melalui Penjelasan Umum UndangUndang
Nomor 30 tahun 1999 dapat terbaca beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui
arbitrase dibandingkan dengan pranata peradilan. Keunggulan itu adalah :
1. Kerahasiaan sengketa para pihak terjamin.
2. Keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif dapatdihindari;
3. Para pihak dapat memilih arbiter yang berpengalaman, memiliki latar belakang yang cukup
mengenai masalah yang disengketakan, serta jujur dan adil;
4. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk penyelesaian masalahnya,
5. para pihak dapat memilih tempat penyelenggaraan arbitrase ;
6. Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak melalui prosedur sederhana
ataupun dapat langsung dilaksanakan.
Para ahli juga mengemukakan pendapatnya mengenai keunggulan arbitrase. Menurut
Prof. Subekti bagi dunia perdagangan atau bisnis, penyelesaian sengketa lewat arbitrase atau
perwasitan, mempunyai beberapa keuntungan yaitu bahwa dapat dilakukan dengan cepat, oleh
para ahli, dan secara rahasia. Sementara H.MN Purwosutjipto mengemukakan arti pentingnya
peradilan wasit (arbitrase) adalah:
1. Penyelesaian sengketa dapat dilakasanakan dengan cepat.
2. Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang diper-sengketakan, yang diharapkan
mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak.
3. Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak.
4. Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui tentang kelemahan-
kelemahan perushaan yang bersangkutan. Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah yang
dikehendaki oleh para pengusaha.
Disamping keunggulan arbitrase seperti tersebut diatas, arbitrase jugamemiliki
kelemahan. Dari praktek yang berjalan di Indonesia, kelemahan arbitrase adalah masih sulitnya
upaya eksekusi dari suatu putusan arbitrase.
Meskipun penyelesaian melalui arbitrase diyakini memiliki keunggulan-keunggulan
dibandingkan dengan jalur pengadilan, tetapi penyelesaian melaluiArbitrase juga memiliki
kelemahan-kelemahan. Beberapa kelemahan dari Arbitrase dan adalah :
a. Arbitrase belum dikenal secara luas, baik oleh masyarakat awam, maupunmasyarakat bisnis,
bahkan oleh masyarakat akademis sendiri. Sebagai contoh masyarakat masih banyak yang belum
mengetahui keberadaan dan kiprah dari lembaga-lembaga seperti BANI, ICC dan ICSID.
b. Masyarakat belum menaruh kepercayaan yang memadai, sehingga engganmemasukkan
perkaranya kepada lembaga-lembaga Arbitrase. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya perkara yang
diajukan dan diselesaikan melalui lembaga-lembaga Arbitrase yang ada.
c. Lembaga Arbitrase tidak mempunyai daya paksa atau kewenangan melakukan eksekusi
putusannya.
d. Kurangnya kepatuhan para pihak terhadap hasil-hasil penyelesaian yang dicapai dalam Arbitrase,
sehingga mereka seringkali mengingkari dengan berbagai cara, baik dengan teknik mengulur-
ulur waktu, perlawanan, gugatan pembatalan dan sebagainya.
e. Kurangnya para pihak memegang etika bisnis, sepertikejujuran dan kewajaran.

F. Hubungan Arbitrase dengan Pengadilan


Lembaga arbitrase masih memiliki ketergantungan pada pengadilan, misalnya dalam hal
pelaksanaan putusan arbitrase. Ada keharusan untuk mendaftarkan putusan arbitrase di
pengadilan negeri. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga arbitrase tidak mempunyai upaya
pemaksa terhadap para pihak untuk menaati putusannya.
Peranan pengadilan dalam penyelenggaraan arbitrase berdasar UU Arbitrase antara lain
mengenai penunjukkan arbiter atau majelis arbiter dalam hal para pihak tidak ada
kesepakatan pasal 14 ayat (3) dan dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase nasional
maupun internasional yang harus dilakukan melalui mekanisme sistem peradilan yaitu
pendafataran putusan tersebut dengan menyerahkan salinan autentik putusan. Bagi arbitrase
internasional mengambil tempat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

G. Pelaksanaan Arbitrase
1. Putusan Arbitrase Nasional
Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64 UU No.30 Tahun 1999.
Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase
dapat dipaksakan pelaksanaanya, putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada
kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan
autentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri,
dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan. Putusan Arbitrase
nasional bersifat mandiri, final dan mengikat.
Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang
mempunyai kekeuatan hukum tetap) sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak diperkenankan
memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan
memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal
terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Berdasar
Pasal 62 UU No.30 Tahun 1999 sebelum memberi perintah pelaksanaan, Ketua Pengadilan
memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan pasal 5 (khusus untuk
arbitrase internasional). Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat
menolak permohonan arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun.
2. Putusan Arbitrase Internasional
Semula pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di indonesia didasarkan pada
ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan pemerintah Belanda yang merupakan negara peserta
konvensi tersebut menyatakan bahwa Konvensi berlaku juga diwilayah Indonesia. Pada tanggal
10 Juni 1958 di New York ditandatangani UNConvention on the Recognition and Enforcement
of Foreign Arbitral Award. Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan
Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftar di Sekretaris PBB
pada 7 Oktober 1981.
Pada 1 Maret 1990 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan mahkamahAgung
Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan arbitrase Asing sehubungan dengan
disahkannya Konvensi New York 1958. Dengan adanya Perma tersebut hambatan bagi
pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia seharusnya bisa diatasi.

H. Sebab Batalnya Perjanjian Arbitrase


Perjanjian arbitrase dinyatakan batal, apabila dalam proses penyelesaian sengketa terjadi
peristiwa-peristiwa :
1. Salah satu dari pihak yang bersengketa meninggal dunia.
2. Salah satu dari pihak yang bersengketa mengalami kebangkrutan, inovasi(pembaharuan utang),
dan insolvensi;
3. Pewarisan;
4. Hapusnya syarat-syarat perikatan pokok;
5. Pelaksanaan perjanjian arbitrase dialih tugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak
yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut;
6. Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok;

http://fauzanjauhari.blogspot.co.id/2013/11/arbitrase.html

Anda mungkin juga menyukai